Oleh Muhammad Agus Umar Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui salah satu badan
urusan lingkungannya atau yang dikenal dengan UNEP (United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, Ekonomi Hijau (Green Economi) adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan, ekosistem dan kelangkaan sumber daya alam. Dalam beberapa tahun terakhir ini, konsep Green Economy semakin mendapat perhatian karena sejalan dengan upaya masyarakat dunia untuk mencari solusi terhadap berbagai tantangan global yang terjadi saat ini. Konsep Green Economy tidak hanya menekankan pada berbagai kebijakan yang standar saja, seperti halnya bagaimana menilai lingkungan secara ekonomi dan pemberian sanksi terhadap berbagai aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan. Penekanan konsep ini juga diarahkan pada upaya bagaimana konsep ekonomi hijau tersebut mampu mendorong pelaku ekonomi untuk memproduksi barang, perdagangan, dan mengkonsumsi hal-hal yang ramah lingkungan atau produk barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan tanpa harus merusak ekosistem dan keaneka ragaman hayati yang ada. Tuntutan msyarakat dunia akan pentingnya pembangunan yang berwawasan lingkungan memaksa negara-negara di dunia berupaya untuk mengejewantahkan konsep ekonomi hijau yang dianggap masih kenyal akan defenisinya ini ke dalam program-program starategis pembangunanan negaranya. Negera-negara seperti Tiongkok, India, Kenya dan Korea selatan sudah menunjukan komitmennya untuk mengehijaukan pembangunan di negara mereka. Tiongkok pada tahun 2005 mengeluarkan kebijakan Renewable Energy dengan dukungan penuh pemerintah terhadap pengembangan proyek energi ramah lingkungan khususnya energi angin dan matahari. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kenya, Brasil, Korea Selatan maupun negara lainnya dengan berbagai strategi yang digunakan sesuai dengan karakteristik dan kondisi geografisnya masing-masing seperti pengembangan tata ruang perkotaan dan pedesaan berbasis ekologis, maupun penerapan regulasi berbasis Low Carbon. Konsep pembangunan berwawasan lingkungan di Indoensia telah dimulai sejak diperkenalkannya konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) pada tahun 1972. Seiring dengan dimulainya KTT Bumi di Rio de Janeiro Brasil pada tahun 1992, pada tahun 1997 Indonesia mulai menyusun strategi pembangunan berkelanjutan yang kita kenal dengan Agenda 21. Hadirnya konsep ekonomi hijau di Indonesia melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan yang sudah dicetuskan sebelumya. Akan tetapi sampai saat ini Indoensia belum memiliki kebjikan yang betul-betul didukung komitmen yang kuat untuk bisa menerapkan program-program pengembangan sumber daya dan teknologi yang ramah lingkungan berskala nasional sebagai bentuk komitmen kita terhadap penerapan Green Economy.
Kerusakan Lingkungan Mengancam Ekonomi Hijau
Negara kita merupakan salah satu negara dengan sumber pendapatan tertinggi berasal dari Sumber Daya Alam (SDA) . Keberadaan sumber daya alam itu sendiri tidak terlepas dari daya dukung lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu jika lingkungan dirusak maka keberlangsungan dan ketersediaan sumber daya alam itu sendiri akan terganggu sehingga sumber pendapatan negara kita juga akan ikut terancam. Kenyataan yang ada saat ini menunjukan bahwa kondisi lingkungan bisa dikatakan berada pada level yang kritis. Kerusakan lingkungan baik di darat dan di laut telah terjadi di mana-mana. Teknologi justru dimanfaatkan untuk eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan tanpa memperhatikan kelangsungan dan keseimbangan ekosistem. Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim yang juga ketua tim penasihat straregi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) dalam Laporan studi Kementrian Keuangan tentang straregi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Hijau (P3H) untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 2015-219 tanggal 01 Oktober 2015 di Jakarta, menjelaskan secara gambalang bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 18 tahun terakhir ini merupakan kenyataan yang menunjukan kepada kita perencanaan dan penganggaran hijau (green economy) belum berjalan. Dalam kurun 1997-1998, pemerintah Indonesia memperkirakan jumlah lahan yang terpapar kebakaran mencapai 750.000 Ha. Namun, berbagai lembaga lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengestimasi jumlahnya mencapai 13 juta Ha. Senada dengan hal itu, Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana LAPAN Parwati Sofyan menyebutkan, berdasarkan data dari satelit Tera, total luas lahan dan hutan terbakar yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sejak 1 Juli sampai Oktober 2015 telah mencapai 2,1 juta hektar. Herry Purnomo, peneliti lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR) dalam sebuah wawancara dengan BBC Indoenasia juga berpendapat kebakaran lahan dan hutan tahun ini dapat menyamai rekor pada 1997. Fenomena El Nino tahun ini sedikit lebih kecil dibandingkan dengan 1997. Namun, ketahanan ekosistem kita lebih rentan terhadap kebakaran karena hutan kita sudah didegradasi oleh hutan tanaman industri dan sawit. Dia mencontohkan dalam satu provinsi saja bisa kehilangan Rp 20 triliun akibat kebakaran. Apalagi sekarang sudah ada sedikitnya lima provinsi yang terkena imbas parah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho juga mengatakan bahwa perkiraan dampak ekonomi akibat bencana kabut asap yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia pada 2015 bisa melebihi Rp 20 triliun. Angka itu, menurutnya, didasarkan pada data tahun lalu yang mana terungkap bahwa kerugian akibat kabut asap pada tahun 2014 yang dihitung selama tiga bulan dari Februari sampai April hanya dari Provinsi Riau saja sudah mencapai Rp20 triliun. Sejauh ini ada kesenjangan ekonomi hijau dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan. Ada ketimpangan antara penyediaan dan kebutuhan ideal untuk mengurangi keruskan sumber daya alam. Sebab, perencanaan dan penganggaran pembangunan saat ini hanya memperhitungkan dana masuk dan keluar, belum menghitung kelestarian SDA. Dampak perubahan iklim dan keruskan SDA dapat menunda minimal 5 Tahun kenaikan status Indonesia menjadi negera berpendapatan tinggi jika kebijakan pertumbuhan ekonomi hijau tidak segera dijalankan. Kebijakan pemerintah khususnya dalam penganggaran pembangunan saat ini terus didorong ke arah ekonomi hijau guna mewujudkan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Akan tetapi jika hal itu kita disandingkan dengan kenyataan yang ada sekarang baik dari laporan ilmiah maupun kondisi riil yang terjadi, kerusakan ekosistem dan kehilangan biota yang terus menerus terjadi bisa mengancam dan menurunkan keberlanjutan pembangunan. Jika lingkungan rusak maka daya dukung lingkungan terhadap sumber daya alam menurun dan pertumbuhan ekonomi juga akan menurun. Oleh karena itu, tidak cukup jika hanya mengandalkan komitmen dalam kebijakan penganggaran saja. Tindakan preventif berupa penegakan hukum di lapangan juga sangat diperlukan untuk menghijaukan ekonomi negara kita..Semoga..*** TENTANG PENULIS