Anda di halaman 1dari 12

2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

Community Justice

Keine Strafe ohne Schuld

SEPTEMBER 13, 2012 by KTUTSUDIARSA

MEMORI KASASI

(https://ktutsudiarsa.files.wordpress.com/2012/09/picture-147.jpg)ATAS

PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA JAKARTA


NO. 65/B/2011/PT.TUN.JKT. TANGGAL 22 AGUSTUS 2011 JO
PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA
NO. 86/G/2010/PTUN.JKT. TANGGAL 6 JANUARI 2011

Antara

I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. . PEMOHON KASASI SEMULA


PEMBANDING/PENGGUGAT

Lawan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TERMOHON KASASI


SEMULA TERBANDING/TERGUGAT

Jakarta, 10 November 2011


https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 1/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

Kepada

Yth. BAPAK KETUA MAHKAMAH AGUNG RI


MELALUI KEPANITERAAN PENGADILAN
TUN JAKARTA

di

Jakarta

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini saya: I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si, pekerjaan Wakil
Ketua (diberhentikan) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bertempat tinggal di
Jalan YRS IA No. 2 Rt.011/009 Bintaro, Pesanggrahan Jakarta Selatan, untuk selanjutnya
disebut PEMOHON KASASI semula PEMBANDING/PENGGUGAT, dengan ini hendak
menandatangani dan mengajukan Memori Kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (TUN) Jakarta No. 65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 melawan Presiden
Republik Indonesia, berkedudukan di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta
Pusat selaku TERMOHON KASASI semula TERBANDING/TERGUGAT.

Bahwa PEMOHON KASASI telah menyatakan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi
TUN Jakarta No. 65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 sebagaimana tertuang
dalam Akta Permohonan Kasasi tanggal 7 November 2011 di Kepaniteraan Pengadilan TUN
Jakarta. Oleh karena pernyataan atau permohonan Kasasi ini disampaikan masih dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, maka
pernyataan/permohonan Kasasi ini seyogianya dapat diterima.

Bahwa Pengadilan Tinggi TUN Jakarta telah memutus perkara Nomor :


65/B/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 22 Agustus 2011 dengan amar putusan sebagai berikut :
MENGADILI

Menerima Permohonan Banding dari Penggugat/Pembanding;


Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:
86/G/2010/PTUN.JKT.tanggal 6 Januari 2011 yang dimohonkan banding, dan dengan;
MENGADILI SENDIRI

Dalam Eksepsi:
Menerima eksepsi Tergugat/Terbanding;

Dalam Pokok Perkara:


Menyatakan gugatan Penggugat/Pembanding tidak diterima;
Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat
peradilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh
ribu rupiah);

Bahwa PEMOHON KASASI, tidak dapat menerima Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 2/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

Bahwa PEMOHON KASASI, tidak dapat menerima Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (TUN) Jakarta, karena pemohon berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (TUN) Jakarta telah salah menerapkan hukum dan tidak melaksanakan hukum acara
yang berlaku. PEMOHON KASASI sangat keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (TUN) Jakarta baik pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya
sebagaimana tersebut di atas, dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Bahwa PEMOHON KASASI sangat tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi TUN Jakarta sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor:
65/B/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 22 Agustus 2011 pada halaman 11 paragraf 3 dan 4, berbunyi:

Menimbang, bahwa UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban berdasarkan pertimbangan;

a. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi
dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak
pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana;

b. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis
dari pihak tertentu;

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau
korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan


huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka keputusan TUN obyek
sengketa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN menurut Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara;

Bahwa kesimpulan/pendapat Majelis Hakim Tinggi TUN yang menyatakan obyek sengketa
tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN berdasarkan pada pertimbangan
sebagaimana huruf a, b, c dan d di atas agak aneh dan janggal, karena pertimbangan tersebut
tidak menyentuh obyek sengketa, karena permasalah TUN ini tidak terkait dengan
pembentukan Lembaga Negara LPSK, tetapi masalah Pemberhentian Anggota LPSK, dalam
hal ini PEMOHON KASASI yang diberhentikan tanpa alasan sama sekali, tetapi dianggap
telah melanggar Kode Etik tanpa sidang Kode Etik, dianggap melakukan perbuatan tercela
untuk tindakan hanya Menerima surat Permohonan Perlindungan saksi dari sdr ANGGORO
WIDJAYA yang belum ditindak lanjuti, karena pemohon pertlindungan saksi ada di Luar
negeri. Keputusan KTUN obyek sengketa diterbutkan oleh Presiden dalam bentuk KEPPRES

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 3/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

(Keputusan TUN) tanpa prosedur hukum yang berlaku yaitu yang sudah diatur dengan terang
benderang oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, yaitu melalui Sidang Paripurna LPSK yang tidak pernah dilaksanakan.

2. Bahwa PEMOHON KASASI juga sangat tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis
Hakim Tinggi TUN dalam putusannya pada halaman 12 paragraf 3 dan 4, berbunyi:

Menimbang, bahwa oleh karena obyek sengketa tidak termasuk dalam pengertian keputusan
TUN menurut Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 karena merupakan keputusan TUN yang
dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana,
dengan demikian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan tidak berwenang
memeriksa dan memutus sengketa ini dan dengan demikian pula Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Tingkat Pertama yang menolak eksepsi Tergugat, karena obyek sengketa dalam
perkara ini termasuk dalam pengertian keputusan TUN sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf
d UU Nomor 5 Tahun 1986, oleh karena itu eksepsi Tergugat dapat diterima;

Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi Tergugat/Terbanding diterima maka Peradilan TUN
tidak berwenang menerima dan memeriksa sengketa ini;

Bahwa Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta tidak melihat secara cermat latar belakang terbitnya
keputusan TUN obyek sengketa yang bersumber dari Keputusan Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: Kep-034/I/LPSK/12/2009 tanggal 1 Desember
2009 tentang Pembentukan Tim Etik LPSK dan Nomor: KEP-035/I/LPSK/12/2009 tanggal 1
Desember 2009 tentang Pembebastugasan Sementara atas nama I KTUT SUDIHARSA dan
MYRA DIARSI Guna Kepentingan Proses Pemeriksaan Tim Etik LPSK (sepanjang a.n. I KTUT
SUDIHARSA) yang sarat dengan abuse of power. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan tentang
Eksepsi TERMOHON KASASI pada saat gugatan yang dapat kami jelaskan dengan terang
benderang sebagai berikut :
a. Bahwa Tim Etik (bukan Dewan Etik), dianggap sebagai Badan Peradilan TIM ETIK serta
dianggap termasuk bersifat Pidana oleh TERMOHON KASASI dalam eksepsi Tergugat adalah
sangat Keliru dan tidak mengacu peraturan perundang-undangan dan Ilmu Hukum yang
memadai. Hal tersebut pasti bertentangan dengan pengertian Badan Peradilan sebagaimana
diatur dalam bab II Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi:
Ayat (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ayat (2) Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata
usaha negara.
Jadi TIM ETIK, mau dimasukkan ke peradilan yang mana ? Selain tidak jelas asal usulnya,
tidak dikenal dalam khasanah hukum, juga tidak termasuk badan peradilan, lebih-lebih
seluruh pelaku bukan penegak hukum, bahkan karena menggunakan contoh surat dakwaan
harusnya institusi kejaksaan menegurnya (baca UU Mahkamah Agung (No. 14/85 jo no.
5/2004) dan UU Mahkamah Konstitusi UU No. 24/2003).

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 4/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

b. Bahwa bila dihubungkan dengan Pasal 2 huruf d dan e UU No. 5 Tahun 1986, sebagaimana
dirubah dan diperbarui dengan UU No 9 Tahun 2004 (maksudnya tentang Perubahan tentang
Peradilan Tata Usaha Negara) jo UU No. 51 Tahun 2009 (Maksudnya tentang Perubahan
Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), adalah sangat tidak
berdasar dan keliru, karena TERMOHON KASASI dahulu TERGUGAT tidak mengerti
penjelasan pasalnya yang jelas selalu diikuti dengan kalimat ..Putusan pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Atau setelah menerima usul
Ketua Pengadilan.dst.
Maksudnya jelas bukan LPSK, atau Ketua LPSK atau TIM ETIK yang disamakan dengan
badan peradilan, karena tidak jelas keluarannya apakah Putusan, atau Keputusan ataukah
hanya rekomendasi yang pasti tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan kepastian hukum.

c. Hasil TIM ETIK tanpa memeriksa PEMOHON KASASI yang berupa dugaan pelanggaran
yang bahkan ada pelanggaran Pidana Militer Insubordinasi yang Anggota Polisi saja tidak
dapat dituntut pasal tersebut, kesemuanya diluar peraturan Kode Etik LPSK dan berisi
rekomendasi saja, sebelum menyatakan putusan TIM ETIK (yang tidak ada Putusannya)
sebagai produk Badan Peradilan dan bersifat pidana pula.

d. Menyatakan Badan Peradilan tersebut adalah TIM ETIK yang dibentuk atas dasar
Keputusan Ketua LPSK yang menghubungkannya dengan Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 30,
adalah Keliru dan sangat menyimpang dari pemahaman ilmu hukum. Hal tersebut karena
pengertian Badan Peradilan sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
Ayat (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sedang Ketua LPSK tidak berwenang untuk membentuk Badan Peradilan. Keputusan Ketua
LPSK hanya TERBATAS untuk Surat Printah Pemeriksaan dalam Sidang Paripurna, jika
dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 30. Sidang paripurna tersebut bukanlah suatu
Majelis peradilan, tapi suatu rapat yang sangat formal dan lengkap oleh seluruh Anggota
LPSK, seperti Sidang Paripurna DPR dsb yang bukan berbentuk badan peradilan.

3. Bahwa pendapat Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta dalam pertimbangannya pada halaman
12 paragraf 3 dan 4 tersebut di atas, yang menyatakan bahwa obyek sengketa tidak termasuk
dalam pengertian keputusan TUN menurut Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 karena
merupakan keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat pidana, patut dipertanyakan, karena faktanya sampai dengan saat
ini PEMOHON KASASI tidak pernah menjadi tersangka atau PEMOHON KASASI tidak
terbukti melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan Peraturan terkait dan penjelasannya sebagai berikut:
a. Bahwa menunjuk peraturan yang bersifat pidana itu adalah Pasal 24 huruf e dan f UU No.
13 Tahun 2006 jo Pasal 4 ayat (1) huruf e dan f Perpres No. 30, adalah khusus yang huruf f
dapat diterima, karena pasal tersebut dengan jelas menyebut pelanggaran PIDANA, namun
demikian harus dibuktikan terlebih dahulu dalam proses sidang pengadilan pidana dan telah
diputus bersalah dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedang untuk
https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 5/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

selebihnya yaitu huruf e, diperlukan kesepakatan seluruh Anggota LPSK dalam suatu
Peraturan LPSK, sebagaimana perintah Pasal 6 ayat (4) Perpres No. 30 berbunyi: Ketentuan
mngenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan LPSK.
b. Bahwa Peraturan Perundang-undangan lain yang bersifat pidana vide Pasal 2 huruf d
(maksudnya UU UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara jo UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), dimaksud adalah Pasal 24 huruf e
dan f UU Nomor 13 Tahun 2006 jo Pasal 4 ayat (1) huruf e dan f Perpres No. 30, adalah sangat
keliru, karena sebagaimana diterangkan oleh penjelasan pasal dimaksud. Untuk lebih jelas
akan makna pasal dimaksud, baik kiranya kita kutip bunyi pasal dan penjelasan pasal
dimaksud sebagai berikut:

Pasal 2 huruf d UU tentang TUN, berbunyi Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut Undang Undang ini:
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan
KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
Dalam penjelasannya disebutkan
1) Berdasarkan ketentuan KUHP, seperti pelanggaran lalulintas (Pasal 359 KUHP dll), maka
untuk melaksanakan hukumannya (Pasal 14 huruf d KUHP) dikeluarkan KTUN dst.
2) Berdasarkan ketentuan KUHAP, mis dalam KTUN Printah Penahanan, Penyitaan sesuai
pasal-pasal KUHAP.

c. Jadi jelas dimaksudkan bukan TIM ETIK, atau produk LPSK atau Ketua LPSK yang adalah
bukan aparat penegak hukum, lebih-lebih PEMOHON KASASI tidak pernah tersangkut
masalah pidana atau tidak pernah melanggar hukum, bahkan dipanggil atau diperiksa sebagai
tersangka seumur hidup pun tidak pernah

4. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta dalam putusan perkara Nomor:
65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 menggambarkan suatu kemunduran hukum,
seharusnya Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta memperhatikan alasan diajukannya
Permohonan Banding dari PEMOHON KASASI. Adapun alasan Permohonan Banding
tersebut adalah:

a. Bahwa PEMOHON KASASI sangat keberatan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara (TUN) Jakarta Nomor: 86/G/2010/PTUN.JKT tanggal 6 Januari 2011 dan tidak
sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan TUN Jakarta yang hanya
melihat pada produk instan dari LPSK, dan sama sekali tidak melihat latar belakang
munculnya produk instan tersebut. Sedangkan munculnya produk instan itu sangat
didominasi faktor kesewenangan, emosional serta rasa takut yang berlebihan, dan
mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang ada.

b. Bahwa salah satu produk instan tersebut adalah Tim Etik berdasarkan Surat Keputusan
Ketua LPSK Nomor: Kep-034/I/LPSK/12/2009 tanggal 1 Desember 2009 tentang Pembentukan
Tim Etik LPSK, yang mekanisme kerjanya tidak jelas karena memang belum ada aturannya.
Kemudian menyadari akan kelemahan itu setelah pembentukan Tim Etik tersebut, LPSK

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 6/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

menerbitkan Peraturan LPSK Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara
Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK, yang diterbitkan secara diam-diam dan
tanpa sepengetahuan seluruh Anggota LPSK, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam proses
pemecatan PEMBANDING dari keanggotaan LPSK.

c. Bahwa Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Nomor: 5/2009 tanggal
23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK, yang
diterbitkan secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan seluruh Anggota LPSK (saat itu
Pemohon dan Anggota LPSK Myra Diarsi MA masih aktif). Sehingga peraturan tersebut
merupakan produk yang tidak sah, terlebih karena tidak sesuai dengan printah Pasal 24 UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Peraturan Presiden Nomor
30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberhentian Anggota LPSK, khususnya tentang
kewajiban membentuk Sidang Paripurna. Faktanya Rapat Paripurna yang merupakan wadah
untuk mengambil keputusan terhadap permohonan perlindungan, dianggap sebagai Sidang
Paripurna yang adalah untuk menentukan pemberhentian Anggota LPSK, yang berdampak
terjadinya kesewenang-wenangan.

d. Tidak Sahnya Peraturan LPSK Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara
Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK tersebut lebih jelas lagi, karena tidak dijadikan
dasar pembentukan Majelis Pemeriksa yang ditetapkan berdasarkan keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: KEP-12/I/LPSK/2/2010, tentang pembentukan Majelis
Pemeriksa dan Perangkat Sidang Paripurna atas dugaan perbuatan tercela yang dilakukan
oleh I Ktut Sudiharsa dan Myra Diarsi, yaitu setelah terbitnya Peraturan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009 tersebut. Hal tersebut menimbulkan tanda
Tanya besar, apakah benar tanggal 23 Desember 2009 itu sebagai tanggal terbitnya Peraturan
LPSK Nomor: 5/2009? Mengapa LPSK sendiri tidak menggunakannya sebagai dasar agar
Keputusan pemberhentian PEMOHON KASASI tersebut menjadi kronologis?

e. Tanpa disadari LPSK bahwa dengan menerbitkan Peraturan LPSK Nomor: 5/2009 tanggal
23 Desember 2009 dan langsung digunakan dalam proses pemecatan PEMOHON KASASI dari
keanggotaan LPSK adalah suatu bentuk kesewenangan hukum dan pelanggaran hak azasi
manusia (HAM). Kenyataan ini menunjukkan bahwa LPSK sama sekali tidak memperhatikan
Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (good gouvernance). Walaupun dipermukaan
terlihat seolah-olah proses pemecatan PEMOHON KASASI tersebut sudah benar dan telah
didasarkan pada peraturan yang berlaku, padahal itu merupakan suatu pembodohan dan
pembohongan terhadap publik. Dengan demikian apakah layak PEMOHON KASASI
memenuhi undangan-undangan dari Tim Etik ataupun Majelis Pemeriksa yang notabene
merupakan produk instan itu.

f. Bahwa PEMOHON KASASI sangat keberatan dengan pendapat/ pertimbangan hukum


Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya dengan membuat kronologis kasus dengan
menyusun fakta-fakta berdasarkan urutan tanggal, sebagaimana dimuat dalam halaman 67
sampai dengan halaman 73 Putusan. Hal tersebut dikarenakan akan menimbulkan kronologis
yang sesuai kemauan majelis untuk membuat pertimbangan hukumnya menjadi sangat
materiil. Fakta disusun dengan mengkaitkan bukti-bukti yang diajukan, tetapi beberapa fakta
dikaitkan dengan satu bukti, sehingga seolah-olah susunan fakta tersebut benar adanya.

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 7/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

Padahal fakta yang satu konteksnya tidak sama dengan fakta yang lain walau tanggal
berurutan, maknanya tidak berurutan, namun dibuat seolah berurutan sesuai konteks tertentu
yang diharapkan oleh majelis. Tindakan majelis jelas menciptakan kronologis yang salah, serta
memindahkan makna tujuan peradilan Tata Usaha Negara yang mengadili masalah formal
dan administrasi yang dikaitkan dengan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good
Gouvernance).

g. Bahwa PEMOHON KASASI tidak sependapat dengan pendapat/pertimbangan hukum


Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya pada halaman 75 alinea kedua, tentang alasan
pemberhentian Penggugat yang sesuai objek perkara terbukti telah mencantumkan alasan
pemberhentian yakni karena Penggugat dinyatakan telah terbukti melakukan perbuatan
tercela, karena telah mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian
dan kredibilitas LPSK. Karena semua tuduhan tersebut hanyalah kalimat yang tidak pernah
dibuktikan oleh LPSK, bahkan Temuan Tim etik halaman 75 alinea 3, juga temuan Tim
Penemu Fakta, halaman 76 tidak ada artinya, karena gugatan diajukan terhadap ketidaksahan
TIM ETIK dan Tim Penemu Fakta yang tidak ada aturan keberadaannya, sehingga apapun
yang diputuskan tidak mempunyai nilai hukum sama sekali. Sehingga Pengadilan TUN
Jakarta sebagai pengadilan yang diharapkan dapat menilai tidak menjadikan dasar
putusannya dari isi rekomendasi Tim-Tim yang tidak sah tersebut.

h. Bahwa PEMOHON KASASI sangat tidak sependapat dengan pertimbangan hukum


Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta dalam putusan perkara aquo yang justru
membenarkan atas terbitnya Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor:
5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota
LPSK, bahkan dijadikan salah satu dasar dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana
dinyatakan pada halaman 76 paragraf terakhir sampai dengan paragraf pertama dan paragraf
kedua halaman 77, berbunyi:

Menimbang, bahwa Penggugat tidak pernah datang menghadiri undangan panggilan Tim
Etik dan Majelis Pemeriksa (bukti P-6, P-7, P-8, P-9), padahal itu merupakan kewajiban
Penggugat seperti yang ditentukan oleh Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Nomor 5/2009, Pasal 6 yang menentukan: Terperiksa berkewajiban untuk menghadiri sidang
paripurna, memberikan keterangan untuk memperlancar pemeriksaan yang telah diatur
maupun hal-hal lain yang telah diputuskan oleh rapat paripurna, justru Penggugat
mengirimkan berbagai tanggapan tertulis (bukti P-7, P-8 dan P-9) bukan menolak segala
tuduhan tersebut melainkan justru menolak eksistensi Tim Etik, Tim Penemu Fakta dan Majelis
Pemeriksa.

Menimbang, bahwa ketidakhadiran Penggugat memenuhi undangan/ panggilan Tim Etik dan
Majelis Pemeriksa dapat diartikan Penggugat melepaskan haknya untuk membela diri dan
tidak membantah berbagai temuan tersebut, namun Majelis Pemeriksa tetap memberikan
putusan tanpa kehadiran Terperiksa berdasarkan Pasal 10 Peraturan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban Nomor 5/2009.

PEMOHON KASASI tidak melihat apa yang menjadi alasan pembenar Pengadilan TUN
https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 8/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

PEMOHON KASASI tidak melihat apa yang menjadi alasan pembenar Pengadilan TUN
Jakarta cq. Majelis Hakim yang terhormat yang memeriksa dan memutus perkara aquo atas
perberlakuan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009 oleh LPSK.
Apapun alasannya suatu peraturan tidak dapat berlaku surut (retro aktif), kecuali peraturan itu
diberlakukan demi keamanan Negara, misalnya Perpu tentang Terorisme.

i. Bahwa PEMOHON KASASI tidak sependapat dengan pendapat/pertimbangan hukum


Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya pada halaman 77 paragraf ketiga, berbunyi:

Menimbang, bahwa majelis hakim tidak sependapat dengan dalil penggugat yang
menyatakan bahwa Tim Etik tidak dikenal dalam aturan mengenai LPSK, karena Pasal 6 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 pada pokoknya telah menentukan bahwa
pemeriksaan anggota LPSK diselesaikan oleh LPSK melalui KEPUTUSAN SIDANG
PARIPURNA, artinya bila telah memutuskan untuk memeriksa Penggugat dilakukan oleh Tim
Etik dan Tim apapun namanya adalah sah, karena Sidang Paripurna adalah forum tertinggi
LPSK untuk menetapkan sebagai hal termasuk mengisi kekosongan hukum;

PEMOHON KASASI mempertanyakan kapan dilakukan SIDANG PARIPURNA yang


keputusannya adalah untuk mengisi kekosongan hukum itu? Faktanya Sidang Paripurna itu
tidak pernah ada, karena memang tidak ada aturannya. Yang pernah dilakukan adalah
RAPAT PARIPURNA yang pasti tidak sama dengan SIDANG PARIPURNA. Rapat Paripurna
itulah yang membentuk Tim Etik dan Tim-Tim apapun namanya, yang tentunya tidak syah,
karena rapat paripurna tidak berwenang membentuk Tim-Tim apapun namanya untuk
mengisi kekosongan hukum sebagaimana disebutkan oleh majelis. Mengapa SIDANG
PARIPURNA itu pasti tidak ada, karena perintah Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009
tentang pemberhentian Anggota LPSK, yang akan menentukan bentuk dan tugas SIDANG
PARIPURNA, belum dibuat oleh LPSK. Bahkan dalam persidangan terjadi kebingungan saksi
diajukan dari LPSK tentang hal tersebut, karena kadang menyebut Rapat Paripurna adalah
Sidang Paripurna, kadang menyebut Pemeriksaan Majelis Pemeriksa disebut Sidang
Paripurna. Keduanya tidak berdasar sama sekali, karena Majelis Pemeriksa mengeluarkan
PUTUSAN, bukan KEPUTUSAN.

j. Bahwa PEMOHON KASASI lebih tidak sependapat lagi dengan pendapat/ pertimbangan
hukum Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya pada halaman 78 paragraf kedua,
berbunyi:

Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga menolak dalil Penggugat yang menyatakan bahwa
tindakan Penggugat yang dilakukan sebelum terbitnya Kode Etik dan Tata cara pemeriksaan,
aturan itu tidak dapat berlaku surut (retro aktif), karena sebagai ketentuan tertulis walaupun
Kode Etik (P-23=T-6) dan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5/2009
(bukti T-8) yang lahir kemudian, namun harus disadari bahwa di masyarakat dan kehidupan
berbangsa dan bernegara telah ada norma yang tidak tertulis yang berlaku universal yang
tidak membolehkan profesi apapun melakukan perbuatan tercela dan pelakunya mesti diminta
pertanggungjawabannya, sejalan dengan aturan tertulis tersebut, karena pada prinsipnya etika
profesi bersifat abstrak yang ada dalam hati nurani dan akal budi, dengan demikian tanpa ada

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 9/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

berbagai aturan tertulispun pelanggaran yang dilakukan Penggugat dapat diproses sesuai
kesepakatan rapat paripurna sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban.

Jika disimak pendapat/pertimbangan hukum di atas, menunjukkan bahwa Majelis Hakim


berusaha untuk melakukan pembenaran atas tindakan-tindakan yang dilakukan LPSK dalam
proses pemecatan PEMOHON KASASI dari keanggotaan LPSK, tetapi Majelis Hakim
Pengadilan TUN Jakarta yang memeriksa dan memutus perkara aquo mungkin lupa/khilaf
karena telah memberi pendapat atau membuat pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di
atas justru merupakan kemuduran hukum. Jika saja LPSK melakukan proses pemecatan atas
diri PEMOHON KASASI langsung melalui rapat paripurna sebagaimana pendapat Majelis
Hakim di atas atau dengan sedikit menggunakan prinsip-prinsip hukum adat Minangkabau
misalnya, mungkin masih bisa dibenarkan. Berbeda dengan apa yang dilakukan LPSK melalui
rapat paripurna dengan mantap memberhentikan sementara PEMOHON KASASI,
membentuk Tim Etik, Tim Pencari Fakta dan Majelis Pemeriksa dengan melibatkan
tenaga/pihak di luar LPSK, tetapi mereka lupa bahwa aturan untuk itu belum ada, sehingga
diupayakan dan terbitlah Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009
tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK,
yang langsung diterapkan dalam proses pemecatan PEMOHON KASASI, dan ini sangat tidak
lazim dan menyalahi prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

k. Bahwa PEMOHON KASASI juga tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis
Hakim Pengadilan TUN Jakarta dalam putusan perkara aquo pada halaman 79 paragraf
kedua, berbunyi:

Menimbang, bahwa karena secara substansi tindakan Penggugat telah melanggar berbagai
ketentuan hukum tertulis yang terdiri Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009, Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 Tahun
2009, maka pengujian obyek sengketa menggunakan hukum tidak tertulis (Azas-azas Umum
Pemerintahan yang Baik) tidak diperlukan lagi;

Jika pertimbangan hukum di atas sudah dianggap benar, maka tidak ada bedanya Pengadilan
Tata Usaha Negara dengan Pengadilan-pengadilan lainnya yang mengutamakan kebenaran
materiil dari suatu peraturan perundang-undangan. Kebenaran materiil yang diangkat oleh
Majelis tidak jelas, perbuatan penggugat (sekarang pemohon) yang mana yang salah dan
melanggar pasal yang mana, karena belum ada kesepakatan antara Anggota LPSK tentang
pengertian perbuatan Tercela dimaksud. Disamping itu seharusnya Pengadilan Tata Usaha
Negara tidak hanya menguji kebenaran materiil dari peraturan perundang-undangan yang
digunakan untuk menerbitkan obyek sengketa, tetapi juga harus diuji apakah proses
penerbitan obyek sengketa tersebut berlandaskan pada Azas-azas Umum Pemerintahan yang
Baik atau tidak. Oleh karena tidak diujinya Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik oleh
Majelis Hakim Pengadilan TUN Jakarta dalam perkara aquo, maka jelas itu merupakan suatu
kekeliruan dan patut pula dipertanyakan kenapa itu tidak dilakukan.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, PEMOHON KASASI semula


https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 10/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, PEMOHON KASASI semula


PEMBANDING/PENGGUGAT mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung pada
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan
memutus dengan amar putusan sebagai berikut:

MENGADILI

Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No.


65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta No. 86/G/2010/PTUN.JKT tanggal 6 Januari 2011;

MENGADILI SENDIRI

Menerima Permohonan Kasasi dari PEMOHON KASASI semula


PEMBANDING/PENGGUGAT;

Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan TERMOHON KASASI, yaitu Keputusan
Presiden Nomor: 39/P Tahun 2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pemberhentian Anggota LPSK
atas nama I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. yang terhitung sejak akhir bulan;

Mewajibkan kepada TERMOHON KASASI untuk mencabut Keputusannya, yaitu Keputusan


Presiden Nomor: 39/P Tahun 2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pemberhentian Anggota LPSK
atas nama I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. yang terhitung sejak akhir bulan;

Menyatakan segala hal yang dihasilkan dan sebagai akibat dari terbitnya Keputusan
TERMOHON KASASI, yaitu Keputusan Presiden Nomor: 39/P Tahun 2010 tanggal 5 April
2010 tentang Pemberhentian Anggota LPSK atas nama I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. yang
terhitung sejak akhir bulan adalah tidak sah dan/atau batal demi hukum;

Mewajibkan TERMOHON KASASI merehabilitasi nama baik PEMOHON KASASI dan


mengembalikan PEMOHON KASASI pada posisi semula;

Menghukum TERMOHON KASASI untuk membayar biaya perkara pada ketiga tingkat
peradilan.

Apabila Mahkamah Agung RI berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya menurut
hukum (ex aequo et bono).

Hormat saya,
PEMOHON KASASI
I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si.

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 11/12
2/16/17 MEMORI KASASI | Community Justice
Iklan (https://en.support.wordpress.com/about-these-ads/)

Bookmark the permalink.


Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

https://ktutsudiarsa.wordpress.com/2012/09/13/memori-kasasi/ 12/12

Anda mungkin juga menyukai