Anda di halaman 1dari 28

PERITONITIS

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit
berat dan sistemikengan syok sepsis.
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan
dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau
persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis
infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung
dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus
peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon
asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas,
saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor
(dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk
etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya kurang dari 2%.
Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang
dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses
makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok
perioperatif, dan transfuse yang pasif.

Epidemilogi

Insidensi infeksi peritoneal dan abses secara keseluruhan sulit untuk ditetapkan dan bervariasi dengan proses
penyakit abdomen yang mendasari. SBP terjadi pada anak maupun orang dewasa dan merupakan komplikasi
yang telah dikenal luas dan tak menyenangkan dari sirosis. Dari pasien dengan sirosis yang mengalami SBP,
70% adalah Child-Pugh class C. Pada pasien ini, berkembangnya SBP berkaitan dengan prognosis jangka
panjang yang buruk.
Setelah diperkirakan hanya terjadi pada orang-orang dengan sirosis alkoholik, SBP sekarang diketahui dapat
mempengaruhi pasien dengan sirosis dari sebab apapun. Pada pasien dengan asites, prevalensi dapat setinggi
18%. Jumlah ini telah berkembang dari 8% selama 2 dekade terakhir, kemungkinan besar sekunder akibat
peningkatan kesadaran terhadap SBP dan kesadaran yang meningkat untuk melakukan paracentesis
diagnostik.
Meskipun etiologi dan kejadian gagal hati berbeda antara anak dan orang dewasa, pada individu-individu
dengan ascites, insidensi SBP kurang lebih sama. Dua usia puncak untuk SBP adalah karakteristik pada anak-
anak: satu di periode neonatal dan yang lainnya pada usia 5 tahun.

Etiologi

Infeksi bakteri
Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
Appendisitis yang meradang dan perforasi
Tukak peptik (lambung/dudenum)
Tukak thypoid
Tukan disentri amuba/colitis
Tukak pada tumor
Salpingitis
Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens,
enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

1. Secara langsung dari luar.


Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan
bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau
pnemokokus.

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis
sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites
terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau
pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat
penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya
peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen
yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%,
spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus
pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat
anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi
atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama
disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena
infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-
bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari
organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).

Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik: misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen,
imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik,
dan sirosis hepatis dengan asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius.
Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari
multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman
dapat berasal dari:
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus
sehingga feces keluar dari usus.
Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.

3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah
pankreas, dan urine.
Peritonitis Bentuk lain:
- Aseptik/steril peritonitis.
- Granulomatous peritonitis.
- Hiperlipidemik peritonitis.
- Talkum peritonitis.

Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong
nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit
cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan
oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat
timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan
mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus
ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritonium.
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang
akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap
gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika
digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan
nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin
jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu
demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi.
Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita
dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi
(misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita
dengan paraplegia dan penderita geriatric.

Pemeriksaan Diagnostik
1. Test laboratorium
Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml)
dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa
sebelum hasil pembiakan didapat.
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31,
PCO2= 40, BE= -4 )

2. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan
pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal
proyeksi anteroposterior.
Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta
dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran
seperti duri ikan (Herring bone appearance).
Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat
diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika
panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara
bebas infra diafragma dan air fluid level.
Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step
ladder appearance.

Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis
memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).

Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:


Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas, distensi
perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras,
tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak
teratasi.
Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :


Mengeliminasi sumber infeksi.
Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan
bedah a.l :
Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
Pemberian terapi cairan melalui I.V.
Pemberian antibiotic.

Terapi bedah pada peritonitis a.l :


Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan tergantung
dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra
operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi a.l:


Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
Pemberian antibiotic
Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi
abdomen.

A. Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan
intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine
tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum
luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum
luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis
dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

B. Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat
apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas
(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak
dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah
dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani
wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien
praoperatif ditempat ruang operasi.
Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian
atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse
(IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas
hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya
sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi
tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang
luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen
anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase
ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.

Prognosis

Selama dekade terakhir, kombinasi terapi antibiotik yang lebih baik, perawatan intensif yang lebih agresif,
diagnosis dini, terapi dengan kombinasi operasi dan teknik perkutan telah menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan sepsis intraabdomen.
1. Peritonitis Bakterial Spontan
Angka kematian pada SBP dapat serendah 5% pada pasien yang menerima diagnosis dan pengobatan yang
tepat. Namun, pada pasien rawat inap, tingkat kematian 1-tahun dapat berkisar dari 50-70%. Hal ini
biasanya sekunder akibat berkembangnya komplikasi, seperti perdarahan gastrointestinal, disfungsi ginjal,
dan gagal hati yang memburuk. Pasien dengan insufisiensi ginjal secara bersamaan telah terbukti berada
pada risiko kematian yang lebih tinggi dari SBP dibandingkan mereka yang tanpa insufisiensi ginjal.
Kematian dari SBP dapat menurun di antara semua subkelompok pasien karena kemajuan dalam diagnosis
dan pengobatan. Angka kematian keseluruhan dari pasien dengan SBP dapat melebihi 30% jika diagnosis
dan pengobatan tertunda, tetapi tingkat kematian kurang dari 10% pada pasien dengan kemampuan
kompensasi cukup baik dan terapi dini. Sebanyak 70% pasien yang berhasil mengatasi episode SBP
mengalami episode berulang dalam waktu 1 tahun, dan untuk pasien ini, angka kematian mendekati 50%.
Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan dari SBP mungkin akan menurun menjadi kurang
dari 20% dengan antibiotik profilaksis jangka panjang (misalnya, kuinolon, trimetoprim-sulfametoksazol),
namun, apakah ini akan meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang tanpa transplantasi hati masih
tidak jelas.

2. Peritonitis sekunder dan abses peritoneal


SP tanpa komplikasi dan abses sederhana membawa angka kematian kurang dari 5%, namun angka ini bisa
meningkat sampai lebih besar dari 30-50% pada infeksi berat. Tingkat mortalitas secara keseluruhan terkait
dengan pembentukan abses intraabdomen kurang dari 10-20%. Faktor-faktor yang secara independen
memprediksi hasil yang lebih buruk meliputi usia lanjut, malnutrisi, adanya kanker, skor APACHE II (Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation II) yang tinggi pada presentasi, disfungsi organ preoperatif,
adanya abses kompleks, dan kegagalan untuk membaik pada kurang dari 24-72 jam setelah terapi yang
memadai.
Pada infeksi intraabdomen dan peritonitis yang berat, tingkat kematian bisa meningkat sampai lebih dari
30-50%. Berkembangnya sepsis, SIRS, dan MOF secara bersamaan dapat meningkatkan angka kematian
menjadi lebih besar dari 70%, dan, pada pasien tersebut, lebih dari 80% kematian terjadi dengan infeksi
aktif saat ini.

3. Peritonitis tersier
Dibandingkan dengan pasien peritonitis dengan bentuk-bentuk lain, pasien dengan peritonitis tersier
menginap lebih lama secara signifikan di ICU dan rumah sakit, skor disfungsi organ yang lebih tinggi, dan
tingkat kematian yang lebih tinggi (50-70%).

Faktor lain yang mempengaruhi prognosis


Beberapa sistem penilaian (misalnya, APACHE II, SIRS, sindrom disfungsi organ multiple [MODS], indeks
peritonitis Mannheim) telah dikembangkan untuk menilai prognosis klinis pasien dengan peritonitis. Sebagian
besar skor bergantung pada kriteria host tertentu, tanda-tanda sistemik sepsis, dan komplikasi yang
berhubungan dengan kegagalan organ. Meskipun berguna untuk membandingkan pasien secara kohort, skor ini
memiliki nilai yang terbatas untuk proses pengambilan keputusan klinis spesifik hari-ke-hari untuk setiap
pasien. Secara umum, tingkat kematian kurang dari 5% dengan APACHE II kurang dari 15 dan meningkat
menjadi lebih dari 40% dengan skor di atas 15. Meningkatnya skor APACHE II pada hari 3 dan 7 berhubungan
dengan peningkatan angka kematian dengan lebih dari 90%, sedangkan penurunan skor memperkirakan
tingkat kematian kurang dari 20%.
Secara keseluruhan, studi menunjukkan bahwa faktor terkait-host adalah lebih penting daripada jenis dan
sumber infeksi sehubungan dengan prognosis infeksi intraabdomen.

Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi
menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septic.
Syok hipovolemik.
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem.
Abses residual intraperitoneal.
Portal Pyemia (misal abses hepar).

2. Komplikasi lanjut.
Adhesi.
Obstruksi intestinal rekuren.

ILEUS DAN INVAGINASI

ILEUS

Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama
sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus.4

EPIDEMIOLOGI

Terjadi variasi luas dalam frekuensi dan penyebab ileus obstruksi diseluruh dunia yang dipengaruhi oleh etnik,
kelompok umur, kebiasaan diet dan lokasi geografik. Ileus obstruksi pada negara-negara berkembang seperti
Indonesia biasanya masih menyerupai negara-negara maju pada awal abad 20 dengan penyebab terbanyak
adalah hernia inkarserata.5
Kemajuan operasi intraabdomen selama beberapa tahun berikutnya meningkatkan frekuensi ileus obstruksi
karena adhesi pascaoperasi dan menurunkan frekuensi relatif hernia inkarserata sebagai penyebab ileus
obstruksi. Di masa depan operasi laparoskopik diharapkan dapat menurunkan frekuensi ileus obstruksi karena
adhesi pascaoperasi.5
Wanita lebih sering mengalami ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi dibandingkan pria. Hal ini
dihubungkan dengan seringnya operasi obstretik dan ginekologis pada wanita. Hampir seluruhnya ileus
obstruksi karena adhesi pascaoperasi terjadi pada usus halus dan jarang sekali terjadi pada usus besar. 5
Diperkirakan setiap tahunnya kasus ileus obstruksi yang disebabkan adhesi pascaoperasi 1 % dari seluruh
kasus rawat inap, 3% dari kasus emergensi, dan 4% dari seluruh kasus laparotomi eksplorasi. Ileus obstruksi
yang disebabkan adhesi juga menyebabkan gangguan produktivitas dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit
untuk operasi adhesiolisis. Penelitian Ray tahun 1998 di Amerika Serikat memperlihatkan adhesiolysis
menghabiskan 1.3 milyar US dollar setiap tahunnya. 5
Penelitian retrospektif Menzies dan Ellis tahun 1990 terhadap 80 kasus ileus obstruksi karena adhesi
pascaoperasi terjadi paling sering (57%) dalam waktu 1 tahun setelah operasi awal, diikuti 21.25% terjadi
dalam waktu 1-5 tahun, 21.25% terjadi dalam waktu lebih dari 10 tahun dan paling sedikit terjadi dalam waktu
1 bulan sebanyak 0.5%. Penelitian ini juga menyebutkan 75% dari seluruh pasien yang mengalami ileus
obstruksi adhesi pascaoperasi tersebut awalnya menjalani pembedahan di daerah abdomen dibawah kolon
transverum, diantaranya apendektomi, kolektomi, dan operasi ginekologis. 5
KLASIFIKASI ILEUS

1. ILEUS OBSTRUKTIF
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tidga kelompok yaitu lesi intraluminal
misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu. Kedua, lesi inytramural misalnya malignansi dan
inflamasi. Ketiga, lesi ektramural misalnya adhesi, herna, volvulus.13
Dalam kepustakaan lain, ileus obstruksi dibedakan lagi menjadi tiga jenis dasar. Pertama, ileus obstruktif
sedrhana dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya pembuluh darah. Tipe kedua adalah ileus
obstruktif strangulasi dimana ileus disertai adanya penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia
yang akan berakhir dengsn nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang
disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. Tipe ketiga yaitu jenis gelung tertutup. Dimana terjadi bila
jalan masuk dan keluar tersumbsat, paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi. 13
Untuk keperluan klinis, ileus juga dapat dibedakan menjadi ileus usus halus dan ileus usus besar. 13

Etiologi
Ileus obstruksi pada usus halus dapat disebabkan oleh adhesi (60%), hernia (20%), malignansi biasanya di
sekum (5%), volvulus (5%), gallstone, chrons disease, dan intususepsi. Ileus obstruksi pada kolon biasanya
disebabkan oleh malignansi eksternal dan eksternal, sigmoid (5%) dan caecal volvulus, fecal impaction,
divertikulitis.14
Ileus paralitik dapat disebabkan oleh post operatif, gangguan keseimbangan elektrolit, hipotiroidisme,
penggunaan obat-obatan, dan sakit berat.14

Patofisiologi
Obstruksi usus dapat diartikan sebagai gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus, apapun
penyebabnya. Dapat bersifat akut maupun kronis, parsial maupun total. Sebagian besar mengenai usus
halus, sedangkan obstruksi kolon biasanya terjadi pada keganasan. Obstruksi total usus halus merupakan
keadaan gawat yang memerlukan tindakan pembedahan darurat.1
Terdapat 2 jenis obstruksi usus :
a. Non mekanis. Peristaltik usus dihambat akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi
pengendalian otonom motilitas usus.
b. Mekanis. Terjadi obstruksi di dalam lumen atau mural yang disebabkan oleh tekanan ekstrinsik.

Obstruksi non mekanik atau ileus adinamik seperti ileus paralitik sering terjadi setelah pembedahan
abdomen,keadaan lainnya yang sering menjadi penyebab adalah peritonitis. Atoni usus dan peregangan gas
sering menyertai berbagai kondisi traumatik, terutama setelah trauma tulang belakang dan medulla
spinalis.1
Terdapat kemiripan proses patofisiologis yang terjadi pada obstruksi usus halus tanpa memandang
penyebabnya. Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik, peristaltik dihambat sejak awal, sedangkan
pada obstruksi mekanis awalnya peristaltik diperkuat, kemudian melemah, dan hilang sama sekali. 1

Dinding usus yang terletak di sebelah proksimal dari segmen yang tersumbat secara progresif akan
teregang oleh penimbunan cairan dan gas dalam lumen. Distensi berat pada dinding usus akan mengurangi
aliran air dan natrium dari lumen ke kapiler. Sekitar 8 liter cairan disekresi ke dalam saluran cerna setiap
hari. Sehingga obstruksi pada lumen usus yang menghalangi proses absorbsi akan menyebabkan
penimbunan secara cepat. Muntah dan penyedotan usus pada saat dimulainya pengobatan menyebabkan
kehilangan elektrolit dan cairan sehingga terjadi pengerutan ekstrasel dan terjadi syok dan asidosis
metabolik. Peregangan usus yang terjadi secara terus menerus menyebabkan lingkaran setan penurunan
absorbsi dan peningkatan sekresi cairan kedalam lumen. Akibatnya terjadi iskemia dan peningkatan
permeabelitas yang disebabkan oleh nekrosis, disertai dengan absobsi toksin bakteri ke dalam peritoneum
dan sirkulasi sistemik.1
Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana, distensi timbul tepat proksimal
dan menyebabkann muntah refleks. Setelah ia mereda, peristalsis melawan obstruksi timbul dalam usaha
mendorong isi usus melewatinya yang menyebabkan nyeri episodik kram dengan masa relatif tanpa nyeri di
antara episode. Gelombang peristaltik lebih sering, yang timbul setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum
dan setiap 10 menit di didalam ileum. Aktivitas peristaltik mendorong udara dan cairan melalui gelung usus,
yang menyebabkan gambaran auskultasi khas terdengar dalam ileus obstruktif. 11
Dengan berlanjutnya obstruksi, maka aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan akhirnya tidak ada. Jika
ileus obstruktif kontinu dan tidak diterapi, maka kemudian timbul muntah dan mulainya tergantung atas
tingkat obstruksi. Ileus obstruktif usus halus menyebabkan muntahnya lebih dini dengan distensi usus relatif
sedikit, disertai kehilangan air, natrium, klorida dan kalium, kehilangan asam lambung dengan konsentrasi
ion hidrogennya yang tinggi menyebabkan alkalosis metabolik. 11
Berbeda pada ileus obstruktif usus besar, muntah bisa muncul lebih lambat (jika ada). Bila ia timbul,
biasanya kehilangan isotonik dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan
penurunan volume intravascular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan
dalam perjalanan klinik, maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung, hipotensi dan syok. 11
Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada usus mencakup volvulus, pita
lekat, hernia dan distensi. Disamping cairan dan gas yang mendistensi lumen dalam ileus obstruksi
sederhana, dengan strangulasi ada juga gerakan darah dan plasma ke dalam lumen dan dinding usus.
Plasma bisa juga dieksudasi dari sisi serosa dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. 11
Mukosa usus yang normalnya bertindak sebagai sawar bagi penyerapan bakteri dan produk toksiknya,
merupakan bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan dalam aliran darah. Dengan
strangulasi memanjang timbul iskemi dan sawar rusak. Bakteri (bersama dengan endotoksin dan
eksotoksin) bisa masuk melalui dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Disamping itu, kehilangan darah
dan plasma maupun air ke dalam lumen usus cepat menimbulkan syok. Jika kejadian ini tidak dinilai dini,
maka dapat cepat menyebabkan kematian.11
Ileus obstruktif gelung tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar suatu gelung usus tersumbat. Jenis
ileus obstruktif ini menyimpan lebih banyak bahaya dibandingkan kebanyakan ileus obstruksi, karena ia
berlanjut ke strangulasi dengan cepat serta sebelum terbukti tanda klinis dan gejala ileus obstruktif. 11
Penyebab ileus obstruktif gelung tertutup mencakup pita lekat melintasi suatu gelung usus, volvulus atau
distensi sederhana. Pada keadaan terakhir ini, sekresi ke dalam gelung tertutup dapat menyebabkan
peningkatan cepat tekanan intalumen, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar vena. Ancaman vaskular
demikian menyebabkan progresivitas cepat gejala sisa yang diuraikan bagi ileus obstruksi strangualata. 11
Ileus obstruktif kolon biasanya kurang akut (kecuali bagi volvulus) dibandingkan ileus obstruksi usus halus.
Karena kolon terutama bukan organ pensekresi cairan dan hanya menerima sekitar 500 ml cairan tiap hari
melalui valva ileocaecalis, maka tidak timbul penumpukan cairan yang cepat. Sehingga dehidrasi cepat
bukan suatu bagian sindroma yang berhubungan dengan ileus obstruksi kolon. Bahaya paling mendesak
karena obstruksi itu karena distensi.11
Jika valva ileocaecalis inkompeten maka kolon terdistensi dapat didekompresi ke dalam usus halus. Tetapi
jika valva ini kompeten, maka kolon terobstruksi membentuk gelung tertutup dan distensi kontinu
menyebabkan ruptura pada tempat berdiameter terlebar, biasanya sekum. Ia didasarkan atas hukum
Laplace, yang mendefenisiskan tegangan di dalam dinding organ tubular pada tekanan tertentu apapun
berhubungan langsung dengan diameter tabung itu. Sehingga karena diameter terlebar kolon di dalam
sekum, maka ia area yang biasanya pecah pertama.11

Manifestasi Klinis
11
Terdapat empat tanda kardinal gejala ileus obstruktif
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas(konstipasi).

Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada : 11


1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus

Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok hypovolemik, pireksia, septikemia,
penurunan respirasi dan peritonitis. Terhadap setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif, semua
kemungkinan hernia harus diperiksa.11
Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian menjadi bersifat kolik. Ia sekunder
terhadap kontraksi peristaltik kuat pada dinding usus melawan obstruksi. Frekuensi episode tergantung atas
tingkat obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruktif usus halus, setiap 15 sampai
20 menit pada ileus obstruktif usus besar. Nyeri dari ileus obstruktif usus halusl demikian biasanya
terlokalisasi supraumbilikus di dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus obstruktif usus besar biasanya
tampil dengan nyeri intaumbilikus. Dengan berlalunya waktu, usus berdilatasi, motilitas menurun, sehingga
gelombang peristaltik menjadi jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri mereda dan diganti
oleh pegal generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen menjadi terlokalisasi baik,
parah, menetap dan tanpa remisi, maka ileus obstruksi strangulata harus dicurigai. 11
Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang memuntahkan apapun makanan
dan cairan yang terkandung, yang juga diikuti oleh cairan duodenum, yang kebanyakan cairan empedu. 8
Setelah ia mereda, maka muntah tergantung atas tingkat ileus obstruktif. Jika ileus obstruktif usus halus,
maka muntah terlihat dini dalam perjalanan dan terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning. Usus
didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak terlihat distensi. Jika ileus obstruktif usus besar, maka
muntah timbul lambat dan setelah muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk (fekulen)
sebagai hasil pertumbuhan bakteri berlebihan sekunder terhadap stagnasi. Karena panjang usus yang terisi
dengan isi demikian, maka muntah tidak mendekompresi total usus di atas obstruksi. 11 Distensi pada ileus
obstruktif derajatnya tergantung kepada lokasi obsruksi dan makin membesar bila semakin ke distal
lokasinya. Gerkakan peristaltik terkadang dapat dilihat. Gejala ini terlambat pada ileus obstruktif usus besar
dan bisa minimal atau absen pada keadaan oklusi pembuluh darah mesenterikus. 11
Konstipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstipasi absolut (dimana feses dan gas tidak bisa keluar)
dan relatif (dimana hanya gas yang bisa keluar). Kegagalan mengerluarkan gas dan feses per rektum juga
suatu gambaran khas ileus obstruktif. Tetapi setelah timbul obstruksi, usus distal terhadap titik ini harus
mengeluarkan isinya sebelum terlihat obstipasi. Sehingga dalam ileus obstruktif usus halus, usus dalam
panjang bermakna dibiarkan tanpa terancam di usus besar. Lewatnya isi usus dalam bagian usus besar ini
memerlukan waktu, sehingga mungkin tidak ada obstipasi, selama beberapa hari. Sebaliknya, jika ileus
obstruktif usus besar, maka obstipasi akan terlihat lebih dini. Dalam ileus obstuksi sebagian, diare
merupakan gejala yang ditampilkan engganti obstipasi. Dehidarasi umumnya terjadi pada ileus obstruktif
usus halus yang disebabkan muntah yanbg berulang-ulang dan pengendapan cairan. Hal ini menyebabkan
kulit kering dan lidah kering, pengisian aliran vena yang jelek dan mata gantung dengan oliguria. Nilai BUN
dan hematokrit meningkat memberikan gambaran polisitemia sekunder. Hipokalemia bukan merupakan
gejala yang sering pada ileus obstruktif sederhana. Peningkatan nilai potasium, amilase atau laktat
dehidrogenase di dalam serum dapat sebagai pertanda strangulasi, begitu juga leukositosis atau
leukopenia.11

Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunaklan sebagai petanda 11 :


1. Mulainya terjadi iskemia
2. Perforasi usus
3. Inflamasi yang berhubungan denga penyakit obsruksi

Hipotermi menandakan terjadinya syok septikemia. Nyeri tekan abdomen yang terlokalisir menandakan
iskemia yang mengancam atau sudah terjadi. Perkembangan peritonitis menandakan infark atau prforasi. 12
Sangat penting untuk membedakan antara ileus obstruktif dengan strangulasi dengan tanpa strangulasi,
karena termasuk operasi emergensi. Penegakan diagnosa hanya tergantung gejala kilnis. 12
Sebagai catatan perlu diperhatikan kehadiran syok menandakan iskemia yang sedang berlansung, pada
strangulasi yang mengancam, nyeri tidak pernah hilang total, gejala-gejala biasanya muncul secara
mendadak dan selalu berulang, kemunculan dan adanya gejala nyeri tekan lokal merupakan tanda yang
sangat penting, tetapi, nyeri tekan yang tidak jelas memerlukan penilaian rutin. 12
Pada ileus obstruktif tanpa strangulasi kemungkinan bisa terdapat area dengan nyeri tekan lokal pada
tempat yang mengalami obstruksi; pada srangulasi selalu ada nyeri tekan lokal yang berhubungan dengan
kekakuan abdomen. Nyeri tekan umum dan kehadiran kekakuan abdomen/rebound tenderness menandakan
perlunya laparotomy segera. Pada kasus ileus obstruktif dimana nyeri tetap asa walaupun telah diterapi
konservatif, walaupun tanpa gejala-gejala di atas, strangulasi tetap harus didiagnosa. Ketika srangulasi
muncul pada hernia eksternal dimana benjolan tegang, lunak, ireponibel, tidak hanya membesar karena
reflek batuk dan benjolan semakin membesar. 4
Pada ileus obstruksi usus besar juga menimbulkan sakit kolik abdomen yang sama kualitasnya dengan sakit
ileus obstruktif usus halus, tetapi intensitasnya lebih rendah. Keluhan rasa sakit kadang-kadang tidak ada
pada penderita lanjut usia yang pandai menahan nafsu. Muntah-muntah terjadi lambat, khususnya bila
katup ileocaecal kompeten. Muntah-muntah fekuen paradoks sangat jarang. Riwayat perubahan kebiasaan
berdefekasi dan darah dalam feses yang baru terjadi sering terjadi karena karsinoma dan divertikulitis
adalah penyebab yang paling sering. Konstipasi menjadi progresif, dan obstipasi dengan ketidakmapuan
mengeluarkan gas terjadi. Gejala-gejala akut dapat timbul setelah satu minggu. 8

Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus ditegakkan atas dasar klinik
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa
ileus obstruksi diperoleh dari :11
a. Anamnesis. Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan penyebabnya,
misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia. Pada ileus
obstruksi usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruksi usus besar kolik
dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruksi usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus
obstruktif usus besar onset muntah lama.3
b. Pemeriksaan Fisik. Dari inspeksi dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut
abdomen, hernia dan massa abdomen. Terkadang dapat dilihat gerakan peristaltik usus yang bisa bekorelasi
dengan mulainya nyeri kolik yang disertai mual dan muntah. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik. Dari palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang
mencakup defance musculair involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal. Pada
ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik gemerincing logam bernada tinggi dan gelora
(rush) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah
berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak
adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruksi strangulata. Bagian akhir
yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rektum dan pelvis. Ia bisa membangkitkan penemuan
massa atau tumor serta tidak adanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usus halus.
Jika darah makroskopik atau feses postif banyak ditemukan di dalam rektum, maka sangat mungkin bahwa
ileus obstruktif didasarkan atas lesiintrinsik di dalam usus.12

Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium. Leukositosis, dengan pergeseran ke kiri, biasanya terjadi bila terdapat strangulasi,
tetapi hitung darah putih yang normal tidak menyampingkan strangulasi. Peningkatan amilase serum
kadang-kadang ditemukan pada semua bentuk ileus obstruktif, khususnya jenis strangulasi. 1
b. Radiologi. Obstruksi di usus halus ditandai dengan adanya udara dalam usus halus, sedangkan dalam
kolon tidak ditemukan. Perbedaan dengan obstruksi di kolon ditandai oleh adanya gas di seluruh kolon
sedangkan hanya sedikit atau tidak ada di usus halus. Bila foto polos tidak memberikan kepastian
diagnosis akhir, dilakukan pemeriksaan radiograf dengan barium untuk mengetahui letak obstruksi. 1
Dalam kepustakaan lain disebutkan gambaran radiologis pada foto abdomen 3 posisi didapatkan
dilatasi usus secara menyeluruh dari gaster sampai ke rektum. Penebalan dinding usus halus yang
mengalami dilatasi memberikan gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus
yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebrae ikan dan muskulus sirkuler
menyerupai kosta. Gambaran penebalan usus besar juga terdapat pada tepi abdomen. Tampak
gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang berbentuk seperti tangga atau disebut juga step
ladder appearance di usus halus dan air fluid level yang panjang-panjang di kolon. 2

Penatalaksanaan
Terapi ileus obstruksi biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis serta tergantung atas
jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan
memperhatikan keadaan keseluruhan pasien. Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian
yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab ileus obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. 12
Dekompresi pipa bagi traktus gastrointestinal diindikasikan untuk dua alasan yaitu untuk dekompresi
lambung sehingga memperkecil kesempatan aspirasi isi usus dan membatasi masuknya udara yang ditelan
ke dalam saluran pencernaan, sehingga mengurangi distensi usus yang bisa menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan kemungkinan ancaman vaskular.12

Pipa yang digunakan untuk tujuan demikian dibagi dalam dua kelompok yaitu : 12
1. Pendek, hanya untuk lambung.
2. Panjang, untuk intubasi keseluruhan usus halus.

Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatom. Pemberian antibiotika spektrum
lebar di dalam gelung usus yang terkena obstruksi strangulasi terbukti meningkatkan kelangsungan hidup.
Tetapi, karena tidak selalu mudah membedakan antara ileus obstruksi strangulata dan sederhana, maka
antibiotika harus diberikan pada semua pasien ileus obstruksi. Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai
rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin.12

Tindakan bedah dilakukan bila :12


Strangulasi
Obstruksi lengkap
Hernia inkarserata
Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus, oksigen dan
kateter).

Tindakan yang terlibat dalam terapi bedahnya masuk kedalam beberapa kategori mencakup : 12
1. Lisis pita lekat atau reposisi hernia
2. Pintas usus
3. Reseksi dengan anastomosis
4. Diversi stoma dengan atau tanap resksi.

Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Kita harus mencegah
terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus
pasien masih dalam keadaan paralitik.
2. ILEUS PARALITIK
Adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di
rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi,
perforasi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun saluran cerna, infeksi, obstruksi atau strangulasi
saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran
cerna sehingga terjadilah peritonitis. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut.
Ileus Paralitik adalah obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik
usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot,
gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson.
(Harnawatiaj : 2008). Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus karena
usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas), pasien tidak dapat buang air besar.(dr.Liza: 2008). Ileus
(Ileus Paralitik, Ileus Adinamik) adalah suatu keadaan dimana pergerakan kontraksi normal dinding usus
untuk sementara waktu berhenti. (www.medicastore.com).
Dari keempat definisi di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ileus paralitik adalah istilah gawat
abdomen atau gawat perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama karena
usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas) dan menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar.

Etiologi
Adapun etiologi dari ileus paralitik, antara lain:
Pembedahan Abdomen
Trauma abdomen : Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus
menyebabkan tekanan pada dinding usus
Infeksi: peritonitis, appendicitis, diverticulitis
Pneumonia
Sepsis
Serangan Jantung
Ketidakseimbangan elektrolit, khususnya natrium
Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot
Obat-obatan: Narkotika, Antihipertensi
Mesenteric ischemia

Klasifikasi
Adapun klasifikasiksi Ileus Paralitik yaitu:
1. Ileus Mekanik
a. Lokasi Obstruksi
Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum.
Letak Tengah : Ileum Terminal.
Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum.
b. Stadium
Parsial : menyumbat lumen sebagian.
Simple/Komplit: menyumbat lumen total.
Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa 6.
2. Ileus Neurogenik
a. Adinamik : Ileus Paralitik.
b. Dinamik : Ileus Spastik.
3. Ileus Vaskuler : Intestinal ischemia 6.

Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah
obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi
paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-
mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.

Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif
akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen,
yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan
diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan
penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai
merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah
penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung,
penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan
lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal
peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai
absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan
bakteriemia.

Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik.
Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika
obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi
membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang
berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi
sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian.

Manifestasi Klinis
Adapun klasifikasi dari ileus paralitik, yaitu:
a. Obstruksi Usus Halus
Gejala awal biasanya berupa nyeri abdomen bagian tengah seperti kram yang cenderung bertambah
berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan bersifat hilang timbul. Pasien dapat mengeluarkan darah
dan mukus, tetapi bukan materi fekal dan tidak terdapat flatus. Pada obstruksi komplet, gelombang
peristaltik pada awalnya menjadi sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong
kedepan mulut. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Semakin
kebawah obstruksi di area gastrointestinal yang terjadi, semakin jelas adanya distensi abdomen. Jika
berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan
volume plasma.
b. Obstruksi Usus Besar
Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi pada usus halus tetapi
intensitasnya jauh lebih rendah. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada
pasien dengan obstruksi disigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi gejala satu-satunya selama
beberapa hari. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi dapat dilihat
dari luar melalui dinding abdomen, dan pasien menderita kram akibat nyeri abdomen bawah.

Pemeriksaan Penunjang
- Amilase-lipase
- Kadar gula darah.
- Kalium serum.
- Analisis gas darah.

Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis, tetapi sangat membantu
memberikan penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan
hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai
elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan
adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi
dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada
dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin
terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda tanda
shock, dehidrasi dan ketosis.

- Foto abdomen 3 posisi


Tampak dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum. Penebalan dinding usus halus yang dilatasi
memberikan gambaran herring bone appearance (gambaran seperti tulang ikan), karena dua dinding
usus halus yang menebal dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler
menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak di tepi abdomen.
Tampak gambaran air fluid level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut step ladder
appearance di usus halus dan air fluid level panjang-panjang di kolon.

Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan dan Terapi Medis
Pemberian anti obat antibiotik, analgetika,anti inflamasi
Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
Bedrest
2. Konservatif
Laparatomi Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti takikardia, pireksia
(demam), lokal tenderness dan guarding, rebound tenderness. Nyeri lokal, hilangnya suara usus lokal,
untuk mengetahui secara pasti hanya dengan tindakan laparatomi.

Komplikasi
a. Nekrosis usus
b. Perforasi usus
c. Sepsis
d. Syok-dehidrasi
e. Abses
f. Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
g. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
h. Gangguan elektrolit.

INVAGINASI/INTUSUSEPSI

Intususepsi adalah keadaan yang umumnya terjadi pada anak-anak, dan merupakan kejadian yang jarang
terjadi pada dewasa, intususepsi adalah masuknya segmen usus proksimal (kearah oral) kerongga lumen usus
yang lebih distal (kearah anal) sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus Definisi lain
Invaginasi atau intususcepti yaitu masuknya segmen usus (Intesusceptum) ke dalam segment usus di dekatnya
(intususcipient). Pada umumnya usus bagian proksimal yang mengalami invaginasi (intussuceptum) memasuki
usus bagian distal (intussucipient), tetapi walaupun jarang ada juga yang sebaliknya atau retrograd (Bailey,90)
Paling sering masuknya ileum terminal ke kolon. Intususeptum yaitu segmen usus yang masuk dan intususipien
yaitu segmen usus yang dimasuki segmen lain.
Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan peristaltik berlebihan, biasanya terjadi
pada anak-anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa.
Pada anak-anak 95% penyebabnya tidak diketahui, hanya 5% yang mempunyai kelainan pada ususnya sebagai
penyebabnya. Misalnya diiverticulum Meckeli, Polyp, Hemangioma (Schrock, 88). Sedangkan invaginasi pada
dewasa terutama adanya tumor yang menyebabkannya (Dunphy 80).
Perbandingan kejadian antara pria dan wanita adalah : 3 : 2 (Swenson,90), pada orang tua sangat jarang
dijumpai (Ellis ,90).
Daerah yang secara anatomis paling mudah mengalami invaginasi adalah ileo coecal, dimana ileum yang lebih
kecil dapat masuk dengan mudah ke dalam coecum yang longgar. Invaginasi dapat menyebabkan obstruksi
usus baik partiil maupun total. Intususepsi paling sering mengenai daerah ileosekal, dan lebih jarang terjadi
pada orang tua dibandingkan dengan pada anak-anak.
Pada kebanyakan kasus pada orang tua dapat diketemukan penyebab yang jelas, umumnya tumor yang
membentuk ujung dari intususeptum.
Invaginasi atau intususepsi merupakan keadaan gawat darurat, dimana bila tidak ditangani segera dan tepat
akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Hampir 70% kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang
dari 1 tahun, paling sering dijumpai pada ileosekal. Invaginasi sangat jarang dijumpai pada orang tua, serta
tidak banyak tulisan yang membahas hal ini secara rinci.
Ada perbedaan etiologi yang mencolok antara anak-anak dan dewasa, pada anak-anak etiologi terbanyak
adalah idiopatik yang mana lead pointnya tidak ditemukan sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak
adalah keadaan patologik intra lumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat
operasi lead poinnya dapat ditemukan.

Epidemiologi

Angka kejadian intususepsi (invaginasi) dewasa sangat jarang , menurut angka yang pernah dilaporkan adalah
0,08% dari semua kasus pembedahan lewat abdomen dan 3% dari kejadian obstruksi usus , angka lain
melaporkan 1% dari semua kasus obstruksi usus, 5% dari semua kasus invaginasi (anak-anak dan dewasa),
sedangkan angka-angka yang menggambarkan angka kejadian berdasarkan jenis kelamin dan umur belum
pernah dilaporkan, sedangkan segmen usus yang telibat yang pernah dilaporkan Anderson 281 pasien terjadi
pada usus halus ( Jejunum, Ileum ) 7 pasien ileocolica, 12 pasien cecocolica dan 36 colocolica dari 336 kasus
yang ia laporkan . Desai pada 667 pasien menggambarkan 53% pada duodenum,jejunum atau ileum, 14% lead
pointnya pada ileoseccal, 16% kolon dan 5% termasuk appendik veriformis.
Hampir 70 % kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun (Bisset et all, 1988) sedangkan
Orloff mendapatkan 69% dari 1814 kasus pada bayi dan anak-anak umur kurang dari 1 tahun (Cohn 1976).
Chairl Ismail 1988 mendapatkan insiden tertinggi dicapai pada anak-anak umur antara 4 sampai dengan 9
bulan. Perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2:1 (Kartono, 1986; Cohn 1976)
Insidensi tertinggi dari inttususepsiterdapat pada usia dibawah 2 tahun (Ellis 1990). Orloof mendapatkan 69%
dari1814 kasus pada anak-anak terjadi pada usia kurang dari 1 tahun (Cohn 1976). Pada bayi dan anak-anak
intususepsi merupakan penyebab kira-kira 80-90% dari kasus obstruksi. Pada orang dewasa intususepsi lebih
jarang terjadi dan diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 5% dari kasus obstruks.

Etiologi

Menurut kepustakaan 90-95% terjadi pada anak dibawah 1 tahun akibat idiopatik. Pada waktu
operasi hanya ditemukan penebalan dinding ileum terminal berupa hipertrophi jaringan limfoid (plaque payer)
akibat infeksi virus (limfadenitis) yang mengkuti suatu gastroenteritis atau infeksi saluran nafas. Keadaan ini
menimbulkan pembengkaan bagian intusupseptum, edema intestinal dan obstruksi aliran vena -> obstruksi
intestinal -> perdarahan. Penebalan ini merupakan titik permulaan invaginasi.

Pada anak dengan umur > 2 tahun disebabkan oleh tumor seperti limpoma, polip, hemangioma
dan divertikel Meckeli. Penyebab lain akibat pemberian anti spasmolitik pada diare non spesifik.
Pada umur 4-9 bulan terjadi perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pola makan
dicurigai sebagai penyebab invaginasi. Invaginasi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun, tidak
dijumpai kelinan yang jelas sebagai penyebabnya, sehingga digolongkan sebagai invantile idiophatic
intususeption.

Sedangkan pada anak-anak umur lebih dari 2 tahun dapat dijumpai kelinan pada usus sebagai
penyebabnya, misalnya divertical meckel, hemangioma, polip. Pada orang tua sangat jarang
dijumpai kasus invaginasi (Tumen 1964; kume GA et al, 1985; Ellis 1990), seta tidak banyak tulisan
yang membahas tentang invaginasi pada orangtua secar rinci.

Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi, diduga tindakan masyarakat tradisional berupa pijat perut serta
tindakan medis pemberian obat anti-diare juga berperan pada timbulnya invaginasi. Infeksi rotavirus yang
menyerang saluran pencernaan anak dengan gejala utama berupa diare juga dicurigai sebagai
salah satu penyebab invaginasi. Keadaan ini merupakan keadaan gawat darurat akut di bagian bedah dan
dapat terjadi pada semua umur. Insiden puncaknya pada umur 4 - 9 bulan, hampir 70% terjadi pada umur
dibawah 1 tahun dimana laki-laki lebih sering dari wanita kemungkinan karena peristaltic lebih kuat.
Perkembangan invaginasi menjadi suatu iskemik terjadi oleh karena penekanan dan penjepitan pembuluh-
pembuluh darah segmen intususeptum usus atau mesenterial. Bagian usus yang paling awal mengalami
iskemik adalah mukosa. Ditandai dengan produksi mucus yang berlebih dan bila berlanjut akan terjadi
strangulasi dan laserasi mukosa sehingga timbul perdarahan. Campuran antara mucus dan darah tersebut akan
keluar anus sebagai suatu agar-agar jeli darah (red currant jelly stool).

Intususepsi pada dewasa kausa terbanyak adalah keadaan patologi pada lumen usus, yaitu suatu
neoplasma baik yang bersifat jinak dan atau ganas, seperti apa yang pernah dilaporkan ada
perbedaan kausa antara usus halus dan kolon sebab terbanyak intususepsi pada usus halus adalah
neoplasma yang bersifat jinak (diverticle meckels, polip) 12/25 kasus sedangkan pada kolon
adalah bersifat ganas (adenocarsinoma)14/16 kasus. Etiologi lainnya yang frequensiny labih rendah
seperti tumor extra lumen seperti lymphoma, diarea , riwayat pembedahan abdomen sebelumnya,
inflamasi pada apendiks juga pernah dilaporkan intususepsi terjadi pada penderita AIDS , pernah
juga dilaporkan karena trauma tumpul abdomen yang tidak dapat diterangkan kenapa itu terjadi
dan idiopatik.

Perbedaan dalam etiologi merupakan hal utama yang membedakan kasus yang terjadi pada bayi/ anak-anak
penyebab intususepsi tidak dapat diketahui pada kira-kira 95% kasus. Sebaliknya 80% dari kasus pada dewasa
mempunyai suatu penyebab organik, dan 65% dari penyebabnya ini berupa tumor baik benigna maupun
maligna.

Oleh karenannya banyak kasus pada orang dewasa harus ditangani dengan anggapan terdapat keganasan.
Insidensi tumor ganas lebih tinggi pada kasus yang hanya mengenai kolon saja (Cohn 1976).

Klasifikasi

Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :


Enterik : usus halus ke usus halus
Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan menarik ileum di
belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi.
Kolokolika : kolon ke kolon.
Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.

Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi mengenai valvula ileosekalis. Namun masih
belum jelas perbandingan insidensi untuk masing-masing jenis intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan
gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk
yang jarang dan tidak khas (Tumen 1964).
Invaginasi dapat ditemukan di semua umur, pada penderita dewasa ditemukan 5%kasus obstruksi usus
disebabkan karena invaginasi (Ellis,90). Biasanya terdapat tumor pada apex intussuception, pada usus halus
biasnya tumor jinak dan tumor ganas pada usus besar. (Ellis 90). Tumor usus halus banyak ditemukan
diduodenum, yejunum bagian proksimal dan terminal ileum. Distal yejunum dan proksimal ileum relatif jarang
(Leaper 89) dan terbanyak di temukan di terminal ileum (Schrok,88). Tumor usus halus merupakan 1-5% tumor
di dalam saluran pencernaan makanan, hanya 10 % yang akan menimbulkan gejala-gejala antara lain
perdarahan, penyumbatan atau invaginasi. Perbandingan tumor jinak dan tumor ganas adalah 10 : 1
(Schrock,88). Tumor jinak usus halus biasanya adenoma, leyomiomalipoma, hemangioma, ployposis.
Sedangkan tumor ganas biasanya carcinoma, carcinoid tumor, sarcoma, tumor metastase (Leaper,89).

Patofisiologi
Berbagai variasi etiologi yang mengakibatkan terjadinya intususepsi pada dewasa pada intinya adalah
gangguan motilitas usus terdiri dari dua komponen yaitu satu bagian usus yang bergerak bebas dan satu
bagian usus lainya yang terfiksir/atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya, karena arah peristaltik
adalah dari oral keanal sehingga bagian yang masuk kelumen usus adalah yang arah oral atau proksimal,
keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus, pada keadaan khusus dapat terjadi sebaliknya yang
disebut retrograd intususepsi pada pasien pasca gastrojejunostomi . Akibat adanya segmen usus yang masuk
kesegmen usus lainnya akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran
darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus
Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi terutama mengenai intususeptum. Intususepien biasanya
tidak mengalami kerusakan. Perubahan pada intususeptum ditimbulkan oleh penekanan bagian ini oleh karena
kontraksi dari intususepien, dan juga karena terganggunya aliran darah sebagai akibat penekanan dan
tertariknya mesenterium. Edema dan pembengkakan dapat terjadi. Pembengkakan dapt sedemikian besarnya
sehingga menghambat reduksi. Adanya bendungan menimbulkan perembesan (ozing) lendir dan darah ke
dalam lumen. Ulserasi pada dindidng usus dapat terjadi. Sebagai akibat strangulasi tidak jarang terjadi
gangren. Gangren dapat berakibat lepasnya bagian yang mengalami prolaps. Pembengkakan dari intisuseptum
umumnya menutup lumen usus. Akan tetapi tidak jarang pula lumen tetap patent, sehingga obstruksi komplit
kadang-kadang tidak terjadi pada intususepsi (Tumen 1964).
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus (obstruksi) baik partiil maupun total dan strangulasi
(Boyd, 1956). Hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil menyebabkan usus tersebut masuk ke
lumen usus distal. Usus bagian distal yang menerima (intussucipient) ini kemudian berkontraksi, terjadi edema.
Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi

Gambaran Klinis

Rasa sakit adalh gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan adanya serangan rasa sakit/kholik
yang makin bertambah dan mencapai puncaknya, dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir
dapat ditegakkan. Rasa sakit berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara satu serangan dnegan
serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah, keluarnya darah melalui
rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut. Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang
terkena. Semakin tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan oleh
kembalinya aliran darahdari usus yang mengalami intususepsi. Terdapatnya sedikit darah adalah khas,
sedangkan perdarahan yang banyak biasanya tidak ditemukan.

Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof, rasa sakit ditemukan pada 90%, muntah pada 84%, keluarnya
darah perektum pada 80%dan adanya masa abdomen pada 73% kasus (Cohn, 1976).

Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi usus pada umumnya, yang
dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah terjadinya intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi
setelah lebih 24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti intususepsi
pada anak-anak. Pada orng dewaasa sering ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan
kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan-pemeriksaan lain (Cohn, 1976). Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan
kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan radiologis seringkali
menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis. Pemeriksaan radiologis sering tidak berhasil mengkonfirmasikan
diagnosis karena tidak terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi
beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi harus dipikirkan
pada kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi usus yang berulang, meskipun pemeriksaan radiologis
dan pemeriksaan-pemeriksaan laim tidak memberikan hasil yang positif.

Pada kasus intususepsi khronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas dan membingungkan sampai terjadi
invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai
muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir melalui
rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan
adalah tenesmus dan anoreksia. Masa abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat
serangan (Tumen, 1964).

Diagnosis

Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang ditandai dengan flexi sendi koksa dan
lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali
terjadi pada mukosa usus bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus
bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya darah samar dalam tinja
dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan
hanya ditemukan mucus pada + 20% kasus.

Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali saluran pencernaan ataupun oleh karena
infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya
mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian
obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu
spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga keberadaan diare
sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit
ditentukan
Muntah reflektif sampai bilus menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai pada + 75% pasien
invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien.
Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan
sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus
sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi
sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90%.

Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan Sousage Like Sign, terdapat darah samar,
lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi.
Dances Sign dan Sousage Like Sign dijumpai pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi.
Masa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah
yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dances Sign. Pemeriksaan
colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir dan darah pada sarung tangan merupakan suatu
tanda yang patognomonik.

Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di kwadran tertentu dari abdomen
menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan
gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney signpada potongan longitudinal
invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan
sebagai diagnostik maupun terapetik.

TRIAS INVAGINASI :
Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki (Craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
Muntah warna hijau (cairan lambung)
Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam) currant jelly stool

Obstruksi usus ada 2 :


Mekanis kaliber usus tertutup
Fungsional kaliber usus terbuka akibatperistaltik hilang

Pemeriksaan Fisik :
Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.
Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan
Nyeri tekan (+)
Dancen sign (+) Sensai kekosongan padakuadran kanan bawah karena masuknya sekum pada kolon
ascenden
RT : pseudoportio(+), lender darah (+) Sensasi seperti portio vagina akibat invaginasi usus yang lama

Radiologis :
Foto abdomen 3 posisi
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika circularis usus) DAH

Colon In loop berfungsi sebagai :


Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi
Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi dan kejadian < 24 jam

Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar bersama feses dan udara
Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit, meskipun pada umumnya
diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus tanpa dapat memastikan kausanya adalah intususepsi,
pemerikasaan fisik saja tidaklah cukup sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu
dengan radiologi (barium enema, ultra sonography dan computed tomography), meskipun umumnya
diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik. Pada penderita dengan
intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin
akan didapatkan obstruksi aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada
barium di tempat ini.
Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan tereduksi. Jika barium
dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu coil spring appearance yang merupakan
diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa dapat
diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan (Cohn 1976).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian kasus intususepsi mempunyai riwayat perjalanan penyakit
yang khronis, bahkan kadang-kadnag mencapai waktu bertahun tahun. Keadaan ini lebih sering ditemukan
padaorng dewasa daripada anak-anak (Tumen 1964). Biasanya ditemukan suatu kelainanlokal pada usus
namun Goodal (cit Tumen, 1964) telah mengumpulkan dari literatur 122 kasus intususepssi khroni primeir
pada orang dewasa. Beberapa penulis tidak menyetujui konsep bahwa intususepsi tersebut berlangsung
terus menerus dalam waktu demikian lama. Stallman (cit Tumen 1964) mempertanyakan tepatnya
penggunaan istilah intususepsi khronis. Goldman dan Elman (cit Tumen 1964) mengemukakan
keyakinannya bahwa penderita tidak mungkin dapat bertahan hidup dengan intususepsi yang berlangsung
lebih dari 1 minggu. Para penulis ini berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada kasus seperti
ini adalah adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi berganti-ganti. Adanya mesenterium yang
panjang, yang memungkinkan invaginasi terjadi tanpa gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat
menyebabkan terpeliharanya integritas striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu yang lama
dengan status kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya terdapat suatu serangan yang
demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi spontan, dan tindakan bedah menjadi diperlukan.

Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu melalui :
Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis seperti diatas).
Pemeriksaan penunjang ( Ultra sonography, Barium Enema dan Computed Tomography)

Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan, jika pertolongan
kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan memberikan prognosa yang lebih baik.

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua
tindakan :
1. Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter dengan tekanan tertentu.
Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh
Hirschprung tahun 1976.
2. Reduksi manual (milking) dan reseksi usus
Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit, mengalami gejala
berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai dengan distensi abdomen, feces berdarah,
gangguan sistema usus yang berat sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk
suatu operasi. Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang diterapkan di RS.
Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan
milking harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman
operator. Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila
viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus
direseksi dilakukan anastomose end to end apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka
dilakukan exteriorisasi atau enterostomi.

Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit
dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu
keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah
melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika
ditemukan kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis,
1990). Pada kasus-kasus yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan Machleder,
1975 cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi jika ada keragu-raguan mengenai
keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.

1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan pada kasus obstruksi usus
lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit
elektrolit
2. Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena kausa terbanya intususepsi
pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose
segmen usus yang terlibat dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak
maupun yang ganas.

Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:


Ruptur dinding usus selama manipulasi
Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
Pembengkakan segmen usus yang terlibat

Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi tepi segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya
pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak ditemukan maka tindakan
reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan
reduksi dapat dibenarkan, keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak
tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat pembedahan
abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose

3. Pasca Operasi
Hindari Dehidrasi
Pertahankan stabilitas elektrolit
Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas usus

Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya adalah besar, maka tidak
dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus
reduksi boleh dicoba dengan hati-hati, tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema, reduksi
tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja (Elles , 90). Apabila akan melakukan reseksi usus halus
pada invaginasi dewasa hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk
menghindari / memperkecil timbulnya short bowel syndrom.

Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:


adanya reseksi usus yang etensif
diarhea
steatorhe
malnutrisi

Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan gangguan nutrisi dan gangguan
pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu.
Dan jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequat. (Schrock, 1989).

APENDIKSITIS AKUT

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun (Kapita Selekta 2000)

Appendiks terletak di ileocaecum, pertemuan di 3 tinea (Tinea libera, tinea colica, dan tinea omentum). Bentuk
tabung panjang 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Memiliki beberapa jenis posisi yaitu:
1.Ileocecal
2.Antecaecal
3.Retrocaecal
4.Hepatica
5.Pelvica

Vaskularisasi dari appendiks: a. Appendicularis, cabang dari a. Iliocaecalis, cabang dari A. Mesentrika superior.
Inervasinya simpatis berasal dari N. Thoracalis 10 sedangkan parasimpatis : N. Vagus (C.10)

Apendiks memiliki topografi yaitu pangkal appendiks terletak pada titik Mc Burney.Garis Monroe : Garis antara
umbilicus dengan SIAS dekstra
Titik Mc Burney : 1/3 bagian dari SIAS dekstra pada garis Monroe
Titik Lanz : 1/6 bagian dari SIAS dekstra pada garis antara SIAS dekstra dan SIAS sinistra
Garis Munro : Pertemuan antara garis Monroe dengan garis parasagital dari pertengahan SIAS dekstra dengan
simfisis. (Schwartz 2000)

Etiologi
Penyumbatan lumen apendiks disebabkan oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya,cacing usus atau neoplasma. penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolityca. (Schwartz 2000)

Penyebab sumbatan 60% adalah hyperplasia kelenjar getah bening 35% disebabkan karena fekalith 4% oleh
benda asing (termasuk cacing) dan 1% oleh striktur lumen yang bisa disebabkan karsinoma (Aksara Medisina
1997)

Patofisiologi
Pada dasarnya appendicitis akut adalah suatu proses penyumbatan yang mengakibatkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. (De Jong
2005)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut. (Kapita Selekta 2000)
Setelah mukosa terkena kemudian serosa juga terinvasi sehingga akan merangsang peritoneum parietale
maka timbul nyeri somatic yang khas yaitu di sisi kanan bawah (titik Mc Burney). Titik Mc Burney terletak pada
1/3 lateral garis yang menghubungkan SIAS dan umbilicus. (Aksara Medisina 1997)
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi. (Kapita Selekta 2000)
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks sehingga melokalisasi daerah infalmasi yaitu dengan mengelompok dan memebentuk suatu infiltrate
apendiks dan disebut proses walling off. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
(Aksara Medisina 1997)
Pada orangtua kemungkinan terjadi perforasi lebih besar karena daya tahan tubuh sudah lemah dan telah ada
gangguan pembuluh darah. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. (Kapita Selekta 2000)

Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :

1.Sembuh
2.Kronik
3.Perforasi
4.Infiltrat

Manifestasi Klinik
Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan anorexia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5o C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi
perforasi
Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney,
nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler
Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung, nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsings Sign), nyeri
kanan bawah bila tekanandi sebelah kiri dilepaskan (Blumbergs Sign), nyeri kanan bawah bila peritoneum
bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batauk atau mengedan. (De Jong 2005)
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan.
Anak biasanya tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-
muntah dan anak menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan
terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga
lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan muntah. Yang perlu diperhatikan
adalah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan diperu kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (De Jong 2005)

Pemeriksaan Diagnosis

A. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
- tidak ditemukan gambaran spesifik.
- kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
- penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses periapendikuler.
- tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
2. Palpasi
- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
- defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
- pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
3. Perkusi
- terdapat nyeri ketok pekak hati (jika terjadi peritonotos pekak hati ini hilang karena bocoran usus maka
udara bocor)
4. Auskultasi
- sering normal
- peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata pada
keadaan lanjut
- bising usus tidak ada (karena peritonitis)
5. Rectal Toucher
- tonus musculus sfingter ani baik
- ampula kolaps
- nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00
- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
- pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunsi diagnosis dalah nyeri terbatas sewaktu
dilakukan colok dubur.
6. Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas mayor,
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
7. Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan
menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks.
8. Alvarado Score
Digunakan untuk menegakkan diagnosis sebagai appendisitis akut atau bukan, menjadi 3 symptom, 3 sign dan
2 laboratorium
Alvarado Score:
Appendicitis point pain : 2
Lekositosis : 2
Vomitus : 1
Anorexia : 1
Rebound Tendeness Fenomen : 1
Degree of Celcius (.>37,5) : 1
Observation of hemogram : 1
Abdominal migrate pain : 1 +
Total : 10

Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin


(De Jong 2005)

B. Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
- leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi.
- pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis. (www.medicastore.com 2003)

2. Radiologis
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya peritonitis) tampak:
- scoliosis ke kanan
- psoas shadow tak tampak
- bayangan gas usus kananbawah tak tampak
- garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
- Appendicogram hasil positif bila : non filling partial filling mouse tail cut off. (Aksara Medisina 1997)

b. . USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila
dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan
ektopik, adnecitis dan sebagainya. (www.jama.com 2001)

c.Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut memperlihatkan tidak adanya pengisian
apendiks dan efek massa pada tepi medial serta inferior dari seccum; pengisisan lengkap dari apendiks
menyingkirkan appendicitis. (Schwartz 2000)

d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari
appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix
dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat
melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendix.
(www.medicastore.com 2006)

Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis akut
Adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan ini muntah dan diare lebih sering.
Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak
jelas dan berpindah-pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung
akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.

2. Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada rupture tuba atau
abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis
dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan cavum
Douglas.

3. Adenitis Mesenterium
Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan apendisitis. Penyakit ini lebih sering
pada anak-anak, biasanya didahului infeksi saluran nafas. Lokasi neri diperut kanan bawah tidak konstan dan
menetap. (De Jong 2005)

Penatalaksanaan
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam
keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif
tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen
dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali pada apendisitis gangrenosa
atau apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses
atau perforasi.

2. Operasi
1.Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)
2.Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)
3.Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)
Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid

3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di dalam, syok,
hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posii Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam
tidak terjai gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi
atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30 menit. Pada hari
kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang. (www.kedokteranpacificinternet.com 1999)

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah peritonitis, abses subfrenikus, infiltrat dan fokal sepsis intraabdominal
lain.

Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orangtua. Kematian
biasanya berasal dari sepsis emboli paru atau aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum
rupture dan antibiotic yang lebih baik.

Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan
pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat
terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu
bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses
lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis
dan hernia.(Schwartz 2000)
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil.
Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada. (De
Jong 2005)

PANKREATITITS AKUT

Pankreatitis Akut (PA) adalah keadaaan dari pankreas dengan gejalanya yang khas yakni nyeri perut hebat yang
timbul tiba-tiba, dan peningkatan enzim amilase atau lipase. Perjalanan penyakitnya sangat bervariasi dari
yang ringan yang self limited sampai yang sangat berat disertai renjatan dengan gangguan ginjal dan paru-
paru yang berakibat fatal (1,2,3). Pankreatitis yang berat, enzim-enzim pankreas, bahan-bahan vasoaktif dan
bahan-bahan toksik lainnya keluar dari saluran-saluran pankreas dan masuk ke dalam ruang pararenal anterior
serta ruang-ruang lain seperti ruang-ruang pararenal posterior, lesser sac dan rongga peritoneum.
Bahan ini mengakibatkan iritasi kimiawi yang luas. Bahan-bahan tersebut memasuki sirkulasi umum melalui
saluran getah bening retroperitoneal dan jalur vena dan mengakibatkan berbagai penyulit sistemik seperti
gagal pernapasan, gagal ginjal dan kolaps kardio-vaskuler. Pankreatitis akut saat ini tidak jarang didapatkan di
bagian Ilmu Penyakit Dalam, sekali-kali ditemui di bagian bedah sewaktu laparatomi pasien dengan nyeri perut
hebat tanpa dugaan adanya pankreatitis akut sebelumnya. Pada saat laparatomi baru disadari bahwa sedang
dihadapi pasien pankreatitis akut karena didapatkan cairan intraabdominal berwarna merah anggur atau
didapatkan pankreas yang meradang.
Hal ini disebabkan anggapan masa lalu bahwa pankreatitis akut sangat sering ditemukan di Negara Barat
karena mereka adalah pengkonsumsi alkohol yang banyak dibandingkan di Indonesia yang sebagian besar
penduduknya beragama Islam sehingga konsumsi alkohol nihil atau sangat rendah. Selain itu juga pada masa
itu sebelum era USG, batu saluran empedu relatif jarang ditemukan di Indonesia sedangkan di negara barat
frekuensi-nya sangat sering.

KLASIFIKASI
Pankreatitis akut dibagi atas (The Second International Symposium on The Classification of Pancreatitis,
Marseille, 1980) :
1) Pankreatitis akut; fungsi pankreas normal kembali.
2) Pankreatitis kronik; terdapat sisa-sisa kerusakan yang permanen. Penyempurnaan klasifikasi dilakukan tahun
1992 dengan sistem klasifikasi yang lebih berorientasi klinis; antara lain diputuskan bahwa indikator beratnya
pankreatitis akut yang terpenting adalah adanya gagal organ yakni adanya renjatan, insufisiensi paru (PaO2 60
mmHg), gangguan ginjal (kreatinin > 2 mg/dl) dan perdarahan saluran makan bagian atas (> 500 ml/24 jam).
Adanya penyulit lokal seperti nekrosis, pseudokista atau abses harus dimasukkan sebagai komponen sekunder
dalam penentuan beratnya pankreatitis. Sebelum tumbulnya gagal organ atau nekrosis pankreas, terdapat 2
kriteria dini yang harus diukur yakni kriteria Ransom dan APACHE II. Pankreatitis interstitial dapat dibedakan
dari pankreatitis nekrosis dengan memakai incremental dynamic bolus computed tomography. Secara klinis
perbedaan ini penting karena pada umumnya pankreatitis nekrosis lebih berat dari pada pankreatitis interstitial
dengan mortalitas yang lebih tinggi.

KAUSA DAN INSIDEN PANKREATITIS AKUT


Bila di Negara Barat pankreatitis akut terbanyak didapatkan pada peminum alkohol dan batu empedu yakni
lebih dari 80% (3,5) maka pengalaman penullis sebagai kausa dari pankreatitis akut adalah sebagai berikut (6)
dari episode pankreatitis akut, batu bilier hanya 14,6%, penyakit infeksi (seperti tifus abdominalis, demam
berdarah, leptospirosis) 12,6% askaris 10,4%, hepatitis fulminan 2,1% dan sebagian besar yakni 58,3%
idiopatik yakni penyebabnya tidak diketahui. Di Negara Barat etiologi pankreatitis akut terutama adalah alkohol
(80-90%) pada pria dan batu empedu ( 75%) pada wanita (3,7), disusul penyebab yang tidak diketahui 25%
Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 31 (idiopatik, mikrolitiasis?).
Ketiga penyebab ini merupakan 90% penyebab pankreatitis akut; sisanya 10% adalah trauma pankreas (tumpul
atau tajam atau pasca bedah), tukak peptik yang menembus pankreas, obstruksi saluran pankreas oleh fibrosis
atau konkremen, penyakit-penyakit metabolik antara lain: hipertrigliseridemi, hiperkalsemia (sarkoidosis,
metas-tasis tulang, hiperparatiroidisme), diabetes, gagal ginjal, hemokromatosis, pankreatitis herediter, steroid,
dll), infeksi virus, penyakit vaskuler primer (misalnya SLE, periarteritis nodosa), akibat ERCR Di negara Barat
pankreatitis jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dan kebanyakan disebabkan oleh infeksi
(parotitis, infeksi parasit misalnya askaris, giardia, klonorkis), trauma tumpul abdomen, kelainan bilier bawaan
atau obat-obatan.(8) Jadi jelas bahwa pola penyebab sangat berbeda di barat yang didominasi oleh peminum
alkohol dan batu empedu sehingga pola penatalaksanaannya juga bisa berbeda.

PATOFISIOLOGI
Pankreatitis akut dimulai sebagai suatu proses autodigesti di dalam kelenjar akibat aktivasi prematur zimogen
(prekursor dari enzim digestif) dalam sel-sel sekretor pankreas (asinar), sistem saluran atau ruang interstisial.
(8,9) Patogenesis yang pasti tidak diketahui, tetapi dapat meliputi udem atau obstruksi dari ampula Vateri yang
mengakibatkan refluks isi duodenum atau cairan empedu ke dalam saluran pankreas atau trauma langsung
pada sel-sel asinar. Keadaan ini akan menyebabkan kerusakan sel-sel asinar dan nekrosis, udem dan inflamasi.
Selain aktivasi enzim digestif tersebut, stres oksidatif dan gangguan mikrosirkulasi juga merupakan kontributor
yang penting pada kerusakan pankreas.

KOMPLIKASI
Perluasan dari proses inflamasi keluar pankreas akan menimbulkan komplikasi-komplikasi setempat dan dapat
mengakibatkan berbagai penyulit sistemik seperti komplikasi kardiovaskuler (hipovolemia, syok), ginjal (gagal
ginjal), hematologi (DIC, trombosis), paru (ARDS, gagal paru), metabolik (hipokalsemia, hiperglikemia,
hipertrigliseridemi, asidosis metabolik), perdarahan gastrointestinal. Pada 75% pasien, proses inflamasi
terbatas pada pankreas dan jaringan peripankreatik dan sembuh spontan dalam beberapa hari sampai 1
minggu. Pada 25% kasus perjalanan penyakitnya berat dengan komplikasi lokal dan sistemik serta risiko
kematian. Angka mortalitas secara keseluruhan 5-10%.

PATOLOGI
Terdapat dua bentuk anatomi utama yakni pankreatitis akut interstitial dan pankreatitis akut tipe nekrosis
hemoragik. Manifestasi klinisnya dapat sama, pada bentuk kedua lebih sering fatal.

1) Pankreatitis interstitial
Secara makroskopik pankreas membengkak secara difus dan tampak pucat. Tidak didapatkan perdarahan atau
nekrosis, atau bila ada minim sekali.
2) Pankreatitis tipe nekrosis hemoragik
Tampak nekrosis jaringan pankreas disertai dengan perdarahan dan inflamasi.
GEJALA KLINIS
Keluhan yang sangat menyolok adalah rasa nyeri yang timbul tiba-tiba, intens, terus menerus dan makin lama
makin bertambah; lokasinya kebanyakan di epigastrium, dapat menjalar ke punggung, kadang-kadang ke perut
bagian bawah, nyeri berlanngsung beberapa hari. Gejala lain yakni mual, muntah-muntah dan demam. Pada
pemeriksaan jasmani didapatkan nyeri tekan di perut bagian atas, tanda-tanda peritonitis lokal, kadang-kadang
bahkan peritonitis umum.
Kelainan laboratorium yang penting untuk diagnosis pankreatitis akut adalah kenaikan enzim amilase dan atau
lipase setidaknya 3 x nilai normal tertinggi. Selain itu didapatkan lekositosis, fungsi hati dapat terganggu serta
ditemukan hiperglikemia, hipokalsemia dan penurunan kolesterol. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman
penulis, didapat kesan bahwa pankreatitis akut yang ditemukan yang didapatkan di Indonesia jauh lebih ringan
daripada di barat. Tidak jarang dalam beberapa hari gejala-gejala mereda walau terapi tidak memadai karena
didiagnosis sebagai gastritis.

DIAGNOSIS & PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada setiap pasien dengan nyeri perut bagian atas yang hebat timbul tiba-tiba, perlu dipikirkan kemungkinan
pankreatitis akut. Kriteria adanya pankreatitis akut adalah sebagai berikut
1) Kenaikan kadar amilase serum atau urin atau kadar lipase dalam serum sedikitnya tiga kali harga normal
tertinggi.
2) Atau penemuan ultrasonografi yang sesuai dengan pankreatitis akut.
3) Atau penemuan operasi/autopsi yang sesuai dengan pankreatitis akut.
Peningkatan amilase atau lipase serum merupakan kunci untuk diagnosis. Peningkatan amilase mencapai
maksimum dalam 24-36 jam, kemudian menurun dalam 48-72 jam. peningkatan lipase berlangsung lebih lama
yakni 5-10 hari. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjukkan pembengkakan pankreas setempat atau difus
dengan ekhoparenkim yang berkurang, pseudokista di dalam atau di luar pankreas.
Ultrasonografi juga sangat berguna untuk menilai saluran empedu. Adanya batu di kandung empedu dan
duktus koledokus yang melebar mencurigakan adanya pankreatitis bilier dna merupakan indikasi untuk
melakukan ERCP dini dan, sfingterotomi. Namun ultrasonografi memiliki keterbatasan-keterbatasan yakni
pankreas sukar dilihat dengan baik karena adanya gas dalam usus (meteorisme) ileus paralitik, atau adanya
obsesitas, dan pada sebagian pasien (33%) pankreas masih normal.

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit lain yang memberikan gejala nyeri perut bagian atas yang hebat yang perlu dipikirkan adalah kolik
batu empedu, kolesisitas akut, kolangitis, gastritis akut, tukak peptik dengan atau tanpa perforasi, infark
mesenterial, aneurisma aorta yang pecah, pneumoni bagian basal, obstruksi usus yang akut dengan
strangulasi, infark miokard dinding inferior. Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 200Dengan sarana penunjang
seperti ultrasonografi abdomen, endoskopi saluran cerna, CT Scan abdomen, foto toraks, EKG, dan
laboratorium terutama tes fungsi hati seperti bilirubin, Gama GT, SGOT/SGPT tidaklah terlalu sulit untuk
menyingkirkan penyakit-penyakit tersebut di atas.

PENYULIT
Penyulit terutama terjadi pada pankreatitis akut tipe hemoragik nekrosis. Penyulit lokal dapat sebagai
pembentukan pseudokista, abses, penjalaran peradangan yang bersifat hemoragik, nekrosis organ-organ
disekitar, pembentukan fistel, asites dengan kadar amilase yang tinggi, ulkus duodenum dan ikterus obstruksi.
Penyulit berjarak jauh dapat timbul seperti sepsis, penyulit paru berupa eksudat pleura, atelektasis, pneumoni,
gangguan pernapasan, kardiovaskuler seperti eksudat perikard, DIC, tromboflebitis, perubahan gastrointestinal
berupa nekrosis dinding duodenum/kolon, perdarahan pankreas, trombosis vena porta dengan perdarahan
varises, komplikasi ginjal seperti gagal ginjal akut, komplikasi metabolik antara lain hiperglikemia, ketoasidosis,
hipokalsemia, hiperlipidemia.

PROGNOSTIKASI PANKREATITIS AKUT


Di negara Barat spektrum klinis pankreatitis akut terentang dari yang ringan/self limiting sampai ke penyakit
yang fulminan, cepat membawa kematian yang refrakter terhadap setiap pengobatan. Keadaan ini menuntut
identifikasi dini pasien yang memiliki resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi-komplikasi yang mengancam
jiwa, sehingga dapat diambil tindakan yang tepat. Kriteria Ranson pada umumnya dipakai untuk menilai
beratnya pankreatitis akut. Bila tiga atau lebih paremeter ditemukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit,
suatu pankreatitis akut berat yang disertai komplikasi nekrosis pankreas dapat diprediksi akan muncul :
1) Usia > 55 tahun.
2) Lekosit > 16.000/ml.
3) Gula darah > 200 mg%.
4) Defisit basa > 4 mEq/1.
5) LDH serum > 350 UI/I
6) AST > 250 UI/I.
Timbulnya keadaan-keadaan dibawah ini dalam 48 jam pertama menunjukkan prognosis yang memburuk.
1) Hematokrit menurun > 10%.
2) BUN meningkat > 5 mg%.
3) PO2 < 60 mmHg.
4) Kalsium serum < 8 mg%.
5) Sekuestrasi cairan > 61.
Adapun penggunaan kriteria ini di Indonesia masih perlu diuji mengingat kausa dan gambaran klinik
pankreatitis akut disini berbeda sekali dengan di negara barat.

L. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah menghentikan proses peradangan dan antodigesti atau menstabilkan sedikitnya
keadaan klinis sehingga memberi kesempatan resolusi penyakit tersebut. Pada bagian besar kasus 90% cara
konservatif ini berhasil baik dan pada sebagian kecil ( 10%) masih terjadi kematian. Pada pankreatitis bilier
bila ada batu saluran empedu atau askaris di dalam duktus koledokus atau duktus pankreatikus, harus segera
dikeluarkan. Tindakan konservatif yang merupakan terapi standar pankreatitis akut pada stadia apa saja terdiri
atas:
1) Pemberian analgesik yang kuat seperti petidin beberapa kali sehari, morfin tidak dianjurkan. Dapat juga
diberikan pentazosin.
2) Puasa total dan pemberian nutrisi parenteral untuk mengistirahatkan pankreas.
3) Pada pasien yang berat dilakukan penghisapan cairan lambung untuk mengurangi penglepasan gastrin dan
mengurangi rangsangan pada pankreas; serta berguna untuk dekompresi bila terdapat ileus paralitik.
Pemakaian antikolinergik, antasid, penghambat reseptor H2, penghambat pompa proton diragukan khasiatnya;
obat-obat tersebut seringkali dipakai secara berlebihan; antikolinergik dapat menambah ileus yang ada,
penghambat reseptor H2 dan penghambat pompa proton harganya cukup mahal, terutama yang parenteral.
Demikian pula Aprotinin (Trasylol) untuk menghambat trypsin tidak berguna di samping harganya sangat
mahal. Pedoman tersebut di atas no. 1, 2 dan 3 cukup adekuat pada sebagian besar kasus. Pemberian antasida
atau penghambat reseptor H2 dapat dipertimbangkan bila pada anamnesis didapatkan riwayat dispepsi
sehingga dikhawatirkan puasa total dapat memicu dispepsinya. Demikian pula dengan pemberian antibiotika,
tidak rutin walau pada pasien pankreatitis akut sebagian besar terdapat demam yakni hanya bila terdapat
demam tinggi lebih dari 3 hari atau bila pankreatitis akutnya disebabkan oleh batu empedu atau bila terdapat
pankreatitis akut yang berat. Pedoman ini cukup baik dan sesuai untuk Indonesia, apalagi dengan kenyataan
bahwa pankreatitis akut di sini lebih ringan daripada di Barat.
Pada pankreatitis akut yang berat selain pedoman tersebut ditambahkan tindakan sebagai berikut :
1) Pindahkan ke Unit Perawatan Intensif (ICU)
2) Perawatan pernapasan
3) Terapi infeksi
4) Atasi gangguan metabolik
5) Dukungan gizi parenteral total yang memadai
Pasien dapat mulai diberi nutrisi oral; pada prinsipnya bila pankreas sudah tenang. realimentasi oral dapat
pelahan-lahan dimulai dengan minum air putih, sedikit makanan cair, kemudian makan makin ditingkatkan.
Yang penting adalah bahwa makanan ini tanpa lemak untuk menghindari rangsangan pada pankreas. Sebagai
pegangan bahwa pankreas telah tenang yakni :
1) Amilase-lipase telah kembali normal, enzim diperiksa tiap 3 hari.
2) Nyeri hilang.
3) Panas sudah turun.
Bila nyeri timbul lagi atau demam meningkat lagi atau enzim tersebut meningkat, dimulai lagi puasa total,
demikian dan seterusnya kembali ke terapi dasar di atas.

TINDAKAN BEDAH
Penatalaksanaan standar adalah analgesik kuat, puasa total dan nutrisi parenteral. Bila tidak mereda dalam
beberapa hari dapat dilanjutkan dengan tahap kedua yakni pemberian antibiotika dan seterusnya. Bila nyeri
menghilang atau amilase/lipase darah dan/atau demam menurun, dapat pelahan-lahan dimulai realimentasi
oral. Pada umumnya tidak dilakukan eksplorasi bedah kecuali pada kasus-kasus berat dimana didapatkan :
1) Perburukan sirkulasi dan fungsi paru sesudah beberapa hari terapi intensif.
2) Pasien pankreatitis akut hemoragik nekrosis yang disertai renjatan yang sukar.
3) Timbulnya sepsis.
4) Gangguan fungsi ginjal.
5) Perdarahan intestinal yang berat.
6) Pembentukan abses, pseudokista, fistel.

KOLESTISTITIS AKUT
Kolesistitis akut/ radang kandung empedu akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. B.

ETILOGI DAN PATOFISIOLOGI


Factor yang mempengaruhi terjadinya kolesistitis akut adalah stasis cairan kandung empedu, infeksi kuman
dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kosistitis adalah kolelitiasis( 90% ) yang terletak di
duktus sistikus yang memyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa
dadanya batu kandung empedu( kolesistitis akut akalkulus ). Penyebab pasti terjadinya kolesistitis akut belum
di ketahui secara pasti, namun di perkirakan banyak factor yang berpengaruh sepaerti kepekatan cairan
empedu, kolesterol,lisolesitin, dan prostanglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu
diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Kolesistitis akut akalkulus biasanya muncul pada apsien yang yang
dirawat cukup lama dan memdapatkan nutrisi parentera, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu,
batu disaluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes
mellitus. C.

GEJALA KLINIS
Keluhan yang khas pada kolesistitis akut adalah sebagai berikut:
- Kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium
- Nyeri tekan
- Kenaikan suhu tubuh/demamkadang-kadang rasa sakit ini menjalar ke pundak atau scapula kanan dan
berlangsung selama 60 menit tanpa reda
- Berat ringan keluhan sangat bergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangrene
atau perforasi kandung empedu
- Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis
local( Murphy sign + )
- Ikterus dialami pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan. Bila bilirubin terlalu tinggi perlu dicurigai adanya
batu di saluran ekstra hepatic
- Pemriksaan fisik memperlihatkan adanya leukositosis dan peningkatan serum transaminase dan fosfatase
alkali
- Bila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil sertya leukositosis berat kemungkinan
terjadi empiema dan perforasi kandung empedu.

FAKTOR RISIKO
Factor risiko terjadinya kolesistitis akut adalah sebagai berikut:
- Perempuan
- Subur
- Gemuk
- Usia >40 tahun
- Hiperlidemia
- Dismotilitas kandung empedu
- Nutrisi IV jangka panjang
- Pengosongan lambung yang memanjang

DIAGNOSIS
Foto polos abdomen tidak bisa menggambarkan kolesistitis akut, hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat
terlihat batu tidak tembus pandang/ radiopak karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistogaram tidak
bisa memperlihatkan kandung empedu bila terjadi obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk
kolesistitis akut. Pemeriksaan usg sebaiknya dilakukan secara rutin dan bermanfaat untuk memperlihatakan
besar, bentuk, penebalan didnidng kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatic. Nilai kepekaan
dan ketepatan USG mencapai 90-95%. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau
99n Tc6iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah terdapat
gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
sangat menyokong kolesistitis akut. Pemeriksaan CT-Scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolestitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan
USG.

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba perlu dipikirkan seperti perjalaran nyeri sraf
spinal, kelainan organ dibawah diafragma seperti apendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
pepticum, pancreatitis akut dan infark miokard.

PENGOBATAN
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa
nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pasa fase awal sangat penting untuk mencegah
komplikasi peritonitis, kolangitis, da septisemia. Golongan ampisilin sefalosporin dan metronidazol cukup
memadai mematikan kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E. coli, Strep. Faecalis dan klebsiella.
Kolesistektomi sampai sekarang masih diperdebatkan apakah dilakukan secepatnya(3 hari) atau ditunggu 6-8
minggu setelah dilakukan terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus
membaik tanpa tiondakan pembedahan. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomilaparoskopik
ini sekalipun invasive tapi mempunyai kelebihan seperti menguirangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan
angka kematian, secara koosmetik lebih baik,memperpendek lama perawatan di RS dan mempercepat aktivitas
pasien. G.

PROGNOSIS
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kkandung empedu menebal, fibrotic,penuh
dengan batu dan selakipun tidak berfungsi lagi. Bisa juga terjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis
akut cepat berkembang menjadi gangraen, empiema, perforasi kandung empedu, fisitel, abses hati atau
peritonitis secara umum.

HERNIA INCARCERATA
Terapi umumnya, ialah terapi operatif merupakan terapi satu-satunya yang rasional. Usia lanjut tidak
merupakan kontraindikasi operasi elektif. Bila penderita hernia inkarserata tidak menunjukan gejala sistemik,
dapat dicoba melakukan reposisi postural. Jika usaha reposisi berhasil, dapat dilakukan operasi herniorafi elektif
setelah 24-48 jam setelahn udem jaringan hilang dan keadaan umum pasien sudah lebih baik.

Pada hernia inkarserata, apalagi pada hernia strangulata, kemungkinan pulihnya isi hernia harus dinilai saat
operasi. Bila isi hernia sudah nekrotik, dilakukan reseksi. Kalau ketika operasi dinilai bahwa daya pulih isi hernia
diragukan, diberikan kompres hangat dan setelah lima menit dievalusasi kembali warna, peristaltis, dan pulsasi
arteri arkuata pada usus. Jika operasi dinding perut kurang kuat, yang memang terjadi pada hernia direk,
sebaiknya digunakkan mesh untuk menguatkan dinding perut setempat.

1. Konservatif
a. Reposisi (memasukkan hernia ke tempat semula)
Hanya dapat dilakukan pada hernia reponibel dengan menggunakan kedua tangan. Tangan yang satu
melebarkan leher hernia sedangkan tangan yang kedua memasukkan isi hernia melalui leher hernia tadi.

b. Sabuk hernia
1. Diberikan pada pasien yang menolak operasi
2. Bentuk sabuk seperti kepala ular diletakkan tepat di pintu hernia
3. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama berdefek tidak baik yaitu menyebabkan pintu hernia semakin
lebar dan pemakaian yang tidak puas.
4. Pemakaian sabuk sebaiknya setelah reposisi berhasil.
2. Pre-operatif
Tindakan segera yang dapat dilakukan pada pre-operatif, ialah;
1. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit/asam-basa segera dilakukan.
2. Pemasangan kateter urine, tekanan vena sentral (CVP) dipasang sebagai pemantau.
3. Pemasangan pipa lambung sangat membantu mengurangi tekanan intra- abdominal yang menekan
diafragma, sehingga menggangu pernafasan. Pipa lambung juga untuk mencegah muntahan yang dapat
menjadi aspirasi.

3. Operatif
Operatif merupakan penanganan hernia yang paling baik dan dapat dilakukan pada semua jenis hernia baik
reponibel, ireponibel, strangulasi maupun inkarserata.

Jenis Terapi
1. Herniotomy : tindakan mulai dari membuka kulit, membuka dan memotong kantong hernia serta
mengembalikan isi hernia ke cavum abdominal.
2. Herniography : tindakan mulai dari mengikat pintu hernia dan mengaitkan pintu hernia tadi pada conjoint
tendo.
3. Hernioplasty : merapatkan conjoint tendo ke ligamentum inguinale dan mengaitkan kedua struktur tadi.
Maksudnya adalah LMR hilang/tertutup dan dinding perut menjadi lebih kuat.

Berdasarkan pendekatan operasi, banyak teknik herniorraphy dapat diklompokkan dalam 4


kategori utama :
Kelompok 1: Open Anterior Repair
Kelompok 1 operasi hernia (teknik Bassini, McVay dan Shouldice) melibatkan pembukaan aponeurosis otot
obliquus abdomins ekternus dan membebaskan funikulus spermatikus. fascia transversalis kemudian dibuka,
dilakukan inspeksi kanalis spinalis, celah direct dan indirect. Kantung hernia biasanya diligasi dan dasar kanalis
spinalis di rekonstruksi.

Teknik Bassini
Komponen utama dari teknik bassini adalah
Membelah aponeurosis otot obliquus abdominis eksternus dikanalis ingunalis hingga ke cincin ekternal
Memisahkan otot kremaster dengan cara reseksi untuk mencari hernia indirect sekaligus menginspeksi dasar
dari kanalis inguinal untuk mencari hernia direct.
Memisahkan bagian dasar atau dinding posterior kanalis inguinalis (fascia transversalis)
Melakukan ligasi kantung hernia seproksimal mungkin
Rekonstuksi didinding posterior dengan menjahit fascia tranfersalis, otot transversalis abdominis dan otot
abdominis internus ke ligamentum inguinalis lateral.

Mc Vay open Anterior


Teknik kelompok ini berbeda dalam pendekatan mereka dalam rekontruksi, tetapi semuanya menggunakan
jahitan permanen untuk mengikat fascia disekitarnya dan memperbaiki dasar dari kanalis inguinalis,
kelemahannya yaitu tegangan yang tejadi akibat jahitan tersebut, selain dapat menimbulkan nyeri juga dapat
terjadi neckosis otot yang akan menyebakan jahitan terlepas dan mengakibatkan
kekambuhan.

Kelompok 2: Open Posterior Repair


Posterior repair (iliopubic tract repair dan teknik Nyhus) dilakukan dengan membelah lapisan dinding abdomen
superior hingga ke cincin luar dan masuk ke properitoneal space. Diseksi kemudian diperdalam kesemua bagian
kanalis inguinalis. Perbedaan utama antara teknik ini dan teknik open anterior adakah rekonrtuksi dilakukan
dari bagian dalam. Posterior repair sering digunakan pada hernia dengan kekambuhan karena menghindari
jaringan parut dari operasi sebelumnya. Operasi ini biasanya dilakukan dengan anastesi regional atau anastesi
umum.

Kelompok 3: Tension-Free Repair With Mesh


Kelompok 3 operasi hernia (teknik Lichtenstein dan Rutkow ) menggunakan pendekatan awal yang sama degan
teknik open anterior. Akan tetapi tidak menjahit lapisan fascia untuk memperbaiki defek , tetapi menempatkan
sebuah prostesis, mesh yang tidak diserap. Mesh ini dapat memperbaiki defek hernia tanpa menimbulkan
tegangan dan ditempatkan disekitar fascia. Hasil yang baik diperoleh dengan teknik
ini dan angka kekambuhan dilaporkan kurang dari 1 persen.

Open mesh repair


Beberapa ahli bedah meragukan keamanan jangka panjang penggunaan implant prosthesis, khususnya
kemungkinan infeksi atau penolakan. Akan tetapi pengalaman yang luas dengan mesh hernia telah mulai
menghilangkan anggapan ini, dan teknik ini terus populer.Teknik ini dapat dilakukan dengan anastesi local,
regional atau general.

Kelompok 4: Laparoskopic
Operasi hernia Laparoscopic makin populer dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga menimbulkan
kontroversi. Pada awal pengembangan teknik ini, hernia diperbaiki dengan menempatkanpotongan mesh yang
besar di region inguinal diatas peritoneum.
Teknik ini ditinggalkan karena potensi obstruksi usus halus dan pembentuka fistel karena paparan usus
terhadap mesh. Saat ini kebanyakan teknik laparoscopic herniorrhaphies dilakukan menggunakan salah satu
pendekatan transabdominal preperitoneal (TAPP) atau total extraperitoneal (TEP) . pendekatan TAPP dilakukan
dengan meletakkan trokar laparoscopic dalam cavum abdomendan memperbaiki region inguinal dari dalam. Ini
memungkinkan mesh diletakkan dan kemudian ditutupi dengan peritoneum.sedangkan pendekatan TAPP
adalah prosedur laparoskopic langsung yang mengharuskan masuk ke cavum peritoneal untuk diseksi.
Konsekuensinya, usus atau pembuluh darah bisa cidera selama operasi.

TRAUMA ABDOMEN
Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera.
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1. Kontusio dinding abdomen ,disebabkan oleh trauma tumpul . Kontusio dinding abdomen tidak terdapat
cedera abdomen , tetapi trauma tumpul pada abdomen dapat terjadi karena kecelakaan motor , jatuh, atau
pukulan.
2. Laserasi , merupakan trauma tembus abdomen yang disebabkan oleh luka tembakan atau luka tusuk yang
bersifat serius dan biasanya memerlukan pembedahan. Hampir semua luka tembak membutuhkan bedah
ekspolarasi, luka tusuk mungkin lebih ditangani secara konservatif.

Trauma abdomen adalah terjadinya cedera atau kerusakan pada organ abdomen yang menyebabkan
perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme , kelainan imunologi dan gangguan faal berbagai
organ.

Etiologi
Penyebab trauma abdomen antara lain :
trauma, iritasi , infeksi,obstruksi dan operasi .
Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan trauma tembus biasanya tikaman atau tembakan
dan trauma tumpul akibat kecelakaan mobil,pukulan langsung atau jatuh..
Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera eksterna yang mengancam nyawa

Patofisiologi
Trauma abdomen terjadi karena trauma ,infeksi ,iritasi dan obstruksi. Kemungkinan bila terjadi perdarahan intra
abdomen yang serius pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah
merah dan akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka
tanda tanda perforasi ,tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen
tersebut meliputi nyeri tekan , nyeri spontan ,nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah
terjadi peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami tatikardi dan peningkatan suhu tubuh ,
juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda tanda peritonitis belum tampak .Pada fase awal perforasi kecil
hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul .
Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk kerongga abdomen , maka operasi harus dilakukan

Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen :

Perporasi
Gejala perangsangan perotonium yang terjadi dapat di sebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila
perporasi terjadi di bagian atas, misalanya lambung terjadi perangsangan oleh zat kimia segera sesudah truma
dan timbul gejala pritonitis hebat. Bila perporasi terjadi di bagian bawah seperti kolon mula-mula timbul gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru seteloah 24 jam timbul gejal-gejala
akut abdomen karena perangsangan peritonum. Mengingat kolon tempat terakhirnya menghasilkan feces,
maka jika kolon terluka dan mengalami perporasi perlu melakukan pembedahan,peritonium akan
terkontaminasi bakteri dan feces. Hal ini mengakibatkan peritonitis lebih berat.

Pendarahan
Setiap trauma abdomen (truma tumpul, tajam, dan tembak) dapat menimbulkan pendarahan. Yang paling
banyak terkenan robekan pada truma adalah alat prenkim, mesenteriumdan ligamenta, sedangkan sedangkan
alat-alat trktusdigestivus pada trauma tumpul bisa terhindar. Diagnostik pada trauma tumpul lebih sulit di
bandingkn pada taruma tajam,lebih-lebih pada tatap permulaan. Penting sekali untuk menentukan secepatnya,
apakah ada pendarahan dan tindakan harus segera dilakukan untuk menghentikan pendarahan tersebut.
Contohnya trauma tumpul yang menimbulkan pendarahan dari limpah. Dalam tahap pertama darah akan
berkumpul sakus leanalis, sehingga tanda-tanda umum perabgsangan peritonial belum ada sama sekali. Dalam
hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa robek (rupuk lienalis).

Adanya bekas jejas dalam trauma limpah


Gerakan pernapasan di epigastrium kiri berkurang
Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9-10 garis aksiler depan kiri.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis trauma abdomen dapat meliputi :
nyeri (khususnya karenagerakan)
nyeri tekan dan lepas(mungkin menandakan iritasi peritonium karena
cairan gastrointestinal atau darah)
distensi abdomen
demam
anoreksia
mual dan muntah
tatikardi
peningkatan suhu tubuh

TANDA DAN GEJALA TRAUMA ABDOMEN


Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga Peritoneum) :
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel

Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).


1. Kehilangan darah.
2. Memar/jejas pada dinding perut.
3. Kerusakan organ-organ.
4. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan dinding perut
5. Iritasi cairan usus

KONSEP KEPERAWATAN TRAUMA ABDOMEN


PENGKAJIAN
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma Tembus abdomen
Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan)
Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya
bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan
laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen,
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien
2. Trauma tumpul abdomen
Dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
Metode cedera.
Waktu awitan gejala.
Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas .Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang
digunakan.
Waktu makan atau minum terakhir.
Kecenderungan perdarahan.
Penyakit danmedikasi terbaru.
Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
Alergi.
Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam
kehidupan.

PENATALAKSANAAN
1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan pendarahan secepatnya. Jika penderita dalam keadaan
syok tidak boleh dilakukan tindakan selain tindakan syok operasi.
2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma tumpul bila ada persangkaan
perlakuan intestinal.
3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukan tindakan laparatomi eksplorasi bila ternyata peitonium robek.
Luka karena benda tajam yang dangkal hendaknya di eksplorasi dengan memakai anastesi local, bila rektus
posterior tidak sobek, maka tidak diperlukan laparatomi.
4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya pendarahan hebat yang meragukan kestabilan
sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan pembedahan.
5. Laparatomi
Prioritas utama dalah menghentikan pendarahan yang berlansung.
Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan bagian usus yang terperforasi
dengan mengklem setelah pendarahan teratasi
Melalui ekpolarasi yang seksama amati dan teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban trauma khusus
memerlukan pengamatan khusus terhadap kemungkinann perlakuan pada pancreas dan duodenum.
Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas atau berpulsasi tidak boleh dibuka
Perlakuaan khusus perlu terapi
Rongga peritoneal harus di cuci dengan larutan garam fisiologis sebelum di tutup
Kulit dan lemak subcutan di biarakan terbuka bila ditemukan kontaminasi fekal, penutup primer yang
terlambat akan terjadi dalam waktu 4-5 hari kemudian.

EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

Anda mungkin juga menyukai