Masalah Ekonomi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Beras di Indonesia

Nama : Afdhal Rizqi


NPM : 10110244
Kelas : 2KA04

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dalam masalah ini, sebenarnya kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita ini merupakan
negara yang sangat subur dan yang paling menguntungkan adalah negara kita merupakan negara
dengan penghasil komoditi utama yaitu beras. Dalam hal Ekspor dan Impor, ternyata Indonesia
dengan segala keunggulan dibidang pertanian khususnya dalam hal komoditi beras, masih
membeli (Impor) beras dari negara lain.
Pemerintah Indonesia berencana untuk mengimpor 2 juta ton beras tahun 2012 ini. Rencana
impor beras oleh itu, untuk memastikan ketersediaan stok beras di dalam negeri. Sebelumnya,
Indonesia berniat untuk tidak impor karena ada prediksi kenaikan produksi panen tahun ini.
Namun ternyata, panen tahun ini belum mencukupi untuk kebutuhan nasional.
Diantara negara yang menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam hal impor beras antara lain :
Thailand, Vietnam, Kamboja dan Myanmar. Dari negara-negara tersebut, contohnya Myanmar
yang bisa mengekspor beras ke Indonesia karena mereka mendapatkan surplus sekitar dua juta
ton beras disebabkan oleh konsumsi masyarakat mereka yang rendah.
Dalam hal ini, ada beberapa faktor mengapa Indonesia melakukan impor beras dari luar negri
sedangkan kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita Indonesia ini termasuk negara yang
sangat subur.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, kita dapat mengidentifikasikan masalah sebagai
berikut :
Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negri sedangkan Indonesia termasuk
salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%?
Apa solusi untuk menciptakan ketahanan pangan di Indonesia?

C. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam makalah ini menggunakan teori-teori dasar dalam
ekonomi. Teori-teori dasar tersebut terbagi menjadi dua golongan yaitu :
1. Teori Mikroekonomi
Dalam teori mikroekonomi ini menganalisis hal-hal seperti interaksi penjual dan pembeli di
pasar barang, tingkah laku pembeli dan penjual dalam melakukan kegiatan ekonomi, dan
interaksi penjual dan pembeli di pasaran faktor.
2. Teori Makroekonomi
Sedangkan dalam teori makroekonomi menganalisis aspek berikut seperti penentuan kegiatan
perekonomian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, masalah inflasi dan pengangguran dan
faktor yang menyebabkannya, dan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah dalam menghadapi
masalah-masalah ekonomi yang timbul.

BAB II
PEMBAHASAN

Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang
melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia
memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah
produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap
produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen utama
beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara
eksportir beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%.
Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet,
dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks
produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara
penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang
dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa
mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari
Negara penghasil pangan lain seperti Thailand. Salah satu penyebab utamanya adalah jumlah
penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa,
makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi
sangat besar.

Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per
orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg,
Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia
menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus
mengimpornya dari negara lain.

Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai
dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri
dipenuhi melalui impor.

Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang
tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran
musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang
tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman
yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya
menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan
benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.

Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan
produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat
tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan
hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit.
Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa
seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang
sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar
pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan
konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras
impor.

Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di
Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti
Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang
kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk
pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.

Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi
pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang
sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat
Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan
konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar
yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor panganyang notabene
merupakan kebutuhan pokok rakyattentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang
menyatakan bahwa Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Faktanya,
Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh
perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja
menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun
berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli
atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.

Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada
pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh
perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi
menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal
yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka
lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara
domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan
insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS
dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri
barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh
petani kita.

Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan
pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber
Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi
menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan
tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi,
distribusi dan konsumsi di sektor pangan.

Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional
(harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi distribusi
konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini
sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998,
susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa
pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar
internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Pemecahan Masalah

Untuk mengurangi dampak ketergantungan kita akan bahan pangan impor dan menciptakan
ketahanan pangan, diperlukan beberapa usaha di antaranya yaitu:
1. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh
tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi
dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan
kemampuan konsumen.
2. Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung,
singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk
tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
3. Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus dengan
intervensi yang kuat dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian
Keuangan.
4. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul yang tahan terhadap
anomali iklim dan berumur sedang. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga
penelitian, studi perguruan tinggi, maupun kerjasama bilateral.
5. Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera
meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan.
6. Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan
kepastian beli.
7. Memperlancar arus distribusi hasil pertanian dengan siklus yang pendek, sehingga dapat
tersalurkan ke seluruh penjuru Nusantara dengan harga yang terjangkau sampai ke tangan rakyat.
8. Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok
tani, koperasi, dan ormas tani.
9. Menciptakan diversifikasi pangan yang memiliki nilai gizi yang setara dengan beras dan
ekonomis terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat tidak selalu bergantung pada ketersediaan
beras. Hal ini dapat dijalankan bersamaan dengan menggali potensi tanaman tradisional (lokal)
yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
10. Untuk menunjang budidaya tanaman pangan yang lebih cermat dan akurat perlu didukung
dengan ketersediaan data iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu dapat di-update
secara otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang telah dipasang. Selain itu, Balitklimat telah dan
sedang menyusun kalender tanam yang diharapkan dapat membantu Dinas Pertanian, petani dan
pelaku agribisnis serta pengguna lainnya dalam budidaya dan pengembangan tanaman pangan
khususnya dan tanaman-tanaman semusim lainnya.

Mengapa Impor
Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras
dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan
sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian
Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang
dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata.
Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar
merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139
kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang
didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini
mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang tidak
dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional.
Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk
meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya
mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya
dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar
negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar
sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan.
Mengapa Tidak Impor
Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada
satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat
ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung
di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan
Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton
gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan
produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%),
dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data
Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat
dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.
Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini
memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap
petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan
terserap oleh bulog.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam masalah ini, adanya proses impor beras dari luar negri disaat nilai produksi beras di
Indonesia mengalami surplus memang banyak menimbilkan tanda tanya. Seharusnya,
pemerintah dalam hal ini khususnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog
harus memaksimalkan penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat
mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga
kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani agar
mereka tidak dirugikan.
Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat menggelar operasi pasar untuk menstabilkan harga.
Hal ini tentunya harus diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus
berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan perberasan nasional secara komprehensif dari hulu
ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor.
Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor beras dengan alasan pengamanan stok oleh Bulog ini
tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan data konsumsi beras
yang masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada akhirnya, tugas bagi berbagai
pihak yang terkait adalah memperbaiki kinerja masing-masing. BPS diharapkan dapat
memberikan data yang lebih akurat lagi. Akan tetapi, diperlukan juga kebijaksanaan oleh Bulog
agar setiap kebijakan yang diambil tidak merugikan petani lokal yang kesejahteraannya masih
rendah tanpa mengorbankan ketahanan pangan Indonesia.
B. Saran

Berdasarkan pemaparan masalah diatas, saya menyarakan pemerintah khususnya BULOG untuk
lebih memperhatikan dan merealisasikan manajemen stok yang lebih baik serta memaksimalkan
penyerapan beras lokal dari petani-petani lokal, sehingga stok beras dapat diatur dengan baik dan
petani Indonesia pun dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Anda mungkin juga menyukai