Anda di halaman 1dari 10

SAMBUTAN RAJA NAJASYI TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Siksaan dan teror orang-orang kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin tak jua surut. Budak-budak
dan orang-orang lemah yang tidak memiliki pembela atau pelindung ini menjadi sasaran
pelampiasan kemarahan kaum kafir Quraisy. Hingga orang-orang lemah ini merasakan
kesempitan berada di kota Mekkah tempat mereka berpijak.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia Radhiyallahu anha menceritakan:

Mekkah, ketika itu terasa sempit bagi kami. Para sahabat Rasulullah disiksa dan mendapat
cobaan. Mereka melihat siksa dan derita yang menimpa para sahabat karena din (agama)
mereka. Pada kondisi seperti itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak bisa mencegah
penyiksaan ini. Adapun Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , pada saat itu berada dalam
perlindungan kaum dan pamannya, sehingga beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak tertimpa
penderitaan, sebagaimana yang telah menimpa kaumnya.

Melihat keberadaan kaumnya yang tertindas ini, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
lalu bersabda kepada mereka: Sesungguhnya di Negeri Habasyah terdapat seorang raja. Orang
di sekitarnya tidak ada yang berbuat zhalim. Pergilah kalian ke negerinya sampai Allah Azza wa
Jalla memberikan jalan keluar dan solusi bagi kesulitan yang kalian alami.

Mendengar sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ini , maka kami pun pergi secara
bergelombang dan berkumpul disana. Saat itu, kami (merasa) berada di negeri terbaik dan
tetangga terbaik. Kami merasa aman dengan din kami dan tidak pernah mengkhawatirkan
kezhaliman.[1]

Eksodus ini kemudian dikenal dengan hijrah pertama ke Negeri Habasyah. Yakni terjadi pada
bulan Rajab, tahun ke-5 Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menerima wahyu.

Kaum Muslimin meninggalkan Mekkah secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kuffar
Quraisy. Mereka meninggalkan Mekkah untuk menjaga din. Mereka menuju Habasyah dengan
menyewa perahu dagang. Adapun jumlah orang-orang yang berhijrah pada saat itu, maka para
ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan 11 laki-laki dan empat wanita. Ada yang
mengatakan 12 laki-laki dan empat wanita.[2] Dan ada juga yang mengatakan 12 laki-laki dan
lima wanita.

Para sahabat yang hijrah pertama kali ini tidak begitu lama tinggal di Habasyah. Hal ini
disebabkan kabar yang mereka dengar, bahwa penduduk Mekkah telah memeluk Islam. Begitu
mendengar berita[3] ini, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekkah. Yaitu pada bulan
Syawwal tahun yang sama. Saat sudah mendekati Mekkah, mereka baru menyadari jika berita
masuknya penduduk Mekkah memeluk Islam itu, ternyata hanya kabar burung. Kenyataannya,
api permusuhan yang dikobarkan kafir Quraisy masih menyala, bahkan semakin dahsyat.

Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah pun mengidzinkan mereka untuk kembali hijrah menuju
Habasyah. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad beliau rahimahullah dari Ibnu Masud
Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata:Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
mengutus kami ke Raja Najasyi. Kami (berjumlah) sekitar delapan puluh laki-laki.

Di Negeri Habasyah ini para sahabat dapat kembali melaksanakan din (agama) mereka, tanpa
dibayangi penyiksaan. Saat kaum Quraisy mengetahui bahwa kaum Muslimin telah
mendapatkan tempat yang aman untuk menjalankan din (agama) mereka, kaum Quraisy marah.

Kemudian, mereka lantas mengutus Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah untuk
menghadap Raja Najasyi agar mengenyahkan kaum Muslimin dari Habasyah. Kedua duta ini
dibekali dengan hadiah yang banyak untuk diberikan kepada para pejabat kerajaan Habasyah
agar usaha mereka berhasil. Hadiah ini diberikan kepada para pembesar Habasyah, dan
kemudian mereka menghadap Raja Najasyi.

Begitu menghadap Raja Najasyi, dua duta Quraisy ini bersujud kepada Sang Raja sebagai tanda
hormat, kemudian duduk di sebelah kanan dan sebelah kiri Raja. Mereka lantas berkata:
Sesungguhnya ada sekelompok orang dari keturunan paman kami tinggal di negeri Tuan.
Mereka tidak menyukai kami, juga agama kami.

Raja Najasyi balik bertanya: Dimana mereka?

Dua duta ini menjawab: Di daerah Tuan. Kirimkan utusan kepada mereka!

Lalu Raja Najasyi pun mengirimkan kurir untuk memanggil kaum Muslimin yang datang ke
Negeri Habasyah. Untuk memenuhi panggilan Sang Raja, maka Jafar bin Abi Thalib berseru
kepada teman-temannya sesama kaum Muslimin: Pada hari ini, saya adalah juru bicara kalian,
mereka pun mengikuti Jafar.

Saat masuk ke tempat Raja Najasyi, Jafar hanya mengucapkan salam tanpa bersujud. Orang-
orang yang berada di ruang itu berseru: Mengapa engkau tidak bersujud kepada Raja?

Jafar menjawab,Kami tidak bersujud, kecuali kepada Allah semata.

Raja Najasyi bertanya,Siapa itu?

Jafar menjawab,Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mengutus seorang rasul kepada kami.
Dia menyuruh kami agar tidak bersujud kepada siapapun, kecuali kepada Allah Azza wa Jalla ,
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat.

Amr, duta Quraisy berujar: Mereka bertentangan dengan Anda dalam masalah Isa bin Maryam.
Raja Najasyi bertanya,Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam, dan juga tentang
ibunya?

Jafar menjawab,Kami mengatakan sebagaimana Allah berfirman,Isa adalah manusia (yang


diciptakan oleh Allah dengan) kalimat dan ruh dari Allah yang disampaikan kepada Maryam,
seorang gadis perawan yang tidak pernah dijamah manusia.

Mendengar jawaban ini, Raja Najasyi mengangkat sebuah tangkai kayu dari atas tanah, lalu ia
berseru: Wahai, orang-orang Habasyah! Wahai, para pendeta! Demi Allah! Mereka tidak
menambahkan perkataan apapun pada keyakinan kita tentang Isa. Kami mengucapkan selamat
kepada kalian dan kepada orang yang mengutus kalian. Aku bersaksi, bahwa dia adalah
Rasulullah. Dialah orang yang kami temukan di dalam kitab Injil. Dialah rasul yang dikabarkan
oleh Isa bin Maryam. Tinggallah kalian di manapun yang kalian inginkan! Demi Allah, kalau
bukan karena kekuasaan yang ada padaku, maka sungguh aku datangi dia, sehingga aku
menjadi orang yang membawakan sandalnya.[4]

Kemudian Raja Najasyi menyuruh pengawalnya untuk mengembalikan hadiah dari duta Quraisy
ini, lalu duta inipun diusirnya. Dua utusan Quraisy ini akhirnya pulang dengan membawa
kekecewaan yang sangat. Begitu juga kekecewaan menyelimuti orang-orang yang mengutusnya.

Sementara itu, berdasarkan hadits-hadits yang shahih, Raja Najasyi yang belum pernah
berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah masuk Islam, dan ia meninggal
dalam keadaan muslim. Sehingga ketika Rasululah n mendengar kabar Raja Najasyi meninggal,
beliau Shallallahu alaihi wa sallam memohonkan ampunan untuknya dan melakukan shalat
ghaib.[5]

Dari peristiwa hijrah ke Negeri Habasyah ini, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah
sebagai berikut.

1. Kisah ini menunjukkan bahwa hijrah disyariatkan dalam Islam. Yang dimaksud dengan hijrah,
yaitu pindah dari negeri kufur ke negeri Islam. Yakni, jika seorang muslim tidak bisa beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla , dia pun hijrah menuju negeri atau tempat yang memungkinkannya
dapat melaksanakan ibadah tanpa ada gangguan.

2. Jika diperlukan, seorang muslim boleh meminta perlindungan kepada non muslim.

3. Di antara yang dapat menopang Islama, yaitu pengorbanan harta, negara dan jiwa, karena
semua ini tidak bermanfaat, jika din ini tak ada pada diri seseorang. (Nsd)

Maraji:
1.As-Siratun-Nabawiyyah f Dhau-il Mashdiril-Ashliyyah, Doktor Mahdi Rizqullah Ahmad.
2.Shahihus-Siratin-Nabawiyyah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahihus Siratin Nabawiyyah, hlm. 170.
[2]. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnul-Qayyim dalam Zdul-Maad (3/23). Lihat As-Siratun-
Nabawiyah f Dhau-il Mashadiril-Ashliyyah, hlm. 197.
[3]. Yang dimaksud yaitu berita sujudnya orang-orang kafir Quraisy bersama Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam. Yaitu saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membaca surat
An-Najm di tengah sekelompok kaum Muslimin dan kaum musyrikin. Penutup surat ini membuat
hati yang mendengarnya takjub. Saat bacaan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sampai
pada firman Allah Azza wa Jalla , yang artinya: dan negeri-negeri kaum Luth yang telah
dihancurkan Allah, lalu Allah menimpakan atas negeri itu adzab besar yang menimpanya. Maka
terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kamu ragu-ragu? Ini (Muhammad) adalah seorang
pemberi peringatan di antara pemberi-pemberi peringatan yang telah terdahulu. Telah dekat
terjadinya hari Kiamat. Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah. Maka
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini. Dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis. Sedang kamu melalaikan(nya). Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).
[An-Najm/53:53-62].
Saat itulah cahaya kebenaran mengalahkan kesombongan orang-orang kafir Quraisy. Mereka
tidak mampu menahan diri untuk bersujud kepada Allah Azza wa Jalla , padahal mereka bukan
kaum Muslimin. Sampai-sampai Walid bin Al-Mughirah (ada yang mengatakan Umayyah bin
Khalaf, Red.), yaitu seorang tua yang senantiasa menentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam ini pun ikut bersujud, tetapi dia tidak seperti lainnya yang sujud di atas tanah
sebagaimana kaum Muslimin. Orang tua ini mengambil segenggam tanah, lalu ditempelkan ke
wajahnya seraya berkata cukuplah ini bagiku, sebagaimana diceritakan dalam hadits shahih
riwayat Bukhari dan Muslim.
Ketika mereka menyadari perbuatan tersebut, merekapun menyesali dengan dalih, bahwa
mereka tidak bersujud bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, melainkan karena
Muhammad memuji berhala-berhala mereka. (Lihat Fiqhus-Sirah [hlm. 117-118], As-Siratun-
Nabawiyyah fi Dhau-il-Mashdiril-Asliyyah [hlm. 205-206]).
[4]. Shahihus-Siratin-Nabawiyyah, hlm. 166.
[5]. HR Bukhari dan Muslim. Lihat, Shahihus-Siratin-Nabawiyyah, hlm. 182.
[6].As-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau-il-Mashdiril-Ashliyyah, hlm. 210
Sumber: https://almanhaj.or.id/1802-sambutan-raja-najasyi-terhadap-kaum-muslimin.html

-Raja Najasyi adalah Raja Habasyah yang belum mendengar keberadaan


Rasulullah, maka ia masih termasuk nasrani yang beriman kepada kitab dari Isa
Al Masih. Ia memegang teguh hal itu, sampai ketika ia mendengar tentang
agama dan kebenaran perkataan Nabi Muhammad tentang kelahiran Isa dan
keperawanaan Maryam, maka ia segera mengizinkan para pengungsi muslim
untuk berada di dalam perlindungan kekuasaannya. Dia adalah golongan orang
yang berpikir, berbeda dengan orang-orang yang telah diturunkan suatu
kebenaran kepadanya, namun ia bersikukuh dan menutup telinga daripada
petunjuk tersebut.
-Kaum Nasrani yang tidak menyombongkan diri mereka pada era Nabi
Muhammad masih hidup dengan berpegang teguh pada ajaran Kristen yang
benar, mereka memiliki pendeta dan rahib-rahib yang tidak memlintirkan injil
seperti sekarang. Selain itu mereka menjaga perjanjian dengan kaum muslim.

KEPEMPINAN adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam
Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi
Shalallahu Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini. Hal ini bisa
dimengerti. Karena pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat.

Dalam agama Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat


manusia telah ada aturannya yang sangat jelas dan detail. Sebagai contoh
adalah aturan (syariat) tentang bagaimana tata cara bersuci (istinja) dari najis
saat buang air besar/kecil dan bersuci dari hadats (kentut, mandi junub).
Demikian juga tata krama (adab) saat bersin, makan, minum, tidur, buang air
dan seterusnya.

Padahal ini menyangkut hal yang dampaknya bersifat sangat individual.


Karena itu sangat logis jika dalam persoalan yang lebih besar dan luas
dampaknya, Islam juga sangat peduli. Contohnya soal kepemimpinan ini. Hal
ini karena aspek kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi
kehidupan seluruh rakyat (ummat) di suatu negeri.

Hadits Nabi berikut ini sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam
memandang persoalan kepemimpinan ini. Nabi Shalallahu Alaihi
Wassallam bersabda:

Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah


seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR Abu Dawud dari Abu
Hurairah).

Hadits ini secara jelas memberikan gambaran betapa Islam sangat


memandang penting persoalan memilih pemimpin. Hadits ini memperlihatkan
bagaimana dalam sebuah kelompok Muslim yang sangat sedikit (kecil) pun,
Nabi memerintahkan seorang Muslim agar memilih dan mengangkat salah
seorang di antara mereka sebagai pemimpin.

Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah sesaat pasca wafatnya
Rasulullah adalah bukti lain betapa pentingnya arti kepemimpinan ini dalam
Islam. Saat jasad Nabi yang belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih
mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi daripada menyelenggarakan
jenazah beliau yang agung dan mulia.

Salah satu bagian dari topik kepemimpinan yang banyak dibahas dalam al-
Quran adalah soal memilih non Muslim bagi kaum Muslimin. Al-Quran telah
memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk bagi kaum Muslimin agar
tepat dalam memilih figur seorang pemimpin. Al-Quran dengan sangat
benderang saat menjelaskan larangan memilih pemimpin non Muslim ini.

Tidak cukup dengan kalimat bernada anjuran, ayat-ayat yang menjelaskan


soal ini bahkan disampaikan dengan bahasa perintah dan larangan yang
sangat tegas. Tidak hanya sampai di sana, beberapa ayat bahkan disertai
dengan ancaman yang sangat serius bagi yang melanggarnya.

Kesepakatan para ulama salaf dalam memahami ayat-ayat tersebut juga


menunjukkan bahwa ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non
Muslim bagi kaum Muslimin telah menunjukkan
derajat mutawattir (disepakati), sehingga tidak muncul perbedaan pendapat
(khilafiyah) di kalangan mereka. Jikapun ada beberapa pendapat yang
berbeda yang membolehkan memilih pemimpin non Muslim, itu umumnya
difatwakan oleh generasimutaakhirin saat ini, bukan dari kalangan ulama
salaf. Karena itu, pemahaman demikian biasanya hanya dipandang
sebagai pemahaman yang nyeleneh (syadz) di kalangan para ulama ahli
fiqh, bahkan batil.

Fakta-fakta ini sekali lagi, memperlihatkan bahwa persoalan memilih


pemimpin itu merupakan salah satu persoalan yang dipandang sangat penting
dalam pandangan Islam. Karena memilih pemimpin itu tidak hanya mencakup
dimensi duniawi, lebih dari itu juga memiliki dimensi akidah (ukhrowi).
Karenanya, tidak selayaknya seorang Muslim masih menggunakan dasar dan
acuan lain selain yang telah jelas dan tegas disebutkan dalam kitab sucinya
al-Quran, jika mereka benar-benar mengaku orang yang beriman.

Definisi Pemimpin

Banyak definisi pemimpin yang sering dipakai di dalam kehidupan sehari-hari.


Jika merujuk pada ayat-ayat yang berbicara tentang larangan memilih
pemimpin kafir/non Muslim, kata pemimpin yang digunakan dalam ayat-ayat
tersebut merujuk pada pengertian seseorang yang memegang dan
menguasai suatu wilayah kaum Muslimin. Dengan kata lain pemimpin yang
dimaksud di sini bermakna pemimpin yang kekuasaannya bersifat
kewilayahan dan memiliki wewenang penuh atas wilayah kaum Muslimin
secara penuh.

Bisa juga jika dijabarkan lebih jauh, maka definisi pemimpin di sini dapat juga
bermakna seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam
menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi
kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu, wilayah-
wilayah yang dikuasai oleh mayoritas non Muslim tidak masuk dalam
pengertian/definisi ini. Selain itu, sifat kewilayahan ini juga bermakna bahwa
boleh memilih non Muslim dalam aspek-aspek yang tidak menguasai wilayah
kaum Muslimin atau tidak menguasai dan menyangkut urusan yang sangat
besar dampaknya dan strategis bagi ummat Islam.

Dalil-dalil al-Quran

Berikut ini ayat- ayat al-Quran yang menunjukkan dengan jelas


larangan memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas
penduduknya Muslim. Allah Subhanahu Wataala berfirman yang artinya:

Pertama;

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi


WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-
orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-
Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali. (QS: Ali Imron [3]: 28)

Kedua;

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir


menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)? (QS: An Nisa [4]: 144)

Ketiga;

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-


orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di
antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang
kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah
kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS: Al-
Maaidah [5]: 57)

Keempat;

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan


saudara- saudaramu menjadi WALI (pemimpin/pelindung) jika mereka
lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu
yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. (QS: At-Taubah [9]: 23)

Lima;

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-
Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-
saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah,
bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (QS:
Al Mujaadalah [58] : 22)

Enam;

Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat


siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-
orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ?
Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS: An-Nisa [4]:
138-139)

Masih ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menegaskan larangan


memilih non Muslim (kafir) sebagai bagi kaum Muslimin yang juga
menggunakan pilihan kata WALI sebagaimana ayat di atas. Di antara ayat-
ayat tersebut adalah : QS. Al Maidah: 51, QS Al-Maidah: 80-81, QS Al-
Mumtahanah: 1 dsb.

Dari beberapa ayat di atas, Allah Subhanahu Wataala menggunakan pilihan


kata pemimpin dengan kata WALI. Padahal ada begitu banyak padanan kata
pemimpin dalam bahasa arab selain kata wali. Misalnya kata Aamir, Raain,
Haakim, Qowwam, Sayyid dsb. Mengapa Allah gunakan pilihan kata
pemimpin dalam tersebut dengan kata WALI?

Jawabnya adalah karena barangkali secara bahasa, kata Waliy (WALI) ini
memiliki akar kata yang sama dengan kata wilaayatan (wilayah/daerah).
Karena itu, penggunakan kata waliydalam berbagai ayat di atas
mengindikasikan bahwa definisi pemimpin yang dimaksud ayat-ayat di atas
adalah pemimpin yang bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim
yang dilarang umat Islam memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin
yang menguasai suatu wilayah milik kaum Muslimin.

Dari penjelasan ini maka batasan pemimpin non Muslim (kafir) yang seorang
Muslim haram memilihnya adalah yang bersifat memangku/menguasai
wilayah kaum Muslimin. Semisal lurah, camat, bupati, gubernur maupun
presiden.*/Nuralamin, S.Hut., MURP., M.Eng.Alumni Master of Urban and
Regional Planning, Curtin University of Technology, Australia

Rep: Admin Hidcom


Editor: Cholis Akbar

-Dalam suatu kelompok yang kecil pun, Nabi Muhammad menganjurkan untuk
memilih salah saorang diantara mereka sebagai seorang pemimpin.
-Memilih pemimpin bahkan lebih dipentingkan umat islam daripada
menguburkan jasad beliau, karena pemimpin adalah cerminan umat dan
membawa pengaruh besar terhadap umat itu sendiri
-Umat islam boleh meminta pertolongan orang kafir (non muslim) ketika
membutuhkan. Namun, berdasarkan surat Annisa, perintah untuk menolak
pemimpin kafir sangat jelas bahkan dengan ancaman
-Pengertian kata alwaliyyin atau wali sendiri yaitu merupakan teman setia
(dalam hal berperang menurut asbabun nuzulnya). Namun dalam konteks lain,
secara makna asbabun nuzul sendiri, secara logika, adalah jangan me]=]

Anda mungkin juga menyukai