Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan kepribadian adalah suatu pengalaman subjektif dan perilaku

yang berlangsung lama (enduring) yang menyimpang dari standar kultural,

sifatnya kaku dan pervasif, onset pada masa remaja atau awal masa dewasa dan

menetap sepanjang masa sehingga dapat mengakibatkan ketidak-bahagiaan dan

hendaya dalam kehidupannya. Gangguan kepribadian adalah suatu gangguan yang

kronik. Sekitar 50% dari semua penderita gangguan psikiatrik memiliki gangguan

kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk

timbulnya gangguan psikiatrik. Lebih jauh lagi jika kemajuan pengobatan

gangguan psikiatri bersifat lambat atau terhambat maka perlu dipikirkan adanya

gangguan kepribadian yang tidak terdeteksi dan tidak tertangani dengan baik.(2)

Borderline personality disorder (BPD) merupakan salah satu gangguan

kepribadian yang paling sering ditemukan. Prevalensinya dari keseluruhan

gangguan kepribadian pada seting rawat jalan sebanyak 33%, sedangkan pada

seting rawat inap sebanyak 63%.(3) Prevalensinya pada populasi umum

diperkirakan 1,1 hingga 2,5 %. BPD juga merupakan salah satu komorbiditas

yang dapat menyertai hampir seluruh gangguan psikiatri, seperti gangguan mood,

penyalahgunaan zat, gangguan cemas (terutama gangguan stres paskatrauma),

gangguan psikotik dan gangguan kepribadian lain.(2)


BPD ditandai dengan adanya problematika pada domain interpersonal,

perilaku, kognitif dan emosi. Hal tersebut tampak dari adanya krisis yang

berulang, hospitalisasi, mutilasi diri sendiri, percobaan bunuh diri, adiksi, episode

depresi, cemas dan agresivitas. Selain itu BPD juga menyebabkan penurunan yang

berat pada kualitas hidup dan menghabiskan biaya yang tinggi.(4)Sementara itu

modalitas terapi yang tersedia nampaknya masih kurang adekuat. Penelitian

tentang perkembangan pasien-pasien BPD menunjukkan bahwa perbaikan klinis

bersifat lambat, memerlukan waktu bertahun-tahun, serta perbaikan yang

minimal.(3)

Psikoterapi untuk pasien dengan BPD merupakan pilihan utama,

sedangkan farmakoterapi dapat ditambahkan untuk hasil yang lebih baik.(5)Salah

satu jenis psikoterapi berbasis kognitif dan perilaku adalah Dialectical Behaviour

Therapy (DBT). Terapi berbasis kognitif dan perilaku ini dipilih karena lebih

mudah dinilai dibanding terapi berbasis psikodinamik dan adanya desakan dari

layanan kesehatan masyarakat untuk menetapkan terapi dengan tujuan dan jangka

waktu yang jelas.(6)

Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai introduksi Dialectical

Behavior Therapy (DBT) untuk borderline personality disorder (BPD).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Borderline Personality Disorder (BPD)

2.1.1 Sejarah dan Definisi

Istilah borderline mulai diperkenalkan pada tahun 1930 untuk

menandakan pasien dengan gangguan yang tampaknya berada di antara neurosis

dan psikosis (Stern, 1938). Penganut teori relasi obyek mempelajari lebih jauh

tentang hal ini dan memakai istilah borderline sebagai organisasi kepribadian

yang mana timbul karena adanya fiksasi pada fase separasi-individuasi pada

perkembangan anak. Organisasi kepribadian borderline digambarkan sebagai

kepribadian yang imatur yang ditandai dengan difusi identitas dan penggunaan

mekanisme pertahanan yang primitif seperti splitting dan identifikasi proyektif,

namun daya nilai realitas masih baik. Perlu diperhatikan bahwa konsep organisasi

kepribadian borderline sifatnya lebih luas dibanding BPD dan mencakup sebuah

rentang tipe-tipe kepribadian dan gangguan psikiatri, termasuk gangguan

penyalahgunaan zat, gangguan bipolar dan gangguan pengendalian impuls.(2)

Artikel yang dibuat oleh Gunderson dan Singer (1975) dalam American

Journal of Psychiatry menjadi titik balik diterimanya suatu diagnosis BPD. Dalam

artikel tersebut diperlihatkan bahwa BPD dapat dijelaskan secara operasional

dengan kriteria behavioral dan wawancara semi-terstruktur untuk penegakkan

diagnosis. Hasil pemikiran Gunderson dan Singer ini memengaruhi definisi BPD

menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ketiga


[DSM-III] dari American Psychiatric Association 5 tahun kemudian. Diagnosis

BPD dalam DSM termasuk ke dalam gangguan kepribadian yang didiagnosis

pada aksis II.(7)

Saat ini DSM telah mengalami revisi hingga yang terakhir adalah DSM-

V. Kriteria diagnosis BPD menurut DSM-V dapat dibuat pada masa dewasa

muda, jika memenuhi sedikitnya 5 dari 9 kriteria pada Tabel 2.1.(5)

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Borderline Personality Disorder menurut DSM-V

Suatu pola ketidak-stabilan dalam hubungan interpersonal, citra diri dan afek yang

bersifat pervasif; impulsivitas yang nyata; dimulai pada dewasa muda dan tampak

pada berbagai situasi; ditandai oleh adanya 5 atau lebih dari:

1. Usaha-usaha penuh ketakutan untuk menghindari pengabaian yang nyata

ataupun yang dibayangkan (Catatan: jangan memasukkan perilaku bunuh

diri dan mutilasi diri yang tercantum dalam kriteria 5).

2. Pola hubungan interpersonal yang intens dan tidak stabil, yang ditandai

oleh perubahan antara idealisasi dan devaluasi yang ekstrim.

3. Terganggunya identitas:citra diri (self-image) yang tidak stabil secara

nyata dan persisten.

4. Impulsivitas pada sedikitnya 2 area yang berpotensi membahayakan diri

(misal boros, seks, penyalahg\unaan zat, ugal-ugalan, makan berlebihan).

(Catatan: jangan memasukkan perilaku bunuh diri dan mutilasi diri yang

tercantum dalam kriteria 5)

5. Perilaku bunuh diri, bahasa tubuh atau ancaman untuk melakukan bunuh
diri, atau perilaku mutilasi diri yang berulang.

6. Ketidak-stabilan afektif disebabkan oleh mood yang reaktif secara nyata

(misal episode disforia yang intens, iritabilitas, atau cemas yang

berlangsung beberapa jam dan hanya sedikit yang melebihi beberapa hari).

7. Perasaan hampa yang kronis.

8. Kemarahan yang hebat serta tidak pantas atau kesulitan mengendalikan

kemarahan (misal sering menampakkan kemarahan, perkelahian fisik yang

berulang).

9. Ide paranoid berkaitan dengan stres atau gejala disosiatif yang berat, yang

sifatnya sementara.

Selain menggunakan penggolongan diagnosis berdasarkan DSM, BPD

juga dapat dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan patologi pada 4

domain yang terdapat dalam Diagnostic Interview of Borderline Patients (DIB)

yang dibuat oleh John Gunderson yang kemudian direvisi oleh Mary Zanarini

menjadi DIB-R. Empat domain patologi BPD tersebut adalah afektif, kognitif,

impulsif, dan interpersonal. Masing-masing domain diberi skor secara terpisah (0-

2 untuk domain afektif dan kognitif; 0-3 untuk domain impulsif dan

interpersonal). Skor maksimal adalah 10 dan cut-off point untuk BPD adalah 8.

Skala-skala pada DIB-R paralel dengan DSM, namun memiliki alur yang lebih

detil. Subskala afektif mewakili ketidak-stabilan afektif dan perasaan hampa

(kriteria 6 dan 7 pada DSM), namun untuk mencapai skor 2 pasien harus memiliki

kesulitan dalam mengendalikan kemarahan (kriteria 8 pada DSM). Subskala


kognitif mewakili depersonalisasi, kecenderungan untuk paranoid dan

psuedohalusinasi (kriteria 9 pada DSM yang lebih diperluas). Subskala

impulsivitas mewakili perihal berkaitan dengan bunuh diri dan mutilasi diri

(kriteria 5 pada DSM) juga perilaku membahayakan diri lainnya (kriteria 4 pada

DSM). Subskala interpersonal mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan

pengabaian, ketidak-stabilan dan gangguan identitas (kriteria 1, 2 dan 3 pada

DSM).(7)

BPD dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia-III (PPDGJ-III) disebut dengan istilah Gangguan Kepribadian

Emosional Tak Stabil. Diagnosis tersebut ditegakkan jika memenuhi kriteria

sebagai berikut.

Suatu gangguan kepribadian di mana terdapat kecenderungan yang

mencolok untuk bertindak secara impulsif tanpa mempertimbangkan

konsekuensi, bersamaan dengan ketidak-stabilan afek.

Kemampuan merencanakan sesuatu mungkin minimal dan ledakan

kemarahan yang hebat seringkali dapat menjurus kepada kekerasan

atauledakan perilaku; hal ini ditimbulkan jika kegiatan impulsif dikritik

atau dihalangi oleh orang lain.

Dua varian dari gangguan kepribadian ini telah ditentukan, yaitu tipe

impulsif dan tipe ambang. Keduanya mempunyai persamaan motif umum

berupa impulsivitas dan kekurangan pengendalian diri.(8)


2.1.2 Epidemiologi

Sebelas persen dari seluruh pasien psikiatri rawat jalan dan 19% dari

pasien psikiatri rawat inap diperkirakan memenuhi kriteria untuk BPD. Sementara

itu dari keseluruhan pasien yang memiliki gangguan kepribadian prevalensi BPD

sebanyak 33% pada rawat jalan dan 63% pada rawat inap (Widiger dan Frances,

1989).(3)

Dari telaah yang dilakukan oleh Widiger dan Frances yang dilakukan

terhadap 38 studi yang melaporkan gender pasien-pasien dengan BPD, didapatkan

bahwa sebanyak 74% adalah wanita. Pasien-pasien dengan BPD cenderung orang-

orang dengan usia muda (Akhtar, Byrne & Doghramji, 1968). Sekitar 70-75% dari

pasien-pasien BPD memiliki riwayat sedikitnya 1 kali tindakan mencelakai diri

sendiri (Clarkin, Widiger, Frances, Hurt & Gilmore, 1983).(3)

2.1.3 Gambaran Klinis(5)

Seseorang dengan BPD hampir selalu tampak dalam keadaan krisis. Sering

terjadi mood swing. Pada satu waktu pasien bisa bersifat argumentatif, berikutnya

tampak depresi dan mengeluh tidak memiliki perasaan apapun pada saat lainnya.

Pasien BPD dapat mengalami episode psikotik yang singkat (disebut juga episode

mikropsikotik), namun bukan gejala psikotik yang full-blown. Gejala-gejala

psikotik pasien-pasien ini kebanyakan berbatas tegas, sekejap atau diragukan.

Perilaku pasien BPD sangat tidak dapat diprediksi, dan pencapaian mereka jarang

sepadan dengan kemampuannya. Kehidupan mereka yang penuh penderitaan

tercermin dalam tindakan merugikan diri sendiri yang berulang. Mereka dapat
mengiris pergelangan tangan mereka dan melakukan tindakan mutilasi diri

lainnya untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain, untuk mengekspresikan

kemarahan atau untuk mengatasi afek yang terlalu berlebihan.

Pasien dengan BPD memiliki hubungan interpersonal yang bergejolak

disebabkan sifat mereka yang dependen sekaligus bermusuhan. Mereka dapat

tergantung pada orang-orang yang mereka anggap dekat dan ketika frustrasi

mereka dapat marah besar terhadap teman-teman dekat mereka. Pasien dengan

BPD tidak dapat bertoleransi dengan kesendirian dan mereka lebih memilih untuk

melakukan usaha gila-gilaan agar dapat ditemani tanpa peduli adanya ketidak-

senangan di pihak teman mereka. Mereka dapat menerima orang asing sebagai

teman atau melakukan promiskuitas untuk mengurangi rasa kesendirian. Mereka

sering mengeluh perasaan hampa yang kronis, kejenuhan dan hilangnya rasa

memiliki identitas (identity difussion). Saat tertekan mereka mengeluh betapa

seringnya mereka merasa depresi, seakan-akan tak pernah merasakan afek

lainnya.

Dalam tes terstruktur seperti Wechsler Adult Intelligence Scale pasien

dengan BPD menunjukkan kemampuan penalaran yang normal. Secara fungsional

pasien dengan BPD mendistorsi relasi yang mereka miliki dengan menganggap

setiap orang sepenuhnya baik dan sepenuhnya buruk. Mereka melihat orang

sebagai figur lekat yang mengayomi ataupun sebagai figur sadistis yang tidak

memberikan mereka kebutuhan rasa aman dan mengancam untuk meninggalkan

mereka ketika mereka merasa tergantung. Seringkali mereka berpindah

keberpihakan dari satu orang atau grup ke orang atau grup lainnya. Beberapa
klinisi menggunakan konsep panfobia, panansietas, panambivalensi dan

seksualitas yang kacau balau untuk menggambarkan karakteristik pasien dengan

BPD.

2.1.4 Diagnosis Banding(5)

Gangguan ini dibedakan dengan skizofrenia atas dasar bahwa pasien

dengan BPD tidak mengalami episode-episode psikotik yang panjang, gangguan

pikiran, dan gejala-gejala klasik skizofrenia lainnya. Gangguan kepribadian

skizotipal dibedakan dengan BPD atas dasar bahwa gangguan kepribadian

skizotipal menunjukkan keanehan berpikir yang nyata, ide-ide yang tidak biasa,

dan idea of reference yang berulang. Sementara itu BPD dapat dibedakan dari

gangguan kepribadian paranoid, yang mana pada gangguan kepribadian ditandai

dengan kecurigaan yang ekstrim. Pasien-pasien dengan BPD secara umum

mengalami perasaan kosong yang kronis dan episode-episode psikotik yang

pendek; mereka bertindak impulsif dan menuntut relasi yang di luar kewajaran;

mereka bisa saja memutilasi diri dan melakukan usaha bunuh diri yang

dimanipulasi.

2.1.5 Perjalanan Penyakit dan Prognosis(5)

Pasien-pasien BPD hanya mengalami sedikit perubahan seiring

berjalannya waktu. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa tidak ada

progresivitas ke arah skizofrenia, namun pada pasien-pasien BPD terdapat

insidensi episode depresi berat yang tinggi. Diagnosis BPD biasanya dibuat
sebelum usia 40 tahun, ketika pasien sedang berusaha dalam pekerjaan, marital

dan pilihan-pilihan lainnya. Pasien BPD tidak mampu menghadapi tahap-tahap

perkembangan dalam siklus kehidupan.

2.1.6 Penatalaksanaan(9)

Penatalaksanaan utama untuk BPD adalah psikoterapi, dilengkapi dengan

farmakoterapi yang sesuai dengan gejala. Manajemen psikiatri tambahan terdiri

dari satuan aktivitas dan intervensi yang luas dan dilakukan terus-menerus.

Komponen dari manajemen psikiatri bagi pasien BPD meliputi pemberian respon

terhadap krisis, memonitor keselamatan pasien, membangun dan mempertahankan

hubungan terapeutik, memberikan edukasi tentang BPD dan penatalaksanaannya,

melakukan koordinasi tata laksana yang diberikan oleh beberapa klinisi,

memonitor kemajuan pasien dan mengevaluasi ulang efektivitas rencana terapi.

Dua pendekatan psikoterapi yang telah terbukti efektif melalui penelitian-

penelitian randomized controlled trial adalah psikoterapi

psikodinamika/psikoanalitik dan dialectical behaviour therapy (DBT).

Penatalaksanaan yang diberikan pada penelitian-penelitian ini memiliki 3

karakteristik utama yaitu : pertemuan mingguan individu dengan terapis, satu atau

lebih sesi grup yang dilakukan secara mingguan, dan pertemuan terapis untuk

melakukan konsultasi/supervisi. Belum ada penelitian yang membandingkan

langsung antara kedua psikoterapi ini untuk mengetahui pasien mana yang

memiliki respon lebih baik terhadap jenis terapi apa.


Pengalaman klinis membuktikan bahwa ada beberapa cara yang dapat

membantu dalam membimbing terapis tanpa memperhatikan jenis terapi spesifik

yang digunakan. Beberapa cara ini meliputi : membangun hubungan terapeutik

yang kuat, memonitor perilaku membahayakan diri sendiri dan bunuh diri.

Terapis membuat hierarki prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam terapi

(misal pertama memusatkan pada perilaku bunuh diri). Intervensi yang

bermanfaat lainnya yaitu mem-validasi pengalaman dan penderitaan pasien serta

membantu pasien bertanggung jawab terhadap tindakannya. Fleksibilitas juga

menjadi salah satu aspek penting dari suatu terapi yang efektif karena pasien-

pasien dengan BPD dapat memiliki beragam kelebihan dan kekurangan.

Komponen-komponen lain dari suatu terapi yang efektif bagi pasien-pasien

dengan BPD meliputi mengelola emosi baik pada diri pasien maupun terapis),

mengutamakan refleksi dibanding tindakan impulsif, menghilangkan

kecenderungan pasien untuk melakukan splitting dan menentukan batas pada

tindakan-tindakan menyakiti diri sendiri.

2.2 Dialectical Behaviour Therapy (DBT)

2.2.1 Tinjauan Umum

Dialectical Behaviour Therapy (DBT) dikembangkan oleh Marsha

Linehan, seorang psikolog klinis, untuk menjawab kebutuhan penatalaksanaan

individu-individu dengan diagnosis BPD dan riwayat perilaku bunuh diri.(10) DBT

menawarkan sebuah pendekatan tata laksana yang komprehensif, yang

menggunakan berbagai intervensi untuk menghasilkan terapi yang menghargai


humanitas dan menjanjikan bagi pasien-pasien yang di masa lalu dianggap tidak

dapat disembuhkan, resisten ataupun manipulatif.(11)

Kesulitan yang dimiliki oleh pasien-pasien BPD dalam mentoleransi

distres dan menerima diri mereka serta orang lain menginisiasi berkembangnya

suatu keterampilan berorientasi penerimaan, seperti kesadaran (mindfulness),

kesediaan (willingness), dan penerimaan sepenuhnya (radical acceptance).

Strategi-strategi ini, yang disari dari prinsip-prinsip Zen, diajarkan sebagai suatu

keterampilan baik bagi pasien maupun terapis. Strategi berbasis perubahan dalam

DBT diambil dari pendekatan-pendekatan CBT. Strategi-strategi untuk

menyampaikan validasi dan penerimaan terhadap pasien memiliki kesamaan

dengan yang digunakan pada terapi berpusat pada klien dan terapi berfokus pada

emosi. Filosofi dialektikal, sebagai pondasi dari DBT, memberikan suatu

pandangan hidup yang mempertahankan keseimbangan dan sintesis dari strategi

penerimaan (acceptance) serta perubahan (change).(12)

Tujuan akhir DBT adalah membantu pasien untuk memiliki kehidupan

yang cukup baik bagi pasien yang seringkali mengalami penderitaan akibat

masalah di berbagai area fungsi kehidupan. Hal tersebut dicapai melalui 4

modalitas dalam DBT, yaitu pelatihan keterampilan dalam grup (group skill

training), terapi individual, konsultasi melalui telepon, dan konsultasi terapis

dengan tim. Dari perspektif empiris tidak diketahui apakah diperlukan seluruh

modalitas atau hanya sebagian. Namun demikian sebelum adanya hasil studi

analisis komponen, maka sebuah terapi tidak dianggap sebagai DBT kecuali

keempat modalitas tersebut diimplementasikan.(11)


2.2.2 Filosofi dan Teori

2.2.2.1 Filosofi Dialektikal(11)

Dialektikal mencakup sebuah pandangan hidup dan sebuah proses

perubahan. Cara berpikir dialektikal menyediakan solusi untuk ketegangan yang

terjadi antara pemikiran formal yang bersifat universalistik (yang menganut

kebenaran absolut) dan pemikiran realistik (yang menganut ada banyak

kebenaran). Dialektik menambahkan suatu cara berpikir yang mana terdapat

baik kebenaran absolut maupun kebenaran yang sifatnya kontekstual. Ciri utama

cara berpikir dialektikal adalah memahami bahwa untuk setiap hal (thesis) maka

hal kebalikannya (antithesis) dapat dipertahankan. Sementara itu dicari sebuah

sintesis antara kedua hal yang saling bertentangan ini.

Selama berlangsungnya DBT dapat diidentifikasi adanya polaritas dalam

cara berpikir dan bertindak pada diri pasien. Misalnya, pasien mungkin

mengekspresikan kecemasan seakan-akan terjadi malapetaka atau mungkin secara

berulang-ulang meminta maaf untuk mengurangi rasa bersalahnya. Melalui

pertimbangan akan adanya cara berpikir atau bertindak secara kebalikannya (misal

malapetaka tidak akan terjadi, atau mungkin tidak perlu ada permintaan maaf),

maka ketegangan akan terjadi secara alamiah antara kedua cara berpikir atau

bertindak. Proses perubahan secara dialektikal mengusahakan terjadinya resolusi

antara kedua pemikiran yang bertolak belakang dengan cara memberikan

alternatif yang merupakan integrasi atau sebuah sintesis. Hal tersebut

mempertimbangkan juga konteks yang sifatnya selalu dinamis.


Contoh lainnya misal seorang pasien bersikeras bahwa mengekspresikan

kemarahan dengan cara-cara tertentu membantu memperbaiki mood mereka saat

itu, sementara terapis bersikeras bahwa ekspresi kemarahan ini merupakan

masalah. Dengan demikian terjadi jalan buntu. Cara berpikir dialektikal

membantu terapis untuk menciptakan sintesis bersama pasien dengan cara

mengidentifikasi bagaimana ekspresi kemarahan mungkin efektif pada konteks

tertentu dan dilakukan dengan cara tertentu, serta bahwa pada saat yang

bersamaan ekspresi kemarahan pada konteks dan cara tertentu dapat memperparah

masalah, bukan menyelesaikannya. Sintesis berarti tidak sepenuhnya menghambat

kemarahan maupun ekspresi kemarahan, namun berarti menghambat maupun

mengekspresikan kemarahan bergantung pada konteks.

Pendekatan dialektik tidak hanya mengurangi cara berpikir atau bertindak

yang ekstrim, namun juga secara eksplisit mengajarkan kepada terapis suatu

proses yang dirancang agar ia tidak selalu merasa benar tentang setiap hal, tanpa

kehilangan cara pandang. Strategi-strategi dialektikal juga dapat menjaga pasien

agar sedikit kehilangan keyakinan (misal kehilangan keyakinan yang kaku bahwa

persepsinya merupakan kebenaran sesungguhnya). Hal ini bermanfaat bagi pasien

dapat belajar perilaku baru, sehingga mengurangi perilaku, emosi, dan kognisi

yang kaku, ekstrim dan problematik.

2.2.2.2 Teori Biososial pada BPD(3, 12)

Teori biososial menggabungkan pengaruh dari faktor biologi/temperamen

dan lingkungan dalam perkembangan perilaku-perilaku pada BPD. Menurut


kerangka ini BPD disebabkan oleh disregulasi emosi yang pervasif akibat

hubungan timbal balik antara kerentanan secara biologis pada suatu bentuk reaksi

emosional yang cepat, kuat dan bertahan lama (emotion vulnerability) dengan

lingkungan tempat pasien dibesarkan yang melakukan invalidasi (invalidating

environment).

Karakteristik kerentanan emosi meliputi sensitivitas yang tinggi terhadap

stimulus emosional, emosi yang intens, dan kembalinya emosi ke keadaan

sebelumnya yang sifatnya lambat. Sensitivitas yang tinggi berarti bahwa

individu tersebut bereaksi dengan cepat dan memiliki ambang yang rendah dalam

bereaksi, sehingga hanya membutuhkan sedikit stimulus untuk memprovokasi

respon emosi. Kejadian-kejadian yang tidak mengganggu bagi kebanyakan orang

kemungkinan dapat mengganggu bagi individu dengan kerentanan emosi.

Emosi yang intens berarti reaksi emosi dari individu dengan kerentanan

emosi bersifat ekstrim, misal di sisi negatif perpisahan dapat memicu duka yang

mendalam, gangguan kecil dapat memicu kemarahan, cemas dapat berkembang

menjadi serangan panik ataupun teror. Di sisi positif individu-individu dengan

emosi yang intens dapat menjadi seorang idealistik, dan dapat jatuh cinta hanya

karena insiden kecil semisal saat diambilkan topinya yang jatuh.Kembalinya

emosi ke keadaan sebelumnya yang sifatnya lambat berarti bahwa reaksi emosi

bertahan lama. Hal itu dikarenakan bangkitnya emosi memengaruhi proses

kognitif secara pervasif yang kemudian mengaktivasi suatu keadaan mood.

Mekanisme disregulasi emosi pada BPD tidak diketahui, namun gangguan

pada reaktivitas dan pengendalian atensi pada sistem limbik kemungkinan


berperan. Sistem regulasi emosi bersifat kompleks, dan tidak ada alasan yang

memastikan bahwa disfungsi pada sistem limbik ini merupakan penyebab yang

sama pada semua pasien dengan BPD. Penyebab biologi dapat bervariasi mulai

dari pengaruh genetik, kejadian intrauterin yang berdampak buruk, hingga efek

dari lingkungan terhadap perkembangan otak dan sistem saraf semasa kanak-

kanak awal.

Lingkungan yang melakukan invalidasi merupakan suatu lingkungan yang

mana terdapat pengasuh yang menghukum, mengabaikan, menolak atau

meremehkan pengalaman emosional individu, sementara tidak menawarkan

bimbingan atau melatih bagaimana mengelola pengalaman-pengalaman emosi ini.

Pengalaman emosional individu yang menyakitkan dan faktor-faktor yang

tampaknya berhubungan dengan distres emosional yang dialami individu tidak

dianggap. Interpretasi individu terhadap perilakunya diabaikan.

Invalidasi memiliki dua ciri utama. Pertama, hal itu menunjukkan kepada

individu bahwa ia salah tentang deskripsi dan analisisnya terhadap

pengalamannya sendiri. Kedua, invalidasi menghubungkan pengalaman individu

dengan sifat-sifat atau kepribadian yang tidak dapat diterima secara sosial.

Lingkungan mungkin memaksakan bahwa individu merasakan apa yang ia

nyatakan tidak (Kamu pasti marah tapi tidak mau mengakuinya!), bahwa

individu suka atau lebih suka terhadap sesuatu yang ia nyatakan tidak (Ketika

kamu katakan tidak berarti ya!) atau bahwa individu telah melakukan sesuatu

padahal tidak. Ekspresi emosi yang negatif mungkin dihubungkan dengan ciri-ciri

kepribadian over-reaktivitas, over-sensitivitas, paranoia, cara pandang yang salah


tentang kejadian, atau kegagalan untuk mengadopsi perilaku positif. Ekspresi

emosi, keyakinan, dan tindakan yang positif dapat terkena invalidasi, yaitu

dihubungkan dengan kurangnya kemampuan membedakan, kenaifan, over-

idealisasi, atau imaturitas. Pengalaman pribadi dan ekspresi emosi individu tidak

dipandang sebagai respon yang valid terhadap kejadian-kejadian.

Konsekuensi dari lingkungan yang melakukan invalidasi adalah sebagai

berikut. Pertama, lingkungan tidak mengajarkan individu untuk melabel

pengalaman pribadi, termasuk emosi, sebagai pengalaman yang sama menurut

norma di masyarakat. Individu diberi tahu untuk mengontrol emosinya, namun

tidak diberi tahu bagaimana melakukan hal tersebut. Kedua, akibat menganggap

terlalu mudah dalam menyelesaikan masalah kehidupan maka lingkungan tidak

mengajarkan individu untuk mentoleransi distres atau untuk menciptakan tujuan

dan harapan yang realistik. Ketiga, memperlihatkan emosi-emosi atau masalah

yang ekstrim dalam suatu lingkungan yang melakukan invalidasi seringkali

penting untuk mendapatkan respon bantuan dari lingkungan. Dengan demikian

lingkungan sosial secara kebetulan (contingency) mendukung perkembangan

reaksi-reaksi emosional yang ekstrim. Terakhir, lingkungan tersebut gagal untuk

mengajarkan individu kapan mereka dapat mempercayai respon emosi dan

kognitif mereka. Sebaliknya, lingkungan tersebut mengajarkan individu untuk

melakukan invalidasi terhadap pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan

mencari petunjuk pada lingkungan sosial mereka tentang bagaimana berpikir,

merasa dan bertindak.


2.2.3 Asumsi-asumsi dan Kesepakatan pada DBT(11)

Kebanyakan pendekatan terapi memiliki asumsi-asumsi yang

melatarbelakangi tentang apa yang diharapkan dari pasien dan dari terapi. Pada

DBT, asumsi-asumsi ini didiskusikan secara terbuka dengan pasien pada sesi

pertama atau yang disebut pre-treatment. Berikut adalah asumsi-asumsi pada

DBT.

A. Pasien

1. Pasien melakukan yang terbaik yang mereka bisa.

2. Pasien ingin menjadi lebih baik.

3. Pasien perlu melakukan lebih baik lagi, mencoba lebih keras lagi dan lebih

termotivasi untuk berubah.

4. Pasien harus menyelesaikan masalah mereka saat ini, tanpa mempedulikan

siapa penyebabnya.

5. Pasien hidup dalam situasi yang tak tertahankan.

6. Pasien harus belajar perilaku-perilaku baru pada setiap konteks yang

relevan.

B. Terapi

1. Pasien tidak bisa gagal dalam DBT, namun terapi dan terapis bisa

membuat pasien gagal.

2. Bentuk perhatian yang paling besar yang terapis bisa lakukan adalah

membantu pasien berusaha mencapai tujuan akhir mereka.

3. Terapis pada DBT membutuhkan dukungan.

4. Hubungan terapeutik adalah hubungan yang setara.


5. Prinsip-prinsip mengenai perilaku bersifat universal dan memengaruhi

baik pasien maupun terapis.

Selain itu kesepakatan antara terapis dan pasien untuk menjalani terapi

juga didiskusikan selama sesi pre-treatment. Kesepakatan dari pasien dan terapis

adalah sebagai berikut.

A. Pasien

1. Tetap mengikuti terapi selama periode waktu tertentu, biasanya 1 tahun.

2. Hadir dalam setiap sesi terapi.

3. Terapi akan dihentikan jika 4 sesi berturut-turut terlewatkan.

4. Berusaha menghentikan perilaku menyakiti diri sendiri dan target-target

terapi lainnya.

5. Berpartisipasi dalam skills training.

6. Patuh pada syarat-syarat yang ada dalam terapi.

7. Membayar biaya atas pelayanan yang disepakati.

B. Terapis

1. Menjaga kompetensi dan upaya.

2. Memberikan terapi yang etis dan profesional.

3. Ada untuk sesi-sesi mingguan dan konsultasi melalui telepon.

4. Memperlakukan pasien secara manusiawi, dengan hormat dan integritas.

5. Menjaga kerahasiaan.

6. Melakukan konsultasi yang sesuai.

Sebagai tambahan, penting bagi terapis untuk mendiskusikan perlunya

komitmen dari pasien untuk berpartisipasi dalam DBT. Komitmen pasien dalam
DBT dapat berubah sepanjang waktu, sehingga terapis perlu waspada terhadap

perubahan dalam komitmen pasien dan bersedia mengevaluasi kembali berulang-

ulang jika perlu.

2.2.4 Tahap dan Target Terapi pada DBT(10, 11)

Ada 4 tahap dalam DBT, yaitu :

- Tahap 1

Fokus utama adalah menstabilkan pasien dan mencapai pengendalian

perilaku.

Target perilaku pada tahap ini adalah :

Mengurangi perilaku bunuh diri (suicidal behaviour) yang

mengancam hidup

Mengurangi perilaku yang mengganggu proses terapi, misal

ketidakhadiran, ketidak-kooperatifan, ketidakpatuhan.

Mengurangi perilaku yang mengganggu kualitas hidup, misal

penyalahgunaan zat, gangguan makan, ansietas, depresi dan

masalah kesehatan fisik.

- Tahap 2

Menangani masalah berkaitan dengan trauma di masa lalu menggunakan

protokol terapi paparan (exposure therapy).

Jika tidak ada stres berkaitan dengan trauma di masa lalu maka kesulitan-

kesulitan dalam pengalaman emosional dan ekspresi emosi menjadi target.


Pasien dalam tahap ini dapat kembali mengalami kesulitan mengendalikan

perilaku seperti pada tahap 1, maka penting agar target pada tahap 1 tetap

dimonitor selama pasien berada dalam tahap 2.

- Tahap 3

Menekankan pada pengembangan self-esteem dan manajemen efektif dari

masalah-masalah yang terjadi dalam keseharian, termasuk menyelesaikan

masalah dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

- Tahap 4

Menargetkan individu agar merasa lengkap, bertumbuh secara spiritual,

kesadaran diri meningkat, dan merasa senantiasa bahagia.

2.2.5 Mekanisme Kerja DBT(3, 11)

Hampir seluruh perilaku individu dipengaruhi oleh suatu bangkitan emosi

dan keadaan mood. Demikian halnya pada pasien dengan BPD, problem perilaku

di sisi mereka merupakan usaha-usaha maladaptif dalam meregulasi emosi yang

intens atau dengan kata lain merupakan keluaran akibat adanya masalah

disregulasi emosi. Misal, tindakan menyakiti diri sendiri pada pasien dengan BPD

dapat berfungsi sebagai respon maladaptif dari emosi negatif yang intens.

Berdasarkan pemikiran teoritis tersebut, maka DBT memusatkan pada

modifikasi berbagai aspek sistem regulasi emosi pasien. Formulasi terapi pada

DBT ditujukan untuk mengurangi tendensi ke arah tindakan yang tidak efektif

dalam merespon disregulasi emosi, atau disebut juga problem behavior.

Mekanisme kerja DBT digambarkan pada Gambar 2.1.


2.2.6 Fungsi dan Modalitas DBT(11, 12)

Penatalaksanaan dalam DBT memiliki 5 fungsi, yaitu:

a) Meningkatkan kemampuan berperilaku melalui pelatihan keterampilan

(skills training) mingguan, berbasis grup, yang berfokus pada pengajaran

keterampilan meregulasi emosi, mentoleransi distres emosional,

meningkatkan efektivitas dalam konteks interpersonal, dan mengontrol

atensi.

b) Meningkatkan motivasi untuk berubah dan mengurangi perilaku yang

inkonsisten terhadap tujuan membangun hidup yang cukup baik melalui

terapi individual (indvidual therapy) setiap minggu yang mana melibatkan

kombinasi intervensi perilaku, kognitif, dan berorientasi penerimaan.

c) Memastikan bahwa kemampuan baru tersebut menerap pada keseharian

dengan menyertakan berbagai strategi misal telephone skills coaching.

d) Melakukan strukturisasi lingkungan (structuring environment), terutama

jejaring dalam proses terapi untuk mendukung perilaku yang terampil.

e) Meningkatkan kemampuan dan motivasi terapis agar menangani pasien

secara efektif melalui pertemuan konsultasi (consultation meeting) terapis

dengan tim.
PENGHINDARAN/LARI

DISREGULASI EMOSI DBT PROBLEM PERILAKU


mengajarkan
bagaimana
STIMULUS menghindar
DBT mengajarkan
tanpa timbul
DBT mengajarkan bagaimana menghentikan
problem
bagaimana mentoleransi perilaku ini
perilaku
distres

Mengubah asosiasi ini


melalui teknik paparan MEREDA UNTUK SEMENTARA
atau kontrol stimulus

Menghentikan
Mengajarkan keterampilan bagaimana
tindakan yang dapat
meregulasi emosi dan mengurangi
memperkuat
kerentanan terhadap stimulus

Gambar 2.1 Mekanisme kerja DBT

2.2.6.1 Pelatihan Keterampilan dalam Grup (Group Skill Training)(11)

Pelatihan keterampilan dilakukan dalam format grup dan merupakan kelas

keterampilan, bukan seperti grup psikoterapi yang biasa. Fungsi utama grup ini

adalah diperolehnya keterampilan koping yang baru. Asumsi yang digunakan

adalah bahwa pasien-pasien ini harus belajar keterampilan spesifik mengenai

perilaku, emosi, kognitif dan interpersonal yang tidak mereka pelajari di masa
awal kehidupan. Selain itu diasumsikan juga bahwa anggota-anggota grup

tersebut tidak rapuh dan bahwa bangkitan emosi selama berlangsungnya grup

memberikan kesempatan untuk mempraktekan keterampilan.

Grup diadakan setiap minggu, biasanya selama 2 jam dan melibatkan

antara 4 hingga 10 pasien serta 2 orang co-leader yang sudah dilatih DBT. Satu

jam pertama biasanya dipergunakan untuk meninjau kembali tugas terkait

keterampilan yang telah dipelajari minggu sebelumnya. Selama 1 jam berikutnya

diajarkan keterampilan baru dari buku pedoman yang ada tentang group skill

training. Buku pedoman tersebut berisi berbagai latihan yang didesain untuk

mengurangi disregulasi emosi, termasuk modul terpisah mengenai toleransi

distres, regulasi emosi dan efektivitas interpersonal serta keterampilan-

keterampilan mindfulness yang diajarkan berulang-ulang setelah setiap modul

keterampilan diajarkan.

2.2.6.2 Terapi Individual(11, 12)

Sesi terapi individual dengan terapis DBT berlangsung selama 50-60

menit sekali seminggu, namun dapat bervariasi tergantung dari apa yang

diperlukan oleh seorang pasien dalam minggu itu. Fungsi utama dari terapi

individual adalah untuk meningkatkan motivasi pasien untuk berubah dan

melakukan tata laksana target perilaku.

Untuk tata laksana target perilaku, terapis memanfaatkan teknik problem-

solving, restrukturisasi kognitif, intervensi paparan dan protokol terapi yang

spesifik yang telah terbukti efektif untuk komorbid gangguan pada aksis 1.
Sedangkan untuk meningkatkan motivasi, terapis menggunakan strategi khusus

untuk peningkatan motivasi dan komitmen, serta melatih keterampilan dalam

mengelola kemungkinan kejadian (contingency management) sehingga

memperkuat perilaku yang fungsional dan menghilangkan perilaku disfungsional.

Keterampilan-keterampilan yang dipelajari selama sesi grup didiskusikan

menjadi rencana tindakan untuk mengantisipasi kejadian yang akan datang. Selain

itu episode-episode disregulasi emosi yang terjadi pada minggu sebelumnya

didiskusikan, beserta keterampilan yang telah dicoba untuk digunakan oleh

pasien. Faktor-faktor yang memengaruhi kemajuan terapi juga dibahas sehingga

hal-hal yang menghambat berkembangnya keterampilan baru dapat dicegah dan

pasien dibantu untuk tetap menjalani terapi meskipun ada dorongan untuk keluar

dari terapi.

Berikut beberapa intervensi yang digunakan terapis dalam terapi

individual.

A. Kartu catatan harian (Diary Cards)

Kartu catatan harian digunakan untuk memonitor berbagai target perilaku.

Misal: pasien menilai suasana perasaan mereka, memonitor frekuensi perilaku

dan dorongan untuk menyakiti diri sendiri, dan melihat perkembangan target-

target lainnya. Kartu catatan harian dibahas pada setiap awal sesi dan sesi terapi

diatur berdasarkan target perilaku yang tampak dari kartu catatan harian.

Mengingat banyaknya target terapi dan adanya kemungkinan pasien tidak ingat

pada kejadian pada minggu itu maka kartu catatan harian merupakan instrumen

yang penting dalam mengarahkan sesi terapi.


Gambar 2.2 Kartu Catatan Harian

B. Analisis Perilaku (Behavioral Analysis)

DBT menggunakan beberapa strategi pemecahan masalah untuk

mengubah perilaku-perilaku yang disfungsional. Analisis perilaku atau behavioral

analysis (BA) sering digunakan untuk mengidentifikasi problem perilaku dan

memahami konteks di mana perilaku itu terjadi. BA meliputi suatu usaha yang

bersifat aktif, direktif, oleh terapis untuk mengidentifikasi hal-hal tertentu yang

mendahului dan konsekuensi-konsekuensi terkait dengan problem perilaku yang

dianalisis.

Pada DBT gejala dikonsepkan sebagai problem perilaku (problem

behavior), yang dapat bersifat eksternal yaitu perilaku-perilaku dapat diamati di

depan umum misal mutilasi diri sendiri atau penyerangan yang impulsif. Selain itu
problem perilaku juga dapat bersifat internal yaitu tidak dapat diamati di depan

umum misal pikiran-pikiran yang menghakimi diri sendiri atau dorongan-

dorongan untuk menggunakan zat. Dengan demikian perilaku berarti segala

sesuatu yang dilakukan atau dialami oleh seseorang (misal pikiran, emosi, sensasi,

dan tindakan yang nyata). Diikutsertakannya pengalaman-pengalaman internal

dalam target perilaku merupakan hal penting dalam pemahaman fenomena yang

dialami pasien.

Oleh karena behavior analysis (BA) mencakup penjelasan yang

menghubungkan suatu rangkaian kejadian, maka BA juga sering disebut sebagai

analisis rantai atau chain analysis. Seiring dengan dieksplorasinya rangkaian

kejadian, seorang terapis DBT mempertimbangkan adanya peran pengkondisian

klasik dan instrumental (classic and operant conditioning). Perilaku-perilaku

dengan pengkondisian klasik berada di bawah kontrol suatu stimulus yang

mendahului. Sementara perilaku-perilaku dengan pengkondisian instrumental

berada di bawah kontrol suatu konsekuensi yang mengikutinya. Misal, dorongan

kuat untuk menyakiti diri sendiri dapat merupakan perilaku dengan pengkondisian

klasik yang terjadi setelah berargumen dengan pasangan. Di sisi lain, perilaku

menyakiti diri sendiri dapat merupakan pengkondisian instrumental dari

konsekuensi yang mengikutinya, seperti meningkatnya perhatian dari pasangan.

Dengan mengetahui variabel yang mengontrol sebuah perilaku (yaitu hal

yang mendahului atau yang menjadi konsekuensi) maka dapat memberikan

informasi tentang pilihan intervensi. Strategi-strategi untuk mengubah hal yang


mendahului meliputi paparan perilaku (misal latihan berargumen) dan kontrol

stimulus (misal menghindar dari pasangan).

Prinsip-prinsip perilaku lainnya yang digunakan selama chain analysis

adalah penguatan positif dan negatif (positive and negative reinforcement),

hukuman, pemadaman (extinction), dan pembentukan (shaping). Melakukan chain

analysis ibarat menjadi detektif yang sedang menyelidiki kejahatan. Seluruh

kejadian yang mengarah pada problem perilaku diurai sehingga terungkap

hubungannya dalam rangkaian dan dapat diubah.

Hubungan-hubungan yang disfungsional dalam rangkaian tersebut dikaji

dan diganti dengan respon-respon yang lebih adaptif pada waktu analisis solusi

(solution analysis). Hal ini dilakukan dengan panduan 3 pertanyaan, yaitu:

- Dapatkah pasien mengubah situasi?

- Dapatkah pasien mengubah reaksi emosinya?

- Dapatkah pasien mentoleransi penderitaan terkait dengan masalah tersebut?

Terapis dan pasien berkolaborasi membangun strategi-strategi untuk

mengubah hal yang problematik kemudian menjalankan apa yang menjadi solusi

pada kesempatan berikutnya jika muncul problem perilaku.

C. Peningkatan Keterampilan (Skill Enhancement)

Keterampilan-keterampilan yang didapat selama sesi grup perlu

ditingkatkan pada sesi terapi individual melalui latihan-latihan perilaku. Hal

tersebut dapat dilakukan baik dalam bentuk latihan mengetes distorsi kognitif

secara tidak langsung maupun pernyataan menyemangati pasien secara langsung.

Latihan perilaku juga mencakup melakukan role play dari skenario interpersonal
yang menitikberatkan pada penggunaan keterampilan. Jika perilaku yang efektif

tampak dalam sebuah sesi, maka tugas terapis adalah melakukan penguatan

(reinforcement) terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya jika perilaku yang tidak

efektif muncul selama sesi, maka tugas terapis adalah mengabaikan atau

memberikan hukuman. Ketika pasien berperilaku tidak tepat (misal mengancam

untuk melakukan tindakan menyakiti diri sendiri), terapis tetap tenang dan

membahas tentang fakta. Sementara ketika pasien menunjukkan perilaku yang

terampil (misal menunjukkan komitmen untuk tidak menyakiti diri sendiri) maka

harus disambut dengan kehangatan dari terapis.

Metode lain untuk memfasilitasi penerapan keterampilan adalah dengan

paparan perilaku (behavioral exposure) dan pencegahan respon (respon

prevention). Pasien-pasien seringkali menjadi marah, merasa malu, atau ketakutan

dalam sebuah sesi. Serangkaian problem perilaku dapat timbul sebagai reaksi

terhadap emosi-emosi ini. Pasien yang marah mungkin akan mencaci maki. Pasien

yang merasa malu mungkin menunduk atau mengalami disosiasi. Sementara

pasien yang ketakutan mungkin tiba-tiba mengakhiri sesi. Behavioral exposure

dan respon prevention yang diterapkan dalam sesi bertujuan untuk menunjukkan

perhatian terhadap emosi-emosi ini tanpa menghakimi, mengobservasi dorongan-

dorongan untuk bertindak secara tidak efektif, dan menghambat dorongan-

dorongan ini.
D. Validasi

Suatu terapi yang efektif memerlukan verifikasi tentang apa yang dilakukan

pasien secara efektif dan diskonfirmasi tentang apa yang dilakukan secara tidak

efektif. Verifikasi terhadap apa yang dilakukan pasien dapat mengurangi respon

fisiologis. Validasi sebagai suatu intervensi berfungsi meningkatkan pembelajaran

pada diri pasien melalui modulasi bangkian emosi dan peningkatan hubungan

terapeutik.

Validasi dapat memiliki berbagai arti. Dalam DBT validasi diartikan

dalam beberapa tingkatan, yaitu:

1. Mendengarkan dan mengamati

2. Merefleksikan pengalaman pasien dengan akurat

3. Membantu pasien untuk mengartikulasikan emosi, pikiran dan pola perilaku

yang tidak diverbalisasi

4. Mengkomunikasikan sebuah pemahaman bahwa perilaku bersifat valid jika

dilihat dari riwayat pembelajaran di masa lalu atau kerentanan biologis

5. Mengkomunikasikan sebuah pemahaman bahwa perilaku bersifat valid jika

dilihat dari konteks saat ini atau apa yang dianggap normatif

6. Bersikap tulus, memperlakukan individu dengan setara, bukan seperti orang

sakit dan rentan.

E. Strategi Dialektikal

Strategi dialektikal berkisar antara penerimaan terhadap perilaku (misal dengan

melakukan validasi) dan perubahan perilaku (misal dengan cara problem solving).
Terapis membantu pasien untuk bergerak dari posisi terpolarisasi (salah

satu/atau) menuju sintesis (keduanya/dan). Berikut ini beberapa strategi

dialektikal yang spesifik.

Pernyataan paradoks

Allen Frances (1988) pernah menyatakan bahwa salah satu tugas

pertama dan utama dalam psikoterapi pasien BPD adalah mendapatkan

perhatian mereka. Pernyataan paradoks adalah cara yang ampuh untuk

melakukan hal tersebut karena paradoks mengandung kejutan di

dalamnya dan munculnya tanpa diduga. Sebagai contoh, terapis dapat

mengatakan, Jika saya tidak peduli pada Anda, saya akan

menyelamatkan Anda. Pasien kemudian mengatakan, Bagaimana bisa

Dokter mengatakan bahwa Dokter peduli pada saya jika Dokter tidak

akan menyelamatkan saya saat saya putus asa? Pokok dari sintesis di

sini adalah Anda sudah terselamatkan. Jika terapis menyelamatkan

maka akan mengalihkan terapi menjadi suatu pertolongan yang semu,

bukan memberikan yang pasien butuhkan.

Penggunaan metafora

Penggunaan metafora dalam bentuk analogi, anekdot, perumpamaan

atau cerita penting sekali pada DBT. Metafora adalah cara lain untuk

mengajarkan pemikiran dialektikal dan memungkinkan terbentuknya

perilaku baru.
Teknik memberikan saran jahat (devils advocate)

Teknik ini sering digunakan pada beberapa sesi awal untuk

menghasilkan komitmen yang kuat pada diri pasien untuk berubah.

Terapis mengungkapkan sebuah proposisi yang ekstrim, tanyakan

kepada pasien apakah ia meyakini hal tersebut. Pada gilirannya teknik

ini menghasilkan respon pasien yang menyangkal proposisi yang

diajukan terapis.

Extending

Pada teknik ini terapis menganggap lebih serius pernyataan pasien

daripada yang dimaksud oleh pasien. Misalnya, pasien mungkin

mengeluarkan pernyataan ekstrim tentang dampak dari suatu kejadian

terhadap kehidupannya (Jika Dokter tidak menjadwalkan sesi

tambahan untuk saya, maka saya akan bunuh diri). Terapis mula-mula

menganggap serius dampak tersebut (saya akan bunuh diri). Terapis

bisa mengatakan Kita harus segera melakukan sesuatu jika Anda

sangat tersiksa sampai akan bunuh diri. Bagaimana jika rawat inap?

Kita tidak mungkin berdiskusi dalam sesi terapi jika hidup Anda dalam

bahaya. Tentunya hal itu harus ditangani lebih dulu. Strategi ini

menyadarkan pasien bahwa ia melebih-lebihkan dampak tersebut.

Aktivasi pikiran bijak (wise mind)

Pasien BPD sering membuat pernyataan yang menggambarkan keadaan

emosi atau perasaannya (Saya merasa tidak layak dicintai, Saya

tidak ingin hidup tanpa dia, Saya takut saya akan gagal) seakan-akan
perasaan tersebut merupakan realita. Jika ini terjadi maka pada saat itu

juga tanyakan dengan cara seperti ini: Saya tdak tertarik dengan apa

Anda rasakan, saya tidak tertarik dengan apa yang Anda yakini. Saya

tertarik dengan apa yang Anda ketahui tentang apa yang

sebenarnya?(pikiran bijak pasien). Ketegangan dialektikal di sini

terjadi antara apa yang pasien rasakan tentang sebenarnya (emotion

mind), apa yang pasien pikir tentang sebenarnya (reasonable mind)

dan apa yang pasien ketahui tentang yang sebenarnya (wise mind).

Teknik membuat situasi yang buruk menjadi tampak lebih baik

Terapis DBT dapat memberikan respon suka cita bahkan terhadap

kejadian terburuk dengan pemikiran bahwa hal itu merupakan peluang

untuk mempraktekan atau belajar sebuah keterampilan. Misal, terhadap

keluhan pasien (Saya dipecat), sebuah respon yang tidak kongruen

(Aha, bagus!) membuat pasien terhenti dan berpikir suatu hal baru

(contoh: ini merupakan kesempatan untuk mempraktekkan

keterampilan efektivitas interpersonal, regulasi emosi ataupun toleransi

distres)

Mengijinkan terjadi perubahan-perubahan alamiah

Penataan tempat dapat berubah dari waktu ke waktu, pengaturan waktu

pertemuan dapat bervariasi, aturan-aturan dapat berubah, terapis yang

berbeda dapat mengatakan hal yang berbeda. Perubahan,

perkembangan, dan inkonsistensi melekat pada setiap lingkungan dan

dibiarkan berlanjut secara alamiah.


2.2.6.3 Konsultasi Melalui Telepon(11)

Pasien DBT dapat menghubungi terapis mereka melalui telepon untuk

melakukan konsultasi di antara sesi dengan tujuan untuk meningkatkan

generalisasi keterampilan. Penting bagi terapis untuk menentukan batasan

sehubungan dengan konsultasi melalui telepon ini karena pasien DBT bisa saja

mengalami krisis yang tak henti-hentinya. Durasi telepon ini singkat dan biasanya

kurang dari 10 menit. Pasien dikenalkan mengenai tujuan dari konsultasi melalui

telepon ini pada saat pre-treatment dan diberi tahu untuk menelepon ketika

mereka tidak mampu mengimplementasikan keterampilan dalam situasi-situasi

yang perlu, namun sebelum terjadi krisis. DBT menerapkan aturan 24 jam, yaitu

pasien tidak akan menerima bantuan keterampilan dari terapis hingga 24 jam

setelah adanya perilaku melukai diri sendiri. Hal itu bertujuan untuk mengurangi

dampak penguatan yang tidak disengaja pada perilaku melukai diri sendiri.

Sebagai gantinya, pada awal terapi dibuat sebuah perencanaan kemungkinan

kejadian (contingency plan) jika terjadi pasien melukai diri sendiri. Dalam

konsultasi melalui telepon, terapis menilai bahaya yang dapat muncul segera dan

memberikan bantuan yang tepat jika pasien dianggap dalam bahaya menyakiti diri

sendiri atau orang lain.

2.2.6.3 Konsultasi Terapis dengan Tim(11)

Konsultasi terapis dengan tim adalah perlu. Anggota tim berkomitmen

untuk bertemu setiap minggu, untuk memperlakukan satu sama lain dengan

validasi, dukungan dan motivasi. Konsultasi ini juga memberikan peluang bagi
cara pandang dan solusi yang baru, membantu terapis untuk keluar dari kebuntuan

dan menumbuhkan harapan.

2.2.7 Bukti Empiris dari DBT(12)

Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas DBT untuk terapi pasien-

pasien dengan BPD. Penelitian randomized controlled trial (RCT) pertama yang

dilakukan oleh Linehan dkk membandingkan DBT dengan terapi seperti biasanya

(treatment as usual, atau TAU) Penelitian ini menemukan bahwa DBT

menghasilkan penurunan yang lebih besar pada frekuensi dan risiko medis dari

perilaku parasuisidal dan kemarahan, kunjungan ke unit gawat darurat maupun

masuk rawat inap, serta peningkatan yang lebih besar pada penyesuaian sosial dan

global.

Sejak penelitian pendahulu ini, terdapat 6 penelitian RCT yang

mengevaluasi DBT untuk terapi pasien-pasien BPD juga pasien-pasien

penyalahgunaan zat komorbid dengan BPD. Hasil peneltian mendukung

efektivitas DBT untuk wanita dengan BPD, dan untuk terapi penyalahgunaan zat.

Lebih dari satu dekade sejak publikasi RCT inisial, saat ini tetap hanya ada 2

psikoterapi secara rawat jalan yang terbukti efektivitasnya untuk populasi pasien

BPD; satunya adalah psikoterapi psikodinamik dari Bateman dan Fonagy.


2.3 Contoh Kasus(12)

2.3.1 Gambaran Klinis Pasien


Joan berusia 40 tahun, belum menikah, ras Kaukasian, wanita lesbian,

pada awalnya datang berobat atas desakan saudara perempuannya. Dari segi

disregulasi perilaku, Joan menampilkan riwayat panjang perilaku parasuisidal,

termasuk 4 kali percobaan bunuh diri yang membuat dia dirawat inap, dan riwayat

panjang perilaku mengiris dan membakar diri sendiri. Ia juga melaporkan

perilaku impulsif yang dipengaruhi mood, meliputi makan dalam jumlah

berlebihan (binge eating) 3 kali per minggu, pemakaian alkohol, menyetir secara

ugal-ugalan dan masalah judi. Joan melaporkan bahwa kebanyakan dari perilaku-

perilaku ini terjadi ketika ia mengalami distres emosional dan setelah melakukan

perilaku-perilaku tersebut ketegangan emosinya berkurang. Ia juga menyadari

bahwa kadang-kadang ia mengiris atau membakar dirinya sendiri untuk

menghukum dirinya sesudah konflik yang intens dengan pacarnya.

Joan melaporkan juga adanya disregulasi emosi yang nyata, yang ditandai

dengan perubahan cepat dari moodnya seharian dan kesulitan mengelola reaksi

emosinya. Secara spesifik ia melaporkan bahwa rasa malu, sedih dan marah

terjadi begitu cepat dan intens serta membutuhkan waktu berjam-jam untuk

menghilang.

Dari segi disregulasi kognitif Joan mengeluh bahwa ketika ia berada di

bawah tekanan pekerjaan yang berlebihan, ia menjadi penuh curiga bahwa orang-

orang lain membicarakan atau berpikir negatif terhadap pakaiannya, bentuk

tubuhnya, kebiasaan kerja dan mereka mengumpulkan kesalahan-kesalahannya


untuk dijadikan bukti agar ia dipecat. Ia juga mengalami kesulitan konsentrasi di

pekerjaan ketika secara emosional merasa tertekan.

Joan juga mengalami disregulasi interpersonal, meliputi relasi dengan

orang-orang terdekat yang intens dan kisruh, tendensi untuk terlibat dengan laki-

laki dan perempuan yang kacau, dan kesulitan menjalani hubungan terapeutik,

khususnya ketika terapis sedang tidak ada atau tidak bisa membantu.

2.3.2 Berlangsungnya Pre-Treatment dan Komitmen

Selama fase pre-treatment DBT, fokus terapi terhadap Joan adalah

membantunya membangun dan memperkuat komitmen untuk menghentikan

perilaku-perilaku disfunngsional (yaitu perilaku parasuisidal dan membahayakan

diri sendiri dan untuk belajar suatu perilaku yang baru dan penuh skill. Terapis

mengenalkan Joan pada DBT, menghasilkan komitmen untuk terapi dan

menggunakan berbagai strategi untuk memperkuat komitmen. Kutipan berikut ini

menunjukkan beberapa strategi yang digunakan.

T: Jadi, apakah Anda setuju bahwa tujuan kita di sini adalah agar Anda tidak

membahayakan diri Anda sendiri, setidaknya selama 1 tahun pengobatan ini?

[Meminta komitmen]

C: Satu tahun itu sangat panjang.

T: Saya tahu, tapi saya harus katakan kepada Anda bahwa terapi ini tidak akan

membantu Anda jika Anda mati. [Gaya kurang sopan; menjual komitmen]

C: Ya..Saya rasa Anda benar. Hanya saja sepertinya berat.


T: Tentu saja, hal itu akan terasa berat. Namun Anda cukup beruntung memiliki

saya di sini untuk membantu Anda. Saya tahu bahwa kita bisa mencari cara untuk

menciptakan kehidupan yang patut ditinggali. [Menyemangati; membangun

harapan]

C: Saya rasa saya bisa menjalani waktu 1 tahun tanpa mencoba bunuh diri.

T: Nah, sekarang tentunya Anda tahu bahwa semuanya tergantung pada Anda.

Maksud saya di sini bahwa perlu kerja keras untuk ini. Apakah Anda lebih suka

dengan terapis yang membiarkan Anda menyakiti diri Anda sendiri ketika kesal?

[saran jahat]

C: Mungkin ya..Tapi itu tidak membantu saya. Saya benar-benar perlu

menghentikan ini.

2.3.3 Menangani Disregulasi Emosi

Salah satu kunci agar Joan mengurangi perilaku suisidal dan self-harm

adalah dengan membantunya menemukan cara lain yang lebih fungsional untuk

meregulasi pengalaman emosinya. Kutipan berikut ini mungkin berhasil untuk

membantunya menemukan cara lain untuk meregulasi emosinya.

T: Jadi, Anda mendapat email dari mantan pasangan Anda dan mulai berpikir

mengenai betapa parahnya Anda dalam menjaga suatu hubungan. Nah, Anda

benar-benar tahu bahwa parah itu berarti menghakimi [restrukturisasi kognitif

terhadap pemikiran yang menghakimi]. Jelaskan yang Anda maksud dan tetap

berpatokan pada fakta!


C: Baiklah.Saya berpikir bahwa saya selalu melakukan sesuatu yang membuat

orang lain menjauh, seperti minum terlalu banyak dan sering sekali berteriak.

T: Apakah tepat untuk mengatakan bahwa Anda melakukan ruminasi atau berpikir

lagi dan lagi tentang bagaimana Anda mengacau di masa lalu? [validasi;

merefleksikan perilaku pasien secara akurat]

C: Ya benar.

T: Baik..Emosi apa yang Anda rasakan? [fokus pada emosi]

C: Saya tidak tahu..Saya pikir mungkin sedih.

T: Sedih..Bagaimana Anda tahu bahwa Anda sedih? [fokus pada mengumpulkan

informasi tentang emosi]

C: Ada rasa menyesak di kerongkongan dan saya merasakan dorongan ingin

menangis dan bersembunyi.

T: Deskripsi sedih yang bagus [Penguatan]. Apakah ada rasa malu? [Validasi-

membaca emosi yang tidak terucapkan]

C: Ya, saya merasa malu pada apa yang saya lakukan pada mantan saya.

T: Oke, apakah saya pernah mengajari Anda keterampilan yang dapat digunakan

ketika Anda sedang meruminasi? Saya rasa belum ya. Ruminasi membantu Anda

untuk lari dari emosi. Anda memiliki emosi yang tidak Anda inginkan lalu Anda

mulai melakukan ruminasi dan pikiran-pikiran tersebut sebenarnya mengalihkan

Anda dari emosi. Namun, semakin Anda berpikir maka semakin Anda menjadi

kesal, lalu semakin tambah Anda berpikir untuk mengalihkan lebih jauh lagi.

[Pengajaran tentang ruminasi]. Apakah Anda memperhatikan hal itu?

C: Ya
T: Baiklah, hal pertama yang dilakukan adalah tanyakan pada diri Anda,

Dapatkah saya menyelesaikan masalah ini saat ini juga? Jika tidak bisa maka

keterampilan yang perlu digunakan adalah memfokuskan perhatian pada sensasi

tubuh dari emosi-emosi Anda. Kapanpun Anda sadar bahwa Anda sedang

melakukan ruminasi, konsentrasikan pikiran Anda pada tubuh. [Instruksi untuk

terampil mengobservasi emosi] Coba praktekan sekarang.

2.3.4 Menangani Ide Bunuh Diri

Kutipan di bawah ini mengilustrasikan bagaimana terapis DBT dapat

menggunakan modifikasi kognitif dan keterampilan regulasi emosi pada pasien

baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Joan baru-baru ini mencoba bunuh diri

dengan minum beberapa pil penenang. Percobaan bunuh diri yang dilakukan Joan

merupakan usaha untuk melarikan diri dari rasa sedih kehilangan teman intim.

Terapis fokus pada rangkaian perilaku yang berhubungan dengan perasaan

sedih.

T: Menurut pikiran Anda dengan bunuh diri apa yang Anda dapat?

C: Saya tidak harus menghadapi penderitaan ini setiap saat.

T: Hmm..Saya tidak tahu mengenai hal itu. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi

ketika sesorang bunuh diri. Saya tidak pernah bertemu dengan seseorang yang

berhasil melakukan bunuh diri. Tapi yang jelas, keadaan akan bertambah buruk.

[Modifikasi kognitif; gaya kurang sopan]. Pada setiap kasus, tampaknya Anda

ingin lari. Apakah Anda ingin mati ataukah ingin keluar dari penderitaan?

[Menanyakan tentang fungsi dari bunuh diri]


C: Saya ingin keluar dari penderitaan.

T: Saya sangat paham mengapa Anda ingin keluar [Validasi] Namun ada

perbedaan antara menginginkan mati dan ingin keluar dari penderitaan. Bisakah

Anda lihat?

C: Ya..Saya rasa begitu.

T: Tepat, jadi apa yang harus Anda lakukan kapanpun Anda memiliki pikiran

tentang bunuh diri adalah mengatakan kepada diri Anda, Saya tidak ingin mati.

Saya hanya ingin kedamaian, atau menyelamatkan diri [Modifikasi kognitif;

mengajarkan keterampilan baru]. Silahkan coba.

C: Saya tidak ingin mati. Saya hanya ingin kedamaian.

T: Saya sangat gembira bahwa Anda menginginkan kedamaian, bukan kematian.

[Terapis berterus terang]. Kita bisa mengusahakan kedamaian, tapi saya tidak

ingin mengusahakan untuk membuat Anda mati! [Gaya kurang sopan]. Baiklah,

jadi keterampilan di sini adalah menanyakan kepada diri Anda sendiri bagaimana

Anda bisa mendapatkan kedamaian. Sekarang Anda ingin menyelamatkan diri

dari emosi apa? [Fokus pada emosi]

C: Kesedihan, terutama..

T: Oke, mari kita pikirkan apa yang dapat Anda lakukan mengenai hal itu

[Kolaboratif; problem-solving]

2.3.5 Keterampilan-keterampilan Regulasi Emosi

T: Anda juga merasa malu, bukan begitu? [Validasi; membaca dan merefleksikan

pengalaman emosional yang tidak terungkapkan]


C: Ya..Rasanya satu-satunya hal yang membuat saya merasa bangga adalah

bahwa saya sudah berusaha keras berada dalam terapi selama 6 bulan dan banyak

perubahan.

T: Menarik..Jadi Anda berusaha dalam terapi ini dan memperbaiki hidup Anda,

namun Anda tidak merasakan suatu pencapaian [Menyoroti dan membangun

insight tentang pola disfungsional]. Kita harus mengatasi hal ini. Anda merasa

malu dengan pencapaian Anda bukannya bangga atau bahagia, mengapa begitu?

C: Saya tahu..

T: Apakah rasa malu ini dapat dibenarkan atau tidak? [Membuat pasien berpikir

apakah emosi tersebut dibenarkan atau tidak]

C: Saya rasa tidak.Tidak ada yang akan menolak saya karena melakukan hal baik

dan memperbaiki hidup saya.

T: Benar sekali [Penguatan positif] Apa tindakan yang ingin Anda lakukan?

[Menanyakan tentang dorongan terkait rasa malu]

C: Saya hanya ingin bersembunyi atau menghilang ke suatu tempat [Pasein

melihat ke bawah]

T: Oke, jadi Anda harus lakukan sebaliknya. Lihat ke atas, duduk tegak, dan tatap

saya. [Membuat pasien berlatih keterampilan bertindak sebaliknya]

C: Oke

T: Sekarang katakan ini, Saya telah berusaha keras, saya mendapatkan pekerjaan

dan pasangan, dan saya merasa tidak sesedih pada saat awal.

C: Oke..{Pasien mengulang apa yang terapis katakan]

T: Bagus [Penguatan]
C: Saya masih merasa sedikit malu karena saya pasien borderline, saya melakukan

cutting dan sejenisnya.

T: Sekarang saya harus mengatakan pada Anda, rasa malu karena menjadi seorang

pasien dengan gangguan mental, atau karena melakukan cutting dapat dibenarkan.

Masyarakat menaruh stigma pada orang-orang dengan gangguan mental dan Anda

kemungkinan dijauhi jika banyak orang yang tahu. Dalam hal ini, yang harus

dilakukan adalah berhenti melakukan cutting dan berusaha menghentikan perilaku

yang menyimpang..dan Anda telah melakukannya! [Penguatan]


BAB III

KESIMPULAN

Dialectical Behavior Therapy (DBT) merupakan terapi komprehensif

untuk borderline personality disorder (BPD) berdasarkan prinsip-prinsip

behavioral, teori dialektikal dan praktek Zen. Dasar pemikiran DBT adalah teori

biososial dari BPD yang menganut bahwa terdapat hubungan timbal balik antara

faktor biologi dan lingkungan. Teori biososial ini menitikberatkan pada adanya

disregulasi emosi sebagai ciri utama pada BPD. DBT meliputi kombinasi dari

berbagai modalitas terapi (pelatihan keterampilan dalam grup, terapi individual,

konsultasi melalui telepon, dan konsultasi terapis dengan tim), yang didesain

untuk menangani problem perilaku dari pasien BPD.


DAFTAR PUSTAKA

1. Yuniar S. Buku Panduan Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis


Psikiatri Indonesia Sub-Modul II.8 Gangguan Kepribadian. 2008.
2. Beck AT, Freeman A, Davis DD. Cognitive Therapy of Personality
Disorders. 2 ed. New York: The Guilford Press; 2004.
3. Linehan MM. Cognitive-Behavioral Treatment of Borderline Personality
Disorder New York: The Guilford Press; 1993.
4. Asselt ADIv, Dirksen CD, Arntz A, a JLS. The Cost of Borderline
Personality Disorder: Societal Cost of Illness in BPD-patients. European
Psychiatry. 2007;22:354-61.
5. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan and Sadock's Synopsis of
Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2015.
6. Gunderson JG, Links PS. Borderline Personality Disorder : A Clinical
Guide. Arlington: American Psychiatric Publishing, Inc; 2008.
7. Paris J. Treatment of Borderline Personality Disorder : A Guide to
Evidence-Based Practice. New York: The Guilford Press; 2008.
8. Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
DitJen YanDik DepKes RI; 1993.
9. Oldham JM, Gabbard GO, Goin MK, Gunderson J, Soloff P, Spiegel D, et
al. Practice Guideline For The Treatment of Patients With Borderline
Personality Disorder. Washington: American Psychiatric Association; 2001.
10. Blennerhassett RC, O'raghallaigh JW. Dialectical Behaviour Therapy in The
Treatment of Borderline Personality Disorder. British Journal of Psychiatry.
2005;186:278-80.
11. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry. 9 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2009.
12. Zanarini MC. Borderline Personality Disorder. New York: Taylor & Francis
Group; 2005.
REFERAT

DIALECTICAL BEHAVIOR THERAPY (DBT)

UNTUK BORDERLINE PERSONALITY DISORDER (BPD)

: Sebuah Introduksi

Presentan : Tatih Meilani,dr

Pembimbing : Arifah Nur Istiqomah, dr.,SpKJ (K)

Penelaah : Lucky Saputra, dr., SpKJ, MKes

Penyanggah : Teddy Hidayat, dr., SpKJ(K)

Tanggal : 15 Juni 2016

Tempat : Ruang Sidang Departemen/SMF Ilmu

Kedokteran Jiwa RSHS

DEPARTEMEN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RSUP Dr.HASAN SADIKIN

BANDUNG

2016
DAFTAR ISI

BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
BAB II................................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 3
2.1 Borderline Personality Disorder (BPD) .................................................................... 3
2.1.1 Sejarah dan Definisi ........................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi ...................................................................................................... 7
2.1.3 Gambaran Klinis ................................................................................................ 7
2.1.4 Diagnosis Banding ............................................................................................. 9
2.1.5 Perjalanan Penyakit dan Prognosis .................................................................... 9
2.1.6 Penatalaksanaan ............................................................................................... 10
2.2 Dialectical Behaviour Therapy (DBT) .................................................................... 11
2.2.1 Tinjauan Umum ............................................................................................... 11
2.2.2 Filosofi dan Teori ............................................................................................. 13
2.2.3 Asumsi-asumsi dan Kesepakatan pada DBT ................................................... 18
2.2.4 Tahap dan Target Terapi pada DBT................................................................ 20
2.2.5 Mekanisme Kerja DBT .................................................................................... 21
2.2.6 Fungsi dan Modalitas DBT .............................................................................. 22
2.2.7 Bukti Empiris dari DBT ................................................................................... 35
2.3 Contoh Kasus .......................................................................................................... 36
2.3.1 Gambaran Klinis Pasien ................................................................................... 36
2.3.2 Berlangsungnya Pre-Treatment dan Komitmen .............................................. 37
2.3.3 Menangani Disregulasi Emosi ......................................................................... 38
2.3.4 Menangani Ide Bunuh Diri .............................................................................. 40
2.3.5 Keterampilan-keterampilan Regulasi Emosi.................................................... 41
BAB III ............................................................................................................................. 44
KESIMPULAN ................................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 45

Anda mungkin juga menyukai