Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG


Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) adalah
infeksi yang membawa masalah besar bagi negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Laporan mengenai infeksi HIV/AIDS telah datang dari seluruh negara di dunia, sehingga tidak
ada satu negarapun yang bebas dari masalah HIV/AIDS ini.1
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara
di seluruh dunia. Jumlah kumulatif kasus AIDS pda juni 2013 sebanyak 43.667 kasus. Saat ini
tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS.1
Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari
beberapa literature sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi surveilans AIDS
pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan
secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda
di Bali. Kasus HIV/AIDS ini kini semakin meluas dan menyerang berbagai lapisan dan strata
sosial.2
Dengan perkembangan penyakit yang sedemikian pesatnya AIDS telah menjadi salah satu
infeksi menular pembunuh terbesar di dunia. Pada saat penyakit ini pertama kali ditemukan,
HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi mereka yang terinfeksi, namun sejak itu telah
banyak perrkembangan di bidang medis yang memberikan harapan hidup yang lebih baik bagi
penderitanya.

I.2. TUJUAN
Mengetahui mengenai infeksi HIV/AIDS secara definisi, epidemiologi, etiologi, gejala
dan tanda klinis yang terkait, pemeriksaan yang dilakukan, dasar penegakkan diagnosis,
tatalaksana, serta prognosis pasien anak dengan infeksi HIV/AIDS.

1
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Defnisi

HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akubat infeksi HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.2

II.2 Epidemiologi

Di Indonesia, kasus-kasus AIDS baru mulai ditemukan pada tahun 1985, namun
jumlahnya tidak banyak, kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan secara resmi
oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1987 pada seorang warga negara Belanda di Bali. Tetapi
baru sejak tahun 1999 kasus HIV mulai meningkat dan peningkatan tajam jumlah kasus ini
terlihat pada para pengguna jarum suntik.3 Pada tahun 2009 sebesar 3863 kasus dan pada tahun
2010 sebesar 4158 kasus.3 Perkiraan jumlah anak yang terinfeksi setiap tahun diproyeksikan
meningkat dari 1070 pada tahun 2008 dan menjadi 1590 pada tahun 2014.1

II.3 Etiologi

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV) merupakan suatu virus RNA dari family Retrovirus dan subfamily Lentiviridae. Dikenal 2
serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2
(LAV-2). HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang tersering. HIV-1

2
menyebabkan 99% dari semua kasus manusia, sedangkan HIV-2 yang kurang virulen,
menyebabkan 1 sampai 9 persentase dari kasus di Afrika dan jarang di United States.2

HIV, merupakan virus yang mempunyai kemampuan untuk membentuk DNA dari RNA
dengan adanya enzim reverse transcriptase. RNA virus digunakan sebagai template untuk
membentuk DNA dengan menggunakan enzim ini dan kemudian berintegrasi ke dalam
kromosom penjamu dan selanjutnya bekerja sebagai dasar untuk proses replikasi HIV.

Virus ini menyebar ke manusia dalam salah satu cara yang berikut :

Melalui kontak seksual termasuk oral, vagina, dan seks anal

Melalui darah melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang berulang
pada pasien yang berbeda.

Dari ibu ke anak Seseorang wanita hamil dapat menyebarkan virus ke janinnya
melalui peredaran darah bersama (shared) mereka atau dengan menyusui ASI.2

II.5 Patofisologi Infeksi HIV


Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun
akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. Human Imunodeficiency Virus menginfeksi
sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ
limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai
stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan
antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita
mudah terinfeksi.2
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik,
kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel

3
limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.,
setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4
pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV.2
Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai
limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa.
HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon
dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV, ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6
minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome
(demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Respon imun
humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara
substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang
meningkat sedikit.4
Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada
anak. Tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk sequence asam nukleat dari virus
(1). Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar CD4 pada orang
dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-mediated single cell killing,
formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik yang terinfeksi maunpun yang tidak (formasi
syncytia), respon imun spesifik untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluer tergantung
antibodi), aktivasi mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV),
autoimun dan apoptosis.5
Tiga pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang
terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan
gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup
ialah 9 bulan jika tidak diobati. Negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami
perjalanan penyakit seperti ini. Infeksi intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat
CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan
timus akan menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang
imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang
mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan
hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti

4
ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan
(750000 kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa, muatan virus
pada anak-anak tetap tinggi selama 1-2 tahun pertama.4
Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola
penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan
median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur
yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang
terinfeksi intrapartum. Pada pasien bayi jumlah virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3
bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24
bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah
infeksi primer.2
Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai bukti
hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi. Respon ini
memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis antibodi sel B dan peningkatan
jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel limfosit B. Disregulasi dari sel B mendahului
berkurangnya CD4 pada kebanyaka anak, dan dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi
HIV pengganti bila tes diagnosis spesifik (PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal, meskipun
peningkatan kadar imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi spesifik tidak muncul pada
beberapa anak. Hipogamaglobulinemia sangat jarang ditemukan.2
Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan
orang dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting dalam dalam
neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat berpengaruh. Meskipun
mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas, pertumbuhan otak pada bayi muda
dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu sendiri yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel
otak secara langsung ,atau secara tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1,
IL-1, TNF- , IL-2) atau oksigen reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV.4
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut Sindrom retroviral akut atau
Acute Retroviral Syndrome. Sindrom retroviral akut diikuti oleh penurunan CD4 dan peningkatan
kadar RNA HIV dalam plasma (viral load). Kadar CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam
beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun sebelum pasien
jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan

5
kemudian turun sampai titik tertentu. Pada infeksi lanjut, viral load secara perlahan akan
meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan hitung sel CD4 <200/mm 3, diikuti
timbulnya infeksi opportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun, dan
munculnya komplikasi neurologis.4

II.6 Faktor Risiko


1. Ibu berisiko tinggi
Setiap bayi yang lahir dari ibu yang berisiko tinggi, sangat berisiko. Ibu berisiko
tinggi termasuk pengguna intravena narkoba, penderita hemofilia, pasangan laki-laki
biseksual, dan pasangan dari penderita hemofilia. Ada beberapa mekanisme untuk
transmisi virus termasuk keadaan penyakit ibu, paparan janin pada cairan tubuh ibu yang
terinfeksi, respon imun ibu yang menurun, dan pemberian ASI. Risiko penularan
tampaknya lebih besar jika jumlah CD4 ibu berkurang, atau ada peningkatan beban virus
(p24 antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Jumlah virus maternal dapat
memprediksi transmisinya lebih baik daripada indikator klinis atau imunologi. Rute yang
bakal menyebabkan infeksi termasuk, campuran darah ibu dan janin dan infeksi di
seluruh plasenta ketika intergriti yang terganggu contohnya, plasentitis (sifilitik) dan
khorioamnionitis. Peningkatan risiko penularan vertikal telah berkorelasi dengan durasi
peningkatan pecahnya ketuban sebelum melahirkan.4,5

2. Transfusi Darah
Skrining donor darah telah membantu mengurangi tetapi belum sepenuhnya
dihilangkan risiko karena orang-orang yang baru terinfeksi, viremic tapi seronegatif
selama 2-4 bulan dan juga karena dari beberapa orang yang terinfeksi, sebanyak 5 sampai
15 persentase adalah seronegatif. Risiko penularan HIV saat ini per unit transfusi adalah
1 dalam 225,000.5

3. Pemberian ASI

6
ASI adalah cara penularan HIV yang utama pasca kelahiran untuk bayi. RNA dan
DNA provirus HIV-1 telah terdeteksi di sel ASI. Viral load dalam kolostrum tampaknya
sangat tinggi. Risiko tertinggi dari ASI adalah ketika infeksi primer ibu terjadi dalam
beberapa bulan pertama setelah dilahirkan.1

4. Anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual5

5. Anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan5

Tabel1. Faktor Resiko

Faktor
Faktor Ibu Faktor Bayi/Anak Tindakan Obstetrik

Ibu baru terinfeksi Bayi yang lahir Jenis persalinan


HIV prematur dan (persalinan per
vaginam)
Ibu menderita infeksi memiliki berat
virus, bakteri, parasit badan lahir rendah Ibu mengalami
(seperti malaria) Pemberian ASI pecah ketuban
lebih dari 4 jam
Ibu menderita infeksi dalam periode Sebelum
yang lama Persalinan
menular seksual
(IMS), terutama Pemberian
Terdapat tindakan
sifilis. makanan
campuran (mixed medis yang dapat
Ibu menderita Meningkatkan
feeding) kontak antara
kekurangan gizi
(akibat tak langsung) Bayi/anak memiliki darah ibu atau
luka di mulut cairan tubuh ibu

II.7 Gejala Klinis


Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu untuk
terjadinya replikasi virus yang kemudian memegang peran dalam timbulnya berbagai gejala
klinis dan laboratorium. Sehingga massa inkubasi infeksi HIV berbeda tergantung kepada dosis
infeksi dan daya tahan tubuh inang.6

7
Infeksi berulang: >3 episode infeksi bakterial berat dalam 12 bln
Oral thrush: setelah periode neonatal didapatkan oral thrush tanpa antibiotika, durasi >30
hari atau berulangnya kandidosis esophagus.
Parotitis kronik: >14 hari.
Limfadenopati generalisata: pembesaran limfonodi >2 di luar inguinal tanpa underlying
disease
Hepatomegali tanpa sebab yang jelas : tanpa bukti infeksi hepatitis viral seperti CMV
Demam persisten atau berulang tanpa sebab yang jelas
Herpes zoster
HIV dermatitis :ruam papula eritematus,infeksi jamur berat pada kulit, rambut, dankuku,
molluscum contangiosum
Chronic suppurative lung disease

Pertimbangkan kemungkinan HIV


Oral thrush berulang setelah usia>6bulan,
Pertumbuhan yang buruk (malnutrisi dan penurunan BB dengan sebab tidak jelas
Infeksi bakteri berat berulang (pneumonia, otitis media, herpes zoster, TB),
Developmental delay tanpa sebab yang lain/Gagal tumbuh (pada populasi dengan
prevalensi HIV tinggi) disertai dengan gejala lain yang mendukung.5

Tanda-tanda seorang tertular HIV Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa
menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri
membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang
disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan
gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk
pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes
pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini
disebabkan karena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 6 bulan untuk membentuk antibodi
yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode
jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam
tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV
melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi.2

II.7.3 Perbedaan antara HIV dan AIDS2


A. HIV

8
Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia
dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah
terserang infeksi/penyakit.

B. AIDS
Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan gejala penyakit
yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya virus HIV di dalam
darah.
- Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul
- Sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi secara
sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah
tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa jendela.
- Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah menunjukkan
adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak
timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak
sehat.
- Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala
AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun
dan kemudian meninggal

II.8 Tahapan Klinis


Pada anak dengan diagnosis HIV atau sangat diduga mendapat infeksi HIV, sistem
stadium klinis membantu mengetahui derajat kerusakan sistem kekebalan, merencanakan pilihan
pengobatan dan perawatan. Tahap ini menentukan kemungkinan prognosis HIV dan sebagai
panduan tentang kapan mulai, menghentikan atau mengganti terapi antiretroviral pada anak
dengan infeksi. Tahapan klinis dapat mengenali tahap yang progresif dari ringan sampai yang
paling berat, makin tinggi tahap klinisnya makin buruk prognosisnya. Untuk keperluan
klasifikasi, bila didapatkan kondisi klinis stadium 3, prognosis anak akan tetap pada stadium 3
dan tidak akan membaik menjadi stadium 2, walaupun kondisinya membaik atau timbul kejadian
klinis stadium 2 yang baru. ARV yang diberikan dengan benar akan memperbaiki prognosis

9
secara dramatis. Tahapan klinis juga membantu mengenali respons terhadap ARV jika tidak
terdapat akses yang mudah dan murah untuk tes CD4 atau tes virologi.5

10
Tabel2. Stadium Klinis5

II.9 Diagnosis
II.9.1. Anamnesis2
Dibutuhkan anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV. Bayi dan
anak memerlukan tes HIV bila :
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis atau
berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan perlakuan pencegahan
penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi HIV
(pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya didiagnosis
HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang tidak diketahui
tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang terkontaminasi,
menerima transfusi berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual

II.9.2 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil
sangat sulit, karena antibodi maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih
ada pada darah anak sampai umur 18 bulan. Tantangan diagnostik bertambah bila anak sedang
disapih atau pernah disapih. Meskipun infeksi HIV tidak dapat disingkirkan sampai 18 bulan
pada beberapa anak, sebagian besar anak akan kehilangan antibodi HIV umur 9-18 bulan. Tes
yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Uji Serologis7
a. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan spesifisitas
minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan standardisasi kondisi
laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan serologis dewasa. Umur 18
bulan digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi

11
b. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila hasil uji
tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji
virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis
ulang pada usia 18 bulan.
c. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi HIV
harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
d. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi uji
virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis
presumtif.
e. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik dilakukan
tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
f. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan pada
orang dewasa.

2. Tes virologis7
Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah umur 6
minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan cara
yang sama seperti uji serologis. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak
berumur <18 bulan.Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah
plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS). Bila tidak tersedia HIV DNA dapat digunakan
HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan uji
virologis pada umur 4 6 minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama
hasilnya positif maka terapi ARV harus segera dimulai dan pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua. Hasil
pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan, maksimal 4 minggu
sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera diikuti dengan inisiasi ARV.7

Tabel 3. Skenario Pemeriksaan HIV7

12
II.9.3 Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan7
Pada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat
laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan
diagnosis dengan cara diagnosis presumtif. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil
reaktif harus dilanjutkan dengan 2 tes serologi yang lain. Bila hasil pemeriksaan tes serologi
lanjutan tetap reaktif, pasien harus segera mendapat obat ARV

Bagan 1. Kriteria Diagnosis Persumtif anak < 18 bulan.7

II.9.4 Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan7

13
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada orang
dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV
baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur >
18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta
untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.

II.10 Penatalaksanaan
Obat Antiretroviral tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan
dan kematian secara bermakna, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun
anak. Di Indonesia yang sumber dayanya terbatas dianjurkan orang dewasa dan anak yang
terindikasi infeksi HIV, harus segera mulai ARV. Kriteria memulai didasarkan pada kriteria klinis
dan imunologis dan menggunakan pedoman pengobatan baku yang sederhana yaitu Pedoman
Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia (Depkes RI 2008).2

II.10.1 Kriteria Pemberian ARV


II.10.1.1 Penetapan kriteria klinis dan Imunodefisiensi
Segera setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, dilakukan penilaian stadium klinis.
Penilaian stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling berat yang pernah dialami. Kelas
imunodefisiensi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, terutama nilai persentase pada
anak umur < 5 tahun.

Sumber : Kemenkes, 2014


Tabel 4. Imunodefisiensi8
Keterangan:
CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi.

14
Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4 dapat menjadi petunjuk dini
progresifitas penyakit karena nilai CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi
klinis.
Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian
obat.
Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase
CD4. Bila 5 tahun, nilai CD4 absolut dapat digunakan.
Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat pada anak > 1 tahun sesuai
dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6
bulan, nilai CD4 tidak dapat memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat
terjadi bahkan pada nilai CD4 yang tinggi.

Berikut kriteria terapi ARV menggunakan kombinasi kriteria klinis dan imunologis anak
berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi untuk mendapat pengobatan
ARV sesegera mungkin.8

Sumber : Kemenkes, 2014


Tabel 5. Indikasi ARV

o Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistik yang terdeteksi harus didahulukan


o Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan CD4 untuk memantau hasil pengobatan.

15
Catatan:
Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4, sehingga
harus segera dimulai terapi ARV.
Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi untuk
menjadi progresif atau mati pada nilai CD4 normal.
Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila
mungkin harus ada 2 nilai CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai.
Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4 setiap 3-6
bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda.8

1I.10.2 Rekomendasi ARV


Infeksi HIV/AIDS sampai saat ini belum bisa disembuhkan. Namun sudah dikembangkan
suatu terapi menggunakan beberapa obat antivirus yang telah terbukti efektif menunda
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi HIV.Penatalaksanaan terapi infeksi HIV/AIDS yang
tersedia sekarang ini terdiri atas pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan
kombinasi obat-obatan yang lebih dikenal sebagai obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk
mengatasi penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, sejerti jamur,
tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, serta pengobatan
suportif, yaitu pemberian makanan yang bergizi serta dukungan psikososial.8
Terapi ARV terdiri dari beberapa golongan obat yaitu nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, dan inhibitor protease.9 ARV dianjurkan kepada semua pasien yang telah menunjukkan
gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis, AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat,
tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga dianjurkan pada pasien asimptomatik dengan
limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimpotmatik dengan limfosit CD4+ antara 200-
350 sel/mm3 dapat juga ditawarkan terapi, sedangkan pada pasien asimptomatik dengan limfosit
CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai
atau ditunda. Tetapi terapi ARV ini tidak dianjurkan pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari
350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. ARV juga diberikan untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke bayinya, karena efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
sebesar 10-30%. Penularan tersebut terutama terjadi sewaktu proses kelahiran, namun dapat juga

16
terjadi melalui plasenta sewaktu kehamilan dan melalui air susu ibu. Untuk saat ini WHO
menganjurkan pemakaian kombinasi dari tiga obat ARV.9
Panduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NRTI) + 1 Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Di Indonesia,
kombinasi yang digunakan adalah kombinasi zidovudin (AZT)/lamivudin(3TC) dan nevirapin
(NVP).8
Lini kedua digunakan apabila terdapat kegagalan terapi pada lini pertama. Penetapan
panduan lini kedua dilakukan dengan konsutasi pada dokter terlatih.
LINI PERTAMA8,9
No. Nama generik Formulasi Data Dosis menurut umur.
farmakokinetik
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
1. Zinovudin Tablet: 300mg Semua umur < 4 minggu: 4 mg/kg/dosis, 2x/hari
(AZT) Kombinasi dengan (profilaksis)
lamivudin dan minggu 13 tahun: 180 240
nevirapin (FDC) : mg/m2/dosis, 2x/hari
zidofudin 50mg / dosis maksimal: >13 tahun, 300
lamivudin 30 mg/ mg/dosis, 2x/hari.
nevirapin 60.
2. Lamivudin Tablet: 150 mg Semua umur < 30 hari< 2 mg/kg/dosis, 2x/hari
(3TC) Kombinasi dengan (profilaksis)
zidofudin dan
nevirapin (FDC > 30 hari atau <60kg: 4 mg/kg/dosis.
anak) : zidofudin 2x/hari.
50 mg/lamivudin
30 mg/ nevirapin Dosis maksimal: 150 mg/dosis, 2x/hari.
60mg

3. Tenofovir Tablet: 300 mg Diberikan setiap 24 jam. Interaksi obat


disoproxil dengan ddl, tidak lagi dipadukan dengan
fumarat (TDF) ddl.
4. Stavudin, (d4T) 30 mg Semua umur 1 mg/kg/dosis, 2x/hari
- Kombinasi
Dosis maksimal 30 mg/dosis, 2x/hari
dengan lamivudin
(FDC dewasa):
stavudin 30
mg/lamivudin 150

17
mg

- Kombinasi
dengan lamivudin
dan nevirapin
(FDC anak triple):
stavudin 12
mg/lamivudin 60
mg/ nevirapin 100
mg

3. Kombinasi Tablet: 300 mg Remaja dan Sesuai dosis zidovudin dan lamivudin di
atas.
tetap Zinovudin (AZT) plus 150 mg dewasa
15 kg 19,9 kg: 0,5 tablet 0,5 tablet
plus Lamivudin (3TC) 20 kg 24,9 kg: 1 tablet 0,5 tablet
> 25 kg: 1 tablet 1 tablet
Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)

1. Nevirapin Tablet: 200 mg Semua umur < 8 tahun: 200 mg/m2
(NVP) Dua minggu pertama 1x/hari.
Selanjutnya 2x/hari.
> 8 tahun: 120-150 mg/m2,
Dua minggu pertama, 1x/hari
Selanjutnya 2x/hari.
2. Efavirenz 600mg Hanya untuk 10-15 kg: 200 mg 1x/sehari.
(EFV) anak >3 tahun 15 - <20 kg: 250 mg 1x/sehari.
dan berat >10
20 - <25 kg: 300 mg 1x/hari
kg
25 - <33 kg: 350 mg 1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg 1x/hari
Dosis maksimal: > 40 kg: 600 mg
1x/hari

Kegagalan terapi ARV dinilai dari klinis, imunologis dan virologis. Parameter yang lebih
dahulu muncul adalah kegagalan virologis (bila VL kembali mencapai 5000 copieRNA/ml,
diperiksa dalam 2 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda), diikuti dengan kegagalan
imunologis (bila nilai CD4 turun pada 2 kali pemeriksaan yang dilakukan dengan jarak 3
bulanan) dan terakhir muncul kegagalan klinis berupa munculnya penyakit baru yang tergolong
pada stadium 3 atau 4.8
Pada anak yang patuh minum obat, kriteria gagal imunologis adalah:8

18
Pada anak > 2 tahun- < 5 tahun, nilai CD4 <200 sel/mm3 atau CD4 <10%
Pada anak > 5 tahun hitung CD4 <100 sel/mm3

LINI KEDUA8,9
No. Nama generik Formulasi Data Dosis
farmakokinetik
Protease Inhibitor (PI)
1. Lopinavir/ Tablet tahan suhu 6 bulan 400 mg/100 mg setiap 12
ritonavir (LPV) panas, 200 mg jam untuk pasien naf baik
Lopinavir + 50 mg dengan atau tanpa
ritonavir kombinasi EFV atau NVP.
600 mg/ 150 mg setiap 12 jam bila
dikombinasi dengan EFV atau
NVP untum pasien yag pernah
mendapat terapi ARV
2 minggu- 6 bulan: 16 mg/4 mg/kg
BB, 2x/hari
6 bulan 18 bulan: 10
mg/lgBB/dosis lopinavir

II.10.3 Pemantauan Setelah Mulai Mendapat ARV9


Pasien anak yang diberi ARV dengan cepat bertambah berat dan tingginya sesuai dengan
pertumbuhan, karenanya penghitungan dosis harus dilakukan setiap kontrol. Dosis yang terlalu
rendah akan berpotensi menimbulkan resistensi.
Obat yang diminum bersamaan harus dievaluasi setiap kali kunjungan; seperti apakah
kotrimoksazol diminum (pada anak yang terindikasi) atau ada obat lain yang potensial
berinteraksi dengan ARV . Kepatuhan minum obat ditanyakan dengan cara menanyakan dosis
yang terlewat dan waktu anak minum obat, yang ideal adalah menghitung sisa tablet atau puyer.
Pemantauan kadar hemoglobin (Hb) dan leukosit harus dilakukan bila anak menerima
AZT pada bulan 1 dan ke 3. Pemeriksaan kimia darah lengkap meliputi enzim-enzim hati, fungsi
ginjal, glukosa, profil lipid, amilase, lipase dan elektrolit serum. Pemantauan bergantung pada
gejala dan obat ART yang dipilih. Pada remaja putri dengan CD4> 250 sel/mm3 pemantauan
fungsi hati dalam 3 bulan pertama ART dipertimbangkan bila memakai NVP. Juga pada kasus
anak dengan koinfeksi hepatitis B dan C atau penyakit hati lainnya.

19
Tes kehamilan harus dimintakan pada remaja putri yang akan mendapat EFV dengan
konseling yang tepat pada keluarga.
Pemantauan CD4 dianjurkan dilakukan pada saat awal diagnosis dan setiap 6 bulan
sesudahnya. Bila pemeriksaan CD4 tidak tersedia, gunakan parameter klinis untuk pemantauan.
Saat ini pemeriksaan VL belum menjadi syarat untuk memulai ARV ataupun pemantauan. Tetapi
VL dapat digunakan untuk mendiagnosis HIV, memastikan kegagalan klinis dan imunologis
sebelum mengganti ke lini dua.
Catatan:
Apabila anak tidak dapat datang untuk tindak lanjut, maka harus diupayakan untuk
menghubungi anak/orang tua (misalnya dengan telepon atau kunjungan rumah).
Pengasuh harus didorong untuk membawa anak ke rumah sakit bila sakit, khususnya
pada beberapa bulan pertama pemberian ARV karena adanya efek samping dan
intoleransi.

II.10.4 Pemantauan Respon Terhadap ARV9


Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV merupakan masa penting.
Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga harus diwaspadai kemungkinan
toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution Syndrome (IRIS). Beberapa anak gagal mencapai
perbaikan dan bahkan menunjukkan tanda deteriorasi klinis.
Komplikasi yang terjadi pada minggu-minggu pertama umumnya lebih banyak
ditemukan pada anak defisiensi imun berat. Meskipun demikian tidak selalu berarti respons yang
buruk, karena untuk mengontrol replikasi HIV dan terjadinya perbaikan sistim imun memerlukan
waktu. Juga diperlukan waktu untuk membalik proses katabolisme akibat infeksi HIV yang
sudah terjadi selama ini, terutama pada anak dengan wasting.
Selain itu ada anak yang menunjukkan eksaserbasi infeksi subklinis yang selama ini
sudah ada seperti contohnya TB, sehingga tampak seperti ada deteriorasi klinis. Hal ini bukan
karena kegagalan terapi tetapi karena keberhasilan mengembalikan fungsi sistim imun (immune
reconstitution).
Oleh karena itu penting untuk mengamati hasil terapi lebih lama sebelum menilai
efektivitas paduan pengobatan yang dipilih dan mempertimbangkan terjadinya IRIS. Pada waktu

20
penting ini yang perlu dilakukan adalah mendukung kepatuhan berobat dan bukan mengganti
obat.9

II.11 Toksisitas ARV


Pemberian ARV harus diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution
Syndrome (IRIS), berikut adalah prinsip tatalaksana apabila terjadi toksisitas ARV :9
1. Tentukan beratnya toksisitas
2. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena
(satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
3. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus pada anak yang timbul
ikterus pada ARV)
4. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Secara umum adalah:
Derajat 4 : Reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri
terapi suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah
dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas)
setelah pasien stabil.
Derajat 3 : Reaksi berat: ganti obat yang dimaksud tanpa menghentikan
pemberian ARV secara keseluruhan.
Derajat 2 : Reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer)
memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap
melanjutkan panduan yang sekarang sedapatnya; jika tidak ada perubahan dengan
terapi simtomatik, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV.
Derajat 1 : Reaksi ringan: memang mengganggu tetapi tidak memerlukan
penggantian terapi.
5. Jika diperlukan hentikan pemberian ARV apabila ada ancaman reaksi yang
mengancam jiwa. Semua ARV harus dihentikan sampai pasien stabil.

Tabel 6. Waktu, Efek Samping dan Toksisitas9

21
Sumber : Kemenkes, 2014

II.12 Penanganan lainnya untuk anak dengan HIV-positif


II.12.1 Imunisasi
Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV tetapi belum
menunjukkan gejala, harus diberi semua jenis vaksin yang diperlukan (sesuai jadwal imunisasi
nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak dengan HIV positif mempunyai
respons imun yang efektif pada tahun pertama kehidupannya, imunisasi harus diberikan sedini

22
mungkin sesuai umur yang dianjurkan. Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV
yang telah menunjukkan gejala. Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa
memandang ada gejala atau tidak) tambahan imunisasi Campak pada umur 6 bulan, selain yang
dianjurkan pada umur 9 bulan.1,5

II.11.2 Pencegahan dengan Kotrimoksazol


Pencegahan dengan kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak dengan
infeksi HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat. PCP saat ini
sangat jarang di negara yang memberikan pencegahan secara rutin.10
Anak yang diperbolehkan mendapatkan kotrimoksazol10:
1. Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak
umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari program pencegahan
transmisi ibu ke anak = Prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]).
2. Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau keluhan
apapun yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau hitung CD4.
Kotrimoksazol harus diberikan kepada:
Anak yang terpapar HIV sampai infeksi HIV benar-benar dapat disingkirkan dan
ibunya tidak lagi menyusui
Anak yang terinfeksi HIV terbatas bila ARV tidak tersedia
Jika diberi ARTKotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indikator klinis dan
imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6 bulan atau lebih (lihat
juga di bawah). Dengan bukti yang ada, tidak jelas apakah kotrimoksazol dapat terus
memberikan perlindungan setelah perbaikan kekebalan.

Keadaan yang mengharuskan dihentikannya kotrimoksazol:


Terdapat reaksi kulit yang berat seperti Sindrom Stevens Johnson, insufisiensi ginjal
atau hati atau keracunan hematologis yang berat
Pada anak yang terpajan HIV, hanya setelah dipastikan tidak ada infeksi HIV
Pada anak umur < 18 bulan yang tidak mendapat ASIyaitu dengan tes virologis HIV
DNA atau RNA yang negatif.

23
Pada anak umur < 18 bulan yang terpajan HIV dan mendapat ASI.
Pada anak yang terinfeksi HIV
Jika anak mendapat ART, kotrimoksazol dapat dihentikan hanya jika terdapat bukti
perbaikan sistem kekebalan. Melanjutkan pemberian kotrimoksazol memberikan keuntungan
bahkan setelah terjadi perbaikan klinis pada anak. Jika ART tidak tersedia, pemberian
kotrimoksazol tidak boleh dihentikan.

Dosis pemberian Kotrimoksazol2


Dosis yang direkomendasikan 68 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam sehari. Bagi anak
umur < 6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau tablet dewasa, 20 mg Trimetoprim/100 mg
sulfametoksazol); bagi anak umur 6 bulan sampai 5 tahun beri 2 tablet pediatrik (atau tablet
dewasa); dan bagi anak umur 6-14 tahun, 1 tablet dewasa dan bila > 14 tahun digunakan 1 tablet
dewasa forte. Gunakan dosis menurut berat badan dan bukannya dosis menurut luas permukaan
tubuh. Jika anak alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah memberi Dapson.
Penilaian terhadap toleransi dan ketaatan: Pencegahan dengan Kotrimoksazol harus
merupakan bagian rutin dari perawatan terhadap anak dengan infeksi HIV dan dilakukan
penilaian pada semua kunjungan rutin ke klinik atau kunjungan tindak lanjut oleh tenaga
kesehatan dan/atau anggota lain dari tim pelayanan multidisiplin. Tindak lanjut klinis awal pada
anak, dianjurkan tiap bulan, selanjutnya tiap 3 bulan, jika Kotrimoksazol dapat ditoleransi
dengan baik.

II.11.3 Nutrisi
Anak harus makan makanan yang kaya energi dan meningkatkan asupan energi mereka.
Orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV harus dianjurkan untuk makan berbagai variasi
makanan yang menjamin asupan mikronutrien.5
11.12 Tindak lanjut
II.12.1 Pemulangan dari rumah sakit
Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respons lambat atau tidak lengkap terhadap
pengobatan yang biasa. Anak mungkin menderita demam yang persisten, diare persisten atau
batuk kronik. Apabila keadaan umumnya baik, anak ini tidak perlu tetap tinggal di rumah sakit,
tetapi dapat dapat diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat jalan.3

24
II.12.2 Rujukan
Jika rumah sakit tidak mempunyai fasilitas, pertimbangkan untuk merujuk anak dengan
tersangka infeksi HIV:
Untuk tes HIV dengan konseling pra- maupun pasca-tes
Ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan lebih lanjut atau pengobatan lini kedua, jika
respons terhadap pengobatan sangat minimal atau tidak ada
Ke konselor terlatih untuk HIV dan konseling pemberian makan bayi, jika petugas
kesehatan lokal tidak dapat melakukan hal ini
Ke program pelayanan komunitas/keluarga atau ke pusat konseling dan tes sukarela yang
berbasis masyarakat/institusi, atau program dukungan sosial berbasis masyarakat untuk
konseling lebih lanjut atau melanjutkan dukungan psikososial.
Harus dilakukan upaya khusus untuk merujuk anak yatim/piatu ke tempat pelayanan esensial
termasuk pendidikan perawatan kesehatan dan pembuatan surat kelahiran.4

II.12.3 Tindak lanjut klinis2


Anak yang diketahui atau tersangka infeksi HIV yang tidak sakit, harus mengunjungi
klinik bayi sehat seperti anak lain. Sebagai tambahan, mereka juga membutuhkan tindak lanjut
klinis secara teratur di fasilitas kesehatan tingkat pertama minimal 2 kali setahun untuk
memantau:

- Kondisi klinis
- Pertumbuhan
- Asupan Gizi
- Status imunisasi
- Dukungan psikososial (jika mungkin, hal ini harus diberikan melalui program
berbasis masyarakat).

II.12.4 Perawatan paliatif dan fase terminal1,2


Anak dengan infeksi HIV sering merasa tidak nyaman, sehingga perawatan paliatif
menjadi sangat penting. Buatlah semua keputusan bersama ibunya dan komunikasikan secara

25
jelas kepada petugas yang lain (termasuk yang dinas malam). Pertimbangkan perawatan paliatif
di rumah sebagai alternatif dari perawatan di rumah sakit. Beberapa pengobatan untuk mengatasi
rasa nyeri dan menghilangkan kondisi sulit (seperti kandidiasis esofagus atau kejang) dapat
secara signifikan memperbaiki kualitas sisa hidup anak. Beri perawatan fase terminal jika:
- Penyakit memburuk secara progresif
- Semua hal yang memungkinkan telah diberikan untuk mengobati penyakitnya.
Perlu dijamin bahwa keluarga mendapat dukungan yang tepat untuk menghadapi kemungkinan
kematian anak, karena hal ini sangat penting sebagai bagian dari perawatan fase terminal dari
HIV/AIDS. Orang tua harus didukung dalam upaya mereka memberi perawatan paliatif di
rumah, sehingga anak tidak perlu lagi dirawat di rumah sakit.

II.12.5 Dukungan psikososial


Membantu orang tua dan saudaranya melewati reaksi emosional mereka terhadap anak
yang menjelang ajal, merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam perawatan fase
terminal penyakit HIV. Cara melakukannya bergantung pada apakah perawatan diberikan di
rumah, di rumah sakit atau di rumah singgah/penampungan. Di rumah, sebagian besar dukungan
dapat diberikan oleh keluarga dekat, keluarga dan teman.
Mereka perlu tahu cara menghubungi kelompok konseling HIV/AIDS dan program lokal
perawatan rumah yang berbasis masyarakat. Pastikan apakah pengasuh mendapat dukungan dari
kelompok ini. Jika tidak, diskusikan sikap keluarga terhadap kelompok tersebut dan
kemungkinan menghubungkan keluarga ini dengan mereka.2

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan referat ini berupa :
1. HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Kausa
sindrom imunodefisiensi ini adalah retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2.

26
2. Penyebab dari virus ini adalah retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus terdiri dari
HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberi dari kode A sampai J dan
merupakan subtipe yang paling ganas di seluruh dunia. Virus HIV hidup dalam darah, saliva,
semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit,
makrofag dan sel glia jaringan otak.
3. Diagnosis pada HIV AIDS dapat ditentukan dari anamnesa dilihat dan ditinjau dari keluhan
yang dirasakan yang ada pada tahapan stadium klinis, pemeriksaan fisik sesuai dengan apa
yang dikeluhkan pasien, dan tes antibodi Serologi ELISA dan virologis untuk mengetahui
RNA virus.
4. Tatalaksana HIV/AIDS dilakukan dengan triple terapi ARV.
5. Obat Antiretroviral tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan
kematian secara bermakna serta memperbaiki kualitas hidup pada anak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Profil


Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
HIV&AIDS. Jakarta : Derpartemen Kesehatan RI, 2014; 133-135
2. Soedarmo, dkk. Human Immunodeficiency. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
Th. 2012. Hal; 243-257

27
3. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2011; 1-5.
4. Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi: Konsep
Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG 2006. Hal . 224.
5. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti Kuspuji,
editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2014. Hal
573-583
6. Pudjiadi Antonius, dkk. Infeksi HIV pada bayi dan anak. Pedoman Pelayanan Medis.
Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Tahun 2011. Hal 143-148.
7. Kementrian Kesehatan RI. Diagnosis Infeksi HIV Pada Anak. Pedoman Penerapan Terapi
HIV Pada Anak. Jakarta : : IDAI. Tahun 2014; 1-7
8. Kementrian Kesehatan RI. Penatalaksanaan HIV. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada
Anak. Jakarta : IDAI. Tahun 2014; 15-20
9. Kementrian Kesehatan RI. Pemantauan Pemberian ARV. Pedoman Penerapan Terapi HIV
Pada Anak. Jakarta : IDAI. Tahun 2014; 21-30
10. Kementrian Kesehatan RI. Profilaksis Kotrimoksazol. Pedoman Penerapan Terapi HIV
Pada Anak. Jakarta : IDAI. Tahun 2014; 7-9

28

Anda mungkin juga menyukai