Anda di halaman 1dari 8

PERAN ORANG TUA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM MENJAGA POLA MAKAN SEHAT PADA ANAK


13 Des

Anak menempati posisi strategis dalam pengembangan sumberdaya manusia


di masa depan. Anak merupakan kelompok penduduk yang peling rentan terhadap
gangguan kesehatan dan gizi. Status imunitas, diet dan psikologi anak belum matang
atau masih dalam taraf kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada
penduduk dewasa, dalam hal ini ibu atau orang tuanya (Utomo dalam Mariani, 2004).
Orang tua pada dasarnya berkewajiban untuk menyajikan kondisi yang menguntungkan
bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi anaknya. Begitu juga dalam hal pemenuhan
kebutuhan jasmani, dalam hal ini berkaitan dengan pemenuhan gizi pada makanan
yang dikonsumsi sehari hari oleh anak. Masa kanak kanak paling sering dikeluhkan
oleh orang tua adalah sebagai masa dimana anak sangat sulit untuk makan, apalagi
makanan rumahan yang diracik sendiri oleh ibunya. Bahkan, terdapat banyak orang tua
yang putus asa karena anaknya sangat sulit makan sehingga mereka membiarkan
anak-anaknya membeli jajanan yang memang mereka sukai dibandingkan dengan
makanan olahan ibunya sendiri yang menurut mereka kurang lezat. Hal ini menjadi
faktor yang menyebabkan permasalahan gizi pada anak yang tidak tercukupi.
Berbagai jenis jajanan yang di sajikan secara menarik banyak ditawarkan oleh
penjual yang diedarkan di sekolah-sekolah maupun warung-warung yang tersebar di
penjuru pemukiman warga. Namun, tidak banyak masyarakat yang tahu kandungan gizi
yang ada dalam makanan yang di jual belikan dan sangat laris manis dibeli oleh anak-
anak. Di sisi lain, orang tua selalu memberikan uang jajan untuk anaknya ketika hendak
berangkat sekolah maupun sekedar pergi bermain. Hal ini dilakukan dengan alasan
para orang tua tidak tega melihat anaknya menangis ketika merengek meminta jajan
karena permintaannya tidak dipenuhi. Orang tua akan merasa bersalah jika tidak dapat
memenuhi permintaan anaknya tersebut, karena mereka bekerja mencari uang juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.
Selain rasanya yang lezat dan dikemas secara menarik, faktor lain yang
membuat anak lebih menyukai untuk jajan dari pada makan makanan yang disajikan
ibu dirumah adalah langkanya bahan makanan yang mengandung nutrisi yang baik
bagi tubuh untuk diolah dan menurunnya keterampilan para ibu dalam mengolah bahan
makanan menjadi sesuatu yang sehat dan menarik bagi anak-anak mereka. Moehdji
(dalam Mariani) mengatakan bahwa sebagian besar kejadian gizi buruk pada anak
dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana cara
mengolah bahan makanan dan cara mengatur menu.
Pangan sebagai kebutuhan pokok manusia harus selalu diupayakan untuk
dicukupi dan tersedia setiap waktu di setiap rumahtangga. Pangan yang kita konsumsi
di samping sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai sumber protein, vitamin dan
mineral. Sebenarnya bahan makanan yang kaya nutrisi dapat dengan mudah
didapatkan mengingat bahan makanan yang bergizi tidak harus mahal. Protein dan
karbohidrat dapat diperoleh melalui umbi-umbian yang dapat dengan mudah tumbuh
dihalaman atau kebun rumah. Kalsium dan zat besi juga bisa diperoleh dari kacang-
kacangan dan sayuran hijau yang biasa ditanam dikebun-kebun milik warga.
Psikolog Universitas Indonesia, Mayke S. Tedjasaputra (dalam
http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/)
mengatakan, untuk mencegah kebiasaan jajan anak harus dimulai dari pola makan
keluarga. Salah satu cara adalah membuat kudapan tandingan yang tidak kalah enak
dari jajanan yang dapat dibeli di luar rumah. Hal ini sudah sangat langka ditemui pada
keluarga-keluarga yang ada didalam masyarakat. Sebagian besar ibu-ibu merelakan
uang mereka untuk membeli makanan jadi dengan alasan lebih menghemat waktu atau
tidak sempat masak. Padahal, anak akan lebih terkontrol keamanan makanan dan gizi
terjamin. Apalagi pada anak usia sekolah yang sangat membutuhkan segala makanan
yang memberikan asupan gizi yang mencukupi kebutuhannya untuk beraktivitas di
sekolah. Tumbuh kembang anak usia sekolah sangat bergantung pada pemberian gizi
dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam meningkatkan status gizi.
Dalam kasus pada film Dilarang Makan Kerupuk, kritik yang besar bagi masyarakat
adalah untuk memberikan pembinaan kepada orang tua dan anak-anak mereka
mengenai pengetahuan bagaimana memilih jajanan yang sehat baik dilingkungan
sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas, mengingat bahwa anak-
anak merupakn infestasi bangsa yang petut untuk dijaga.
Masalah keamanan pangan jajanan disekitar sekolah maupun yang dijajakan
pada warung-waarung dekat pemukiman warga antara lain ditemukannya (1) produk
olahan yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) panga siap saji
yang belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak
memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang
mengabaikan aspek keamanan pangan dan ketidak tahuan konsumen (anak-anak
sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar) mengenai pangan jajan yang aman (Arista
dalam http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-
jajan/). Beberapa penelitian mengatakan bahwa banyak jajanan yang dijual disekitar
sekolah maupun warung-warung di pemukiman warga yang tidak sehat seperti
tercemar bakteri patogen, menggunakan pewarna yang dilarang (Rhodamin B, dll) atau
bahkan menggunakan bahan pengawet makanan (Borax, dll), dan hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar jajanan yang digemari anak-anak tersebut sangat
tidak mengandung gizi. Bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan anak.
Status gizi merupakan hasil konsumsi pangan dan pemanfaatannya di dalam
tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung zat
gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Selain faktor konsumsi pangan dan faktor
kesehatan, faktor pola pengasuhan anak juga merupakan faktor yang berhubungan
dengan status gizi anak (Engle, Menon & Haddad dalam Marani, 2004).
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam
hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan,
memberikan kasih sayang dan sebagainya. Semua faktor yang berhubungan dengan
status gizi anak juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya keluarga seperti
pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, status bekerja ibu, sanitasi dan
kesehatan rumah. Menurut Murniati Sulastri ( dalam Palupi, 2007), tingkat pendidikan
ibu juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Hal ini disebabkan ibu
yang berendidikan akan memberi motivasi, mengarahkan dan mengasuh anak. Menurut
Astuti (dalam Palupi, 2007), semakin tinggi tingkat pendidikan pada umumnya, makin
pula mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Dengan penghasilan yang memadahi diharapkan anggota keluarga memperoleh
makanan bergizi yang relatif lebih sesuai dengan harapan.
Seseorang akan maju dan berhasil bila ditunjang dengan pendidikan yang
memadahi atau baik. Demikian juga dengan pendidikan orang tua mempyunyai katan
yang erat dengan tugasnya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak.
Melalui pendidikan akan di peroleh perkembangan masyarakat, sehingga dapat diduga
bahwa penambahan waktu untuk mngikuti pendidikan akan menambah kesadaran satu
pihak dan perkembangan dipihak lain. Apabila orang tua tidak memiliki pengetahuan
atau tingkat pendidikan yang cukup baik dan luas tentang kesehatan, makanan/gizi,
cara mendidik anak, cara bergaul dengan masyarakat sekitar, maupun pengetahuan
atau keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan, sehingga dalam memberikan
pendidikan kepada anak tentu juga sesuai dengan apa yang dimiliki. Namun sebaliknya
jika orang tua memiliki pengetahuan atau pendidkan yang cukup tinggi ataupun baik,
wawasannya luas, maka dalam memberikan pendidikan kepada anak akan baik pula
sesuai dengan apa yang dimiliki.
Menurut Karyadi (dalam Maryati, 2004), pola asuh makan adalah praktik-praktik
pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian
makan. Tujuan memberi makanan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas pertumbuhan
dan perkembangan. Jika asupan gizi pada anak dapat terpenuhi dengan baik maka
anak pun dapat mengikuti segala kegiatan sehari-hari untuk mengaktualisasikan dirinya
dan siap bersaing dengan teman sebaya pada umumnya.
Pengaruh lingkungan masyarakat juga membawa dampak pada kebiasaan
untuk jajan. Anak-anak sekolah misalnya, akan merasa iri jika teman-temannya
membeli jajanan ketika jam istirahat tiba namun dia sendiri tidak membelinya. Mereka
akan merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain. Masyarakat mempunyai
pengaruh perkembangan yang sangat besar dalam kehidupan individu. Kegiatan jajan
bagi anak kadang dapat diartikan sebagai proses untuk menyamakan dirinya dengan
teman-teman yang ada disekitarnya, dan sebagai ajang untuk mendapatkan teman.
Keluarga merupakan bagian dari masyarakat. Awal dari masyarakat pun dapat
kita katakan berasal dari hubungan antar individu, kemudian kelompok yang lebih
membesar lagi menjadi kelompok yang besar orang-orang yang disebut dengan
masyarakat. Jadi keluarga dapat diartikan inti dari masyarakat. Maka segala tindak
perilaku dalam keluarga juga tidak dipungkiri bisa jadi adalah pengaruh dari masyarakat
sekitar. Jika keluarga pada umumnya sudah membatasi jajan anak perharinya, belum
tentu anak akan menuruti. Dia pasti akan terpengaruh teman-temannya yang membeli
jajan lebih dari dirinya dan pasti dia akan meminta kepada orang tuanya untuk
ddisamakan dengan teman-teman yang lainnya. Disinilah betapa perlunya sinergi
antara keluarga dan masyarakat sekitar.
Selain kandungan yang ada didalam makanan tersebut dapat membahayakan
tubuh, kebiasaan jajan anak-anak dapat pula mngakibatkan konsumerisme secara tidak
langsung bagi rumah tangga. Pengeluaran yang dlakukan tiap bulannya dapat
dipastikan membengkak hanya karena digunakan untuk memenuhi keinginan si anak.
Jika fenomena jajan anak ini dikaitkan dengan teori konsumerisme, Marx mengatakan
bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebituhan masyarakat.
Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar dari pada nilai guna.
Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan objek yang didorong produsen untuk
mengkonsumsi, dimana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat
sedangkan masyarakat berada dalam subordinat kebutuhan masyarakat. Dalam
pemutaran film Dilarang Makan Kerupuk, ditunjukkan bahwa pengeluaran pertahun
setiap rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, dalam hal ini jajan (junk
food) melebihi APBD daerah tempat tinggal mereka. Betapa sia-sianya uang mereka
hanya terbuang begiu saja untuk membeli makanan yang menurut anak-anak mereka
enak, lezat namun tidak mengandung manfaat bahkan berbahaya bagi tubuh.
Banyaknya organisasi yang ada dalam masyarakat bisa dijadikan sebagai
sarana untuk memberikan penyuluhan mengenai makanan atau jajanan yang sehat
bagi anak. Sehingga keterampilan dalam memilih dan mengolah bahan makanan dapat
dimiliki semua lapisan masyarakat. Melalui penyulihan di desa-desa saat KKN
mahasiswa misalnya, materi penyampaian juga dapat sekitar bahaya jajan
sembarangan, dll. Kegiatan pengajian yang rutin didatangi ibu-ibu juga cukup efektif
untuk diselingi materi tersebut. Yang menjadi poin penting disini adalah bagaimana
pengkomunikasian materi yang dsampaikan kepada para pendengar, sehingga mereka
benar-benar memahami dan melakukan apa yang menjadi saran dari pemateri, dan
warga benar-benar dapat melakukan kerja nyata setelah mendapatkan
penyuluhan.Pada kegiatan PKK (atau yang serupa), selain melakukan penyuluhan juga
dapat melakukan pelatihan membuat aneka kue atau makanan untuk disajikan pada
keluarga. Dengan seperti ini, kemampuan ibu-ibu untuk mengolah bahan makanan
akan semakin terasah dan semakin kreatif untuk mengolah bahan makan menjadi
makanan yang sehat dan terjamin.
Jika perlu, dibentuk organisasi masyarakat. Sebagai organisasi yang berbasis
pranata dalam masyarakat, institusi ini biasanya kuat eksistensinya termasuk pola
kepemimpinannya dan dapat mengikat serta melibatkan mayoritas warga masyarakat
dlam komunitas tersebut. Hal ini tentu lebih efektif karena semua lapisan masyarakat
akan terliat langsung dalam berbagai kegiatan. Biasanya organisasi seperti ini bersifat
swadaya dari masyarakat, sehingga mereka terlepas dari pemerintah karena tumbuh
dari dalam dan atas prakarsa dari masyarakat sendiri.
Di lingkungan sekolah, pengetahuan mengenai jajanan sehat juga penting
dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui praktek UKS yang ada di sekolah. Sekolah-
sekolah secara berkala pasti akan mendapat pantauan dari unit kesehatan setempat
(Puskesmas), dan guru berperan untuk menginternalisasikan nilai yang disampaikan
agar benar-benar dipatuhi oleh para siswanya. Lalu peran sekolah, yang dapat
dilakukan adalah melakukan pengawasan terhadap jajanan anak, menyediakan sarana
kantin yang bersih, layak dan sehat, mengedukasi siswa tentang makanan yang aman
dan sehat. Pengelola kantin juga harus memperhatikan kebersihan kantinnya, higienis
dan baik sanitasinya, menghindari penggunaan zat berbahaya dalam makanannya.
Dalam keluarga, orangtua juga perlu mengawasi kebiasaan jajan anaknya,
mengarahkan dan memberikan pemahaman tentang jajanan yang aman, sehat dan
bergizi. Membiasakan anaknya sarapan di rumah sebelum berangkat sekolah, atau
memberi bekal makanan dari rumah yang bersih, sehat, aman dan bergizi. Memberikan
pengetahuan atau sosialisasi mengenai makanan sehat juga menjadi kewajiban bagi
orang tua agar anak dapat memilih makanan sejak dini. Mulai dari si ibu sebagai orang
pertama yang menjadi lawan interaksi dari si anak, kemudian anggota-anggota
keluarga lainnya dan seterusnya nanti dalam masyarakat. Proses sosialisasi yaitu
proses membantu individu melalui proses belajar dan penyesuaian diri bagaimana cara
hidup, bagaimana cara berpikir dari kelompok. Dari berbagai defini tentang sosisalisai,
Vembriarto (dalam Khairuddin, 1985) menyimpulkan bahwa sosialisasi:
(1) Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan
mana individu menahan, mengubah impuls dalam dirinya dan mengambil
cara hidup atau kebudayaan masyarakat disekitarnya;
(2) Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide,
pola, nilai dan tingkah laku, serta standar tingkah laku pada masyarakat
dimana dia hidup;
(3) Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu
disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesuatuan sistem dalam
pribadinya.
Apabila di implementasikan, jika keluarga terbiasa mengkonsumsi makanan rumah,
sangat jarang jajan, maka secara tidak langsung si anak akan belajar kebiasaan yang
ada dalam keluarga tersebut. Dan dapat dipastikan anak akan jarang meminta untuk
jajan.
Jika semua elemen masyarakat sudah mengetahui bagaimana memilih dan
mengolah jajanan yang baik hendaknya mereka juga dapat memilah dagangan yang
akan mereka jual dan bahan yang mereka olah. Mengurangi atau membatasi penjualan
makanan instan dan memperbanyak bahan makanan yang bergizi. Pengefektifan lahan
yang ada dirumah-rumah warga juga membantu warga untuk dapat menanam bahan
makanan yang diperlukan.

Sumber referensi:
Mariani. 2004. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan Dan Infeksi Dengan
Status Gizi Anak Balita. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-10 No.
049 Hal 564

Palupi, Sri. 2007. Hubungan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Hidup Sehat
Anak, Cakrawala Pendidikan, Th. XXVI, No. 2 Hal 309
Puspitaningrum, Dwi Aulia. 2008, Ketahanan Pangan dan Peran Wanita untuk
Mewujudkannya (Suatu Studi di Tingkat Rumahtangga Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta), Paradigma, Volume 12, Nomor 2 Hal 102

Citrobroto, R.I Suhartin. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta:
Penerbit Bhratara Karya Aksara

Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahya

Anonim. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12436/BAB%20I
%20Pendahuluan_I09rwi.pdf?sequence=7
Anonim. 2011. Waspadai Makanan Berbahaya di Sekolah. http://www.dinaspendidikan-
parepare.info/index.php?option=com_content&view=article&id=478:waspadai-
makanan-berbahaya-di-sekolah&catid=56:highlight-news diunduh pada tanggal
25 Oktober 2011
Anonim. 2011. Bahaya Junk Food atau Makanan Cepat Saji pada Anak (Bagian 2).
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2199139-bahaya-junk-food-atau-
makanan/ di unduh pada tanggal 25 Oktober 2011
Kliniksehatmadani. 2009. Jangan Biarkan Anak Suka Jajan.
http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-
jajan/ di unduh pada tanggal 27
Soejadmiko, Haryanto. 2009. Konsumerisme dan Sosiologi Konsumsi.
http://haryantosujatmiko.multiply.com/journal/item/30 di unduh pada tanggal 27
Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai