Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan
dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan
maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang
banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit
inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk,
dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir
prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi
juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik
baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir
separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan
melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut
disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman
yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).1
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari
lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban
global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi
penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di
sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan
bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-
5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %.
Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000,

1
dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada
anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International
Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi
asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 %
diantaranya mempunyai gejala klasik.2
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting.
Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam
menolong penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah
satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan
kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan
sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang
bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya
mencegah terjadinya serangan asma.3
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien Asma
Bronchial dan keluarganya di kecamatan Abeli Kota Kendari.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan siklus
keluarga) keluarga pasien Asma Bronchial.
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
kesehatan pada pasien Asma Bronchial dan keluarganya.
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien Asma Bronchial
dan keluarganya.

C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran keluarga, serta
penatalaksanaan Asma Bronchial dengan pendekatan kedokteran keluarga.
2. Bagi Tenaga Kesehatan

2
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar setiap
memberikan penatalaksanaan kepada pasien Asma Bronchial dilakukan
secara holistik dan komprehensif serta mempertimbangkan aspek keluarga
dalam proses penyembuhan
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi kepada pasien dan keluargamya bahwa
keluarga juga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesembuhan
pasien

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat sementara/reversible.4
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciri-
ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam
hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering
ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi
saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi.
Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas
yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan
atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam.6
B. Epidemiologi
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global
untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi
penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di
sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan
bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-
5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis
kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan

4
bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia
SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma
(gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya
mempunyai gejala klasik.2
C. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan
faktor lingkungan.1

1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi
fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)

5
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk
menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga
yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi
D. Patogenesis

6
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada
beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena
degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan
beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi
otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan
pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga
terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi
mukus dan stimulasi refleks saraf.8

E. Patofisiologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul
pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE
abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru,
yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai
macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan
menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus

7
yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas.1

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu
10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam,
bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel
kunci fdalam patogenesis asma.1

Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel
saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi
melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan
Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel inflamasi.1

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya


hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektifberatnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan
inhalasi zat nonspesifik.1

8
F. Tanda dan Gejala Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelasseperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun
pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan
selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-
kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk
tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal
yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum
dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.9
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan
gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan
gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang
merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.9
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk
pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan
membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti
misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan
bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.9
G. Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala
eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari
derajat sebelumnya.

1. Klasifikasi menurut etiologi


Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu
sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak
diketahui.
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma

9
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada
umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau
sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah
kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh
dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan
mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang
aman, dan tanpa efek samping.

4. Klasifikasi menurut gejala


Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru
berguna untuk mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya.
Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan
asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum
pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten,
persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat
ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan
terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan
ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam

10
hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma
akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak
harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan
sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


Intermitten Bulanan 2 kali APE 80%
Gejala <1x/minggu, sebulan VEP180% nilai prediksi
tanpa gejala di luar APE 80% nilai terbaik
serangan Variabilitas APE <20%
Serangan singkat
Persisten Mingguan >2 kali APE >80%
ringan Gejala >1x/minggu, sebulan VEP180% nilai prediksi
tetapi <1x/hari APE 80% nilai terbaik
Serangan dapat Variabilitas APE 20-30%
menggangu aktivitas dan
tidur
Persisten Harian >2 kali APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari sebulan -VEP1 60-80% nilai
Serangan menggangu prediksi APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Bronkodilator setiap hari
-Variabilitas APE >30%
Persisten Kontinyu Sering APE 60%
berat Gejala terus menerus VEP1 60% nilai prediksi
Sering kambuh APE 60% nilai terbaik
aktivitas fisik terbatas
Variabilitas APE >30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9

Ringan Sedang Berat


Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk membungkuk
ke depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya terganggu
terganggu terganggu
Frekuensi Meningkat meningkat Sering >30

11
napas kali/menit
Retraksi Umumnya tidak Kadang kala ada ada
otot-otot ada
bantu napas
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi <100 100-120 >120
nadi
Pulsus Tidak ada Mungkin ada (10- Sering ada
paradoksus (<10mmHg) 25mmHg) (>25mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilato
r (%
prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus
dipenuhi.9

H. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-
anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan
mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan
oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus


udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status
alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala
konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu
diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat
berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.1

12
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah
dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering
kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan
musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari,
riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam
keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau
debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti
bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien
merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat
yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat
ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan
otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat
ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam
menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk

13
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran
napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik,
APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan
dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala
klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis
sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil
dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat
berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat
dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek
alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang
terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2-20m, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi

14
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes
kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat
dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,
histamin dan metakolin.1
I. Komplikasi Asma
1. Pneumothoraks
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal napas
6. Bronkitis
7. Fraktur iga

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.
a. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus
diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh
pasien di rumah (lihat bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke
fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan
dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan
faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator
(2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid
sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja
cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)
kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat
3- 5 hari. Pada serangan sedang diberikan 2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida

15
inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan
ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV,
2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan
aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila 2 agonis kerja cepat tidak
tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma
yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi
menggunakan nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (Inhalasi
Dosis Terukur) dengan alat bantu (spacer).

b. Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol
asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang
disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka
panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan
Menjaga kebugaran.
Edukasi yang diberikan mencakup: kapan pasien berobat/ mencari
pertolongan, mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui
obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya,
mengenali dan menghindari faktor pencetus, kontrol teratur. Alat edukasi
untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi
asma (bagan 6), sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega
diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan
untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan
terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan
sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai
tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang digunakan sebagai

16
pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid, 2 agonis kerja panjang,
antileukotrien, teofilin lepas lambat.
Tabel 3. Jenis obat asma
Bentuk/kemasan
Jenis obat Golongan Nama generik
obat
Pengontrol Steroid inhalasi Flutikason propionat IDT
(Anti Budesonide IDT, turbuhaler
inflamasi) Antileukokotrin Zafirlukast Oral(tablet)
Kortikosteroid Metilprednisolon Oral(injeksi)
sistemik Prednison Oral
Agonis beta-2 Prokaterol Oral
Pelega kerjalama Formoterol Turbuhaler
(Bronkodilat Salmeterol IDT
or) kombinasi steroid Flutikason + IDT
dan Salmeterol. Turbuhaler
Agonis beta-2 Budesonide +
kerjalama formoterol Oral, IDT, rotacap
Agonis beta-2 solution
kerja cepat Salbutamol Oral, IDT,
turbuhaler, solution,
Terbutalin ampul (injeksi)
IDT
Prokaterol IDT, solution
Antikolinergik Fenoterol IDT, solution
Metilsantin Ipratropium bromide Oral
Teofilin Oral, injeksi
Aminofilin Oral
Teofilin lepas lambat
Kortikosteroid Metilprednisolon, Oral, inhaler
sistemik Prednison Oral

17
BAB III
HASIL KUNJUNGAN RUMAH

Tanggal kunjungan rumah : 15 April 2016

Tempat : Kecamatan Abeli, Kota Kendari

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Abdul malik
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kecamatan Abeli, Kota Kendari
Pekerjaan : pedagang
Suku : Muna
Agama : Islam

Tabel 1. Daftar anggota keluarga yang tinggal 1 rumah


Hubunga
No Nama Umur Pendidikan/ Keadaan
n
. anggota L/P pekerjaan fisik
keluarga
Tn.
L/36
1. Abdul KK Pedagang Penderita
Tahun
malik
Ny. Susi
P/31
2. Ramawat Istri IRT Sehat
Tahun
i
An.
L/14
3. Haryanto Anak Pelajar Asma
Tahun
Malik
Sumber: Data Primer 2016

Genogram

18
Gambar 1. Genogram keluarga

Keterangan :
Penderita
:
Perempuan

: Laki - laki

B. Anamnesis
1. Keluhan utama: Sesak napas sejak 3 hari lalu
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang berobat ke Puskesmas Abeli dengan keluhan sesak napas
yang sering di alami sejak masih kecil dan dirasa memberat sejak 3 hari
yang lalu. Keluhan sesak napas ini dirasakan apabila pasien terpapar
dengan udara dingin ataupun apabila pasien dalam keadaan capek. Sesak
terutama timbul pada malam dan pagi hari, sehingga mengganggu aktivitas
dan tidur. Sesak napas bertambah bila pasien batuk. Batuk pasien berdahak
dengan warna bening kental. Napas pasien berbunyi ngik.Sesak sudah
dirasakan 2 kali dalam 1 minggu ini, sebelumnya hanya sekali.

19
Sejak 2 jam sebelum ke Puskesmas sesak napas yang dirasakan makin
berat. Batuk dirasakan semakin menjadi-jadi dan bertambah berat bila
beraktivitas. Pasien dibawa ke Puskesmas abeli dan diberi pengasapan

3. Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien sudah sering mengalami sesak napas sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Anak pasien sering sesak nafas
C. Pemeriksaan Fisik ( 8 Agustus 2016)
1. Keadaan umum : sakit sedang, composmentis
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 150/90 mmHg
b. Frekwensi nadi : 88 x/mnt
c. Frekwensi nafas : 22 x/mnt (Setelah Serangan)
d. Suhu : 36,5oC
3. Status Interna
a. Kepala : dalam batas normal
b. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
c. Telinga : serumen (-)
d. Hidung : rinore (-)
e. Tenggorok : T1T1 , hiperemis (-)
f. Leher : pembesara KGB (-)
g. Thorax
- Inspeksi : simetris ki = ka
- Palpasi : vokal fremitus ki = ka
- Perkusi : sonor (+)
- Auskultasi : vesikuler (+/+) , BT : (-/-) wheezing (+/+)

h. Cor
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba
- Perkusi : pekak (+)
- Auskultasi : BJ I/II reguler, bising (-)
i. Abdomen
- Inspeksi : datar, ikut gerak napas (-)
- Palpasi : massa tumor (-), pembesaran hepar dan lien (-),
- Perkusi : timpani (+)
- Auskultasi : bising usus (+), 10 x/ menit
j. Genito Urinaria : tidak diperiksa
k. Ekstremitas : Edema (-), Akral dingin (-), Cap refill :2 detik
4. Status Neurologis
a. Motorik
P N N K 5555 5555 T N N
N N 5555 5555 N N
b. Refleks fisiologis

20
R. Biceps : +/ +
R. Triceps : +/ +
R. Patella : +/+
c. Refleks Patologis : (-)
d. Sensibilitas : baik
e. Saraf otonom : BAB Normal, BAK kesan normal.

5. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan


Pemeriksaan laboratorium (eosinofil)
foto rontgen thorax
Spirometer
Peak flow meter/PFM
Pemeriksaan IgE (skin prick test)

6. Alasan diperlukan pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium : dikerjakan untuk mengindetifikasi eosinofil,
disebabkan akumulasi eosinofil yang meningkat lebih dari normal
b. Foto Rontgen : untuk menbantu diagnosis dari penyakit asma bronchial
dan menilai apakah adanya komplikasi yang memperberat Asma
Bronchial
c. Spirometer : Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
d. Peak flow meter/PFM: alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh
karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis
asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM)
e. Pemeriksaan IgE (skin prick test): untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus
7. Hasil laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan Lab.
8. Diagnosis kerja
Asma Bronchial persisten sedang
9. Diagnosis Banding

21
Bronkitis kronik
Emfisema paru
10. Penyelesaian masalah yang dihadapi pasien
Penyelesaian masalah pada pasien ini adalah mengikuti anjuran dokter untuk
menhindari faktor resiko dari penyakit Asma Bronchial misalnya cuaca
dingin maupun makanan makanan yang dapat mencetuskan serangan Asma
bronchal dan selalu membawa obat yang dapat mengurasi serangan Asma
bronchial.
11. Pasien ini perlu dirujuk
a. Pasien ini perlu dirujuk apabila telah terdapat komplikasi misalnya
(Pneumothoraks, Atelektasis dan Gagal napas)
12. Penjelasan yang diberi pada pasien dan keluarganya tentang penyakit
yang di derita

a. Menjelaskan tentang apa itu penyakit Asma Bronchial.

b. Menjelaskan bahwa penyakit Asma Bronchial adalah penyakit pada paru


yang disebabkan oleh destruksi jalan napas. Destruksi pada jalan napas ini
menyebabkan keluhan sesak yang dapat menyebabkan gagal napas jika
tidak ditangani segera.

c. Faktor lingkungan merupakan penyebab timbulnya penyakit Asma


bronchial pada pasien ini.

13. Penjelasan yang disampaikan tentang peranan pasien dan keluarganya


dalam proses penyembuhan penyakit yang diderita
a. Menjelaskan bahwa kesembuhan tergantung dari keinginan pasien untuk
sembuh dan dukungan dari keluarga.
b. Menjelaskan bahwa keluarga harus berperan aktif dalam proses
kesembuhan pasien, misalnya dengan selalu membawa pasien untuk rutin
memeriksakan diri ke dokter jika sesak bertambah berat.
c. Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa faktor genetik dan
lingkungan pasien yang merupakan faktor resiko terjadinya Asma
Bronchial

22
d. Menganjurkan kepada keluarga pasien agar memantau latihan fisik pasien
untuk mencegah makin beratnya penyakit dari pasien
14. Penyuluhan yang dilakukan pada pasien dan keluarganya.
Penyuluhan yang dilakukan pada pasien dan keluarga:
a. Menjelaskan bahwa salah satu penyebab Asma Bronchial adalah factor
cuaca.
b. Penjelasan tentang hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi
keluhan penyakit pasien.
c. Menjelaskan tentang apa itu penyakit Asma Bronchial, faktor risiko, cara
pencegahannya
d. Menjelaskan tentang hal-hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
kondisi pasien misalnya menyarankan kepada pasien untuk hindari
melakukan pekerjaan berat yang dapat mengakibatkan kondisi pasien
menjadi buruk.
15. Upaya pencegahan yang disampaikan pada keluarganya ( pencegahan
primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tertier)
1. Pencegahan primer
Memberikan penyuluhan tentang penyakit Asma Bronchial
Menyarankan pasien untuk menghindari faktor-faktor risiko Asma
Bronchial dengan menghindari faktor pecetus seperti debu dan
udara dingin dan menjalankan pola hidup sehat dengan
mengkonsumsi makanan yang sehat, menghindari rokok,
melakukan olahraga ringan dan mengurangi aktivitas yang berat.
2. Pencegahan sekunder
- Melakukan skrining dengan pemeriksaaan kesehatan pada keluarga
yang memiliki gejala dan segera diberi pengobatan kepada anggota
keluarga dan cara mencegahnya. Menyarankan agar tidak berlebihan
dalam melakukan pekerjaan yang memperberat serangan.
3. Pencegahan tersier
- Disability limitation: pola hidup (pola makan dan olahraga) harus baik, di
anjurkan latihan dengan tekanan yang rendah seperti berjalan.
- Rehabilitation: jika sudah timbul komplikasi dari penyakit pasien
dianjurkan untuk segera ditangani di rumah sakit sehingga komplikasi
yang dialami dapat dicegah perburukannya atau bahkan diminimalisir.

23
D. Kegiatan yang Dilakukan Saat Kunjungan Rumah

Melakukan kunjungan rumah, memantau kondisi pasien, melakukan


diagnosis holistik, melakukan pengobatan dan intervensi.
1. Perjalanan penyakit saat ini :
Pasien datang berobat ke Puskesmas Abeli dengan keluhan sesak
napas yang sering di alami sejak pasien masih kecil dan dirasa
memberat sejak 3 hari yang lalu. Keluhan sesak napas ini dirasakan
apabila pasien terpapar dengan udara dingin ataupun apabila pasien
dalam keadaan capek Sesak terutama timbul pada malam dan pagi
hari, sehingga mengganggu aktivitas dan tidur. Sesak napas
bertambah bila pasien batuk. Batuk pasien berdahak dengan warna
bening kental. Napas pasien berbunyi ngik.Sesak sudah dirasakan 2
kali dalam 1 minggu ini, sebelumnya hanya sekali.
Sejak 2 jam sebelum ke Puskesmas sesak napas yang dirasakan
makin berat. Batuk dirasakan semakin menjadi-jadi dan bertambah
berat bila beraktivitas. Pasien dibawa ke Puskesmas Abeli dan diberi
pengasapan. Pasien sudah berhenti merokok sejak 15 tahun yang lalu.

2. Riwayat penyakit keluarga :


Anak dengan keluhan yang sama.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat Asma Bronchial sudah pernah.
b. Riwayat pengobatan sudah pernah dilakukan.

E. Diagnosis Holistik

1. Aspek personal

24
Pasien berobat dengan harapan bisa sembuh dari penyakitnya ataupun mengurangi
serangan. Pasien berharap keluhan ini tidak memperberat dan menganggu
pekerjaan pasien.
2. Aspek risiko internal
Faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan pasien saat ini yaitu: lingkungan
(suhu), dan aktivitas tinggi (kelelahan) .
3. Aspek psikososial keluarga
a. Hubungan penderita dengan anggota keluarga lainnya baik. Istri, anak dan
menantu pasien sangat perhatian kepada pasien dan merawat pasien dengan
baik
b. Hubungan pasien dengan tetangga juga baik.
c. Hubungan dengan tetangga atau orang sekitar juga baik
d. Faktor eksternal yang mempengaruhi kesehatan pasien : tidak ada Keluarga
yang mengingatkan pasien menhindari faktor pencetus misalnya faktor
lingkungan dan aktivitas fisik yang berat.

F. Diagnosis Sosial, Ekonomi, Pencarian Pelayanan Kesehatan Dan


Perilaku

1. Sosial a. Hubungan keluarga dengan tetangga atau orang


sekitar baik, saling membantu jika ada kesulitan
b. Tidak ada masalah baik di rumah, maupun
dengan tetangganya
2. Ekonomi a. Pasien sebagai pedagang dengan penghasilan
tidak menentu
b. Sehari-hari biaya kehidupan keluarga pasien
berasal dari pasien dan istri .
3. Penggunaan a. Jika salah satu keluarga pasien sakit maka pasien
pelayanan lebih sering ke puskesmas dari pada rumah sakit.
b. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit Asma
kesehatan
Bronchial,
c. Kesadaran pasien untuk mengikuti saran yang
diberikan oleh petugas kesehatan

4. Perilaku yang a. Riwayat pasien yang kurang memperhatikan


tidak faktor pencetus dari Asma bronchial
menunjang

25
kesehatan.

G. Data Sarana Pelayanan Kesehatan dan Lingkungan Kehidupan Keluarga

Faktor Keterangan Kesimpulan tentang faktor


pelayanan kesehatan
Sarana pelayanan Puskesmas dan Rumah Memuaskan
kesehatan yang digunakan sakit
oleh keluarga
Cara mencapai sarana Berjalan kaki, Kendraan Menggunakan kendraan
pelayanan kesehatan tsb roda dua, roda empat roda dua

Tarif pelayanan kesehatan (sangat mahal,mahal, Terjangkau karena


yang dirasakan terjangkau, murah, gratis) menggunakan BPJS
Kualitas pelayanan (sangat baik, baik, biasa, Baik
kesehatan yang dirasakan kurang baik, buruk)

H. Lingkungan Tempat Tinggal

Karakteristik rumah dan lingkungan Kesimpulan tentang


faktor lingkungan tempat
tinggal
Luas rumah : 10x6m2
Bertingkat / tidak Tidak bertingkat
Jumlah penghuni rumah : 3 orang
Kondisi halaman : bersih
Lantai rumah dari : semen
Dinding rumah dari : Semi permanen
Kondisi dalam rumah : Lumayan Bersih
Kepemilikan rumah : Milik sendiri
(milik sendiri, kontrak, menumpang.)
Daerah perumahan : Padat

26
(kumuh, padat, berjauhan, bersih, mewah,)

I. Intervensi Pada Keluarga

Hari / Tanggal Intervensi yang dilakukan dan rencana tindak lanjut.


Kunjungan Edukasi pasien tentang Asma Bronchial, Pengenalan tentang
pertama, etiologi, gejala klinis, patofisiologi dan manajemen
8 Agustus 2016 penatalaksanaan dan pencegahan. Metode edukasi yang diberikan
berupa penyuluhan dan diskusi dengan pasien.
Tindak lanjut, a. Follow up pasien tentang edukasi yang telah diberikan
b. Menyarankan pada pasien untuk kembali memeriksakan diri
15 agustus 2016
ke pelayanan kesehatan atau membeli obat yang bisa dibawa
pasien jika terjadi seragan
c. Istirahat yang cukup
d. Menyarankan kepada pasien untuk melakukan latihan fisik
sesuai kondisi pasien

J. Upaya Program 6 Kesehatan Dasar Pada Keluarga

1. Upaya Promosi Kesehatan dalam Keluarga

Upaya promosi kesehatan yang diberikan pada keluarga tersebut yaitu:


Memberi penyuluhan tentang Asma bronchial mulai dari pengertian,
penyebab dan faktor risiko, gejala-gejala, komplikasi, dan pencegahan dari
Asma bronchial, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah.

2. Upaya Kesehatan Lingkungan Keluarga


Dalam meningkatkan kesehatan lingkungan pada keluarga tersebut maka
disarankan untuk tidak menggunakan tidak merokok di dalam rumah dan
menjaga agar lantai rumah tetap bersih serta selalu membersihkan prabot
dari debu.
3. Upaya P2M dalam Keluarga
-
4. Upaya Perbaikan Gizi dalam Keluarga
Status gizi penderita ini masih dalam batas normal maka disarankan kepada
istri pasien agar selalu memilih makanan yang sehat untuk dikonsumsi
keluarga.

27
5. Upaya KIA dan KB dalam Keluarga
-
6. Upaya pengobatan Dasar dalam Keluarga
Dalam upaya pengobatan dasar maka pasien dianjurkan segera ke
puskesmas jika timbul keluhan atau membeli obat yang dapat meredakan
serangan Asma Bronchial sesuai anjuran dokter tentunya.
K. DATA POLA HIDUP KELUARGA
1. Pola kesehatan
a) Bila anggota keluarga sakit berobat ke puskesmas
b) Persalinan ditolong oleh bidan di puskesmas
c) Olah raga 2-3 kali seminggu
2. Pola kebiasaan sehari-hari
a) Pola makan dan makanan
Semua anggota keluarga makan 3x sehari
- Sarapan: kue dan teh
- Makan siang: nasi putih, ikan, sayur
- Makan malam: ikan, nasi putih dan sayur
Penyediaan makanan : Goreng dan rebus (lebih sering merebus)
Air minum (air galon dan dimasak)
b) Pola kebersihan
- Penderita: mandi 1-2x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 1-2x/ hari.
- Keluarga sering cuci tangan dengan sabun saat mau makan
- Sering mencuci pakaian dua kali seminggu
- Sumber air untuk mencuci dan mandi yaitu sumur
L. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi Biologis dan Reproduksi
Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa saat ini terdapat
anak pasien yang sering memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
2. Fungsi Psikologis
Saat ini penderita tinggal dengan istri dan anak. Hubungan antar
anggota keluarga baik. Semua masalah yang ada selalu dibicarakan dengan
baik-baik dan keputusan diambil berdasarkan hasil musyawarah atau
kesepakatan bersama
3. Fungsi Pendidikan

28
Pendidikan terakhir pasien dan istri pasien adalah SMA, anak pasien
sekarang masih SMA.
4. Fungsi Sosial
Penderita tinggal di kawasan yang penduduknya padat. Hubungan
dengan tetangga terjalin baik dan pergaulan umumnya berasal dari kalangan
menengah ke bawah.
5. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Sumber penghasilan dalam keluarga selalu dipenuhi dengan
semampunya sesuai dengan penghasilan yang didapat dari pasien ataupun
anak pasien.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Simpulan yang saya dapatkan adalah sebagai berikut :

1. Dari hasil kunjungan rumah yang dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2016
diperoleh nformasi pasien laki-laki usia 36 tahun di diagnosa menderita
Asma Bronchial yang di alami sejak pasien masih kecil. Dimana
karakterisik keluarga pasien merupakan suami yang tinggal dengan
seorang istri dan anak. Rumah yang ditinggali merupakan rumah milik
sendiri dimana dindingnya terbuat dari semen dan kayu dan lantai nya
terbuat dari semen dengan ukuran rumah 10x6 m. Hubungan antara
keluarga dan tetangga harmonis.
2. Faktor risiko pada pasien ini terhadap Asma Bronhial adalah
a. Faktor Lingkungan
b. Aktivitas Fisik
3. Rencana pemecahan masalah kesehatan pasien Asma Bronchial dan
keluarganya yaitu :
a. Melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang faktor resiko,
pencengahan pada Asma Bronchial.
b. Mengingatkan pada pasien tentang pentingnya mengetahui pencetus
dan pencengahan serta pengobatan Asma Bronchial
c. Memberikan semangat dan dukungan emosional kepada pasien,
semangat agar anak pasien tetap berusaha untuk membantu dan
mendukung kesembuhan pasien, terutama memberikan motivasi
kepada pasien untuk tidak patah semangat
d. Melakukan follow up pasien tentang edukasi dan intervensi yang telah
diberikan.

B. Saran

Saran kepada pasien dan keluarganya

30
a) Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna
b) Usahakan setiap hari tidur teratur dan istirahat yang cukup
c) Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.
d) Jendela sebaiknya dibuka pagi- sore hari dan ventilasi diperbaiki dan
dibersihkan, kalau perlu ditambah agar cahaya yang masuk ke dalam
rumah cukup
e) Usahakan setiap hari membersihkan rumah, menata barang-barang
pada tempatnya, terutama prabot yang merupakan tempat singgah
debu iritan
Saran kepada petugas kesehatan

1) Sebaiknya melakukan penyuluhan bukan hanya pada penderita Asma


tetapi semua warga, dan menjelaskan tentang faktor resiko mapun
mencengahnya.
2) Pembuatan rencana/jadwal penyuluhan untuk tiap bulan
3) Penggunaan metode yang lebih bersifat proaktif

1. Saran kepada Keluarga


Diharapkan agar keluarga pasien menjaga pola makan dan melakukan
pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila sakit.
2. Saran kepada Penderita
a. Berusaha untuk lebih memahami penyakit yang dideritanya.
b. Tetap rajin mengontrol kesehatannya ke pelayanan kesehatan
masyarakat terdekat.
c. Tetap rajin melakukan latihan fisik sesuai kondisi pasien, untuk
memperbaiki kesehatan fisik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam


Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press:
Surabaya

2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,


Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In:

31
Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And
Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher; 2006.707-36

3. Bratawijdaya, Karnen. Asma Bronkhial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid


II, Edisi III, BP FKUI, Jakarta, 2006; hal 21-32

4. Djaman Saleh Y, Mangunnegoro H, Hudoyo A, dkk, Kadar Eosinofil pada


Sputum Penderita Asma Bronkhial Dalam Serangan Di rumah Sakit
Umum Pusat Persahabatan Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia 1998;
18:p.5-6

5. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale.


Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 58; No.11;Nopember 2008.

6. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan


Kepustakaan Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan: Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran
No. 141, 2003

7. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta

8. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam PAPDI. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. FK-UI.
Jakarta; 2006. hal. 247-252.

9. Solomon, William R. Ashma bronkhial : Alergi dan lain-lain. In: Price


sylvia A, Wilson Lorraine M. Editor. Patofisiologi Buku I. Edisi IV.
Jakarta : EGC; 2006. hal 784-785

10. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of


Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of
Bilirubin. Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku
University School of Medicine.

32

Anda mungkin juga menyukai