Anda di halaman 1dari 18

Tugas : Pendidikan Kewarganegaraan

VONIS MATI PENGEDAR NARKOBA DAN KORUPTOR

KELOMPOK 12

MUHAMMAD AKHTAR

NIM A 311 5505

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2016

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dibuat untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara


pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan pihak
yang lain. Adalah tugas dari hukum pidana untuk memungkinkan terselenggaranya
kehidupan bersama antar manusia, tatkala persoalannya adalah benturan
kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan
masyarakat umum. Karena itu, karakter publik dari hukum pidana justru
mengemuka dalam fakta bahwa sifat dapat dipidananya suatu perbuatan tidak
akan hilang dan tetap ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan
persetujuan orang terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan
bahwa proses penuntutan berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita
kerugian akibat perbuatan itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana abai
terhadap kepentingan para pihak.

Berbagai teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
adalah hukum pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda. Di Indonesia
masih saja memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teks aslinya
masih bertuliskan dalam bahasa Belanda. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat,
Indonesia sejak lama telah melakukan usaha-usaha untuk memperbaharui hukumnya,
termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukum pidana,
pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil
(strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvorderingsrecht) dan
hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga bidang hukum pidana itu
harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya salah satu bidang saja yang
diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan
tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatu hukum nasional yang
mengabdi kepada kepentingan nasional (berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai sepenuhnya. Dengan adanya arah kebijakan
hukum yang jelas, maka diharapkan tercipta suatu kondisi kehidupan masyarakat hukum
1
yang selaras, serasi, dan seimbang dengan adanya suatu peraturan hukum yang benar-
benar mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan juga
bangsa-bangsa lainnya di dunia saat ini adalah seputar maraknya penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam lembah hitam
narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan lingkaran setan bernama narkoba,
telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi muda yang
kehilangan masa depan karena perangkap makhluk yang disebut narkoba ini. Kita tahu
bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari keluarga, ketika
keluarga hancur, rapuh pula[5] bangunan bangsa di negeri ini.

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1 :


Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang terjadinya penjatuhan hukuman mati dalam tindak pidana
narkotika?

2. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan
pemidanaan?

C. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-
undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut
dengan KUHP) dan UU Narkotika.

2
2.Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, yang diperoleh melalui bahan-bahan
kepustakaan, berupa literatur-literatur seperti buku-buku teks (text books) yang ditulis
para pakar hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi[3] dan

3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kamus Hukum (black law dictionary), ensiklopedia dan lain-lain.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

1. Pengertian Narkotika.

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan, narkotika adalah zat


yang sangat dibutuhkan. Untuk itu penggunaannya secara legal dibawah pengawasan
dokter dan apoteker. Di Indonesia sejak adanya Undang-undang Narkotika, penggunaan
resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan
narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya:
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau
pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Ikin A.Ghani Istilah narkotika berasal dari
kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu
kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan.[4]

Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: Zat yang bisa


menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan
kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat
tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi
pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit
dan lain-lain.

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1 :


Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.

4
Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan juga
bangsa-bangsa lainnya di dunia saat ini adalah seputar maraknya penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam lembah hitam
narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan lingkaran setan bernama narkoba,
telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi muda yang
kehilangan masa depan karena perangkap makhluk yang disebut narkoba ini. Kita tahu
bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari keluarga, ketika
keluarga hancur, rapuh pula[5] bangunan bangsa di negeri ini.

Pada pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandu


adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara pasal 1 angka
13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan Narkotika adalah gejala
dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus
Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka 14 Undang-undang
Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika
tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sebagaimana yang diamanatkan dalam
konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang
sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, namun di sisi lain mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat
bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan
ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

Memahami pengertian penyalahguna yang diatur dalam pasal 1 angka 14


Undang-undang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian
penyalahgunaan Narkotika, yaitu pengunaan Narkotika tanpa sepengetahuan dan
pengawasan dokter. Pengertian tersebut, juga tersirat dari pendapat Dadang Hawari, yang
menyatakan bahwa ancaman dan bahaya pemakaian Narkotika secara terus-menerus dan
tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta pencegahan akan
menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun psikis yang sangat kuat terhadap

5
pemakaianya, atas dasar hal tersebut, secara sederhana dapat disebutkan bahwa
penyalahgunaan Narkotika adalah pola penggunaan Narkotika yang patologik sehingga
mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial.[6] Hambatan fungsi sosial dapat berupa
kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atas teman-temannya akibat perilaku
yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar, dapat pula membawa
akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi
mendapatkan uang untuk membeli Narkotika.[7]

B. PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35


TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

1. Subyek Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Isi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya disebut


UU Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict)
penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus
sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112,
113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2
(dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121) dan
pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan
penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh
seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita
kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara
medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan
diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana
narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat),
yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar (Pasal
114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129).

Adapun yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam,


memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai
dengan tanpa hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah

6
orang memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan
narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara
terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir) adalah orang
yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak
dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang
dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual
maupun secara terorganisasi.[8]

2. Macam-Macam Sanksi Dalam Undang-Undang Narkotika.

a. Pengertian Sanksi Pidana.

Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang


yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini
sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana
kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-
hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang
kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen
adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi
untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.[9]

b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana.

Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP.


Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun
pidana tambahan yaitu:

a. Pidana Pokok

1. Pidana mati

7
2. Pidana Penjara

3. Pidana Kurungan

4. Pidana Tutupan

5. Pidana Denda

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu

2. Perampasan Barang Tertentu

3. Pengumuman Putusan Hakim

C. Teori Pemidanaan

Pemidanaan berasal dari kata pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman.
Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang mendengar kata
hukuman.Sudarto, mengemukakan:[10] pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu
dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa cap
oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut
stigma. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-
olah dipidana seumur hidup.

D. Syarat-syarat pemidanaan.

Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada hakikatnya
ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang itu tertib,
berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh
karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan. Baik yang menyangkut
segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku, pada segi perbuatan
dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan.[11]

8
Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti
tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan atau
batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar
hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa
kesalahan.

Dalam hal ini Sudarto, mengemukakan sebagai berikut: syarat pertama untuk
memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asa legalitas. Rumusan
delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang pidana sifatnya harus
pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang
diperintahkan.[12]

E. Tujuan Pemidanaan.

Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan suatu


paradoxalitiet yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: pemerintah Negara
harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan
tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman,
dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara
diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarahkan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah
Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serabgan siapapun juga,
sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara menyearang pribadi manusia yang hendak
dilindungi dan dibela itu.[13]

Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan sebagai
berikut:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak

9
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.
[14]

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen);

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada


orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mampunyai tujuan tertentu yang
bermafaat. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat kejahatan
(quia peccatum est) melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccetur).
Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk melindungi kepentingan
masyarakat.[15]

c. Teori gabungan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

a) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking).

b) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering).

c) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).

F. Pengaturan Sanksi Pidana Mati Dalam Undang-Undang Narkotika.

Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi pidana mati
pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan sebagai berikut:

Pasal 113

Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

10
Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanapaling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 114

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 118

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

11
Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan
Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 121

Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana

12
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 144

Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana
sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115,
pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123,
pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1), dan pasal 129,
pidana maksimum ditambah dengan 1/3 (sepertiga)

Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal ayat (1)
tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Jadi, yang melatar belakangi terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana
narkotika adalah banyaknya peredaran gelap narkotika yang menjadi bahaya besar bagi
kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya melemahkan ketahanan dan
kemampuan nasional dan juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik
sehingga membahayakan diri sendiri, orang lain, bangsa dan Negara.

2. Pelaku politik, masyarakat yang marah akan kejahatan, hukuman mati, dan hak untuk
hidup, haruslah memperoleh ruang bagi penataan ulang. Hukum adalah produk politik,
akan tetapi mekanisme dan perilaku politik itu sendiri mesti diberikan pembatasan agar ia
tidak menjadi kekuatan eksesif (excessive) yang dapat merampas hak hidup.
Perlindungan masyarakat dari berbagai kejahatan, tidaklah tergantung pada berapa
banyak pelaku kejahatan mampu dihukum mati. Hak untuk hidup tidaklah dapat
dikorbankan karena kekuasaan menghendakinya, ataupun masyarakat memberikan
dukungan untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Legitimasi
masyarakat untuk mencabut hak hidup itu juga telah menjadi alat mempertahankan
kekuasaan, dan bahkan menjadi ancaman terhadap keselamatan masyarakat itu sendiri,
perubahan hukum nasional jelas adalah pintu masuk bagi penghapusan hukuman mati.
Kalau dalam konstitusi Negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup tidak
dapat dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan penerapan hukuman adalah
kewajiban konstitusional.

B. Saran

1. Sudah saatnya Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa beradab di dunia untuk
menghapuskan pidana mati dari sistem hukum yang berlaku. Penhapusan itu akan
memiliki makna yang sangat penting dari sisi upaya perlindungan hak asasi manusia,
yang tidak boleh dilanggar sekalipun atas nama hukum dan kekuasaan Negara, karena

14
hukum dan kekuasaan itu memang dimaksudkan untuk melindungi dan memajukan hak
asasi manusia. Oleh karena itu, otoritas politik sudah sepantasnya segera menghapus
seluruh ketentuan hukum yang mengatur tentang hukuman mati. Mengingat seluruh
aturan itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi yang telah mengakui dan menjamin
hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tidak ada
aturan hukum yang lebih rendah, dan tidak ada kekuasaan yang boleh menafikan hak
hidup sebagai hak konstitusional. Hak hidup sebagai non derogable rights tidak dapat
dikurangi ataupun dibatasi dalam keadaan apapun karena pengurangan dan pembatasan
itu dengan sendirinya bermakna sebagai penghilangan hak. Pada saat hak hidup sudah
dihilangkan maka keseluruhan hak asasi manusia tidak memiliki arti apapun.

2. Penghentian eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati serta mengubah hukuman
mereka menjadi pidana penjara dan rehabilitasi terutama bagi mereka yang mengalami
penundaan eksekusi mati lebih dari lima (5) tahun. Selain itu, mereka juga menjadi
korban pelanggaran hukum disebabkan mereka tidak divonis pidana penjara namun
meringkuk di dalam penjara menunggu eksekusi.

3. Presiden sebagai kepala Negara sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi memiliki
wewenang untuk memberikan amnesty, abolisi dan grasi. Dalam konteks moratorium
terhadap praktik hukuman mati, presiden dapat memberikan grasi terhadap setiap
permohonan dari terpidana mati sebagai cerminan penghormatan terhadap konstitusi dan
HAM. Presiden juga dapat memberikan grasi secara umum bagi seluruh terpidana mati.

15
DAFTAR PUSTAKA

Team Imparsial, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta 2010


J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, cetakan pertama, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana


Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, cetakan kedua, CV. Rajawali, Jakarta, 1982

C.S.T. Kansil, dan Engelien R. Palandeng, , Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam
Undang-Undang Nasional, Jala Permata Aksara, Bekasi, 2009
Sudarto, hukum pidana jilid 1A, dikeluarkan oleh Fakultas hukum Undip, Semarang,
1971

Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan
Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat
Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta,
1968

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998

Tom Brooks, An Idealist Theory of Punishment. Social Sience Research Network.


Newcastle: Department of Politics and Newcastle Law School, 2006

J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian
Relevansi Sanksi Tindakan

Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta,


Februari 1996

16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia - Press, Jakarta,
Oktober 1984

Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Surabaya,
Oktober 2005

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993

Kusno Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak,
Umm Press, Malang, 2009

Dit narkoba korserse Polri, penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang
dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika beserta penjelasannya, cetakan
ke-1, Bening, Jogjakarta, 2010

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, penerbit PT Inti buku Utama, Jakarta,1993

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Asa Mandiri, Jakarta, 2005

17

Anda mungkin juga menyukai