Anda di halaman 1dari 20

Infeksi Tetanus

Kelompok D7

10 Desember 2012

1. Zebriyandi 102010102

2. Beby Pricilia Tanesia 102011011

3. Lili Susanti 102011091

4. Viboy 102011173

5. Maria Fransiska 102011189

6. Monica Cynthia Dewi 102011233

7. Karen Aryan Perdana 102011258

8. Dilianty Anugerah Mana 102011366

1
9. Hendra Sucipta 102011403

*Mahasiswa semester 3 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi :

Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana

jl. Terusan Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510

No. telp 021 05694

Pendahuluan

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dnegan meningkatnya tonus otot dan

spsame, yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit yang

perawatan, pengobatan dan pencegahannya harus dilakukan dengan secara teratur. Bila terjadi

komplikasi ataupun turunnya kerja dari sistem imun dari pasien itu sendiri, bisa menjadi

penyakit yang membahayakan.

Oleh karena itu, makalah ini dibuat, yaitu untuk mengetahui anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan penunjang dari pasien yang memiliki gejala seperti tetanus, untuk mengetahui

etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinik, pengobatan, komplikasi, pencegahan, dan

prognosis dari tetanus, serta untuk mengetahui diagnosis banding apa saja yang ada dari tetanus.

2
Masalah

Seorang pria datang dengan keluhan demam, mulut kaku dan nyeri pada tungkai bawah

kanan. Saat inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka kemerahan, teraba panas dan

bengkak, keluar nanah. Pasien juga diberi antibiotic.

Hipotesis

Gejala infeksi pada laki laki tersebut disebabkan oleh mikroorganisme penyebab tetanus

Pembahasan

Anamnesis

Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

nama orang tua atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.

Keluhan Utama. Menanyakan keluhan yang dirasakan pasien sehingga pasien tersebut

pergi ke dokter dan mencari pertolongan. Selain itu keluhan utama harus disertai dengan

indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.

3
Riwayat Penyakit Sekarang. Riwayat penyakit sekarang juga harus di tanyakan, yaitu

cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum

keluhan utama sampai pasien datang berobat. Hal yang harus ditanyakan adalah:

Waktu dan lamanya keluhan berlangsung


Sifat dan beratnya serangan
Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, atau berpindah-pindah
Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang mendahului serangan,

atau keluhan lain yang bersamaan dengan serangan


Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali
Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama
Riwayat perjalanan ke daerah yang endemis untuk penyakit tertentu
Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa
Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah diminum

oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita

Riwayat Penyakit Dahulu. Menanyakan kepada pasien atau penanggung jawabnya,

apakah dulu pernah mempunyai penyakit yang berhubungan dengan penyakit yang di deritanya

sekarang atau yang dapat memberatkan penyakitnya sekarang.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga. Menanyakan kepada pasien atau penanggung

jawabnya, apakah di dalam keluarga pasien ada yang pernah atau sedang menderita penyakit

menurun atau infeksi.

Riwayat Pribadi. Menanyakan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan kebiasaan-

kebiasaan pasien. Asupan gizi pasien juga perlu ditanyakan, meliputi jenis makanannya, kuantitas

dan kualitasnya. Selain itu, harus ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal pasien,

apakah termasuk lingkungan yang endemik.1

4
Dalam kasus ini, pasien yang datang adalah seorang laki laki berusia 22 tahun yang

mengeluh demam, mulut terasa kaku dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut

keterangan pasien, 2 minggu lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas (yang merupakan suatu

luka kotor) dan mengalami luka robek pada tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh

seorang petugas kesehatan di desanya serta tidak mendapat antibiotik dari petugas kesehatan

setelah menjahit lukanya.

Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama kali

untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta bilangan

denyut nadi.1 Pemeriksaan fisik lainnya adalah dengan melakukan inspeksi. Pada saat melakukan

inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak kemerahan, teraba panas dan bengkak,

dari sela sela luka yang dijahit keluar nanah.

Pemeriksaan Penunjang

Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian,

Clostridium tetani dapat di isolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan

dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organism tersebut

menghasilkan toksin yang menghasilkan tetanus. Dengan menggunakan pemeriksaan darah.

Leukosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan cerebrospinal mungkin menunjukan hasil yang

normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit unit motorik dan pemendekan

5
atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan

non spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram yang menunjukan aritmia vaskuler. Enzim

otot ini mungkin meningkat. Kadar antitoksin serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada

kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi.2

Diagnosis

Diagnosis Kerja

Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis karena pemeriksaan kuman

Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi

tempat masuknya kuman tetanus, trismus, risus sardonikus, kaku uduk, opistotonus cukup untuk

menegakan diagnosis tetanus.3 Tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial

vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan.2

Diagnosis Banding

Spasme yang disebabkan oleh striknin jarang menyebabkan spasme otot rahang. Tetani

didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fosfat). Kejang pada meningitis dapat

dibedakan dengan kelainan cairan serebrospinal. Pada rabies terdapat anamnesis gigitan anjing

atau kucing disertai gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi

tanpa trismus. Trismus dapat pula terjadi pada angina yang berat, abes retrofaringeal, abes gigi

yang hebat, pembesaran kelenjar getih bening leher. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada

meningitis (pada tetanus kesadaran tidak menurun), mastoiditis pneumonia lobaris atas, miositis

leher, spondilitis leher. 4

6
Patogenesis

C. tetani bukan organism invasive. Infeksi tetap bersifat local di daerah jaringan yang

mengalami devitalisasi.5 Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C. tetani. C. tetani sendiri

tidak menimbulkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi,

kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain.

Dalam kondisi anaerobic, yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil

tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanosilin. Tetanosilin mampu secara

local merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan

kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.

Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup

lebih dari 5% dari berat organism. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat

150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da)

dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease

jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung

karboksil dari rantai berat terikat pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan

masuknya toksin kedalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan

neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar

pada jaringan di bawahnya dan terikat pada ujung ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin

kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam badan

sel di batang otak dan saraf spinal.

7
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu kesaraf sensorik dan saraf otonom.

Jika toksin telah masuk kedalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk mempengaruhi ke

neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitory spinal terpengaruh, gejala gejala tetanus

akan muncul. Transpor interneuronal retroged lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke

batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi celah sinpatik dengan suatu mekanisme

yang tidak jelas.

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfide akan menghubungkan

rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebsakan rantai ringan. Efek toksin dihasilkan

melalui pencegahan lepasnya neurontransmitter. Sinoptobrevin merupakan protein membrane

yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurontransmitter. Rantai

ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada

suatu titik tunggal, sehingga mencegah pelepasan neurontransmitter.

Toksin ini memiliki efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin

menyeberangi sinapsi untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan

neurontransmitter inhibitory yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang

menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini

kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik

pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi

dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuscular dikurangi.

Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid.

Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada

8
berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga

dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan.

Efek prejungsional dari ujung neuromuscular dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme

dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan myopati

yang terjadi pada proses pemulihan.

Aliran aferen yang tidak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan

menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari

kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot otot agonis dan antagonis berkontraksi secara

simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot

rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.

Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot otot perifer tangan dan kaki relative jarang

terlibat.

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control

otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang

berlebihan.

Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya

ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.

Pada tetanus local, hanya saraf saraf yang menginevarsi otot otot yang bersangkutan

yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi akibat toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki

aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: saraf darah otak

9
memblokade masuknya toksin secara langsung kedalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan

bahwa waktu transport intraneural sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan

terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan serabut

saraf dikepala, tubuh dan extremitas pada tetanus generalisata.

Manifestasi Klinis

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah, kotoran

binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai

komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mngalami nekrosis, infeksi

telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuscular, dan pembedahan. 2

Masa tunas biasanya 5 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada

infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini biasanya terjadi

mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam

waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :

1. Trismus ( kesukaran membuka mulut ) karena spasme otot-otot mastikatoris.

2. Kaku kuduk sampai opistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector trunki ).

3. Ketegangan otot dinding perut ( harus dibedakan dengan abdomen akut ).

4. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.

10
5. Rikus sardonikus karena spasme otot muka ( alis tertarik keatas ), sudut mulut tertarik keluar

dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.

6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering

merupakan gejala dini.

7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior dalam keadaan

ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermiten

diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai

dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di sertai perdarahan intramuscular karena kontraksi yang

kuat.

8. Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin

dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula terjadi karena

kontraksi otot yang sangat kuat.

9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.

10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan di otak.4

Klasifikasi Tetanus

11
Tetanus generalisata. Merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang ditandai dengan

kontraksi otot tetanik dan hiperfleksi, yang mengakibatkan trismus (radang terkunci),

spasme glottis, spase repiratorius, serangan kejang dan paralisis.


Tetanus local. Jenis tetanus yang ringan dengan kedutan (twitshcing) otot local dan

spasme kelompok otot didekat lokasi cidera atau dpat memburuk menjadi bentuk umum

(generalisata).
Tetanus sefalik. Merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local, yang terjadi setelah

trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1 2 hari. Dijumpai trismus atau

disfungsi satu atau lebih saraf cranial, yang tersering adalah saraf ke 7. Dysphagia dan

paralisis otot ekstraokuler dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.


Tetanus Neonatorum. Suatu bentuk tetanus infeksius yang berat dan terjadi selama

beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor faktor seperti tindakan

perawatan sisa umbilicus yang tidak higienis atau pada sirkulasi bayi laki laki dan

kekurangan imunisasi maternal.6

Derajat Keparahan Tetanus

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett :

12
Derajat I (ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan

pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas Nampak jelas, spasme tingkat ringan sampai

sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.

Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan,

frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardi lebih dari 120

Derajat IV (sangat berat): Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem

kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan

brakikardia, salah satunya dapat menetap.2

13
Komplikasi

Sistem Komplikasi

Jalan nafas Aspirasi*

Laringospasme/obstruksi*

Obstruksi berkaitan dengan sedative*

Respirasi Apnea*

Hipoksia*

Gagal nafas tipe 1* ( atelektasis, aspirasi, pneumonia)

Gagal nafas tipe 2* (spasme laryngeal, spasme trunkal berkepanj-

angan, sedasi berlebihan)

14
ARDS*

Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan

Komplikasi trakeosotomi

Kardiovaskuler Takikardia*, hipertensi*, iskemia*, hipotensi*, brakikardia*,

Takiaritmia*, bradiatirma*, asitol*, gagal jantung*

Ginjal Gagal ginjal curah tinggi*, gagal ginjal oliguria*

Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Statis gaster, ileus, diare, pendarahan*

Lain lain penurunan berat badan*, tromboembolus*, sepsis dengan gagal

organ multiple*, fraktur vertebra selama spasme, rupture tendon

akibat spasme

*komplikasi yang mengancam jiwa2

Penatalaksanaan

Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalm

tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksi lebih lanjut; toksin yang terdapat

15
dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisir dan efek dari toksin yang telah

terikat pada sistem saraf pusat diminimasi.2

Nonmedika Mentosa

Pada perawatan, harus dilakukan observasi ketat, terutama pada jalan napas, perubahan

posisi dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus, serta pengosongan buli buli. Fisioterapi

paru paru dan anggota gerak serta perawatan mata juga merupakan bagian dari perawatan baku.

Berikan nutrisi parenteral dan enteral yang adekuat: selama pasase usus baik, nutrisi enteral

merupakan pilihan, tetapi bila perlu, berikan makanan lewat pipa lambung atau gastrostomi.

Perawatan pasien tetanus sebaiknya dilakukan diruangan yang tenang dan terlindung dari

rangsangan penglihatan, pendengaran dan perabaan. Selain itu, diperlukan staf perawat yang

berpengalaman, berdedikasi tinggi serta bertanggung jawab. Ruangan yang gelap tidak

diperlukan karena perubahan secara tiba tiba dapat memicu terjadinya kejang.3

Medika Mentosa

Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi

semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bantuan limbic dan reticular, mungkin

dengan aktivitas GABA, suatu neurontransmitter inhibitor utama.


Fenobarbital. Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi

pernafasan. Jika pada pasien terapsang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk

mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.

16
Baklofen. Baklofen intertekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara

experimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infuse

diazepam.
Dantrolen. Dantrolen menstimulasi relaksasi otot dengan memodulasi kontraksi otot pada

daerah setelah hubungan myoneural dan dengan aksi langsungnya pada otot.
Penisilin G. Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama

multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang

rentan.
Metronidazol. Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat absorbs

ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan

menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel.


Doksisklin. Menghambat sintesis protein dan pertubuhan bakteri dengan pengikatan pada

subunit 50s ribosomal dari bakteri yang rentan.


Vekuronium. Merupakan agen pemblokade neuromuscular prototipik yang menyebabkan

terjadinya paralisis muskuler.2

Pencegahan

Mencegah terjadinya luka


Perawatan luka yan adekuat
Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka yaitu untuk

memberikan kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah terjadinya tetanus atau masa

inkubasi diperpanjang atau bila terjadi tetanus gejalanya ringan. Umumnya diberikan

1500 U intramuskulus dengan didahului oleh uji kulit dan mata.


Pemberian toksoid tetanus pada anak yang belum pernah mendapati imunisasi aktif pada

minggu minggu berikutnya setelah pemberian ATS, kemudian diulangi lagi dengan

jarak waktu 1 bulan 2 kali berturut turut.

17
Pemberian penisilin prokain selama 2 - 3 hari setelah mendapat luka berat
Imunisasi aktif. Toksoid tetanus diberikan agar anak membentuk kekebalan secara aktif.

Sebagai vaksinasi dasar diberikan bersama vaksinasi terhadap pertusis dan difteri, dimulai

pada umur 3 bulam. Vaksinasi ulangan (booster) diberikan 1 tahun kemudian pada saat

usia 5 tahun serta selanjutnya setiap 5 tahun diberikan hanya bersama toksoid difteria

(tanpa vaksin pertusis).4

Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadic dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu

dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal

mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat

dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia

terutama di Negara beriklim tropis. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, di daerah

pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada

negara negara tanpa program imunisasi yang kompeherensif, tetanus terjadi terutama pada

neonates dan anak anak.2

Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan

dengan kebersihan dan perawatan luka yang buruk.4

Prognosis

18
Dipengaruhi oleh beberapa faktor dan akan buruk pada masa tunas pendek (kurang dari 7

hari), usia yang sangat muda (neonatus) dan usia lanjut, bila diserta frekuensi kejang yang tinggi,

kenaikan suhu tubuh yang tinggi, pengobatan yang terlambat, period of onset yang pendek(jarak

antara trismus dan timbulnya kejang) dan adanya komplikasi terutama spasme otot pernafasan

dan obstruksi saluran pernafasan.4

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal

pengobatan, imunisasi, local focus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit dan

penyulit yang timbul.

Kesimpulan

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai

gangguan kesadaran. Gejala ini disebabkan oleh bakteri clostridium tetani yang menghasilkan

toksin. Port de entrenya tak selalu diketahui dengan pasti namun penatalaksanaan tetanus sangat

diperlukan untuk mencegah komplikasi berkaitan dengan masa kritis berkepanjangan.

Daftar Pustaka

1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h. 181-3.
2. Sudoyo AW, Setioyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 2911-22.
3. Jong D, Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2010.h.46-9.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia. Ilmu kesehatan anak.

19
Jakarta: Infomedia; 2005.h.569-71.
5. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC; 2008.h.207.
6. Hill MG. Harrisons principle of internal medicine volume 1. 3rd ed. United States :
Library of Congress; 2008.p.899.

20

Anda mungkin juga menyukai