Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. U m u m
Manusia tidak bisa terlepas dari air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
misalnya untuk air domestik, irigasi, pembangkit listrik, dan sebagainya. Kebutuhan air
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, sedangkan
persediaan air di bumi adalah tetap dan bahkan semakin berkurang akibat adanya
perubahan tata guna lahan. Dalam siklus hidrologi perubahan air hanya terjadi pada
wujudnya saja. Fakta menunjukkan bahwa sirkulasi air tidak merata karena dipengaruhi
oleh kondisi meteorologi, sehingga ada perbedaan dari tahun ke tahun dan dari musim
ke musim.
Adanya dua musim di Indonesia yaitu musim hujan dan musim kemarau
mempunyai pengaruh terhadap ketersediaan air. Di musim kemarau air dalam jumlah
sedikit sedangkan di musim hujan air dalam jumlah banyak. Namun distribusi air dalam
musim hujan tidak merata pada setiap waktu dan tempat, sehingga dapat dikatakan
bahwa ada masalah dalam pemanfaatan air yaitu waktu, tempat, kuantitas dan kualitas.
Dalam pemanfaatan air diperlukan pengaturan yang cermat agar diperoleh hasil yang
maksimum, untuk itu sangat diperlukan rencana pendistribusian air. Salah satu usaha
untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah dengan membangun bendungan.
Bendungan atau waduk tidak saja sebagai tampugan air pada saat musim hujan
tetapi dapat dimanfaatkan untuk tujuan lainnya. Tetapi dalam tahap perencanaaannya
perlu dilakukan studi-studi yang seksama supaya didapat tujuan yang optimal.
Bendungan dibangun untuk berbagai keperluan yaitu pengendalian banjir, irigasi, PLTA,
industri, air minum, rekreasi dan lain lain.
Langkah-langkah perencanaan dan perancangan sebuah bendungan diperlukan
suatu pemahaman tentang berbagai data yang saling terkait. Untuk itu diperlukan
pengkajian secara detail sehingga setiap data yang digunakan akan sangat efektif dan
efisien untuk digunakan sebagai masukan analisis lebih lanjut.
1.2. Latar Belakang
Pembangunan bendungan adalah salah satu wujud dari usaha memenuhi
kebutuhan air dengan membendung air. Konstruksi bendungan dibuat jika diperlukan
pembuatan waduk. Bendungan merupakan bengunan yang dibangun melintang sungai
untuk meninggikan muka air dan membuat tampungan air yang lazim di sebut waduk.

1
2

waduk adalah salah satu wujud dari usaha memenuhi kebutuhan air. Persediaan yang
ada di waduk antara lain direncanakan untuk berbagai keperluan, bisa berfungsi tunggal
(single purpose) atau befungsi lebih dari satu manfaat (multipurpose).
Bendungan dibangun berdasarkan kebutuhan waduk, tempat dan besarnya
waduk ditentukan berdasarkan analisa ketersediaan dan kebutuhan air, selain itu waduk
harus sedekat mungkin dengan pemakai air. Jika letak waduk jauh dengan pemakai air,
maka diperlukan suatu saluran pembawa yang panjang, sehingga biaya pembuatan
saluran pembawa menjadi mahal.
Jarak pengguna air dan waduk yang terlalu jauh menyebabkan kurang efektifnya
system pembawa air tersebut, sepanjang saluran terjadi banyak kehilangan tinggi tekan,
kehilangan air karena rembesan dan yang paling memprihatinkan hilangnya air akibat
pencurian air irigasi oleh petani petani yang sawahnya dekat dengan saluran pembawa
primer maupun cabang cabangnya. Sehingga suatu konstruksi bendungan harus
direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi fungsinya dan aman.
1.3. Lokasi Studi Perencanaan
Lokasi berada di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
1.4. Ruang Lingkup Perencanaan
1.4.1. Perhitungan Hidrologi
Dalam perencanaan bendungan tipe urugan maka data-data hidrologi yang
diperlukan untuk perhitungan- perhitungan hidrologi adalah data curah hujan, data
debit sungai, luas daerah aliran sungai selama beberapa periode sebagai acuan untuk
membuat curah hujan rancangan dan debit banjir rancangan yang digunakan untuk
perencanaan pembuatan tubuh bendungan. Data- data yang diperoleh dari pencatatan-
pencatatan dan pengukuran-pengukuran tersebut merupakan data-data yabg sangat
penting sebagai bahan analisa-analisa dan perhitungan-perhitungan guna menentukan
kapasitas calon waduk, tinggi serta volume calon tubuh bendungan dan penetapan debit
banjir rencana untuk menentukan kapasitas bangunan pelimpah atau saluran-saluran
banjir lainnya. Guna pembuatan rencana teknis banguan pelimpah sebuah bendungan,
maka diperlukan suatu debit yng realistis. Untuk itu angka-angka hasil perhitungan
hydrologi perlu diuji dengan menggunakan data-data banjir banjir besar dari pencatatan
pencatatan/ pengamatan setempat. Sedangkan data-data curah hujan pada pembangunan
sebuah bendungan diperlukan untuk penganalisaan 2(dua) aspek utama yaitu
Penganalisaan kapasitas persediaan air yang terdapat di daerah pengaliran yang
mengalir melalui tempat kedudukan calon bendungan serta fluktuasi
debitnya,dalam peride-periode harian, bulanan, tahunan atau periode jangka
yang panjang (multi yers period)

2
3

Penganalisaan karakteristik debit banjir, antara lain mengenai kpasitas debit


banjir, durasi banjir, musim terjadinya banjir dan peride- periode perulangnnya.
Data curah hujan tersebut biasanya data curah hujan jam-jaman, hujan harian, distribusi
curah hujan pada saat terjadi hujan yang lebat, dan lain lain.
Pada tugas besar Konstruksi Bendungan 1 ini telah disediakan beberapa data
yang siap saji untuk pernencanaan sebuah bendungan urugan, antara lain :
1. Luas DAS
2. Panjang alur sungai utama (sungai terpanjang)
3. Koef. karakteristik HSS Nakayasu
4. Koef. Pengaliran (C)
5. Hujan rancangan dengan kala ulang 25 th
6. Hujan rancangan dengan kala ulang 50 th
7. Hujan rancangan dengan kala ulang 200 th
8. Hujan rancangan dengan kala ulang 1000 th
9. Hujan rancangan dengan kala ulang PMF th
Adapun nantinya data-data diatas akan digunakan untuk perhitungan hidrologi
antara lain penetapan banjir rancangan, penentuan kala ulang (return period) banjir
rancangan , penentuan debit maksimum banjir yang mungkin terjadi (probable
maximum flood), pembuatan hidrograf banjir rancangan sebagai debit inflow banjir
untuk perencanaan bangunan pelepasan (outlet works) pada konstruksi bendungan.
1.4.1.1 Perhitungan Debit Banjir Rencana
Pada prinsipnya debit banjir rencana diperoleh dari hasil-hasil perhitungan curah
hujan rencana dengan memasukkan beberapa faktor kondisi daerah pengaliran, sedang
debit banjir rencana didapat dari perhitungan curah hujan maksimum rata-rata yang
jatuh didaerah pengaliran dan jangka waktu sejak terkumpulnya air hujan tersebut pada
saat terjadinya debit besar pada tempat kedudukan calon tubuh bendungan. Besarnya
jangka waktu terebut tergantung dari kondisi topografi dan geologi daerah pengaliran.
Hanya setelah diketahui angka-angka hubungan antara curah hujan dan debit banjir
rencana dapat dihitung dengan metode unit hidrograf. Secara garis besarnya perhitungan
tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahapan sebagai berikut :
Perhitungan curah hujan maximum rencana
Perhitungan debit banjir rencana
Pengujian hasil perhitungan debit banjir rencana
1.4.1.2.Kriteria Debit Banjir Rancangan
Untuk kriteria banjir rancangan yang akan dipakai dalam design bangunan maka
dalam pelaksanaan tugas besar ini telah ditetapkan untuk
a) Q 25 th untuk perencanaan diversion tunnel dan cover dam
b) Q 50 th untuk kontrol keamanan tinggi cover dam
c) Q 200 th untuk pertimbangan perencanaan peredam energi (stilling basin)
d) Q 1000 th untuk perencanaan pelimpah (spillway) dan maindam

3
4

e) Q PMF untuk kontrol keamanan kapasitas pelimpah (spillway) terhadap bahaya


overtopping diatas puncak tubuh bendungan utama (top dam)
1.4.2. Perhitungan Storage area curve
Fungsi utama tampungan waduk adalah sebagai penampung air dan sebagai
stabilisator aliran air yang terjadi pada suatu daerah aliran sungai. Oleh karena itu, hal
yang paling penting diperhatikan dari karakteristik fisik waduk adalah berapa besar
kapasitas tampungannya.
Perencanaan penentuan lokasi waduk, ditentukan dari peta kontur dan survei
topografi lokasi bendungan yang dilaksanakan. Luas yang tertandai di peta kontur
berikut ini adalah lokasi waduk rencana. Elevasi kontur dan area yang direncanakan di
masing-masing elevasi dapat diplot dari kurva hasil hubungan antara kapasitas waduk
dan elevasi pada peta kontur, hubungan kapasitas waduk dan elevasi disebut kurva
kapasitas tampungan waduk. Untuk lebih jelasnya seperti pada Gambar 1.1

Gambar1.1 Kurva kapasitas tampungan waduk


Untuk menghitung volume antar interval kontur dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut (Santosh Kumar, 2001:882) :
A1 A2
S h (1-1)
2
atau dengan pendekatan :

S
h
3

A1 A2 A1 . A2 (1-2)

Dimana A1 , A2 , A3 , A4 ...... menunjukkan luasan di antara garis elevasi berurutan yang


mempunyai interval tingginya adalah h. Dari kapasitas tampungan berbagai tinggi
permukaan air yang diplot dan dianalisis akan diperoleh kurva kapasitas tampungan
waduk.
1.4.3. Perhitungan Hidrolika Perencanaan Diameter Diversion Tunnel

4
5

Sistem Pengelak Banjir dengan komponen utama berupa saluran pengelak dan
bendungan pengelak direncanakan sedemikian rupa, sehingga dapat mengalirkan debit
banjir yang mungkin terjadi dalam periode pelaksanaan konstruksi suatu bedungan dan
agar dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya limpasan-limpasan di atas mercu
bendungan pengelak yang dapat menyebabkan genangan genangan pad daerah calon
tubuh bendungan yang sedang dikerjakan.
Beberapa faktor terpenting yang akan menentukan karakteristika hidrolika suatu
saluran pengelak adalah :
Kemiringan dasar saluran pengelak
Ukuran saluran pengelak
Karakteristika terpenting saluran pengelak
Panjang saluran pengelak
Kekasaran dinding saluran pengelak
Kombinasi dari beberapa faktor-faktor tersebut akan sangat menentukan
kapasitas saluran pengelak.
Kemiringan saluran pengelak yang berupa terowongan (terowongan Pengelak)
biasanya diambil untuk aliran sub-kritis ataupun untuk aliran superkritis. Pada kedua
kondisi tersebut, maka posisi titik kontrol hidrlisnya biasanya tergantung dari hubungan
antara bentuk daerah pemasukan aliran serta tinggi tekanan air di daerah ini dan
tergantung pula pada kondisi pengaliran di ujung saluran tersebut.
Untuk analisis hidrolika pada saluran pengelak ini dibahas mengenai kapasitas
pengaliran melalui saluran pengelak, baik melalui terowongan maupun conduit karena
prinsip dasar dari ke-dua pengelak tersebut adalah sama. Kapasitas pengaliran saluran
ini dibedakan menjadi dua kondisi yaitu, pada saat aliran bebas (free flow) yaitu pada
saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran terbuka dan kondisi pada saat
aliran tertekan yaitu pada saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran
tertutup.
1.4.3.1. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut USBR
Menurut USBR (United States Bureau of Reclamation) kriteria aliran pada
terowongan dapat dibagi menjadi delapan tipe aliran. Faktor geometri saluran, faktor
aliran dalam aliran tekan maupun aliran bebas, kemiringan saluran, ukuran, bentuk,
panjang, dan kekasaran menentukan jenis aliran pada terowongan. Kombinasi efek dari
faktor tersebut menentukan lokasi kontrol yang dalam bagiannya juga menentukan
karakteristik debit terowongan. Lokasi dari kontrol saluran apakah berupa aliran penuh

5
6

total (tekan) atau penuh sebagian, membentuk hubungan tinggi muka air dengan debit
yang lewat.
Kemiringan terowongan mugkin saja landai atau curam; yang mana
kemiringannya mungkin lebih datar atau curam dari lainnya untuk debit tertentu hanya
akan mendukung aliran pada tathapan aliran kritis. Untuk kedua kemiringan
terowonngan landai maupun curam, kontrol keduanya bisa jadi pada masukan ataau
keluaran, tergantung pada geometri mulut masukan dan hubungan tinggi muka air fan
kondisi aliran di keluaran. Macam kondisi yang bisa menentukan tipe aliran tertentu
ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Jika masukan terowongan tidak dalam kondisi tenggelam, kontrol terowongan
dengan kemiringan yang landai maka aliran penuih sebagian akan terjadi di keluaran.
Jika keluaran terowongan penuh total, aliran pada titik ini akan mengalir dengan
kedalaman kritis. Kondisi ini ditunjukkan pada kondisi 1 Gambar 1.3 (Skema definisi
Aliran di dalam terowongan). Jika muka air hilir cukup tinggi untuk membentuk
kedalaman lebih besar dari kritis, tinggi muka air hilir akan mengontrol aliran pada hulu
tubuh terowongan. Jika muka air hilir menenggelamkan keluaran, terowongan mungkin
penuh sebagian sepanjang terowongan dan akhirnya akan menenggelamkan masukan.
Kondisi aliran ini digambarkan sesuai kondisi 6 pada Gambar 1.2 (Model Kondisi
Aliran pada Terowongan dengan Kemiringan/ Slope Landai dan Curam.). Sampai
aliran terowongan penuh, alirannya biasanya pada subkritis, dan debit ditentukan
dengan persamaan Bernoulli. Perhitungan dimulai pada outlet dimana level muka air
menenggelamkan inlet dan dimana H/D > 1,2. Kontrol pada kedalaman kritis bisa
diletakkan di inlet jika terowongan relatif pendek sehingga loncatan tidak terjadi di
dalam tubuh terowongan. Kondisi ini ditunjukkan pada kondisi 4.
Jika terowongan memiliki kemiringan yang curam dan mulut masukan tidak
tengggelam, aliran akan dikontrol oleh kedalaman aliran di inlet, seperti diindikasikan
pada kondisi 3. Permukaan air akan turun secara tiba-tiba menuju kedalaman kritis pada
mulut masukan, dan aliran saluran terbuka berada pada kecepatan superkritis akan
terjadi sepanjang tubuh terowongan. Debit pada tampungan akan berpengaruh pada
aliran saluran, dengan asumsi kedalaman aliran kritis terjadi di mulut masukan
terowongan.
Setelah inlet tenggelam atau dimana H melampaui 1,2D, masih dimungkinkan
terjadi aliran saluran terbuka pada tingkatan superkritis pada tubuh terowongan, seperti
digambarkan pada kondisi 5, jika kontrol tetap pada mulut masukan. Pada kasus ini,

6
7

aliran pada inlet dapat disamakan dengan aliran pada orifice atau pada pintu sorong.
Kondisi aliran ini bergantung pada formasi konstruksi pada atas mulut masukan
sehibgga ruang batas udara terbentuk sepanjang bagian atas tubuh terowongan sehingga
terjadi aliran penuh sebagian sepanjang terowongan.
Karena tinggi muka air pada mulut masukan dan hasil dari peningkatan debit,
gesekan saluran atau disturbansi lokal akan menekan tubuh terowongan menjadi aliran
penuh total sampai dekat pada outlet, menutup terowongan hingga akhir hilir.
Kecepatan aliran yang tinggi di dalam terowongan akan membawa beberapa udara
yang terjebak pada bagian atas tubuh terowongan, mengurangi tekanan pada tekanan
hingga di bawah tekanan atmosfer. Lebih lanjut lagi, jika mulut masukan memiliki
bentuk yang bertujuan untuk mengurangi konstraksi inlet, tubuh terowongan akan mulai
mengalir pada aliran penuh total dekat inlet, setelah itu zona aliran penuh total akan
memanjang secara tiba-tiba sampai turun pada outlet. Efek dari kondisi aliran penuh
total ini akan menjadi draft-tube action (mirip dengan siphonic action) yang akan
meningkatkan debit. Peningkatan debit mengakibatkan penurunan lebih dalam dari
hulu pada inlet. Sebuah vortex akan terbentuk, dan udara akan masuk ke dalam
terowongan yang akan merusak draft-tube action. Pengurangan debit akan
menghasilkan kembalinya kontrol orifice pada inlet. Dengan seketika, gaya aliran penuh
total akan terbentuk lagi, dan siklusnya terus berulang. Pergantian antara gaya-gaya
pemulaian dan penghentian akan menyebabkan aliran berpusar/ bergetar yang
menyebabkan fenomena hantaman yang ditunjukkan pada kondisi 7. Ketika kondisi
tampungan berada pada H/D > 1,5 penurunan muka air pada mulut masukan tidak akan
cukup kuat untuk menghasilkan gaya aliran penuh total, dan aliran mantap pada pipa
penuh ditunjukkan pada kondisi 8 akan berlaku.
Jika diinginkan bahwa terowongan tidak berupa aliran penuh total, geometri
pada inlet menjadi pertimbangan penting. Inletnya harus dibentuk untuk menghasilkan
efisiensi debit maksimum dan mengatasi dengan baik konstraksi bagian atas inlet yang
akan membuat permukaan pada udara bebas di dalam tubuh terowongan untuk semua
tingkatan muka air tampungan. Bentuk inlet bersudut menghasilkan konstraksi yang
diinginkan tanpa mengurangi kapasitas debit utama. Konstraksi pada inlet dapat
terbentuk (tetapi pada kapasitas hidrolik yang dikurangi) dengan inlet yang
diproyeksikan, dengan mengubah sudut inlet dengan menyamakan dengan kemiringan
hilir, dengan bentuk gelang orifice yang lebih kecil dari diameter terowongan, atau
dengan menutup dinding muka bagian atas dari mulut masukan terowongan.

7
8

Jika terowongan diizinkan untuk mengalir penuh total hingga tinggi muka air
yang lebih tinggi, kontrolnya akan terjadi pada outlet dan geometri inlet akan
berpengaruh lebih kecil. Pada kasus ini inlet harus dibentuk untuk meminimalisasikan
konstraksi pancar untuk mencegah abrasi dari aliran masuk dari tubuh terowongan
karena aliran pipa penuh total diinginkan pada semua kondisi kecuali ketika inlet tidak
tenggelam. Bentuk yang lebih streamline akan mengurangi kehilangan pada mulut
masukan untuk kondisi penuh total. Penghilangan konstraksi dicapai dengan
membulatkan inlet atau dengan membuat sudut transisi bertahap menuju ke tubuh
terowongan.

Gambar 1.2 Model Kondisi Aliran pada Terowongan dengan Kemiringan/ Slope
Landai dan Curam.
Sumber: Design of Small Dams, 1987:423
1.4.3.2. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Richard French
Berdasar dari buku Open Channel Hydraulics dari Richard H. French debit yang
melewati terowongan ditentukan melalui aplikasi dari persamaan kontinuitas dan
energi diantara bagian pengarah dan bagian hilir terowongan yang berada pada tubuh
terowongan (Gambar 4.11). Lokasi bagian hilir tergantung pada pembagian aliran di
dalam terowongan.

Gambar 1.3 Skema Definisi Aliran di Dalam Terowongan


Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F.,1985:365

8
9

Untuk kebutuhan perhitungan, aliran melalui terowongan dibagi ke dalam enam


bagian berdasarkan muka air hulu dan muka air hilir. Enam tipe aliran dan masing-
masing karakterisitiknya akan dijelaskan di Tabel 3.1. Di tabel tersebut, D = dimensi
vertikal maksimum terowongan, y1 = kedalaman aliran bagian hulu, yc = kedalaman
kritis aliran, z = elevasi terowongan relatif terhadap datum sampai keluaran (outlet)
terowongan, dan y4 = kedalaman aliran bagian hilir. Pada Gambar 3.2 persamaan
debit aliran melalui berbagai macam tipe aliran di terowongan dijelaskan. Di
persamaan tersebut, CD = koefisien debit, Ac = luas pada aliran saat kedalaman kritis,
1 = kecepatan rerata pada bagian hulu, 1 = koefisien koreksi energi kinetik pada
bagian hulu, hf1-2 = LwQ2/K1Kc = kehilangan energi karena gesekan pada bagian hulu
ke mulut masukan (inlet) terowongan, Lw = jarak dari bagian hulu ke mulut masukan
terowongan, K1 = tetapan pada bagian hulu, Kc = tetapan pada kedalaman kritis, hf2-3 =
LQ2/K2K3 = kehilangan energi karena gesekan pada tubuh terowongan, dan L =
panjang tubuh terowongan. Berdasarkan dari keenam klasifikasi aliran tersebut,
karakteristik aliran bisa dilihat sebagai berikut:

a. Aliran Tipe 1
Pada jenis aliran ini, kedalaman kritis terjadi di sekitar mulut masukan
terowongan. Agar aliran tipe 1 ini bisa terjadi persyaratan yang harus
dipenuhi :
1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan tidak boleh melebihi 1,5.
2. Kemiringan tubuh terowongan So harus lebih besar dari kemiringan kritis
Sc.
3. Elevasi muka air hilir y4 harus kurang dari elevasi muka air pada bagian
kritis.
b. Aliran Tipe 2
Pada jenis aliran ini, kedalaman kritis terjadi pada mulut keluaran
terowongan. Agar aliran tipe 2 ini bisa terjadi persyaratan yang harus
dipenuhi :
1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan tidak boleh melebihi 1,5.
2. Kemiringan tubuh terowongan So harus kurang dari kemiringan kritis Sc.
3. Elevasi muka air hilir y4 tidak boleh melebihi muka air pada bagian
kritis.
c. Aliran Tipe 3
Pada jenis aliran ini, profil aliran berubah lambat laun merupakan faktor
penentu, kedalaman kritis tidak dapat terjadi, dan elevasi muka air hulu
merupakan fungsi dari elevasi hilir. Pada jenis aliran ini, aliran subkritis

9
10

terjadi pada seluruh panjang terowongan. Agar aliran tipe 3 ini bisa terjadi
persyaratan yang harus dipenuhi :
1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan harus kurang dari 1,5.
2. Elevasi muka air hilir tidak cukup untuk menenggelamkan mulut
keluaran terowongan. Bagaimanapun elevasinya melampaui kedalaman
kritis pada mulut keluaran.
3. Batas terendah dari muka air hilir adalah seperti berikut: (a) elevasi
muka air hilir lebih besar dari elevasi kedalaman kritis pada mulut
masukan terowongan jika kondisi aliran serupa pada kedalaman kritis
seperti pada mulut masukan, dan (b) elevasi muka air hilir lebih besar
dari elevasi muka air kritis pada mulut keluaran jika kemiringan
terowongan serupa dengan kedalaman muka air kritis akan terjadi pada
kondisi jatuh-bebas.

d. Aliran Tipe 4
Pada jenis aliran ini, aliran terowongan penuh, dan besar aliran bisa
diperkirakan secara langsung dari persamaan energi. Untuk aliran tipe 4 ini,
kehilangan energi terjadi diantara bagian 1 dan 2 dan bagian 3 dan 4
biasanya diabaikan. Kehilangan berdasarkan perluasan aliran berubah tiba-
tiba pada mulut keluaran terowongan diasumsi dengan persamaan (h3-h4)
e. Aliran Tipe 5
Pada jenis aliran ini, aliran superkritis pada mulut masukan terowongan
dan rasio tinggi muka air hulu dengan diameter terowongan melampaui 1,5.
Namun elevasi muka air hilir masih di bawah terowongan, atau terowongan
hampir penuh.
f. Alliran Tipe 6
Pada jenis aliran ini, rasio tinggi muka air hulu-diameter terowongan
melampaui 1,5, aliran terowongan hampir penuh, dan mulut keluaran
terowongan tidak tenggelam. Flowchart di bawah nanti menjelaskan cara
mengklasifikasikan aliran terowongan dari keenam kategori berikut di atas.

10
11

Gambar 1.4 Gambar Klasifikasi Tipe Aliran pada Terowongan


Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F, 1986: 368

Tabel 1.1 Karakteristik Aliran di Dalam Terowongan (Bodhaine, 1976)

11
12

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1985:366


Tabel 1.2 Klasifikasi Aliran pada Terowongan dan Rumus Alirannya
Tipe Aliran pada
Tipe Persamaan Debit
Terowongan
Kedalaman kritis pada
mulut masukan.
u1
2

Tipe 1 (h1-z)/D < 1,5 Q C D AC 2 g h1 z 1 y c h f 12
2g
h4/hc < 1,0
So > Sc
Kedalaman kritis pada
mulut keluaran
u1
2

Tipe 2 (h1-z)/D < 1,5 Q C D AC 2 g h1 1 y c h f 1 2 h f 23
2g
h4/hc < 1,0
So > Sc
Aliran air tenang
(h1-z)/D < 1,5
u1
2

Tipe 3 h4/hc 1,0 Q C D A3 2 g h1 1 h3 h f 1 2 h f 23
2g
h4/hc > 1,0

Mulut keluaran tenggelam


1/ 2
(h1-z)/D > 1,0 2 g (h1 h4
Tipe 4 Q C D A0 2 4/3


1 ( 29C D n L / R0
2
h4/D > 1,0

Aliran air pada mulut


masukan berubah tiba-tiba
Tipe 5 (h1-z)/D 1,5 Q C D A0 2 g h1 z
h4/Dc 1,0

12
13

Aliran bebas pada mulut


keluaran
Tipe 6 (h1-z)/D 1,5 Q CD A0 2 g h1 h3 h f 23

h4/D 1,0

Sumber: Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1986:368

13
14

Gambar 1.5 Diagram Alir Penentuan Jenis Aliran pada Terowongan


Sumber: Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1986:370

1.4.3.3. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Ven Te Chow

14
15

Dari buku Hidrolika Saluran Terbuka karangan Ven Te Chow, terowongan


adalah jenis yang unik dari suatu penyempitan dan jalan masuknya merupakan
penyempitan dengan bentuk khusus. Terowongan bersifat seperti saluran terbuka,
asalkan alirannya mengisi seluruh bagian gorong-gorong tersebut. Karakteristik
alirannya sangat rumit, karena aliran tersebut dikontrol oleh beberapa variabel,
antara lain: geometri pemasukan, kemiringan, ukuran, kekasaran, keadaan air
bawah, dan lain-lainnya. Oleh karena itu penelitian mengenai aliran yang melalui
terowongan harus dilakukan dilaboratorium atau penelitian lapangan.
Terowongan akan terisi penuh, bila jalan keluarnya terendam, atau bila jalan
keluarnya tidak terendam, tetapi air atasnya mempunyai tinggi dan kubah yang
panjang. Sesuai dengan penelitian laboratorium, bila jalan keluar terowongan biasa
tidak terendam, maka jalan masuknya tidak perlu terendam, jika air atasnya lebih
kecil dari suatu besaran kritis tertentu, yang diberi tanda H*. Nilai H* bervariasi
antara 1,2 sampai 1,5 kali tinggi terowongaan, tergantung pada geometri masukan,
karakteristik kubah dan keadaan saluran terowongan. Untuk analisa pendahuluan
dapat digunakan batas atas H* = 1,5d, di mana d = tinggi terowongan. Hal ini
disebabkan dari perhitungan didapatkan, bahwa bila perendaman tidak menentu,
maka ketepatan perhitungan yang lebih besar didapatkan dengan menganggap
masukan dalam keadaan tidak terendam.

Gambar 1.6 Kriteria untuk Terowongan Pipa, Kotak Panjang dan Pendek Secara
Hidrolis dengan Kubah Beton; dan Masukan Berbentuk Persegi, Lingkaran atau
Pengurasan Miring dari Dinding Ujung Vertikal; Dilengkapi dengan atau Tanpa Dinding
Samping
Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:444
Penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa pada suatu terowongan
(biasanya mempunyai potongan persegi pada bagian atas masukan), tidak akan memiliki
aliran penuh sekalipun masukan berada di bawah ketinggian air atas, bila saluran keluar
tidak terendam. Pada kondisi demikan, aliran yang masuk ke terowongan akan

15
16

menyusut, hingga kedalamannya lebih kecil daripada tinggi kubah terowongan; dengan
cara yang sangat mirip dengan penyusutan aliran air pada pintu air geser tegak.
Kecepatan air yang tinggi akan berlanjut sepanjang kubah, kemudian akan berkurang
secara perlahan-lahan, akibat kehilangan gesekan. Bila terowongan tidak cukup panjang
untuk mengizinkan penambahan kedalaman aliran di penyempitan hingga memenuhi
kubah, maka aliran pada terowongan tidak akan terisi penuh. Keadaan demikian
dinamakan pendek secara hidrolis. Sebaliknya, dikatakan panjang secara hidrolis, bila
aliran pada terowongan penuh, seperti yang terjadi pada pipa.
Penentuan suatu terowongan panjang atau pendek secara hidrolis, tidak dapat
ditentukan oleh panjang kubah saja. Tetapi tergantung pada karakteristik yang lain,
diantaranya: kemiringan, ukuran, geometri masukan, air atas, keadaan saluran masuk
dan keluar, dan lain-lainnya. Suatu terowongan, mungkin menjadi pendek secara
hidrolis, bila aliran hanya sebagian penuh, atau bila air atas lebih besar dari niali kritis.
Untuk situasi demikian, suatu grafik yang dibuat Carter (Gambar 1.6 dan Gambar
1.7), dapat digunakan untuk membedakan secara kasar antara terowongan pendek secara
hidrolis, dengan saluran masuk terendam, dapat memperlengkapi dirinya sendiri secara
otomatis, aliran menjadi penuh. Dari hasil penelitian laboratorium yang dilakukan Li
dan Patterson, terjadinya aksi memperlengkapi dirinya sendiri, disebabkan oleh
kenaikan air hingga bagian atas gorong-gorong. Kenaikan ini pada ke banyakan
kasus disebabkan oleh loncatan hidrolik, pengaruh air balik pada jalan keluar, atau
terbentuknya gelombang permukaan diam di dalam kubah.

16
17

Gambar 1.7 Kriteria untuk Terowongan Pendek dan Panjang Secara Hidrolis, dengan
Kubah Kasar dari Pipa Bergelombang.
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka,Ven Te Chow, 1997:445

Untuk keperluan praktis, aliran gorong-gorong dapat digolongkan dalam 6 jenis,


dan ditunjukkan pada Gambar 1.8. ldentifikasi masing-masing jenis dapat
diielaskan sesuai dengan sketsa berikut:
A. Jalan keluar terendam Jenis 1
B. Jalan keluar tidak direndam
1. Air atas lebih tinggi daripada nilai kritis
a. Terowongan panjang secara hidrolis. Jenis 2
b. Terowongan yang pendek secara hidrolis.. Jenis 3
2. Air atas lebih rendah daripada nilai kritis
a. Air bawah lebih tinggi daripada kedalaman kritis Jenis 4
b. Air bawah lebih rendah daripada kedalaman kritis
i. Kemiringan subkritis. Jenis 5
ii. Kemiringan superkritis. Jenis 6

17
18

Gambar 1.8 Jenis Aliran Terowongan


Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:446
Jika saluran keluarnya terendam, aliran pada terowongan akan memenuhi
seluruh bagian, serupa dengan aliran pada pipa dan alirannya termasuk jenis 1. Bila
saluran keluar tidak terendam, maka air atas mempunyai kemungkinan lebih besar atau
lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya. Jika air atas lebih besar dibanding nilai
kritis, kemungkinan terowongan bersifat panjang atau pendek secara nilai; dan
untuk membedakan hal ini, digunakan grafik pada Gambar 1.6 dan 1.7. Jika
terowongan panjang secara hidrolis, alirannya termasuk jenis 2, sedangkan jika
pendek secara hidrolis, maka alirannya berjenis 3. Bila air atas lebih kecil daripada
nilai kritis, maka pada saluran keluar, air bawah mungkin lebih besar atau lebih
kecil dibanding kedalaman kritis aliran. Untuk air bawah yang lebih besar, alirannya
termasuk jenis 4. Sedangkan untuk air bawah lebih kecil, alirannya berjenis 5, bila
kemiringan terowongannya subkritis; dan berjenis 6, bila kemiringannya superkritis.

18
19

Pada penggolongan di atas, terdapat kekecualian, yakni bahwa aliran jenis 1,


dapat terjadi dengan air atas sedikit lebih besar dari nilai kedalaman kritis, atau
dengan air atas lebih tinggi daripada bagian atas saluran keluar, asalkan kemiringan
dasar terowongan sangat curam. Jenis 1 dan 2, termasuk aliran pipa, sedang yang
lainnya termasuk aliran saluran terbuka. Untuk aliran jenis 3, terowongan berperan
seperti suatu orifis. Koefisien pelepasan beragam kira-kira dari 0,45 sampai 0,75.
Untuk aliran jenis 4, 5, dan 6, jalan masuknya terendam air, dan terowongan
berperan seperti penyekat. Koefisien pelepasan beragam kira-kira dari 0,75 sampai
0,95, tergantung pada geometri masukkan dan kondisi air atas. Pada Gambar 3.11,
terlihat bahwa aliran jenis 4 adalah aliran subkritis pada sepanjang kubah. Aliran
jenis 5 adalah aliran subkritis, oleh karena itu pe nampang kontrolnya terletak pada
saluran keluar.
Survai Geologi Amerika Serikat, telah mengembangkan suatu prosedur
terinci yang dapat digunakan untuk perhitungan hidrolik perancangan
terowongan. Untuk keperluan praktis, dapat digu nakan suatu penyelesaian
pendekatan dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.12 dan 3.13, masing-
masing untuk terowongan kotak dan lingkaran. Kedua kurva hanya berlaku untuk
terowongan yang mempunyai saluran masuk berpenampang bujur sangkar:

19
20

Gambar 1.9 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan Pada Terowongan Kotak, dengan
Satuan untuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448

Gambar 1.10 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan pada Terowongan Lingkaran,
dengan Saluran Masuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448

20
21

1.4.3.4. Aliran Bebas (free flow)


Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan terjadi aliran bebas apabila tinggi muka
air di waduk (H) 1,5diameter pengelak (D). Untuk menentukan besarnya debit
yang lewat pengelak pada keadaan aliran bebas dapat digunakan rumus Manning bila
aliran adalah subkritis.

Gambar 1.11 Hidrolika Aliran dalam Pengelak Pada Aliran Bebas


Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446
1 2 / 3 1/ 2
v = R S (1-3)
n
Q = A. v (1-4)
dimana:
v = kecepatan aliran (m/detik)
n = koefisien kecepatan manning (untuk beton n= 0,014)
R = jari-jari hidrolis =A/P (m)
A = luas penampang basah (m2)
S = kemiringan alur pengelak
Untuk memeriksa pada kedalaman berapa terjadi pengaliran kritis digunakan
rumus :
g. A 3 z
Qc = (1-5)
B
v
F = g .H
(1-6)
Dimana:
Qc = debit yang melewati pengelak dalam kondisi kritis (m3/detik)
g = percepatan gravitasi (= 9,81 m/detik2)
A = luas penampang basah (m2)
F = bilangan Froude
H = kedalaman aliran (m)
Kondisi aliran tersebut sangat perlu untuk diketahui, karena dengan demikian
dapat diketahui karakteristik hidrolisnya. Bila kondisi aliran pada berbagai kedalaman
air superkritis (Q > Qc atau F > 1), maka rumus Manning tidak berlaku dan harus
digunakan rumus dalam kondisi kritis sebagai berikut:

Gambar 1.12 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak pada Kondisi Superkritis


Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446
vc = g.H c (1-7)

21
22

Yc = 2/3 H (1-8)
2
vc = gH (1-9)
3
2
Qc =A gH (1-10)
3
Dimana:
Hc = kedalaman aliran kritis (m)

1.4.3.5. Aliran Tekan (Pressure Flow)


Diasumsikan bahwa aliran tekan ini akan terjadi bila tinggi air di waduk (H) >
1,5 diameter pengelak (D). Pada keadaan demikian digunakan rumus:

Gambar 1.13 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak Pada Aliran Tekan


Q = A. v (1-11)
2 g ( H L. sin D / 2)
v = (1-12)
(1 C )

dimana:
H = kedalaman air waduk dihitung dari dasar inlet pengelak (m)
D = tinggi pengelak (m)
L = panjang pengelak (m)
= sudut yang dibentuk oleh alur pengelak
c = jumlah koefisien kehilangan energi
Untuk jumlah kehilangan energi dapat dihitung berdasarkan desain saluran yang
dibuat oleh perencana.
1.4.4. Perhitungan Perencanaan Tinggi Cofferdam
1.4.4.1.Tinggi Bendungan
Yang dimaksud dengan tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi
permukaan pondasi dan elevasi mercu bendungan. Permukaan pondasi adalah dasar
dinding kedap air atau dasar daripada zone kedap air. Apabila pada bendungan tidak
terdapat dinding kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis
perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi udik mercu bendungan dengan
permukaan pondasi alas bendungan tersebut. Untuk menentukan tinggi bendungan

22
23

secara optimal harus memperhatikan tinggi ruang bebas dan tinggi air untuk operasi
waduk (Soedibyo, 1993)
1.4.4.2.Tinggi Jagaan (freeboard)
Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana
air dalam waduk dan elevasi mercu bendungan. Elevasi permukaan air maksimum
rencana biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk. Kadang kadang elevasi
permukaan air penuh normal atau elevasi permukaan banjir waduk lebih tinggi dari
elevasi banjir rencana dan dalam keadaan yang demikian, yang disebut permukaan
air maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan
dicapai oleh permukaan waduk tersebut. Selain itu dalam halhal tertentu tambahan
tinggi tembok penahan ombak di atas mercu bendungan kadangkadang
diperhitungkan pula pada penentuan tinggi jagaan.
Dalam menentukan tinggi jagaan perlu memperhatikan halhal sebagai berikut :
1. Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan
2. Pertimbanganpertimbangan tentang karakteristika dari banjir abnormal
3. Kemungkinan timbulnya ombakombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh
angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi
4. Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena
timbulnya kerusakankerusakan atau kemacetan pada bangunan pelimpah
5. Tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan
yang berangkutan
Kemudian untuk perhitungan secara teknis tinggi jagaan (Hf) untuk bendungan
ditentukan dari dua keadaan muka air waduk sewaktu bajir dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir dengan periode ulang 1000
tahun melimpah di atas bangunan pelimpah dan pada keadaan ini tidak boleh
terjadi kerusakan sedikitpun pada bendungan.
b. Dikontrol dengan tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir boleh jadi
terbesar (Probable Maximum Flood= PMF) melilmpah di atas bangunan
pelimpah dan pada keadaan ini bendungan diizinkan mengalami kerusakan
ringan tetapi harus tetap stabil.
Oleh karena kriteria di atas maka pada keadaan (a) tinggi jagaan harus
mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin sangat kuat (S)
2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan karena angin (Hw)

23
24

3. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh gempa (He)


4. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan (Hr)
5. Tinggi kenaikan permukaan air akibat kemacetan pada waktu operasi pintu
pelimpah (h). tinggi kenaikan permukaan air ini didasarkan pada
perbandingan debit banjir dan lamanya kemacetan yang terjadi dan
sebaliknya perbandingan luas permukaan daerah genangan dan jumlah pintu.
Untuk pelimpah yang dilengkapi pintu, sebagai perkiraan diambil sebesar
0,50m.
Sedangkan pada keadaan (b) hanya akan mempertimbangkan hal sebagai
berikut:
1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin kuat (S)
2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh karena angin kuat
(Hw)
3. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan yang diakibatkan
oleh angin kuat (Hr)

1.4.4.3. Perhitungan Tinggi Jagaan


a. Pada banjir 1000 tahunan, tinggi jagaaan dihitung dengan rumus:
Hf = Hw + S + Hr + He + h (1-13)
Dimana :
Hf = tinggi jagaan
Hw = tinggi kenaikan ombak karena angin
S = tinggi kenaikan muka air karena angin sangat kuat
Hr = tinggi rayapan gelombang pada lereng bendungan
He = tinggi kenaikan ombak akibat gempa
h = tinggi kenaikan muka air waduk akibat kemacetan operasi pintu
1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson sebagai berikut:
Hw = 0,032 F .v 0,763 0,2714 F (1-14)
berlaku untuk F < 32 km
dimana :
Hw = tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)
v = kecepatan angin (km/ jam)
F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)
2. S dihitung dengan rumus Zuider Zee, sebagai berikut :
v2 F
S= . . cos (1-15)
63000 D
Dimana :
S = kenaikan tinggi muka air karena angin (wind set up) (m)
v = kecepatan angin (km/jam)
F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)
D = kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m)
= sudut antara bidang tegak lurus sumbu bendungan dengan arah
gelombang (0)
3. Hr dihitung dengan rumus sebagai berikut, dengan menganggap bahwa gesekan
di lereng bendungan kecil:

24
25

2
vg
Hr = (1-16)
2g
Dimana :
Hr = tinggi rayapan gelombang (wave run up ) (ft)
vg = kecepatan gelombang (ft/ detik)
vg = 5+2.Hd (Gaillard) (1-17)
Hd = tinggi gelombang desain (ft)
= 1,3 Hw
g = gravitasi (32,18 ft/detik2)
4. He dihitung dengan rumus Seiichi Sato, sebagai berikut :
k .
He = . g .H 0 (1-18)
2
Dimana :
He = tinggi gelombang akibat gempa (m)
k = koefisien gempa
= periode gelombang (= 1detik)
= siklus gempa
g = gaya gravitasi bumi (9,81 m/detik2)
H0 = kedalaman air waduk (m)
b. Pada banjir boleh jadi terbesar/ maksimum (Probable Maximum Flood, PMF)
tinggi jagaan dihitung dengan rumus :
Hf = Hw + S + Hr (1-19)
1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson,
Hw = 0,032 F .v 0,763 0,2714 F (1-20)
berlaku untuk F < 32 km
dimana :
Hw = tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)
v = kecepatan angin (km/ jam)
F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)
2. S dihitung dengan rumus Zuider Zee, sebagai berikut :
v2 F
S= . . cos (1-21)
63000 D
Dimana :
S = kenaikan tinggi muka air karena angin (wind set up) (m)
v = kecepatan angin (km/jam)
F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)
D = kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m)
= sudut antara bidang tegak lurus sumbu bendungan dengan arah
gelombang (0)
3. Hr dihitung dengan rumus sebagai berikut, dengan menganggap bahwa
gesekan di lereng bendungan kecil:
2
vg
Hr = (1-22)
2g
Dimana :

25
26

Hr= tinggi rayapan gelombang (wave run up ) (ft)


vg= kecepatan gelombang (ft/ detik)
vg= 5+2.Hd (Gaillard)
Hd= tinggi gelombang desain (ft)
= 1,3 Hw
g = gravitasi (32,18 ft/detik2)
Tinggi jagaan yang dihitung di atas adalah hanya akibat dari kenaikan muka air
waduk itu sendiri. Untuk ini masih perlu diberi penambahan tinggi urugan sebagai
cadangan tinggi jagaan akibat adanya penurunan yang terjadi pada bendungan yang
telah dibangun. Penurunan terbesar urugan karena beratnya sendiri akan terjadi selama
pemadatan. Selanjutnya penurunan akan terjadi dengan pertambahan sangat kecil dan
berkembang menurut umur bendungan dan fluktuasi air waduk. Untuk memperkirakan
peurunan total dipakai rumus empiris sebagai berikut :
Stot = 0,4%.H (1-23)
Dimana :
Stot = penurunan total (m)
H = tinggi urugan = tinggi bendungan (m)
Selain dari cara yang telah dibuat di atas The Japanese National Committee on
Large Dams (JANCOLD) telah menyusun standar minimal tinggi ruang bebas seperti
pada tabel. Di dalam standar ini maka yang di ambil sebagai permukaan air tertinggi
adalah FSL dan bukan TWL.

Tabel 1.3 Standar Ruang Bebas Menurut JANCOLD


No Tinggi bendungan (m) Bendungan beton Bendungan urugan
1. < 50 1m 2m
2. 50 100 2m 3m
3. > 100 2,5 m 3,5 m
Sumber : Soedibyo 1993
Penetapan tinggi mercu bendungan pengelak udik (cofferdam hulu), biasanya
didasarkan pada elevasi permukaan air yang terdapat di depan pintu pemasukan saluran
pengelak ditambah tinggi jagaan yang diperlukan untuk keamanan cofferdam tersebut.
Untuk detail perhitungan tinggi cofferdam bisa dilakukan perhitungan penelusuran
banjir.
Fs

26
27

27

Anda mungkin juga menyukai