Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan stroke

Cedera vaskular serebral (CVS), yang sering disebut stroke adalah cedera otak yang
berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak (1). Stroke adalah salah satu penyakit neurologi
yang merupakan ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (2).
Menurut riset yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyebab
kematian yang terbanyak adalah stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan (3). Stroke juga
merupakan penyakit paling umum yang menyebabkan pasien masuk rumah sakit di bagian
neurologi (4). Prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1.000 penduduk, dan
yang telah didiagnosis oleh tenaga ke sehatan adalah 6 per 1.000. Hal ini menunjukkan sekitar
72,3% kasus stroke di masyarakat telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan (5). Sekitar 7.000.000
orang Amerika berusia 20 tahun terserang stroke. Berdasarkan data yang diperoleh oleh Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) / Behavioral Risk Factor Surveillance System
(BRFSS) pada tahun 2009 menemukan dari keseluruhan responden, 2,4% mengalami stroke.
Setiap tahunnya, sekitar 785.000 orang Amerika mengalami stroke untuk pertama kalinya atau
stroke berulang (6).
Secara umum stroke terbagi menjadi 2 macam, yaitu : stroke non hemoragik (stroke
iskemik atau penyumbatan) dan stroke hemoragik (perdarahan). Stroke non hemoragik
merupakan kasus yang paling sering ditemukan. Hasil penelitian yang dilakukan di salah satu
Rumah Sakit di Surakarta, menunjukkan bahwa jenis stroke yang sering terjadi adalah stroke non
hemoragik yaitu sebesar 55,77% dan sisanya sebesar 44,23% adalah stroke hemoragik (7). Data
penyakit utama yang menyebabkan kematian di rumah sakit diIndonesia menurut Depkes RI
tahun 2011 adalah stroke non hemoragik (SNH) sebesar 5,9%, pneumoni 3,5%, demam tifoid
3,5%, tuberculosis paru 3,3%, dan penyakit jantung 3,1%.(8) Terdapat 954 pasien stroke di
RSUP Dr. Kariadi Semarang selama tahun 2008, yang terdiri dari 635 pasien (66,5%) stroke non
Hemoragik (SNH) , 27 pasien (2,8%) trancient ischemic attack (TIA), dan 292 pasien (30,6%)
stroke hemoragik baik yang berupa intracerebral hemorrhagic (ICH) ataupun subarachnoid
hemorrhagic (SAH)(9).
Seseorang menderita stroke karena memiliki faktor risiko stroke, seperti :
usia tua, diabetes mellitus, hiperlipidemia, hipertensi dan lain-lain,salah satu
bentuk upaya untuk menurunkan angka kejadian stroke yaitu dengan mengobati
pasien sesuai dengan faktor risiko pencetusnya, namun biasanya pasien stroke
memiliki faktor risiko stroke lebih dari satu sehingga memungkinkan pasien
stroke mendapatkan berbagai macam obat dalam terapinya (2). Pemberian obat
yang bermacammacam tanpa dipertimbangkan dengan baik dapat merugikan
pasien karena dapat mengakibatkan terjadinya interaksi obat(10). Interaksi obat
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan. Interaksi obat dianggap penting secara klinis jika berakibat
meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi
sehingga terjadi perubahan efek terapi. Interaksi obat merupakan salah satu
kesalahan pengobatan yang paling banyak dilakukan. Namun, terjadinya kesalahan
atau kegagalan pengobatan karena interaksi obat jarang diungkapkan. Padahal
kemungkinan interaksi obat ini cukup besar terutama pada pasien yang
mengkonsumsi lebih dari 5 macam obat secara bersamaan (11).
Dalam upaya mencegah terj adinya interaksi obat dalam pengobatan stroke
non hemoragik, hal tersebut menjadi tolak ukur yang penting demi tercapainya
kerasionalan dalam pemberian obat. Perlu dipahami lebih dalam mengenai
mekanisme dasar terjadinya interaksi obat, serta perubahan fisiologis dan patologis
yang dapat mempengaruhi efek obat terhadap pasien. Dengan adanya pemahaman
mengenai interaksi obat terhadap pasien yang dapat berdampak buruk dapat
diminimalkan atau bahkan dicegah.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka diperlukan adanya penelitian


mengenai interaksi obat stroke non hemoragik pada pasien rawat inap Rumkital Dr.
Mintohardjo sebagai proses pembelajaran kajian pengobatan penyakit stroke non
hemoragik yang tepat dan efektif, mengingat stroke non hemoragik merupakan
penyakit urutan ke-4 dalam peringkat 10 besar penyakit pada rawat inap di
Rumkital Dr. Mintohardjo yang didasarkan pada data rekam medik.
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang pengambilan datanya
dilakukan secara retrospektif. Data yang digunakan adalah data rekam medic
pasien stroke non hemoragik di R umkital Dr. Mintohardjo periode Juli- Desember
2011. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien dewasa penderita stroke
non hemoragik rawat inap yang menerima dua obat diRumkital Dr.Mintohardjo
periode JuliDesember 2011dan kriteria eksklusi adalah pasien stroke non
hemoragik rawat inap yang hamil, menderita penyakit kanker dan datanya tidak
lengkap.

Stroke adalah penyebab utama kematian diseluruh dunia dan menempati urutan ketiga penyebab
kematian di Amerika Serikat [1]. Angka kejadian stroke terus meningkat dengan tajam, baik
dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Setiap tahun sekitar 0,2% populasi mengalami
stroke dengan sepertiganya meninggal dalam 12 bulan berikutnya, sepertiga lainnya memperoleh
kembali kemandirian mereka [2].
Faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke adalah faktor yang tidak
dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti usia, ras, gender, genetik, dan riwayat
transientischemic attack atau stroke sebelumnya. Faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk
factors) berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, arterosklerosis, diabetes melitus, obesitas,
dan alkohol [1].
Secara umum stroke terbagi menjadi 2 macam, yaitu : stroke non hemoragik (stroke
iskemik atau penyumbatan) dan stroke hemoragik (perdarahan). Stroke non hemoragik
merupakan kasus yang paling sering ditemukan. Diperkirakan stroke non hemoragik (iskemik)
terjadi 85% dari jumlah stroke yang ada [3]
salah satu bentuk upaya untuk menurunkan angka kejadian stroke yaitu
dengan mengobati pasien sesuai dengan faktor risiko pencetusnya, namun biasanya
pasien stroke memiliki faktor risiko stroke lebih dari satu sehingga memungkinkan
pasien stroke mendapatkan berbagai macam obat dalam terapinya (2). Pemberian
obat yang bermacammacam tanpa dipertimbangkan dengan baik dapat merugikan
pasien karena dapat mengakibatkan terjadinya interaksi obat(10). Interaksi obat
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan. Interaksi obat merupakan salah satu kesalahan pengobatan yang
paling banyak dilakukan. Namun, terjadinya kesalahan atau kegagalan pengobatan
karena interaksi obat jarang diungkapkan. Padahal kemungkinan interaksi obat ini
cukup besar terutama pada pasien yang mengkonsumsi lebih dari 5 macam obat
secara bersamaan (11).

Anda mungkin juga menyukai