Anda di halaman 1dari 13

Health Education

HELLP SYNDROME

Oleh:

Siti Nikmawati Tuhatelu

14014101254

Masa KKM 11 juli 2016 18 september 2016

Supervisor Pembimbing:

Prof. dr. Hermie M.M Tendean, SpOG(K)

Residen Pembimbing:

dr. Benny Moningka

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2016

LEMBAR PENGESAHAN

1
Health Education

HELLP SYNDROME

Oleh :

Siti Nikmawati Tuhatelu

14014101254

Telah dikoreksi, dibacakan dan disetujui pada tanggal Agustus 2016 untuk

memenuhi syarat tugas Kepaniteraan Klinik Madya di bagian Obstetri dan

Ginekologi FK UNSRAT Manado.

Residen Pembimbing

dr. Benny Moningka

PENDAHULUAN

2
Sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzim, Low Platelets Count)
merupakan suatu variasi dari preeklampsi berat yang disertai trombositopenia,
hemolisis, dan gangguan fungsi hepar. Sindroma HELLP juga merupakan suatu
kondisi yang mengancam jiwa dan berpotensi menimbulkan komplikasi pada
kehamilan. Sindroma HELLP dulu dikenal sebagai edema, proteinuria, hipertensi
pada awal abad ke 20 dan kemudian berganti nama pada tahun 1982 oleh Louis
Weinstein.1-3
Kejadian sindroma HELLP pada saat kehamilan (70%) paling sering terjadi
pada umur kehamilan 27- 35 minggu dan (30%) terjadi pasca persalinan.
Timbulnya sindroma HELLP pada kehamilan memiliki risiko yang tinggi pada
maternal dan perinatal. Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan kematian
perinatal berkisar 30 - 40%. Sindroma HELLP secara signifikan terbanyak pada
wanita berkulit putih dan wanita keturunan eropa. Sindroma HELLP terbukti telah
terjadi pada kelompok usia ibu yang lebih tua, dengan usia rata rata 25 tahun.2,3
Penanganan Sindroma HELLP masih kontroversial antara perawatan
konservatif atau terminasi kehamilan yang masih preterm. Sindroma HELLP
merupakan kontributor yang berat dari kehamilan yang akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal.1-3

PEMBAHASAN

3
I. Definisi
Sindroma adalah suatu kumpulan gejala-gejala dari suatu penyakit. Sindroma
HELLP adalah singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low
Platelets Count yang merupakan komplikasi dari Pre-eklamsia dan eklamsia
yang terdiri dari :1,3
- Hemolisis (penghancuran sel darah merah)
- Peningkatan enzim hati (yang menunjukaan adanya kerusakan hati)
- Penurunan jumlah trombosit

II. EPIDEMIOLOGI
Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5% sampai 9% dari semua kehamilan
dan 10% sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus sindroma
HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada usia
kehamilan 27-37 minggu, 10% terjadi usia sebelum usia kehamilan 27
minggu, dan 20% setelah 37 minggu. Rerata usia kehamilan pada wanita
dengan sindrom HELLP lebih tinggi pada wanita dengan preeklampsia.
Kebanyakan wanita kulit putih dengan sindrom HELLP adalah multipara.4-5
Walaupun bervariasi, namun kebanyakan kejadian sindroma HELLP
biasanya berkembang cepat. Wanita dengan sindrom HELLP biasanya disertai
hipertensi dan proteinuria, namun tidak terjadi pada 10%-20% kasus. Sekitar
50% kasus sindrom HELLP diawali dengan edema anasarka.5

III. Klasifikasi
a. Klasifikasi Mississippi
- Kelas I : trombosit 50.000/mm3, AST/ALT 70 IU/L, LDH 600 IU/L
- Kelas II : trombosit > 50.000 100.000/mm 3, AST/ALT 70 IU/L, LDH
600 IU/L
- Kelas III : trombosit > 100.000 150.000/mm 3, AST/ALT 70 IU/L, LDH
600 IU/L

b. Klasifikasi Tennesse
- Komplit : 1). Trombosit < 100.000/mm3, 2). LDH 600 IU/L, 3).
AST/ALT 70 IU/L
- Inkomplit/parsial : hanya terdapat satu atau dua kriteria pada komplit.5,7-9

IV. Etiologi dan Patogenesis

4
Patogenesis sindroma HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan
pada penyakit ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan
koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya.2,8
Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler, akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit
dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan
sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas.1-4,7
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil
yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan hapusan darah tepi
ditemukan spherocytes, schitocytes, triangular cells dan burr cells.1-4,6
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi
aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan
nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi pendarahan
intrahepatik, hematom subkapsular, atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan
pendarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau
destruksi trombosit.1,3-5

V. Faktor Resiko
Faktor resiko sindroma HELLP berbeda dengan preeklampsi. Pasien sindroma
HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan
pasien preeklampsi eklampsi tanpa sindroma HELLP. Insiden sindrom ini
juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.1-5
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11%
pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum
sekitar 69% pasien dan pada masa post partum sekitar 31%. Pada masa post
partum saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.1,4,5

Sindroma HELLP Pre Eklampsi

5
Multipara Nullipara
Usia ibu >25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau >40 tahun
Riwayat Obstetri Buruk Riwayat keluarga preeklampsi
Ras kulit putih ANC yang tidak teratur
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan Multipel

Tabel 1. Faktor Resiko Sindroma HELLP5

VI. Manifestasi Klinis


Pasien sindroma HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang bervariasi,
dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien
preeklampsi eklampsia yang tidak menderita sindroma HELLP.2,4,7
Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastriuk atau nyeri
perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%). Mual
dan muntah atau nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah
di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien
sindroma HELLP biasanya menunjukan peningkatan berat badan yang
bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa
hipertensi berat (sistolik 160mmHg, dan distolik 110mmHg) tidak selalu
ditemukan.2,4,5,6

VII. KRITERIA DIAGNOSIS


Diagnosis sindroma HELLP secara obyektif lebih berdasarkan pemeriksaan
laboraturium. Berdasarkan hasil laboraturium dapat ditemukan hemolisis,
disfungsi hepar, dan trombositopeni.2,8,9
1. Hemolisis
Tanda hemolisis dapat dilihat dari petekie, ekimosis, hematuria.
Secara laboratorik tanda hemolisis dapat dilihat dengan adanya burr
cells pada apusan darah tepi.
2. Elevated Liver Enzyme

6
Dengan meningkatnya SGOT, SGPT (> 70 IU) dan LDH (> 600 IU)
yang merupakan tanda degenerasi hati akibat vasospasme luas.
3. Low Platelets
Jumlah trombosit < 100.000/mm3. Ini merupakan tanda terjadinya
abnormalitas system koagulasi.

VIII. Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan
pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan pembekuan darah dan anemia yang terjadi akibat hemolysis.2,4,8
Diagnosis dini sangat penting karena penagnanan dini dapat menekan
angka mortaliatas dan morbiditas ibu dan janin. Pengobatan sindroma HELLP
juga harus memperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada
preeklampsia dan eklampsia.4,6,8
Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu
(stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrom HELLP
dengan umur kehamilan 35 minggu).7-9
1. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a. Jika ada DIC, atasi koagulopati
b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat kesehatan tersier
2. Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b. Profil biofisik
c. USG
3. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu
a. Jika matur, segera akhiri kehamilan
b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk
mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20%
sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus
dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala
keracunan MgSO4 seperti refleks patella negatif, bradipneu dan urin < 100 cc
dalam 4 jam. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10%
iv. Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110
mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko
perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya

7
mempertahankan tekanan darah diastolik 90 100 mmHg. Anti hipertensi
yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline ) iv dalam dosis kecil
2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne ) dan nifedipin juga digunakan
dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila
nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu
perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.4,7,9
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan NST, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai
pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan
indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun
yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.1,2
Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di
NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis
enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan4.
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur
sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.1,2,6
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35
minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu
dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan.
Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat
diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan
kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus
dipantau secara kontinu selama periode ini.1,2,5,7,9
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan
betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya
mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP.
Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas
AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan
peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi
dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus
dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri

8
kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah
stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine
sudah stabil yaitu >50 ml/jam.8,9
Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di
USG atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati.
Ruptur hematom subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam
jiwa. Yang paling sering adalah ruptur lobus kanan didahului oleh hematom
parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai dengan nyeri epigastrium hebat yang
berlangsung beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi. Pasien sering merasakan
nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas atau efusi pleura
dan biasanya dengan janin yang sudah meninggal.1,2
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan
pembedahan emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri
dari transfusi darah masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP)
dan trombosit serta laparatomi segera. Pilihan tindakan pada laparatomi
meliputi : packing & draining, ligasi segmen yang mengalami perdarahan,
embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena dan atau penjahitan
omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian
ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisi dan gangguan
pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan pernafasan, udem
paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.1,2
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur;
namun pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat
ditangani secara konservatif pada pasien yang hemodinamiknya masih stabil.
Penanganan harus meliputi: pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan
koagulopati. Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT scan terhadap
hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi rupture atau keadaan
ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan konservatif adalah
menghindari trauma luar terhadap hati seperti: palpasi abdomen, kejang atau
muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan
intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan rupture hematom
subkapsular.1,2,9
Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan
pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk

9
mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik. Transfusi trombosit
diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit
< 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi
dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi
ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48
jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik
atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih
intensif untuk beberapa hari.2,4,7,10
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan
dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95pasien (31%) hanya
bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar
dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum.
Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20
pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun
postpartum.1,2,7,9
IX. Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan
rupture hati.4,5
Angka kematian bayi berkisar 7- 20%. Kematian perinatal yang tinggi
terutama pada usia kehamilan kurang 28 minggu dan berhubungan IUGR
berat atau solusio plasenta.8
Angka persainan premature mencapai 70%, dimana 15% terjadi pada
kehamilan kurang dari 28 minggu. Akibatnya bayi-bayi dengan kelahiran
premature berisiko tinggi terkena komplikasi akut neonatal seperti RDS,
dysplasia bronkopneumonal, perdarahan intra serebral dan nekrosis
enterocolitis.8,9

X. Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnyadan berisiko 43%
untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya.5,8

10
PENUTUP

Sindroma HELLP merupakan suatu variasi dari preeklampsi berat yang


disertai trombositopenia, hemolisis, dan gangguan fungsi hepar. Faktor risiko
sindroma HELLP berbeda dengan preeklampsi, pasien sindroma HELLP lebih
tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi dan eklampsi
tanpa sindroma HELLP.
Gambaran klinis sindroma HELLP bervariasi. Oleh sebab itu diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sindroma HELLP. Pasien
pasien dengan factor resiko, diharapkan melakukan pemeriksaan kehamilan
(ANC) secara teratur.
Diagnosis dini sangat penting karena penanganan dini dapat menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas maternal dan neonatal. Pengobatan sindroma
HELLP juga harus memperhatikan cara-cara pengobatan dan perawatan pada
preeclampsia dan eklampsia.

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, S. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK-UI. 2009: 530-60
2. Jayakusuma A. Sindroma HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK-
UNUD. 2005. 25-43
3. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR. 2003: 10-
19
4. Bailis A, Witter f. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons
Hopkins Manual of Gynecology and Obstretrics, 3rd Ed. 2007
5. Pokharel, S. K., S. K. Chattopadhyay, R. Jaiswal, and P. Shakya. 2008.
HELLP Syndrome a pregnancy disorder with poor prognosis. Nepal
Med Coll. J., 10(4) : 260-3
6. Rambulangi, J. 2006. Sindrom HELLP. Cermin Dunia Kedokteran , 151 :
24-8
7. Rath, W., A. Faridi , and J. W. Dudenhausen. 2000. HELLP syndrome. J
Perinat Med. 28: 249-60
8. Cunningham, F. G, K. J. Leveno, S. L. Bloom, J.C Hauth, D.J. Rouse, and
C. Y. Spong. Pregnancy Hypertension. In : Williams Obstetrics. 23th
Edition. USA: The McGraw-Hil Companies.
9. Sibai, B. M. 2004. Syndrome Of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and
Low Platelet Count. The American College of Obstetricians and
Gynecologists, 103(5): 981-91

12
10. Haddad, B, and B. M. Sibai. 2005. Expectant Management of Severe
Preeclampsia: Proper Candidates and Pregnancy outcomes. Clin Obstet
Gynecol, 48: 430-40

13

Anda mungkin juga menyukai