Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakokinetik pada Ibu Hamil

Kehamilan menginduksi berbagai adaptasi dan perubahan fisiologis, yang

dapat berujung pada penurunan konsentrasi obat dalam darah. 2 Farmakokinetik

obat-obat saat hamil jelas tidak sama dengan tidak hamil, oleh karena adanya

perubahan fisiologik pada saat hamil tersebut. Perubahan-perubahan

farmakokinetik saat hamil antara lain:1

1. Volume darah dan cairan tubuh meningkat hingga 81% sehingga kadar

obat dalam plasma darah akan menurun.


2. Kadar protein dalam plasma rendah, akibatnya ikatan obat dengan protein

akan menurun sehingga kadar obat bebas dalam darah akan meningkat.
3. Aliran darah ke ginjal meningkat sehingga filtrasi glumerolus akan

meningkat dan ekskresi obat melalui ginjal juga meningkat sehingga masa

aksi kerja obat dalam tubuh akan lebih singkat.


4. Kadar progesteron saat hamil meningkat, sehingga metabolisme hepar

meningkat, hal ini mengakibatkan kadar obat bebas dalam darah menurun.
5. Peristaltik menurun sehingga absorpsi melalui usus akan menurun, dengan

demikian kadar obat per oral dalam serum ibu hamil akan lebih rendah

dibanding dengan ibu yang tidak hamil. Oleh karena itu dosis obat per oral

yang diberikan pada ibu hamil relatif harus lebih tinggi dibanding ibu tidak

hamil untuk mendapatkan dosis terapeutik dalam darah yang sama.

Kondisi seperti diatas menjadi masalah yang harus dipertimbangkan dalam

pemberian obat pada ibu hamil, oleh karena setiap obat yang diberikan pada ibu

3
4

hamil hampir selalu ada sebagian yang mampu menembus barier plasenta dan

masuk kedalam unit janin dalam rahim.1

2.2 Farmakokinetik dan Perjalanan Obat ke Janin

Kebanyakan studi tentang transfer obat-obatan melalui barrier maternal

dan fetal/embrionik tertuju pada masa akhir kehamilan, tapi hanya sedikit yang

diketahui tentang perpindahan substansi pada fase awal kehamilan, dimana

performa morfologi dan fungsional, baik yolk sac maupun plasenta berubah.2

Plasenta adalah barrier lipid antara sirkulasi maternal dan sirkulasi fetal,

sehingga obat-obatan larut lemak akan menembus lebih mudah dibandingkan

obat-obatan larut air. Obat-obatan menembus plasenta melalui difusi pasif, dan

obat dengan berat molekul rendah yang tidak terionisasi akan melintas lebih cepat

dibanding obat yang lebih polar.2 Obat dengan berat molekul 20-500 Da dapat

menembus plasenta dengan mudah, bergantung pada kelarutan obat tersebut

dalam lemak dan derajat ionisasi, obat dengan berat molekul 500-1000 Da agak

lebih susah menembus plasenta. Sedangkan obat dengan berat molekul lebih dari

1000 Da susah untuk menembus plasenta.4

Pada bulan ketiga kehamilan, hati janin sudah mampu mengaktifkan

maupun me-nonaktifkan substansi kimia melalui proses oksidasi. Pada

kompartemen janin, detoksifikasi obat-obatan serta metabolitnya berada pada

pertengahan awal kehamilan. Blood-brain barrier pada janin adalah karakteristik

lain yang penting untuk kemungkinan efek fetotoksik oleh obat-obatan.2

Jumlah obat yang mampu menembus barier plasenta tergantung pada :1

1. Jenis obat. Oleh karena jumlah obat yang terikat pada protein dan

mengalami metabolisme tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai.


5

2. Dosis obat. Makin tinggi dosis yang diberikan, akan makin tinggi pula

kadar obat yang masuk kedalam unit janin.


3. Kondisi plasenta. Pada umumnya kondisi plasenta berkaitan erat dengan

usia hamil. Proses pertumbuhan plasenta akan sempurna pada usia hamil

16-20 minggu. Pada usia hamil 21-28 minggu barier plasenta akan lebih

kuat dibanding dengan usia hamil diatas 28 minggu.

Obat-obatan yang beredar dalam unit janin seharusnya mencapai kadar

terkecil yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Minimal

Inhibitory Consentration/MIC) atau kadar terkecil yang mampu membunuh

mikroorganisme (Minimal Bactericidal Consentration/MBC) tanpa menimbulkan

risiko terhadap janin atau hasil konsepsi. Akan tetapi hal ini yang sangat sulit

dilaksanakan oleh karena menentukan dosis terapeutik obat dalam tubuh janin

dalam rahim belum dilaksanakan secara rutin sedangkan MIC dan MBC

ditentukan berdasarkan atas uji kepekaan di laboratorium.1

Pengaruh obat-obatan terhadap janin berkaitan dengan jumlah bahan

didalam peredaran darah (serum), absorbsi dalam usus, metabolisme, ikatan

dengan protein (protein binding), penyimpanan dalam sel, ukuran molekul dan

kelarutan bahan tersebut dalam lemak yang merupakan faktor yang menentukan

kemampuan obat untuk menembus barier plasenta.1

2.3 Teratologi pada Manusia

Beberapa jenis obat memang telah diketahui memberikan efek teratogenik

pada dosis yang relatif rendah pada saat yang tepat misalnya alkohol, thalidomide,

antagonis asam folat dan lain-lainnya, akan tetapi yang penting diketahui adalah

bahwa pemakaian obat-obat tersebut meskipun mempunyai efek teratogenik bila


6

diberikan setelah periode yang kritis tersebut tidak lagi memberikan kelainan-

kelainan yang bersifat struktural.1

Zat teratogenik berpotensi mengganggu proses embriogenesis melalui:

mutasi genetik, pengrusakan atau nondisjunction kromosom, pengurangan atau

inhibisi prekursor genetik, inhibisi enzim, atau perubahan intraseluler karena

perubahan integritas membran sel. Hal-hal tersebut dapat berujung pada kematian

sel, berkurangnya pembelahan sel, kegagalan interaksi antar-sel, gangguan pada

migrasi sel, atau gangguan mekanis lainnya.5

Beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai bahan teratogenik antara

lain :1

1. Telah terbukti bahwa kelainan yang terjadi pada janin berhubungan dengan

pemberian obat tertentu selama masa perkembangan perinatal.


2. Temuan-temuan yang konsisten oleh dua atau lebih penelitian

epidemiologik yang berbobot, kuat uji dan risiko relatif yang memadai (RR

6 atau lebih).
3. Batasan klinis untuk menentukan kelainan bawaan atau -gejala yang

spesifik.
4. Paparan yang jarang berhubungan dengan kejadian kecacatan yang jarang.
5. Hubungan tersebut harus dapat dijelaskan melalui patofisiologi yang benar.

Periode pertumbuhan hasil konsepsi dibagi menjadi :1

1. Periode ovum, yakni sejak saat fertilisasi sampai dengan implantasi.


2. Periode embrionik, yakni sejak minggu kedua sampai dengan minggu

kedelapan setelah fertilisasi.


3. Periode fetal (janin), yakni setelah 8 minggu sampai dengan aterm. Periode

embrionik adalah periode yang paling kritis oleh karena saat ini sedang

dalam fase pembentukan organ-organ (organogenesis).


7

Gambar 2.1. Skema periode embriogenik terhadap peredaan kerentanan


zat teratogenik.
Sumber: Niebyl, J, Simpson, J. (2008,May). Teratology and Drugs in Pregnancy.

(ISSN: 1756-2228); DOI 10.3843/GLOWM.10096 Diakses pada 17 Agustus 2015

dari Global Library of Women Medicine: http://www.glowm.com

Setiap pemakaian obat pada kehamilan, tanpa memandang usia hamil

kemungkinan dapat menimbulkan kelainan pada janin baik fisik maupun mental

dalam tingkat ringan sampai berat. Dikatakan bahwa efek toksik atau teratogenik

obat antibiotika pada janin selalu dikaitkan dengan pemakaian obat pada usia

hamil yang muda (trimester pertama). Pada periode fetal atau janin, terutama

trimester ketiga, pengaruh antibiotika yang diberikan pada ibu hamil tidak akan

mempengaruhi pembentukan organ (malformasi/dismorfogenik).1


8

Gambar 2.2. Diagram periode penting perkembangan manusia.

Sumber: Katzung, BG. (2007). SPECIAL ASPECTS OF PERINATAL &

PEDIATRIC PHARMACOLOGY: INTRODUCTION. Basic and Clinical

Pharmacology. 10th ed. Team McGraw-Hill Company

2.4 Kategori risiko teratogenik FDA

Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat menyebutkan 5

label kategori penggunaan obat dalam kehamilan.5 Indeks keamanan penggunaan

obat pada wanita hamil tersebut adalah:1

1. Kategori A: studi pada wanita hamil menunjukkan tidak adanya risiko

terhadap janin di trisemester pertama kehamilan. Obat golongan ini aman

untuk dikonsumsi oleh ibu hamil.


2. Kategori B: studi pada hewan percobaan sedang reproduksi tidak

menunjukkan adanya gangguan pada fetus dalam trisemester pertama,

tidak ada studi pada wanita hamil. Obat golongan ini bila diperlukan dapat

diberikan pada ibu hamil.


9

3. Kategori C: studi pada hewan percobaan menunjukkan gangguan

teratogenik/embrio, tetapi pada wanita hamil tidak ada penelitian. Hanya

digunakan bila benefit-risk ratio menguntungkan. Obat golongan ini boleh

diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar dibanding

efeknya terhadap janin.


4. Kategori D: jelas ada gangguan pada janin manusia. Hanya dapat

digunakan pada keadaan untuk menyelamatkan nyawa ibu.


5. Kategori X: studi pada hewan percobaan maupun manusia menunjukkan

adanya gangguan pada janin. Obat ini merupakan kontraindikasi untuk

dipakai pada kehamilan.

Golongan Obat Klasifikasi Golongan Obat Klasifikasi


Golongan Penisilin B Golongan Makrolid
Golongan Sefalosforin B Eritromisin B
Golongan Aminoglikosida Azitromisin B
Amikasin C Klaritromisin C
Gentamisin C Golongan Fluoroquinolon C
Neomisin C Golongan Anti TBC
Kanamisin D Ethambutol B
Streptomisin D INH C
Tobramisin D Rifampisin C
Golongan Tetrasiklin D Trimetoprim C
Basitrasin C Sulfonamid C/D
Kloramfenikol C Metronidazole B
Klindamisin B Nitrofurantion B
Linkomisin B Aztreonam B
Vankomisin C Linezolid B
Tabel 2.1 Penggolongan Antibiotik berdasarkan kategori kehamilan FDA.
Sumber: Gondo, HK. (2007). Penggunaan Antibiotika pada Kehamilan.

Wijaya Kusuma. Vol. 1, No.1, Hal: 57-62.

2.5 Pemilihan Antibiotik pada Ibu Hamil

Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi, akan

tetapi bisa juga dengan tujuan profilaksis. Untuk tujuan terapi sering dipakai pada

kasus kehamilan dengan tanda klinis adanya infeksi baik lokal maupun sistemik.
10

Sedangkan untuk tujuan profilaksis sering digunakan pada kasus dimana pada

keadaan tersebut sebenarnya belum tampak adanya gejala infeksi, akan tetapi

kondisi ibu seperti ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi yang

membahayakan ibu dan atau janin didalam rahim.1

Bagaimanapun juga, monitoring janin disarankan pada pemakaian

antibiotik berikut ini:

1. Penisilin
Penisilin yang digunakan secara luas selama kehamilan termasuk ampisilin,

amoksisilin, penisilin G, penisilin V, dsb. Penisilin termasuk golongan antibiotik

-laktam yang mempunyai efek bakterisidal, berkerja dengan menghambat

sintesis dinding sel bakteri.2 Hal ini menyebabkan aktivasi enzim proteolitik pada

dinding sel.6 Mekanisme pasti kematian sel masih belum sepenuhnya dimengerti,

tapi autolisis dan kerusakan pembentukan dinding sel termasuk. Penisilin dan

sefalosforin membunuh bakteri ketika sedang aktif berkembang dan membentuk

dinding sel. 4
Penisilin memiliki toksisitas rendah bagi ibu maupun janin bila digunakan

pada dosis terapi. Penisilin menembus plasenta pada konsentrasi rendah, dan telah

terbukti zat ini terakumulasi pada cairan amnion. Tidak ada bukti yang

menunjukkan penisilin memiliki sifat teratogenik. 2 Interval dosis lebih pendek

atau peningkatan dosis untuk mencapai konsentrasi plasma seperti pada wanita

tidak hamil. Penisilin utamanya diekskresi lewat ginjal via sekresi tubular dan

filtrasi glomerular. Volume distribusi dan klirens renal meningkat selama

trisemester kedua dan ketiga.3


Penisilin sudah terbukti non-toksik. Kebanyakan dari efek samping serius

yang ditimbulkan adalah reaksi hipersensitivitas. Reaksi alergi yang muncul

termasuk syok anafilaktik, reaksi serum-sickness (urtikaria, demam, bengkak pada


11

sendi, angioneurotic, edema, pruritus intens, gangguan pernafasan selama 7-12

hari setelah pajanan), dan berbagai variasi ruam pada kulit.4


Hampir semua infeksi oleh stafilokokus disebabkan oleh kuman penghasil

penisilinase dan karena itu harus diobati dengan golongan penisilin yang tahan

terhadap penisilinase.6 Penisilin merupakan antibiotics of choice dalam kehamilan

dan dapat digunakan pada kehamilan.2

Antibiotika Dosis Dewasa Kategori FDA


Penisilin G (IV) 1-4 mU q4-6h B
Penisilin VK (PO) 250-500 mg qid B
Amoksisilin (PO) 250-500 mg tid B
Ampisilin (PO) 150-300 mg q6h B
Tabel 2.2 Panduan dosis Penisilin dan kategori kehamilan FDA.

Sumber: Katzung, BG. (2007). BETA-LACTAMS COMPOUNDS. Basic and

Clinical Pharmacology. 10th ed. Team McGraw-Hill Company

2. Sefalosforin
Sefalosforin juga termasuk dalam golongan -laktam akan tetapi

farmakokinetik dan sifat antibakterial-nya berbeda dengan penisilin. Berdasarkan

spektrum aktivitasnya melawan bakteri gram negatif, sefalosforin terbagi dalam

empat generasi. Banyak obat generasi pertama dan kedua yang telah diteliti pada

kehamilan, meski penelitian lebih lajut masih sangat dibutuhkan, generasi satu

dan dua dianggap cukup aman, tanpa efek samping pada janin bila digunakan

selama kehamilan dibandingkan generasi ketiga dan keempat.2


Sefalosporin generasi pertama sangat baik untuk mengatasi infeksi kulit dan

jaringan lunak oleh S. Aureus dan S. Pyogenes. Pada tindakan bedah, digunakan

juga untuk mencegah kontaminasi bakteri yang berasal dari flora kulit.6
12

Sefalosporin menembus plasenta dan dapat mencapai kadar terapeutik pada

cairan amnion dan jaringan janin.kebanyakan sefalosporin diekskresikan dalam

bentuk utuh melalui ginjal dengan proses sekresi tubuli. 6 Eliminasi obat ini lebih

cepat dan mungkin akan dibutuhkan penyesuaian dosis pula.2 Reaksi alergi adalah

efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang

ditimbulkan oleh penisilin.4 Sefalosporin dapat digunakan selama kehamilan bila

diperlukan, lebih diutamakan dari generasi pertama.2

Antibiotika Dosis Dewasa Kategori FDA


Sefalosporin generasi pertama
Sefazolin (IV) 0.5-2 gr/8jam B
Sefadroksil (PO) 1.5-1 gr/hari bid B
Sefaleksin (PO) 0.25-0.5 gr qid B
Sefalosporin generasi kedua
Sefoksitin (IV) 1-2 gr q6-8h B
Sefuroksim (IV) 0.75-1.5 gr q8h B
Sefofetan (IV) 1-2 gr q12h B
Sefalosporin generasi ketiga
Sefotaksim (IV) 1-2 gr q6-12h B
Seftazidim (IV) 1-2 gr q8-12h B
Seftriakson (IV) 1-4 q24h B
Sefalosporin generasi keempat
Sefepim (IV) 0.5-2 gr q12h B
Tabel 2.3 Panduan dosis Sefalosporin dan kategori kehamilan FDA.

Sumber: Katzung, BG. (2007). BETA-LACTAMS COMPOUNDS. Basic and

Clinical Pharmacology. 10th ed. Team McGraw-Hill Company

3. Makrolid

Eritromisin adalah jenis makrolid yang tertua. Mekanisme kerja obat ini

adalah menghambat sintesis protein bakteri dengan jalan berikatan secara


13

reversibel dengan ribosom subunit 50S dan umumnya bersifat bakteriostatik,

walaupu kadang bersifat bakterisidal untuk bakteri yang sangat peka.6

Basa eritromisin diserap baik di usus bagian atas, aktivitas menurun karena

obat dirusak oleh asam lambung. Hanya 2-5% eritromisin yang diekskresikan

dalam bentuk aktif melalui urin. Obat ini diekskresikan utama melalui hati.

Ertiromisin berdifusi baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali otak dan cairan

serebrospinal. Pada ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus adalah 5-

20% dari kadar obat dalam sirkulasi ibu.6 Keamanan obat ini terbukti karena

sedikitnya kasus kelainan kongenital pada anak-anak.2

Klaritromisin memiliki struktur kimia yang mirip dengan Eritromisin.

Sering pula dilaporkan adanya kelainan kardiovaskuler, gangguan cleft palate,

retardasi pertumbuhan janin, dan kematian embrio, namun hal tersebut masih

sangat kontroversial.2

Efek samping berat pada penggunaan eritromisin dan turunannya jarang

terjadi. Reaksi alergi yang mungkin timbul ialah dalam bentuk demam,

eosinofilia, dan eksantema yang cepat hilang bila terapi dihentikan. 6 Eritromisin

estolat dapat mengakibatkan aku kolestasis hepatitis (demam, jaudice, gangguan

fungsi hati) oleh karena reaksi hipersensitivitas.4

Eritromisin merupakan drug of choice pada infeksi bakteri

corynebacterium seperi eritrasma pada kulit. Selain itu, obat ini juga efektif

terhadap bakteri stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, dan enterokokus.6

Eritromisin masih menjadi drug of choice golongan makrolid selama kehamilan.

Eritromisin estolat dan troleandomisin tidak boleh diberikan selama trisemester


14

kedua dan ketiga. Golongan terbaru makrolid seperti azitromisin, klaritromisin,

josamisin, dan roksitromisin adalah second-choice.2

Antibiotika Dosis Dewasa Kategori FDA


Eritromisin stearat 0.25-0.5 mg q6h B
Eritromisin
0.4-0.6 gr q6h B
etilsuksinat
500 mg single dose pada community
Azitromisin B
acquired pneumonia
Klaritromisin 250-500 mg bid C
Tabel 2.4 Panduan dosis Makrolid dan kategori kehamilan FDA.4

Sumber: Katzung, BG. (2007). TETRACYCLINES, MACROLIDES,

CLINDAMYCIN, CHLORAMPHENICOL, & STREPTOGRAMINS:

INTRODUCTION. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Team McGraw-

Hill Company.

4. Linkomisin dan klindamisin

Penggunaan linkomisin telah ditinggalkan oleh karena daya anti bakterinya

lebih lemah dan absorbsinya kurang baik bila dibandingkan dengan Klindamisin. 6

Golongan antibiotik ini diberikan hanya bila penisilin, sefalosforin, eritromisin

atau golongan makrolid lainnya tidak efektif. Tidak ada efek teratogenik maupun

fetotoksik yang dilaporkan pada penggunaan linkomisin ini pada kehamilan.2

5. Tetrasiklin

Tetrasiklin terikat pada kalsium dan terdeposit pada tulang dan gigi yang

baru saja terbentuk pada anak-anak. Bila tetrasiklin diberikan saat kehamilan, zat

akan terdeposit pada gigi janin, menyebabkan fluoresensi, diskolorasi, dan

displasia enamel.4 Hal ini terjadi mulai dari pertengahan kehamilan hingga 4

hingga 6 bulan pasca persalinan pada desidua gigi anterior. Dan mulai usia
15

beberapa bulan hingga usia 5 tahun untuk gigi permanen ketika mahkota gigi

mulai terbentuk.7 Selain itu tetrasiklin dapat pula terdeposit di tulang, dimana

dapat mengakibatkan deformitas ataupun inhibisi pertumbuhan tulang. Tetrasiklin

juga dapat merusak fungsi hati, terutama saat kehamilan, pada pasien dengan

insufisiensi hepatik dan bila dosis tinggi diberikan intravena. 4

Hal ini dipengaruhi oleh tipe tetracycline, dosis, lama pengobatan, dan

tahapan kalsifikasi gigi saat pajanan obat. Tetracyclines kontraindikasi diberikan

setelah minggu ke-15 kehamilan.2

6. Sulfonamid dan Trimetoprim

Sulfonamid menembus plasenta dengan baik dan konsentrasi janin hingga

50-90% konsentrasi plasma ibu. Golongan sulfonamid mempunyai kapasitas

mobilisasi bilirubin sehingga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada

neonatus. Trimetoprim dengan dosis tinggi mempunyai efek teratogenik pada

tikus (menyebabkan cleft palate).2

Namun, tidak banyak bukti kuat yang menunjukkan trimetoprim atau co-

trimoxazole menyebabkan risiko teratogenik serius pada manusia. Bila

trimethoprim atau co-trimoxazole termasuk kategori C untuk kehamilan, bila

sangat dibutuhkan, dapat diberikan hanya pada trisemester pertama, dan

suplementasi asam folat (0,5 mg/hari) dapat diberikan.2

7. Quinolon

Quinolon menembus plasenta dan ditemukan dalam cairan amnion dalam

konsentrasi rendah. Penggunaan quinolon pada trisemester awal kehamilan tidak

berkaitan dengan peningkatan risiko malformasi mayor atau efek samping lain di

akhir kehamilan.2 Golongan ini tidak diindikasikan untuk anak (sampai 18 tahun)
16

dan ibu hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan

obat ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.6 Quinolones hanya boleh digunakan

pada kasus infeksi komplikasi yang telah resisten terhadap pilihan antibiotik lain

saat kehamilan.2

8. Aminoglikosida

Telah diketahui bahwa gentamisin dan streptomisin berkaitan dengan

nefrotoksisitas dan kerusakan saraf pendengaran yang menyebabkan ketulian pada

bayi baru lahir sehingga obat ini relatif kontraindikasi untuk diberikan pada pasien

hamil.4 Insidens efek samping ini lebih tinggi pada pemberian pada empat bulan

pertama kehamilan. Kurang banyak data yang tersedia tentang obat

aminoglikosida lainnya, sehingga disarankan untuk menggunakannya dengan

perhatian lebih pada ibu hamil hanya pada indikasi klinis yang kuat bila tidak ada

alternatif pengobatan lainnya.7

Pemberian aminoglikosida scara parenteral tidak direkomendasikan saat

kehamilan.bila diberikan pada dosis tinggi, fungsi ginjal neonatus harus dimonitor

dan tes pendengaran juga harus dilakukan. 2

9. Kloramfenikol

Kloramfenikol dapat menyebabkan supresi produksi sel darah merah,

aplastik anemia, reaksi idiosinkrasi, yang ireversibel bahkan dapat berakibat fatal. 4

Kloramfenikol relatif toksis, dan dapat menyebabkan agranulositosis. Obat akan

menembus plasenta dan mencapai konsentrasi di janin. Tidak boleh diberikan

pada mingu-minggu akhir kehamilan, karena metabolisme neonatus yang tidak

adekuat, kloramfenikol dapat menyebabkan gray baby syndrome (gangguan

makan, muntah, kulit ash-gray, distres pernafasan, dan kolaps kardiovaskuler),


17

yang dapat berakibat fatal bagi neonatus. Kloramfenikol dan tiamfenikol

kontraindikasi diberikan saat kehamilan kecuali bila sangat diperlukan. 2

Anda mungkin juga menyukai