Anda di halaman 1dari 10

Apa Kabar Penyandang "Down Syndrome" di Indonesia?

21 Maret 2016 17:16:59 Diperbarui: 21 Maret 2016 20:33:59 Dibaca :


592 Komentar : 7 Nilai : 7 Durasi Baca : 2 menit Pekerja dengan down
syndrome (Sumber: writestartinternational.com)
Tahukah Anda bahwa setiap 21 Maret diperingati sebagai Hari
Down Syndrome Sedunia? Peringatan ini bertujuan meningkatkan
kesadaran publik akan down syndrome. Down syndrome menimpa satu
di antara 700 kelahiran hidup atau 1 di antara 800-1.000 kelahiran bayi.
Diperkirakan saat ini terdapat empat juta penderita down syndrome di
seluruh dunia, dan 300 ribu kasusnya terjadi di Indonesia (angka yang
cukup besar bukan?). Down syndrome (DS) dapat diartikan sebuah
kondisi bawaan akibat terjadinya trisomi21 yang mengakibatkan
terjadinya kelebihan jumlah kromosom 21. Kelainan kromosom dapat
disebabkan akibat adanya proses translocation (kromosom yang
mengalami kerusakan melekat atau berpindah pada kromosom lain) dan
mosaicims. Namun, penyebab terjadinya DS sampai saat ini belum
diketahui secara pasti. Dalam beberapa jurnal disebutkan bahwa
penyebab DS diakibatkan adanya kurangnya yodium saat proses
perkembangan janin, adanya faktor genetik (bawaan), dan akibat usia
orang tua terlalu tua atau terlalu dini. Rata-rata penderita DS memiliki IQ
di bawah 70 sehingga seringkali mengalami gangguan adaptif perilaku.
Namun, hambatan kecerdasan tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
sedang atau rendah sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
penderita DS mampu bersekolah di sekolah umum. Saat ini kehidupan
penyandang DS di Indonesia rentan terhadap diskriminasi akibat
minimnya informasi penyakit, pengobatan, pendidikan, akses publik,
dan terutama adalah peluang kerja penyandang DS sangatlah terbatas.
Dari segi pendidikan pendidikan, jumlah SLB di Indonesia kurang dari
1% (jumlah SLB hanya 1.312 sekolah dari 170.891 sekolah biasa).
Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif, praktiknya cenderung
dipaksakan. Banyak sekolah inklusif tanpa guru khusus pendamping
anak berkebutuhan khusus, belum lagi masalah kurikulum yang jauh
dari kata sempurna ( Irwanto, 2006). Hasil sensus penduduk 2010, dari
237 juta penduduk Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus usia
sekolah (5-18 tahun) ada 355.859 anak. Dari jumlah itu, 74,6 persen
belum memperoleh layanan pendidikan. Segi pekerjaan, kesempatan
kerja bagi disabilitas (DS termasuk di dalamnya) masih rendah,
Menurut ILO dari 24 juta orang penyandang disabilitas baru sekitar 11
juta orang yang tercatat memiliki pekerjaan (2010). Padahal, kewajiban
tiap perusahaan untuk menyerap 1% pekerja disabilitas termasuk DS
sudah diatur pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.: 01.KP.01.15.2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan (dikutip
dari http://www.hukumonline.com/). Selain itu,belum rampungnya
rancangan undang-undang (RUU) Penyandang Disabilitas yang akan
menggantikan Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, dengan merujuk UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas
(Pahlevi, 2016) kian mempersulit realisasi penyerapan tenaga kerja
disabilitas. Semoga pemerintah segera dapat menciptakan peluang
yang sama bagi penyadang DS dan penderita disabilitas lainnya. Kelak,
setiap perusahaan punya minimal satu pegawai dari penyandang
disabilitas yang memenuhi syarat dan kualifikasi per 100 pekerjanya dan
terlebih, kelak setiap kecamatan memiliki pusat pendidikan inklusi
dengan kurikulum yang lebih spesifik. Yah, tentu saja perubahan dimulai
dari kita sendiri, ubah sudut pandang, stop diskriminasi dan beri
kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas (amin).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hapy.ardia/apa-kabar-
penyandang-down-syndrome-di-indonesia_56efca1bfe22bd840753eb55

Autisme or Down Syndrome?


31 Maret 2015 22:19:05 Diperbarui: 17 Juni 2015 08:43:00 Dibaca : 56
Komentar : 1 Nilai : 0 Durasi Baca : 2 menit
Autisme adalah keadaan bayi dimana bayi tersebut mengalami
keterlambatan dalam perkembangannya, yang perlu digaris bawahi
autisme bukan merupakan penyakit bawaan. Penyakit ini disebabkan
oleh beberapa faktor, pada sebagian besar anak yang mengalami autis
biasanya mereka mempunyai masalah sensorik yang akan
mengakibatkan mereka menjadi lebih sensitif pada rangsangan dari luar.
Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai adanya
gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, gangguan indrawi, pola
bermain dan perilaku emosi. Penderita autisme tidak bisa dilihat ketika
bayi baru lahir, namun ciri-ciri anak penderita autisme dapat diketahui
sejak umur 6 bulan. Bayi autisme cenderung enggan dan juga lebih
menghindari tatapan mata si ibu. Biasanya bayi autisme mengalami
pertumbuhan sama dengan yang lain, akan tetapi akan berhenti pada
usia 12 24 bulan, dan kemudian baru akan menunjukkan ciri anak
autisme misalnya keterlambatan dalam berbicara. Ciri anak autis yang
menonjol terletak pada mata dan bibir, dimana mata anak yang
mengalami autis tidak mampu fokus dalam satu titik dan bibir sangat
terlihat menonjol ketika dia tidak mampu menyampikan apa yang dia
maksut dengan benar dan cenderung mengulang-ngulang dalam
pengucapan. Ini bukan diakibatkan oleh cacat wicara atau yang lainnya,
namun disebabkan oleh ketrampilan berbicara mereka yang mengalami
gangguan. Sedangkan down syndrome adalah suatu kondisi
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan
adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini
terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling
memisahkan diri saat terjadi pembelahan, kelainan kromosom yang
memberikan gambaran khas pada si anak. Di mana pun daerah yang
terdapat anak down syndrome, maka akan sama saja. Pada umumnya
gejala yang ditimbulkan penderita down syndrome sangat terlihat,
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya
penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil
dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala
mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar,
mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia).
Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa
tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari
pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara
itu lapisan kulitbiasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan
kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan
pada sistem organ yang lain. Pada bayi baru lahir kelainan dapat
berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya berakibat
fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistem
pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus
(esophageal atresia) atauduodenum(duodenal atresia). Apabila anak
sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan
diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil
terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang
pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil
di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan
janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom
down lebih tinggi. Jadi, perbedaan yang dapat diambil adalah : Seorang
anak penderita autisme itu bukan penyakit turunan, akan tetapi lebih
kepada keterlambatan perkembangan anak. Sedangkan down
syndrome adalah sebuah penyakit kelainan kromosom yang bisa
disebabkan oleh gen kedua orangtua maupun kesalamahan
mengkonsumsi jenis makanan pada saat ibu mengandung. Penderita
autisme tidak dapat dilihat ketika bayi baru lahir, akan tetapi jika
penderita down syndrome, sejak lahir pun sudah tampak terlihat ciri-
cirinya ditandai perubahan betuk biolois si anak sendiri. Penderita
autisme mengalami pertumbuhan yang relatif sama dengan bayi normal
lainnya, tetapi akan berhenti pada bulan-bulan tertenu, sedangkan down
syndrome adalah kelainan yang dibawa sejak dia berada dalam
kandungan sang ibu. Pada dasarnya penderita autis bukan berarti down
syndrome, autisme mempunyai IQ yang lebih dari rata-rata anak pada
umumnya, hanya kemampuan dia menyampaikan apa yang
dikehendakinya itulah yang membedakannya. Disini, penulis dapat
menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua yang telah diciptakan oleh
Sang Khaliq mempunyai porsi tersendiri. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan dan pada intinya kita sebagai muslim yang
baik adalah wajib mensyukuri segala apa yang telah diberikan Allah
SWT, semua di dunia tidak ada yang sempurna karena sesungguhnya
kesempurnaan hanya milik Rabb .. J

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/khitthohzamzamy/autisme-
or-down-syndrome_5529b48f6ea8343c5b552cfb
Tahukah Anda bahwa setiap 21 Maret diperingati sebagai Hari Down
Syndrome Sedunia? Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran
publik akan down syndrome. Down syndrome menimpa satu di antara
700 kelahiran hidup atau 1 di antara 800-1.000 kelahiran bayi.
Diperkirakan saat ini terdapat empat juta penderita down syndrome di
seluruh dunia, dan 300 ribu kasusnya terjadi di Indonesia (angka yang
cukup besar bukan?). Down syndrome (DS) dapat diartikan sebuah
kondisi bawaan akibat terjadinya trisomi21 yang mengakibatkan
terjadinya kelebihan jumlah kromosom 21. Kelainan kromosom dapat
disebabkan akibat adanya proses translocation (kromosom yang
mengalami kerusakan melekat atau berpindah pada kromosom lain) dan
mosaicims. Namun, penyebab terjadinya DS sampai saat ini belum
diketahui secara pasti. Dalam beberapa jurnal disebutkan bahwa
penyebab DS diakibatkan adanya kurangnya yodium saat proses
perkembangan janin, adanya faktor genetik (bawaan), dan akibat usia
orang tua terlalu tua atau terlalu dini. Rata-rata penderita DS memiliki IQ
di bawah 70 sehingga seringkali mengalami gangguan adaptif perilaku.
Namun, hambatan kecerdasan tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
sedang atau rendah sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
penderita DS mampu bersekolah di sekolah umum. Saat ini kehidupan
penyandang DS di Indonesia rentan terhadap diskriminasi akibat
minimnya informasi penyakit, pengobatan, pendidikan, akses publik,
dan terutama adalah peluang kerja penyandang DS sangatlah terbatas.
Dari segi pendidikan pendidikan, jumlah SLB di Indonesia kurang dari
1% (jumlah SLB hanya 1.312 sekolah dari 170.891 sekolah biasa).
Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif, praktiknya cenderung
dipaksakan. Banyak sekolah inklusif tanpa guru khusus pendamping
anak berkebutuhan khusus, belum lagi masalah kurikulum yang jauh
dari kata sempurna ( Irwanto, 2006). Hasil sensus penduduk 2010, dari
237 juta penduduk Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus usia
sekolah (5-18 tahun) ada 355.859 anak. Dari jumlah itu, 74,6 persen
belum memperoleh layanan pendidikan. Segi pekerjaan, kesempatan
kerja bagi disabilitas (DS termasuk di dalamnya) masih rendah,
Menurut ILO dari 24 juta orang penyandang disabilitas baru sekitar 11
juta orang yang tercatat memiliki pekerjaan (2010). Padahal, kewajiban
tiap perusahaan untuk menyerap 1% pekerja disabilitas termasuk DS
sudah diatur pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.: 01.KP.01.15.2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan (dikutip
dari http://www.hukumonline.com/). Selain itu,belum rampungnya
rancangan undang-undang (RUU) Penyandang Disabilitas yang akan
menggantikan Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, dengan merujuk UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas
(Pahlevi, 2016) kian mempersulit realisasi penyerapan tenaga kerja
disabilitas. Semoga pemerintah segera dapat menciptakan peluang
yang sama bagi penyadang DS dan penderita disabilitas lainnya. Kelak,
setiap perusahaan punya minimal satu pegawai dari penyandang
disabilitas yang memenuhi syarat dan kualifikasi per 100 pekerjanya dan
terlebih, kelak setiap kecamatan memiliki pusat pendidikan inklusi
dengan kurikulum yang lebih spesifik. Yah, tentu saja perubahan dimulai
dari kita sendiri, ubah sudut pandang, stop diskriminasi dan beri
kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas (amin).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hapy.ardia/apa-kabar-
penyandang-down-syndrome-di-indonesia_56efca1bfe22bd840753eb55

Kegiatan
Ekstrakurikuler untuk Siswa Penyandang Cacat
Para siswa di Crotched Mountain School selalu memiliki sesuatu untuk dilakukan.
Selama sekolah, setelah sekolah, malam hari dan akhir pekan, siswa memiliki
berbagai kegiatan untuk memilih dari yang tidak hanya terlibat dan menghibur,
tetapi juga mendukung dan memajukan keterampilan fisik, sosial dan akademik
individu dan tujuan.

Apa memang menyenangkan juga pendidikan dan sehat - dari tarian adaptif,
pendidikan jasmani, olahraga kompetitif, seni teater, festival dan berkebun -
waktu siswa setelah sekolah dan pada akhir pekan itu dihabiskan di antara
teman-teman, keluarga dan anggota staf peduli dan berpengetahuan. Kegiatan
yang direncanakan dan disesuaikan oleh para profesional di bidang seni,
pendidikan dan rekreasi sehingga setiap siswa dapat berpartisipasi untuk
sepenuhnya. Kegiatan dirancang untuk memperkuat keterampilan, memenuhi
kebutuhan sensorik, membangun harga diri dan memberikan interaksi sosial.

Seni Program Merangsang Kreativitas


Kami menawarkan banyak peluang bagi siswa untuk mengeksplorasi dan
mengekspresikan kreativitas mereka melalui seni visual dan pertunjukan. drama
sekolah dan sering menunjukkan bakat membawa siswa bersama-sama dalam
bertindak, desain panggung, desain kostum dan pengalaman musik. Bahan Aktif
kami Dance Troupe menawarkan siswa kesempatan untuk mengeksplorasi tari
dan berpartisipasi dalam produksi tari skala penuh. Selain itu, kami Healing Arts
dan program artis-in-residence memperkaya kehidupan siswa melalui
pengalaman yang unik dan sering dinamis seperti lingkaran drum, membuat
layang-layang, fotografi, videografi dan patung.

Terapi Rekreasi Aktif Terlibat Siswa


Dengan kampus di pedesaan New Hampshire, Crotched Mountain School
menawarkan siswa kegiatan rekreasi diakses dan kesempatan belajar di luar
ruangan ditemukan di tempat lain. Seperti seni, kegiatan fisik pada setiap tingkat
kemampuan mempromosikan kepercayaan diri dan pertumbuhan pribadi. Kami
Bersertifikat Spesialis rekreasi Terapi (CTRS / L) mengkhususkan diri dalam
pengembangan dan kegiatan untuk memenuhi kepentingan masing-masing
siswa dan keterampilan fisik memodifikasi. Melalui rekreasi terapi, siswa dapat
menantang dan menikmati diri mereka sendiri di lingkungan yang aman dan
dapat diakses dengan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seperti:

Adaptif ski di area ski lokal


Bowling di boling di tempat kami
kuda terapi berkuda di sebuah pusat equestrian
Olimpiade khusus olahraga
Berenang di Aquatics Center kami
Air dan pantai olahraga di danau diakses sepenuhnya kami
Hiking di jalan diakses sepenuhnya kami
Berbasis Masyarakat Aktivitas Buat Pengalaman kaya
Berpartisipasi dalam masyarakat yang lebih besar adalah bagian penting dari
pengalaman di Crotched Mountain School. Melalui interaksi masyarakat,
mahasiswa menempa persahabatan, membangun keterampilan komunikasi dan
hidup dan memperkuat tujuan dari rencana pendidikan masing-masing. Sebuah
contoh dari kegiatan berbasis masyarakat tersedia untuk siswa meliputi:

Mengunjungi sebuah taman hiburan


Menikmati barbekyu
Menghadiri pameran county
Mengunjungi museum
Melihat bermain
Menghadiri bisbol profesional atau hoki permainan
Menghadiri pesta dansa sekolah
Pergi berbelanja
Makan di restoran

Berpartisipasi dalam Layanan Keagamaan


Crotched Mountain School menawarkan siswa kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pelayanan keagamaan dari agama dan tradisi yang berbeda. Siswa dapat
menghadiri layanan yang diselenggarakan di kampus kami serta di gereja-gereja
lokal. Selain itu, kami mendukung siswa saat mereka mempersiapkan diri untuk
tonggak agama, seperti konfirmasi dan bar dan bat mitzvah, dengan
mengintegrasikan penelitian ini ke dalam kegiatan sekolah dan pekerjaan rumah
mereka, saat yang tepat.
Sejarah
Origins

Pusat Siswa Penyandang Cacat dimulai pada tahun 1967 dan dikenal sebagai
Program untuk Cacat Fisik di bawah Layanan Kesehatan Masyarakat. Barbara L.
Shea, R.N. diangkat Direktur program ini dan diperluas dari departemen kecil di
Heath Layanan ke suatu daerah di commons dengan tujuan untuk meningkatkan
akses ke Universitas untuk siswa penyandang cacat. Ini termasuk meninjau
rencana pembangunan untuk menciptakan aksesibilitas bagi Uni Mahasiswa,
Biologi, Administrasi, Jorgensen, School of Education, Pantai Hall, dan Sekolah
bangunan Bisnis. Pada bulan Juni 1977, Pasal 504 dari Undang-Undang
Rehabilitasi tahun 1973 diberlakukan di Universitas Connecticut, membuatnya
menjadi persyaratan bahwa kesempatan yang sama dan akses diberikan kepada
siswa penyandang cacat. Akibatnya, Universitas terus dimodifikasi landai, pintu,
wc, trotoar dan elevator dipasang di bangunan tidak dapat diakses. Sementara
ini mengambil beberapa waktu untuk menyelesaikan, University of Connecticut
terpilih sebagai salah satu dari Top Ten Cacat-Friendly Tinggi pada tahun 1999
oleh Mobility Majalah New.

Acara terbaru

Ia tidak sampai 1992 bahwa kantor bernama "Pusat untuk Siswa Penyandang
Cacat". Dua tahun kemudian, Donna M. Korbel, M.Ed., dipekerjakan sebagai
Koordinator Pusat. Pada saat itu, staf terdiri dari seorang Koordinator, Kantor
Asisten, satu full-time asisten dan dua karyawan mahasiswa. Landasan
meningkatkan akses adalah penyelesaian lift di Uni Mahasiswa dan pengguna
kursi roda memiliki dua pilihan perumahan yang layak untuk dipertimbangkan.
Pada tahun 2002, program ini pergi dari 330 kaki persegi di satu ruangan di Uni
Mahasiswa melayani 125 siswa untuk 3.600 kaki persegi di dua belas kamar di
negara-of-the-art Layanan Student Center melayani lebih dari 1.100 siswa. Hari
ini, staf terdiri dari Direktur, dua Wakil Direktur, Asisten Direktur, Koordinator
Program, Asisten Program, 6 Asisten Graduate, Koordinator Kampus Greater
Hartford, Kampus Koordinator Stamford (50%), beberapa interpreter bahasa
isyarat, Kereta wartawan, dan lebih dari 200 karyawan mahasiswa. Ada 30
bangunan akademik baru atau direnovasi dengan negara-of-the-art akses selesai
dan 25 lainnya dijadwalkan selesai dalam sepuluh tahun ke depan. Siswa
memiliki 11 pilihan tempat tinggal aula diakses termasuk sebuah desa Yunani,
tiga di antaranya dibuka untuk musim gugur 2003.
Pada bulan Juni 2008, Program University untuk Siswa dengan Learning
Disabilities (UPLD) dan CSD digabung menjadi satu pusat. UPLD dimulai pada
tahun 1984 sebagai program dukungan bagi siswa dengan LDS tertentu. Dari inti
asli dari empat anggota staf dan 20 siswa, UPLD tumbuh pesat karena lebih
banyak siswa dengan LD dicari pendidikan postsecondary di tingkat sarjana dan
pascasarjana. Pada akhir musim semi tahun 2005, program ini telah memberikan
layanan kepada lebih dari 700 siswa yang memenuhi syarat dengan LDs di
UConn.

Anda mungkin juga menyukai