Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. DASAR TEORI
1.1 DEFINISI SALEP
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III: Salep adalah sediaan
setengah padat berupa massa lunak yang mudah dioleskan dan digunaka untuk
pemakaian luar. Menurut farmakope Indonesia edisi IV sediaan setengah padat
ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Menurut DOM
Salep adalah sediaan semi padat dermatologis yang menunjukkan aliran dilatan
yang penting. Menurut Scovilles salep terkenal pada daerah dermatologi dan
tebal, salep kental dimana pada dasarnya tidak melebur pada suhu tubuh, sehingga
membentuk dan menahan lapisan pelindung pada area dimana pasta digunakan.
Menurut Formularium Nasional salep adalah sedian berupa masa lembek, mudah
dioleskan, umumnya lembek dan mengandung obat, digunakan sebagai obat luar
untuk melindungi atau melemaskan kulit, tidak berbau tengik. Salep tidak boleh
berbau tengik. Kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang
mengandung obat keras atau narkotik adalah 10 % ( Anief, 2005).
2. TINJAUAN BAHAN
2.1 TINJAUAN BAHAN AKTIF
1) Asam Salisilat
a. Uraian Bahan
Rumus senyawa :
Alasan pemilihan :
- Asam salisilat dapat memberikan afek keratolitikum, antifungi, dan dapat
digunakan untuk pemakaian topical, hiperkeratolitikum, dan kulit bersisik.
- Untuk pengobatan antifungi hanya dikhususkan pada mikosis superficial,
seperti panu, kadas kurap, kutu air, jadi bahan aktif asam salisilat sangat
cocok karena punya efek keratolitikum (mengelupaskan keratin yang
menginfeksi jamur secara perlahan)
- Asam salisilat diabsorbsi cepat dari kulit sehat, terutama bila, dipakai
sebagai obat gosok atau krim,. Keracunan dapat terjadi dengan olesan pada
kulit yang luas.
Simbol : 16S
Titik lebur : 115,2C
Massa atom : 32,065 u 0,005 u
Titik didih : 444,6C
Pemerian : Tidak berbau; tidak berasa (FI III, 1979)
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; sangat mudah karut dalam
karbondisulfida P; sukar larut dalam minyak zaitun P,
sangat sukar larut dalam etanol (95%) P (FI III, 1979).
b. Efek Farmakologi
Sulfur diindikasikan untuk pengobatan topical acne vulgaris
(mengatasi masalah jerawat), ance rosarea, dermatitis seborrheic. Sulfur memiliki
khasiat bakterisid dan fungisid lemah berdasarkan dioksidasinya menjadi asam
pentathionat (H2S5O6) oleh kuman tertentu dikulit. Zat ini juga bersifat
keratolitis( melarutkan kulit tanduk), sehingga banyak digunakan bersama asam
salisilat dalam salep dan lotion (2-10%) untuk pengobatan jerawat dan kudis.
Sulfur precipitatum adalah yang paling aktif, karena serbuknya yang terhalus.
Dahulu zat ini digunakan sebagai laksans lemah berkat perombakan dalam usus
menjadi sulfide (natrium/kalium) yang merangsang peristaltic usus (Tjay dan
Rahardja, 2008).
Selain itu, sulfur juga biasa digunakan untuk terapi acne, dandruff atau
ketombe, scabies, seborroic condition atau kelebihan minyak pada kulit kepala,
dan infeksi jamur permukaan. Scabies merupakan infeksi parasit pada kulit yang
disebabkan oleh Sarcoptes scabiei (kompedia). Gejala utamanya adalah pruritus,
dimana disebabkan karena reaksi alergi pada parasit. Sulfur juga digunakan
sebagai mild irritant laxative dan obat homoeopathic medicine (Sweetman,2002).
e. Efek Samping
Pemakaian sulfur secara topikal dapat mengakibatkan iritasi dan
dilaporkan pula adanya dermatitis setelah pemakaian berulang-ulang. Kontak
dengan mata, mulut, dan membran mukosa lain sebaiknya dihindari. Kontak
dengan sulfur dapat merubah warna logam tertentu seperti misalnya perak, dan
pemakaian sulfur dengan komponen merkurial secara topikal dapat menghasilkan
turunan hidrogen sulfida yang berbau busuk dan dapat dapat menimbulkan noda
hitam pada kulit (Sweetman, 2002). Hidrogen peroksida dapat mengakibatkan
iritasi pada saluran pernafasan atas dan konjungtiva. Udime pada paru-paru,
dengan sesak nafas parah dan sianosis dapat meningkat dengan tiba-tiba sampai
36 jam setelah pemaparan. Kematian juga dilaporkan dapat terjadi (Martin, 2007).
4. SPESIFIKASI PRODUK
4.1 PERSYARATAN UMUM SEDIAAN
1) Pemerian tidak boleh berbau tengik.
2) Kadar, kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat
keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah 10 %.
3) Dasar salep, kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis
salep) digunakan vaselin putih (vaselin album).
4) Homogenitas, Jika salep dioleskan pada sekeping kaca atau bahan
transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen.
5) Penandaan,pada etiket harus tertera obat luar
7. CARA EVALUASI
1) Alat-alat yang digunakan untuk evaluasi sediaan salep antara lain :
a. Kaca objek e. Seperangkat alat penyulingan
b. Indikator universal f. Neraca analitik
c. Kertas grafik g. Stopwatch
d. Penetrometer h. Viscometer Ostwald
i. Alat tes beban l. Media agar
j. Kertas penyerap m. Jarum ose
k. Alat uji sentrifugasi
n.
2) Evaluasi umum sediaan salep:
A. Evaluasi Fisik
a) Kandungan air
o. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan
kandungan air dalam salep. Penentuan kehilangan akibat pengeringan.
Sebagai kandungan air digunakan ukuran kehilangan massa maksimum
(%) yang dihitung pada saat pengeringan disuhu tertentu (umumnya 100-
110oC).
p. Cara penyulingan. Prinsip metode ini terletak pada
penyulingan menggunakan bahan pelarut menguap yang tidak dapat
bercampur dengan air. Dalam hal ini digunakan trikloretan, toluen, atau
silen yang disuling sebagai campuran azeotrop dengan air.
q. Cara titrasi menurut Karl Fischer. Penentuannya
berdasarkan atas perubahan Belerang Oksida dan Iod serta air dengan
adanya piridin dan metanol menurut persamaan reaksi berikut:
r. I2 + SO2 + CH3OH + H2O -> 2 HI + CH3HSO4
s. Adanya pirin akan menangkap asam yang terbentuk dan
memungkinkan terjadinya reaksi secara kuantitatif.Untuk menghitung
kandungan air digunakan formula berikut :
t. % Air = f . 100 (a-b) P
u. f = harga aktif dari larutan standar (mg air/ml),
v. a = larutan standar yang dibutuhkan (ml),
w. b = larutan standar yang diperlukan dalam penelitian blanko
(ml),
x. P = penimbangan zat (mg)
y.
b) Homogenitas (FI IV, hal 33)
z. Tujuan: untuk mengetahui sediaan itu homogen apa tidak
aa. Prosedur:
a. Dioleskan salap mata pada kaca objek
b. Diamati ada tidaknya partikel kasar
ab. Jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok
harus menunjukkan susunan yang homogen.
ac.
c) Konsistensi, dengan penetrometer
ad. Tujuan: menguji apakah sediaan salep mudah dikeluarkan dari tube dan
mudah dioleskan.
ae. Konsistensi/rheologi dipengaruhi suhu. Sediaan non Newtonian
dipengaruhi oleh waktu istirahat, oleh karena itu harus dilakukan pada
keadaan identik.
af.
d) Bentuk, bau dan warna
ag. Tujuan: untuk melihat terjadinya perubahan fasa.
ah. Prosedur: Diamati bau dan warna secara organoleptis. Pengamatan
organoleptik meliputi bentuk, warna, bau dari sediaan salep (Anief, 1997).
ai. Sediaan yang stabil tidak berubah baik bentuk, warna dan
baunya. Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
o
disimpan pada suhu tinggi (> 40 C).Suhu tinggi menyebabkan
penguraian. Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk
sediaan yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
aj.
e) pH
ak. Berhubungan dengan stabilitas zat aktif, efektifitas pengawet, keadaan
kulit.
al. Tujuan: untuk mengetahui pH pada salep sesuai apa tidak agar tidak terjadi
iritasi
am.Prosedur
an. 1. Dioleskan salap mata pada kertas pH universal
ao. 2. Diamati dan dicocokkan dengan warna pH pada kemasan
ap. Syarat dari pH sediaan topical yaitu antara 4,5 6,5
aq.
f) Pengujian difusi bahan aktif dari sediaan salep (Jika dipersyaratkan
dalam monografi/pustaka sediaan)
ar. Tujuan: Menguji difusi bahan aktif dari sediaan salep menggunakan suatu
sel difusi dengan cara mengukur konsentrasi bahan aktif dalam cairan
penerima pada selang waktu tertentu.
as. Prosedur :
1. Sejumlah salep dioleskan pada pelat difusi sampai rata, ditutup dengan
membran, diusahakan tidak terjadi rongga udara, antara permukaan salep dan
membran. Plat dipasang pada penyangga bawah dan ditutup dengan cincin,
kemudian dihubungkan dengan penyangga atas.
2. Sel difusi dimasukkan ke dalam penangas air bersuhu 37 oC, dihubungkan
dengan pompa peristaltic, wadah penerima dan tabung pencegah masuknya
udara dengan memakai selang
3. Cairan penerima disirkulasikan dengan kecepatan 10mL per menit memakai
pompa peristaktik
4. Cairan penerima dipipet pada waktu-waktu tertentu dan diganti dengan cairan
yang sama bersuhu 37o
5. Kadar zat aktif ditentukan dengan metode yang sesuai.
g) Uji Daya Sebar
at. Tujuan: Mengetahui kemampuan sediaan menyebar pada kulit
au. Prosedur:
1. Ditimbang 0,5 gram salep
2. Diletakkan hati-hati diatas kertas grafik yang dilapisi plastik transparan
3. Dibiarkan 60 detik dan luas daerah yang diberikan oleh sediaan dihitung
kemudian ditutup lagi dengan plastik yang diberi beban tertentu masing-
masing 50 gram, 100 g, dan 150 g
4. Dibiarkan selama 60 detik pertambahan luas yang diberikan oleh sediaan dapat
dihitung (Astuti,dkk.,2010)
av. Uji daya sebar pada salep dilakukan untuk melihat
kemampuan sediaan menyebar pada kulit, dimana suatu basis salep
sebaiknya memiliki daya sebar yang baik untuk menjamin pemberian
bahan obat yang memuaskan (Naibaho dkk., 2013). Syarat daya sebar
untuk sediaan topikal adalah sekitar 5 7 cm (Ulaen dkk., 2012)
aw.
h) Viskositas
ax. Tujuan: menguji kekentalan sediaan salep
ay. Prosedur
1. Dimasukkan sediaan salap mata pada viscometer Ostwald
2. Dihisap sampai tanda batas atas
3. Dibiarkan mengalir hingga batas bawah dan dihitung lama waktu yang
dibutuhkan sediaan untuk mencapai batas bawah
az.
i) Uji daya Lekat
ba. Tujuan: mengetahui daya lekat salep
bb. Prosedur:
1. Diletakkan sediaan salap mata pada 2 kaca objek yang telah ditentukan
2. Ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit
3. Dipasang alat test beban, diberikan beban 80 gram dan kemudian dicatat waktu
pelepasan dari gelas objek
bc.Syarat untuk daya lekat pada sediaan topikal adalah tidak
kurang dari 4 detik (Ulaen dkk., 2012).
bd.
j) Uji Kebocoran
be. Tujuan: untuk mengetahui apakah sediaan steril yang dibuat ada
kebocoran atau tidak
bf. Prosedur:
1. Pilih 10 tube salep, dengan segel khusus jika disebutkan. Bersihkan dan
keringkan baik baik permukaan luar tube dengan kain penyerap.
2. Letakkan tube pada posisi horizontal di atas lembaran kertas penyerap dalam
oven dengan suhu yang diatur pada 60 C 3 C selama 8 jam.
bg. Syarat: Tidak boleh terjadi kebocoran yang berarti selama atau setelah
pengujian selesai.
bh.
k) Uji Partikel Kasar
bi. Tujuan: Untuk mengetahui adanya partikel kasar dalam sediaan.
bj. Prosedur:
1. Disiapkan 2 buah kaca preparat yang sudah dibersihkan dan steril.
2. Diambil sediaan salep lalu diletakan pada kaca preparat.
3. Setelah itu ditutup dengan kaca preparat lalu diamati secara visual.
bk.
l) Uji sentrifugasi
bl. Tujuan: untuk mengetahui masa kadaluarsa salep
bm. Prosedur: sampel disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm
selama 5 jam atau 5000 10.000 rpm selama 30 menit.
bn.
bo. B. Evaluasi Kimia
a) Penetapan kadar zat aktif
bp. Tujuan: mengetahui kadar zat dalam sediaan
bq. Prosedur:
1. Penetapan Kadar Ditimbang 60 mg dengan seksama, lakukan penetapan
seperti yang tertera pada Pembakaran dengan Labu Oksigen (50 L)
menggunakan labu 1000 mL dan campuran 10 mL air dan 5,0 mL hydrogen
peroksida LP sebagai cairan penyerap.
2. Jika pembakaran telah sempurna isi bibir labu dengan air dan buku sumbat.
Panaskan isi labu sampai mendidih dan didihkan selama lebih kurang 2 menit.
Dinginkan sampai kamar dan titrasi dengan natrium hidroksida 0,1 N NV
menggunakan indikator fenolftalein LP. Lakukan penetapan blanko (Depkes
RI, 1995).
br.
B. Evaluasi Biologi
a) Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba
bs. Pengujian berikut dimaksudkan untuk menunjukkan
efektivitas pengawet antimikroba yang ditambahkan pada sediaan dosis
ganda yang dibuat dengan dasar atau bahan pembawa berair seperti
produk-produk parenteral, telinga, hidung, dan mata, yang dicantumkan
pada etiket produk bersangkutan. Pengujian dan persyaratan hanya berlaku
pada produk di dalam wadah asli belum dibuka yang didistribusikan oleh
produsen.
bt. Mikroba uji: Gunakan biakan mikroba berikut: Candida
albicans (ATCC No.:0231), Aspergillus niger (ATCC No.16404),
Escherichia coli (ATCC No.8739), Pseudomonas aeruginosa (ATCC No.
9027) dan Staphylococcus aureus (ATCC No. 6538). Selain mikroba yang
disebut di atas, dapat digunakan mikroba lain sebagai tambahan terutama
jika dianggap mikroba bersangkutan dapat merupakan kontaminan selama
penggunaan sediaan tersebut. Media : Untuk biakan awal mikroba uji,
pilih media agar yang sesuai untuk pertumbuhan yang subur mikroba uji,
seperti Soybean-Casein Digest Agar Medium. Pembuatan inokula :
Sebelum pengujian inokulasi permukaan media agar bervolume yang
sesuai, dengan biakan persediaan segar mikroba yang akan digunakan.
Inkubasi biakan bakteri pada suhu 300 sampai 350 selama 18-24 jam,
biakan Candida albicans pada suhu 200 hingga 250 selama 48 jam dan
biakan Aspergillus niger pada suhu 200 hingga 250 selama 1 minggu.
Gunakan larutan natrium klorida P 0,9% steril untuk memanen biakan
bakteri dan Candida albicans, dengan mencuci permukaan pertumbuhan
dan hasil cucian dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai dan tambahkan
larutan natrium klorida P 0,9% steril secukupnya untuk untuk mengurangi
angka mikroba hingga lebih kurang 100 juta per ml. Untuk memanen
Aspergillus niger, lakukan hal yang sama menggunakan larutan natrium
klorida P 0,9% steril yang mengandung polisorbat S0 P 0,03% dan atur
angka spora hingga lebih kurang 100 juta per ml dengan penambahan
larutan natrium klorida P 0,9% steril. Sebagai alternatif, mikroba dapat
ditumbuhkan di dalam media cair yang sesuai, dan panenan sel dilakukan
dengan cara sentrifugasi, dicuci, dan disuspensikan kembali dalam larutan
natrium klorida P 0,9% steril sedemikian rupa hingga dicapai angka
mikroba atau spora yang dikehendaki. Tetapkan jumlah satuan pembentuk
koloni tiap ml dari setiap suspensi, dan angka ini digunakan untuk
menetapkan banyaknya inokula yang digunakan pada pengujian. Jika
suspensi yang telah dibakukan tidak segera digunakan, suspensi dipantau
secara berkala dengan metode lempeng Angka Mikroba Aerob Total untuk
menetapkan penurunan viabilitas. Untuk memantau angka lempeng
sediaan uji yang telah diinokulasi, gunakan media agar yang sama seperti
media untuk biakan awal mikroba yang bersangkutan. Jika tersedia
inaktivator pengawet yang khas, tambahkan sejumlah yang sesuai ke
dalam media lempeng agar.
bu.Prosedur: Jika wadah sediaan dapat ditembus secara aseptik
menggunakan jarum suntik melalui sumbat karet, lakukan pengujian pada
5 wadah asli sediaan. Jika wadah sediaan tidak dapat ditembus secara
aseptik, pindahkan 20 ml sampel ke dalam masing-masing 5 tabung
bakteriologik bertutup, berukuran sesuai dan steril. Inokulasi masing-
masing wadah atau tabung dengan salah satu suspensi mikroba baku,
menggunakan perbandingan 0,10 ml inokula setara dengan 20 ml sediaan,
dan campur. Mikroba uji dengan jumlah yang sesuai harus ditambahkan
sedemikian rupa hingga jumlah mikroba di dalam sediaan uji segera
setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 per ml. Tetapkan
jumlah mikroba viabel di dalam tiap suspensi inokula, dan hitung angka
awal mikroba tiap ml sediaan yang diuji dengan metode lempeng. Inkubasi
wadah atau tabung yang telah diinokulasi pada suhu 200 hingga 250.
Amati wadah atau tabung pada hari ke 7, ke 14, ke 21 dan ke 28 sesudah
inokulasi. Catat tiap perubahan yang terlihat dan tetapkan jumlah mikroba
viabel pada tiap selang waktu tersebut dengan metode lempeng. Dengan
menggunakan bilangan teoritis mikroba pada awal pengujian, hitung
perubahan kadar dalam persen tiap mikroba selama pengujian. Penafsiran
Hasil : Suatu pengawet dinyatakan efektif di dalam contoh yang diuji, jika:
a. Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari
0,1% dari jumlah awal.
b. Jumlah kapang dan khamir viabel selama 14 hari pertama adalah tetap atau
kurang dari jumlah awal.
c. Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah
tetap atau kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b (Depkes RI,
1995).
bv.
8. HASIL PRAKTIKUM
bw.
9. PEMBAHASAN
bx.