Anda di halaman 1dari 7

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Antara Perilaku

Orangtua Dengan Asupan Gizi Siswa


Erfan Syah | Minggu, 14 Oktober 2012 | 0 komentar
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas telah dikembangkan visi


pembangunan kesehatan yaitu Indonesia sehat 2010 yang diantaranya
mengharapkan peningkatan perilaku yang proaktif untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan. Mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri
dari ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.
Seluruh upaya diatas memiliki kaitan erat dalam perbaikan gizi dapat diandalkan
sebagai tindakan promotif dan preventif yang merupakan jiwa dari visi Indonesia
sehat 2010 (Depkes RI, 2002).

Tujuan utama pembangunan Nasional adalah peningkatan SDM yang dilakukan secara
berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan
dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak
pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini
pemenuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan secara
baik dan benar dapat membentuk SDM yang sehat dan produktif. Anak sebagai aset SDM
dan generasi penerus perlu diperhatikan kehidupannya. Kecukupan gizi dan pangan
merupakan salah satu faktor terpenting dalam pengembangan kualitas Sumber Daya
Manusia. Kecukupan gizi sangat mempengaruhi terhadap kecerdasan dan produktivitas
kerja manusia. Banyak aspek yang berpengaruh terhadap status gizi antara lain aspek
pola pangan, sosial budaya dan pengaruh konsumsi pangan (Suhardjo, 2003).
Kelompok usia sekolah termasuk golongan penduduk berada pada masa
pertumbuhan yang cepat dan aktif. Dalam kondisi anak harus mendapatkan masukan
gizi dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Status gizi anak sebagai cerminan
kecukupan gizi, merupakan salah satu tolak ukur yang penting untuk menilai
keadaan pertumbuhan dan status kesehatannya. Usia antara 6 sampai 12 tahun
adalah usia anak yang duduk dibangku SD. Pada masa ini anak mulai masuk kedalam
dunia baru, anak mulai banyak berhubungan dengan orang-orang diluar keluarganya
dan berkenalan dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya (Mochji,
2003). Pada umur ini anak lebih banyak aktifitasnya, baik di sekolah maupun di luar
sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat tetapi
pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak. Sebaiknya anak
diberikan makanan pagi sebelum ke sekolah, agar anak dapat berkonsentrasi pada
pelajaran dengan baik dan berprestasi (Soetjiningsih, 2002).

Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah
gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan,
kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan dan adanya
daerah miskin gizi. Masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada
lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi,
menu seimbang dan kesehatan (Almatsier, 2001).

Survey Depkes tahun 1997 terhadap 600 ribu anak SD di 27 propinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa anak sekolah yang mengalami gangguan masalah kurang gizi
berkisar antara 13,6%-43,7%. Masalah kekurangan gizi pada usia SD terlihat dengan
prevalensi kekurangan energi protein di Indonesia pada siswa SD/MI sebesar 30,1%.
Sedangkan prevalensi anemia besi mencakup sekitar 25-40%. Besarnya prevalensi
gangguan pertumbuhan pada siswa SD/MI di Indonesia sebesar 32% di pedesaan dan
18% di wilayah perkotaan (Soekirman, 2000).

Anak sekolah merupakan salah satu kelompok rentan terhadap ketidak cukupan
gizi, sehingga anak sekolah harus dipantau agar ketidak cukupan gizi bisa diindari.
Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa kelompok rentan terhadap ketidakcukupan
gizi di Indonesiaantara lain : Kelompok Bayi, Anak Balita (Bawah Lima Tahun),
Kelompok Anak Sekolah, Kelompok Remaja, Kelompok Ibu Hamil, Ibu yang
Menyusukan dan Manusia Usia Lanjut (Manula). Menurut Sediaoetama (2000)
terdapat berbagai kondisi gizi anak sekolah yang tidak memuaskan antara lain:
berat badan yang kurang, anemia defisiensi Fe, defisiensi vitamin C dan di daerah
tertentu juga defisiensi yodium. Upaya perbaikan gizi yang di lakukan oleh
pemerintah yakni melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), dan pihak swasta
berupa program suplementasi makanan tambahan di sekolah atau program makan
siang sekolah (School Lunch Program). Call dan Levinson (dalam I Dewa Nyoman
S, 2001) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah konsumsi
makanan dan status kesehatan, dimana keduanya tergantung pada : zat gizi dalam
makanan; ada tidaknya program pemberian makanan di luar keluarga; daya beli
keluarga; kebiasaan makan; pemeliharaan kesehatan; dan lingkungan fisik dan
sosial.

Beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi perilaku orangtua terhadap


asuhan gizi anak adalah pengetahuan orangtua yang kurang, sikap dan
peranan/dorongan (motivasi) dari keluarga terhadap pelaksanaan tersebut serta
informasi dari tenaga kesehatan yang kurang diterima dari masyarakat mengenai
pentingnya gizi, baik anak pra sekolah maupun sekolah yang pernag dilakukan
secara langsung (penyuluhan) maupun tidak langsung (memasang poster dan
membagikan leaflet), karena berhasil atau tidaknya permberian gizi bukan
ditentukan oleh petugas kesehatan saja, tapi juga orangtua dan keluarga yaitu
orangtua/keluarga di rumah dan guru di sekolah. Sebagaimana diketahui bahwa
pengetahuan, dan sikap yang dimiliki seseorang mampu mempengaruhi perilaku
seseorang dalam bertindak sebagai Notoatmodjo (2005) menguraikan bahwa
perilaku lebih banyak mengalami perubahan terhadap seseorang yang memiliki
pandangan terhadap suatu permasalahan yang dimiliknya hingga ia mampu
menyelesaikannya.

Green (2005) menjelaskan bahwa perilaku adalah hasil atau resultan antara
stimulus (faktor external) dengan respon (faktor internal) dalam subjek atau orang
yang berperilaku tersebut. Faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor
utama, yaitu pertama adalah faktor predisposisi. Dengan tingginya pengetahuan
seseorang, maka orang itu akan dengan cepat mengubah perilakunya dari
kebiasaan yang buruk ke kebiasaan yang baik. Faktor kedua adalah faktor
pemungkin, yaitu dengan tercukupi sarana dan prasarana, maka orang tersebut
akan mengambil tindakan (keputusan) untuk melakukan sesuatu. Faktor ketiga
merupakan penguat, adalah dengan adanya peraturan-peraturan dan undang-
undang yang ada, maka seseorang semakin mantap dalam memutuskan sesuatu.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2007 didapatkan bahwa Indonesia berada


pada posisi tertinggi kedua setelah Brunei Darussalam dalam hal pemberian ASI pada
anak dengan usia <6 1996-2005="1996-2005" 2007="2007" bulan="bulan"
epkes="epkes" ri="ri" sepanjan="sepanjan" span="span" tahun="tahun"> Hal tersebut
tentu saja membanggakan, namun sangat disayangkan ketika melihat
pelaksanaannya di lapangan, bahwa pemberian ASI pada bayi usia <6
belum="belum" berarti.="berarti." bulan="bulan" dengan="dengan"
diterbitkan="diterbitkan" hal="hal" hasil="hasil" i="i" ini="ini" melalui="melalui"
menampakkan="menampakkan" penelitian="penelitian"
peningkatkan="peningkatkan" saat="saat" terkait="terkait" tersebut="tersebut"
yang="yang">Journal The Lancest
(1990) menjelaskan bahwa bayi lahir normal yang dipisahkan dari ibunya, 50% tidak bisa
menyusui sendiri, bayi lahir dengan obat-obatan tidak pisahkan dari ibu tidak semua dapat
menyusu dan bayi lahir dengan obat-obatan/tindakan dan dipisahkan dari ibu 100% tidak bisa
menyusu.

Ikhwansah (2004) dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat


hubungan antara pendidikan, sikap ibu terhadap balita, akses terhadap sarana
kesehatan, sikap petugas, jumlah anak dan sanitasi rumah dengan status gizi balita.
Yang berhubungan secara bermakna P<0 ada="ada" anak="anak" antara="antara"
asupan="asupan" bahwa="bahwa" balita="balita" begitupun="begitupun" dan="dan"
dari="dari" dengan="dengan" gizi="gizi" hasil="hasil" hubungan="hubungan" i="i"
imunisasi="imunisasi" kesimpulan="kesimpulan" makan="makan" makanan.="makanan."
menyebutkan="menyebutkan" mirzawati="mirzawati" pekerjaan="pekerjaan"
penelitian="penelitian" pengetahuan="pengetahuan" pola="pola" status="status"
tidak="tidak" yaitu="yaitu" yang="yang">p valu
e 0,593).
Pola makan yang tidak sama dan dipengaruhi oleh banyak hal akan menimbulkan
perbedaan asu pan makanan yang diterima oleh anak balita perbedaan pola makan
tersebut tentu akan menyebabkan status gizi anak balita yang tidak sama pula. Risiko
untuk memiliki status gizi kurang pada anak balita dengan pola makan kurang baik
adalah tujuh belas kali lebih tinggi dari pada anak balita dengan pola makan baik
(Himawati dalam: Hidayati, 2001).

Masa anak, khususnya masa di bawah lima tahun, merupakan masa kritis dalam proses
tumbuh kembang manusia (Departemen Kesehatan RI, 1994). Hal ini karena masa ini
merupakan masa paling cepat untuk pertumbuhan dan perkembangan otak, di
samping pada masa kandungan (Widjaja dalam: Muwakhidah dan Zulaekah, 2004).
Jika usia ini tidak dikelola dengan baik, apalagi kondisi gizinya buruk, dikemudian hari
kemungkinan akan terjadi gangguan tumbuh kembang dan selanjutnya akan sulit
terwujud perbaikan kualitas bangsa. Salah satu cara untuk mewujudkan harapan
tersebut adalah dengan mengenalkan makanan bergizi dan pola makan yang sehat
kepada bayi dan balita (Muwakhidah dan Zulaekah, 2004).

Hasil penelitian Munthoifah (2007) menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna


antara status gizi anak balita dengan pengetahuan, sikap, maupun perilaku ibu
(pengetahuan OR 17.02, CI95% 6.29-46.09; sikap OR 4.83, CI95% 2.10-11.13; perilaku
OR 3.34, CI95% 1.53-7.28). Di samping itu umur berhubungan dengan status gizi anak
balita. Variabel-variabel lainnya seperti pendidikan dan pekerjaan ibu tidak
menunjukkan hubungan dengan status gizi anak balita.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur Tahun 2007 menunjukkan dari 103
anak usia sekolah yang mengalami kebutuhan/asupan gizi kurang 26 diantaranya
berasal dari di Kecamatan Waway Karya, kemudian diketahui pula bahwa orang tua
anak-anak tersebut berpendidikan SD/MI 55 orang (53,4%), tidak tamat SD 7 orang
(6,8%), SLTP/MTS 6 orang (5,8%), SLTA/MA 3 orang (2,9%), Darul Islam 2 orang (1,94%),
dan tanpa keterangan 30 orang (29,12%).

Dari hasil pre survey yang penulis lakukan pada awal bulan Maret 2010, didapatkan 7
dari 10 orang ibu yang memiliki anak usia sekolah tidak mengetahui
kebutuhan/asupan gizi anaknya, sedangkan 3 orang ibu lainnya mengatakan tahu
tentang kebutuhan/asupan gizi anaknya, tapi masih bingung dalam penyajiannya,
sementara 6 dari 10 orang ibu mengatakan kebutuhan/asupan gizi anak tidak perlu
bergantung dari orang lain dan cukup keluarga saja dan 4 orang ibu lainnya
mempercayakan kebutuhan/asupan gizi anaknya cukup dengan memberi uang jajan.

Berdasarkan dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian


mengenai faktor-faktor yang berhubungan antara perilaku orangtua dengan asupan
gizi di SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mendeskripsikan data yang
merupakan identifikasi masalah, yaitu:
1.2.1.1 Ditemukan bahwa dari 103 anak usia sekolah yang mengalami

kebutuhan/asupan gizi kurang 26 diantaranya berasal dari di Kecamatan

Waway Karya, kemudian diketahui pula bahwa orang tua anak-anak

tersebut berpendidikan SD/MI 55 orang (53,4%), tidak tamat SD 7 orang

(6,8%), SLTP/MTS 6 orang (5,8%), SLTA/MA 3 orang (2,9%), Darul Islam 2

orang (1,94%), dan tanpa keterangan 30 orang (29,12%).

1.2.1.2 Didapatkan 7 dari 10 orang ibu yang memiliki anak usia sekolah tidak

mengetahui kebutuhan/asupan gizi anaknya, sedangkan 3 orang ibu

lainnya mengatakan tahu tentang kebutuhan/asupan gizi anaknya, tapi

masih bingung dalam penyajiannya, sementara 6 dari 10 orang ibu

mengatakan kebutuhan/asupan gizi anak tidak perlu bergantung dari

orang lain dan cukup keluarga saja dan 4 orang ibu lainnya

mempercayakan kebutuhan/asupan gizi anaknya cukup dengan memberi

uang jajan.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah


dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor apa saja yang berhubungan antara
perilaku orangtua dengan asupan gizi di SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun
2010.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.1.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan antara perilaku

orangtua dengan asupan gizi di SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

1.3.1.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan orangtua

siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi sikap orangtua siswa SDN

1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi peranan/dukungan

keluarga siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi asupan gizi siswa SDN 1

ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

5. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan orang tua dengan

asupan gizi siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

6. Untuk mengetahui hubungan sikap orang tua dengan asupan gizi

siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

7. Untuk mengetahui hubungan peranan/dukungan keluarga

dengan asupan gizi siswa SDN 1 ZZZ Kecamatan ZZZ tahun 2010.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.2.1 Bagi Institusi Pendidikan STIKES ZZZ

Sebagai dokumen dan bahan perbandingan untuk penelitian

selanjutnya.

1.3.2.2 Bagi Petugas Kesehatan (Puskesmas ZZZ)


Untuk menambah wawasan bagi petugas kesehatan dalam

memberikan penyuluhan berupa informasi gizi umumnya pada

orangtua siswa SDN 1 ZZZ khususnya agar lebih memperhatikan

tentang pentingnya manfaat gizi bagi siswa.

1.3.2.3 Bagi Penulis

Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian dan

menambah pengetahuan serta pengalaman dalam penelitian.

Anda mungkin juga menyukai