Anda di halaman 1dari 17

Laporan Individu

Sabtu, 09 Januari 2016

MODUL 1
PENURUNAN TAJAM PENGLIHATAN
SISTEM SPECIAL SENCE

Nama : Muhammad Hanafi Sahril

No. Stambuk : 13-777-098

Kelompok : III (Tiga)

Pembimbing : dr. Citra Azma Anggita, Sp.M., M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT

PALU

2016
BAB I

PENDAHULUAN

1. Skenario

Seorang pasien laki-laki, 56 tahun, datang ke


poliklinik mata dengan keluhan penurunan
ketajaman penglihatan. Tidak ada kelainan refraksi,
tidak ada riwayat mata merah dan trauma pada
mata
2. Kata sebelumnya.
Kunci
a. Laki-laki 56 tahun
b. Penurunan ketajaman penglihatan
c. Tidak ada kelainan refraksi
d. Tidak ada riwayat mata merah
e. Tidak trauma pada mata sebelumnya
3. Mind map
BAB II

PEMBAHASAN

Pterygium

1. Definisi
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler yang
berbentuk segitiga yang berasal dari fissure interpalpebralis
dari sudut konjungtiva ke kornea yang dapat menyebabkan
kerusakan lapisan bowman sehingga mengganggu
penglihatan .
2. Epidemiologi
Distribusi pterygiumtersebar di seluruh dunia, tetapi lebih
banyak di daerah iklim panas dan kering yangmerupakan
karakteristik dari daerah di sekitar khatulistiwa.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007,
prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata
didapatkan 3,2% sedangkan pterigium pada satu mata 1,9%
dengan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya
umur. Jawa timur menduduki peringkat keenam di Indonesia
dengan prevalensi 4,9% pada kedua mata, dan 2,7% pada
satu mata.
Pterigium tersebut di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering.Prevalensi juga tinggi di daerah
berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah
daerah dekat ekuator yaitu daerah <37 derajat lintang utara
dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 derajat
di daerah dekat ekuator dan <2 derajat pada daerah di atas
lintang 40 derajat.
Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar
matahari yang tinggi, resiko timbulnya pterigium 44x lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah non-tropis, dengan
prevalensi untuk orang dewasa >40 tahun adalah 16,8 %,
laki-laki 16,1 & dan perempuan 17,6 %. 16,8 hasil survey
morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
pada tahun 1993-1996, angka kejadian pterigium sebesar
13,9 % dan menempati urutan ke-dua penyakit mata. Di
Sulawesi selatan pterigium menempati peringkat kedua dari
sepuluh macam penyakit utama dengan insidens sekitar 8,2
%.
3. Klasifikasi
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian
kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi
menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ):
a) Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
b) Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
c) Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
d) Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.

4. Etiologi
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas.
Peningkatan insidens dijumpai di garis lintang yang dekat
dengan khatulistiwa dan keterkaitan dengan peningkatan
pajanan sinar ultraviolet. Namun karena lebih sering pada
orang yang tinggal didaerah iklim panas. Maka gambaran
yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet ), daerah kering, inflamasi, daerah angin
kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal
dari kornea dan konjungtiva pada fissura interpalpebralis
disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan
pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.
Paparan angin, debu, dan iklim kering juga terlibat dalam
pertumbuhan pterygium. Sebuah publikasi terbaru
menunjukkan bahwa jenis serat optik transmisi sinar
ultraviolet dari sisi temporal kornea, melalui stroma dan aspek
hidung pada mata, mungkin sebagian menjelaskan mengapa
lesi ini lebih sering ditemukan di nasal.
5. Patofisologi
Paparan UV yang berlebihan yang menginduksi stres
oksidatif dan ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan sel
epitel pterygial, yang memulai proliferasi sel, pembentukan
pembuluh darah, invasi jaringan danl inflamasi. UV radiasi
dapat memicu terjadinya pterygium yang menyebabkan
kerusakan sel DNA , RNA dan matriks ekstraselular. Beberapa
studi menunjukkan peningkatan kadar dari vascular
endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth
factor (bFGF), dan tumor growth factorTGF)-, dan penurunan
tingkat angiogenik inhibitor pigment epithelium derived factor
(PEGF), catalase (CAT), superoxide dismutase (SOD), dan
glutation peroksidase dalam jaringan pterygium Laporan
terakhir juga telah melaporkan hubungan dari pterygium
dengan kering, hangat, dan iklim berdebu, dan angin kencang
dan predisposisi genetik .
Ada beberapa teori penyebab terjadinya pterigium, salah
satunya teori penyinaran sinar ultraviolet, terutama UV-B.
Hipotesis kerja yang berlaku saat ini adalah radiasi sinar UV
menyebabkan mutasi tumor supresor gen p53, yang
kemudian memfasilitasi proliferasi abnormal dari epitel
limbus.
Human Papilloma Virus (HPV) terlibat dalam etiologi
neoplasma jinak dan ganas dari kulit epitel mukosa. Terdapat
lebih dari 130 tipe HPV yang teridentifikasi. Diantara jumlah
tersebut, terdapat lebih dari 40 tipe terlibat dalam neoplasma
epitel konjungtiva. Human Pappiloma Virus khususnya tipe 16
dan 18 telah ditemukan pada pterygium dan tumor limbus,
yang mengganggu jalur p53.
Sinar ultraviolet juga dapat menyebabkan perubahan
histologis sel epitel, yaitu jaringan subepitel menunjukkan
elastosis senilis (degenerasi basofilik) dari substansia propria
dengan jaringan kolagen abnormal.Terjadi disolusi membran
Bowman yand diikuti oleh invasi kornea superfisial.Akibatnya
fungsi barier limbus tidak ada sehingga konjungtiva yang
mengalami inflamasi dan degenerasi dapat dengan mudah
menjalar melewati limbus menuju kornea dan membentuk
jaringan pterigium di daerah interpalpebra (celah kelopak).
Pterygium ini biasanya bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada
konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui
pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar
ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian
konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet
secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.

6. Gambaran Klinis
Gejala klinik pterygium terbagi atas dua yaitu
1. Subyektif
Rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, berair, rasa
nyeri, terbakar, gangguan visus, masalah kosmetik (pasien
sering mengeluh ada selaput).
2. Obyektif
Konjungtiva bulbi (fissura palpebra), jaringan fibrovaskuler
berbentuk segitiga (apeks menuju ke kornea atau dikornea).
Gangguan visus terjadi bila stadium III (menutupi zona optik
kornea atau mengganggu kurvatura kornea)
a) Gangguan visus yang ditimbulkan adalah astigmatisma.
b) Diplopia timbul bila pterigium besar.
Pada awal proses penyakit, pterygium biasanya
asimtomatis. Namun pterygium juga dapat memberikan
keluhan mata kering (seperti terbakar atau gatal dan berair),
iritatif, mata merah, dan menimbulkan astigmatisma yang
akan memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterygium
dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen
(penipisan kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dan
stocker) yang terletak di ujung pterygium. Sejalan dengan
progresivitas penyakit, lesi bertambah besar dan kasat mata
sehingga secara kosmetik mengganggu pasien.Pertumbuhan
lebih lanjut, lesi menyebabkan gejala visual karena
terjadinya astigmatisma ireguler Keluhan lain yang mungkin
didapat dari pasien adalah rasa mengganjal di mata seperti
ada benda asing.
Tanda dari pterygium antara lain :
a. Jaringan fibrovaskuler triangular yang meluas ke kornea
dari konjungtiva interpalpebra didekatnya.
b. Letaknya lebih sering di area nasal.
c. Tepi yang menonjol dapat memperlihatkan opasitas kornea
putih.
d. Berdekatan dengan tepi yang menonjol, mungkin dijumpai
garis besi yang disebut garis stocker.
e. Astigmatisma kornea.
f. Dapat menyebabkan pembatasan gerakan ekstraokuler dan
diplopia.
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti.Penderita dapat melaporkan adanya
peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata,
disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan
menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan
dan iritasi.Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata
mungkin tampak lebih kering dari biasanya.penderita juga
dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar
matahari atau partikel debu.
1) Anamnesa
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering
berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gagguan
penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya
diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu
yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alas an kosmetik, keluhan subjektif dapat
berupa rasa panas, gatal dan ada yang mengganjal.
2) Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskuler pada permukaan konjungtiva.Pterigium dapat
memberikan gambaran yang vascular dan tebal tetapi ada
juga pterigium yang avaskuler dan flat. Dari pemeriksaan
fisik, didapatkan massa jaringan kekuningan akan terlihat
pada lapisan luar mata (sklera) pada limbus, berkembang
menuju ke arah kornea dan puncak pada permukaan kornea.
Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat
merah akibat dari iritasi dan peradangan
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada
pterigium adalah topogrofi kornea untuk menilai seberapa
besar komplikasi berupa astigmatisma ireguler yang

disebabkan oleh pterigium.


8. Differential Dignosa
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua
keadaan yang sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium.
1) Pinguekula
Pinguekela merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi
yang ditemukna pada orang tua, terutama yang matanya
sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu dan angin
panas. Letak bercak pada celah kelopak mata terutama di
bagian nasal. Degenerasi hialin jaringan submukosa
konujungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam
pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi,
maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh
darah yang melebar.
Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra
dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi
tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan
iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan
perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
penyebab pinguekula.

2) Pseudopterygium
Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium,
pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti
pseudopterigium atau Terrien's marginal degeneration.
Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya
jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva
bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium,
pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis
sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk
mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat
pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat
dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium
pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada
pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan
antara head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung
keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan
pterygium.

9. Penatalaksanaan
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan
sering ditangani dengan menghindari sinar matahari, debu
dan udara kering dengan kacamata pelindung. Beberapa obat
topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid
digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat
1 dan derajat 2. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu kontrol
dalam 2 minggu dan telah terdapat perbaikan pengobatan
dihentikan. Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi
dilakukan pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang
menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan
pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis
visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran
permukaan mata yang licin. Suatu teknik yang sering
digunakan untuk mengangkat pterygium dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium
kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada
limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan
oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi,
kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1) Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang
absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke
sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu
daerah sklera yang terbuka.
2) Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit
bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
3) Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka
kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4) Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk
membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada
tempatnya.
5) Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari
konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan
kemudian dipindahkan dan dijahit.
6) Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi
rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada
permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan
menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium.
Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat
diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang
digunakan.
7) Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic
keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan
gabungan angiostatik dan steroid.

10. Komplikasi
Pterygium dapat menimbulkan komplikasi baik pre maupun
post operasi.
1) Komplikasi dari pterygium sebelum dilakukan tindakan
bedah meliputi sebagai berikut :
a. Gangguan penglihatan karena astigmatisma ireguler
b. Mata kemerahan
c. Iritasi
d. Gangguan pergerakan bola mata
e. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
f. Dry eye sindrom
2) Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut :
a) Infeksi
b) Ulkus kornea
c) Graft konjungtiva yang terbuka
d) Diplopia
e) Adanya jaringan parut di kornea
f) Neovaskularisasi

g) Sikatriks kornea

h) Astigmatisma kornea

Jika tidak diobati pterygium akan tumbuh menjadi


progresif dan ukuran pada topografi kornea dan bahkan
menyumbat sumbu optik dalam kasus lanjutan. Dalam
kasus lanjut, biasanya menyebabkan perubahan yang
signifikan dalam fungsi visual dan dapat terjadi peradangan
yang menagakibatkan kemerahan dan iritasi mata.
Komplikasi yang paling sering terjadi pada saat bedah
pterygium adalah kekambuhan. Dalam penelitiannya,
Saerang (2013) mengemukakan bahwa lamanya tumbuh
ulang hampir 100% terjadi pada enam bulan pertama
hingga dua tahun pasca bedah. Di Indonesia, terjadinya
tumbuh ulang pasca bedah pterygium memiliki angka yang
bervariasi dan cukup besar. Penelitian yang dilakukan di RS
Dr Soetomo Surabaya menunjukkan angka tumbuh ulang
berkisar sekitar 52%, sedangkan di RSCM Jakarta adalah
sekitar 61,1% untuk umur dibawah 40 tahun dan 12,5%
untuk kelompok umur diatas 40 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Erry, Mulyani, U. A., Susilowati, D. 2011. Distribusi dan


karakteristik Pterigium di Indonesia. Buletin penelitian sistem
kesehatan. 14: 49-84.

2. Torres-Gimeno, A., Martnez-Costa, L., Ayala, G. Preoperative


factors influencing success in pterygium surgery. BMC
Ophthalmology, 2012, 12:38. Diakses tgl. 7-12-2014 dari:
www.biomedcentral.com/.../pdf/1471-2415-12-38.pdf

3. Duni, B., et al. Analysis of pathohistological characteristics


of pterygium. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences 2010;
10 (4): 307-313. Diakses tgl. 7-12-2014 dari:
www.researchgate.net/...pterygium/.../00b49526e945f41d2

4. Aminlari, A., Singh, R., Liang, D. Management of Pterygium.


Ophthalmic Pearls. 2010. Diakses tgl. 7-12-2014 dari:
www.aao.org/.../Pearls-Nov-Dec-...

5. Jiao, W., Zhou,c., Wang,t., Yang, S., Bi, H.,Liu, P.,Li,y.,and Wang,
l. 2014. Prevalence and risk Factors For Pterygium In Rural
Older Adult In Shaudong Prevince Of China: A Cross-sectional
Study. Biomed Rest Int : 658648

6. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian


Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Ri
Tahun 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013

Anda mungkin juga menyukai