Lion Blok 29
Lion Blok 29
Kegawatdaruratan ARDS
Lion Pamungkas
102016287
D10
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara-Jakarta Barat-Indonesia
lion.pamungkas@gmail.com
Pendahuluan
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut
yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. Estimasi yang akurat tentang insidensi
ARDS sulit karena definisi yang tidak seragam serta heterogenitas penyebab dan
manifestasi klinis. Estimasi insidensi ARDS di Amerika Serikat sebesar 100.000-
150.000 jumlah penduduk per tahun (1996). Dahulu ARDS memiliki banyak nama
lain seperti wet lung, shock lung, leaky-capillary pulmonary edema dan adult
respiratory distress syndrome. Tidak ada tindakan yang spesifik untuk mencegah
kejadian ARDS meskipun faktor risiko sudah diidentifikasi sebelumnya.1
Skenario Kasus
Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa oleh keluarganya ke IGD RS karena
sesak napas. Ia baru saja dievakuasi dari lokasi kebakaran. Diketahui pemeriksaan
fisik tampak sakit berat, tekanan darah 120/80 mmHg, pernapasan 32 x/menit, suhu
38,3oC, retraksi dada (+), ronki basah kasar di seluruh lapang paru. Foto rontgen
tampak infiltrat bilateral. Hasil pemeriksaan laboratorium AGD pH: 7,35, HCO 3: 18
mmol/L, PO2: 30, PCO2: 30, dengan menggunakan oksigen 10 L/menit via
rebreathing mask.
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu sesi yang penting dalam kita mengetahui apa yang
sedang dirasakan oleh pasien, kita harus menanyakan dengan terperinci dari keluhan
terkait. Adapun anamnesis yang terkait dengan skenario adalah sebagai berikut:2
1. Identitas pasien, kita bisa menanyakan dari nama, alamat, tempat tanggal lahir
Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran dan Keadaan umum. Dalam memeriksakan tingkat kesadaran kita
bisa menggunakan Glasgow Coma Scale, scale ini juga berfungsi untuk kita
memonitor dari perkembangan si pasien itu.3
Pada keadaan umum kita bisa melihat pasien ini dari tingkat kesakitannya
nampak sakit ringan, sedang atau berat. Penderita umumnya sangat gelisah dan sesak.
Kesadaran bervariasi dari sedikit berubah sampai koma.
Pemeriksaan Penunjang
1. Analisis Gas Darah (AGD)
Jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO 2) dibagi oleh
fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 200 atau kurang.
Untuk pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti bahwa PaO 2 kurang dari 200.
Pada cedera paru akut (ALI), rasio PaO 2/FIO2 kurang dari 300. Selain
hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis pernapasan.
Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik dengan
atau tanpa kompensasi pernapasan mungkin ada. Saat kondisi berlangsung dan
pekerjaan peningkatan pernapasan, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai
meningkat dan alkalosis pernapasan memberikan cara untuk asidosis pernafasan.
Pasien pada ventilasi mekanik untuk ARDS mungkin diperbolehkan untuk tetap
hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan dari volume tidal
rendah dan terbatas dataran tinggi strategi ventilator tekanan yang bertujuan
untuk membatasi ventilator terkait cedera paru-paru.4 Untuk mengecualikan
edema paru kardiogenik, mungkin akan membantu untuk mendapatkan plasma B-
type natriuretic peptide (BNP) nilai dan ekokardiogram. Tingkat BNP kurang dari
100 pg / mL pada pasien dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia nikmat
diagnosis ARDS / cedera paru akut (ALI) daripada edema paru kardiogenik.
Echocardiogram yang menyediakan informasi tentang fraksi ejeksi ventrikel kiri,
gerakan dinding, dan kelainan katup.4
2. Radiografi
ARDS didefinisikan oleh adanya infiltrat paru bilateral. Infiltrat mungkin
menyebar dan simetris atau asimetris, terutama jika dilapiskan di atas sudah ada
sebelumnya penyakit paru-paru atau jika menyebabkan ARDS adalah proses
paru, seperti aspirasi atau memar paru-paru. Infiltrat paru biasanya berkembang
dengan cepat, dengan tingkat keparahan maksimal dalam 3 hari pertama. Infiltrat
dapat terlihat pada radiografi dada segera setelah timbulnya kelainan pertukaran
gas. Mereka mungkin interstisial, ditandai dengan pengisian alveolar, atau
keduanya. Untuk pasien yang mulai membaik dan menunjukkan tanda-tanda
resolusi, perbaikan dalam kelainan radiografi umumnya terjadi selama 10-14
hari, namun.4
3. Computed Tomography
Secara umum, evaluasi klinis dan radiografi dada yang cukup rutin pada
pasien dengan ARDS. Namun, computed tomography (CT) scanning dapat
diindikasikan dalam beberapa situasi. CT scan lebih sensitif dibandingkan
radiografi dada polos dalam mendeteksi emfisema interstisial paru, pneumotoraks
dan pneumomediastinum, efusi pleura, kavitasi, dan limfadenopati mediastinum.
Heterogenitas keterlibatan alveolar sering terlihat pada CT scan bahkan di
hadapan infiltrat difus homogen pada radiograf dada rutin.4
4. Echocardiography
Sebagai bagian dari pemeriksaan, pasien dengan ARDS harus menjalani
ekokardiografi 2-dimensi untuk tujuan skrining. Jika temuan ini sugestif shunting
paten foramen ovale, 2-dimensi ekokardiografi harus ditindaklanjuti dengan
transesophageal echocardiography. Karena pasien dengan ARDS parah sering
membutuhkan posisi rentan berkepanjangan karena hipoksemia refraktori, sebuah
studi dinilai penggunaan transesophageal echocardiography (TEE) pada pasien
dalam posisi rawan. Penelitian menetapkan bahwa TEE dapat dengan aman dan
efisien dilakukan pada pasien dengan ARDS parah dalam posisi rawan.4
Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat
berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi
sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme
dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru
dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan
ARDS berkisar antara 30-50%.1
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS
Aspirasi cairan lambung dapat menyebabkan ARDS. Berat ringannya edema paru
berhubungan dengan derajat pH asam lambung dan volume cairan yang teraspirasi.
Asam lambung akan tersebar di dalam paru dalam beberapa detik saja, dan jaringan
paru akan terdapar (buffered) dalam beberapa menit sehingga cepat menimbulkan
edema paru.5
Tenggelam (near drowning). Edema paru dapat terjadi pada mereka yang selamat
dari tenggelam dari air tawar atau air laut. Autopsi penderita yang tidak bisa
diselamatkan menunjukan perubahan patologis paru yang sama dengan perubahan
pada edema paru karena sebab lain. Pada saat tenggelam korban biasanya
mengaspirasi sejumlah air. Air tawar adalah hipotonis, dan air laut adalah hipertonis
relatif terhadap darah, yang menyebabkan pergerakan cairan melalui membran
alveolar-kapiler ke dalam darah atau ke dalam paru. Resultante perubahan konsentrasi
elektrolit dalam darah sebanding dengan volume cairan yang diabsorpsi.5
Pneumonia. Pemeriksaan histologis dan mikroskop elektron, edema paru pada
infeksi paru menunjukan perubahan yang sama dengan edema paru karena
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Mekanisme dikarenakan terjadinya reaksi
inflamasi sehingga mengakibatkan kerusakan endotel.5
Emboli lemak. Mekanisme terjadinya emboli lemak sampai saat ini masih belum
jelas. Lemak netral yang mengemboli paru jelas berasal dari lemak dalam sumsum
tulang yang dilepaskan oleh tenaga mekanik. Mungkin triolein dari lemak netral
sebagian dihidrolisis menjadi asam lemak bebas oleh lipoprotein lipase dalam paru,
dan kerusakan utama pada paru disebabkan oleh asam lemak bebas. Namun demikian,
sebagian kerusakan paru mungkin terjadi melalui hipertensi pulmonal yang
disebabkan oleh embolisasi, trombositopenia yang diinduksi oleh lemak yang
bersirkulasi, atau koagulasi dan lisis fibrin dalam paru. Apa pun penyebabnya,
gambaran histologisnya sama dengan edema paru karena peningkatan permeabilitas,
dengan gambaran tambahan berupa globul lemak dalam pembuluh darah kecil dan
lemak bebas dalam ruang alveolar. Emboli lemak banyak ditemukan pada kasus patah
tulang panjang, terutama femur atau tibia.5
Inhalasi bahan kimia toksik. Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi
paru seperti yang disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat
disebabkan akibat paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur
dioksida, oksida metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks lainnya. Fosgen
adalah gas yang sangat reaktif, dan banyak dihasilkan oleh industri-industri penghasil
polimer, pharmaceutical, dan metalurgi. Senyawa induk fosgen adalah chloroform dan
gas fosgen merupakan metabolit toksiknya. Jika terhisap oleh manusia pada
konsentrasi tertentu menyebabkan edema paru-paru akibat adanya gangguan
keseimbangan cairan yang ada dan meningkatkan peroksida lipid dan permeabilitas
pembuluh darah.5
Keracunan oksigen. Oksigen dalam konsentrasi tinggi ternyata toksik terhadap
paru. Edema paru dapat terjadi 24-72 jam setelah terpapar oksigen 100%. Lesi yang
ditimbulkan secara histologis mirip dengan edema paru yang ditimbulkan akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Di bawah mikroskop elektron, perubahan dini
yang terjadi adalah penebalan ruang interstisial oleh cairan edema yang berisi serat
fibrin, leukosit, trombosit, dan makrofag. Ini terjadi sebelum tampak kerusakan
endotel.5
Sepsis. Septikemia karena basil gram negatif infeksi ekstrapulmonal merupakan
faktor penyebab penting edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru.5
Inhalasi asap dan luka bakar saluran napas. Kerusakan saluran napas telah lama
diketahui menjadi penyebab mortalitas utama pada penderita luka bakar dan sekarang
jelas bahwa inhalasi asap tanpa luka bakar termis juga menjadi penyebab kematian
utama. Jenis kerusakan saluran napas tergantung dari jenis bahan yang terbakar dan
zat kimia yang terkandung di dalam asap yang ditimbulkan.5
Gejala Klinis
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh perkembangan
dispnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa hari , seperti trauma,
sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut, atau aspirasi. Sindroma
gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan dasarnya. Di
awali penderita akan merasakan sesak nafas, dan biasanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat
atau biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi.
Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ
lain segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan
penderita tidak membaik. Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa
menyebabkan komplikasi serius seperti gagal ginjal. Jika pada stadium awal
pemebrian tambahan oksigen dapat negurnagi gejala sementara. Selanjutnya penderita
secara bertahap dapat membaik tapi sebagian besar penderita mengalami perburukan
mneuju hipoksemia dan hiperkapni berat. Oksigen tambahan gagal mempebaiki
kondisi klinis sehingga diperlukan ventilasi mekanis. Pada stadium iini banyak
penderita meninggal dunia, sedangkan yang bertahan hidup memerlukan bantuan
pernafasan jangka panjang.6
Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena penderita
kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya menderita pneumonia
bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan
cemas, merasa ajalnya hampir tiba karena merasakan sesak nafas yang sangat, tekanan
darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh kegagalan organ lain),
penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat
sakit.6
Patogenesis1
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada
ARDS.3 Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan
kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium
alveolar ini menentukan prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel
pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah
pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi
10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik
intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap
kerusakan. Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam
mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis.
Kerusakan pada fase aku terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar,
diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein pada membran basal
epitel yang gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan
interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein.
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists, soluble
tumor necrosis factor receptor, autoantibodi yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10
menjaga keseimbangan alveolar.
Patofisiologi1
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial
dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelectasis kongestif difus.
Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan
filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik protein
dan hidrostatik.
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya edema
paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel
kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan
kapiler tersebut akan mengencerkan protein interstitial sehingga tekanan osmotik
interstitial menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
Diagnosis Banding
Pneumonia7
Pneumonia adalah infeksi pada salah satu atau kedua paru-paru, lebih tepatnya
peradangan itu terjadi pada kantung udara (alveolus). Kantung udara akan terisi cairan
atau nanah sehingga menyebabkan sesak nafas,batuk berdahak, demam, menggigil,
dan kesulitan bernafas. Infeksi tersebut bisa disebabkan oleh bakteri, virus, atau pun
jamur.4
Penyakit pneumonia ini bisa digolongkan berdasarkan usia,berat atau ringannya
dari suatu penyakit dan juga apa yang menyebabkan penyakit ini menjadi sulit atau
komplikasi yang terjadi.
Gejala penyakit infeksi saluran nafas pneumonia ringan seringkali mirip dengan
flu atau common cold (sakit demam, batuk, pilek), namun tak kunjung sembuh atau
bertahan lama.
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
1. Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anatomis.
2. Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
3. Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
4. Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara
pada bronkus karena tiadanya pertukaran udara pada alveolus).
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan
Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus
Prinsip Penanganan
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif bagi
pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi syndrome (MODS)
meliputi:8
1. Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
2. Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen.
3. Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ dengan cara
meminimalkan angka metabolik.
4. Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
5. Dukungan nutrisi.
a.
Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah (4-6
mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan untuk
memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 >60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman,
menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah
refleksi dari kurva pressure-volume) dan menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi:
ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan
hiperkapnea yang diperbolehkan).1
Selain pengaturan ventilasi dengan cara diatas, masih ada lagi teknik pengaturan
ventilasi untuk ARDS (strategi ventilasi terkini) meliputi high frequency
ventilation (HVF), inverse ratio ventilation (IRV), airway pressure release
ventilation (APRV), prone position, pemberian surfaktan eksogen, ventilasi
mekanik cair dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) serta
extracorporeal carbon dioxide removal (ECCO2R).1
Metode HFV dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat serta mencegah
kolaps alveoli melalui frekuensi tinggi (300 x/menit) dan volume tidal rendah (3-5
ml/kg). Teknik ini berhasil diaplikasikan pada neonatus dengan penyakit membran
hialin, tetapi manfaat HFV pada ARDS dewasa masih belum dipastikan.1
Metode IRV didesain untuk memperpanjang fase siklus ventilasi inspirasi, yang
mengakibatkan peningkatan tekanan saluran pernapasan, sehingga memperbaiki
oksigenasi. Rasio I:E normal adalah 1:2 dan IRV dapat memperpanjang fase
inspirasi menjadi rasio I:E melebihi 1:1. Manfaat IRV pada ARDS masih
kontroversial dan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan cara ini sering kali
memerlukan sedasi dan paralisis otot yang kuat bagi pasien.1
Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal saat terjadi penurunan
sementara tekanan intratoraks dan mempertahankan tekanan inspriasi yang
Komplikasi
Pasien dengan ARDS sering membutuhkan ventilasi mekanis intensitas tinggi,
termasuk tingginya tingkat positif akhir ekspirasi tekanan (PEEP) atau terus menerus
tekanan saluran udara positif (CPAP) dan, mungkin, tinggi berarti tekanan jalan napas,
dengan demikian, barotrauma dapat terjadi. Pasien datang dengan
pneumomediastinum, pneumotoraks, atau keduanya. Komplikasi potensial lainnya
yang mungkin terjadi pada pasien ini ventilasi mekanik termasuk ekstubasi
kecelakaan dan intubasi mainstem benar.8
Jika ventilasi mekanis yang lama diperlukan, pasien mungkin akhirnya
membutuhkan trakeostomi. Dengan intubasi berkepanjangan dan trakeostomi,
komplikasi saluran udara bagian atas dapat terjadi, terutama edema laring
postextubation dan stenosis subglottic.8
Karena pasien dengan ARDS sering membutuhkan ventilasi mekanis yang
berkepanjangan dan pemantauan hemodinamik invasif, mereka berisiko untuk infeksi
nosokomial serius, termasuk ventilator-associated pneumonia (VAP) dan sepsis baris.
Insiden VAP pada pasien ARDS mungkin setinggi 55% dan tampaknya lebih tinggi
dari itu pada populasi lain yang membutuhkan ventilasi mekanis. Strategi pencegahan
termasuk elevasi kepala tempat tidur, penggunaan tabung hisap subglottic
endotrakeal, dan dekontaminasi oral.8
Infeksi potensial lainnya termasuk infeksi saluran kemih (ISK) yang berkaitan
dengan penggunaan kateter urin dan sinusitis yang berhubungan dengan penggunaan
makanan hidung dan tabung drainase. Pasien juga dapat mengembangkan kolitis
Prognosis
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh:8
1. Faktor risiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain-lain
2. Penyakit dasar
3. Adanya keganasan
4. Ada atau timbulnya disfungsi organ multipel
5. Usia
6. Riwayat penggunaan alkohol
7. Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio
PaO2/FiO2 dalam 3-7 hari pertama.
Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan
mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah ekstubasi.
50% pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan penurunan
kapasitas difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.8
Pencegahan
1.
Meskipun faktor risiko untuk ARDS diketahui, tidak ada tindakan
pencegahan yang sukses telah diidentifikasi. Cairan manajemen
hati dalam pasien berisiko tinggi dapat membantu. Karena
pneumonitis aspirasi merupakan faktor risiko untuk ARDS,
mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah aspirasi
(misalnya, mengangkat kepala tempat tidur dan mengevaluasi
mekanik menelan sebelum memberi makan pasien berisiko
tinggi) juga dapat mencegah beberapa kasus ARDS.7
2.
Pada pasien tanpa ARDS pada ventilasi mekanik, penggunaan
volume pasang surut yang tinggi tampaknya menjadi faktor
risiko untuk pengembangan ARDS, dan, karenanya, penggunaan
volume tidal rendah pada semua pasien pada ventilasi mekanik
dapat mencegah beberapa kasus pada ARDS.7
3.
Konsultasi. Pengobatan pasien dengan ARDS memerlukan
keahlian khusus dengan ventilasi mekanis dan pengelolaan
penyakit kritis. Dengan demikian, adalah tepat untuk
berkonsultasi dengan dokter yang mengkhususkan diri dalam
pengobatan paru atau perawatan kritis atau ICU.7
Kesimpulan
ARDS adalah penyakit paru-paru yang disebabkan oleh masalah baik langsung
maupun tidak langsung. Hal ini ditandai adanya peradangan pada parenkim paru yang
menyebabkan gangguan pertukaran gas, keluarnya mediator inflamasi, hipoksemia
dan sering menyebabkan multiple organ failure.
Daftar Pustaka
1. Susanto YS, Sari FR. Penggunaan ventilasi mekanis invasif pada acute respiratory
distress syndrome (ards). J Respir Indo. 2012. Vol. 32. 1: 44-50.
2. Djojodibroto D. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC; 2009. hal.236.
3. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: EMS; 2005. hal. 22-3.
4. Piantadosi CA , Schwartz DA. The acute respiratory distress syndrome. Ann
Intern Med; 2004.p.141;460-70.
5. Huldani. Edem paru akut. Banjarmasin: Universitas lambung mangkurat; 2014.
hal.7-10.
6. Kisara A, Harahap MS, Budiono U. Heparin intravena terhadap rasio pf pada
pasien acute lung injury (ali) dan acute respiratory distress syndrom (ards). J Anes
Indo. 2012. Vol. 4. 3: 136-8.
7. Dahlan Z. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pneumonia. Edisi 4. Jilid 1. Jakarta; FKUI:
2006. hal. 974-8.
8. Amin Z, Purwoto J. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Acute respiratory distress
syndrome (ards). Edisi 4. Jilid 1. Jakarta; FKUI: 2006. hal. 181-2.