LAPORAN KASUS
BAKTERIAL VAGINOSIS
OLEH:
PEMBIMBING:
dr. Sutrisno, SpOG
dr. KAF
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara mendiagnosis pasien dengan bakterial vaginosis?
2. Mengetahui penatalaksanaan terapi bakterial vaginosis pada pasien ini?
1.4 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai bakterial vaginosis dalam hal
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakan diagnosis, serta
penatalaksanaan.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bakterial vaginosis merupakan peradangan pada vagina yang disebabkan
oleh bakteri. Bakterial vaginosis adalah penyebab tersering keputihan pada
wanita dalam usia reproduksi (Bhalla et al., 2007). Kondisi ini sering terjadi
secara spontan sekitar waktu menstruasi dan dapat sembuh secara spontan
pada pertengahan siklus (Monga, 2006).
Ketika bakterial vaginosis berkembang, organisme anaerobik
yang umumnya ada pada vagina dalam konsentrasi rendah meningkat
konsentrasinya hingga sampai ribuan kali. Hal ini disertai dengan peningkatan
pH vagina menjadi antara 4,5-7,0, dan akhirnya lactobacilli pada vagina
(terutama yang menghasilkan hidrogen peroksida) berkurang dan bahkan
mungkin hilang. Organisme yang paling sering dikaitkan dengan bakterial
vaginosis adalah Gardnerella vaginalis, Bacteroides (Prevotella) spp.,
Mobiluncus spp. dan Mycoplasma hominis (Monga, 2006).
Ekologi Lactobacilli pada vagina merupakan pertahanan penting terhadap
invasi pathogen dimana wanita dengan bacterial vaginosis lebih rentan untuk
terkena infeksi oleh karena virus herpes simpleks tipe-21 (HSV-2), Trichomonas
vaginalis, Neisseria gonorrhoeae dan HIV dibandingkan perempuan dengan flora
normal vagina (Bhalla et al., 2007).
2.2 Epidemiologi
Bakterial vaginosis merupakan salah satu gangguan vagina yang paling
sering terjadi. Frekuensi dilaporkan berkisar antara 3,6% sampai 40%, ditemukan
pada berbagai populasi yang berbeda (Forsum et al., 2005) dan diamati di
berbagai jenis klinik, di unit perawatan primer, di klinik STD, dan di klinik aborsi.
Berbagai kategori pasien telah dipelajari, termasuk wanita hamil, pasien aborsi,
dan pekerja seks (Larsson et al., 2005).
Pada tahun 2006, berdasarkan pengamatan pada 1.193 wanita selama
tiga tahun dengan interval 3-6 bulan, tercatat perkembangan bacterial vaginosis
pada 20% perempuan yang tidak terjangkit sebelumnya (Ness et al., 2006).
5
2.3 Patogenesis
Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri-bakteri penghasil basa. Lactobacillus adalah
bakteri predominan di vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina
yang bersifat asam. Faktor-faktor yang dapat mengubah pH melalui efek
alkalinisasi antara lain adalah mukus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina
(douching), pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon saat hamil dan
menopause. Faktor-faktor ini memungkinkan meningkatnya pertumbuhan
Gardnella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri anaerob. Metabolisme
bakteri anaerob menyebabkan lingkungan menjadi basa yang menghambat
pertumbuhan bakteri lain (Judanarso, 2005).
Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,
keputihan dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
douching, dilaporkan terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi
mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri
patogen yang oportunistik (Rahma dkk., 2004).
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia
produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu
cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri-bakteri, sel-sel vagina yang
terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini
merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai
pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret
vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika
mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel epitel yang
matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell
(Makmur dkk., 2004).
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis
sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif
dalam vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan
pH sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G.vaginalis.
Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel
epitel dan menyebabkan duh tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina.
Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides
6
bivins, B. capilosus dan B. disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia
(Faro, 2003; Judarsono, 2005).
G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian
menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh
tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal
yang terbatas dapat dibuktikan dengan setidaknya jumlah leukosit dalam sekret
vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis
ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi
Trichomonas (Judarsono, 2005). Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya
atau etiologi penyakit ini (Rahma dkk., 2004). Walaupun alasan sering
rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4 kemungkinan yang dapat
menjelaskan, yaitu:
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme
penyebab bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi
G. Vaginalis mengandung G. Vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita
yang telah mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh
lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
2. kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang
hanya dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus
sebagai flora normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor
hostnya pada penderita, membuatnya rentan terdapat kekambuhan (Rahma
dkk., 2004).
2.5 Diagnosis
Gejala utama dari bacterial vaginosis adalah sekret berbau amis yang
tipis, homogen dan melekat pada dinding vagina dan berwarna putih atau kuning.
Bau sangat jelas di sekitar waktu menstruasi atau setelah berhubungan seksual
(Monga, 2006). Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai
disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen (Clutterbuck, 2004).
Metode diagnosis yang masih digunakan secara luas yaitu kriteria klinis
Amsel dan skor Nugent yang berbasis pewarnaan Gram (Menard,2011).
Diagnosis dalam praktek klinis umumnya dibuat menggunakan kriteria klinis
Amsel (Amsel, 1983):
pH vagina > 4.5
whiff test + pelepasan bau amis pada penambahan alkali (10 % kalium
hidroksida)
sekret yang khas pada pemeriksaan
adanya ' clue cell ' (clue cell adalah sel epitel vagina yang dilapisi oleh banyak
bakteri sehingga batasnya menjadi kabur) pada mikroskop.
Klasifikasi Nugent
8
(Nugent, 1991)
(Monga, 2006)
2.7 Tatalaksana
Bakterial vaginosis adalah penyebab paling umum dari keputihan atau
bau. Rekomendasi terbaru untuk pengobatan bacterial vaginosis bergejala
diterbitkan pada tahun 2010 oleh US Centers for Disease Control. Pengobatan
9
Antiseptik
Minyak esensial dari tanaman obat memiliki efek antiseptic yang kuat.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan penggunaan thymol dan eugenol
sebagai terapi untuk bacterial vaginosis. Keduanya diaplikasikan melalui vaginal
douche satu kali sehari selama 7 hari dan akan menyebabkan gejala berkurang
(Braga et al., 2010, Sosto et al., 2011).
2.8 Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, bakteril vaginosis tidak menimbulkan komplikasi
setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi
seperti penyakit radang panggul (Pelvic Inflammatory Disease/PID) (Rahma dkk.,
2004).
11
Wanita hamil dengan bacterial vaginosis memiliki risiko yang lebih besar
untuk mengalami keguguran pada trimester kedua dan kelahiran prematur
selama kehamilan, yang dapat mengakibatkan kematian perinatal atau cerebral
palsy. Wanita dengan bakterial vaginosis juga memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami infeksi setelah operasi (Monga, 2006; Menard, 2011).
2.9 Prognosis
Prognosis bacterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Prognosis bacterial vaginosis sangat baik
karena infeksinya dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan
pada lebih dari 1/3 kasus. Pengobatan dengan metronidazol dan klindamisin
memberi angka kesembuhan yang tinggi (85-96%) (Clutterbuck, 2004; Rahma
dkk., 2004).
12
BAB 3
URAIAN KASUS
3.1 Identitas
Register : 111630xx
Nama : Ny. W
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : 9 tahun
Nama Suami : Tn. M
Usia : 30 thn
Pekerjaan : Montir
Gaji : 1.000.000/ bulan
Pendidikan : 12 thn
Alamat : Jl. Swasembada Barat 23/23 RT03/12 Jakarta
Status : Menikah (1x)
Lama Menikah : 6 tahun
Datang ke Poli : 24 Februari 2014
3.2 Subjektif
Anamnesa (Tanggal 24 Februari 2014 Jam 10.00)
Keluhan Utama :
Rasa gatal pada kemaluan
Anamnesis:
Pasien datang ke poli dengan keluhan gatal pada kemaluan sejak kurang
lebih 3 minggu. Gatal dirasakan hilang timbul. Selain itu pasien juga
merasa bahwa keluar cairan lebih banyak dari biasanya 1 minggu ini
berwarna putih susu dan berbau.
Riwayat Keputihan: -
Riwayat Haid: teratur 1x setiap bulan, lamanya 7 hari, banyaknya 2-3
pembalut per hari.
Riwayat penyakit terdahulu
DM (-), Hipertensi (-), Asma (-), Penyakit Jantung (-)
Riwayat pengobatan
Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Pasien menyangkal jika di dalam keluarganya ada yang pernah
mengalami hal yang sama
Riwayat intake makanan
Nafsu makan pasien normal 3 x sehari. Kebiasaan makan nasi, sayur,
ayam, telur.
Lifestyle
Merokok (-), Alkohol (-)
13
3.3 Objektif
3.3.1 Pemeriksaan Fisik
(A) Status Generalis
Berat badan : 50 Kg
Tinggi Badan : 155 cm
BMI : 20,8 kg/m2
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/Menit, Reguler
RR : 20 x/Menit
Temperatur Axilla : 36,50C
Temperatur Rectal : 36,70C
Kepala dan Leher : Anemis - / - Ikterus - /-
Pembesaran kelenjar keher - / -
Thorax : Cor/ S1 S2 tunggal, Murmur (-)
Pulmo/ vv Rh - - Wh - -
vv -- --
vv -- --
Abdomen : Soefl, Bising usus (+) normal
Ekstrimitas : Edema - / - Gatal -/-
PDx
- Laboratorium : Whiff Test, test lakmus
PTx
1. Clindamycin 2x300 mg
2. Roborantia 1 x 1
PEdu :
Menjelaskan kepada pasien tentang:
14
BAB 4
PEMBAHASAN
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan utama adanya rasa gatal pada daerah kemaluan,
disertai keluarnya cairan bewarna putih susu dan bebau.
Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan ginekologi ditemukan fluor pada pemeriksaan
inspekulo dan vaginal touche. Lain-lainnya dalam batas normal.
Gejala utama dari bacterial vaginosis adalah sekret berbau amis yang
tipis, homogen dan melekat pada dinding vagina dan berwarna putih atau kuning.
Diagnosis dalam praktek klinis umumnya dibuat menggunakan kriteria
klinis Amsel:
15
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Penegakan diagnosis bakteri pada pasien ini didasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesa
didapatkan riwayat keputihan abnormal dan keluhan gatal pada daerah
kemalauan. Kemudian ditemukan fluor dari hasil pemeriksaan inspekulo
dan VT. Berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan pada vagina ditemukan
adanya bacterial vaginosis.
2. Faktor risiko yang mungkin berperan dalam menyebabkan terjadinya
bacterial vaginosis pada kasus ini yaitu pasien adalah seorang wanita
yang sudah menikah dan usia pasien berada pada rentang usia produktif,
selain itu pasien tinggal di Indonesia yang lembap dan beriklim tropis.
3. Penatalaksanaan pada kasus ini yakni Clindamycin merupakan drug of
choice pada pasien dengan bacterial vaginosis.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, Chen KC, Eschenbach D, Holmes KK.
Nonspecific vaginitis. Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic
associations. Am J Med. 1983;74:1422.
Bhalla P, et al. 2007. Prevalence of bacterial vaginosis among women in Delhi,
India. Indian J Med Res 125, February 2007, pp 167-172.
17
Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is
improved by a standardized method of gram stain interpretation. J Clin
Microbiol. 1991;29:297301.
Pascual LM, Daniele MB, Ruiz F, Giordano W, Pajaro C, Barberis L.
Lactobacillus rhamnosus L60, a potential probiotic isolated from the human
vagina. J Gen Appl Microbiol. 2008;54:141148.
Rahma SN, Adriani A, Tabri F. 2004. Vaginosis bacterial. In: Amiruddin MD.
Editor. Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. p. 147-60.
Sheil B, Shanahan F, OMahony L. Probiotic effects on inflammatory bowel
disease. J Nutr. 2007;137:819S824S.
Sosto F, Benvenuti C; CANVA Study Group. Controlled study on Thymol +
eugenol vaginal douche versus econazole in vaginal candidiasis and
metronidazole in bacterial vaginosis. Arzneimittelforschung. 2011;61:126
131.
US Centers for Disease Control and Prevention Sexually Transmitted Diseases
Treatment Guidelines 2010. (http://www.cdc. gov/mmwr/pdf/rr/rr5912.pdf.
diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pk 22.00.