PENDAHULUAN
Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment. Dengan sistem tersebut
Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak. Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) terutang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri
dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghsilan yang
diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang
memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan
untuk membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran (cash disbursment)
tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan
melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut
memungkinkan.
Dalam teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai negara
menyebutkan bahwa : salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor pajak. Pernyataan ini
tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi sebagai
berikut : segala pajak dipungut berdasarkan undang-undang demi kepentingan negara dan
ditunjukan kesejahteraan rakyat.
Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai tujuan untuk
mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, untuk
itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat akan kewajiban pajaknya karena pajak yang
dikumpul digunakan untuk kepentingan dan membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial
dan ekonomi masyarakat.
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak
penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas
penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu
kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Ada tiga unsur yang
menentukan penerimaan pajak, yakni undang-undang perpajakan yang tepat, kepatuhan serta
kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat perpajakan yang cakap dan bersih.
1
1.3 Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Mengenai perhitungan atau cara menghitung pajak ini diatur dalam Bab IV UU No. 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU Pajak Penghasilan).
Untuk menghitung pajak penghasilan, harus diketahui besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pajak Penghasilan, yakni:
Cara menghitung pajak penghasilan ini diatur dalam Pasal 16 UU Pajak Penghasilan yang
berbunyi:
1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam
suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g.
2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak
dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung
berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
Secara sederhana, perhitungan pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi (dalam
hal ini pegawai) dilakukan antara lain dalam beberapa tahap berikut:
PT. Pasti Maju merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi, Pada
akhir tahun pajak 2014 telah membayarkan gaji, upah, honorarium dan imbalan lainya kepada:
A. Pegawai Tetap
Sahil, sudah menikah dan mempunyai 1 orang anak pada bulan januari 2014. Kemudian
pada bulan april 2014 istri Sahil melahirkan anak keduanya. Sahil hidup bersama adik iparnya
yang berumur 11 tahun. Sahil memiliki NPWP sejak bulan Maret 2014 sebagai dasar pemotongan
PPh pasal 21 Bulan maret 2014, sedangkan Sahil bekerja di PT Pasti Maju mulai awal bulan
Januari 2014. Penghasilan Sahil pada tahun 2014 adalah sebagai berikut:
Diminta:
1. Hitunglah PPh pasal 21 Perbulan (hitung satu kali saja) !
2. Hitung PPh 21 yang di potong bulan maret setelah Sahil ber NPWP!
3. Hitung PPh Pasal 21 atas THR!
4. Hitung PPh Pasal 21 untuk bulan Desember 2014!
5. Buat Form 1721-A1 pada akhir tahun!
4
jawab:
5
(jan-feb 2014) 20% x 2 x Rp 173.029) (Rp 69.212)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan maret 2014 Rp 103.818
6
Gaji Setahun Rp 54.000.000
Tunjangan Kesehatan Rp 12.000.000
Premi asuransi yang dibayar Pemberi kerja Rp 291.600
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainya
Rp 8.400.000
yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21
THR Rp 4.500.000
Jumlah penghasilan bruto Rp 79.191.600
Pengurangan
Biaya jabatan Rp 3.959.580
Iuran JHT Rp 1.080.000
Jumlah Pengurangan (Rp 5.039.580)
Penghitungan PPh pasal 21
Jumlah penghasilan netto Rp 74.152.020
jumlah penghasilan netto untuk penghitungan PPh pasal
Rp 74.152.020
21
PTKP (k/1) (Rp 28.350.000)
PKP setahun (pembulatan) Rp 45.802.000
PPh 21 atas PKP setahun Rp 2.290.100
PPh pasal 21 yang telah dipotong masa sebelumnya (Rp 2.117.069)
PPh pasal 21 terutang Rp 173.031
PPh pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi Rp 173.031
Diminta:
1. Hitung PPh pasal 21 pada bulan mei dan Juni 2014 !
Jawab:
Pegawai tidak tetap
PPh pasal 21 Bulan Mei
pph pasal 21 terutang tanggal 21-25 mei 2014
Upah tanggal 21-25 Rp 400.000 x 5 Rp 2.000.000
Batas upah harian yang tidak dilakukan pemotongan
(Rp 200.000 x 5) (Rp 1.000.000)
PPh
PKP 5 hari Rp 1.000.000
PPh pasal 21 yang dipotong tg 21-25
5% x Rp 1.000.000 Rp 50.000
PPh pasal 21 yang di potong /hari Rp 10.000
Perhitungan Upah pada tg 26
Upah sampai dengan tanggal 26 (Rp 400.000 x 6) Rp 2.400.000
PTKP sebenarnya:
(6 x Rp 24.300.000/360) (Rp 405.000)
7
PKP s.d tg 26 Rp 1.995.000
PPh pasal 21 terutang s.d tg 26
5% x Rp 1.995.000 Rp 99.750
PPh ps 21 yang telah dipotong s.d tg 25 (Rp 50.000)
PPh ps 21 yang harus dipotong tg 26 Rp 49.750
PPh yang di potong pada tanggal 27-31 Mei 2014
Upah tanggal 27-31 Rp 400.000 x 5 Rp 2.000.000
PTKP 5 hari (5 x Rp 24.300.000 / 360) (Rp 337.500)
PKP tg 27-31 Rp 1.662.500
PPh pasal 21 Terutang tg 27-31
5% x Rp 1.662.500 Rp 83.125
PPh pasal 21 yang dipotong/hari mulai tg 27 Rp 16.625
C. Bukan Pegawai
1. Tuan Roy merupakan seorang arsitek di PT Pasti Maju dengan status K/1 dan ber NPWP. Penghasilanya
pada bulan februari sebesar 7.500.000. bulan mei sebesar 10.000.000 dan bulan Juli sebesar 33.250.000.
berapa penghasilan yang di potong PPh pasal 21 pada bulan Juli jika Tn. Amry tidak memiliki perkerjaan
lain.
Jawab:
8
Juli Rp 33.250.000 Rp 16.625.000 Rp 2.362.500 Rp 14.262.500 Rp 18.287.500 5% Rp 713.125
PPh yang dipotong atas pendapatan Tn amry di bulan juli yaitu Rp 713.125
E. Mantan Pegawai
Lucky bekerja di PT Pasti Maju. Pada tanggal 31 Desember 2013 telah berhenti bekerja karena Usianya
telah memasuki masa pensiun. Pada bulan Maret 2014 Lucky menerima Pendapatan atas jasa yang di
berikanya tahun pada tahun 2013 dari PT pasti Maju sebesar Rp. 55.000.000. selanjutnya pada bulan
desember 2014 dia menerima pendapatan atas jasa tahap keduanya (terakhir) senilai Rp. 50.000.000.
Hitunglah PPh pasal 21 yang harus di potong PT pasti Maju!
Jawab:
PPh pasal 21 terutang
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp 5.000.000 Rp 750.000
PPh pasal 21 yang harus di potong pada bulan maret Rp 3.250.000
9
Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada
kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami
kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak
Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak
Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk
menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak
Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah, proses membawa
kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan sebagai
Kompensasi Kerugian (Carrying Loss).
Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-
undang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal
kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut :
1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau
keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah
memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.
2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-turut.
Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa kerugian
tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.
3. Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang
melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan perhitungan
Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan.
4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam
negeri.
Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2007,
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun
2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai
dengan tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian
tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2013
atau sesudahnya.
10
Tahun 2008 : Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2009 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2009 juga mengalami
kerugian. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2010 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2010 laba fiskal nihil.
Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2011 : Kompensasi kerugian Rp100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2012 : Kompensasi kerugian Rp800.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Sisa
kerugian Rp100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun 2013 atau setelahnya.
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, dasar pengenaan pajak
(Penghasilan Kena Pajak) dihitung dengan menggunakan Norma Penghasilan Neto dengan syarat
peredaran usahanya tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Penghasilan neto ditetapkan sebesar presentase
tertentu dari peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas selama setahun.
Pedoman untuk menentukan Penghasilan Neto dibuat dan disempurnakan terus menerus oleh
Direktorat Jendral Pajak (sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 536/PJ.2/2000 tanggal 29 Desember
2000, disesuaikan dengan KMK No. 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang perubahan
usaha yang boleh menggunakan Norma Penghitungan, berlaku mulai 2007). Besarnya norma
ditentukan dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
Jika Wajib Pajak orang pribadi memiliki usaha atau pekerjaan bebas lebih dari satu, maka norma
perhitungan tersebut diterapkan pada masing-masing usaha atau pekerjaan bebas. Selanjutnya,
penghasilan neto yang didapat dari masing-masing usaha dijumlahkan untuk menghasilkan
penghasilan neto wajib pajak dalam satu tahun.Penjumlahan penghasilan neto itulah yang digunakan
sebagai untuk perhitungan pajak penghasilan, tentunya setelah dikurangi dengan PTKP (Penghasilan
Tidak Kena Pajak). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 162/PMK.011/2012, tarif
PTKP ditentukan sebagai berikut:
1. Rp 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
2. Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
3. Rp 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11
8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
4. Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Berikut ketentuan Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan yang boleh menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2008:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan sebesar Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun
wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto di bawah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih
menyelenggarakan Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada butir (2) yang tidak memilih untuk
menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya
dengan menggunakan
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna Norma Penghitungan penghasilan neto:
1. Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib
memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
2. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan ketentuan diatas dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
12
Peredaran bruto xxx Mekanisme
Presentase norma x% penghitungan
Pajak Penghasilan neto xxx Penghasilan
PTKP (xxx) berdasarkan
Norma PKP xxx Penghitungan:
Tarif pasal 17
5% x
15% x
25% x
30% x
PPh terutang xxx
Kredit Pajak:
PPh 21/26 xxx
PPh 22, 23, 24 xxx
PPh 25, Fiskal LN xxx
(xxx)
PPh (lebih) kurang bayar xxx
Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, pajak yang terutang dikurangi dengan
kredit pajak (pajak yang dibayar di muka/prepaid tax) untuk tahun pajak yang bersangkutan,
terdiri dari:
1. PPh Pasal 21, yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
2. PPh Pasal 22, yaitu pemungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. PPh Pasal 23, yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa dividen,
bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa tertentu.
4. PPh Pasal 24 (kredit pajak luar negeri), yaitu pajak yang dibayar atau terutang atas
penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan.
5. PPh Pasal 25, yaitu pembayaran (angsuran) pajak yang dilakukan oleh wajib pajak
sendiri.
6. PPh Pasal 26 ayat (5), yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan orang
pribadi luar negeri yang berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri.
13
Ilustrasi penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto :
Wajib Pajak A menikah dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, istri tidak bekerja. WP A tinggal
di Jakarta dan memiliki usaha Rotan di Cirebon. Selain usaha rotan WP A juga seorang
dokter di Jakarta.
Bentuk dan tata cara pencatatan, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 ayat (12) UU
KUP diatur dengan Keputusan Dirjen pajak, yang sekarang berlaku adalah Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-4/PJ/2009. Pada prinsipnya pencatatan harus
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen
yang dijadikan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan
bruto, serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak
yang bersifat final. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
WPOP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menghitung
penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto harus
mencatat peredaran atau penerimaan bruto, penghasilan yang bukan objek pajak, dan
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.
14
Sedangkan WPOP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas harus
mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan
yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Pencatatan yang dilakukan akan menjadi dasar penyusunan SPT Tahunan PPh, hal
mana WPOP harus mencantumkan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto setiap
bulan selama setahun. Dalam hal WPOP menerima penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, yang sudah dipotong PPh-nya oleh pemberi kerja, menyimpan formulir 1721-A1
sudah dianggap melakukan pencatatan, kemudian untuk SPT tahunan PPh-nya wajib
dilampirkan fotokopi formulir 1721-A1 tersebut.
Sanksi bagi WPOP yang tidak membuat pencatatan atau tidak sepenuhnya membuat
pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan, atau tidak menyimpan bukti pencatatan
dipersamakan dengan sanksi bagi pengusaha yang wajib menyelenggarakan pembukuan-
termasuk WPOP yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan karena tidak
melakukan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak-tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan
dengan baik.
Seperti disinggung sebelumnya bagi WPOP yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan
PPh tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan maupun melakukan pencatatan.
Merujuk pada keputusan Menteri Keuangan No. 535/KMK.04/2000, WPOP yang tidak wajib
menyampaikan SPT Tahunan PPh adalah mereka yang penghasilan nettonya tidak melebihi
PTKP. Jadi yang tidak wajib pembukuan maupun pencatatan adalah WPOP yang tidak wajib
NPWP.
Untuk Menghitung Penghasilan Neto Dari Wajib Pajak Tertentu, maka pemerintah
menetapkan Norma Penghitungan Khusus.Pajak penghasilan bagi Wajib Pajak tertentu tersebut
diatur secara khusus dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan, sehingga pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak Tertentu tersebut sering juga disebut dengan PPh Pasal 15.
15
Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak Tertentu, antara lain :
1. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri yang melakukan usaha pengangkutan orang dan/atau barang yang
dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
2. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan
Luar Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri adalah Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri yang melakukan usaha
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
3. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri.
4. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi Luar Negeri.
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi Luar Negeri
diterapkan atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang diterima oleh
Perusahaan Asuransi Luar Negeri oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
5. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan pengeboran minyak, gas dan
panas bumi.
Wajib Pajak Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus atas Penghasilan bruto dari jenis-
jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang
bersangkutan.
6. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai
Kantor Perwakilan di Indonesia.
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia.
7. Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan yang melakukan investasi
dalam bentuk bangun-guna-serah atau BOT (build, operate, and transfer).
16
Bangun Guna Serah atau BOT ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan
kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah
berakhir.
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan
kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan NormaPenghitungan Khusus guna menghitung besarnya
penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
Ilustrasi :CV.Utama (badan) memiliki usaha perkapalan dan menerima penghasilan atas
sewa kapal selama sebulan dari perseorangan (bukan pemotongan) sebesar Rp10.000.000,-.
Besarnya PPh Pasal 15 yang harus disetor sendiri oleh CV Utama atas penghasilan yang
diterimanya :Rp10.000.000,- x 1,2% = Rp120.000,-
17
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan
yang diperolehnya pada tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam
bagian tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak
bila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir tahun pajak.
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Dasar Hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 di Indonesia yang terbaru adalah :
2. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi
18
3.2 KRITIK DAN SARAN
Dengan naiknya PTKP seharusnya kita sebagai wajib pajak bisa bernafas lega karena ada
tambahan penghasilan yang bebas dari pajak, walaupun dari sisi penerimaan negara akan sedikit
mengalami penurunan. Yang penting tetap berkontribusi dengan membayar pajak tepat jumlah dan
tepat waktu.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anastasia Diana, dan Lilis Setiawati, 2009, Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia, 1999. Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No. 17, Cetakan Keempat, Buku
Satu, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Lumbantoruan, Shopar, 2005, Akuntansi Pajak, Gramedia Widiasarana. Jakarta Muljono, Djoko 2009,
TAX PLANNING-Menyiasati Pajak dengan Bijak.Yogyakarta : ANDI.
http://triaji-nugroho.blogspot.co.id/2012/01/angsuran-pph-pasal-25-setelah.html
http://aslisemarang.blogspot.co.id/2013/01/kerugian-kompesasi-pemeriksaannya.html
http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/kompensasi-kerugian.html
http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/22/eko8.html
http://ssbelajar.blogspot.co.id/2012/03/cara-menghitung-pajak.html
https://jendelapajak.wordpress.com/2013/05/22/contoh-soal-perhitungan-pajak/
http://learning.ecc-eurika.com/soal-dan-pembahasan-perhitungan-pph-materi-ekonomi-sma/
http://sistemperpajakan.blogspot.co.id/2012/04/menghitung-pph-dengan-norma-perhitungan.html
http://pajaktaxes.blogspot.co.id/2007/04/norma-penghitungan.html
20