Anda di halaman 1dari 67

1

Batu Bara,
dari Fosil
Menjelma Energi
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

S
ebelum bersentuhan lebih jauh dengan karakteristik dan pemanfaatan
batu bara, mari berkenalan lebih dekat dengan batu bara. Hal ini
diperlukan untuk menyamakan persepsi dan pengertian yang sama
terhadap batu bara sehingga penjelasan dan cerita saya selanjutnya akan
lebih mengena.

Proses Pembentukan Batu Bara


Batu bara merupakan sedimen mampu bakar (combustible sediment) yang
terbentuk jutaan tahun yang lalu. Sedimen ini terdiri atas sisa-sisa tumbuhan
purba yang mengalami proses metamorfosa akibat proses biokimia dan
geokimia. Jika proses biokimia mengubah sisa tanaman menjadi gambut
maka proses geokimia yang terjadi setelah penimbunan mengubah gambut
menjadi lignit batu bara paling muda. Proses geokimia seterusnya akan
mengubah lignit sampai menjadi batu bara paling tua, antrasit. Terdapat
empat jenis tanaman pembentuk batu bara (Gambar 1.1) yakni tumbuhan
hutan kering (dry forest), tumbuhan hutan basah (wet forest), tumbuhan rawa
(reed moor), dan tumbuhan air (open water) (Stach et. all., 1982).

Gambar 1.1. Tumbuhan pembentuk batu bara (Falcon, 1986)

Proses perubahan lignit (brown coal) menjadi batu bara sub-bituminous,


kemudian batu bara bituminous dan antrasit disebut proses pembatubaraan
(coalification). Proses pembatubaraan terjadi akibat pengaruh tekanan, suhu,
dan waktu. Batu bara bituminous dan antrasit biasa disebut sebagai black coal
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

(Gambar 1.2). Semakin tua dan semakin dalam lapisan batu bara menunjukkan
semakin besar tekanan dan panas yang dialami lapisan batu bara tersebut,
sehingga semakin tinggi tingkat pembatubaraannya. Tingkat pembatubaraan
atau derajat metamorfosa endapan batu bara disebut peringkat (rank).

Selain proses pembatubaraan normal (akibat tekanan, suhu dan waktu), dapat
juga terjadi pembatubaraan cepat. Misalnya adalah proses pembatubaraan
karena magma yang keluar dari bumi (intrusi) yang memanaskan batu bara
sehingga terjadi pematangan lokal secara cepat.

Gambar 1.2. Proses pembatubaraan (coalification)

Konsep Tentang Peringkat, Tipe dan Grade Batu Bara


Peringkat, tipe, dan grade adalah istilah mengenai karakteristik batu bara yang
masing-masing berdiri sendiri (tidak saling berhubungan). Tipe menunjukkan
bahan organik (tumbuhan) pembentuk batu bara; peringkat menunjukkan
tingkat kematangan atau derajat metamorfosa batu bara; sedangkan grade
berhubungan dengan pengotor batu bara (kadar abu, kadar belerang, dan
titik leleh abu). Gambar 1.3 menunjukkan konsep tentang tipe, peringkat dan
grade batu bara. Sebagai gambaran, batu bara peringkat rendah (low rank
coal) termasuk batu bara low grade (low grade coal), tetapi low grade coal
belum tentu low rank coal. Hal ini disebabkan batu bara peringkat tinggi (high
rank coal) juga bisa disebut low grade coal jika kadar pengotornya (misalnya
abu) tinggi.

3
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Klasifikasi Batu Bara


Klasifikasi batu bara yang banyak
digunakan adalah meliputi klasifikasi
menurut ASTM, klasifikasi menurut
ISO, Klasifikasi Internasional. Di
Indonesia terdapat klasifik asi
batu bara berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 45 tahun 2003.
Klasifikasi berdasarkan
peringkat menurut ASTM
Peringkat batu bara adalah posisi
batu bara dalam seri lignit
antrasit. Batu bara diklasifikasikan
berdasarkan peringkatnya oleh
ASTM (American Standards for Testing
and Materials) seperti pada Gambar Gambar 1.3. Konsep Grade, type dan rank
batu bara (Falcon, 1986)
1.4. Data yang diperlukan untuk
klasifikasi adalah kadar karbon
padat dmmf (dry mineral matter free), kadar zat terbang dmmf (dry mineral
matter free) dan nilai kalor mmf (moist mineral matter free). Yang disebut
kondisi moist adalah kondisi batu bara yang masih berada dalam tanah
dan mengandung bed moisture. Data tersebut diperoleh dari perhitungan
menggunakan Rumus Parr.

Untuk batu bara peringkat menengah ke atas digunakan data karbon padat
dmmf dan kadar zat terbang dmmf. Sedangkan untuk batu bara peringkat
menengah ke bawah digunakan data nilai kalori mmf. Menurut ASTM batu
bara peringkat rendah (low rank coal) adalah: batu bara yang mempunyai
kadar karbon padat dmmf <69% atau kadar zat terbang dmmf >31% dan
nilai kalori mmf<10.500 Btu/lb atau <8.333 kcal/kg).

4
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Karbon Padat, %, Zat Terbang, %, Nilai Kalori, Btu/lb,


d.m.m.f d.m.m.f m.m.f
Kelas Grup
sama sama sama
< > <
atau > atau > atau >
Meta Ant. 98 2
Anthracite Anthracite 92 98 2 8
Semi Ant. 86 92 8 14
Low Vol. Bit. 78 86 14 22
Med. Vol. Bit. 69 78 22 31
Bituminous High Vol. A Bit. 69 31 14.000
High Vol. B Bit. 13.000 14.000
High Vol. C Bit. 10.500 13.000
Sub Bit. A 10.500 11.500
Sub Bituminous Sub Bit. B 9.500 10.500
Sub Bit. C 8.500 9.500
Lignite A 6.300 8.500
Lignite
Lignite B 6.300
Gambar 1.4. Klasifikasi Berdasarkan Peringkat Menurut ASTM (ASTM, 2009)

Klasifikasi menurut ISO (International Standard Organization)


ISO (International Standarizations Organization) juga mengeluarkan sistem
klasifikasi batu bara berdasarkan peringkat, tetapi penentuan peringkatnya
menggunakan reflektan vitrinit (Rv) hasil analisis petrografi batu bara. ISO
membagi kelas/peringkat batu bara menjadi tiga yakni peringkat rendah,
peringkat menengah dan peringkat tinggi (Gambar 1.5).

Batu bara peringkat rendah adalah lignit sub-bituminous yang mempunyai


Rv 0.5%. Batu bara peringkat menengah adalah batu bara bituminous yang
mempunyai Rv antara 0,5 2,0. Sedangkan batu bara peringkat tinggi adalah
kelompok batu bara antrasit yang mempunyai Rv antara 2,0 6,0.

5
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Gambar 1.5. Klasifikasi Menurut ISO (ISO, 2005)

Klasifikasi Menurut Standar Indonesia


Melalui Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2003 Indonesia mengeluarkan
sistem klasifikasi batu bara yang didasarkan atas nilai kalori adb. Menurut
klasifikasi ini batu bara dibagi menjadi tiga kelas yakni kelas rendah dengan
nilai kalori 5.100 kkal/kg, batu bara kelas menengah dengan nilai kalori
antara 5.100 6.100 kkal/kg, batu bara kelas tinggi dengan nilai kalori antara
6.100 7.100 kkal/kg, dan batu bara kelas sangat tinggi dengan nilai kalori
7.100 kkal/kg (Tabel 1.1).

6
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Tabel 1.1. Klasifikasi batu bara Menurut Standar Indonesia

Kelas Nilai Kalor, kkal/kg


Rendah 5.100
Menengah 5.100 6.100
Tinggi 6.100 7.100
Sangat tinggi 7.100

CATATAN:

Peringkat batu bara (menurut ASTM/ISO) tidak bisa dihubungkan dengan


kelas batu bara (standar Indonesia) karena dasar pelaporan analisisnya
berbeda (MMF dan ADB)

Karakteristik Batu Bara


Setiap batu bara mempunyai karakteristik (ciri khusus) masing-masing
tergantung peringkatnya. Karakteristik yang paling mudah dikenali adalah
sifat fisiknya. Gambar 1.6 menunjukkan perubahan sifat fisik dari gambut
menjadi batu bara peringkat terendah (lignit) sampai peringkat tertinggi
(antrasit).

Batu Bara Peringkat Rendah ( Low Rank Coal )


Sifat fisik batu bara peringkat rendah yang umum adalah sebagai berikut:

Warnanya cokelat kusam, disebut juga batu bara cokelat (brown coal)
kalau dipegang mengotori tangan.
Kekerasannya rendah (lunak) rapuh, disebut juga batu bara lunak (soft
coal ) mudah digerus dan HGI tinggi, kecuali kalau kadar abunya tinggi
dan mengandung mineral terutama silika.
Ketahanan terhadap cuaca (Weathering index) rendah, mudah hancur
jika terkena perubahan cuaca (panas dan hujan). Tingkat segregasi
semakin tinggi dengan semakin rendahnya peringkat batu bara.
Mudah hancur dan membentuk partikel halus dan debu, ketika
dipindahkan.
Porositasnya tinggi, mudah menyerap air sehingga selama musim
hujan kadar air akan tinggi.

7
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Gambar 1.6. Perubahan fisik gambut menjadi batu bara antrasit

Reaktivitasnya tinggi dan mudah terbakar, titik nyala rendah.


Dalam stockpile (penyimpanan) mudah terjadi swabakar.
Titik leleh abu rendah, sering menyebabkan fouling dan slagging.
Tidak mempunyai sifat coking (FSI = 0) sehingga tidak cocok untuk
pembuatan kokas; umumnya untuk bahan bakar (steam coal)
Reflektan vitrinit (Rv) kurang dari 0,5%.
Bersifat hidrophilik.
Sedangkan sifat kimia batu bara peringkat rendah meliputi:

Kadar air-nya tinggi, kadar bed moisture dapat mencapai 75%; oleh
karena itu tidak cocok untuk transportasi jarak jauh karena biaya mahal;
jika digunakan untuk pembakaran, efisiensi pembakaran rendah;
proses upgrading batu bara sedang berkembang untuk mengurangi
kadar air.
Kadar zat terbang tinggi, pada kondisi dmmf > 31% sehingga mudah
terbakar.
Sebaliknya kadar karbon rendah, pada kondisi dmmf <69%.
Nilai kalorinya rendah, pada kondisi mmf (klasifikasi ASTM) <10.500
Btu/lb.
Kadar oksigen: tinggi sampai >20% (antrasit 1-2%), menambah oksigen
untuk reaksi oksidasi/pembakaran, menyebabkan batu bara mudah
terbakar.
Kadar hidrogen tinggi sampai >5% (antrasit 3%), mudah terbakar.

8
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Kadar logam alkali: bervariasi, tetapi umumnya terikat dengan garam


organik, sehingga termasuk alkali reaktif. Senyawa alkali mudah
meleleh dan menguap, menyebabkan slagging dan fouling.

Batu Bara Peringkat Menengah (Medium Rank Coal)


Sifat fisik batu bara peringkat menengah yang umum adalah sebagai berikut:

Warnanya hitam mengkilat, kalau dipegang tidak mengotori tangan


disebut juga black coal.
Kekerasannya lebih tinggi mempunyai HGI lebih rendah, disebut juga
batu bara keras (hard coal ).
Ketahanan terhadap cuaca (weathering index) rendah, tidak mudah
hancur jika terkena perubahan cuaca (panas dan hujan).
Tidak mudah hancur dan sedikit membentuk partikel halus dan debu,
dalam proses transportasi.
Porositasnya rendah, tidak mudah menyerap air selama musim hujan.
Reaktivitasnya lebih rendah dari batu bara peringkat rendah.
Dalam stockpile (penyimpanan) tidak mudah terjadi swabakar.
Titik leleh abu lebih tinggi, tidak menyebabkan fouling dan slagging
kecuali jika mengandung pengotor alkali (sodium dan kalium).
Bersifat coking, bahkan FSI bisa lebih dari 6 dan cocok untuk pembuatan
kokas terutama batu bara peringkat medium volatile bituminous dan
low volatile bituminous.
Reflektan vitrinit (Rv) antara 0,5 2,0 %.
Bersifat hidrophobik.
Sedangkan sifat kimia batu bara peringkat rendah meliputi:

Kadar air-nya rendah.


Kadar zat terbang pada kondisi dmmf >14%.
Sebaliknya kadar karbon lebih tinggi, pada kondisi dmmf bisa
mencapai 78%.
Nilai kalorinya tinggi, pada kondisi mmf (klasifikasi ASTM) bisa
mencapai >14.000 Btu/lb.
Kadar oksigen lebih rendah, bisa mencapai kurang 3%

9
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Kadar hidrogen lebih rendah, bisa kurang dari 4%.


Logam alkali umumnya tidak terikat dengan garam organik, sehingga
tidak termasuk alkali reaktif.

Batu Bara Peringkat Tinggi (High Rank Coal)


Sifat fisik batu bara peringkat tinggi yang umum adalah sebagai berikut:

Warnanya hitam mengkilat sampai keperakan, termasuk batu bara


black coal, kalau dipegang tidak mengotori tangan.
Kekerasannya tinggi kecuali proses pembatubaraannya karena intrusi,
termasuk juga batu bara keras (hard coal ), HGI-nya rendah.
Ketahanan terhadap cuaca (weathering index) paling tinggi, tidak
mudah hancur jika terkena perubahan cuaca (panas dan hujan).
Tidak mudah hancur dan tidak membentuk partikel halus dan debu
dalam proses transportasi.
Porositasnya sangat rendah, hampir tidak menyerap air selama musim
hujan.
Reaktivitasnya sangat rendah dan tidak mudah terbakar, titik nyala
tinggi sehingga tidak cocok untuk bahan bakar (steam coal), biasanya
untuk bahan reduktor.
Dalam stockpile (penyimpanan) tidak akan terjadi swabakar.
Titik leleh abu tinggi, kecuali jika mengandung alkali (sodium dan
kalium).
Tidak mempunyai sifat coking (FSI = 0) sehingga tidak cocok untuk
pembuatan kokas.
Reflektan vitrinit (Rv) antara 2,0 6,0%.
Bersifat hidrophobik.
Sedangkan sifat kimia batu bara peringkat rendah meliputi:

Kadar air-nya paling rendah


Kadar zat terbang paling rendah pada kondisi dmmf <14%.
Sebaliknya kadar karbon paling tinggi, pada kondisi dmmf >86%.
Nilai kalorinya tinggi, tetapi bisa lebih rendah dari nilai kalori batu bara
peringkat bituminous.

10
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Kadar oksigen paling rendah antara 1-2%)


Kadar hidrogen terendah lebih kurang 3%.
Logam alkali umumnya tidak terikat dengan garam organik, sehingga
tidak termasuk alkali reaktif.

Pemanfaatan Batu Bara


Pembakaran Batu Bara Secara Langsung (Padat)
Pembakaran batu bara secara langsung adalah cara paling mudah dalam
pemanfaatan batu bara guna menghasilkan panas untuk proses pada industri
maupun pembangkit listrik. Oleh karena itu, penggunaan batu bara sebagai
bahan bakar langsung merupakan pasar utama dalam pemanfaatan batu
bara.

Proses Pembakaran Batu Bara

Pembakaran adalah reaksi cepat antara oksigen dengan bahan mampu


bakar (combustible material) dari bahan bakar. Batu bara mengandung unsur
utama C, H, N, S dan O yang dalam pembakaran sempurna dirubah menjadi
CO2, H2O, SO2, dan NOx. Di antara bahan bakar fosil, batu bara adalah bahan
bakar padat paling sulit terbakar karena pembakaran batu bara harus melalui
beberapa tahapan.

Pelepasan dan pembakaran zat terbang; oleh karena itu diperlukan pre-
heating (pemanasan awal) pada suhu titik nyala batu bara sehingga zat
terbang dilepaskan kemudian terbakar membentuk nyala api.

Pembakaran sisa semikokas/char: pada tahap ini terjadi akibat reaksi


antara bahan mampu bakar dari arang batu bara dengan oksigen dari
udara primer.
Pelepasan bahan mineral.

11
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Sistem Pembakaran Batu Bara

Terdapat empat sistem pembakaran batu bara yang sudah diaplikasikan


secara luas yakni unggun tetap (fixed bed), batu bara bubuk (pulverized coal),
pembakaran siklon (cyclone burner), dan unggun terfluidakan.

Sistem unggun-tetap (fixed bed)

Sistem unggun tetap disebut juga sistem pembakaran dengan menggunakan


kisi (Grate).

Sistem batu bara bubuk (pulverized coal)

Pada sistem ini batu bara bubuk dialirkan bersama-sama udara primer ke
burner di dalam tungku. Sistem ini disebut juga sistem pulverized coal atau
suspension firing, batu bara yang digunakan berukuran lolos saringan 200
mesh (75 mikron).

Sistem pembakaran siklon

Salah satu masalah yang belum tertangani secara total pada pembakaran
batu bara bubuk adalah pembentukan terak (slag) dari lelehan abu batu bara.
Walaupun pembakaran bubuk tipe wet bottom (slag tap furnace) dirancang
untuk mengeluarkan abu batu bara dalam bentuk slag, tetapi kelemahannya
adalah banyaknya kehilangan panas (heat loss) akibat luasnya area lelehan
abu. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian dikembangkan tungku/
pembakaran siklon (cyclone). Tungku ini melokalisasi lelehan abu melalui
desain dengan yang membuat dimensi area lelehan abu menjadi relativ
minor dibanding area seluruh tungku (Sherman, 1963).

Sistem unggun terfluidakan (fluidized-bed)

Pada pembakaran sistem unggun terfluidakan digunakan pelat pendistribusi


(distributor plate) dan material unggun (biasanya pasir kuarsa) yang terletak
di atasnya. Gas pereaksi dialirkan melalui pelat pendistribusi sehingga terjadi

12
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

fluida material unggun yang juga berfungsi sebagai penghantar panas. Batu
bara berukuran lolos 5 mm dimasukkan ke dalam unggun (underbed atau
overbed) sehingga difluidakan bersama-sama material unggun.

Masalah Lingkungan
Proses pembakaran batu bara menghasilkan limbah gas dan padatan yang
dilepaskan ke atmosfer. Limbah-limbah tersebut terdiri atas SOx, NOx,
partikulat, unsur runutan dan CO2. Apabila pembakaran tidak sempurna
juga dihasilkan emisi CO dan senyawa organik (hidrokarbon alipatik maupun
aromatik).

Konsep Teknologi Batu Bara Bersih (Clean Coal Technology)

Yang dimaksud dengan teknologi batu bara bersih adalah teknologi yang
dikembangkan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari
pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi.

Konsep lama

Konsep lama teknologi batu bara bersih difokuskan pada pengurangan emisi
polutan-polutan konvensional SOx, NOx dan partikulat (Anonim, 2012).
Terdapat tiga kelompok teknologi yang terdiri atas Pre-combustion, During
combustion, dan Post combustion.

Pre-combustion: pengurangan emisi dilakukan sebelum proses


pembakaran batu bara, misalnya dengan pencucian, blending, dan
konversi (gasifikasi, pencairan).
During-combustion: pengurangan emisi pembakaran dilakukan
selama (bersama-sama) proses pembakaran. Teknologi yang umum
digunakan adalah pembakaran sistem terfluidakan (fludized bed
combustion - FBC) yang difokuskan terutama untuk mengurangi emisi
SOx dan NOx.
Post combustion: pengurangan emisi dilakukan dengan menangkap
polutan (partikulat, SOx, NOx) setelah pembakaran atau memisahkan

13
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

polutan dari gas buang yang keluar dari cerobong, misalnya dengan
bag filter dan electrostatic perecipitator (untuk partikulat), flue gas
desulfurization atau FGD untuk SOx, dan denitrification (untuk NOx).

Konsep baru

Pada konsep yang baru, teknologi batu bara bersih lebih difokuskan pada
pengurangan emisi CO2 dan merkuri karena polutan konvensional nampaknya
sudah tidak menjadi masalah lagi oleh negara-negara maju. Pengurangan
emisi CO2 memang dapat dilakukan di antaranya dengan meningkatkan
efisiensi pembakaran atau efisiensi pembangkit listrik. Tetapi dengan
persyaratan emisi yang semakin ketat, maka pengurangan emisi CO2 tidak
cukup hanya melalui efisiensi pembakaran, kecuali melalui konversi batu
bara dengan proses gasifikasi atau proses pencairan atau melalui penerapan
teknologi CCS (carbon capture and storage).

Peraturan Pemerintah tentang Emisi dan Baku Mutu Udara

Peraturan Pemerintah tentang baku mutu emisi untuk pembangkit listrik


tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dituangkan dalam Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 13 tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995 (Anonim,
1995). Pada saat itu baku mutu emisi yang diberlakukan adalah seperti tertera
pada Tabel 1.2, yakni berlaku efektif tahun 1995. Tabel yang merupakan
Lampiran III-A Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tersebut membatasi
emisi total partikel (partikulat), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO2)
dan opasitas (gangguan visibilitas akibat asap). Baku mutu ini terutama untuk
PLTU yang saat itu sudah beroperasi.
Tabel 1.2. Baku mutu emisi untuk PLTU batu bara (berlaku efektif tahun 1995)

Parameter Batas Maksimum (mg/m3)


1. Total partikel 300
2. Sulfur Dioksida (SO2) 1500
3. Nitrogen Oksida (NO2) 1700
4. Opasitas 40%

14
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Selain Lampiran III-A, Keputusan Menteri Lingkungan tersebut juga disertai


Lampiran III-B yang diberlakukan efektif mulai tahun 2000 seperti tertera
pada Tabel 1.3 (Anonim, 1995) dengan batasan yang lebih ketat.
Tabel 1.3. Baku mutu emisi untuk PLTU batu bara (berlaku efektif tahun 2000)

Parameter Batas Maksimum (mg/m3)


1. Total partikel 150
2. Sulfur Dioksida (SO2) 750
3. Nitrogen Oksida (NO2) 850
4. Opasitas 20%

Selain baku mutu emisi, Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang


pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) melalui Peraturan
Pemerintah No.18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya
dan Beracun tanggal 27 Februari 1999. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
limbah B3 (Tabel 1.4.) adalah limbah dari PLTU batu bara tetapi kenyataannya
(di lapangan) semua limbah pembakaran batu bara termasuk briket dianggap
sebagai limbah B3 (Anonim, 1999).

Tabel 1.4. Limbah B3 dari PLTU batu bara

Kode Limbah D233


Jenis Industri/Kegiatan PLTU yang menggunakan batubara
Kode Kegiatan 4010
Sumber Pencemaran Pembakaran batu bara yang digunakan
pembangkit listrik
Fly ash
Buttom ash (yang memiliki di atas standar dan
Asal/Uraian Limbah
memiliki karakteristik limbah B3
Limbah PCB
Logam berat
Pencemaran Utama
Bahan organik (PNA: polynuclear aromatic)

Kyoto Protocol (Global Warming)

Kyoto Protocol adalah protokol Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa


Bangsa mengenai Perubahan Cuaca (United Nations Framework Convention

15
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

on Climate Change - UNFCCC atau FCCC) yang dimasudkan untuk memerangi


pemanasan global. UNFCC adalah perjanjian lingkungan internasional dengan
tujuan mendapatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca yang stabil di atmosfer
pada suatu level yang dapat mencegah gangguan antropogenik yang
berbahaya terhadap sistem cuaca. Protokol Kyoto pada awalnya diadopsi
pada tanggal 11 Desember 1997 di Kyoto, Jepang, dan diberlakukan sejak
tanggal 19 Pebruari 2005. Sampai dengan September 2001, 191 negara telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto (Anonim, 2012).

Sehubungan dengan Protokol Kyoto, terdapat pembagian Negara-negara


peserta sebagai berikut:

Negara-negara Annex I: Negara-negara industri dan ekonominya


transisi. Negara-negara ini telah meratifikasi Protokol Kyoto dan
berkomitmen mengurangi level gas-gas rumah kaca ke target di bawah
emisi gas rumah kaca mereka tahun 1990.
Negara-negara Annex II: Negara-negara maju yang membayar biaya
Negara-negara berkembang dalam pengurangan emisi CO2.
Negara-negara Non Annex I: Negara-negara berkembang dan tidak
diharuskan mengurangi emisi gas rumah kaca kecuali dibiayai dan
dipasok teknologi oleh Negara maju.

Pengolahan Batu Bara


Proses pengolahan batu bara terdiri atas pencucian, upgrading dan
pembuatan CWF (Coal Water Fuel).

Pencucian

Tujuan utama proses pencucian adalah untuk memisahkan pengotor berupa


bahan mineral (mineral matter) yang meliputi abu dan belerang. Dengan
berkurangnya kadar abu dan kadar belerang maka limbah/emisi abu dan
emisi SOx menjadi berkurang. Disamping itu ada juga pengotor batu bara
berupa natrium yang dapat menyebabkan masalah operasi pembakaran
yakni menyebabkan terjadinya fouling. Pengurangan kadar natrium batu bara
tidak dilakukan melalui proses pencucian tetapi dengan cara lain misalnya

16
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

pertukaran ion (ion exchange) dan pelarutan garam (klorida) natrium batu
bara dengan air.

Proses pencucian batu bara idealnya diawali dengan karakterisasi batu bara
terutama petrografi, kemudian dengan uji ketercucian (float and sink test).
Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui keterdapatan dan distribusi
mineral dalam batu bara, apakah sebagai mineral syngenetic berupa layer
atau partikel yang terbentuk pada tahap I pembatubaraan (coalification),
atau sebagai mineral epigenitik yang terdapat dalam retakan batu bara yang
terbentuk pada pembatubaraan tahap II. Mineral syngenetic lebih sulit untuk
dipisahkan, apalagi kalau terdapat sebagai layer dalam batu bara (Falcon,
1986).

Pada sebagian besar proses pencucian batu bara pemisahan pengotor


(mineral) dari batu bara didasarkan atas perbedaan densiti antara bermacam
partikel. Oleh karena itu, uji ketercucian dilakukan untuk mengetahui
distribusi partikel batu bara berdasarkan densiti. Contoh-contoh peralatan/
sistem pemisahan berdasarkan massa jenis di antaranya adalah jengkek (jig),
heavy medium bath, siklon, cylindrical separator, dan table.

Selain berdasarkan densitas, beberapa proses pencucian menggunakan sifat


permukaan (surface properties) untuk memisahklan mineral. Flotasi buih (froth
flotation) merupakan proses yang paling banyak digunakan untuk pencucian
batu bara partikel halus yakni berukuran lolos saringan 0,5 mm. Selain flotasi
buih, proses aglomerasi (oil agglomeration atau spherical agglomeration)
merupakan alternatif untuk proses pencucian batu bara partikel halus (Ward,
1984).

Upgrading

Tujuan utama proses upgrading adalah untuk meningkatkan kualitas batu


bara peringkat rendah (nilai kalor rendah dan kadar air tinggi) sehingga
menyerupai kualitas batu bara peringkat menengah atau tinggi (nilai kalor
tinggi dan kadar rendah). Batu bara peringkat rendah tidak disukai karena
kadar airnya yang tinggi dapat menimbulkan masalah, mulai dari penanganan,
transportasi, grinding, dan merendahkan nilai kalor (Rance, 1975).

17
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Dalam penanganan (handling): batu bara sulit ditangani (lengket) dan bisa
terjadi penyumbatan pada bunker, hopper, atau chute;

Dalam transportasi: menyebabkan tinginya biaya transportasi.


Dalam grinding: batu bara yang basah sulit digerus dan kapasitas
penggerus menjadi rendah.
Dalam pembakaran: menyebabkan kehilangan panas (heat loss) yakni
pengurangan kalori sebesar 72 kkal/kg air yang terdapat dalam batu
bara sehingga merendahkan nilai kalor. Tingginya kadar air dalam
batu bara juga menyebabkan efisiensi pembakaran rendah dan emisi
polutan per satuan energi menjadi besar. Oleh karena itu, disamping
meningkatkan nilai tambah proses upgrading juga mendukung
teknologi batu bara bersih.
Proses upgrading batu bara selama ini lebih dikenal dengan proses
pengeringan atau pengurangan kadar air karena dengan berkurangnya
kadar air maka nilai kalor batu bara meningkat. Proses pengeringan/
upgrading batu bara dilakukan melalui evaporasi (evaporative
drying) maupun non-evaporasi (non-evaporative drying). Pada proses
evaporative drying, air diuapkan, mulai dengan cara sederhana dengan
sinar matahari (solar drying) atau dengan pemanasan pada suhu
penguapan air sampai dengan 200oC (thermal evaporative) di dalam
suatu reaktor. Dengan cara demikian maka proses evaporasi diharapkan
tidak mengubah struktur kimia batu bara, kecuali menghilangkan atau
mengurangi kadar air. Produk dari proses evaporasi biasanya langsung
digunakan misalnya untuk pembangkit listrik. Untuk mengoptimalkan
proses evaporasi beberapa proses menggunakan tekanan tinggi.
Disamping itu untuk mencegah penyerapan kembali air ke dalam pori
bisa ditambahkan bahan lain (ter, residu) untuk menutup pori-pori
batu bara. Teknologi-teknologi upgrading dengan evaporasi sudah
lama dikembangkan misalnya solar drying flash drying, rotary drum
dying, steam tube drying, dan fluidized bed drying. Bahkan teknologi
rotary drum drying sudah komersial sejak tahun 1920-an (Cough,
1990). Teknologi upgrading menggunakan thermal drying yang saat
ini dikembangkan diantaranya adalah upgraded brown coal (UBC),
BCB (Binderless Coal Briquetting), CUB (Coal Upgrading and Briquetting).

18
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Contoh proses non-evaporative drying adalah Hot Water Drying (HWD),


yakni proses pengeringan dilakukan dengan memasak batu bara
dengan tekanan (pressure coking) dan media air. Dengan proses ini air
terpisah dari batu bara mirip dengan kondisi pada saat pembatubaraan
(coalification) tetapi tekanannya jauh lebih rendah. Oleh karena itu
selain pengurangan air juga terjadi perubahan struktur kimia batu
bara yang menyebabkan batu bara tidak menyerap kembali air. Contoh
lain non-evaporative drying adalah dengan memanaskan batu bara
menggunakan uap air sehingga disebut steam drying (SD).
Selain melalui pengeringan, proses upgrading juga dilakukan proses
upgrading kedua adalah pirolisis (low-temperature pyrolisis atau mild pyrolisis)
pada suhu sampai 500oC. Pada proses ini selain evaporasi juga terjadi
sedikit perubahan struktur kimia batu bara yang menyebabkan keluarnya zat
terbang. Produk yang dihasilkan disebut process derived fuel (PDF) mempunyai
karakteristik hampir mirip dengan char. Teknologi yang saat ini sedang
dikembangkan (di Amerika Serikat) adalah ENCOALs LFC, ACCP (Advanced
Coal Conversion Process, RES (Rinker-England-Skov) dan K-Fuel. Bahkan kedua
teknologi pertama siap untuk skala komersial (Miller, 2011). Selain itu, Cina
juga sedang mengembangkan teknologi Limax skala komersial. Sementara
di Indonesia juga sedang dikembangkan teknologi Geocoal.

Coal Water Fuel (CWF)

CWF yang merupakan campuran batu bara-air dikembangkan pertama kali di


Jepang untuk menggantikan peran bahan bakar minyak (minyak berat) yang
digunakan pada boiler-boiler pembangkit listrik. Dengan semakin tingginya
harga bahan bakar minyak maka perlu pengalihan ke penggunaan batu bara.
Agar tidak harus mengganti boiler minyak, awalnya dikembangkan bahan
bakar campuran minyak-batu bara (coal oil mixture COM). Namun bahan
bakar ini tidak berkembang dengan baik, apalagi ternyata masih tergantung
terhadap minyak. Kemudian dikembangkan campuran batu bara-air (coal
water fuel CWF atau coal water mixture CWM). Dengan menggunakan CWF
maka tidak diperlukan banyak modifikasi terhadap boiler.

Pabrik komersial CWF dibangun oleh Jepang di Cina menggunakan batu


bara (bituminous) Cina, kemudian produknya dikirim ke Jepang untuk
membangkitkan PLTU (Anonim, 1993; Fujita, 1999).

19
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

CWF dibuat dengan mencampurkan batu bara bubuk, air dan aditif dengan
perbandingan tertentu (60-70% batu bara, 30-40% air dan aditif 1%). Dengan
dibuat menjadi CWF maka diperoleh bahan bakar mirip dengan minyak berat
dan mempunyai mempunyai karakteristik sebagai berikut (Fujita, 1999):

dapat disimpan dan diangkut sistem tertutup (closed storage &


transportation).
tidak ada resiko swabakar (spontaneous combustion)
tidak ada resiko ledakan (explosion hazard)
tidak ada debu.
Batu bara yang cocok untuk bahan baku adalah batu bara bituminous karena
batu bara bituminous memiliki karakteristik:

porositasnya rendah;
kadar gugus karbonil rendah;
kadar air rendah;
bersifat hidropobik
sifat pengalirannya (slurryability) tinggi.
Batu bara peringkat rendah mempunyai karakteristik sebaliknya, yakni:

porositasnya tinggi;
kadar gugus karbonil tinggi;
kadar air tinggi;
bersifat hidropilik;
sifat pengalirannya (slurry-ability) rendah.
Oleh karena itu untuk membuat CWF dari batu bara peringkat rendah
perlu dilakukan proses upgrading terhadap batu bara agar karakteristiknya
mirip dengan batu bara peringkat tinggi. Proses upgrading yang dapat
menghasilkan produk yang sesuai untuk bahan baku CWF diantaranya adalah
HWD dan UBC (Fujita, 1999; Umar, 2011).

Teknologi Batu Bara Bersih dalam Pembangkit Listrik Batu Bara


Teknologi batu bara bersih (TBB) dalam pembangkit listrik (advanced power
plant) adalah bagaimana mengurangi emisi polutan udara dan gas rumah

20
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

kaca khususnya CO2. Pendekatan pertama untuk mengurangi emisi tersebut


adalah dengan meningkatkan efisiensi termal pembangkit. Pendekatan ke
dua adalah dengan menggunakan bahan bakar yang rendah karbon misalnya
gas alam dan bahan bakar terbarukan. Pendekatan ke tiga adalah dengan
menangkap dan menyimpan CO2 (carbon capture and storage CCS) dari
pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Sedangkan pengurangan emisi
merkuri biasanya dilakukan dengan menggunakan adsorben seperti karbon
aktif untuk menangkap merkuri dari gas buang (Miller, 2011).

Konversi
Konversi batu bara adalah proses mengubah batu bara menjadi bentuk/
material lain sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar yang lebih
bersih atau sebagai bahan baku industri. Konversi batu bara dapat dilakukan
melalui proses pirolisis/karbonisasi (pyrolisis/carbonization), gasifikasi
(gasification) dan pencairan (liquefaction).

Pirolisis dan Karbonisasi

Karbonisasi dan pirolisis, dua istilah yang penggunaannya sering tertukar


karena keduanya didasarkan atas dekomposisi atau penguraian batu bara
menggunakan panas dengan udara (oksigen) terbatas. Pirolisis adalah
proses dekomposisi batu bara yang menghasilkan produk berupa padatan
(semikokas atau char), cairan dan gas. Apabila produk utama yang diinginkan
berupa padatan (kokas) maka prosesnya disebut karbonisasi. Selain produk
utamanya, perbedaan antara pirolisis dan karbonisasi adalah dalam hal
suhu proses, yakni pirolisis umumnya menggunakan suhu rendah (<700oC)
sementara karbonisasi dapat dilakukan pada suhu rendah maupun suhu
tinggi (900-1350oC).

Pirolisis

Proses pirolisis yang dilakukan terhadap batu bara biasanya menggunakan


aliran gas lebam (inert) agar keadaan pelaskanaan proses betul-betul terbebas
dari oksigen (udara). Selain menggunakan gas lebam, proses pirolisis juga

21
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

menggunakan gas hidrogen sehingga prosesnya disebut hidropirolisis


(hydropyrolysis).

Pada proses pirolisis dekomposisi batu bara mulai terjadi pada suhu 350-400oC
dan menghasilkan residu yang kaya akan karbon dan fraksi volatil yang kaya
akan hidrogen. Empat produk yang dihasilkan oleh pirolisis yakni semikokas
(char), ter yang terdiri atas senyawa hidrokarbon (alifatik) cair, gas dan minyak
ringan. Apabila pemanasan dilakukan dengan cepat maka 68-87% kalori
batu bara akan tertinggal dalam char, 10-23% tertinggal dalam ter, dan 7%
terbawa gas (Lowry, 1963).

Tar yang dihasilkan tergantung batu bara yang digunakan (terutama kadar
zat terbangnya). Pada suhu 600oC tar yang dihasilkan mencapai 4,6-6,8%
(lignit), 11% (batu bara subbituminous) dan 33% (batu bara high volatile
bituminous) dari umpan batu bara kering. Sementara gas yang dihasilkan
mencapai 22,7% (lignit), 26,4% (batu bara subbituminous) dan 6,6% (batu bara
high volatile bituminous) dari umpan batu bara kering. Produk gas terutama
dikomposisikan oleh gas-gas H2, CH4, CO dan CO2 (Howard, 1981).

Pada proses hidropirolisis hidrogen dapat bereaksi dengan komponen


dekomposisi batu bara (fraksi volatile) atau dengan char. Produk yang
dihasilkan dari hidropirolisis berupa gas-gas (CH4, CO, CO2 dan hidrokarbon
lainnya), ter dan char. Hidropirolisis pada suhu antara 450-600oC dan waktu
tinggal (residence time) yang lama menghasilkan produk utama berupa cairan
(ter). Sementara hidropirolisis pada suhu antara 600-1000oC menghasilkan
produk utama berupa gas metana (CH4).

Karbonisasi suhu rendah

Proses karbonisasi suhu rendah awalnya dikembangkan untuk memproduksi


char dengan hasil samping berupa ter dan gas. Produk padatan karbonisasi
suhu rendah mempunyai karakteristik poros, masih mengandung zat terbang
dan mirip dengan arang kayu (charcoal) sehingga lebih cocok disebut char
daripada semikokas. Gas yang dihasilkan digunakan untuk bahan bakar,
sementara ter dapat digunakan untuk bahan baku industri kimia atau diproses
lebih lanjut menjadi bensin, minyak bakar dan pelumas.

22
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Teknologi yang digunakan pada awalnya adalah unggun-tetap (fixed bed)


dan unggun-bergerak (moving-bed), beroperasi secara berkala (batch) atau
terus-menerus serta sistem vertikal. Namun kini teknologi yang banyak
diaplikasikan adalah sistem unggun-terfluidakan (fluidized-bed) dan entrained-
bed. Batu bara yang digunakan untuk proses ini terutama adalah peringkat
lignit dan subbituminous. Batu bara peringkat high volatile bituminous juga
bisa digunakan asal menghasilkan char yang poros dan reaktif.

Aplikasi proses karbonisasi suhu rendah secara komersial diantaranya terdiri


atas (Miller, 2011):

produksi bahan bakar tak berasap (smokeless fuel) merupakan aplikasi yang
banyak digunakan di Inggris yakni untuk rumah tangga (memasak), pemanas
ruangan, industri dan boiler.

produksi kokas metalurgi melalui melalui proses ganda (double process)


yakni melalui pembriketan char dengan binder (biasanya coal tar pitch)
kemudian dikarbonisasi pada suhu tinggi.
produksi karbon aktif melalui proses aktivasi char secara fisika
menggunakan uap air atau gas CO2.
proses upgrading batu bara peringkat rendah.

Karbonisasi suhu tinggi

Karbonisasi suhu tinggi disebut juga proses pengkokasan karena produk


utama yang diinginkan adalah kokas untuk industri metalurgi (besi dan baja).
Kokas yang digunakan dalam tungku (blast furnace) berfungsi sebagai bahan
bakar, reduktor dan kerangka yang menyangga umpan. Oleh karena itu sifat
utama kokas yang diperlukan adalah sifat fisiknya.

Pada awalnya proses pengokasan batu bara menggunakan proses pembuatan


arang kayu. Penggunaan oven pengkokasan yang pertama adalah dengan
oven sarang lebah (beehive oven) yang hanya menghasilkan kokas. Proses
pengkokasan selanjutnya berkembang dengan menggunakan by-product
recovery oven yang menghasilkan kokas sebagai produk utama dan ter,
amonia dan benzena sebagai by-product. Teknologi pengkokasan yang
terbaru adalah dengan menggunakan slot type coke oven. Teknologi ini selain

23
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

memproses batu bara menjadi kokas juga langsung memproses ter menjadi
berbagai produk berupa bermacam bahan kimia dan gas campuran H2 dan
CH4 (Eisenhut, 1981; Miller, 2011).

Batu bara yang digunakan untuk pembuatan kokas disebut batu bara
mengokas atau coking coal. Persyaratan utama batu bara mengokas (prime
coking coal) ditentukan dari peringkat batu bara dan komposisi maseral.
Sedangkan karakteristik batu bara mengokas dapat dilihat dari sifat fisiknya
yang meliputi nilai muai bebas, tipe kokas Gray-King Assay, Roga Index, dan
dilatasi (uji dilatometer). Selanjutnya terdapat pembatasan terhadap kadar
pengotor yang terdiri atas abu, belerang dan fosfor. Berikut adalah persyaratan
utama (peringkat batu bara dan komposisi maseral), karakteristik (sifat fisik)
dan kadar pengotor batu bara mengokas (Rance, 1975; Zimmerman, 1979;
ASTM, 2007; Falcon, 1981):

Peringkat batu bara (menurut ASTM): medium volatile bituminous


low volatile bituminous
Refletan vitrinit (Rv): 1,1 2,0%
Kadar zat terbang (dry mineral matter free, dmmf ): 16 31%
Komposisi maseral, kadar maseral vitrinit (bahan reaktif) dan inertinit
(bahan lebam) berimbang tergantung Rv. Makin tinggi Rv makin
tinggi rasio vitrinit/inertinit. Misalnya:
- Rv 1,1%, rasio vitrinit/inert harus = 3
- Rv 1,5%, rasio vitrinit/inertinit harus = 9
Sifat fisik
- Nilai muai bebas (FSI): 6
- Tipe kokas Gray-King Assay: G4
- Roga Index: 50 - 90
- Dilatasi: 25 350%
Pengotor
- Abu: < 8%
- Sulfur : < 1%
- P2O5: < 0,1%

24
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Menurut sistem klasifikasi batu bara yang dipakai oleh National Coal Board
(Inggris) batu bara mengokas prima (prime coking coal) adalah batu bara
yang mempunyai kadar zat terbang (dmmf) antara 19,6-32,0% dan tipe kokas
Gray-King Assay G4.

Karena sulit mendapatkan batu bara mengokas yang memenuhi persyaratan


tersebut di atas kemudian banyak dikembangkan pembuatan kokas melalui
proses non-konvensional misalnya dengan cara blending, pembuatan briket
kokas (formed coke atau mengubah sifat coking batu bara melalui hidrogenasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, selain batasan ilmiah (scientific term)
terdapat juga pengklasifikasian kualitas batu bara mengokas yang dibuat
untuk keperluan perdagangan (bisnis) dan blending untuk pembuatan kokas,
misalnya seperti yang dibuat oleh Nippon Steel Corporation (Jepang) seperti
pada Tabel 1.5 berikut (Pearson, 1980).
Tabel 1.5. Klasifikasi kualitas batu bara mengokas menurut Nippon Steel Corporation

Reflektant Dilatasi Fluidity Maks


Kelas Inertini FSI Zat %
(RO) Maks. % divisi/menit
G1 > 1,50 8 - 30 0 - 70 5 - 100 6-9 16 - 19
G2 1,0 - 1,4 8 - 30 80 - 260 1.500 - 30.000 7 - 9+ 22 - 24
G3 1,2 - 1,5 25 - 45 -10 - 100 3 - 1.500 5-8 19 - 26
G4 0,9 - 1,2 25 - 45 -10 - 100 3 - 1.500 5-8 25 - 32
G5 0,8 - 1,0 0 - 25 100 - 300 1.500 - >30.000 7 - 9+ 32 - 38
G6 < 0,9 5 - 20 -10 - 100 3 - 1.000 5-7 37 - 40

Gasifikasi

Proses konversi batu bara menjadi dapat ditempuh melalui dua cara yakni
gasifikasi parsial dan gasifikasi total.

25
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Gasifikasi Parsial

Gasifikasi parsial disebut juga mild gasificasion adalah konversi batu bara
menjadi produk gas melalui proses pirolisis atau karbonisasi. Dalam gasifikasi
parsial, selain dihasilkan produk gas juga dihasilkan produk padat berupa
kokas atau char (arang batu bara) dan produk cair berupa ter. Pabrik gas
komersial pertama dibangun di Inggris pada akhir abad 18 yang memproduksi
gas dari batu bara (jenis mengokas) untuk penerangan jalan. Selanjutnya
di Amerika Srikat pabrik gas dibangun pada abad 19 untuk memproduksi
gas kota. Pembangunan pabrik gas dari batu bara kemudian dilakukan oleh
banyak negara termasuk Indonesia. Pada zaman sebelum Perang Dunia II di
Amerika Serikat saja tercatat setidaknya 20.000 gasifier batu bara beroperasi.
Namun pada akhir tahun 1940-an, meningkatnya ketersediaan gas alam yang
harganya murah mengakibatkan substitusi gas batu bara oleh gas alam dan
tidak beroperasinya gasifier-gasifier batu bara (Francis, 1965; Eisenhut, 1981).

Di Indonesia, pabrik gas yang memproduksi gas kota dan kokas juga pernah
beroperasi di beberapa kota besar yakni Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang
dan Surabaya yang dibangun pada zaman Belanda. Batu bara yang digunakan
adalah jenis batu bara mengkokas dari luar negeri (impor) karena Indonesia
tidak mempunyai cadangan batu bara mengokas. Namun pabrik-pabrik gas
tersebut berhenti beroperasi pada awal tahun 1970-an akibat adanya gas alam
yang harganya murah. Apalagi, pengembangan gas LPG hasil samping kilang
minyak yang didistribusikan dalam botol-botol lebih praktis ditransportasikan
dibanding jaringan pipa gas kota (Suprapto, 2009).

Gasifikasi Total

Proses gasifikasi batu bara kini telah berkembang sedemikian rupa sehingga
bahan bakunya tidak hanya tergantung pada batu bara jenis mengokas, tetapi
bisa menggunakan berbagai jenis batu bara. Dalam hal ini, konversi batu bara
menjadi gas tidak hanya dilakukan melalui pemanasan, tetapi menggunakan
pereaksi sehingga konversinya menjadi lebih optimal. Disamping itu, gas
yang dihasilkan tidak hanya untuk bahan bakar tetapi juga digunakan untuk
bahan baku industri kimia dan juga bahan bakar cair. Proses ini merupakan
gasifikasi total yang kemudian dikenal secara luas dengan proses gasifikasi

26
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

yakni konversi batu bara menjadi produk gas melalui reaksi antara batu bara
dengan pereaksi berupa udara, campuran udara/uap air, atau campuran
oksigen/uap air. Dalam hal ini seluruh material organik batu bara diharapkan
dapat dikonversikan menjadi gas.

Gasifikasi batu bara sebetulnya merupakan proses pembakaran tidak


sempurna (incomplete combustion) batu bara sehingga dihasilkan produk
utama berupa gas mampu bakar yakni CO dan H2 serta gas-gas hidrokarbon
lainnya seperti CH4. Reaksi kimia yang terjadi selama proses gasifikasi terdiri
atas reaksi pembakaran, reaksi gasifikasi primer dan reaksi gasifikasi sekunder.
Reaksi pembakaran merupakan reaksi eksotermal dan panas yang dihasilkan
digunakan untuk reaksi gasifikasi yang bersifat endotermal (Ward, 1984).

Reaksi pembakaran

Oksidasi karbon: C + O2 -> CO2

Oksidasi hydrogen: 2 H2 + O2 -> 2 H2O

Reaksi gasifikasi primer

Reaksi water gas: C + H2O -> CO + H2

Pembakaran parsial: 2 C + O2 -> 2 CO

Reaksi Boudouard: C + CO2 -> CO

Reaksi hidrogenasi: C + H2 -> CH4

Reaksi gasifikasi sekunder

Reaksi shift: CO + H2O -> H2 + CO2

Reaksi metanasi: 3 H2 + CO -> CH4

Kualitas dan komposisi produk gas yang dihasilkan dari proses gasifikasi
terutama tergantung atas pereaksi yang digunakan. Gasifikasi batu bara
paling sederhana adalah yang menggunakan pereaksi udara. Produk utama
disebut producer gas dengan komponen berupa CO dan H2 serta sedikit gas
hidrokarbon dan kadar nitrogen yang tinggi (N2 dari udara). Apabila pereaksi
yang digunakan berupa campuran udara/uap air maka dihasilkan water gas
yang komposisinya mirip dengan producer gas tetapi dengan kadar H2 sedikit
lebih tinggi. Producer gas dan water gas termasuk gas kalori rendah (low Btu

27
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

gas) dengan nilai kalor <200 Btu/ft3. Di Indonesia kedua gas tersebut dikenal
dengan istilah gas bakar.

Proses gasifikasi menggunakan pereaksi campuran oksigen/uap air


menghasilkan produk gas yang disebut gas Lurgi dengan komponen utama
berupa CO dan H2 serta sedikit gas hidrokarbon tetapi dengan sedikit N2
(tanpa N2 dari udara). Gas Lurgi merupakan gas kalori menengah (medium Btu
gas) dengan nilai kalor antara 200 400 Btu/ft3. Apabila gas Lurgi dimurnikan
sehingga tersisa hanya komponen CO dan H2 dengan perbandingan tertentu
maka campuran gas tersebut dikenal dengan istilah syngas (synthesize gas,
gas penyintesa) yang dapat digunakan untuk memproduksi bermacam bahan
kimia atau produk organik serta bahan bakar cair. Syngas dapat diproses
lebih lanjut melalui proses metanasi menjadi SNG (Synthetic Natural Gas,
Substitute Natural Gas) dengan komponen utama CH4. Proses gasifikasi yang
menggunakan hidrogen juga menghasilkan SNG. SNG termasuk gas kalori
tinggi (high Btu gas) dengan nilai kalor 1000 Btu/ft3 (Francis, 1965; Hebden,
1981).

Terdapat tiga tipe gasifier (reaktor gasifikasi) batu bara yang saat ini sudah
digunakan oleh teknologi gasifikasi secara komersial, yakni unggun-tetap
(fixed-bed), unggun-terfluidakan (fluidized-bed) dan entrained-bed (Nowacki,
1981; Hebden, 1981). Seperti terlihat pada Gambar 1.7. dalam gasifier unggun-
tetap terdapat sebuah kisi yang menyangga umpan batu bara berukuran 6
50 mm yang diumpankan dari atas gasifier. Karena unggun batu bara bisa
digerakkan melalui pemutaran kisi, gasifier tipe ini juga disebut unggun-
bergerak (moving-bed). Gas pereaksi dilewatkan dari bawah kisi kemudian
kontak dengan umpan batu bara. Suhu operasi tergantung pereaksi yang
digunakan; untuk pereaksi udara, suhu operasi berkisar antara 1.200-1.300C,
sedangkan dengan pereaksi oksigen suhu operasi mencapai >1.500C. Abu
batu bara keluar melalui kisi ke bawah gasifier dalam keadaan kering (dry
ash) atau terak (slagging ash), tergantung sistem pengeluaran abu dan titik
leleh abu batu baranya. Selain produk gas dan abu, gasifier tipe ini juga
menghasilkan ter, minyak dan fenol yang jumlahnya relatif lebih banyak
dibanding gasifier tipe lainnya.

28
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Gambar 1.7. Gasifier tipe unggun-tetap (Ward, 1984)

Pada gasifier tipe unggun-terfluidakan (Gambar 1.8) digunakan pelat


pendistribusi (distributor plate) dan material unggun (biasanya pasir kuarsa)
yang terletak di atasnya. Gas pereaksi dialirkan melalui pelat pendistribusi
sehingga terjadi fluida material unggun yang juga berfungsi sebagai
penghantar panas. Batu bara berukuran lolos 6 -10 mm dimasukkan ke dalam
unggun sehingga difluidakan bersama-sama material unggun. Suhu operasi
lebih rendah dibanding tipe unggun-tetap, yakni kurang dari 1.000C. Produk
gas keluar pada bagian atas gasifier; sebagian material terbawa bersama gas
sebelum dipisahkan berupa carry over dan limbah gasifikasi berupa char
dikeluarkan dari bawah gasifier. Selain produk gas dan char, gasifier tipe ini
juga menghasilkan ter, minyak dan fenol tetapi tidak sebanyak yang dihasilkan
gasifier tipe unggun-tetap.

29
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Gambar 1.8. Gasifier tipe unggun-terfluidakan (Ward, 1984)

Gasifier tipe entrained-bed menggunakan batu bara berukuran bubuk (<100


mikron); yang dimasukkan ke dalam reaktor bersama-sama pereaksi. Kontak
batu bara dan pereaksi yang merata dan pada suhu tinggi (1300 - 1500C)
menyebabkan konversi batu bara menjadi gas-gas CO, H2, CO2 lebih sempurna
dan tanpa menghasilkan ter, minyak dan fenol dibanding tipe lainnya. Abu
batu bara berupa slag (terak) dikeluarkan dari bawah gasifier (lihat Gambar
1.9). Karena konversinya sempurna, keluaran dan kapasitas gasifier entrained-
bed paling besar dibanding tipe-tipe lainnya.

30
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

Gambar 1.9. Gasifier tipe entrained-bed (Ward, 1984)

Perbandingan karakteristik masing-masing tipe gasifier meliputi suhu gas,


kebutuhan pereaksi, kondisi abu, ukuran umpan, penerimaan batu bara halus
(fine) dan karakteristik lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.6. dari tabel tersebut
dapat dilihat bahwa masing-masing tipe gasifier mempunyai kelebihan dan
kekurangan (Anonim, 2007).
Tabel 1.6. Perbandingan
Tabel 1.6. Perbandingan karakteristik
karakteristikmasing-masing
masing-masingtipe gasifier
tipe gasifier
Unggun tetap Unggun terfluidakan Entrained bed
Rendah Sedang Tinggi
Suhu gas (outlet)
(425 600oC) (900 1.050oC) 1.250 1.600oC)
Kebutuhan pereaksi Rendah Sedang Tinggi
Kondisi abu Abu kering atau slag Abu kering atau abu Slag
teraglomerasi
Ukuran batu bara 6-50 mm 6-10 mm < 100 m
Penerimaan fine coal Terbatas Baik Tak terbatas
Karakteristik lain nya Gas mengandung Konversi karbon Gas bersih (murni),
metana, ter, minyak rendah konversi karbon tinggi

Gasifikasi Batu Bara Komersial

Dari
TIPE Tabel
REAKTOR 1.7 dapatFIXEDdilihat
BED bahwa sampai dengan
FLUIDIZED BED tahun 2010 terdapat
EXTRAINED BED53
Teknologi Tipikal Sasol-Lurgi BGL Winkler, KRW, U-Gas GEE, Shell, E-Gas,
plant komersial gasifikasi batu bara yang beroperasi dengan
HTW, KBR,
jumlah (total)
Siemen, KT, MHI, PWR
gasifier sebanyak 201 Slagging
buah dan Dry CFB, HRL
kapasitas total 36.315 MWth. Pada tahun
Kodisi Abu Dry ash ash Agglomerating Slagging
2010 juga sedang
KARAKTERISTIK BATU BARA dibangun 11 plant dengan total gasifier sebanyak 17 buah
Ukuran 6-50 mm 6-50 mm 6-10 mm 6-10 mm < 100 m
dan kapasitas
Penerimaan 10.857 MWth.
Fine terbatas Melalui Rencananya
Baik masih akan
Lebih baikdibangun (2011 2016)
Tak terbatas
injeksi
29 plant gasifikasi
Peringkat batu semua
dengan jumlah gasifier sebanyak
tinggi (bitum. rendah (lignit
58 buah dan kapasitas
semua peringkat semua peringkat
bara peringkat antr.) subbit)
28.376 MWth.
Kadar abu
Apabilasebaiknya
tak ada
pembangunan < tak ada
dan program tersebut
tak ada batasan
berjalan sesuai
sebaiknya < 25%
dengan rencana batasan 25% batasan
o maka pada o akhir>1100
tahun
o 2016>1100
akano beroperasi sebanyak
o 93
Titik leleh Abu >1200 C <1300 C C C <1300 C
(prefered)
KONDISI OPERASI
Suhu gas
rendah
o
rendah
o
31 o
sedang sedang
o
tinggi
o
(425-650 C) (425-650 C) (900-1050 C) (900-1050 C) (1250-1600 C)
Tek. Gasifikasi 435+ 435+ 15 15-435 <725
(psig)
Kebutuhan O2 rendah rendah sedang sedang tinggi
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

plant gasifikasi batu bara dengan jumlah gasifier sebanyak 276 buah dan
kapasitas 75.548 MWth (Anonim, 2010).
Tabel 1.7. Plant gasifikasi batu bara komersial

Beroperasi Masa Konstruksi Rencana


Total (2016)
(2010) (2010) (2011-2016)
Plant 35 11 29 93
Gasifier/Reaktor 201 17 58 276
Kapasitas, MWth 36.315 10.857 28.376 75.548

Plant-plant gasifikasi tersebut menggunakan berbagai macam teknologi


gasifikasi batu bara dan dengan tiga tipe gasifier. Namun berdasarkan jumlah
masing-masing tipe dan kapasitas gasifier ternyata yang banyak digunakan
adalah gasifier tipe unggun terfluidakan dan entrained bed.

Gasifikasi Batu Bara Bawah Tanah (Underground Coal Gasification)

Dalam proses gasifikasi reaksi antara batu bara dengan pereaksi dilakukan
di dalam sebuah reaktor yang disebut gasifier. Sedangkan dalam proses
gasifikasi batu bara bawah tanah reaksi antara batu bara dengan pereaksi
langsung dilakukan di dalam tanah, pada lapiasan batu baranya. Pada
dasarnya, gasifikasi batu bara bawah tanah merupakan teknologi untuk
mengekstraksi endapan batu bara dalam bentuk gas dari suatu cekungan
tanpa harus mengeluarkan (menambang) batu baranya. Ide pertama
gasifikasi batu bara bawah tanah dicetuskan oleh Mendeleyev. Peneliti Rusia
ini berpendapat bahwa apabila batu bara tidak diekstraksi (ditambang) dari
dalam tanah, batu bara dapat dikonversikan menjadi produk gas secara
langsung di dalam tanah untuk kemudian ditransportasikan melalui pipa ke
pengguna. Pengembangan plant komersial gasifikasi bawah tanah kemudian
mulai dilakukan di negara-negara bekas Uni Soviet pada tahun 1930-an.
Pada saat itu, dasar pemikirannya bukan masalah ekonomi, tetapi mengingat
tambang bawah tanah (waktu itu) kotor dan pekerjaan berbahaya, banyak
pekerja tambang sakit dan meninggal karena pekerjaannya. Gasifikasi batu
bara bawah tanah dipertimbangkan mampu mengatasi masalah tersebut,
tanpa memperkerjakan personil di bawah tanah dan penggalian batu bara.
Saat ini, dasar pemikiran pengembangan gasifikasi batu bara bawah tanah
adalah lebih kepada masalah ekonomi. Cadangan-cadangan batu bara sudah

32
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

mulai sangat dalam dan tidak eknomis ditambang, baik dengan tambang
terbuka maupun tambang dalam. Disamping itu, pembuatan lubang (sumur)
dan sistem injeksi pereaksi jauh lebih murah dibanding harga sebuah gasifier.

Pembuatan plant (pabrik) gasifikasi batu bara bawah tanah dimulai dengan
melakukan pemboran dua sumur yang bersebelahan dan mencapai
kedalaman lapisan batu bara. Melalui salah satu sumur (lubang injeksi),
pereaksi (campuran udara/uap air atau oksigen/uap air) bertekanan
diinjeksikan ke dalam lapisan batu bara sehingga terjadi aliran pereaksi ke
sumur produksi melalui rekahan-rekahan dalam lapisan batu bara. Batu
bara dibakar pada sumur produksi sehingga terbakar menuju sumur injeksi.
Begitu nyala api mencapai sumur injeksi, maka rongga antara sumur injeksi
dan sumur produksi terbentuk dan proses gasifikasi berlangsung. Gas yang
dihasilkan dari proses gasifikasi dialirkan melalui sumur ke dua (lubang
produksi). Selanjutnya, produk gas tersebut dialirkan ke instalasi pemurnian
gas (di permukaan tanah) sebelum dikirimkan ke konsumen (lihat Gambar
1.10), misalnya pembangkit listrik.

Gambar 1.10. Skema gasifikasi batu bara bawah tanah (Anonim, 2012)

Teknologi gasifikasi batu bara bawah tanah telah diterapkan, baik untuk
batu bara peringkat tinggi maupun untuk batu bara peringkat rendah
dengan ketebalan lapisan batu bara bervariasi. Pada tahun 1939 Uni Soviet
membangun 14 plant komersial gasifikasi batu bara bawah tanah di Ukraina.
Namun saat ini hanya satu plant yang masih beroperasi yakni di Negara
Uzbekistan. Selanjutnya banyak Negara yang mengikuti jejak negara bekas
Uni Soviet tersebut dengan mengembangkan program gasifikasi batu bara

33
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

bawah tanah termasuk Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Program terbesar
yang sedang berjalan adalah di Cina (Inner Mongolia) dan Australia (Linc
Energy Chinchilla Demonstration Facility) (Baldwin, 2011).

Walaupun dari segi ekonomi proses gasifikasi batu bara bawah tanah
menguntungkan, namun terdapat beberapa kelemahan yang masih menjadi
kekhawatiran banyak pihak, diantaranya:

prosesnya lebih sulit dikontrol dibanding gasifikasi di atas permukaan


tanah;
kemungkinan kebocoran gas akibat kondisi geologi yang banyak
patahan;
kemungkinan kontaminasi air tanah oleh bahan-bahan kimia seperti
benzena, fenol dll.
kemungkinan terjadinya ambrukan (subsidence) akibat terbentuknya
rongga hasil gasifikasi batu bara.

Pencairan
Proses konversi batu bara menjadi bahan cair dapat dilakukan melalui tiga
proses yakni pirolisis, pencairan tidak langsung (melalui gasifikasi dan sintesa
Fischer-Tropch), dan pencairan langsung (melalui proses hidrogenisasi).
Proses pirolisis telah dibahas pada bagian sebelumnya.

Pada proses pencairan tak langsung syngas (campuran CO dan H2) hasil
gasifikasi batu bara dikonversikan menjadi hidrokarbon cair melalui proses
katalitik yang disebut sintesa Fischer-Tropsch. Produk yang dihasilkan berupa
minyak diesel (solar) dan minyak pelumas, lilin (malam) dan bensin kualitas
rendah. Pada proses pencairan langsung yang batu bara dihidrogenisasi
menggunakan pelarut hidrogen-donor pada suhu dan tekanan tertentu
sehingga menghasilkan bahan bakar cair. Produk yang dihasilkan berupa
bahan bakar untuk pesawat terbang kualitas tinggi (high aviation fuel) dan
bensin (motor gasoline).

Kedua teknologi tersebut dikembangkan pertama kali di Jerman antara


tahun 1920-an1930-an yakni oleh Friedrich Bergius yang mengembangkan

34
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

proses pencairan langsung dan Franz Frischer dan Hans Tropch yang
mengembangkan pencairan tak langsung (dikenal dengan sintesa/proses
Fischer-Tropsch). Kedua teknologi tersebut diaplikasikan secara komersial
selama Perang Dunia II terutama di Jerman, Inggris dan Jepang untuk
memproduksi bahan bakar untuk mesin-mesin perang (militer). Namun
setelah perang dan juga karena murahnya bahan bakar dari minyak bumi
kemudian plant-plant pencairan batu bara tidak beroperasi. Baru pada
tahun 1950-an Afrika Selatan mengadopsi teknologi Fischer-Tropch untuk
memproduksi bahan bakar minyak sintetik (Fancis, 1965; Miller, 2011).

Pencairan Tak Langsung

Proses Fischer-Tropsch pada prinsipnya dapat memproduksi seluruh produk


yang dihasilkan dari minyak bumi, tergantung kondisi operasi (suhu, tekanan,
rasio CO/H2 dan katalis yang digunakan). Proses ini kini diaplikasikan secara
komersial di Afrika Selatan oleh SASOL sejak tahun 1956. Batu bara yang
digunakan adalah peringkat subbituminous (Miller, 2011).

Pada tekanan rendah (1 12 atmosfer) dan suhu 380oC dihasilkan produk yang
hanya terdiri atas hidrokarbon (tanpa senyawa oksigen, alkohol, keton dan
asam) berupa C3 C4 (7%), C5 C12 (30%), C13 C20 (10%), dan C20+. Pada tekanan
menengah (medium) antara 5 50 atmosfer dan suhu antara 220340oC dan
katalis besi menghasilkan produk yang terutama terdiri atas bensin, solar dan
lilin parafin. Proses pada tekanan tinggi terdiri atas sintesa-iso (iso-synthesis),
proses synthol, dan sintesa okso (oxo-synthesis). Sintesa-iso menggunakan
tekanan 100 1000 atmosfer dan suhu 400 500oC dan katalis K2CO3 yakni
yang disebut sintesa-iso (iso-synthesis) menghasilkan produk utama berupa
iso-parafin C4 C5. Proses synthol menggunakan tekanan 140 atmosfer dan
suhu 400 450oC dan katalis besi menghasilkan produk utama berupa
senyawa rantai lurus teroksigenasi. Sintesa-okso dilakukan pada tekanan
100 500 atmosfer dan suhu 100 200oC dan katalis kobal menghasilkan
produk utama berupa aldehida C3 C16 (Miller, 2011).

35
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Pencairan Langsung

Pencairan tak langsung dikembangkan oleh Bergius dan kawan-kawannya


dengan mereaksikan batu bara bubuk atau lumpur batu bara dengan gas
hidrogen pada suhu dan tekanan tinggi. Teknologi ini diaplikasikan di Jerman
pada Perang Dunia II dan di bekas Uni Soviet dan Cekoslowakia beberapa
tahun setelah perang. Proses Bergius pertama kali diaplikasikan secara
komersial di Jerman pada tahun 1927. Prosesnya terdiri atas dua tahap, yakni
tahap I hidrogenasi fasa cair yang mengubah batu bara menjadi minyak
sintetik, kemudian tahap II adalah hidrogenasi uap minyak sintetik menjadi
bensin, solar dan senyawa-senyawa hidrokarbon ringan. Dalam proses ini 1
ton batu bara menghasilkan 182 205 liter bensin, 227 liter solar, dan 159
liter minyak bakar. Fraksi bensin terdisi atas 75 80% parafin dan olefin dan
20 25% senyawa aromatik (Miller, 2011).

Setelah Perang Dunia II plant tersebut tidak beroperasi lagi karena tidak bisa
bersaing dengan harga minyak bumi. Namun pada tahun 1970-an dan 1980-
an penelitan-penelitian pencairan langsung mulai diaktifkan lagi. Beberapa
teknologi pencairan langsung di antaranya adalah Solvent Refining Coal atau
SRC (SRC-I dan SRC II), H-Coal, Donor Solvent, Exxon Donor Solvent, dan Brown
Coal Liquefaction (BCL).

Bahan Baku
Batu bara dan produk turunan batu bara dapat digunakan untuk bahan baku
industri sehingga dapat meningkatkan nilai tambah batu bara. Pemanfaatan
batu bara sebagai bahan bakau dapat ditempuh melalui karbonisasi (produk
oven kokas), hidrogensasi, sintesa syngas hasil gasifikasi, pembuatan karbon
aktif, pembuatan karbid (calcium carbide), pemanfaatan CO2, pembuatan
bahan karbonan, dan pemanfaatan limbah pembakaran batu bara.

Produk Oven Kokas

Karbonisasi batu bara, terutama pada suhu tinggi merupakan salah satu
proses yang penting untuk memanfaatkan batu bara menjadi kokas. Tetapi
proses ini sangat tergantung batu bara mengokas (coking coal) sebagai
bahan bakunya. Selain menghasilkan kokas untuk industri metalurgi proses

36
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

karbonisasi juga menghasilkan by-product berupa gas, minyak ringan dan


ter. Coke oven gas yang meliputi 12% dari berat batu bara umpan terdiri
atas H2 (55-60%), CO, CH4. Campuran gas ini selanjutnya dapat diproses lebih
lanjut untuk menghasilkan gas H2 dan gas bakar (heating gas). Pengotor yang
dipisahkan dari coke oven gas berupa H2S dan NH3 (1% dari batu bara umpan)
kemudian dimanfaatkan untuk memproduksi (NH4)2SO4. Fraksi minyak ringan
berguna untuk bahan baku senyawa aromatik, terutama benzena dan fenol.
Sedangkan ter batu bara dapat digunakan untuk bahan baku industri farmasi,
senyawa aromatik (naftalen, antrasen), carbon black, pitch (bahan baku
elektroda karbon) (Juntgen, 1981).

Hasil tipikal oven kokas modern yang beroperasi pada suhu 1.350oC dan
menggunakan bahan baku batu bara mengokas menghasilkan produk (untuk
setiap ton batu bara) sebagai berikut (Francis, 1965):

Kokas: 14 kwintal
Ter: 10 45,46 liter
Benzole: 13,64 liter
Amonium sulfat: 12,2 kg
Gas: 354m3 dengan nilai kalor 4.765 kal/liter (525 Btu/ft3)
Ter dapat didistilasi menjadi beberapa produk seperti minyak karbol (carbolic
oil), minyak naftalen (naphtalene oil), minyak kreosot (creosote oil), minyak
antrasen (anthracene oil) dan pitch. Sementara digunakan sebagai bahan
pencampur (blending) bensin.

Produk Sintesa Melalui Syngas

Seperti namanya, syngas (synthesis gas) atau gas penyintesa yang merupakan
produk gasifikasi batu bara adalah campuran CO dan H2 yang dapat digunakan
untuk menyintesa berbagai macam senyawa organik di antaranya sebagai
berikut.

Sintesa amonia: produksi amonia secara komersial dari syngas dilakukan


sejak tahun 1913 melalui reaksi 3H2 + N2 -> NH3. Selanjutnya, amonia
dapat diproses menjadi pupuk kimia (urea dan amonium sulfat).

37
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Produksi hidrogen: konversi syngas menjadi H2 dilakukan melalui shift


reaction CO dengan uap air (H2O) menjadi H2 dan CO2. Selanjutnya
dilakukan pemisahan CO2 dan sisa CO yang tidak terkonversi.
Produksi metanol: dengan menggunakan katalis tertentu misalnya
senyawa Zn, CU atau Al dan tekanan tinggi syngas dapat dikonversikan
menjadi metanol (CH3OH). Selain digunakan sebagai bahan bakar
metanol juga digunakan untuk membuat bermacam produk kimia
seperti formaldehida, serat poliester (kain), metil metakrilat (plastik),
metilamina, metil halogen. Bahan bakar jenis baru yang diproduksi dari
metanol adalah dimetil eter (DME) yang mepunyai rumus CH3OCH3.
Produksi gas alam sintetik (synthetic natural gas, SNG): dengan
proses metanasi, syngas dapat dikonversikan menjadi metana yang
merupakan komponen gas alam. Sintesa SNG dari syngas batu bara
telah dilakukan secara komersial di Amerika Serikat (North Dakota)
sejak tahun 1980-an menggunakan batu bara lignit. Selain Amerika
Serikat, kini Cina juga sudah membangun plant SNG dari proses
gasifikasi batu bara (Juntgen, 1981).
Sintesa Fischer-Tropsch yang menghasilkan solar, bensin, dan bahan
kimia.

Karbon Aktif

Karbon aktif adalah material yang mempunyai komponen utama karbon


dengan porositas tinggi dan permukaan bagian dalam (internal surface)
yang sangat luas. Dengan struktur kimia yang dimilikinya karbon aktif dapat
menyerap material organik dan senyawa non-polar dari gas-gas dan larutan.
Oleh karena itu, karbon aktif digunakan secara komersial untuk pemurnian
bermacam gas, pemisahan campuran gas, pemurnian udara buangan
(exhausted air), penghilangan warna larutan, dan pemurnian air (Anonim,
2011).

Walaupun karbon aktif dapat dibuat dari berbagai bahan karbonan seperti
tempurung kelapa, kayu, batu bara, gambut tetapi bahan baku utama yang
digunakan pabrik karbon aktif komersial umumnya berasal dari tempurung
kelapa karena daya serapnya yang paling tinggi dibanding yang dibuat dari
bahan baku lainnya. Namun kini pabrik karbon aktif banyak yang beralih

38
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

menggunakan batu bara mengingat semakin terbatasnya ketersediaan


tempurung kelapa. Pabrik-pabrik karbon aktif dari batu bara telah berkembang
secara komersial di banyak negara terutama di Amerika dan Cina.

Karbon aktif dibuat melalui aktivasi secara kimia atau secara fisika. Aktivasi
secara kimia umumnya lebih cocok untuk bahan baku kayu. Aktivasi fisika
dilakukan melalui karbonisasi bahan baku kemudian arang atau semikokas
yang terbentuk diaktivasi menggunakan uap air atau CO2. Batu bara yang
digunakan untuk bahan baku bisa bermacam jenis (peringkat) tergantung
proses pembuatan dan produk yang diinginkan. Batu bara bituminous
umumnya menghasilkan daya serap yang tinggi dibanding batu bara lignit
atau subbituminous. Produk karbon aktif bisa berbentuk bubuk, granular atau
pelet tergantung jenis penggunaannya.

Tergantung peringkat batu baranya, karbon aktif yang dibuat dari batu
bara mempunyai struktur pori di antara karbon aktif tempurung kelapa dan
karbon aktif kayu. Karbon aktif tempurung kelapa mempunyai pori mikro
(micropore, diameter <40 Angstrom) mencapai 95% dari total pori. Sementara
pori yang terdapat dalam karbon aktif kayu sebagian besar berupa mesopore
(diameter 40 5.000 Angstrom) dan macropore (diameter >5.000 Angstrom).
Karbon aktif yang mempunyai micropore dominan mempunyai bilangan
yodium tinggi, lebih cocok untuk menyerap senyawa-senyawa dengan
berat molekul kecil (small molecular weight) seperti gas dan polutan kadar
rendah. Sebaliknya, karbon aktif yang mempunyai mesopore dan macropore
dominan mempunyai bilangan yodium rendah, lebih cocok untuk menyerap
senyawa-senyawa dengan berat molekul besar seperti proses penghilangan
warna pada larutan. Karbon aktif dari batu bara lignit mempunyai karakteristik
mendekati karbon aktif kayu. Sebaliknya karbon aktif dari batu bara peringkat
tinggi (bituminous antrasit) mempunyai karakteristik mendekati karbon aktif
tempurung kelapa (Anonim, 2006; Schaeffer, 2008).

Karbid (Calcium Carbide)

Karbid dibuat dari kokas atau batu bara dalam electric arch furnace pada
kondisi reduksi dan suhu tinggi (2100oC). Kokas yang digunakan biasanya
kokas metalurgi (metallurgical coke) dan batu baranya jenis antrasit. Karbid
digunakan terutama untuk membuat gas asetilen, kalsium sianamida, dan

39
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

pemisahan belerang dari besi pada proses pembuatan baja. Gas asetilen
merupakan bahan baku industri kimia dan karena nyalanya mempunyai
suhu tinggi maka asetilen juga digunakan untuk proses patri dan las. Turunan
karbid yakni kalsium sianamida terutama digunakan untuk pupuk dan
herbisida (Juntgen, 1981).

Karbon dioksida (CO2)

Pembakaran batu bara menghasilkan gas buang (flue gas) yang komponen
utamanya CO2. Dengan memisahkan komponen yang tidak dikehendaki
misalnya SOx, NOx maka diperoleh CO 2 murni. Pembakaran yang
menggunakan oksigen (oxyfuel combustion) menghasilkan gas buang berupa
CO2 dengan kemurnian lebih tinggi. Selain hasil pembakaran, CO2 juga bisa
dihasilkan oleh shift reaction dari syngas yakni reaksi CO dengan H2O menjadi
CO2 dan H2. CO2 digunakan untuk memproduksi senyawa karbonat (Juntgen,
1981) dan meningkatkan produksi sumur minyak (enhanching oil recovery,
EOR) (Miller, 2011).

Pembuatan bahan karbonan (carbonaceous material)

Batu bara (terutama antrasit) dan produk turunan batu bara (terutama kokas
bubuk dan tar pitch) merupakan bahan baku utama untuk pembuatan bahan
karbonan padat (solid carbonaceous material) yang perlu kadar karbon tinggi,
sifat-sifat tertentu dan aplikasi yang berbeda seperti elektroda karbon, bata
karbon (carbon brick), dan serat karbon (carbon fiber).

Elektroda karbon digunakan untuk tungku baja listrik (electric steel furnace),
karbid dan tungku reduksi karena mempunyai sifat tahan terhadap korosi
dan konduktivitas yang baik. Elektroda karbon dibuat dari kokas bubuk
atau antrasit dan coal tar pitch sebagai bahan pengikat (binder). Kokas
bubuk dicampur dengan coal tar pitch kemudian dicetak; cetakan tersebut
dikarbonisasi pada suhu tinggi.

Bata karbon dapat dipakai untuk menggantikan peran bahan keramik dalam
tungku tiup (blast furnace) terutama untuk melapisi (lining) bagian dasar
tungku. Bata karbon juga digunakan untuk melapisi dasar dan dinding tungku

40
Batu Bara, dari Fosil Menjelma Energi

produksi alminium, tembaga, karbid dan pospor. Pembuatan bata karbon


mirip dengan elektroda karbon yakni menggunakan kokas atau antrasit dan
bahan pengikat.

Serat karbon mempunyai ketahanan panas (thermal resistance) tinggi,


sifat pelumasan (lubricating properties) yang baik dan tahan korosi serta
menghantarkan listrik, tetapi kekuatannya rendah. Oleh karena itu serat
karbon dicampur dengan matrik resin sintetik atau logam (baja, alminium,
atau titan) dan digunakan untuk keperluan militer seperti konstruksi motor,
baling-baling untuk helikopter, dan komponen senjata (missile). Serat karbon
dibuat dari coal tar pitch melalui proses pirolisis, pemintalan (spinning),
oksidasi, dan karbonisasi/grafitasi (Juntgen, 1981).

Pemanfaatan Limbah Padat Pembakaran Batu Bara

Limbah pembakaran batu bara terutama dari pembangkit listrik abu-terbang


(fly ash), abu-dasar (bottom ash), terak (slag) boiler dan material FGD (flue
gas desulfurization). Abu-terbang adalah fraksi halus abu batu bara yang
terbawa bersama gas buang yang keluar tungku boiler kemudian ditangkap
penangkap partikulat (electrostatic precipitator atau bag fitler). Abu-dasar
adalah partikel kasar abu batu bara yang terakumulasi pada bagian bawah
tungku boiler. Terak boiler adalah lelehan material abu (anorganik) yang
keluar dari bagian dasar tungku boiler kemudian ditampung dalam kolam
air sehingga terpisah menjadi material yang menggelas (mengkilap seperti
kaca). Untuk pembangkit yang mempunyai sistem FGD yang menangkap
SOx dihasilkan senyawa CaSO4 berupa gips sintetik.

Penyebaran abu dasar dan abu terbang pada masing-masing sistem


pembakaran batu bara dapat dilihat Tabel 1.8. Pembangkit listrik sistem stoker,
chain grate dan cyclone umumnya lebih banyak menghasilkan abu dasar.
Pembangkit sistem pulverized coal tergantung sistem pengeluaran abunya.
Sistem dry bottom menghasilkan lebih banyak abu terbang dibanding sistem
wet bottom (Rance, 1975).

Abu-dasar yang berbentuk terak sudah tidak reaktif sehingga pemanfaatannya


terbatas, misalnya sebagai bahan pengisi (dalam bentuk halus). Persyaratan
utama dalam pemanfaatan abu batu bara adalah kadar karbon atau partikel

41
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

tak terbakar (unburned particle) harus rendah tidak boleh lebih dari 12%.
Persyaratan kedua adalah ukuran harus halus; oleh karena itu tahap awal
pemanfaatan adalah preparasi (penggerusan dan pengayakan) sehingga
ukurannya seragam.

Untuk abu batu bara yang mempunyai komposisi dan bersifat pozolanik
bisa digunakan untuk menggantikan peran semen yakni untuk sebagai
semen atau bahan pengikat hidrolik (hydrolic binder). Abu batu bara juga
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (batako, paving block), bahan pengisi
lapisan jalan raya.
Tabel 1.8. Penyebaran abu dasar dan abu terbang pada masing-masing sistem pembakaran
batu bara
Pulverized Coal Cyclone
Stoker Chain Grate
Dry Buttom Wet Buttom Furnace
Abu Dasar,% 70 -80 85 - 95 15 - 45 50 -60 85 - 95
Abu Terbang, % 20 - 30 5 - 15 55 - 85 40 - 50 10 -15

Untuk pembangkit listrik yang dilengkapi sistem penangkapan SO2 atau flue
gas desulfurization (FGD) maka dihasilkan limbah yang dapat dikonversikan
menjadi produk yang bernilai ekonomi. Limbah tersebut berupa lumpur
(sludge) yang mengandung CaSO4 (gipsum). Produk yang bisa dimanfaatkan
adalah gips, asam sulfat, larutan SO2 dan belerang (Juntgen, 1981; Miller,
2011).

Pada tahun 2007 tercatat pemanfaatan limbah padat pembakaran batu bara
di Amerika Serikat mencapai 126 juta ton atau 40% dari yang dihasilkan.
Limbah tersebut digunakan untuk bermacam kebutuhan seperti industri
semen dan beton, backfilling tambang, penetralan air asam tambang,
konstruksi jalan, bahan pengisi (filler). Sementara di Eropa pada tahun 2005
tercatat memanfaatkan sebanyak 63,91 juta ton limbah padat pembakaran
batu bara (Miller, 2011). Limbah pembakaran juga dapat digunakan dalam
tambang sebagai penetral air asam tambang dan pengurukan tanah untuk
reklamasi tambang (Anonim, 2006).

42
2
Gasifikasi Batu
Bara,
Solusi di Tengah
Berlimpahnya
Batu Bara
Indonesia
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

T
ercatat bahwa pada tahun 1609 seorang ahli kimia Belgia, Jan van
Helmont menemukan bahwa batu bara yang dipanaskan akan
mengelarkan gas. Pada akhir tahun 1600-an, John Clayton seorang
pendeta dari Yorkshire, Inggris melakukan penelitian pengumpulan gas
dari batu bara. Selanjutnya, pada tahun 1792 William Murdock, seorang
insinyur Skotlandia mengembangkan gasifikasi batu bara secara komersial
melalui pemanasan batu bara di dalam sebuah retor tanpa kontak udara
untuk menghasilkan gas dan kokas. Proses pemanasan batu bara tersebut
dikenal dengan istilah karbonisasi batu bara, dan produk gas yang dihasilkan
disebut gas batu bara, gas kota, dan gas penerangan. Pada tahun 1798, sistem
penerangan dengan gas dibangun di pabrik-pabrik di Inggris, kemudian
diikuti dengan pembangunan sistem penerangan jalan pada tahun 1807.

Pada tahun 1816, Perusahaan Gas Baltimore, perusahaan gasifikasi batu bara
pertama didirikan di Amerika Serikat, kemudian diikuti oleh perusahaan-
perusahaan lainnya di Amerika Serikat. Sampai dengan pertengahan tahun
1920-an, sekitar 20% pasokan gas Amerika Serikat diproduksi dari batu bara.
Pada zaman sebelum Perang Dunia II tercatat setidaknya 20.000 gasifier
batu bara beroperasi di Amerika Serikat. Namun pada akhir tahun 1940-an,
meningkatnya ketersediaan gas alam yang harganya murah mengakibatkan
substitusi gas batu bara oleh gas alam dan tidak beroperasinya gasifier-gasifier
batu bara (Miller, 2011).

Gasifikasi Batu Bara di Indonesia


Di Indonesia, pabrik gas yang memproduksi gas kota dan kokas juga pernah
beroperasi di beberapa kota besar yakni Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang
dan Surabaya yang dibangun pada zaman Belanda. Batu bara yang digunakan
adalah jenis batu bara mengokas dari luar negeri (impor) karena Indonesia
tidak mempunyai cadangan batu bara mengokas. Namun pabrik-pabrik gas
tersebut berhenti beroperasi pada awal tahun 1970-an akibat adanya gas alam
yang harganya murah. Apalagi, pengembangan gas LPG hasil samping kilang
minyak yang didistribusikan dalam botol-botol lebih praktis ditransportasikan
dibanding jaringan pipa gas kota (Suprapto, 2009).

44
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Proses gasifikasi batu bara kini telah berkembang sedemikian rupa sehingga
bahan bakunya tidak hanya tergantung pada batu bara jenis mengokas, tetapi
bisa menggunakan berbagai jenis batu bara. Dalam hal ini, konversi batu bara
menjadi gas tidak hanya dilakukan melalui pemanasan, tetapi menggunakan
pereaksi sehingga konversinya menjadi lebih optimal. Disamping itu, gas yang
dihasilkan tidak hanya untuk bahan bakar tetapi juga digunakan untuk bahan
baku industri kimia dan juga bahan bakar cair (Hebden, 1981; Shadle, 2002).

Perkembangan teknologi gasifikasi batu bara dunia yang berlangsung


begitu cepat ternyata sangat lamban diserap Indonesia. Teknologi gasifikasi
di Indonesia tidak berkembang karena sebagian besar batu bara negeri ini
(86% pada tahun 2012) di ekspor. Penyerapan batu bara dalam negeri sangat
kurang karena harga batu bara dalam negeri kalah bersaing dengan harga
gas alam. Namun, saat ini ketika Cina dan India mulai mengurangi impor
batu bara di Indonesia, pasokan batu bara dalam negeri berlebih sehingga
harga batu bara turun.

Kelebihan batu bara dalam negeri ini sebenarnya dapat diatasi jika kita sudah
menerapkan teknologi gasifikasi batu bara untuk pemanfaatan batu bara
Indonesia yang melimpah. Jika ini dilakukan saya yakin pembatasan ekspor
tidak perlu lagi dilakukan karena penyerapan batu bara dalam negeri akan
mencukupi. Gasifikasi menurut saya akan menjadi teknologi menjanjikan
dan memiliki masa depan cerah untuk batu bara Indonesia yang rata-rata
merupakan batu bara peringkat rendah.

Gasifikasi Parsial
Gasifikasi parsial adalah konversi batu bara menjadi produk gas melalui proses
pirolisis atau karbonisasi. Dalam gasifikasi parsial, selain dihasilkan produk
produk gas juga dihasilkan produk padat berupa kokas atau char (arang batu
bara) dan produk cair berupa ter (Gambar 2.1).

45
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Gambar 2.1 Skema proses gasifikasi parsial

Pirolisis adalah penguraian batu bara menjadi produk padatan, cairan dan gas
melalui proses pemanasan tanpa atau dengan udara terbatas. Apabila produk
utama penguraian berupa padatan maka prosesnya disebut karbonisasi.
Sumber energi untuk pemanasan dapat berasal dari luar (external heating)
atau menggunakan sebagian energi batu baranya (internal heating).

Karbonisasi suhu rendah dilakukan pada suhu 450-600C, umumnya


digunakan untuk memproduksi bahan bakar tak berasap (smokeless fuel).
Karbonisasi suhu tinggi dilakukan pada suhu 900-1350C, umumnya
menggunakan bahan baku berupa batu bara mengokas (coking coal) dan
digunakan untuk memproduksi kokas metalurgi, yakni jenis kokas untuk
industri baja yang menggunakan tanur tiup (blast furnace). Proses ini
(karbonisasi batu bara mengokas) dulu digunakan oleh pabrik-pabrik gas di
Indonesia untuk memproduksi gas kota menggunakan batu bara mengokas
dari luar negeri dan dengan produk samping berupa kokas metalurgi dan ter
(Francis, 1965; Eisenhut, 1981).

Gasifikasi Total
Proses gasifikasi yang saat ini banyak dikembangkan adalah gasifikasi total,
yakni konversi batu bara menjadi produk gas melalui reaksi antara batu bara
dengan pereaksi berupa udara, campuran udara/uap air, atau campuran
oksigen/uap air. Dalam gasifikasi total seluruh material organik batu bara
diharapkan dapat dikonversikan menjadi gas (Gambar 2.2).

46
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Gambar 2.2 Skema proses gasifikasi total

Gasifikasi batu bara sebetulnya merupakan proses pembakaran tidak


sempurna (incomplete combustion) batu bara sehingga dihasilkan produk
utama berupa gas mampu bakar yakni CO dan H2 serta gas-gas hidrokarbon
lainnya seperti CH4. Reaksi kimia yang terjadi selama proses gasifikasi terdiri
atas reaksi pembakaran, reaksi gasifikasi primer dan reaksi gasifikasi sekunder.
Reaksi pembakaran merupakan reaksi eksotermal dan panas yang dihasilkan
digunakan untuk reaksi gasifikasi yang bersifat endotermal.

Setiap proses gasifikasi memiliki empat tahapan proses yaitu pengeringan,


pirolisis, reduksi, dan oksidasi yang dapat digambarkan sebagai zona-zona
dalam reaktor seperti terlihat pada Gambar 2.3. (Hebden, 1981; Miller, 2011).

Penger ingan terjadi pada suhu


antara 100200oC; proses ini bersifat
endotermis (membutuhkan panas)
dari reaksi oksidasi. Selama proses
pengeringan terjadi penguapan air dari
batu bara.
Pirolisis disebut juga proses devolatilisasi
batu bara terjadi antara suhu di atas
200oC sampai dengan 800oC. Selama
proses pirolisis terjadi dekomposisi
termal batu bara menjadi gas, ter dan
arang batu bara (char). Tahapan ini juga
bersifat endotermis dan membutuhkan
Gambar 2.3. Zona-zona pada reaktor
panas dari reaksi oksidasi. gasifikasi batu bara

47
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Tahapan reduksi yang terjadi antara suhu 800 1000oC sebetulnya


merupakan reaksi gasifikasi yang sesungguhnya yakni reaksi antara
karbon dari produk pirolisis (char, ter dan gas) dengan uap air (H2O) atau
CO2 membentuk campuran gas CO dan H2. Tahapan ini juga bersifat
endotermis dan membutuhkan panas dari reaksi oksidasi.
Tahapan oksidasi merupakan proses pembakaran batu bara adalah
reaksi antara bahan mampu bakar (combustible material) dari batu
bara maupun produk pirolisis dengan oksigen dari udara. Suhu
pembakaran dapat mencapai lebih dari 1200oC. Reaksi pembakaran
bersifat eksoterm dan menghasilkan panas yang digunakan untuk
tahapan-tahapan lain dalam seluruh proses gasifikasi.

Merancang Unggun Diam Down-Drop untuk Gasifikasi Batu


Bara
Minat dan ketekunan saya dalam memerdalam ilmu batu bara telah
membawa saya berkenalan dengan proses gasifikasi batu bara. Sejak tahun
1994 saya sudah menjadi bagian dari tim ahli dalam gasifikasi batu bara
tekMIRA. Ketika itu kami tidak memiliki alat sehingga kami mengajukan
pembuatan alat dan bekerjasama dengan Teknik Kimia ITB. Kami merancang
sistem gasifikasi dalam bentuk unggun diam (fixed bed) dengan kapasitas alat
sekitar 50 kg/jam. Kemudian kami menggunakan batu bara Indonesia jenis
batu bara bongkah sebagai bahan bakunya. Gasifikasi yang kami lakukan
menggunakan udara sebagai bahan pembakarnya. Reaktor ini menghasilkan
gas yang disebut gas bakar atau producer gas.

Setelah uji coba dilakukan, kami menemukan adanya masalah pembentukan


ter dalam penggunaan unggun diam. Jadi, setiap unggun diam ini dijalankan,
terbentuk ter yang tercecer ke mana-mana. Masalah lain yang timbul adalah
abu batu bara hasil pembakaran sering meleleh. Lelehannya ini kemudian
menyumbat kisi unggun diamnya.

Untuk mengatasi timbulnya ter, kami membuat sistem penangkapan ter


melalui penyaringan gas dengan sekam padi. Sekam padi ini diharapkan
mampu menyerap ter sehingga gas yang dihasilkan bebas ter. Tetapi hasilnya

48
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

tidak terlalu baik. Gas yang telah dilewatkan ke sekam padi itu ternyata masih
menghasilkan ter ketika kami membakarnya.

Kemudian timbulah ide untuk menjadikan gas yang masih mengandung ter
itu langsung sebagai bahan bakar karena ter sebenarnya dapat digunakan
juga sebagai bahan bakar. Jadi daripada susah-susah memisahkannya dari
gas bakar lebih baik menjadikannya langsung sebagai bahan bakar saja. Ide
ini kami realisasikan dengan mengubah arah gas melewati unggun. Gas yang
biasanya dilewatkan ke bagian atas unggun untuk disaring ter-nya diubah
arahnya ke bagian bawah unggun. Gas bakar yang keluar lewat bawah ini
kemudian langsung dibakar dalam keadaan panas.

Ide ini kemudian direalisasikan dengan kembali melakukan kerjasama dengan


pihak ITB. Unggun diam yang awalnya bersistem up-drop, gas bakarnya keluar
lewat atas, diganti menjadi sistem down-drop, gas bakarnya dikeluarkan
lewat bawah. Gas bakar yang keluar kemudian dibakar dengan pembakar
siklo-burner. Dengan pembakar siklo-burner ini, panas dari pembakaran gas
bakar yang mengandung ter dapat dimanfaatkan untuk proses lainnya.
Proses ini kemudian diadopsi untuk pertama kalinya di perkebunan teh dalam
pemprosesan daun teh menjadi produk tehnya.

Kerjasama penelitian gasifikasi batu bara unggun diam dengan ITB ini
tidak berlanjut karena ketika itu belum ditemukan solusi bagi masalah
penyumbatan kisi oleh lelehan batu bara. Masalah ini menyebabkan proses
gasifikasi batu bara dengan unggun diam tidak bisa dilaksanakan secara
kontinyu dan hanya bertahan beberapa jam saja.

Pemanfaatan Gas
Pemanfaatan gas hasil gasifikasi batu bara bergantung pada pereaksi yang
digunakan atau gas yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 2.4.

49
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Pemanfaatan Gas Bakar


Sesuai dengan namanya gas ini hanya digunakan untuk bahan bakar, baik
secara langsung (hot gas) maupun setelah melalui pemurnian (cold gas). Hot
gas digunakan untuk pembakaran yang tidak memerlukan gas yang bersih
seperti industri logam, industri pertanian dan industri mineral. Sedangkan
cold gas digunakan untuk industri-industri yang memerlukan gas yang bersih
seperti industri keramik, industri makanan, genset (gas engine, mesin diesel),
pembangkit listrik (Suprapto, 2009).

Gambar 2.4 . Skema Pemanfaatan Gas Hasil Gasifikasi Batu bara

Gasifier yang memproduksi gas bakar banyak diproduksi oleh Cina


(menggunakan reaktor fixed-bed) dan malahan diekspor termasuk ke
Indonesia. Penggunaan gasifier ini di Indonesia adalah untuk industri keramik,
industri genteng, industri bata, sarung tangan, pembakaran kapur dll.

Mitsubishi juga mengembangkan gasifier air blown gasification dan telah


diterapkan pada demo plant pembangkit listrik IGCC (Integrated Gasification
Combined Cycle) kapasitas 250 MW menggunakan reaktor sistem entrained
bed.

50
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Pemanfaatan Syngas
Selain dapat digunakan untuk bahan bakar terutama pembangkit listrik,
syngas dapat digunakan sebagai bahan baku industri gas hidrogen (H2), SNG,
bahan baku industri kimia, bahan baku BBM sintetik.

Hidrogen

Kebanyakan penggunaan syngas dari gasifikasi batu bara memerlukan kadar


H2 yang tinggi atau rasio H2/CO yang tinggi dibandingkan komposisi syngas
yang dihasilkan sebuah gasifier. Rasio H2/CO tergantung teknologi gasifikasi
(gasifier) yang digunakan. Oleh karena itu, perlu peningkatan kadar H2 dan
pemisahan gas pengotor diantaranya dengan shift reaction:

CO + H2O -> CO2 + H2

Penggunaan gas hidrogen: sintesa amonia, fuel cell, hidrogenasi petroleum,


methanol, SNG, sintesa Fischer-Tropsch. Penggunaan H2 dengan kemurnian
tinggi (hampir H2 murni) adalah sintesa amonia dan fuel cell.

Synthetic Natural Gas

Synthetic Natural Gas (SNG) atau dikenal juga sebagai Substitute Natural Gas
adalah gas metan (CH4) yang disintesa dari syngas melalui reaksi CO dan H2
(dari syngas) dengan perbandingan 1 : 3 sebagai berikut:

CO + 3 H2 -> CH4 + H2O

Persaingan antara gasifikasi batu bara dan gas alam merupakan sejarah yang
panjang. Pabrik-pabrik gas (menggunakan proses karbonisasi batu bara) yang
memproduksi gas kota untuk energi. Pabrik-pabrik tersebut sudah ditutup
karena ketika gas alam dan energi listrik tersedia secara luas. Pabrik-pabrik
ammonia dan methanol awalnya dirancang untuk menggunakan syngas dari
batu bara. Sekarang kebanyakan amonia dan metanol dibuat dari syngas
dari gas alam.

Pada masa akhir 1960-an sampai awal 1980-an terdapat kekhawatiran


di Amerika Utara bahwa cadangan gas alam mulai berkurang. Hal ini

51
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

menyebabkan dibangunnya Great Plains Synfuels plant. Tetapi pada


pertengahan 1980-an ternyata harga gas alam turun. Pada saat itu plant
gasifikasi tersebut menjadi tidak ekonomis sehingga pemerintah USA
campur tangan agar tetap beroperasi. Kemudian pada awal 2000-an terdapat
kenaikan harga gas sehingga banyak perusahaan mempertimbangkan
produksi amonia dan methanol dari batu bara, tetapi kemudian harga gas
alam turun lagi.

SNG juga dapat berfungsi sebagai pembawa energi batu bara; daripada
harus dikapalkan, batu bara dapat dapat dikonversikan ke SNG dalam pabrik
gasification plant dekat tambang batu bara. Hasil samping CO2 dapat disimpan
secara lokal. SNG kemudian dikapalkan atau dipipakan ke konsumen
sehingga mengurangi biaya transportasi dan gas rumah kaca (Bell, 2011).

Sintesa Fischer-Tropsch

Sintesa Fischer-Tropsch digunakan terutama untuk memproduksi bahan


bakar cair dan dengan hasil samping berupa bahan kimia. Batu bara
digasifikasi dengan oksigen/uap air sehingga dihasilkan gas wantah (crude
gas); kondensat dari pendinginan gas wantah menghasilkan hasil samping
berupa ter dan minyak. Hasil samping lain seperti senyawa-senyawa nitrogen,
senyawa-senyawa sulfur dan senyawa-senyawa fenolat diproses lebih lanjut
menjadi amonia, sulfur, kresol dan fenol (van Dyk et all.).

Produk gas dimurnikan sehingga menjadi syngas yang siap sebagai umpan
sintesa Fischer-Tropsch sbb:

Konversi Fischer-Tropsch suhu tinggi: syngas dikirim ke reaktor


Sasol Advanced Synthol (SAS) dimana H2 dan CO berreaksi di bawah
tekanan dengan fluidisasi katalis besi pada tekanan moderat sehingga
menghasilkan hidrokarbon kisaran C1 C15. Proses ini dipakai terutama
untuk memproduksi bahan bakar cair, meskipun Sasol mengekstraksi
sejumlah bahan kimia berguna, misalnya alpha olefins dari synthetic
crude oil.
Senyawa teroksigenasi (oksigenat) dari aliran buangan proses SAS
dipisahkan dan dimurnikan untuk menghasilkan senyawa-senyawa

52
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

alkohol, asam asetat dan keton termasuk metil etil keton (MEK) dan
metil iso butil keton (MIBK).

Konversi Fischer-Tropsch suhu rendah: Alternatif pemakaian syngas


adalah Sasol Slurry Phase Fischer-Tropsch technology suhu rendah, yang
dikembangkan oleh Sasol Technology (PTY) LTD. Proses ini dilakukan
di Sasolburg, Afrika Selatan, yakni syngas direaksikan pada suhu lebih
rendah dibanding proses SAS. Malam (wax) hidrokarbon rantai lurus
dan parafin diproduksi. Selain malam keras, lilin dan malam Fischer-
Tropsch, solar kualitas tinggi juga diproduksi pada proses ini. Malam
tersebut dapat di-hydrocracking menjadi produk solar bebas sulfur.
Hidrokarbon-hidrokarbon ringan di-hydrotreated untuk menghasilkan
kerosen atau fraksi parafin. Amonia juga diproduksi dan dijual untuk
industri pupuk dan bahan peledak.

Ammonia dan Turunannya

H2 diperoleh dari syngas yang telah ditingkatkan H2-nya, sementara


N2 diperoleh dari ASU (Air Separation Unit). Apabila digunakan bahan
bakar berupa gas alam atau SNG maka gas metan diubah menjadi H2
melalui reforming reaction:
CH4 + H2O -> CO + 3H2

Turunan ammonia terutama adalah pupuk nitrogen: urea, amonium nitrat,


amonium fosfat, amoium sulfat.

Metanol dan Turunannya

Pada tekanan tinggi, dengan adanya katalis maka H2 dan CO bereaksi menjadi
metanol (CH3OH)

2 H2 + CO -> CH3OH

Penggunaan metanol:

Sebagai bahan bakar transportasi telah luas digunakan; pemerintah


Cina mengadopsi standar M85 (85% methanol dan 15 hidrokarbon)

53
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Sebagai bahan baku dimetil eter DME (CH3OCH3): bisa digunakan


untuk bahan bakar atau sebagai antara (intermediate) dalam produksi
bahan bakar hidrokarbon dan bahan kimia. Saat ini DME penggunaan
utama sebagai propellant produk perawatan seperti hair spray. Salah
satu pemakaian DME sebagai pengganti (substitute) LPG.
Sebagai bahan baku hidrokarbon olefins (alkenes).
Jalur Pemanfaatan Syngas untuk Bahan Bakar dan Bahan Kimia
Terdapat 3 jalur utama pemanfaatan syngas untuk bahan bakar dan bahan
kimia sebagai berikut:

Bahan bakar dan bahan kimia yang dibuat secara langsung: hidrogen,
karbon monoksida, SNG, solar, amonia, metanol, isobutan, etilen,
alkohol-alkohol C1-C5, etanol, etilen glikol, olefin-olefin C2-C4.
Bahan bakar yang dibuat melalui metanol dengan proses/sintesa tak
langsung: formaldehid, asam asetat, bensin, solar, metil format, metil
asetat, asetaldehid, asetat anhidrid, vinil asetat, etilena, propilena,
etanol, alkohol-alkohol C1-C5, asam propionat, benzena, toluena, xilena,
etil asetat.

Pelajaran Berharga dari Proyek Gasifikasi Batu Bara Pertama


di Indonesia
Kegagalan merancang dan meneliti unit gasifikasi terdahulu tak mematahkan
semangat saya untuk melanjutkan penelitian gasifikasi batu bara. Saya yakin
pada suatu hari nanti, gasifikasi akan menjadi teknologi garda depan dalam
pemanfaatan batu bara Indonesia yang begitu melimpahnya. Keyakinan saya
ini telah didukung oleh tren meningkatnya pemanfaatan teknologi gasifikasi
batu bara oleh negara-negara maju bahkan negara yang sama sekali tak
memiliki batu bara seperti Jepang dan Korea. Maka ketika PLN menawarkan
proyek gasifikasi batu bara untuk PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel)
saya langsung menyatakan kesiapan saya.

Proyek dengan PLN bermula ketika jajaran manajemen PLN bertandang ke


TekMIRA. PLN meminta bantuan pada kami untuk memecahkan masalah
borosnya pemakaian BBM (minyak solar) pada PLTD. PLN berharap bisa
menggunakan batu bara sebagai alternatif bahan bakar untuk mengurangi
penggunaan solar. Akhirnya Kapus tekMIRA menghubungi dan meminta saya

54
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

untuk ikut mencarikan solusinya. Kebetulan ketika itu saya sedang meneliti
gas bakar dari batu bara sehingga timbul ide bagi saya untuk memanfaatkan
gas bakar sebagai bahan bakar bagi PLTD. Kemudian setelah saya menelaah
sumber-sumber dari internet, saya mendapatkan bahwa di beberapa negara
gas bakar ini sudah digunakan bersama dengan minyak diesel pada mesin
diesel.

Maka saya ungkapkan ide ini dan mempresentasikannya di depan Manajemen


PLN. Mereka setuju dan meminta kami untuk membuat skala pilotnya. Tetapi
sebelum membuat skala pilotnya mereka meminta kami untuk meninjau
teknologi sejenis di negara Cina. Negara Cina dipilih karena pertama, saya
tidak akan membuat unit gasifikasi untuk proyek pilot ini karena sudah
merasakan betapa repotnya meneliti dan merancang unit gasifikasi.

Alasan kedua adalah masalah efisiensi waktu, menggunakan unit gasifikasi


yang sudah ada dan siap pakai tentu akan lebih cepat dibandingkan
merancangnya terlebih dahulu. Kemudian alasan selanjutnya adalah karena
produk unit gasifikasi Cina sudah beredar dan banyak digunakan oleh
industri-industri yang menggunakan bahan bakar batu bara di Indonesia.

Kami pun akhirnya berkunjung ke Cina. Saya memanfaatkan jejaring yang saya
miliki dengan agen unit gasifikasi batu bara dari Cina, PT Coal Gas Indonesia.
Kebetulan saya adalah tenaga ahli di perusahaan agen unit gasifikasi batu bara
ini. Setelah berkunjung dan berkeliling negeri Cina kami menemukan bahwa
gasifikasi batu bara telah banyak digunakan di Cina. Namun, gasifikasi batu
bara ini digunakan untuk gas engine bukan untuk mesin diesel. Di negeri Cina
kami tidak menemukan penggunaan gasifikasi batu bara untuk mesin diesel.

Ada perbedaan dalam cara pembakaran bahan bakar dalam mesin diesel dan
gas engine. Pada mesin diesel, minyak diesel yang cair dikabutkan menjadi gas
kemudian ditekan sehingga terjadi ledakan dan terbakar. Kemudian energi
hasil pembakaran ini akan menggerakkan mesin. Sedangkan pada gas engine
ada busi sebagai pematik bagi bahan bakar bensin yang telah terkabutkan,
seperti pada mesin motor atau mobil yang menggunakan bensin sebagai
bahan bakarnya. Sehingga satu-satunya pilihan untuk memanfaatkan gas
bakar batu bara pada mesin diesel adalah dengan mengombinasikan bahan
bakar minyak diesel dengan gas bakarnya.

Memang masih ada kemungkinan untuk mengubah mesin diesel menjadi gas
engine namun hal ini tak mudah dilakukan. Pengubahan ini berarti merombak
55
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

mesin diesel dan melakukan penambahan busi sebagai pemantik bahan


bakarnya. Perombakan ini akan membutuhkan waktu yang lama sehingga
pengkombinasian bahan bakar antara minyak diesel dan gas bakar adalah
solusi yang paling cepat dan mudah.

Sebenarnya jika kami menemukan pemanfaatan gas batu bara pada mesin
diesel secara langsung saat kunjungan ke Cina, PLN tidak perlu melakukan
penelitian lebih lanjut. PLN akan langsung membeli teknologi yang sudah
ada untuk digunakan pada mesin-mesin diesel PLTD mereka. Tetapi,
karena ternyata di Cina belum ada, PLN akhirnya meminta tekMIRA untuk
mengadakan penelitian dan membangun pilot plant-nya.

Sepulang dari Cina, pimpinan PLN langsung membuat MoU (Memorandum


of Understanding, Nota Kesepahaman) antara PLN, tekMIRA dan PT Coal Gas
Indonesia. PLN sebagai pemilik proyek akan menyediakan dana dan mesin
diesel untuk pembuatan pilot plant sedangkan tekMIRA menyediakan tenaga
ahli dan fasilitas penelitian di Palimanan, Cirebon. Sementara itu PT Coal Gas
Indonesia menyediakan unit gasifikasi batu bara. Dalam MoU juga disepakati
setelah sukses dengan pilot plant, kemudian akan dilanjutkan dengan
perancangan demo plant langsung pada PLTD di Kalimantan atau Sumatera.

Banyak yang pesimis dengan proyek pilot plant ini ketika kami mulai
merancang dan menelitinya. Ketika kami membangun pilot plant ini
sebenarnya sudah ada PLTD yang menggunakan gas sebagai campuran
minyak diesel untuk bahan bakarnya. Hanya PLTD ini menggunakan gas alam
sebagai campuran bahan bakarnya. Mereka ragu karena tidak seperti minyak
diesel dan gas alam, gas bakar batu bara hanya memiliki energi seperenamnya
saja. Sehingga mereka khawatir dan pesimis penggunaan gas bakar batu bara
akan mampu menghasilkan energi listrik yang sesuai dengan kapasitas PLTD
yang sebelumnya hanya menggunakan minyak solar saja.

Saya memiliki pendapat berbeda dengan mereka yang pesimis ini dan
yakin pilot plant ini akan berhasil. Kuncinya ada di kebutuhan udara untuk
pembakaran. Baik pembakaran minyak diesel maupun gas alam memerlukan
udara jauh lebih banyak bila dibandingkan pada pembakaran gas bakar batu
bara. Satu liter solar atau gas alam memerlukan delapan sampai sembilan
liter udara untuk pembakarannya sedangkan satu liter gas batu bara hanya

56
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

membutuhkan sekitar 1,2 sampai 1,3 liter udara. Sehingga untuk ruang bakar
yang sama, gas batu bara yang dibakar akan lebih banyak dibandingkan
minyak diesel dan gas alam.

Pembakaran gas batu bara yang lebih banyak ini menyebabkan energi yang
dihasilkan akan setara dengan energi hasil pembakaran minyak diesel atau gas
alam pada ruang bakar bervolume sama. Ketika dilakukan uji coba mesin, PLN
mendatangkan tenaga ahli dari Teknik Mesin yang akhirnya dapat menangkap
maksud saya ketika saya menjelaskan hal ini. Saya dapat membuat tenaga
ahli ini mengerti padahal saya bukan ahli mesin.

Selama tahun 2007 kami terus menguji coba pilot plant yang kami rancang.
Alhamdulillah semuanya lancar sehingga tahun 2008 pilot plant pemanfaatan
gasifikasi batu bara untuk PLTD ini di resmikan oleh Pak Menteri. Genset
yang kami pergunakan adalah genset berkapasitas 250 kVA (kilo Volt
Ampere) dan mengunakan sistem manual dan non-turbo. Sistem manual
maksudnya pengoperasian penggunaan batu bara diatur secara manual. Pada
sistem turbo udara yang yang masuk dipanaskan oleh gas buang sehingga
membutuhkan energi yang lebih banyak. Sistem yang kami gunakan adalah
sistem non-turbo sehingga energi yang dibutuhkan lebih sedikit.

Saya merasa puas dengan keberhasilan pilot plant ini karena telah
membuktikan bahwa gasifikasi batubara dapat menjalankan mesin diesel.
Kemudian kami mulai memikirkan bagaimana caranya melangkah ke tahap
kedua, tahap demo plant. Ada perbedaan signifikan antara tahap pilot plant
dengan demo plant. Pada tahap demo plant, aliran listrik yang dihasilkan
mesin diesel akan digunakan secara terus-menerus. Sedangkan pada tahap
pilot plant, mesin diesel hanya dinyalakan ketika akan diuji coba saja, untuk
membuktikan bahwa gasifikasi batubara dapat menjalankan mesin diesel
dan menghasilkan listrik.

57
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Gambar 2.5 Peresmian PLTD Berbahan Bakar Gas Batu Bara-Diesel oleh Menteri ESDM
Purnomo Yusgiantoro

Namun proyek ini tidak berlanjut ke tahap demo plant karena ada hal yang
tidak dapat disepakati antara PLN dan PT Coal Gas Indonesia. Setelah melewati
rapat-rapat panjang dengan PLN dan PT Coal Gas Indonesia, kelanjutan
proyek mengalami kebuntuan. Kebuntuan ini disebabkan PLN merasa tak
bisa langsung melakukan penunjukan secara langsung PT Coal Gas Indonesia
sebagai pemasok unit gasifikasi batu bara.

PLN menginginkan pemasok unit gasifikasi batu bara harus ditentukan


melalui tender sesuai prosedur standar yang berlaku di BUMN. Sedangkan PT
Coal Gas Indonesia menolak tender karena selain sudah banyak melakukan
investasi dalam proyek ini, melalui tender PT Coal Gas Indonesia dapat
kehilangan kesempatan menjadi pemasok unit gasifikasi batu bara kalau
kalah tender. Perselisihan ini terus berlarut-larut sampai akhirnya PT Coal
Gas Indonesia memutuskan untuk tak memperpanjang MoU dengan PLN
pada tahun 2010.

58
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Menyemai Teknologi Gasifikasi, dari TekMIRA untuk Bangsa


Pada rentang masa rapat-rapat antara PLN, PT Coal Gas Indonesia dan
tekMIRA, kami mulai memikirkan penelitian teknologi gasifikasi secara
mandiri. Rasanya akan sulit jika tekMIRA terus bergantung pada PLN dan
pihak swasta dalam penelitian ini. Saya khawatir kejadian dengan proyek
PLTD PLN terulang lagi. Akhirnya kami mengusulkan pengadaan mesin diesel
untuk tekMIRA. Usul ini diterima dan akhirnya tekMIRA memiliki mesin diesel
untuk penelitian secara mandiri.

Mesin diesel yang dibeli tekMIRA ini berkapasitas 450 kVA dengan sistem
pengoperasian otomatis dan turbo. Mesin diesel dengan spesifikasi seperti
ini banyak digunakan PLN untuk pembangkit listrik berkapasitas besar. Untuk
menguji coba mesin diesel ini, kami meminta kesempatan untuk meminjam
reaktor gasifikasi di pilot plant Palimanan yang belum dibongkar. PT Coal Gas
Indonesia akhirnya setuju untuk meminjamkan reaktor gasifikasinya selama
beberapa bulan.

Hasil uji coba ini ternyata masih jauh dari harapan. Pada uji coba pilot plant
kami dapat menjalankan mesin diesel dengan komposisi bahan bakar 70%
gas bakar dan 30% solar. Ketika kami mencoba mesin diesel kami dengan
reaktor gasifikasi batubara yang sama, hasilnya tidak memuaskan. Mesin
diesel ini hampir sama sekali tak menyala kemudian listrik yang dihasilkan
pun sangat kecil.

Saya pun kemudian mencari dimana letak kesalahan pengujian mesin diesel
ini, kenapa sampai tidak menyala? Saya buka internet, tanya sana-sini sampai
bertanya ke PLN. Ternyata jawabannya adalah conversion kit. PLTD PLN yang
menggunakan dual-fuel, gas alam-solar, menggunakan conversion kit agar
mesinnya tetap menyala. Conversion kit yang ditanamkan dalam mesin diesel
otomatis berfungsi untuk mengatur komposisi gas alam dan solar sebagai
bahan bakar. Selain itu, conversion kit juga berfungsi untuk mengembalikan
penggunaan 100% diesel dalam mesin ketika pasokan gas alam mati sehingga
mesin diesel tetap bisa menyala.

Pada waktu itu, ada penyedia conversion kit bagi PLTD Pertamina yang
menggunakan campuran bahan bakar gas alam dan solar, menawarkan
peminjaman produknya. Bagi perusahaan ini, jika tekMIRA jadi melakukan

59
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

peminjaman conversion kit produknya, akan menjadi pengalaman pertama


mereka menggunakan conversion kit untuk mesin diesel berbahan baku gas
bakar batubara. Dan jika penelitian ini berhasil, akan menjadi keuntungan
sendiri bagi perusahaan ini karena akan meningkatkan pemasaran produk
mereka. Bagi tekMIRA sendiri ini sebenarnya kesempatan bagus, mumpung
dipinjamkan secara gratis dan masih ada reaktor gasifikasi pinjaman juga.

Akan tetapi, peminjaman conversion kit ini mengalami kegagalan. Untuk


kembali melakukan penelitian menggunakan conversion kit dibutuhkan revisi
anggaran. Revisi anggaran ternyata sulit dan menghabiskan banyak waktu.
Padahal tenaga ahli perusahaan conversion kit itu akan segera kembali ke
Jerman. Pada akhirnya, revisi anggaran ini tak dapat memenuhi waktu tenggat
kesempatan peminjaman dari perusahaan conversion kit, dan peminjaman
conversion kit pun berakhir dengan kegagalan. Beberapa bulan kemudian
giliran reaktor gasifikasi yang dibongkar.

Kegagalan itu tak membuat kami patah arang. Pada tahun berikutnya tekMIRA
mulai merencanakan pembelian reaktor gasifikasi batubara dan conversion
kit. Tetapi, kemudian timbul lagi masalah. Reaktor gasifikasi batubara
memerlukan pekerjaan sipil untuk kontruksi dan rumah bagi gasifier-nya. Jadi,
pengadaan reaktor gasifikasi akan melibatkan dua perusahaan, perusahaan
penyedia reaktor gasifikasi dan kontraktor sipil untuk kontruksinya. Padahal
saya juga mengusulkan pengadaan tangki untuk tandon gas yang dihasilkan
oleh reaktor gasifikasi agar pasokan gas pada mesin diesel dapat berlangsung
secara kontinu.

Pada akhirnya, untuk tahun anggaran 2011, hanya conversion kit yang
berhasil dibeli. Sedangkan untuk reaktor gasifikasi, terpaksa harus menunggu
anggaran tahun depan. Selain masalah pelibatan dua perusahaan untuk satu
barang, reaktor gasifikasi, ternyata hanya ada satu perusahaan yang dapat
memproduksi gasifier dengan kapasitas sesuai kebutuhan tekMIRA. Sehingga
jika dipaksakan untuk membeli reaktor gasifikasinya saja, tanpa pekerjaan
sipil, tak bisa dilakukan tender. Hanya penunjukan secara langsung yang dapat
dilakukan. Ini tentu dihindari, karena penunjukan secara langsung selain
perlu izin Menteri, juga rawan diperkarakan oleh KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi).

60
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Reaktor gasifikasi akhirnya kami dapatkan pada tahun 2012. Kami membeli
gasifier dengan ukuran dan kapasitas yang lebih besar dibanding gasifier pada
pilot plant terdahulu. Gasifier sebelumnya memiliki diameter satu meter dan
kapasitasnya 150200 kg/jam. Sedangkan gasifier yang kami beli memiliki
diameter 2 meter dan berkapasitas 500800 kg/jam. Setelah semuanya
lengkap, kami segera melanjutkan uji coba.

Bagi saya ini menjadi beban karena uji coba pertama dengan reaktor
gasifikasi PT Gasifikasi Coal Gas Indonesia mengalami kegagalan. Apalagi
pembelian conversion kit dan reaktor gasifikasi mencapai angka miliaran.
Namun, akhirnya saya merasa lega, uji coba ini ternyata berhasil. Kami berhasil
menjalankan mesin diesel dengan komposisi 60% gas bakar dan 40% solar.
Tetapi, uji coba ini belum menggunakan seluruh kapasitas mesin diesel yang
mampu menghasilkan listrik sampai 450 kVA. Hal ini disebabkan keterbatasan
daya tampung listrik di pilot plant yang hanya sekitar 150 kVA.

Keberhasilan uji coba ini merupakan langkah awal bagi kami untuk
mengembangkan teknologi gasifikasi batu bara untuk PLTD atau mesin diesel
lainnya secara dual-fuel. Langkah selanjutnya yang sedang kami jajaki adalah
mencoba mengganti kabel keluaran mesin diesel dengan kabel yang lebih
besar sehingga mampu mengalirkan listrik lebih besar. Selain itu pipa saluran
gas dari gasifier ke mesin diesel juga kami perbesar untuk mengoptimumkan
aliran gas batu bara ke mesin diesel.

Kami juga menggandeng Litbang PLN untuk ikut terlib rkapasitas lebih besar
sehingga listrik yang dihasilkan mesin diesel dapat dialirkan secara optimum.
Hal ini penting untuk melihat kinerja optimum dari mesin diesel ketika dapat
mengalirkan listrik sebanyak mungkin. Selain itu kami juga meminta Litbang
PLN untuk mengadakan penelitian tentang pengaruh penggunaan gas batu
bara terhadap mesin diesel.

Teknologi Gasifikasi yang Cocok untuk Batu Bara Peringkat


Rendah Indonesia
Terdapat tiga tipe reaktor gasifikasi batu bara yakni fixed bed, fluidized bed dan
entrained bed. Ketiga tipe tersebut dapat dibedakan berdasarkan parameter-
parameter kondisi abunya, karakterisktik batu bara yang digunakan
(ukuran, penerimaan fine, peringkat batu bara, kadar abu, titik leleh abu),

61
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

kondisi operasi (suhu gas, tekanan gasifikasi, kebutuhan O 2, kebutuhan


steam, kapasitas unit), karakteristik utama dan masalah teknis. Tabel 2.1
menunjukkan perbedaan perbandingan masing-masing tipe reaktor dan juga
teknologi tipikalnya. Dari tabel tersebut parameter-parameter yang paling
berpengaruh dan dipilih terutama berdasarkan batu bara yang digunakan
dan karakteristik utama reaktor. Disamping itu, dimasukkan juga parameter
tentang penerapan secara komersial.

Tabel 2.2 menunjukkan skor masing-masing tipe reaktor apabila digunakan


umpan berupa batu bara peringkat rendah yang menggunakan asumsi
sebagai berikut:

0 = tidak sesuai, kurang digunakan skala komersial


1 = sesuai/baik, sedikit digunakan secara komersial
2 = lebih sesuai/baik, lebih banyak digunakan secara komersial
3 = paling sesuai/baik, paling banyak digunakan secara komersial

Pada Tabel 2.2 tersebut dapat dinilai bahwa tipe entrained bed mempunyai
score paling tinggi yakni 18 dibanding tipe reaktor lainnya karena tipe
entrained bed paling sesuai untuk batu bara peringkat rendah dan paling
banyak diterapkan secara komersial saat ini.

Terdapat banyak teknologi yang dikembangkan menggunakan reaktor tipe


entrained bed seperti yang telah dibahas terdahulu di antaranya Shell, GE,
ECUST, ConocoPhillips-Egas, Siemen, Prenflo, Kopper-Totzec, Mitsubishi (MHI),
dan Eagle. Tabel 2.3 menunjukkan perbandingan karakteristik masing-masing
teknologi gasifikasi sistem entrained bed berdasarkan kondisi umpan (kering
dan slurry), stage reaktor, cara pengumpanan (flow) batu bara, dinding reaktor,
pendinginan gas, dan pereaksi/oksidan.

62
Penerimaan fine coal Terbatas Baik Tak terbatas
Karakteristik lain nya Gas mengandung Konversi karbon Gas bersih (murni),
metana, ter, minyak rendah konversi karbon tinggi

Tabel 2.1. Perbandingan Tipe Reaktor Gasifikasi

TIPE REAKTOR FIXED BED FLUIDIZED BED EXTRAINED BED


Teknologi Tipikal Sasol-Lurgi BGL Winkler, KRW, U-Gas GEE, Shell, E-Gas,
HTW, KBR, Siemen, KT, MHI, PWR
CFB, HRL
Kodisi Abu Dry ash Slagging Dry ash Agglomerating Slagging
KARAKTERISTIK BATU BARA
Ukuran 6-50 mm 6-50 mm 6-10 mm 6-10 mm < 100 m
Penerimaan Fine terbatas Melalui Baik Lebih baik Tak terbatas
injeksi
Peringkat batu semua tinggi (bitum. rendah (lignit semua peringkat semua peringkat
bara peringkat antr.) subbit)
Kadar abu tak ada sebaiknya < tak ada tak ada batasan sebaiknya < 25%
batasan 25% batasan
o o o o o
Titik leleh Abu >1200 C <1300 C >1100 C >1100 C <1300 C

63
(prefered)
KONDISI OPERASI
rendah rendah sedang sedang tinggi
Suhu gas o o o o o
(425-650 C) (425-650 C) (900-1050 C) (900-1050 C) (1250-1600 C)
Tek. Gasifikasi 435+ 435+ 15 15-435 <725
(psig)
Kebutuhan O2 rendah rendah sedang sedang tinggi
Kebutuhan tinggi rendah sedang sedang rendah
steam
Kapasitas/unit 10-350 10-350 100-700 20-150 sampai 700
(MWth)
Gas murni
Karakteristik Cairan hidrokarbon dalam
Konversi karbon rendah Konversi karbon tinggi
Utama raw gas
Suhu gas tinggi
Pemanfaatan fine dan cairan
Masalah teknis Korversi karbon Pendinginan gas
hidrokarbon
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Sumber: Miller, 2011; Higman, 2007.


Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Seperti pada pemilihan tipe reaktor dalam pemilihan teknologi juga masih
mempertimbangkan karakteristik batu bara dan juga status komersial
teknologi. Salah satu parameter teknologi yang berhubungan dengan sifat
batu bara peringkat rendah adalah kondisi umpan. Batu bara peringkat
rendah mempunyai sifat hidrophilik (menyerap air) sehingga apabila dibuat
slurry maka kebutuhan air akan banyak sehingga kadar batu bara dalam slurry
akan rendah dan operasi gasifikasi maupun keekomiannya juga rendah. Oleh
karena itu, teknologi yang menggunakan sistem pengumpanan dengan slurry
tidak dipilih untuk gasifikasi batu bara peringkat rendah.

Selanjutnya dari teknologi yang tersisa dapat dibedakan berdasarkan


penerapan komersialnya menjadi 3 (tiga) kelompok sebagai berikut:

Teknologi yang sudah diterapkan secara luas: Shell dan Siemen


Teknologi sudah diterapkan komersial tetapi kurang berkembang:
Prenflo dan Kopper-Totzec.
Teknologi yang menjanjikan tapi masih dalam pengembangan (belum
komersial): Mitsubishi dan Eagle.

Tabel2.2.
Tabel 2.2.Scoring
Scoring masing-masing
masing-masing tipetipe reaktor
reaktor berdasarkan
berdasarkankecocokan
kecocokanbatu
batubara
baraperingkat
peringkat
rendah, kualitas gas, konversi
rendah, kualitas karbon dan penerapan
gas, konversi komersial
karbon dan penerapan komersial

FIXED BED FLUIDIZED BED EXTRAINED


TIPE REAKTOR BED
Dry ash Slagging Dry ash Agglomerating
Ukuran 2 2 1 1 3
Penerimaan Fine 1 2 2 2 3
Peringkat batu bara 2 0 2 2 2
Kadar abu 1 1 1 1 1
Titik leleh Abu (prefered) 1 1 2 2 2
Kemurnian gas 1 1 2 2 2
Konversi karbon 2 2 1 1 2
Penerapan komersial 3 1 1 1 3
TOTAL 13 10 12 12 18

Tabel 2.3. Perbandingan Karakteristik Teknologi-teknologi Entrained bed

Dinding
Teknologi Stage Umpan Flow Pendinginan Gas Pereaksi
Reaktor
Gas quench
Shell 1 Kering Up Membran Oksigen
& syngas cooler
Water quench or
GE 1 Slurry Down Refaktori Oksigen
syngas cooler
ECUST 1 Slurry Down - Water quench Oksigen
Conoco
2 Slurry Up Refaktori 2 stage gasification Oksigen
Phillips-Egas
Water quench and/
Siemen 1 Kering Down 64 Membran Oksigen
or syngas cooler
Gas quench
Prenflo 1 Kering Up Membran Oksigen
& syngas cooler
Kopper-Totzec 1 Kering Up Jaket Syngas cooler Oksigen
Titik leleh Abu (prefered) 1 1 2 2 2
Kemurnian gas 1 1 2 2 2
Konversi karbon 2 2 1 1 2
Penerapan komersial 3 1 1 1 3
TOTAL 13 Batu Bara,
Gasifikasi 10 Solusi di Tengah
12 12
Berlimpahnya Batu Bara18
Indonesia

Tabel 2.3.Tabel
Perbandingan Karakteristik
2.3. Perbandingan Teknologi-teknologi
Karakteristik Entrained Entrained
Teknologi-teknologi bed bed
Dinding
Teknologi Stage Umpan Flow Pendinginan Gas Pereaksi
Reaktor
Gas quench
Shell 1 Kering Up Membran Oksigen
& syngas cooler
Water quench or
GE 1 Slurry Down Refaktori Oksigen
syngas cooler
ECUST 1 Slurry Down - Water quench Oksigen
Conoco
2 Slurry Up Refaktori 2 stage gasification Oksigen
Phillips-Egas
Water quench and/
Siemen 1 Kering Down Membran Oksigen
or syngas cooler
Gas quench
Prenflo 1 Kering Up Membran Oksigen
& syngas cooler
Kopper-Totzec 1 Kering Up Jaket Syngas cooler Oksigen
MHI 2 Kering Up Membran 2 stage gasification Udara
Eagel 2 Kering Up Membran 2 stage gasification Oksigen

Teknologi Prenflo dan Kopper-Totzec keduanya menggunakan umpan kering


dan reaktor 1 stage, sudah diterapkan tetapi tidak berkembang. Sedangkan
teknologi Mitsubishi dan Eagle, keduanya dari Jepang, menggunakan umpan
kering dianggap sebagai teknologi yang menjanjikan karena menggunakan
reaktor 2 stage sehingga efisiensinya tinggi. Namun kedua teknologi ini masih
dalam tahap pengembangan. Bahkan demonstration plant yang dioperasikan
menggunakan pereaksi/oksidan udara (bukan oksigen). Oleh karena itu
teknologi yang disarankan dipilih untuk gasifikasi batu bara peringkat rendah
adalah Shell atau Siemen, keduanya sistem entrained bed, menggunakan
umpan kering dan reaktor 1 tahap.

Kendala Penerapan Teknologi Gasifikasi Batu Bara


di Indonesia
Kunci dari masa depan green coal energy menurut saya adalah gasifikasi batu
bara. Di beberapa negara gas hasil gasifikasi telah digunakan sebagai sebagai
bahan bakar secara komersial. Gas ini juga sudah dimanfaatkan sebagai bahan
baku pupuk. Di Afrika Selatan sejak masa embargo karena politik afartheid,
teknologi yang mengubah gas ini menjadi bahan bakar minyak sintesis telah
dikembangkan. Namun, teknologi gasifikasi batu bara di negeri penghasil
batu bara terbesar nomor empat dunia ini masih mandek.

65
Karakteristik dan Pemanfaatan Batu Bara | Slamet Suprapto

Dalam setiap seminar, saya selalu mengungkapkan bahwa pemanfaatan


teknologi gasifikasi batu bara di Indonesia itu sangat, sangat diperlukan. Kalau
ingin mengembangkan teknologi sendiri, tekMIRA sudah memeloporinya
dan siap terjun langsung untuk mewujudkannya. Walaupun berdasarkan
pengalaman penelitian saya, pengembangan teknologi sendiri ini akan
membutuhkan waktu yang lama. Sayangnya, bahkan teknologi yang sudah
ada dan komersial di luar negeri pun sangat sulit untuk dapat masuk ke
Indonesia. Jadi bagaimana caranya mengembangkan teknologi gasifikasi
batu bara di negara yang batu baranya melimpah ini?

Saya menganalisis setidaknya ada dua hal yang menjadi kendala utama
pengembangan teknologi gasifikasi batu bara di Indonesia. Kendala pertama
adalah pemanfaatan batu bara dalam negeri kalah bersaing dengan gas alam.
Saat ini harga batu bara Indonesia kalah bersaing dengan harga gas alam.
Penyerapan batu bara dalam negeri dapat meningkat jika ada kebijakan dan
aturan yang mengatur harga batu bara agar dapat berkompetisi dengan harga
gas alam. Harga batu bara Indonesia saat ini masih menggunakan harga
pasar atau harga ekspor. Proses gasifikasi yang membutuhkan banyak batu
bara sangat cocok dibangun di dekat penambangan batu bara atau biasa
dikenal dengan istilah mulut tambang. Sehingga seharusnya harga batu bara
yang diterapkan untuk proses gasifikasi adalah harga mulut tambang, harga
batu bara ketika baru saja akan keluar dari lokasi penambangan batu bara.
Harga mulut tambang jelas jauh lebih murah dibandingkan harga ekspornya.
Penurunan harga batu bara ini tentu akan meningkatkan daya saing gasifikasi
batu bara dengan gas alam Indonesia yang sama-sama melimpah.

Alasan kedua berkaitan dengan masalah regulasi. Sampai saat ini belum ada
aturan yang tegas mengenai lembaga negara yang berwenang mengurus
investasi gasifikasi batu bara. Pada Kementerian ESDM sendiri ada tiga pihak
yang saling tarik-menarik mengenai kewenangan ini. Kewenangan ini dapat
berada di Ditjen Minerba (Mineral dan Batu bara), Dirjen EBTKE (Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi) atau Ditjen Migas
(Minyak Bumi dan Gas). Ketika Bu Evita menjadi Dirjen Migas dan mengajak
Mitsubishi untuk mengadakan kajian, yang paling tepat seharusnya memang
Dirjen Migas. Namun kemudian setelah dibentuk Dirjen EBTKE, Bu Evita
merasa seharusnya EBTKE yang menangani masalah ini. Namun karena Ditjen
EBTKE ketika itu masih baru, kewenangan ini sebagian besar, untuk sementara
masih berada di Ditjen Migas.

66
Gasifikasi Batu Bara, Solusi di Tengah Berlimpahnya Batu Bara Indonesia

Kemudian keruwetan ini bertambah karena Kementerian Perindustrian ikut


masuk dan sedang gencar-gencarnya membuat peraturan agar kewenangan
ini dimasukkan ke Kementerian Perindustrian. Selama ini memang
Kementerian Perindustrian seringkali overlaping dengan Kementrian ESDM
mengenai kebijakan daerah abu-abu seperti kewenangan pengolahan
gasifikasi batu bara ini. Akhirnya diambil jalan tengah dengan kesepakatan
bahwa jika pabrik gasifikasi berada di mulut tambang, maka ini termasuk
kewenangan Kementerian ESDM. Tetapi jika pabrik gasifikasi batu bara ini
di luar mulut tambang atau bahan bakunya di bawa keluar dari daerah
pertambangan maka yang berwenang adalah Kementerian Perindustrian.

Kejelasan regulasi akan memudahkan baik investor maupun perusahaan yang


memiliki teknologi gasifikasi untuk masuk ke Indonesia. Kedatangan investor
tentu akan meningkatkan nilai komersil gasifikasi batu bara sehingga dapat
bersaing dengan bahan bakar lainnya. Sedangkan masuknya perusahaan
yang membawa teknologi gasifikasi akan memercepat proses penyerapan
teknologi gasifikasi. Penyerapan teknologi ini bukan tak mungkin akan
memacu penelitian dalam negeri lebih lanjut sehingga teknologi gasifikasi
komersial versi lokal dapat bermunculan.

67

Anda mungkin juga menyukai