Anda di halaman 1dari 16

PAPER

Desentralisasi dan Korupsi di Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Saat Orde Lama dan Orde Baru, pembangunan, baik fisik maupun non-
fisik, telah tersentralisasi di pulau Jawa dan beberapa kota besar. Pembangunan di
daerah lainnya tetap berjalan, namun tidak sepesat pembangunan di kawasan ini.
Hal ini menyebabkan ketidakpuasan masyarakat akan ketimpangan pembangunan
di daerah. Pada masa Orde Lama, berbagai pemberontakan telah terjadi di daerah
karena kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang dirasakan tidak berpihak
kepada masyarakat di daerah. Saat Orde Baru, keluh kesah masyarakat dapat
ditahan dengan tekanan dari pemerintah terhadap masyarakat dan media. Setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru, berbagai tuntutan masyarakat yang selama ini
terpendam pun diangkat kembali.
Buruknya pelaksanaan pemerintahan di daerah yang masih dilaksanakan
secara sentralistik telah mendorong lahirnya otonomi daerah. Wacana otonomi
daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab
permasalahan pembangunan yang tidak merata dan mengakibatkan terjadinya
kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat di daerah dan pusat. Otonomi
daerah memiliki dasar hukum UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah yang kemudian diperbaharui melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan diberlakukannya undang-undang ini diharapkan pembangunan di
daerah dapat dilakukan lebih luas, nyata dan bertanggungjawab. Adanya

1
perimbangan fungsi dan anggaran antara pemerintah pusat dan daerah harapannya
akan mendorong setiap daerah untuk dapat lebih mandiri, sejahtera, maju dan
kompetitif..
Otonomi daerah pada dasarnya memiliki makna strategis yang berkaitan
erat dengan tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat
Indonesia. Otonomi daerah dapat mendorong terciptanya proses demokrasi di
Indonesia, yang ditunjukkan dengan meningkatnya peran masyarakat dalam
proses pembangunan. Banyak negara yang telah berhasil melalui kebijakan
otonomi daerah. Namun terdapat juga negara-negara yang gagal karena kebijakan
yang terdesentralisasi justru mengganggu pelayanan publik dan menimbulkan
konflik dan gangguan dalam stabilitas sosial, ekonomi, dan politik.
Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya
sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di UGM (2010) mengatakan bahwa
sejumlah studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang
menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu
sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga
membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik
di daerah.
Dari pidato Guru Besar tersebut kita dapat melihat bahaya virus korupsi
yang telah dan dapat terjadi akibat adanya otonomi daerah. Otonomi daerah yang
dibuat untuk mendesentralisasi pembangunan justru mengakibatkan terjadinya
desentralisasi korupsi. Puluhan kepala daerah telah tersangkut permasalahan
korupsi. Yang terbaru, Gubernur Provinsi Banten Ratu Atut juga telah menjadi
tersangka dari beberapa kasus korupsi yang terjadi di daerahnya.
Fakta ini diperkuat hasil survei yang dilaksanakan oleh Political and
Economy Risk Consultancy pada tahun 2010 (lihat
http://www.kompasiana.com/sahatmps/desentralisasi-
korupsi_54f7a109a33311991d8b4620) yang menyebutkan bahwa dari 16 negara
yang berada di Asia Pasifik, Indonesia menjadi negara yang memiliki tingkat
korupsi tertinggi. Di antara tujuh negara ASEAN, Singapura dan Malaysia berada

2
pada urutan pertama negara yang tingkat korupsinya terendah, yakni hanya sekitar
1,07%. Selanjutnya disusul Filipina dengan tingkat korupsi 7%, dan Vietnam
7,11%. Indonesia berada di urutan terakhir dengan skor 8,32%.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan


masalah yaitu, bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dapat menjadi penyebab
terjadinya desentralisasi korupsi di daerah?

1.3 TUJUAN

Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan


otonomi daerah dapat menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi di
daerah.

1.4 KEGUNAAN

Kegunaan dari penulisan paper ini adalah untuk menjadi konstribusi dan
acuan khususnya ilmu pengetahuan bagi pembaca dan pengembang konsep dari
penelitian ini tentang otonomi daerah dan desentralisai korupsi di daerah.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KORUPSI

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20


Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 dan
Pasal 3 mendefinisikan korupsi sebagai berikut.

1. Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum, melakukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenagnagn,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.

Pengertian korupsi tersebut, tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut
dengan kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hanya
mempunyai batasan tipis dan tindakan tersebut berkaitan dan termasuk dalam
unsur perbuatan korupsi (lihat Jadawe Hafidz Arsyad, 2013:8).
Andi Hamzah (2005:13-23) menjelaskan kausa atau sebab orang
melakukan korupsi sangat banyak dan beragam, diantaranya adalah :

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan


kebutuhan yang makin hari makin meningkat
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien
4. Modernisasi

2.2 DESENTRALISASI

4
Secara etimologi, desentralisasi terdiri dari kata de artinya lepas dan
sentrum artinya pusat. Jadi secara harafiah, artinya lepas dari pusat (Suradinata,
1996:27). Dalam Encyclopedia of the Social Science yang dikutip Sarundajang
(2002:46) disebutkan the proces of desentralization denotes the transferences of
authorithy, legilasive, judicial or administrative, from higher level of
government to a lower, mendefiniskan desentralisasi sebagai peyerahan
wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih
rendah. Pengertian desentralisasi yang lebih detail diungkapkan Rondinelli dan
Cheema dalam Sarundajang (2002:47) yaitu decentralization is the transfer of
planning, decision-making or administrative authority from the central
government to its field organization, local administrative unit, semi-autonomous
and parastatal organization, local government or non government org
anizations. Pengertian desentralisasi yang dimaksud dalam kajian ini sejalan
dengan konsepyang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi
pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi.
Koirudin (2005:18), pengertian tersebut menderivasikan empat kegiatan
yaitu :
1. Dekonsentrasi wewenang administratif
2. Delegatif kepada penguasa otorita
3. Devolusi kepada pemerintah daerah
4. Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta

Sarundajang (2002:54), sesuai dengan pemahaman di atas, maka format


desentralisasi dapat dikelompokkan ke dalam empat bentuk yaitu :
1. Comprehensive local government system, yaitu aparat daerah
melakukan fungsi-fungsi yang diserahkan oleh pemerintah pusat
2. Patnership system, yaitu beberapa jenis pelayanan yang dilaksanakan
langsungoleh aparat pusat dan beberapa jenis pelayanan yang lain
dilakukan oleh aparat daerah

5
3. Dual system, yaitu aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara
langsung, demikian juga aparat daerah
4. Integrated administrative system, yaitu aparat pusat melakukan
pelayanan teknissecara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat
koordinator.

Aparat daerah hanya punya wewenang kecil dalam kegiatan pemerintahan.


Desentralisasi menurut Riggs dalam Sarundajang (2002:47) ditinjau dari
maknanya mengandung dua makna yaitu sebagai pelimpahan wewenang
(delegation) dan pengalihan kekusaan (devolution). Hal ini sesuai dengan
pendapat Tresna dalam Sarundajang (2002:48) yang juga menggolongkannya
menjadi dua, yaitu desentralisasi jabatan (staatskundige decentraisatiel) dan
desentralisasi teritorial (teritoriale decentralisatie).

2.3 KORUPSI DI TINGKAT DEARAH DI INDONESIA

Pemerintahan yang Otonom mengalami beberapa masalah yang dapat


menjelekan negara Indonesia. Salah satu masalah yang ditimbulkan dari otonomi
daerah atau pengaturan rumah tangga sendri yaitu tingginya tingkat Korupsi di
tingkat daerah. Menurut pada data ICW (lihat
http://www.voaindonesia.com/content/icw-otonomi-daerah-picu-korupsi-kepala-
daerah/1690178.html) hingga 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus
korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17
walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati. Melihat pada catatan
ICW tahun 2013 tersebut sangat mencengangkan, pasalnya hal tersebut
diakibatkan karena adanya pengaturan rumah tangga daerah sendiri.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana (lihat
http://www.jpnn.com/read/2014/02/15/216728/318-Kepala-Daerah-Terjerat-
Korupsi) mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus
korupsi. Data tersebut diambilnya dari Kemendagri sejak 2004 hingga Februari
2013. Berdasarkan data tersebut, sedikitnya 291 kepala daerah baik tingkat
provinsi maupun kabupaten/ kota terlibat dalam kasus korupsi. Dijelaskannya,
jumlah itu terdiri dari keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur

6
tujuh orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan
wakil wali kota 20 orang. Ia menyebutkan tercatat juga 1.221 nama pegawai
pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak
877-nya sudah menjadi terpidana. Sementara 185 orang lainnya sudah berstatus
tersangka, sedangkan 112 orang lainnya sudah terdakwa, dan 44 nama tersisa
masih dimintai keterangannya sebagai saksi.
Lembaga Swadaya Masyarakat internasional yang bernama Transsparency
International dalam Sarundajang (2005:140) menyatakan bahwa melakukan
penelitian mengenai korupsi di negara-negara di seluruh dunia berjudul
Transparency International Corruption Perception Index pada tahun 2002 secara
jelas menunjukkan bahwa Indonesia menduduki ranking 10 negara terbawah,
artinya Indonesia merupakan 10 negara terkorup di dunia. Indonesia hanya berada
di atas Kenya, angola, Madagaskar, Paraguay, Nigeria dan Bangladessh. Semua
negara terssebut notabanenya adalah negara yang sedang berkembang.
Korupsi dapat dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi para aparat
pemerinthan ditingkat daerah. Secara umum penyebab adanya korupsi menurut
Alkotsar (2008:383) memiliki 5 penyebab yaitu antara lain:

1. Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan,


karena kekuassaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan
kewarganegaraan. Terutama wewenang untuk mendistribusikan
ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melakssanakan
kebijakan politik.
2. Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari
budaya dialogis
3. Tidak adanya kontrol efektif dari rakyat.
4. Faktor iklim sosial politik yang krisis keteladanan dan ke hukuman
moral.
5. Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas
penegak hukum merosot, karena adanya krisis intstitusi dan mental
aparat penegak hukum.

7
Selain itu, Korupsi yang ada di daerah biasanya bersifat dari atas kebawah
atau sebaiknya dari bawah ke atas. Hirarki korupsi menurut Rose-Ackerman
dalam Sarundajang (2005:143) memiliki 2 tingkatan yaitu antara lain:

1. Korupsi dari bawah ke atas (bottom Top), para pegawai tingkat-


rendah mengumpulkan suap dan membaginya dengan atasan mereka
entah secara langsung maupun tidak langsung melalui bayaran untuk
memperoleh jabatan.
2. Korupsi dari atas kebawah (top-down), beroperassi dimana para
pegawai pimpinan menutup mulut para bawahan dengan membagikan
keuntungan melalui penggajian yang tinggi dan fasilitas atau
keuntungan dibawah meja.

Korupsi yang membentuk hirarki Bottom Top yaitu contohnya pada


lembaga birokrasi di kecamatan ketika melakukan pembuatan KTP. Aparat yang
korup akan memutar otak untuk mendapatkan keuntungan dari pembuatan KTP.
Mereka akan meminta bayaran untuk membuat KTP tanpa mengantri. Sehingga
pembuatan KTP dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Hasil uang dari
pemberian si pembuat KTP akan diberikan juga kepada Camat sebagai tanda bagi
hasil yang dilakukan birokrat kecamatan (Sarundajang, 2005:144).
Sedangkan contoh dari hirariki Korupsi Top-down yaitu pada tingkat
Kepala Dinas PU. Seorang kepala dinas menjalankan program untuk membuat
jalan, sehingga ia mencari CV atau perusahaan untuk membuat jalan. Karena
adanya indikasi korupsi maka ia hanya memberikan proyek tersebut kepada
perusahaan atau CV yang mau memberikannya untuk memuluskan tender
tersebut. Dengan ia mendapatkan uang imbalan tersebut, ia memberikan kepada
bawahannya sebagai tanda tutup mulut agar tidak terjadi isu yang tidak
diinginkan. Meskipun sangat rahasia, akan tetapi di dalam lembaga tersebut
mengetahui tindakan yang dilakukan oleh kepala dinas (Sarundajang, 2005:145).
BAB III
PENUTUP

8
3.1 KESIMPULAN

Asas Desentralisasi menimbulkan suatu asas Otonomi Daerah yang mana


setiap daerah mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Dalam hal ini dapat
berupa pengaturan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Adanya Otnomi selain menimbulkan kebaikan, Otonomi Daerah juga dapat
menimbulkan suatu permasalahan yaitu Korupsi ditingkat daerah. Korupsi di
tingkat daerah menyumbang kerugian Negara Indonesia cukup besar.

3.2 SARAN

Menurut saya, adanya tindak pidana Korupsi di daerah, dapat mendorong


beberapa pihak untuk mengembangkan KPK ditingkat daerah. KPK ditingkat
daerah dinillai perlu untuk dibentuk karena semakin maraknya korupsi ditingkat
daerah. Akan tetapi dalam pemebentukan KPK di tingkat daerah harus diiringi
dengan pembentukan Sumber Daya Manusia yang ada di KPK harus ditingkatkan,
hal tersebut diharapkan KPK ditingkat daerah tidak mudah untuk di intervensi.
Selain itu, Masyarakkat juga harus ikut serta dalam memberantas korupsi
ditingkat daerah. Karena seperti pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur
hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk memberantas Korupsi. Jika KPK dan
Masyarakat ditingkat daerah dapat bekerjasama maka korupsi ditingkat daerah
dapat diberantas dan dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

9
A. BUKU-BUKU

Alkotsar, Artidjo. 2008. Korupsi Politik di Negara Modern. Diakses dari


situs http://politikkuindonesia.blogspot.co.id/2015/05/desentralisasi-
penyebab-korupsi.html pada hari minggu tanggal 11 Desember 2016
pukul 19.52 WIB.

Arsyad, Jawade Hafidz. 2013. Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum


Administrasi Negara). Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana


Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Koiruddin. 2005. Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia : Format


Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah. Malang:
Averroes Press.

Sarundajang. 2002. Arus Balik Kekuasaan dari Pusat ke Daerah. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Sarundajang. 2005. Birokrasi dalam Otonomi Daerah: Upaya Mengatasi


Kegagalan. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

Suradinata, Ermaya. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:


Ramadan.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Daerah

REVIEW
Decentralization and Corruption: Evidence Across Countries?

10
RE-TELLING

A. Identitas Artikel/Paper
Tulisan ini ingin mereview isi dari penelitian yang dilakukan oleh
Raymond Fisman (National Bureau of Economic Research (NBER); Boston
University) Roberta Gatti (World Bank - Development Research Group) dalam
penelitian mereka yang berjudul Decentralization and Corruption: Evidence
Across Countries yang di ambil dari situs http://ssrn.com/abstract=629144 terdiri
dari 18 halaman. Penelitian tersebut menganalisa tentang hubungan antara
desentralisasi kegiatan pemerintah dan tingkat ekstraksi sewa oleh pihak swasta
yang merupakan elemen penting dalam perdebatan tentang desain institusional.
Penelitian ini menunjukan hubungan lintas negara antara fiskal desentralisasi dan
korupsi yang diukur oleh sejumlah indeks yang berbeda.
Dalam Penelitian tersebut juga melihat hubungan negatif yang kuat antara
fiskal desentralisasi belanja pemerintah dan korupsi. Selain itu, dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa hukum asli dengan sangat baik sebagai instrumen
desentralisasi. Ketika instrument itu dengan caranya sendiri, estimasi hubungan
antara desentralisasi dan korupsi bahkan lebih kuat.

B. Ide Pokok Paper


Penelitian ini menganalisa tentang hubungan antara desentralisasi kegiatan
pemerintah dan tingkat ekstraksi sewa oleh pihak swasta yang merupakan elemen
penting dalam perdebatan tentang desain institusional. Penelitian ini menunjukan
hubungan lintas negara antara fiskal desentralisasi dan korupsi yang diukur oleh
sejumlah indeks yang berbeda.
Dalam Penelitian ini juga melihat hubungan negatif yang kuat antara fiskal
desentralisasi belanja pemerintah dan korupsi. Selain itu, dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa hukum asli dengan sangat baik sebagai instrumen desentralisasi.
Ketika instrument itu dengan caranya sendiri, estimasi hubungan antara
desentralisasi dan korupsi bahkan lebih kuat.

11
C. Kekurangan Paper
Paper ini mempunyai kekurangan yang mengangap bahwa desentralisasi
dan korupsi selalu berdampingan dan tidak dapat dilepaskan. Menurut pandangan
peneliti disini terlalu sangat ingin memonjokan sistem desentralisasi seharusnya
tidak dilaksanakan di pemerintah daerah. Dan peneliti ingin menyampaikan
bahwa sentralisasilah yang paling tepat untuk mengurangi tingkat korupsi yang
terjadi.

TANGGAPAN

12
Setelah membaca penelitian yang dilakukan oleh Raymond Fisman
(National Bureau of Economic Research (NBER); Boston University) Roberta
Gatti (World Bank - Development Research Group) dalam penelitian mereka yang
berjudul Decentralization and Corruption: Evidence Across Countries yang di
ambil dari situs http://ssrn.com/abstract=629144 terdiri dari 18 halaman, penulis
menyimpulkan bahwasanya ada perasaan bahwa desentralisasi dan korupsi
pemerintah erat terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ada banyak
ketidaksepakatan tentang hubungan antara desentralisasi dan korupsi disini
dimana kesinambungan antara korupsi di pemerintahan daerah itu dikarenakan
oleh proses desentralisasi yang terjadi. Penelitian ini pula menjelaskan bahwa
pegawai lokal atau pegawai pemerintah daerah cenderung bersikap korup
dibandingkan dengan pegawai pemerintah pusat.
Disini saya setuju dengan peneliti yang menyatakan bahwa Ada banyak
ketidaksepakatan tentang hubungan antara desentralisasi dan korupsi disini
dimana kesinambungan antara korupsi di pemerintahan daerah itu dikarenakan
oleh proses desentralisasi yang terjadi (2016:3). Karena sesuai dengan buku yang
saya baca dengan judul Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi
Negara) karangan H. Jawade Hafidz Arsyad, S.H., M.H. yang diterbitkan pada
tahun 2013 yang mengungkapkan bahwa fenomena korupsi prosedural terjadi
karean adanya kesepakatan timbal ablik antara oknum petugas dengan pengguna
jasa publik untuk saling membebaskan diri dari perbuatan yang melanggar hukum
dan tidak etis sehingga sudah menjadi rahasia umum antara lain adalah salam
tempel, tahu sama tahu (TST), uang semir, uang pelicin atau pelancar yang sering
terjadi di pemerintah daerah yang mengalami sistem desentralisasi (2013:129).
Namun saya kurang sependapat dengan pernyataan peneliti yang
mengungkapkan bahwa sistem sentralisasilah yang paling tepat untuk mengurangi
tingkat korupsi yang terjadi (2016:2). Karena menurut buku yang saya baca yang
berjudul Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia karangan Dr. H. Siswanto
Sunarto, S.H., M.H. yang diterbitkan pada tahun 2014 yang mengungkapkan
bahwa implementasi kebijakan desentralisasi adalah suatu kebijakan
sesungguhnya tidak hanya sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran

13
keputusanpolitik ke dalam prosedur rutin melalui sluran birokrasi belaka,
melainkan lebih dari itu dalam mengimplementasikan kebijakan yang menyangkut
kompleksitas, keputusan siapa, mendapat apa dari suatu kebijakan dengan sumber
daya yang mendukung implementasi secara efektif (2014:82). Dengan pernyataan
tersebut kebijakan desentralisasi sebenarnya sangat tepat dan tidak merugikan
namun harus terpenuhinya suatu sumber daya yang membuat sistem atau
kebijakan desentralisasi tersebut berjalan dengan efektif sehingga berkurangnya
tingkat korupsi dan tidak perlu mengganti dengan sistem sentralisasi.
Analisis peneliti juga mengungkapkan untuk membuat upaya pertama
yang sistematis meneliti masalah empiris, dengan melihat hubungan lintas negara
antara desentralisasi fiskal dan korupsi.. Penelitian ini pula memberikan
kontribusi untuk litelatur guna menunjukan pendekatan baru untuk kasus yang
mendalam kepada keberlanjutan hubungan dari sistem desentralisasi dan korupsi
yang dianggap sebagai timbal balik dengan adanya sistem desentralisasi tersebut.

LESSON LEARNED

14
Di dalam sebuah peristiwa akan terdapat sebuah hikmah, begitu pula yang
terjadi setelah membaca artikel atau penelitian yang dilakukan oleh Raymond
Fisman (National Bureau of Economic Research (NBER); Boston University)
Roberta Gatti (World Bank - Development Research Group) dalam penelitian
mereka yang berjudul Decentralization and Corruption: Evidence Across
Countries yang di ambil dari situs http://ssrn.com/abstract=629144 terdiri dari 18
halaman. Pertama, penulis dapat mengetahui hubungan antara desentralisasi dan
korupsi yang terjadi di pemerintah daerah yang merupakan sebuah hubungan yang
saling terkait den tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Kedua, para pemangku
kepentingan atau stakeholder yang berada di daerah harus menepis anggapan
bahwa pemerintah daerahlah yang menjadi sumber dari segala korupsi yang ada di
negeri. Ketiga, dapat mengetahui upaya pertama sistematis yang meneliti masalah
empiris, dengan melihat hubungan lintas negara antara desentralisasi fiskal dan
korupsi.

REFERENSI

15
Sunarto, Siswanto. 2014. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.

Arsyad, Jawade Hafidz. 2013. Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum


Administrasi Negara). Jakarta Timur: Sinar Grafika.

16

Anda mungkin juga menyukai