DAFTAR ISI
PRAKATA
TATA TERTIB LABORATORIUM
LAPORAN PRAKTIKUM
MATERI PRAKTIKUM :
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Puji syukur atas segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kasih, karena berkat
dan rahmat-Nya saja maka buku petunjuk praktikum farmakologi ini dapat disempurnakan setiap
tahun. Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi ini diperuntukkan bagi mahasiswa Fakultas Farmasi
semester empat yang memprogram mata praktikum farmakologi sebagai salah satu mata praktikum
wajib. Praktikum ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan
mahasiswa dalam penanganan dan pemilihan hewan coba, metode uji, serta pengolahan dan
interpretasi data pada uji farmakologi obat. Di samping itu, praktikum ini juga memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar bagi mahasiswa skripsi dalam bidang farmakologi.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas jasa para senior
terdahulu dalam memberikan sumbangan ide, bimbingan, dan saran dalam penyempurnaan buku
petunjuk praktikum ini. Terima kasih atas bimbingan Dr. Nelly C. Sugiarso, Apt., atas semangat, ide,
dan materi yang diberikan dalam penyusunan buku petunjuk ini. Tidak lupa juga terimakasih penulis
kepada pimpinan laboratorium terdahulu dan rekan sejawat lainnya yaitu Imelda Liem, S.Si., Apt. dan
dr. Hanny Tanudjaya atas kebersamaan menyusun buku ini. Tidak terlupakan juga dr. Adrianta
Surjadhana, Dra. Idajani Hadinoto, M.S., Apt., Dra. Siti Surdijati., M.S., Apt. dan dr. Hidayat
Dharmasagara atas masukan yang diberikan guna kesempurnaan buku ini.
Akhir kata semoga buku petunjuk praktikum ini berguna bagi adik-adik mahasiswa dan rekan-
rekan sejawat sekalian. Semua masukan dan saran untuk perbaikan buku petunjuk ini akan selalu
dinantikan.
Penulis
Golongan :
Hari :
Jam praktikum :
Kelompok pembuat laporan :
1. ........................ NRP
2. ........................ NRP
3. ...........dst.
1. Pendahuluan
Mencit merupakan hewan yang paling luas penggunaannya dalam eksperimen di bidang medik,
kimia, farmakologi, toksikologi, biologi, dan genetik. Bahan kimia, senyawa, obat, antibodi, sel atau
agen lainnya dapat dievaluasi aktivitas biologisnya dengan cara diberikan pada mencit. Pengetahuan
akan metode dan teknik pemberian obat, deposisi, dan nasib obat dalam tubuh mencit akan membantu
peneliti dalam memilih rute yang paling tepat sesuai tujuan penelitian. Rute pemberian sangat
bergantung pada sifat senyawa dan tujuan penelitian. Semua pemberian senyawa uji harus didasarkan
pada pengetahuan akan karakteristik kimia dan fisikanya. Setiap rute memiliki kelebihan dan
kekurangan, seperti dalam hal absorpsi, bioavailabilitas, dan metabolisme senyawa. Pertimbangan
dalam pemilihan rute meliputi pH, viskositas, konsentrasi, sterilitas, pirogenitas, iritansi dan toksisitas,
adanya senyawa yang membahayakan dan kesejahteraan hewan. Mencit harus dihindarkan atau
diminimalkan dari nyeri, penderitaan, dan bahaya jangka panjang. Oleh karenanya mencit harus
dikekang dengan teknik yang tepat. Personel yang melakukan eksperimen hewan juga harus terlatih
dalam penanganan dan pengekangan hewan coba. Pada akhirnya, rute pemberian, metode, jumlah dan
jenis senyawa yang disuntikkan harus disesuaikan dengan rekomendasi Komisi Etik Penelitian Hewan
Coba dan penelitian harus memperoleh Sertifikat Kelaikan Etik Penelitian pada Hewan Coba (Hirota
and Shimizu, 2012).
Gambar 2. Teknik pengekangan satu tangan. (a) Ekor diambil menggunakan ibu jari dan jari telunjuk
dari satu tangan. (b) Mencit diletakkan di atas tutup kandang dan ditarik perlahan ke belakang. (c) Ekor
dengan cepat digenggam di antara telapak dengan jari tengah/jari manis/jari kelingking lalu pegangan
ekor di antara ibu jari dan jari telunjuk dilepaskan. (d) dan (e) Lipatan kulit pada tengkuk leher segera
digenggam menggunakan ibu jari dan jari telunjuk. (f) Mencit terkekang (Hirota and Shimizu, 2012).
Gambar 3. Prosedur pemberian intragastrik menggunakan jarum sonde. (a) Sebelum menarik leher
mencit; (b) Terbentuk garis lurus antara mulut dan lambung; (c) injeksi intragastrik diberikan
menggunakan spuit 1,0 mL dengan jarum sonde 22G x 1,0 (Hirota and Shimizu, 2012).
Gambar 4. Injeksi subkutan. (a) Injeksi subkutan pada dasar lipatan kulit yang longgar (area leher);
(b) injeksi subkutan pada kuadran kiri bawah (Hirota and Shimizu, 2012).
Gambar 5. Injeksi intraperitoneal pada kuadran kiri bawah (Hirota and Shimizu, 2012).
Gambar 8. Injeksi intradermal pada kulit bagian punggung (Hirota and Shimizu, 2012).
4.10. Inhalasi
Rute ini digunakan untuk eksperimen asma, polusi udara, atau respirasi. Permasalahan utama
dari penggunaan rute ini adalah pembuatan senyawa dalam aerosol bila senyawa uji tidak cukup volatil
dan penentuan dosis senyawa.Ukuran diameter partikel yang optmum antara 0,5-2,00 m (Hirota and
Shimizu, 2012).
Dalam percobaan ini saudara memberikan obat kepada hewan percobaan secara oral, intravena,
intraperitoneal, intramuskular, subkutan, rektal.
Tujuan Praktikum
1. Membedakan efek obat sedatif dan hipnotik pada hewan coba.
2. Mengetahui berbagai instrumen yang dapat digunakan untuk menguji efek sedatif.
Landasan Teori
Sedatif adalah obat yang dapat mengurangi kecemasan dan menimbulkan efek menenangkan
tanpa menimbulkan gangguan pada fungsi mental maupun motorik. Derajat depresi yang ditimbulkan
oleh sedatif harus sesuai dengan efektifitas yang diharapkan.
Hipnotik adalah obat yang dapat menimbulkan dan mempertahankan keadaan tidur seperti tidur
yang alami(diawali dengan rasa kantuk). Depresi yang ditimbulkan lebih kuat daripada sedatif. Pada
umumnya, obat sedatif dapat menimbulkan efek hipnotik dengan meningkatkan dosis pemberian.
Koma _ Obat A
Anestesi _ Obat B
Hipnotik_
Sedasi _
Peningkatan dosis
Barbiturat adalah salah satu golongan obat sedatif hipnotik. Pada dosis sedang, barbiturat akan
mempengaruhi bagian otak yang memiliki sistem koordinasi paling tinggi yaitu neokorteks. Apabila
dosis ditingkatkan, efek obat akan menyebar ke bagian sistem saraf pusat yang lebih rendah sampai
pusat medulla dan sumsum tulang belakang. Efek depresi barbiturat pada pernapasan adalah yang
paling mudah terlihat pada binatang percobaan. Barbiturat juga dapat menghambat ganglion otonom
sehingga tekanan darah dan denyut jantung menurun namun tidak sampai lebih rendah dari keadaan
istirahat atau tidur pada umumnya.
Cara kerja barbiturat pada tingkat molekular adalah dengan memfasilitasi kerja GABA
(inhibitor SSP) pada banyak tempat di susunan saraf pusat yaitu dengan meningkatkan durasi
pembukaan GABA-gated channel pada reseptor GABAA.
2. Perlakuan
Obat disuntikkan secara per ip pada kelompok perlakuan II, III, dan IV. Letakkan mencit pada
alat pengamatan.
Platform
o Dilakukan pengamatan pada aktivitas, sikap tubuh, jumlah jengukan/menit, dan
kecepatan napas/menit masing-masing pada menit ke-5, 10, 15, dan 20. Data
yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Rotarod
o Setelah diamati di platform selama 20 menit, mencit diletakkan di atas rotarod.
Dilakukan pencatatan selisih waktu sejak mencit diletakkan hingga jatuh dari
rotarod. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Activity Cage
o Mencit dimasukkan ke dalam activity cage segera setelah penyuntikan obat.
Dilakukan pencatatan jumlah aktivitas pada menit ke-5, 10, 15, dan 20. Data
yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Hole Board
o Setelah 20 menit berada di dalam activity cage, mencit diletakkan di tengah hole
board. Dilakukan penghitungan jumlah jengukan kepala mencit ke dalam
lubang selama 5 menit. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengenal beberapa metode pengujian analgetika dan menerapkannya.
2. Mahasiswa dapat mengenal penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika.
3. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat grafik
waktu respons vs waktu pengamatan pada metode stimulasi panas.
4. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat tabel
dan grafik jumlah geliatan vs waktu pengamatan pada metode Siegmund.
Landasan Teori
Obat analgetik atau analgetika adalah obat yang dapat menghilangkan atau mengurangi rasa
sakit. Berbeda dengan obat anestetik atau anestetika, analgetika tidak mempunyai atau sedikit
pengaruhnya terhadap sensasi yang lain selain rasa sakit. Sebab-sebab rasa nyeri adalah rangsangan-
rangsangan mekanis, kimiawi, listrik, dan panas, yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada
jaringan dan pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain
histamin, serotonin (5-HT), bradikinin, dan prostaglandin. Zat-zat ini merangsang reseptor-reseptor
nyeri yang terletak pada ujung-ujung saraf nyeri di kulit, selaput lendir, dan jaringan-jaringan lain.
Rangsangan nyeri diteruskan melalui saraf-saraf sensorik ke SSP melalui sumsum tulang belakang ke
thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri.
Analgetika dapat digolongkan ke dalam 2 golongan besar yaitu analgetika opioid dan non opioid.
a. Analgetika Opioid
Analgetika opioid merupakan obat penghilang rasa sakit golongan opioid asli atau sintetiknya
yang memiliki morphine-like action. Analgetik jenis ini dapat menimbulkan ketergantungan bila
dipakai dalam dosis yang tidak sesuai. Termasuk di dalam golongan ini adalah morfin, kodein, dan
senyawa sintetiknya misalnya meperidin (pethidine), levorfanol, metadon, propoksifen, pentasozin,
dan propiram.
Efek analgetik dari analgetika opioid sebenarnya merupakan salah satu dari efek-efek yang
timbul akibat teraktivasinya reseptor opioid. Reseptor ini teraktivasi oleh beberapa transmitor yang
berperan dalam mengatasi rasa nyeri. Transmitor tersebut merupakan suatu peptida (enkefalin,
endorfin, dan dinorfin). Walaupun secara kimiawi analgetika opioid itu berbeda-beda sifatnya, tetapi
mempunyai efek sesuai dengan receptor opioid mana yang lebih banyak dipengaruhi. Receptor (mu)
dan (kappa) berhubungan dengan khasiat analgetika, receptor (sigma) bertanggungjawab terhadap
efek disforia atau efek terhadap psikotomimetik dan receptor (delta) bertanggungjawab terhadap
timbulnya efek pada tingkah laku atau afektif. Dengan demikian efek yang timbul pada pemakaian
narkotika tergantung pada reseptor mana yang banyak dipengaruhi.
Prosedur Praktikum
A. Metode Plantar Test
1. Tikus diletakkan dalam wadah plantar dan dibiarkan beradaptasi selama 5 menit (terlihat tikus
mulai tenang, tidak banyak bergerak).
2. Dilakukan uji pada tikus dan dicatat waktu yang diperlukan sampai tikus mengangkat dan
menjilat kaki depan sebagai waktu respon. Catat sebagai respon normal atau respon sebelum
perlakuan.
3. Tikus diambil dari wadah plantar dan berikan obat secara intraperitoneal kepada tikus
kemudian letakkan lagi pada wadah.
4. Tikus dibiarkan selama 15 menit untuk memberikan mula kerja dari obat.
5. Dilakukan kembali uji pada tikus dan dicatat waktu responnya pada menit ke-15, 30, 45, 60
setelah pemberian obat.
6. Dibuat grafik dari hasil pengamatan masing masing untuk obat A dan B
Respon Time
Waktu pengamatan
7. Data kontrol negatif dibandingkan terhadap obat A dan B
Jumlah geliatan
Waktu pengamatan
7. Data yang diperoleh dari kontrol negatif dibandingkan terhadap obat A dan obat B dan dihitung
persentase inhibisi nyeri masing-masing obat.
Tujuan Praktikum
1. Memahami efek berbagai dosis kafein sebagai stimulan.
2. Mengenal macam-macam alat yang dapat digunakan untuk uji efek stimulan.
Landasan Teori
Kafein merupakan derivat xanthin yang banyak terdapat pada teh dan kopi. Pada susunan saraf
pusat, kafein menstimulasi aktivitas mental dan meningkatkan kapasitas untuk bekerja lebih lama.
Mekanisme kerja kafein adalah dengan memblok reseptor adenosin sehingga adenosin tidak dapat
memodulasi aktivitas adenylyl cyclase. Adenosin menyebabkan sedasi, sedangkan antagonisnya
seperti kafein memberikan efek stimulasi. Selain itu, kafein diduga menyebabkan pelepasan asam
amino eksitator pada susunan saraf pusat seperti glutamat dan aspartat.
Prosedur Praktikum
1. Tiap kelompok mendapat 1 ekor mencit beserta dosis yang ditentukan.
Pengamatan lain
1. Catat waktu penyuntikan.
2. Amati sikap tubuh (kemampuan berdiri di atas ke-4 kaki) dan koordinasi motorik mencit setelah
penyuntikan.
3. Buatlah grafik untuk data activity cage dan platform
Jumlah aktivitas
Waktu pengamatan
Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat memahami proses terjadinya inflamasi.
2. Mahasiswa mengenal obat-obat anti inflamasi dan penggolongannya.
3. Mahasiswa mengetahui metode pengujian obat antiinflamasi (rat paw oedema) dan pengolahan
data yang dihasilkan.
Landasan Teori
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui proses penghambatan
terbentuknya mediator radang (prostaglandin) dari tempat-tempat pembentukannya. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, obat antiinflamasi terbagi dalam 2 golongan yaitu :
- golongan steroid : bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel
sumbernya, contoh : kortikosteroid;
- golongan non steroid : bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang
berperan pada biosintesa prostaglandin, contoh : aspirin, indometasin, fenilbutason, dll.
Sampai sekarang fenomena pada tingkat bioseluler masih belum dapat dijelaskan secara rinci,
walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi meliputi
kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke jaringan
radang. Gejala proses radang yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio laesa.
Selama berlangsungnya fenomena radang banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal
antara lain : histamin, 5-HT, faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin.
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu
kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun
demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.
Hal ini didasarkan atas penghambatan prostaglandin. Golongan obat ini menghambat enzim
siklooksigenase hingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu . Setiap obat menghambat
siklooksigenase dengan cara yang berbeda.
Obat-obat AINS ditinjau dari segi efektivitasnya dapat dibagi dalam 3 kelompok :
1. Efek antiinflamsi lemah : paracetamol.
2. Efek antiinflamasi ringan :
a. derivat asam propionat : fenbufen, ketoprofen, ibuprofen, naproksen;
b. derivat asam fenamat : asam mefenamat;
c. obat non asam : nabumeton.
3. Efek antiinflamasi kuat :
a. derivat asam salisilat : aspirin, diflunisal , benorilat, salsalat;
b. derivat pirasolon : oksifenbutason, antipirin, aminopirin;
c. derivat indol asam asetat : diklofenak, indometasin, sulindak, tolmetin;
d. derivat oksikam : piroksikam.
Eksperimen
Pada eksperimen ini metode yang digunakan adalah penghambatan pembengkakan udem pada
telapak kaki tikus putih dengan induksi karagenan. Karagenan disuntikkan subkutan pada telapak kaki
belakang tikus sehingga menyebabkan udem. Udem dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang telah
diberikan sebelumnya. Volume udem diukur dengan alat pletysmometer dan dibandingkan terhadap
udem yang tidak diberi obat antiinflamasi. Efektivitas obat dinilai dari presentase proteksi yang
diberikan terhadap pembentukan udem.
Prosedur Praktikum
1. Sebelum mulai percobaan, tikus ditimbang berat badannya kemudian diberi tanda untuk tiap-
tiap tikus.
2. Dengan spidol berikan tanda batas pada sendi kaki belakang kiri/kanan untuk setiap tikus. Hal
ini bertujuan agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama.
3. Pada tahap awal, volume kaki setiap tikus diukur dan digunakan sebagai volume dasar untuk
setiap tikus (volume kaki saat t=0). Pada setiap kali pengukuran volume tinggi cairan pada
alat diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran. Diusahakan jangan sampai ada
air raksa yang tumpah.
4. Penyuntikan dapat dilakukan dengan 2 cara :
Cara A :
Karagenan disuntikkan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml pada telapak kaki kiri/kanan
tikus yang telah ditandai, dibiarkan selama 10 menit setelah itu obat disuntikkan
secara intraperitoneal.
Volume kaki yang disuntik karagenan diukur pada menit ke-5 dan 10 untuk mengamati
pembentukan edema.
Setelah penyuntikan obat, volume kaki pada menit ke-10, 15, 30, 45, dan 60 diukur
untuk menghitung persentase inhibisi edema.
atau
Cara B :
Setelah disuntik obat langsung suntikkan karagenan secara intraplantar sebanyak 0,1
ml pada telapak kaki kiri / kanan tikus yang telah ditandai.
Lakukan pengukuran volume kaki yang disuntik karagen setiap 10, 15, 30, 45, dan 60
menit setelah penyuntikan obat, untuk menghitung prosentase inhibisi edema. Catat
perbedaan volume kaki untuk setiap pengukuran
Kelompok
Kelompok Perlakuan
Praktikum
I Profenid Cara A
II Kontrol (karagenan saja) + Profenid Cara B
III Voltaren Cara A
IV Voltaren Cara B
5. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung presentase inhibisi edema dan bandingkan hasil
yang diperoleh untuk kelompok A dan B. Kemudian bahas apakah terjadi perbedaan hasil.
6. Tabel Volume edema, prosentase volume edema, dan prosentase inhibisi edema
Volume Udem
Tikus
10 15 30 45 60 90
1
2
3
4
% inhibisi udem
waktu
Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengenal metode pengujian antipiretik dan menerapkannya.
2. Mahasiswa dapat mengenal obat antipiretika dan cara kerjanya.
3. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan.
Landasan Teori
Antipiretika adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam. Antipiretik
mempunyai suatu efek pada termostat hipotalamus yang berlawanan dengan zat pirogen. Penurunan
demam oleh antipiretik seringkali melalui pengurangan pembuangan panas daripada pengurangan
produksi panas.
Sintesis PGE2 tergantung pada peran enzim sikooksigenase. Asam arakhidonat merupakan
substrat siklooksigenase yang dikeluarkan oleh membran sel. Antipiretik berperan sebagai inhibitor
yang poten terhadap siklooksigenase. Potensi bermacam-macam obat secara langsung berkaitan
dengan inhibisi siklooksigenase otak. Asetaminofen merupakan penghambat siklooksigenase yang
lemah di jaringan perifer dan aktivitas antiinflamasinya tidak begitu berarti. Di otak, asetaminofen
dioksidasi oleh sistem sitokrom p450 dan bentuk teroksidasinya menghambat enzim siklooksigenase.
Prosedur Praktikum
1. Mencit ditimbang berat badannya.
2. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit sebelum perlakuan (T=0) dengan cara memasukkan
ear thermometer pada telinga bagian dalam (gendang telinga) mencit.
3. Pepton disuntikkan secara s.c. pada bagian tengkuk mencit sebagai induktor panas.
4. Setelah 2 jam suhu tubuh mencit diukur. Apabila terjadi peningkatan suhu sebesar 20C,
diberikan paracetamol sesuai dosis tiap kelompok secara per oral.
5. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit setelah pemberian paraseramol, yaitu pada menit ke-
15, 30, 45, 60 dan 90.
6. Data ditabulasikan dan dibuat grafik suhu mencit setiap waktu.
Suhu telinga
Waktu
Tujuan Praktikum
1. Memahami efek berbagai obat pada diameter pupil.
2. Memahami efek berbagai obat pada refleks korneal.
3. Memahami efek berbagai obat pada refleks cahaya.
4. Memahami efek berbagai obat pada tekanan intraokular.
Landasan Teori
Iris terdiri dari 2 tipe otot, yaitu otot sirkular dan radial. Otot sirkular disarafi oleh sistem
parasimpatis dan otot radial dipersarafi oleh sistem simpatis. Rangsangan terhadap sistem saraf
simpatis dan parasimpatis akan menimbulkan midriasi dan miosis, sedangkan kelumpuhan otot akan
menimbulkan efek yang berlawanan dengan yang seharusnya.
Prosedur Praktikum
1. Dilakukan pengukuran diameter dari pupil kanan dan kiri (dengan menggeser penggaris ke
arah diameter pupil). Dicatat pula tekanan intraokularnya (low, normal, high). Refleks cahaya
diuji dengan menggunakan senter dan refleks kornea diuji dengan menggunakan kapas.
2. Mata kanan digunakan sebagai kontrol dan mata kiri untuk perlakuan.
3. Larutan fisiologis NaCl 0,9% diteteskan pada mata kanan dan obat pada mata kiri.
4. Dilakukan pengukuran diameter pupil, tekanan intraokular, refleks cahaya, dan refleks kornea.
5. Hasil pencatatan dimasukkan ke dalam tabel.
Catatan :
1. Selalu gunakan mouse dan klik kiri untuk mengerjakan simulasi.
2. Selalu gunakan larutan fisiologis NaCl 0,9% sebagai kontrol untuk semua obat.
3. Pengukuran diameter pupil harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah meneteskan larutan
fisiologis ataupun obat.
4. Gunakan satu macam obat untuk satu ekor kelinci. Apabila akan menggunakan macam obat
yang lain, gunakan kelinci baru.
5. Gunakan skala yang tersedia untuk mengukur diameter pupil. Setiap bagian berarti 1 mm.
Perintah langkah2
pengerjaan
Petunjuk
pengerjaan
Pupil
Penggaris Tempat untuk perlakuan
Tekanan
intraocular
.dst
Tujuan Praktikum
1. Memahami efek obat kolinergik pada kelenjar ludah.
2. Memahami efek obat antikolinergik pada kelenjar ludah.
Landasan Teori
Pemberian zat kolinergik pada hewan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat
dihambat oleh zat antikolinergik. Eksperimen dapat digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi
efek zat kolinergik pada neuroefektor dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi
sebagai antagonisme. Hewan yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.
Pilokarpin adalah suatu parasimpatomimetik kuat yang bekerja pada organ-organ yang
diinervasi oleh sistem saraf kolinergik post ganglion. Pilokarpin tidak memperkuat kerja asetilginin.
Pilokarpin merangsang sekresi kelenjar-kelenjar ludah, bronkhi, lambung, dan usus. Penambahan
aktivitas dari kelenjar-kelenjar menyebabkan lancarnya peredaran darah pada kelenjar-kelenjar itu
sendiri, sebagian akibat aktivitas kelenjar-kelenjar itu sendiri, sebagian lain oleh pengaruh pilokarpin
yang memiliki efek dilatasi terhadap pembuluh-pembuluh darah kelenjar. Pilokarpin sering dipakai
untuk merangsang pembentukan (pengeluaran) saliva pada penderita yang mengeluh mulut kering
selama pengobatan dengan ganglion bloker.
Prosedur Praktikum
1. Mencit disedasikan dengan fenobarbital (i.p) ditunggu 15-30 menit atau sampai mencit tertidur.
2. Pilokarpin disuntikkan (i.m) dan dicatat waktu penyuntikan.
3. Mencit ditidurkan pada kertas saring yang telah dicampur dengan serbuk metilen blue.
4. Saliva yang diekskresikan akan keluar dari mulut mencit dan membasahi kertas saring (catat
saat muncul efek salivasi) selama 5 menit.
5. Diameter saliva mencit diukur untuk mengukur luas area saliva yang tertampung.
6. Dengan segera atropin sulfat disuntikkan pada mencit.
7. Mencit ditidurkan di kertas saring yang baru selama 5 menit.
8. Diameter saliva mencit diukur untuk mengukur luas area saliva yang tertampung.
9. Luas area setelah pemberian pilokarpin dan atropin dibandingkan.
Bahan Uji Dosis (mg/kg) Rute Pemberian Luas Area Selama 5 Menit
Kontrol (aquadest) - i.p.
Pilokarpin 5 i.m.
Atropin 0,25 i.p.
Tujuan Praktikum
1. Memahami efek berbagai obat pada tekanan darah arterial.
2. Memahami efek berbagai obat pada kecepatan denyut jantung.
3. Memahami efek berbagai obat pada kekuatan kontraksi jantung.
Landasan Teori
Jantung mempunyai kolinoseptor muskarinik, 1-adrenoseptor, dan reseptor adenosin.
Stimulasi pada sistem muskarinik menurunkan kecepatan denyut jantung dan stroke volume sehingga
terjadi penurunan tekanan darah.
Pembuluh darah mempunyai 1-adrenoseptor yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
meningkatkan tahanan perifer dan 2-adrenoseptor yang menyebabkan vasodilatasi. Angiotensin I
diubah menjadi Angiotensin II yang memberikan efek vasokonstriksi.
Puncak grafik
3. Obat dipilih pada Standard Drugs sesuai yang ditentukan oleh asisten beserta dosisnya.
Dibuat grafik sepanjang 1 kotak untuk setiap perlakuan dosis obat dengan klik Start dan
Stop.
4. Setelah mendapatkan grafik dari berbagai dosis obat, hasilnya dicatat ke dalam tabel. Puncak
grafik diambil sebagai data.
Dari tabel di atas dibuat kurva dosis-respons untuk masing-masing ABP, HCF dan HR dengan
absis peningkatan dosis dan ordinat ABP, HCF dan HR.
Tujuan Praktikum
1. Memahami efek berbagai dosis diuretika pada tikus.
2. Menghitung persentase volume kumulatif urine.
Landasan Teori
Diuretika adalah obat-obatan atau senyawa yang dapat meningkatkan volume urine dengan
cara meningkatkan ekskresi ion Na+ dan CL- atau HCO3 atau menurunkan reabsorpsi elektrolit diatas
pada tubulus ginjal. Diuretika mempengaruhi 3 proses fisiologis transpor elektrolit yaitu filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.
Prosedur Praktikum
1. Tikus dipuasakan makan selama lebih kurang 16 jam, minum tetap diberikan.
2. Tikus diberikan air hangat atau NaCl fisiologik secara per oral sebanyak 50 ml/kgBB kemudian
disuntik furosemid.
3. Tikus ditempatkan dalam kandang khusus yang tersedia dan urin yang diekskresikan
ditampung
4. Dilakukan pencatatan jumlah urin kumulatif setiap kurun 10 menit selama 1 jam.
5. Pada akhir praktikum tikus yang mendapat obat furosemid diberikan NaCl sebanyak 7 ml
secara peroral.
Pengamatan
1. Dilakukan pentabelan data yang diperoleh, yaitu pada saat mulai muncul efek, frekuensi
urinasi, volume urin kumulatif, warna, kejernihan, pH, dan identifikasi zat-zat dalam urin
secara kualitatif.
2. Dihitung presentasi volume kumulatif urin tikus yang diekskresikan:
Tujuan Praktikum
1. Memahami efek insulin pada kadar gula darah.
2. Mengenal metode uji antidiabetik dengan uji toleransi glukosa (GTT).
Landasan Teori
Insulin merupakan suatu hormon protein yang disintesa oleh sel beta dari pulau Langerhans
pankreas. Hormon ini disamping berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein juga
berperan dalam transport berbagai zat melalui membran sel. Sediaan insulin terutama digunakan untuk
pengobatan diabetes melitus, dimana rute pemberiannya dilakukan secara parenteral karena insulin
diuraikan oleh getah-getah lambung. Kadar insulin dalam sediaan mempunyai hubungan yang erat
dengan dosis yang diberikan dan dengan intensitas efek hayatinya Penetapan kadar gula darah dapat
dilakukan dengan berbagai cara, salah satu cara ialah dengan metode enzimatik Glukosa PAP (Roche).
KGD
waktu
Tujuan
Dapat menerapkan metode skrining farmakologi dalam penentuan aktivitas dan potensi suatu
obat atau senyawa baru.
Dapat mengaitkan gejala-gejala yang diamati dengan sifat farmakologi suatu obat.
Memahami faktor-faktor yang berperan dalam skrining suatu senyawa baru.
Landasan Teori
Skrining farmakologi terhadap obat suatu senyawa baru ditunjukkan untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai aktivitas kerja farmakologi dari obat atau senyawa tersebut. Program
skrining meliputi serangkaian pengamatan dan evaluasi hasil-hasil pengamatan. Pada umumnya
program skrining dimulai dengan percobaan-percobaan terhadap hewan, dan senyawa-senyawa yang
diseleksi berdasarkan hasil percobaan pada hewan kemudian dipastikan khasiatnya pada manusia.
Tergantung dari latar belakang yang ada dan tujuan yang ingin dicapai, program skrining dapat bersifat
blind screening, programmed screening, dan skrining sederhana.
Skrining buta adalah program skrining terhadap senyawa baru yang tidak diketahui aktivitas
farmakologinya. Skrining terarah dilakukan pada senyawa yang telah dapat diperkirakan khasiatnya
dan diharapkan dapat memeberikan hasil yang lebih teliti dari skrining buta. Apabila pengujian
dilakukan guna mengetahui potensi farmakologi suatu senyawa dengan khasiat tertentu disebut
skrining sederhana.
Program skrining yang terbatas dilakukan terhadap senyawa yang dapat diperkirakan
khasiatnya, misalnya senyawa yang dikembangkan atau dimodifikasi dari senyawa lain yang diketahui
khasiat dan potensinya. Hasil skrining ini diharapkan lebih teliti dari pada blind screening. Apabila
pengujian dilakukan untuk mengetahui potensi farmakologi suatu obat dengan khasiat tertentu,
skrining menjadi sederhana dan terarah. Hal ini dilakukan misalnya pada penentuan aktivitas
hipoglikemik suatu senyawa dengan mengukur kadar gula darah.
Pendekatan skrining farmakologi obat yang umum dilakukan adalah secara in vivo pada hewan
percobaan yang tidak sakit ataupun disakitkan. Semua aktivitas farmakologi, baik yang diinginkan
maupun yang tidak diinginkan harus dapat teramati. Sifat-sifat farmakologi obat yang dapat ditetapkan
dari hasil skrining farmakologi antara lain adalah depresan atau stimulan susunan saraf pusat,
simpatomimetika, analgetika, vasodilator, vasokonstriktor dan relaksan otot.
Skrining buta dimulai dengan pemberian dosis yang bervariasi melalui rute pemberian tertentu
pada beberapa ekor hewan percobaan dan efek yang muncul diamati. Pemberian dosis pertama ini
dapat diperbesar atau diperkecil tergantung pada efek yang terjadi, dan percobaan diulangi lagi pada
hewan lain sehingga diperoleh gambaran pasti mengenai aktivitas farmakologi yang diberikan oleh
senyawa aktivitas tersebut.
Dalam blind screening pada mulanya dilakukan test neurofarmakologi, toksisitas (DL-50),
kemudian test terhadap organ yang diisolasi serta pengujian lain yang dianggap penting.
Uji neurofarmakologik ini meliputi :
a. pengamatan terhadap sikap;
b. pengamatan neurologis;
c. fungsi otonomik.
Prosedur Praktikum
1. Bobot badan
Masing-masing mencit ditimbang berat badannya.
2. Platform
Uji ini bertujuan untuk mengikuti aktivitas umum dan rasa ingin tahu mencit. Caranya mencit
ditempatkan di tengah-tengah panggung yang bulat dengan diameter 30 cm dan tinggi 45 cm
(platform). Sifat ingin tahu diamati dari tindakan hewan menjengukkan kepala secara sempurna
keluar ke tepi panggung. Jumlah jengukkan tiap menit dihitung dan dibandingkan terhadap
perilaku hewan kontrol. Dihitung berapa kali mencit menjenguk ke permukaan luar platform.
Selama mencit berada di atas panggung, diamati pula hal-hal berikut; aktivitas motorik mencit
(turun atau naik), fenomena straub (ekor mencit naik ke atas), piloereksi (mengamati bulu
mencit bagian punggung berdiri / tidak), dan ptosis (untuk melihat kelopak mata tertutup /
hampir tertutup).
3. Lakrimasi
Lakrimasi yaitu pengeluaran air mata dari hewan percobaan akibat pengaruh dari obat-obat
yang mempengaruhi sistem saraf otonom.
4. Refleks
Refleks yang diamati meliputi: refleks pineal, refleks kornea, refleks fleksi. Kehilangan ketiga
refleks ini salah satu diantaranya menandakan relaksasi otot yang disebabkan oleh relaksan
otot. Cara pemeriksaan : bagian dalam telinga dan kornea mata disentuh dengan alat maka
telinga segera digerakkan dan mata segera berkedip, telapak kaki mencit dijepit maka mencit
segera menarik kakinya.
5. Uji katalepsi
Cara : kaki depan mencit diletakkan pada pensil yang digerakkan dari atas ke bawah sampai 3
cm di atas permukaan meja. Mencit normal yang tidak kataleptik tidak akan membiarkan
kakinya di atas pensil tersebut. Efek katalepsi diberikan oleh neuroleptik dan obat-obat pada
dosis tinggi.
7. Uji gelantung
Alat yang digunakan adalah sepotong kawat kaku yang dipasang horisontal 30 cm di atas
permukaan meja. Tiap mencit kaki depannya digantungkan pada kawat tersebut. Bila dalam
waktu 5 menit tidak berhasil untuk menaiki kawat, sekurang-kurangnya dengan menggunakan
salah satu kaki belakangnya, mencit dinilai telah kehilangan kemampuannya untuk
memulihkan secara fisik posisi dirinya (rigthting ability). Jika mencit tidak mampu
menggelantung dan jatuh, mencit dinilai telah kehilangan refleks untuk menggelantung (grip
refleks). Uji gelantung ini untuk membedakan neuroleptik dari hipnotik, trankuilansia, atau
relaksasi otot-otot. Mencit dapat menggelantung tapi tidak dapat memulihkan posisinya karena
pengaruh hipnotik. Mencit tidak dapat menggelantung karena tidur akibat pengaruh dari
trankuilansia atau muscle relaxant sebab otot dalam keadaan relaksasi.
8. Uji haffner
Caranya dengan menjepit pangkal ekor mencit dengan pinset, maka mencit normal akan
langsung berpaling atau mencicit. Kehilangan efek ini terjadi bila mencit berada di bawah
pengaruh analgetika narkotika.
Hasil yang diperoleh dari skrining buta ini dapat untuk memperkirakan golongan farmakologi senyawa
aktif yang diuji. Untuk memastikan perkiraan efek ini, maka selanjutnya diterapkan teknik khusus
yang lebih spesifik.
refleks pineal
2. Uji refleks refleks kornea relaksasi otot
refleks fleksi
3. Uji katalepsi efek katalepsi oleh neuroleptika dan obat pada dosis tinggi
6.a. Uji haffner pengaruh analgetika narkotika (obat analgetika terhadap mencit)
b. Uji retablisemen pengaruh obat-obat penenang
PENGAMATAN KE-
No. JENIS UJI
I II III
1 PLATFORM
2 AKTIVITAS MOTORIK
3 STRAUB
4 PILOEREKSI
5 PTOSIS
6 REAKSI PINEAL
7 REAKSI KORNEA
8 SIKAP TUBUH
9 MENGGELANTUNG
10 RETABLISHMENT
11 FLEKSI
12 LAKRIMASI
13 HAFFNER
14 MIDRIASIS
15 KOLIK ACTH
16 MORTALITAS
GEJALA LAIN-LAIN :
-
.
-
.
-
.
-
.
TANGGAL PENGAMATAN :
ZAT (KODE) :
RUTE PEMBERIAN :
HEWAN COBA : JENIS KELAMIN : BOBOT :
PUASA : a. YA b. TIDAK
2. Hirota, J. and Shimizu, S., 2012, Routes of Administration, in: Hedrich, H.J. (Ed.), The
Laboratory Mouse, 2nd ed., Academic Press, London.
4. Laurence & Bacarach, 1964, Evaluation of Drug Activities: Pharmacometrics, Vol. II,
Academic Press, London and New York.
5. Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw Hill,
Singapore.
6. Suryawati et al., 1993, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Kimia Klinik,
Pengembangan dan Pemanfaatan Bahan Alam.
9. Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. I, Academic Press,
New York.
10. Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II, Academic Press,
New York.
11. Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of Substances to
Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to Consider, Journal of the
American Association for Laboratory Animal Science, 50(5), 600-613.
12. Vogel, H.G., 2002, Drug Discovery and Evaluation, Springer-Verlaag, Berlin.