Anda di halaman 1dari 18

1

LAPORAN KASUS

BAKTERIAL VAGINOSIS

OLEH:

Dessy Rachmi A 0910714031


Maria Hilda 0910710009
Noerlaily Eka A 0910711013

PEMBIMBING:
dr. Sutrisno, SpOG
dr. KAF

SMF/LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR MALANG
FEBRUARI 2014
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ .1


DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 3
2.1 Latar Belakang ............................................................................................ 3
2.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
2.3 Tujuan ......................................................................................................... 4
2.4 Manfaat ....................................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1 Definisi ........................................................................................................ 5
2.2 Epidemiologi ................................................................................................ 5
2

2.3 Patogenesis ................................................................................................. 6


2.4 Faktor Risiko ............................................................................................... 7
2.5 Diagnosis .................................................................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding ...................................................................................... 10
2.7 Tatalaksana ................................................................................................. 10
2.8 Komplikasi ................................................................................................... 12
2.9 Prognosis .................................................................................................... 12
BAB 3 LAPORAN KASUS ............................................................................... 14
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 17
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 19
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 19
5.2 Saran ........................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Bakterial vaginosis adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobacillus
Spp penghasil hydrogen peroksida (H2O2) yang merupakan flora normal vagina
dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (contoh: Bacteroides Spp,
Mobilincus Spp), Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Jadi, bakterial
vaginosis bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu organism, tetapi
timbul akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari bakteri yang
berkolonisasi di vagina.
Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam timbulnya bakterial
vaginosis, bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-
ganti pasangan akan meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial
vaginosis.
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wanita dengan bakteriologis
vagina normal dan wanita dengan bakterial vaginosis, ditemukan bakteri aerob
dan bakteri anaerob pada semua perempuan. Lactobacillus adalah organisme
dominan pada wanita dengan sekret vagina normal dan tanpa vaginitis.
Lactobacillus biasanya ditemukan 80-95% pada vagina dengan sekret vagina
normal. Sebaliknya, Lactobacillus ditemukan 25-65% pada bakterial vaginosis.
3

Jika dibiarkan berlarut-larut infeksi vaginitis bakterialis tersebut dapat


membahayakan kehamilannya. Tak hanya dapat menyebabkan persalinan
prematur, namun juga dapat menyebabkan ketuban pevah dini dan kelahiran
bayi dengan berat lahir rendah (kurang dari 2500 gram). Itu sebabnya, sangat
dianjurkan untuk segera melakukan pemeriksaan kehamilan jika mengalami
keputihan. Apalagi jika keputihan tersebut mulai timbul gejala gatal yang sangat
hingga cairan berbau.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya pengetahuan tentang bakterial
vaginosis dari penyebab, diagnosa secara klinis, serta penatalaksanaannya,
maka kami menyusun makalah ini supaya dapat bermanfaat dalam menjalankan
profesi kedokteran.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mendiagnosis pasien dengan bakterial vaginosis?
2. Bagaimana penatalaksanaan terapi bakterial vaginosis pada pasien ini?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara mendiagnosis pasien dengan bakterial vaginosis?
2. Mengetahui penatalaksanaan terapi bakterial vaginosis pada pasien ini?

1.4 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai bakterial vaginosis dalam hal
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis, serta
penatalaksanaan.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bakterial vaginosis merupakan peradangan pada vagina yang disebabkan
oleh bakteri. Bakterial vaginosis adalah penyebab tersering keputihan pada
wanita dalam usia reproduksi (Bhalla et al., 2007). Kondisi ini sering terjadi
secara spontan sekitar waktu menstruasi dan dapat sembuh secara spontan
pada pertengahan siklus (Monga, 2006).
Ketika bakterial vaginosis berkembang, organisme anaerobik
yang umumnya ada pada vagina dalam konsentrasi rendah meningkat
konsentrasinya hingga sampai ribuan kali. Hal ini disertai dengan peningkatan
pH vagina menjadi antara 4,5-7,0, dan akhirnya lactobacilli pada vagina
(terutama yang menghasilkan hidrogen peroksida) berkurang dan bahkan
mungkin hilang. Organisme yang paling sering dikaitkan dengan bakterial
vaginosis adalah Gardnerella vaginalis, Bacteroides (Prevotella) spp.,
Mobiluncus spp. dan Mycoplasma hominis (Monga, 2006).
Ekologi Lactobacilli pada vagina merupakan pertahanan penting terhadap
invasi pathogen dimana wanita dengan bacterial vaginosis lebih rentan untuk
terkena infeksi oleh karena virus herpes simpleks tipe-21 (HSV-2), Trichomonas
vaginalis, Neisseria gonorrhoeae dan HIV dibandingkan perempuan dengan flora
normal vagina (Bhalla et al., 2007).

2.2 Epidemiologi
Bakterial vaginosis merupakan salah satu gangguan vagina yang paling
sering terjadi. Frekuensi dilaporkan berkisar antara 3,6% sampai 40%, ditemukan
pada berbagai populasi yang berbeda (Forsum et al., 2005) dan diamati di
berbagai jenis klinik, di unit perawatan primer, di klinik STD, dan di klinik aborsi.
Berbagai kategori pasien telah dipelajari, termasuk wanita hamil, pasien aborsi,
dan pekerja seks (Larsson et al., 2005).
Pada tahun 2006, berdasarkan pengamatan pada 1.193 wanita selama
tiga tahun dengan interval 3-6 bulan, tercatat perkembangan bacterial vaginosis
pada 20% perempuan yang tidak terjangkit sebelumnya (Ness et al., 2006).
5

2.3 Patogenesis
Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Lactobacillus adalah
bakteri predominan di vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina
yang bersifat asam. Faktor-faktor yang dapat mengubah pH melalui efek
alkalinisasi antara lain adalah mukus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina
(douching), pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil dan
menopause. Faktor-faktor ini memungkinkan meningkatnya pertumbuhan
Gardnella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri anaerob. Metabolisme
bakteri anaerob menyebabkan lingkungan menjadi basa yang menghambat
pertumbuhan bakteri lain (Judanarso, 2005).
Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,
keputihan dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
douching, dilaporkan terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi
mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri
patogen yang oportunistik (Rahma dkk., 2004).
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia
produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu
cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri-bakteri, sel-sel vagina yang
terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini
merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai
pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret
vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika
mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang
matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell
(Makmur dkk., 2004).
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis
sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif
dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan
pH sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G.vaginalis.
Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel
epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.
Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides
6

bivins, B. capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia
(Faro, 2003; Judarsono, 2005).
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh
tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal
yang terbatas dapat dibuktikan dengan setidaknya jumlah leukosit dalam sekret
vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis
ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi
Trichomonas (Judarsono, 2005). Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya
atau etiologi penyakit ini (Rahma dkk., 2004). Walaupun alasan sering
rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat
menjelaskan, yaitu:
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme
penyebab bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi
G. Vaginalis mengandung G. Vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita
yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh
lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
2. kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang
hanya dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus
sebagai flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor
hostnya pada penderita, membuatnya rentan terdapat kekambuhan (Rahma
dkk., 2004).

2.4 Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko dari infeksi bacterial vaginosis diantaranya: ras
berkulit hitam, konsumsi alkohol, merokok, status sosioekonomi rendah,
pendidikan rendah, riwayat bacterial vaginosis, riwayat klamidia/ gonokokal
servisitis, multiple atau pasangan seksual baru, dan wanita yang berhubungan
seks dengan wanita (Ness et al., 2006; Jones et al., 2007; Menard, 2011).
Sebaliknya, penggunaan kontrasepsi hormonal, sirkumsisi pada laki-laki,
dan penggunaan kondom secara konsisten mengurangi angka kejadian bacterial
vaginosis (Menard, 2011).
7

2.5 Diagnosis
Gejala utama dari bacterial vaginosis adalah sekret berbau amis yang
tipis, homogen dan melekat pada dinding vagina dan berwarna putih atau kuning.
Bau sangat jelas di sekitar waktu menstruasi atau setelah berhubungan seksual
(Monga, 2006). Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai
disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen (Clutterbuck, 2004).
Metode diagnosis yang masih digunakan secara luas yaitu kriteria klinis
Amsel dan skor Nugent yang berbasis pewarnaan Gram (Menard,2011).
Diagnosis dalam praktek klinis umumnya dibuat menggunakan kriteria klinis
Amsel (Amsel, 1983):
pH vagina > 4.5
whiff test + pelepasan bau amis pada penambahan alkali (10 % kalium
hidroksida)
sekret yang khas pada pemeriksaan
adanya ' clue cell ' (clue cell adalah sel epitel vagina yang dilapisi oleh banyak
bakteri sehingga batasnya menjadi kabur) pada mikroskop.

Diagnosis bacterial vaginosis dapat ditegakkan bila setidaknya 3 dari 4 kriteria


terpenuhi (Monga, 2006).

Klasifikasi Nugent
8

Skoring Nugent dibuat berdasarkan hasil hapusan vagina dengan


pewarnaan Gram (pembesaran 1000 x). Hasilnya berupa sistem perkiraan poin
(0-4 poin) yang digunakan untuk menilai jumlah dari mophotype bakteri berbeda
yang ditemukan pada sampel. Jumlah bakteri yang bervariasi dikategorikan
dalam kategori bakterial vaginosis, pertengahan, atau normal.

(Nugent, 1991)

2.6 Diagnosis Banding

(Monga, 2006)

2.7 Tatalaksana
Bakterial vaginosis adalah penyebab paling umum dari keputihan atau
bau. Rekomendasi terbaru untuk pengobatan bacterial vaginosis bergejala
diterbitkan pada tahun 2010 oleh US Centers for Disease Control. Pengobatan
9

lini pertama meliputi metronidazole atau clindamycin. Konsumsi alkohol harus


harus dihindari selama pengobatan 7 hari dengan metronidazole sistemik dan 1
hari setelahnya. Bagi wanita yang mengalami efek samping, disarankan
penggunaan rute vagina. Pemilhan pengobatan harus dipertimbangkan dengan
cermat pada penggunakondom dan diafragma, karena melemahnya lateks dapat
terjadi hingga 5 hari setelah menerapkan krim klindamisin berbasis minyak.
Sekarang Tinidazol dapat digunakan sebagai alternatif untuk metronidazol dan
klindamisin. Selama pengobatan, wanita harus dianjurkan untuk menghindari
seks tanpa kondom. Selain itu, douching vagina yang dapat menyebabkan
kambuh harus dihindari (Menard, 2011).
Regimen terapi untuk pengobatan vaginosis bakteri:
Tiga regimen yang direkomendasikan:
1 . Metronidazol 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari
2 . Metronidazol gel 0,75 %, 1 aplikasi penuh (5 g) dalam vagina, sakali
sehari selama 5 hari
3 . Cream klindamisin 2 % , 1 aplikasi penuh (5 g) dalam vagina pada waktu tidur
selama 7 hari
Tiga regimen alternatif:
1 . Tinidazol 2 g secara oral sekali sehari selama 2 hari
2 . Tinidazol 1 g secara oral sekali sehari selama 5 hari
3 . Klindamisin 300 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari
4 . Clindamycin ovula 100 mg dalam vagina sekali pada waktu tidur selama 3
hari
Regimen yang dianjurkan untuk ibu hamil:
1 . Metronidazol 500 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari
2 . Metronidazol 250 mg secara oral 3 kali sehari selama 7 hari
3 . Klindamisin 300 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari (US Centers for
Disease Control, 2010)
Cara termudah dan termurah untuk pengobatan bacterial vagiosis adalah
metronidazole 400 mg dua kali sehari selama 5 hari. Preparat topikal tersedia
dalam bentuk metronidazol gel 0,75% atau krim klindamisin 2%. Tingkat
kesembuhan awal adalah lebih dari 80 persen, tetapi hingga 30 persen wanita
kambuh dalam waktu 1 bulan pengobatan (Monga, 2006).
Pada beberapa wanita, flora vagina berada dalam keadaan dinamis,
dimana bacterial vaginosis bekembang dan timbul secara spontan. Pada wanita
10

dengan gejala bacterial vaginosis berulang, kondisi berespon cepat terhadap


pengobatan dengan antibiotik, tetapi juga dapat kambuh dengan cepat. Terapi
rutin satu atau dua kali sebulan dengan metronidazol oral atau topikal kadang
bermanfaat (Monga, 2006).

Terapi Non Antibiotik


Probiotik
Terapi alternatif lain untuk pengobatan bacterial vaginosis yaitu dengan
meningkatkan pertumbuhan lactobacilli untuk dapat menggantikan bacterial
vaginosis yang ada pada vagina. Prinsip dari probiotik adalah menyediakan
nutrisi untuk dapat menstimulasi pertumbuhan lactobacilli. Menurut FDA dan
WHO, definisi dari probiotik adalah mikroorganisme hidup yang jika diberikan
dalam jumlah yang adekuat, maka akan menghasilkan manfaat kesehatan untuk
host. Mekanisme probiotik sehingga dapat memberikan dampat bagi kesehatan
belum sepenuhnya diketahui. Beberapa hipotesis yang diajukan diantaranya:
(i) sebagai contoh, Lactobacillus fermentum RC-14 dapat memproduksi
biosurfaktan yang mengandung sejumlah besar protein pengikat kolagen
yang dapat menghambat adhesi patogen
(ii) probiotik dapat memproduksi komponen antimokroba seperti hydrogen
peroksida, asam laktat, atau bakteriocin yang dapatmenghambat
pertumbuhan pathogen
(iii) terapi probiotik dapat menyebabkan modulasi mukosa yang
meningkatkan respon system imun
Probiotik dapat dikonsumsi secara oral atau diberikan per vagina tanpa ada efek
samping (Howard et al., 2000; Sheil et al., 2007; Pascual et al., 2008).

Antiseptik
Minyak esensial dari tanaman obat memiliki efek antiseptic yang kuat.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan penggunaan thymol dan eugenol
sebagai terapi untuk bacterial vaginosis. Keduanya diaplikasikan melalui vaginal
douche satu kali sehari selama 7 hari dan akan menyebabkan gejala berkurang
(Braga et al., 2010, Sosto et al., 2011).

2.8 Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, bakteril vaginosis tidak menimbulkan komplikasi
setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi
seperti penyakit radang panggul (Pelvic Inflammatory Disease/PID) (Rahma dkk.,
2004).
11

Wanita hamil dengan bacterial vaginosis memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalami keguguran pada trimester kedua dan kelahiran prematur
selama kehamilan, yang dapat mengakibatkan kematian perinatal atau cerebral
palsy. Wanita dengan bakterial vaginosis juga memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami infeksi setelah operasi (Monga, 2006; Menard, 2011).

2.9 Prognosis
Prognosis bacterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Prognosis bacterial vaginosis sangat baik
karena infeksinya dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan
pada lebih dari 1/3 kasus. Pengobatan dengan metronidazol dan klindamisin
memberi angka kesembuhan yang tinggi (85-96%) (Clutterbuck, 2004; Rahma
dkk., 2004).
12

BAB 3
URAIAN KASUS

3.1 Identitas
Register : 111630xx
Nama : Ny. W
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : 9 tahun
Nama Suami : Tn. M
Usia : 30 thn
Pekerjaan : Montir
Gaji : 1.000.000/ bulan
Pendidikan : 12 thn
Alamat : Jl. Swasembada Barat 23/23 RT03/12 Jakarta
Status : Menikah (1x)
Lama Menikah : 6 tahun
Datang ke Poli : 24 Februari 2014

3.2 Subjektif
Anamnesa (Tanggal 24 Februari 2014 Jam 10.00)

Keluhan Utama :
Rasa gatal pada kemaluan
Anamnesis:
Pasien datang ke poli dengan keluhan gatal pada kemaluan sejak kurang
lebih 3 minggu. Gatal dirasakan hilang timbul. Selain itu pasien juga
merasa bahwa keluar cairan lebih banyak dari biasanya 1 minggu ini
berwarna putih susu dan berbau.
Riwayat Keputihan: -
Riwayat Haid: teratur 1x setiap bulan, lamanya 7 hari, banyaknya 2-3
pembalut per hari.
Riwayat penyakit terdahulu
DM (-), Hipertensi (-), Asma (-), Penyakit Jantung (-)
Riwayat pengobatan
Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Pasien menyangkal jika di dalam keluarganya ada yang pernah
mengalami hal yang sama
Riwayat intake makanan
Nafsu makan pasien normal 3 x sehari. Kebiasaan makan nasi, sayur,
ayam, telur.
Lifestyle
Merokok (-), Alkohol (-)
13

Kegiatan sehari-hari: masak, mencuci baju, mengepel, membersihkan


rumah

3.3 Objektif
3.3.1 Pemeriksaan Fisik
(A) Status Generalis
Berat badan : 50 Kg
Tinggi Badan : 155 cm
BMI : 20,8 kg/m2
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/Menit, Reguler
RR : 20 x/Menit
Temperatur Axilla : 36,50C
Temperatur Rectal : 36,70C
Kepala dan Leher : Anemis - / - Ikterus - /-
Pembesaran kelenjar keher - / -
Thorax : Cor/ S1 S2 tunggal, Murmur (-)
Pulmo/ vv Rh - - Wh - -
vv -- --
vv -- --
Abdomen : Soefl, Bising usus (+) normal
Ekstrimitas : Edema - / - Gatal -/-

(B) Status Gynecology


- GE : v/v flux (-), fluor (-), laserasi (-)
- Inspekulo : v/v flux (-), fluor (+) minimal, tampak POMP tertutup
- VT : v/v flux (-), fluor (+) minimal, POMP teraba licin
AP Dex: massa (-), nyeri (-)
AP Sin: tidak teraba massa
CD massa (-) nyeri (-)

PDx
- Laboratorium : Whiff Test, test lakmus

PTx
1. Clindamycin 2x300 mg
2. Roborantia 1 x 1

PMo : keadaan umum, tanda vital, keluhan

PEdu :
Menjelaskan kepada pasien tentang:
14

1. Penyakit yang diderita


2. Rencana diagnosis dan pengobatan yang akan dilakukan
3. Prognosis

BAB 4
PEMBAHASAN

Analisis hasil anamnesa


Identitas pasien
Pasien bernama Ny.W Seorang wanita berumur 36 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien berada dalam usia produktif dan rentan terhadap
masalah kesehatan reproduksi. Infeksi alat reproduksi bisa mengenai laki-laki
dan perempuan. Akan tetapi, insidensi infeksi lebih tinggi pada perempuan.
Berdasarkan data penelitian tentang kesehatan reproduksi wanita,
hasilnya menunjukkan bahwa 75% wanita di dunia pasti menderita keputihan,
paling tidak sekali dalam hidupnya.
Pasien beragama Islam dan tinggal di Jakarta. Pada daerah iklim
subtropis dan tropis prevalensi keputihan lebih tinggi. Oleh karena itu, cuaca
Indonesia yang lembab menjadi salah satu penyebab banyaknya wanita
Indonesia yang mengalami keputihan.

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan utama adanya rasa gatal pada daerah kemaluan,
disertai keluarnya cairan bewarna putih susu dan bebau.

Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan ginekologi ditemukan fluor pada pemeriksaan
inspekulo dan vaginal touche. Lain-lainnya dalam batas normal.
Gejala utama dari bacterial vaginosis adalah sekret berbau amis yang
tipis, homogen dan melekat pada dinding vagina dan berwarna putih atau kuning.
Diagnosis dalam praktek klinis umumnya dibuat menggunakan kriteria
klinis Amsel:
15

pH vagina > 4.5


whiff test + pelepasan bau amis pada penambahan alkali (10 % kalium
hidroksida)
sekret yang khas pada pemeriksaan
adanya ' clue cell ' (clue cell adalah sel epitel vagina yang dilapisi oleh banyak
bakteri sehingga batasnya menjadi kabur) pada mikroskop.
16

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Penegakan diagnosis bakteri pada pasien ini didasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesa
didapatkan riwayat keputihan abnormal dan keluhan gatal pada daerah
kemalauan. Kemudian ditemukan fluor dari hasil pemeriksaan inspekulo
dan VT. Berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan pada vagina ditemukan
adanya bacterial vaginosis.
2. Faktor risiko yang mungkin berperan dalam menyebabkan terjadinya
bacterial vaginosis pada kasus ini yaitu pasien adalah seorang wanita
yang sudah menikah dan usia pasien berada pada rentang usia produktif,
selain itu pasien tinggal di Indonesia yang lembap dan beriklim tropis.
3. Penatalaksanaan pada kasus ini yakni Clindamycin merupakan drug of
choice pada pasien dengan bacterial vaginosis.

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, Chen KC, Eschenbach D, Holmes KK.
Nonspecific vaginitis. Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic
associations. Am J Med. 1983;74:1422.
Bhalla P, et al. 2007. Prevalence of bacterial vaginosis among women in Delhi,
India. Indian J Med Res 125, February 2007, pp 167-172.
17

Braga PC, Dal Sasso M, Culici M, Spallino A. Inhibitory activity of thymol on


native and mature Gardnerella vaginalis biofilms: in vitro study.
Arzneimittelforschung. 2010;60:675681.
Clutterbuck D. 2004. Specialist training in: sexually transmitted infections and
HIV. Edinburgh: Elsevier Mosby.
Faro S. 2003. Sexually transmitted diseases in women. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Forsum U, Larsson P G, Spiegel C. 2008. Scoring vaginal fluid smears for
diagnosis of bacterial vaginosis:need for quality specifications. Apmis
116:156-159.
Howard JC, Heinemann C, Thatcher BJ, Martin B, Gan BS, Reid G. Identification
of collagen-binding proteins in Lactobacillus spp. With surface-enhanced
laser desorption/ionization-time of flight proteinchip technology. Appl
Environ Microbiol. 2000;66:43964400.
Jones FR, Miller G, Gadea N, Meza R, Leon S, Perez J, Lescano AG, Pajuelo J,
Caceres CF, Klausner JD, Coates TJ, NIMH Collaborative HIV/STI
Prevention Trial Group. 2007. Prevalence of bacterial vaginosis among
young women in low-income populations of coastal Peru. International
Journal of STD & AIDS 2007; 18: 188192.
Judarsono J. 2005. Vaginosis bacterial. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Indonesia.p.384-90.
Larsson P G, Stray-Pedersen B, Ryttig K R, Larsen S. 2008. Human lactobacilli
as supplementation of clindamycin to patients with bacterial vaginosis
reduce the recurrence rate; a 6-month, double-blind, randomized, placebo-
controlled study. BMC Womens Health 8:3.
Makmur AAA, Ilyas SF, Djawad K. 2004. Trikomoniasis. In: Amiruddin MD, editor.
Penyakit menular seksual seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. P.243-51.
Menard JP. 2011. Review Antibacterial treatment of bacterial vaginosis:
current and emerging therapies. International Journal of Womens Health
2011:3 295305.
Monga A. 2006. Infections in Gyanecology. Gynaecology by Ten Teachers 18th
edition p166-169. UK: Edward Arnold Ltd.
Ness R B, Kip K E, Soper D E, Stamm C A, Rice P, Richter H E. 2006. Variability
of bacterial vaginosis over 6- to 12-month intervals. Sex Transm Dis
33:381-385.
18

Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is
improved by a standardized method of gram stain interpretation. J Clin
Microbiol. 1991;29:297301.
Pascual LM, Daniele MB, Ruiz F, Giordano W, Pajaro C, Barberis L.
Lactobacillus rhamnosus L60, a potential probiotic isolated from the human
vagina. J Gen Appl Microbiol. 2008;54:141148.
Rahma SN, Adriani A, Tabri F. 2004. Vaginosis bacterial. In: Amiruddin MD.
Editor. Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. p. 147-60.
Sheil B, Shanahan F, OMahony L. Probiotic effects on inflammatory bowel
disease. J Nutr. 2007;137:819S824S.
Sosto F, Benvenuti C; CANVA Study Group. Controlled study on Thymol +
eugenol vaginal douche versus econazole in vaginal candidiasis and
metronidazole in bacterial vaginosis. Arzneimittelforschung. 2011;61:126
131.
US Centers for Disease Control and Prevention Sexually Transmitted Diseases
Treatment Guidelines 2010. (http://www.cdc. gov/mmwr/pdf/rr/rr5912.pdf.
diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pk 22.00.

Anda mungkin juga menyukai