Saefudin Ma'mun
Pengantar:
Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira
Dr. Dede Mariana
CITRA INDONESIA DI MATA DUNIA
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusifbagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hal Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
A. Saefudin Ma'mun
Citra Indonesia Di Mata Dunia
Gerakan Kebebasan Informasi
dan Diplomasi Publik
Kata Pengantar v
Bagaimana bangsa Indonesia mengorganisasikan informasi,
komunikasi, dan persepsi untuk menghasilkan citra positif bagi bangsa
lain dan bagi bangsa Indonesia sendiri, bahwa krisis yang dialami dapat
diatasi dan Indonesia benar-benar mampu keluar dari krisis, merupakan
persoalan pelik yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia.
Di dalam konteks itulah, buku yang berada dihadapan sidang
pembaca mencoba mengupas dimensi publik sebagai unsur pokok
dalam kegiatan diplomasi publik.
Penilaian oleh segenap komponen bangsa terhadap kondisi yang
dihadapi, merupakan persoalan penting menyangkut kehidupan
bangsa berdasarkan pertukaran pikiran yang sadar dan rasional,
sehingga menghasilkan suatu opini publik.
Dengan demikian, opini publik yang memberikan motivasi untuk
memperoleh harapan baik, perlu dibangun. Baik untuk di dalam negeri,
dan terutama pula untuk masyarakat di luar negeri. Semoga.
Kata Pengantar ix
Bab 1
Daftar Isi
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................... v
CATATAN PENGANTAR................................................................... vii
DAFTAR ISI.......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL................................................................................... xii
DAFTAR DIAGRAM.......................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN...................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................ 1
Daftar Isi xi
3.3. Urgensi Undang-Undang KMIP............................ 170
3.3.1. Urgensi Menurut Pemerintah RI................ 170
3.3.2. Urgensi Menurut Koalisi.............................. 182
3.4. Diplomasi Publik di Indonesia............................... 207
3.4.1. Kebijakan Diplomasi Pemerintah RI.......... 207
3.4.2. Diplomasi Publik oleh Departeman Luar
Negeri RI........................................................ 236
3.5. Diplomasi Publik oleh Koalisi................................. 247
3.5.1. Diplomasi Publik dengan Pendekatan
Public Relations............................................... 248
3.5.2. Diplomasi Publik untuk Good Governance.... 255
3.5.3. Good Governance untuk Pembangunan
Citra................................................................ 265
3.6. Model Diplomasi Publik......................................... 295
3.6.1. Model Sistem Pelayanan Informasi
Terintegrasi dan Berstruktur....................... 300
3.6.2. Model Sistem Pelayanan Informasi
Pemberdayaan Publik.................................. 311
* * *
Tabel Halaman
4.1. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Negara-Negara Terbersih
di Dunia Tahun 2006............................................................. 96
4.2. Tingkat IPK Indonesia 2006, Ketujuh Terkorup dari 163
Negara.................................................................................... 97
4.3. Tempat Kedudukan dan Waktu Pendirian Anggota
Koalisi ...................................................................................... 98
4.4. Kategori Anggota Koalisi Berdasarkan Bidang Kegiatan.... 98
4.5. Kegiatan Koalisi yang dapat Dikategorikan sebagai
Kegiatan Diplomasi Publik..................................................... 109
4.6. Bidang dan Kegiatan Koalisi................................................. 118
4.7. Kabupaten/Kota/Propinsi yang telah Memiliki Perda
tentang Transparansi dan Partisipasi.................................. 159
4.8. Tulisan, Liputan, dan Jajak Pendapat tentang Kebebasan
Memperolah Informasi yang Dimuat Surat Kabar
Harian Kompas Tahun 2005-2006........................................ 168
* * *
Diagram Halaman
2.1. Konseptualisasi Public Relations sebagai Suatu Proses
yang Bersiklus....................................................................... 65
2.2. The Dynamic Model of the Public Relations Process............... 66
2.3. Values-Driven Public Relations............................................... 66
2.4. Model for Organizing Research in International Public
Relations.................................................................................. 69
2.5. Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian............................... 88
4.1. Bagan Organisasi Badan Pekerja Koalisi untuk
Kebebasan Informasi.......................................................... 100
4.2. Jaringan Koalisi dengan Lembaga-lembaga Dalam
Negeri dan Luar Negeri........................................................ 122
4.3. Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Departemen Luar
Negeri RI................................................................................ 246
Daftar Diagram xv
4.4. Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Koalisi untuk
Kebebasan Informasi.......................................................... 264
4.5. Model Diplomasi Publik dengan Sistem Pelayanan
Informasi Terintegrasi Terstuktur....................................... 310
4.6. Model Diplomasi Publik dengan Sistem Pelayanan
Informasi Pemberdayaan Publik........................................ 315
* * *
Gambar Halaman
2.1. Konstruksi Realitas Menurut Hatcher (1990)....................... 26
2.2. Area Terpisah dan Tumpang Tindihnya Public Relations
dan Marketing........................................................................... 63
2.3. Hubungan Antarsektor........................................................... 79
4.1. Kemampuan Melakukan Checks and Balances di Antara Tiga
Elemen Bangsa (Sumber: Mas Achmad Santosa, 2002:5).............. 91
4.2. Arsitektur Informasi Mengenai Korelasi Konsepsi Atas
Jaminan Akses Informasi Publik (Sumber: LIN, 2001:44)......... 189
4.3. Implementasi Kegiatan Ornop Melalui Pendekatan Public
Relations dalam Proses Diplomasi publik............................. 213
4.4. Kegiatan Koalisi dalam Diplomasi terhadap Kondisi
Pencitraan................................................................................. 214
4.5. Model Implementasi dari Diplomasi Total........................... 231
4.6. Peran Aktor Pemerintah dan Non Pemerintah dalam
Diplomasi Total........................................................................ 236
* * *
Bab 1: Pendahuluan 1
penelitiannya juga mencatat, Indonesia di tahun 2004 menempati
peringkat kelima terkorup di antara 143 negara di dunia, dengan nilai
indeks 2,0, tahun 2005 menempati urutan keenam terkorup dari 158
negara yang disurvey, dengan nilai indeks 2,2, dan tahun 2006
menempati urutan ketujuh dari 163 negara yang disurvey dengan nilai
indeks 2,4. Sekalipun peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun tetapi karena masih di bawah nilai 3,0
masih dikatagorikan sebagai negara yang kondisinya sangat parah
dalam persoalan korupsi (severe corruption problem).1
Di bidang ekonomi, dilaporkan Asian Intelligence, Investasi asing
di Indonesia sejak tahun 1997 terus minus. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia sampai tahun 2002, dilaporkan Bank Dunia, adalah sederhana
di tengah pemulihan global yang tidak menentu dan iklim investasi
yang memburuk. Peringkat daya saing ekonomi Indonesia pada tahun
2005 berada pada posisi ke-69 dari 107 negara yang disurvey Forum
Ekonomi Dunia (World Economic Forum). Tahun 2006 berada pada posisi
ke-50 dari 125 negara yang disurvey. Meskipun menunjukkan kenaikan,
tetapi masih di bawah India ke-43, Thailand ke-35. Peringkat daya saing
di sektor industri menurut International Institute for Management
Development, mengalami penurunan pada setiap tahun sejak 2001 yaitu
peringkat ke-46, secara berurut menjadi peringkat ke-47, 57, 58, 59, dan
ke-60 pada tahun 2006. Dalam hal kemudahan memulai usaha, oleh
International Finance Corporation dan Bank Dunia, Indonesia dinyatakan
berada diperingkat ke-135 dari 175 negara.2
Aliran investasi asing ke pasar modal Indonesia dalam lima
tahun terakhir berdasarkan laporan perekonomian Indonesia tahun
2005 yang dikemukakan BPS menunjukkan pergerakan yang fluktuatif
disebabkan belum adanya pergerakan yang signifikan dalam
fundamental perekonomian di dalam negeri. Belum masuknya investasi
asing secara signifikan disebabkan karena investor asing sangat berhati-
hati dan selektif untuk melakukan investasi dan kegiatan ekonomi di
Indonesia. Rencana PMA yang disetujui pemerintah pada tahun 2002
turun 35,23% dari tahun 2001 (15093,9 juta U$) dan naik 35,54% pada
tahun 2003, kemudian turun lagi 22,18% pada tahun 2004, dan naik lagi
1
ICW: Melalui <http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid= 9302.
2
Kompas Cyber Media: Melalui <http://www.kompas.com/ver1/ekonomi/0609/22/084825. htm>
3
BPS, Laporan Perekonomian Indonesia 2005. BPS katalog BPS 1404, hlm. 85-86 dan 90-91.
4
Tony Prasetiantono, Warta Ekonomi 13 oktober 2006 th. xviii, hlm. 12-13.
Bab 1: Pendahuluan 3
serta memandang persoalan secara hitam putih. Bias informasi atau
pemberitaan yang tidak lengkap dan akurat karena andil dari
lemahnya sistem humas pemerintah, termasuk layanan informasi
di luar negeri. Media massa dalam keseharian sering tidak terlayani
dan kurang dibantu secara memadai di dalam mencari informasi,
terutama yang berasal dari departemen, lembaga, ataupun elit-elit
pemerintahan Indonesia. Sehubungan dengan itu direkomendasi-
kan perlunya membangun sistem pelayanan informasi luar negeri
yang sistematis, dimulai dengan membangun government public
relations secara serius terlebih dahulu di dalam negeri.5
5 Tim Peneliti FISIP Universitas Airlangga. 2002. Studi Pengembangan Sistem Layanan Informasi Luar Negeri.
Surabaya. hlm. 179-180. 185-186.
6 Departemen Luar Negeri RI, 2005. Promosi Citra Indonesia, Agustus 2005.
Bab 1: Pendahuluan 5
dunia internasional, sudah tentu motivasi, dan kerja keras bangsa
Indonesia menjadi syarat utama bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari
krisis.
Diplomasi sebagai proses kunci melaksanakan komunikasi dan
negosiasi bangsa Indonesia dengan bangsa lain untuk memperoleh
bantuan internasional, memerlukan keterlibatan seluruh komponen
bangsa Indonesia untuk berdiplomasi. Tidak hanya dilakukan antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain tanpa
melibatkan keikutsertaan masyarakat. Diplomasi hubungannya
dengan perbaikan citra, sebagaimana dikemukakan Ali Alatas, bahwa,
Untuk mengatasi citra Indonesia yang buruk di luar negeri
sebagai akibat kasus kekacauan yang menyebabkan investor
enggan kembali, yang pada gilirannya memperlambat
pemulihan ekonomi, diperlukan suatu upaya diplomasi yang
benar-benar komprehensif dan terpadu.7
7 Ratna Shofi Inayati, dkk., 2002. Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Soeharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi
Nasional, Jakarta.LIPI, hlm. 76.
Bab 1: Pendahuluan 7
Lain halnya dengan diplomasi publik yang dilaksanakan oleh
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, sebuah koalisi dari sejumlah
ornop yang memperjuangkan kebebasan memperoleh informasi.
Beberapa kegiatan Koalisi untuk Kebebasan Informasi, tidak
dipublikasikan di media massa sebagai kegiatan diplomasi publik,
seperti penyelenggaraan International Conference And Regional Public
Consultation tentang Jaminan akses informasi untuk mewujudkan
pemerintahan yang terbuka dan demokratis (good governance), yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 22 April 2002. Ahli internasional
yang diundang, yaitu dari Swedia, Australia, Thailand, Jepang, dan
Korea, serta melibatkan kehadiran Presiden RI.
Tujuan konferensi antara lain membangun kesadaran bersama
tentang pentingnya jaminan akses informasi publik untuk meletakkan
dasar-dasar bagi negara demokratis. Konferensi ini apabila dilihat dari
rumusan pengertian diplomasi publik, termasuk kegiatan diplomasi
publik, karena membangun kesadaran semua pihak untuk menjamin
adanya akses terhadap informasi publik, serta adanya dorongan
masyarakat bangsa lain untuk mewujudkannya. Namun, pemberitaan
di media massa Indonesia hanya mengungkapkan pentingnya
kebebasan memperoleh informasi publik untuk membangun
pemerintahan yang terbuka, bersih dan bertanggung jawab. Tidak
dikemukakan bahwa kegiatan konferensi internasional tersebut
merupakan kegiatan diplomasi publik yang dilakukan Koalisi untuk
Kebebasan Informasi untuk membantu Indonesia mewujudkan
pemerintahan terbuka yang dapat mengangkat citra Indonesia, baik
menurut pandangan publik dalam negeri, maupun publik internasional.
Selain konferensi, diadakan pula konsultasi publik ke beberapa
ibu kota propinsi, dengan mengundang ahli internasional sebagai
pembicara dalam rangka menumbuhkembangkan semangat mengakses
informasi dari masyarakat. Kegiatan konsultasi publik ini pun tidak pula
diliput media massa setempat sebagai kegiatan diplomasi publik dalam
rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
diplomasi.
Di samping itu, apabila terdapat kegiatan Indonesian Cultural Show,
atau Malam Seni Budaya Indonesia, sebagai bagian dari diplomasi publik,
yang diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia di luar negeri, bekerja
Bab 1: Pendahuluan 9
nonpemerintah (Ornop) atau disebut juga Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Organisasi nonpemerintah atau LSM mulai tumbuh dan
berkembang di Indonesia pada awal tahun 1970-an yang mempunyai
peran mengawasi peran negara serta mengajukan alternatif gagasan,
seperti diperankan oleh LP3ES. Kemudian, setelah reformasi, muncul
Ornop-Ornop baru seperti, Ornop yang mengawasi masalah korupsi,
yang memantau proses penyusunan APBN/APBD, yang memantau dan
aktif kampanye masalah reformasi pemilu, dan lain-lain (Dharmawan,
2004 : 4-6). Para pengamat juga berargumentasi bahwa organisasi
nonpemerintah tumbuh sebagai suatu respon terhadap kontrol yang
ketat dari suatu sistem politik yang tidak memberikan kebebasan
10
kepada partai politik sebagai sebuah mimbar yang bebas.
Ornop-ornop yang dapat menjadi fokus perhatian untuk
mengembangkan peranannya dalam diplomasi adalah Ornop-ornop
yang bergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Koalisi ini
berdiri sejak Desember tahun 2000 terdiri dari 38 organisasi
nonpemerintah seperti Indonesian Center for Environmental Law, Indonesia
Corruption Watch, Aliansi Jurnalis Independen, Komite Peduli Otonomi
Daerah, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan, dan lain lain.
Tujuan Koalisi untuk Kebebasan Informasi adalah mengusaha-
kan agar akses masyarakat terhadap informasi terbuka seluas-luasnya,
baik bagi masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Terbukanya
akses terhadap informasi dijadikan sebagai prasyarat untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance. Kegiatan-
kegiatannya antara lain menyusun rancangan undang-undang tentang
kebebasan memperoleh informasi, melakukan lobi, khususnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat RI serta memobilisasi dukungan publik
untuk terwujudnya undang-undang kebebasan memperoleh informasi.
Dalam perkembangannya, organisasi nonpemerintah yang bergabung
berjumlah 46 Ornop.11
10 Eldridgedalam Anderson H. 2004. Good Governance and NGOs in Contemporary Indonesia, Clayton: Monash
University, hlm. 3.
11
Wawancara dengan Koordinator Bidang Lobi Koalisi, 27 Januari 2006.
12 Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2002. Jaminan Informasi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Terbuka
dan Demokratis. Jakarta : TOR International Conference. hlm. 1.
13 Josi Khatarina. 2001. Indonesian NGO Movement for Public Access to Information and The Struggle for Enactment
of a Freedom of Information Act. Jakarta: Makalah.
Bab 1: Pendahuluan 11
nepotisme (KKN) dapat tumbuh dengan subur, penegakan hukum tidak
dapat dilakukan dengan efektif, akses kepada sumber daya ketidak-
adilan, turunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara
negara, serta dampak ikutannya seperti kemiskinan yang terus
meningkat, kesenjangan sosial, dan lain lain.14
Dalam kerangka memfokuskan perhatian pada pengembangan
peranan Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang berkenaan dengan
pembangunan citra Indonesia di atas, baik yang bersumber dari fakta,
maupun yang dikritisi oleh para pakar dan tokoh-tokoh dalam
bidangnya masing-masing serta hasil studi yang dilakukan, maka
upaya mengatasi citra buruk Indonesia dapat dilakukan melalui
berbagai pendekatan.
Keterlibatan komponen-komponen masyarakat Indonesia dalam
diplomasi dalam membangun citra Indonesia, masuk ke dalam lingkup
kajian public relations, sebagai salah satu bidang dalam ilmu komunikasi.
Bagaimana diplomasi mampu meningkatkan keikutsertaan masyarakat
dalam negeri dan luar negeri, khususnya melalui peranan organisasi
nonpemerintah sebagai aktor nonnegara, merupakan pertanyaan
pokok. Di Indonesia peran ini dilakukan melalui Koalisi untuk
Kebebasan Informasi, atau disingkat Koalisi, untuk mewujudkan good
governance dalam membangun citra Indonesia.
Sehubungan lingkup permasalahan termasuk dalam kajian public
relations, dan diplomasi yang melibatkan keikutsertaan komponen
bangsa di luar pemerintahan itu disebut dengan istilah diplomasi
publik, maka studi yang dilakukan merupakan studi tentang penerapan
prinsip-prinsip public relations oleh Koalisi melalui diplomasi publik
dalam ikut membangun citra Indonesia.
Studi tentang Koalisi untuk Kebebasan Informasi dalam
menunjang terwujudnya good governance melalui pendekatan public
relations, diharapkan dapat memunculkan model diplomasi publik
melalui pendekatan public relations dalam membangun citra Indonesia.
* * *
S
ebagai dasar pijakan dalam memberikan kontrol analisis atau
relevansinya antara penelitian yang dilakukan peneliti dengan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka pada bagian ini
akan diuraikan beberapa temuan bersumber dari hasil analisis riset
yang menggunakan berbagai paradigma yang berbeda. Tujuannya
dalam hal ini dimaksudkan agar peneliti menemukan posisi dan nilai
originalitas paradigma yang digunakan dalam menuntaskan
penelitian ini jika dibandingkan dengan paradigma penelitian yang
digunakan oleh pihak lain sebelumnya. Hasil-hasil penelitian yang
dijadikan pokok kajian pustaka ini berdasarkan paradigma kualitatif.
15 Tim Peneliti. 2002. Studi Pengembangan Sistem Pelayanan Informasi Luar Negeri, 2002. Surabaya: Kerjasama
Lembaga Informasi Nasional (LIN) dengan Universitas Airlangga, hlm 17-19.
16 Tim Peneliti. 2004. Pengkajian dan Pengembangan Strategi Komunikasi Dalam Menunjang Pembentukan Citra
Positif Indonesia Di Kalangan Masyarakat Asing, Bandung: Kerja sama Lembaga Informasi Nasional
dengan Yayasan Arena Komunikasi. hlm. 95.
17 Sukawarsini Djelantik. 2003. The Failure of Indonesian Diplomacy ? Indonesia's Political and Diplomatic
Relations with Australia Over East Timor. Disertasi Ph.D. Flinders University, hlm. 450-455.
REALITAS REALITAS
YANG YANG
DISADARI TAMPAK
REALITAS REALITAS
SUBJEKTIF OBJEKTIF
REALITAS REALITAS
YANG TIDAK YANG TIDAK
DISADARI TAMPAK
18 Badan Penelitian dan Pengembangan Deplu. 1988. Peranan Kesenian dan Kebudayaan sebagai Media Diplomasi
dan Komunikasi Antarbangsa, Jakarta, hlm. 2.
19 Ibid. hlm 5.
20 Tim Peneliti Universitas Udayana. Laporan Penelitian Pariwisata Sebagai Pendukung dalam rangka Pelaksanaaan
Diplomasi di Bidang Kebudayaan. hlm. 1.
21 Bondan Winarno, Penulisan Masalah-Masalah Manajemen. Melalui: http://www.kontan-online.com/ 04/01/
manajemen/man.htm
22 USIA: What is Public Diplomacy? dari http://www.publicdiplomacy.org/1.htm (Akses 25- 05- 05).
23 Ibid. hlm. 2.
24 Hassan Wirajuda. Pidato Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda pada Loka karya
Nasional Diplomasi Publik. Bandung; 6 Desember 2006.
25 Remarks of Secretary of State, Condoleezza Rice dalam Bruce Gregory. Director. Public Diplomacy Institute
Adjunct Assistant Professor for Media and Public Affairs, Public Diplomacy and Strategic Communication:
Culture, Firewall, and Imported Norm. Melalui <Bgregory@gwu.edu>, (Akses August 31, 2005.)
26 Shaun Riordan. 2004. Discussion Papers in Diplomacy, Dialog-based Public Diplomacy: a New Foreign Paradigm?,
Clingendael: Netherlands Institute of International Relations. No. 95. hlm. 7-9.
27 Barry Fulton. 1998. Reinventing Diplomacy in the Information Age. Washington D.C: CSIS. hlm. 8-9.
32 Sukawarsini Djelantik. 2004. Diplomasi Publik dan Peran Epistemic Community. Buletin Deplu Vol. 2 No. 6 hlm.
71.
33 Howard Cincotta. 1999. Thought on Public Diplomacy and Integration. Service Journal, Selected Article and
Resources on Public Diplomacy. hlm. 1.
34 Ibid, hlm 1.
35 Disinfopedia. 2004. Public Diplomacy. Center for Media & Democracy, hlm. 1.
36 Wiryono, S. 2006. Public Diplomacy: The 'selling' of a Country. Lokakarya Nasional Diplomasi Publik. Bandung 6-7
Desember 2006. Makalah. hlm.2
37 Seong Hun Yun. 2006. Toward Public Relations Theory-Based Study of Public Diplomacy: Testing the Applicability
of the Excellence Study. Journal of Public Relations Research 18 (4). hlm. 288.
38 Joseph Duffy dalam Seong Hun Yun 2006. op cit, hlm. 289.
39 Ibid. hlm.309.
Marketing Marketing/
Public Relations
Market Assessment Public Relations
Publications
Customer Segmentation Image Assessment
Events
Customer Relations Media Strategy
Corporate Advertising
Lobbying
Product Development
Relationship Marketing Community Relations
Client Servicing
Direct Mail Media Relations
Telemarketing
Branding Social Investments
Sales
Sponsorship Crisis Communication
Point of Sales Promotions
Promotion Issues Management
Advertising
Gambar 2.2. Area Terpisah dan Tumpang Tindihnya Public Relations dan Marketing
Policy
Formation
Research and
Analysis
Program
Programming Assesment
and Adjustment
Communication
Feedback
Diagram 2.1. Konseptualisasi Public Relations sebagai Suatu Proses yang Bersiklus
(Sumber: Guth dan Marsh, 2006 : 14)
RESEARCH
PLANNING EVALUATION
COMMUNICATION
VALUES VALUES
RESEARCH
PLANNING EVALUATION
COMMUNICATION
VALUES VALUES
Diagram 2.3. Values-Driven Public Relations (Sumber: Guth dan Marsh, 2006 16)
69
Menurut Culbertson dan Ni Chen, perkembangan teknologi
informasi telah membawa media massa dan ideologinya memutari
dunia dengan meningkatkan kecepatan dan rendahnya biaya yang
belum pernah sebelumnya dikomunikasikan begitu cepat kepada
orang banyak. Peningkatan akses media massa ini menunjukkan tiga
implikasi teori untuk international public relations. Implikasi melibatkan
ciri-ciri karakteristik pesan media, imperialisme media dan
pengaruhnya, serta pengembangan isu dan aktivitas global.
Sehubungan faktor-faktor tersebut, peranan media penting untuk
dipelajari dalam international public relations.
Peran media dalam teori komunikasi, yang bersangkutan
dengan international public relations dikemukakan Culberston dan Ni
Chen sebagai berikut:
The first useful theory could be called 'media dependency', which would
show how assumptions about communication can change when placed
into an international contaxt. However, in the global arena, there is
evidence that the media become increasingly powerful as sources of
information. Manheim and Albritton (1984) theorized that most
information about other countries comes from the mass media. In local
confines, people can check the 'reality' of coverage through their own
experiences or contacs. But few people have direct experience by which
to judge coverage of other countries. Therefore, these authors observed
that 'image of the actors and events on the international scene will be
heavily media dependent. Another lines of theory traces the global
flow of information. Recent studies indicate that information and
entertainment flow one way from western nations to developing world.
40 United Nations Treaty Series (UNTS) No. 14668. Vol. 999 (1976): Melalui <http://www.unhchr. ch/html/
menu3/b/acepr.htm>
STATE SOCIETY
PRIVATE
SECTOR
42 Erik B. Bluemer. 2004. Overcoming NGO Accountabilty Concerns in International Governance. Article.
TEORI TEORI
KONSTRUKSI INTERAKSIONISME
SOSIAL SIMBOLIK
TEORI
TEORI CITRA TEORI ORNOP
KEPEMERINTAHAN
* * *
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 89
khususnya dalam bidang public relations, serta para akademisi di dalam
maupun di luar negeri.
43
KoalisiUntuk Kebebasan Informasi. 2000. Statuta Koalisi. Jakarta. hlm.1
Gambar 3.1.
Kemampuan Melakukan Checks and Balances Di Antara Tiga Elemen Bangsa
NEGARA
- Eksekutif
- Legislatif
- Judikatif
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 91
Untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance),
pemerintahan terbuka (open government) merupakan salah satu
fondasinya, dan dalam pemerintahan yang terbuka, kebebasan
informasi adalah sebuah keniscayaan (Haryanto, 2005:12-13).
Pemerintahan yang terbuka, mensyaratkan adanya jaminan
terhadap lima hal yaitu:
1. Hak memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan
peran publiknya (right to observe)
2. Hak memperoleh informasi (right to information)
3. Hak terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan
kebijakan publik. (right to participate).
4. Kebebasan berekspresi, salah satunya diwujudkan melalui
kebebasan pers.
5. Hak mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-
hak di atas. (Haryanto, 2005:13-14)
44
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Laporan Kegiatan. Tahun 2000. hlm. 1-2.
45
Hasil wawancara dengan Hanif Suranto. Koordinator Bidang Umum. Koalisi untuk Kebebasan Informasi tgl. 27
Januari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 93
pemerintahan yang terbuka, yang menginformasikan kebijakan-
kebijakan yang dikembangkan dan keputusan-keputusan yang akan
diambil yang perlu diketahui oleh masyarakat, apalagi apabila
informasi tersebut memberikan dampak kepada masyarakat. Oleh
karena itu akses atas informasi kebijakan pemerintah harus dibuka
kepada masyarakat.
Berdasarkan perspektif hak asasi manusia, kebebasan informasi
merupakan hak fundamental (asasi) manusia sebagaimana dikandung
dalam instrumen hak asasi manusia internasional yakni Deklarasi PBB
tentang Hakhak Asasi Manusia (United Nations Declaration of Human
Rights) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Hak-hak
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Sebagai
pengejawantahan dari pemerintahan yang terbuka dibutuhkan adanya
mekanisme dan kepastian hukum terhadap kebebasan informasi.
Urgensi pengembangan mekanisme dan kepastian hukum tentang
kebebasan informasi adalah mempercepat terwujudnya pemerintahan
yang baik dan bersih sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan
46
penyelenggaraan negara yang baik (good governance).
Dimungkinkannya undang-undang kebebasan memperoleh
informasi di Indonesia diterbitkankan, karena Indonesia telah
menanda-tangani Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights-UDHR) dan Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil&Political Rights-
ICCPR). Keduanya memiliki kesamaan pengertian dan menunjukkan
bahwa dunia telah mengakui hak setiap orang untuk bebas menyatakan
pendapat dan berekspresi, termasuk mempertahankan pendapat tanpa
intervensi dari pihak manapun, dan untuk mencari, memperoleh, dan
menyampaikan informasi serta gagasan melalui media tanpa
pembatasan wilayah. Pasal 19 Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia
(Declaration of Human Rights) menyatakan bahwa:
Every one has the right to freedom of opinion and expression; this right
includes freedom to hold opinions without interference and to seek,
receive and impart information and ideas through any media and
regardless of frontiers (Ottawa, Jr 1998 : 1).
46
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi. 2002. Urgensi Dibentuknya Undang-undang tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi. hlm. 1-3.
47
Article 19 of the International Covenant on Civil and Political Rights.UNTS No. 14668. Vol. 999 (1976), Melalui:
<http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cepr.htm>
48
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi. Laporan Akhir Tahun 2003.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 95
misalnya apabila indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia turun.49 Koalisi
berpendapat bahwa kebebasan informasi menjadi salah satu indikator
sebuah negara demokratis dan dapat menjadi negara yang bersih dari
korupsi. Negara-negara yang memiliki undang-undang kebebasan
memperoleh informasi rating indeks persepsi korupsinya tinggi seperti
digambarkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.1
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Negara-Negara Terbersih Di Dunia Tahun 2006
RANGKING NEGARA TERBERSIH DI DUNIA IPK UU KMI MULAI TAHUN
1 Finlandia 9.6 1919
1 Iceland 9.6 1970
1 Newzealand 9.6 1982
4 Denmark 9.5 1996
5 Singapore 9.4
6 Sweden 9.2 1949 (Konstitusi 1776)
9 Australia 8.7 1995
9 The Netherlands 8.7 1991
11 United Kingdom 8.6 2000
14 Canada 8.5 1996
50
Sumber: Transparency International: Corruption Perception Indeks, 2006
49
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 27 Februari 2006.
50
Transparency International. Corruption Perseption Indeks (CPI) Score. Melalui <http://www.transparency.
org/policy-research/survey- indices/cpi /2006>
51
Indonesia Corruption Watch (ICW). Indeks Korupsi Indonesia 2006. Melalui http://www.antikorupsi.org/
mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=9302. [2006]
Tabel 3.2.
Tingkat IPK Indonesia 2006, Ketujuh Terkorup dari 163 Negara
RANGKING NEGARA IPK
130 Indonesia, Papua New Guinea, Togo, Zimbabwe 2,4
138 Cameroon, Ecuador, Niger, Venezuela. 2,3
142 Angola, Congo Republic, Kenya, Kyrgyzstan, Nigeria,
Pakistan, Siera leone, Tajikistan, Turkmenistan. 2,2
151 Belarus, Cambodia, Cote D`Ivoire, Equotorial Guinea,
Uzbekistan. 2,1
156 Bangladesh, Chad, Democratic Republic of Congo, Sudan 2,0
160 Guinea, Iraq, Myanmar. 1,9
163 Haiti. 1,8
Diolah dari: Transparency International, 2006.
3.1.3. Keanggotaan
Koalisi untuk Kebebasan Informasi merupakan koalisi sejumlah
organisasi nonpemerintah yang didirikan pada bulan Desember tahun
2000, namun tanggal pendiriannya tidak terdokumentasikan. Anggota
Koalisi sebagian besar beralamat di Jakarta, dan terdapat pula di beberapa
daerah antara lain di Bali, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Bogor, Kendari, Medan, dan Bekasi. Jumlah organisasi non-pemerintah
(Ornop) yang berkoalisi pada tahap awal tercatat 38 organisasi,
kemudian berkembang menjadi 46 Ornop. Umumnya didirikan setelah
Indonesia memasuki reformasi, namun terdapat pula Ornop yang
didirikan sebelum Indonesia memasuki reformasi.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 97
Status Ornop, selain merupakan badan hukum di Indonesia,
kebanyakan berbentuk yayasan, terdapat pula Ornop yang mempunyai
hubungan organisasi dengan Ornop di luar negeri, seperti Transparency
International-Indonesia dengan Transparency International yang bermarkas
di Berlin dan telah memiliki sekitar 80 lembaga di berbagai penjuru
dunia. Selain itu terdapat pula aliansi organisasi pers, seperti South East
Asian Press Alliance (SEAPA), yang beralamat di Jakarta (Indonesia), di
Bangkok (Thailand), di Manila (Phillipina). Didirikan oleh lima
organisasi pers yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia,
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Indonesia, Thai Jurnalists Association
(TJA) Thailand, Phillipine Center for Investigative Jurnalism (PCIJ), dan
Center for Media Freedom and Responsibility (CMFR) Philipina. Jumlah dan
tempat kedudukan anggota Koalisi, disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.3.
Tempat kedudukan dan Waktu Pendirian Anggota Koalisi
NO TEMPAT KEDUDUKANWAKTU PENDIRIAN JUMLAH
1. Tempat Kedudukan Jakarta 37
Luar Jakarta 9
2. Waktu Pendirian Sebelum Reformasi 13
Setelah Reformasi (>1998) 33
Sumber: Analisis Hasil Penelitian, 2006.
Tabel 3.4.
Kategori Anggota Koalisi Berdasarkan Bidang Kegiatan
NO ORNOP BIDANG
1. AJI, ATVLI, PWI REFORMASI, SEAPA, LKM Surabaya,
Forum LSM-DIY. PERS
2. YLKI. Perlindungan konsumen
3. PATTIRO, LAKPESDAM NU, LKPSM, LPDS. Pengembangan SDM
4. CETRO, Forum Rektor YPSDM. Pemilu
5. ICEL, WALHI, Komite Pedili Otonomi Daerah. Lingkungan Hidup
6. ICW, IICT, FKH-Unpak, IMPLC, LBH, LeIP, MPPI, PSHK,
TI-Indonesia, KRHN, DESANTARA, LBH PERS, LSPS
Surabaya, ELSIM, LBH Jakarta, LBH Medan,
LBH Semarang. Hukum
52
Wawancara dengan Sekretaris Koalisi. 6 Februari 2007
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 99
Diagram 3.1.
Bagan Organisasi Badan Pekerja Koalisi untuk Kebebasan Informasi
KOALISI BADAN PEKERJA
UNTUK KEBEBASAN
INFORMASI KOORDINATOR
UMUM
ANGGOTA KOALISI
SEKRETARIS
KOORD. BIDANG
KOORD. BIDANG LOBI
KAMPANYE
53
Gita W. Laksmini. 2003. Can Transnasional Advocacy Networks Force Repressive State Actors to Comply with
Human Rights Norms?, Freedom of Information in Indonesia. Thesis. London University. hlm. 8-9.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 101
norma dalam pergaulan internasional. Negara-negara yang tertutup
tidak mempunyai tempat dalam pergaulan internasional. Sesungguhnya
apabila negara memiliki komitmen untuk keterbukaan, warga negara
tidak perlu mengupayakan adanya undang-undang tentang kebebasan
memperoleh informasi, tetapi kenyataannya fungsi lembaga-lembaga
negara belum berjalan secara maksimal sehingga perlu dorongan dan
juga partisipasi dari warga negara. Menjamin hak publik atas informasi,
bukan tugas warga negara tetapi tanggung jawab negara.
Apabila dikaitkan dengan konteks internasional saat ini, menurut
Koalisi, pemerintahan yang tertutup bukan jamannya lagi. Norma
pergaulan internasional adalah mendorong pemerintahan yang terbuka,
karena itu menjadi salah satu standar dalam pergaulan internasional.
Masalah korupsi, kerusakan hutan, pelayanan publik yang buruk, dalam
pergaulan internasional akan mengakibatkan citra yang buruk juga.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah-masalah yang dikemukakan
sebelumnya adalah dengan mendorong transparansi melalui adanya
undang-undang.
Walaupun RUU KMIP telah disahkan menjadi undang-undang,
Koalisi berpendapat masih banyak masalah lain yang perlu dilakukan
yaitu bagaimana mengembangkan aspek kelembagaan komisi informasi,
bagaimana meningkatkan kapasitas Badan Publik sehingga informasi
yang diperlukan tersedia dengan baik, bagaimana meningkatkan
kesadaran masyarakat akan haknya atas informasi supaya masyarakat
meyakini bahwa hak atas informasi adalah hak yang dapat digunakan
oleh masyarakat, serta bagaimana melengkapi infrastruktur untuk
kepentingan mengakses informasi.54
Ketua Pansus RUU KMIP DPR RI periode 1999-2004, Paulus
Wijayanto, mengakui bahwa Ornop-ornop yang tergabung dalam KMIP
telah berusaha memasukkan lebih dahulu kebebasan informasi dalam
amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2000, pasal 28f
yaitu:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
54
Wawancara dengan Koordinator Umum Koalisi. 21 September 2006.
55
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 75.
56
Lembaga Informasi Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, hlm. 33.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 103
interaksi global tidak ada lagi batasan karena informasi tidak
mengenal batas wilayah (border less), karena itu juga berkaitan
dengan tugas Departemen Luar Negeri. Dalam draf RUU KMIP
disebutkan bahwa Informasi yang dikecualikan antara lain
informasi publik yang apabila dibuka akan mengganggu
hubungan baik antara negara Republik Indonesia dengan negara
lain. Bahkan Departemen Luar Negeri juga telah diminta masukan
untuk penyempurnaan draf RUU KMIP, tetapi tidak dilakukan
dialog secara intensif.
57
Wawancara dengan Ketua Pansus RUU KMIP DPR RI. periode 1999-2004. 21 September 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 105
sesuai dengan pengertian aktor dalam hubungan internasional yang
diperluas sebagai berikut:
Any entity which plays an identifiable role in international relations may
be termed an actor. The Pope, the Secretary-General of the UN, British
Petroleum, Botswana and the IMF are thus all actors. The terms is now
widely used by both scholars and practitioners in international relations
as it is a way of avoiding the obvious limitations of the word state.
Although it lacks precision it does possess scope and flexibility. Its use also
conveys the variety of personalities, organizations and institutions that
play a role at present. Some authors have argued that, in effect, the system
can be conceived of as a mixed actor model because the relative
significance of the state has been reduced (Evans & Newham, 1998:4-5).
58
USIA: What is Public Diplomacy? dari http://www.publicdiplomacy.org/1.htm (Akses 25-05-05).
59
Nancy Snow. 2004. How to Build an Effective US Public Diplomacy: Ten Steps for Change, dalam Charles Wolf, Jr.
Brian Rosen, Public Diplomacy How to Think About and Improve It. Rand Corporation. hlm. 22.
60
Ibid. hlm. 22.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 107
Koalisi tidak menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan Koalisi sebagai kegiatan diplomasi publik, bahkan Koalisi
meminta tanggapan atau pendapat pihak lain apakah kegiatan-kegiatan
yang dilakukan Koalisi termasuk kegiatan diplomasi publik. Apabila
diplomasi publik didefinisikan sebagai upaya untuk mempromosikan
kepentingan nasional melalui memperoleh pengertian, informasi, dan
mempengaruhi publik luar negeri, dapat diasumsikan bahwa
memperjuangkan diundangkannya undang-undang kebebasan
memperoleh informasi dengan memperoleh bantuan dari Ornop
internasional bahkan dari badan pemerintah negara lain, baik secara
finansial maupun bantuan pemikiran oleh tenaga ahli luar negeri,
membangun jaringan kerja sama untuk mengkampanyekan pentingnya
undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik, sebagai
kegiatan diplomasi publik.
Kebebasan informasi yang diperjuangkan Koalisi kaitannya
dengan mempromosikan kepentingan nasional Indonesia, karena
kebebasan informasi merupakan salah satu esensi demokrasi yang
bersesuaian dengan upaya masyarakat internasional menegakkan tiga
pilar jaminan terhadap hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sebagaimana terdapat
dalam The Aarhus Convention, sebuah Konvensi Internasional di Aarhus
Denmark yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, 25
Juni 1998. Pilar pertama adalah akses terhadap informasi, bahwa setiap
orang berhak untuk memperoleh informasi yang utuh, akurat, dan
mutakhir untuk berbagai tujuan. Pilar kedua adalah akses partisipasi
dalam pengambilan keputusan, yaitu pilar demokrasi yang menekan-
kan kepada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu
proses pengambilan keputusan. Pilar ketiga adalah akses terhadap
keadilan, yaitu akses untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak
akses informasi maupun hak partisipasi, kemudian hak ini dimasukkan
ke dalam sistem hukum nasional.61
Beberapa kegiatan Koalisi yang dapat dikategorikan sebagai
kegiatan diplomasi publik dapat dilihat dalam Tabel 3.5. berikut ini.
61
Indonesian Center for Environmental Law, 2006, Membuka Ruang Menjembatani Kesenjangan, Jakarta, hlm 1-2.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 109
pernegara yang sedang berrevolusi, dan prinsip-prinsip umum tentang
hukum yang diakui masyarakat antar bangsa (Mendel, 2004:23).
Terdapat satu prinsip dalam The Public's Right to Know yang tidak
tercantum dalam rumusan prinsip pada Koalisi yaitu prinsip
Keterbukaan informasi adalah prioritas dengan pernyataan singkat
bahwa undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan
informasi yang maksimum seharusnya diubah atau dibatalkan.
Kemudian prinsip Ancaman hukuman bagi mereka yang menghambat
akses informasi publik tidak terdapat pada prinsip dalam The Public's
Right to Know. Prinsip-prinsip yang dianut Koalisi tersebut (Koalisi,
2003:59-69) sebagai berikut:
1. Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi sebagai
perangkat koordinasi dan harmonisasi.
Informasi publik memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup
segala informasi yang dihasilkan, dikelola atau dihimpun dari kegiatan
yang didanai oleh dana publik dalam berbagai bentuknya. Prinsip ini
dimaksudkan Koalisi supaya apabila terdapat ketentuan peraturan
yang menyangkut informasi, undang-undang kebebasan memperoleh
informasi menjadi payungnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Agus
Sudibyo, Koordinator Bidang Lobi Koalisi :
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi seyogyanya
menjadi perangkat koordinasi dan harmonisasi dari undang-
undang sektoral yang sama-sama mengatur hak/kewajiban
masyarakat atau negara atas informasi. Undang-undang
Kebebasan Memperoleh Informasi tidak mengingkari adanya
beberapa jenis informasi yang harus dikecualikan dalam klasifikasi
informasi rahasia, misalnya saja informasi yang jika dibuka kepada
publik dapat membahayakan kepentingan pertahanan nasional,
keselamatan bangsa, atau kekayaan intelektual. Namun,
pengklasifikasian kerahasiaan sebuah informasi harus bersifat
jelas, ketat, terbatas, dan mengacu kepada kepentingan publik
yang lebih besar.62
62
Wawancara dengan Koordinator Bidang Lobi Koalisi. 27 Januari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 111
bahwa setiap pengguna informasi publik berhak mengajukan
permintaan informasi publik disertai alasan permintaan tersebut.63
Koalisi dalam memberikan masukan kepada DPR RI tetap berpendapat
bahwa permintaan informasi tidak perlu disertai alasan.
63
Departemen Komunikasi dan Informatika. 2006. Daftar Inventaris Masalah (DIM) Pemerintah atas Rancangan
Undang-Undang tentang Kebebasan memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP).
64
Kualitas Layanan Informasi Publik Dalam Era Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi. Kementrian
Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. Makalah. 2002.
65
Wawancara dengan Kordinator Bidang Jaringan Koalisi. 28 Februari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 113
Prinsip maksimum akses banyak menimbulkan kecurigaan
terjadinya keterbukaan yang tidak terbatas. Sebagaimana dikemukakan
Santosa (Koalisi, 2003:xxii-xxiv) terjadi persepsi yang keliru terhadap
keterbukaan, seperti persepsi bahwa keterbukaan mendorong
akulturasi negatif yang merugikan masyarakat secara luas, mengancam
kedaulatan negara dan bangsa, menyuburkan suasana ketidakamanan,
menghambat penegakan hukum. Persepsi-persepsi keliru ini menurut
Santosa, sering muncul dalam konsultasi publik yang menghadirkan
aparatur pemerintah di berbagai daerah.
6. Informasi Proaktif
Hak atas informasi meliputi juga hak untuk diberitahu. Informasi
yang harus diberitahukan secara proaktif kepada masyarakat meliputi:
informasi dalam rangka mensosialisasikan kebijakan; ruang lingkup
Badan Publik; gambaran kepada masyarakat mengenai informasi yang
dimiliki serta tata cara untuk mendapatkan informasi; informasi mengenai
rencana pembuatan suatu kebijakan dalam rangka memfasilitasi partisi-
pasi masyarakat. Informasi yang wajib diumumkan tanpa di tunda-tunda
yaitu informasi mengenai ancaman terhadap hajat hidup orang banyak.
Dalam draf RUU KMIP versi Koalisi tahun 2002, dikemukakan
jenis-jenis informasi publik yaitu: informasi publik yang harus diumum-
kan; yang harus tersedia setiap saat; serta yang harus diumumkan secara
serta merta, disamping pengecualian informasi publik.
7. Penyelesaian Sengketa Secara Cepat, Murah, dan Independen
Prinsip yang dianut Koalisi untuk menyelesaikan sengketa
informasi antara pihak masyarakat dengan pemerintah adalah cepat,
tepat waktu dan sederhana. Mekanisme penyelesaian informasi tidak
diserahkan kepada mekanisme di pengadilan umum. Sehubungan
dengan itu Koalisi ber-pendirian perlu dibentuk Komisi Informasi yang
berfungsi menyelesaikan sengketa informasi publik antara Badan
Publik dan peminta informasi melalui mediasi atau ajudikasi.
Dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU KMIP
antara pemerintah dan DPR keberadaan Komisi Informasi menjadi
perdebatan. Pemerintah berpendapat bahwa penyelesaian sengketa
tidak perlu ditangani Komisi Informasi tetapi dapat dibebankan kepada
lembaga pemerintah yang telah terbentuk, seperti Komisi Ombudsman.
66
Depdagri. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Melalui: <www.depdagri.go.id.>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 115
korban. Penyempurnaan terhadap undang-undang ini dapat dilakukan
oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang
pembentukannya telah diamanatkan oleh undang undang ini.67
Dalam rangka otonomi, menurut Santosa (Koalisi, 2003:vii)
pemerintah daerah dimungkinkan memiliki peraturan yang sifatnya
lebih progressif dari UU KMIP dalam menerjemahkan 9 (sembilan)
prinsip-prinsip tersebut di atas.
67
Tempo Interaktif, Undang-Undang Perlindungan Saksi Diakui Belum Sempurna. Melalui: <www.
tempointeraktif.com>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 117
j) Memberikan insentif bagi Badan Publik yang memberikan
informasi tanpa jaminan hukum khusus akses informasi
publik, melalui pemberian
k) penghargaan (award) bagi Badan Publik yang dinilai sudah
menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam menjamin akses
informasi publik.68
68
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Akhir Program Dana Hibah. The Asia Foundation 2002-2003. 3 April
2003. hlm. 2-3.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 119
Di luar negeri dijalin hubungan dengan organisasi dalam lingkup
PBB yaitu UNESCO, UNDP, dan lingkup pemerintahan seperti USAID,
serta Ornop-Ornop internasional seperti Article 19, British Council,
Friedrich Ebert Stiftung, Asia Foundation, World Bank Institue, National
Democratic Institute.
Jaringan hubungan dengan Departemen Luar Negeri RI belum
dibangun Koalisi secara intensif, sekalipun di dalam RUU KMIP versi
Koalisi tahun 2002, pasal 14, tentang pengecualian informasi publik ayat
(1)d terdapat ketentuan: Informasi publik yang apabila dibuka akan
mengganggu hubungan baik antara negara RI dengan negara lain
(Koalisi, 2003:126). Jaringan hubungan yang kurang intensif dengan
Departemen Luar Negeri, dikemukakan Ketua Pansus RUU KMIP DPR
RI periode 1999-2004 bahwa Departemen Luar Negeri juga telah diminta
masukan untuk penyempurnaan draf RUU KMIP, tetapi tidak
dilakukan dialog secara intensif.69
Umar Hadi, Direktur Diplomasi Publik Deplu beranggapan
bahwa masalah Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik yang diperjuangkan Koalisi merupakan masalah domestik
sehingga penanganannya lebih tepat ditangani Departemen
Komunikasi dan Informatika.70 Koordinator Bidang Jaringan Koalisi
mengakui bahwa jaringan hubungan dengan Departemen Luar Negeri
belum dibangun.
Hubungan dilakukan Koalisi secara intensif dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) karena DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.71 Kemudian dengan Departemen
Komunikasi dan Informatika, yang sebelum tahun 2004 bernama
Kementerian Komunikasi dan Informasi, karena sejak tahun 2001 telah
menyusun draf RUU KMIP versi pemerintah, sehingga oleh Koalisi
diperlukan penyesuaian dengan draf tersebut.72
69
Wawancara dengan Ketua Pansus RUU KMIP periode 1999-2004, tgl.21-9-06.
70
Wawancara dengan Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI. 13 Februari 2006.
71
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. hlm. 67.
72
Wawancara dengan Sulistio. Kordinator Bidang Jaringan Koalisi. tanggal 16 Mei 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 121
Diagram 3.2.
Jaringan Koalisi dengan Lembaga-lembaga Dalam Negeri dan Luar Negeri
KOALISI
DPR RI UNESCO
Departemen : Article 19
Hukum, HAM & UU
British Council
Lembaga Sandi Negara
Friedrich Ebert Stiftung
Badan Intelijen Negara
Asia Foundation
Pemerintah Daerah
World Bank Institute
Komnas HAM, Dewan Pers,
ATVSI, SPS PRSSNI, media, National
tokoh masyarakat, LSM Democratic Institute
73
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan akhir September 2002- Februari 2003. hlm. 9- 12, kliping media cetak
2005. Kompas 25 November 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 123
yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Draf ini
kemudian disempurnakan berdasarkan diskusi lanjutan dengan ahli-
ahli nasional dan stakeholders, selanjutnya disampaikan kepada Badan
Legislasi DPR RI. Badan Legislasi menjadwalkan pembahasan RUU
KMIP pada tahun 2001.
Draf pertama menurut Koalisi, telah mengakomodasi berbagai
prinsip yang memperkuat masyarakat warga, seperti (1) jaminan setiap
orang untuk memperoleh informasi; (2) kewajiban pemerintah
menyediakan dan melayani permintaan informasi dengan cepat, murah
dan tepat waktu; (3) pengecualian yang dibatasi ketat; (4) kewajiban
instansi penyelenggara negara untuk membenahi sistem dokumentasi
dan pelayanan informasi; (5) lembaga independen yang mampu
menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan akses informasi, serta (6)
sanksi dan ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat
akses publik terhadap informasi.
Draf pertama RUU KMIP yang diluncurkan tanggal 8 September
2000, telah memancing masukan-masukan, baik dari masyarakat dalam
negeri, maupun dari ahli orang asing. Untuk membahas berbagai
masukan dilakukan seminar, workshop, dan lain-lain seperti seminar
bersama British Council, dengan tema Akses Masyarakat terhadap Hasil
Kerja dan Informasi Parlemen yang diselenggarakan tanggal 29
September 2000 di Jakarta. Seminar dengan tema Urgensi Jaminan
Kebebasan Memperoleh Informasi dalam Konteks Negara Demokrasi
diselenggarakan tanggal 17 Oktober 2000, di Jakarta bekerja sama dengan
Komisi Hukum Nasional, dengan tujuan untuk menyebarluaskan
urgensi UU KMIP di Indonesia dalam menciptakan pemerintahan
terbuka (open government) sebagai pondasi pemerintahan yang baik (good
governance), dan memperoleh masukan dari berbagai kalangan untuk
penyempurnaan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi.
Seminar menghadirkan berbagai ahli, baik dari Indonesia, dari
berbagai kalangan, yaitu pemerintah, Ornop, partai politik, media massa,
maupun pengamat politik dan ahli hukum Indonesia dari Amerika
Serikat. Selain itu untuk mengetahui penerapan UU KMIP di negara lain
diundang dua orang pakar, dari Thailand (Nakorn Serirak-Head of Policy
and Planning Office of The Official Information Commission Thailand) dan dari
Amerika Serikat (Prof. John Bonine-Oregon University. Nakorn
74
Indonesian Center for Environmental Law. Laporan kegiatan Pembuatan, Sosialisasi, dan Lobby RUU Kebebasan
Memperoleh Informasi. Agustus- Desember 2000.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 125
seminar serta mengintensifkan kegiatan lobi. Kegiatan-kegiatan tersebut
antara lain: Studi banding ke Jepang tanggal 13-14 April 2001
mempelajari kegiatan yang dilakukan oleh Local Government dalam
Information Clearing House tentang Information Disclosure Ordonance; Studi
banding ke Thailand 14-17 Mei 2001 mempelajari Thai Official Information
Act; Studi banding ke Swedia 22-29 September 2001 mempelajari Freedom
of Information Act di Swedia. Studi banding tersebut didukung oleh
Sweden Embassy.75 Diskusi dan seminar di Indonesia dengan beberapa
stakeholders mengenai:
a) Peran UU Kebebasan Informasi Dalam Memberantas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme yang diselenggarakan tanggal 24 April
2001 di Jakarta. Pembicara terdiri dari unsur BPKP, ICW, Pejabat
Dep. Kehakiman, KPKPN.
b) RUU Rahasia Negara Dalam Perspektif Kebebasan Informasi
diselenggarakan oleh Lembaga Sandi Negara pada Agustus
2001. Pembicara dari Lembaga Sandi Negara, dan Koalisi.
c) Kebebasan Pers, Rahasia Negara dan UU Kebebasan Informasi
diselenggarakan di Jakarta, 12 September 2001. Pembicara dari
DPR RI dan Director of Press Board of Indonesia.
d) UU Kebebasan Informasi dan Hak untuk Mengetahui
Kebenaran atas Pelanggaran HAM Masa Lalu diselenggarakan
di Jakarta, 17 Oktober 2001. Pembicara dari KONTRAS, ELSAM,
LSPP, KOMNAS HAM.
e) UU Kebebasan Informasi dan Perlindungan Konsumen
diselenggarakan oleh Friedrich Ebert Stiftung di Jakarta, 30
Oktober 2001. Pembicara dari Koalisi, YLKI, Executive Director of
PIRAC, Food and Medicine Regulatory Body.
f) Seminar sehari tentang Kebebasan Pers, Rejim Kerahasiaan, dan
UU Kebebasan Informasi di Era Otonomi Daerah diselenggara-
kan di Medan, 8 November 2001. Pembicara dari MPPI, ISAI,
USU, Sumut Pos.
g) Akses Publik Terhadap Informasi dalam Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan diselenggarakan di Jakarta, 15 November
2001. Pembicara dari ICEL, Dep. Kehakiman dan HAM, dan dari
DPR RI.
75
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Berita tentang RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Koran,
Majalah., Internet. tahun 2001.
76
Coalition For Freedom of Information. Narrative Report Stakeholder Discussion. Desember 2001.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 127
adalah bagaimana memperkuat kedudukan masyarakat di hadapan
negara. Bagaimana menciptakan mekanisme kontrol masyarakat
terhadap pemerintah, bagaimana memberdayakan akses publik ke
lembaga-lembaga publik yang selama ini tertutup oleh berbagai budaya,
praktek, dan peraturan yang tidak kondusif. Hal-hal inilah yang
membuat bangsa ini terpuruk dalam krisis multidimensional: praktik
KKN dan pelanggaran HAM. Pada titik inilah ditemukan urgensi UU
Kebebasan Informasi yang secara tegas dan komprehensif mengatur hak-
hak publik atas informasi, serta sebaliknya kewajiban badan dan pejabat
publik untuk memberikan informasi.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, yang terdiri dari berbagai
LSM di Jakarta dan daerah terus berusaha memperjuangkan RUU
Kebebasan Informasi. Namun, pada perkembangannya muncul
kesadaran Koalisi bahwa RUU ini menurut Koalisi seharusnya menjadi
milik semua pihak. Akan sangat ideal jika semua pihak, baik dari unsur
masyarakat maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama
tentang pentingnya hak-hak publik untuk mendapatkan informasi dan
transparansi lembaga-lembaga publik. Sehubungan dengan itu, Koalisi
untuk Kebebasan Informasi tidak ragu-ragu bekerjasama dengan DPR
RI, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, serta Lembaga Informasi
Nasional menyelenggarakan seminar internasional tentang RUU
Kebebasan Informasi.
a) Launch the assessment, seminar on The Actualization of Access to
Information, Access to Participation, and Access to Justice in Indonesia
Environmental Management on May 23, 2002, Jakarta. Wakil-wakil
dari pemerintah, DPR RI, Ornop, pengusaha, dan wartawan, telah
menandatangani nota kesepahaman untuk menegakkan tiga pilar
yaitu, akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi
masyarakat, dan akses terhadap keadilan, dalam melaksanaan
program pembangunan.
b) Workshop on Essential Element of Good Environmental Governance
held on May 29, 2002, Bali. Ide dasar dari workshop adalah untuk
meningkatkan pelaksanaan tiga akses dalam pengambilan
keputusan, yaitu akses terhadap informasi, terhadap partisipasi
masyarakat, dan terhadap keadilan. (ICEL activity)
77
Indonesian Center for Environtment Law (ICEL). Interim Report Programm on Access to Information, Access to
Participation and Access to Justice in Indonesia tahun 2002.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 129
m) Diskusi pendalaman draf RUU bertempat di Komnas HAM
Jakarta pada tanggal 26 November 2002.
n) Diskusi melalui Radio Jakarta News FM pada tanggal 26
Desember 2002 tentang RUU KMIP.
o) Diskusi melalui Radio 68H Jakarta pada tanggal 26 Desember
2002 tentang RUU KMIP.
p) Diskusi melalui RRI Stasiun Nasional Jakarta pada tanggal 30
Desember 2002 tentang RUU KMIP.78
78
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Akhir Program Dana Hibah The Asia Foundation untuk mendukung
kegiatan Koalisi untuk Kebebasan Informasi September 2002-Februari 2003.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 131
p) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 DPR RI pada
tanggal 11 November 2003 bertempat di Gedung Nusantara DPR
RI untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
tentang perkembangan pembahasan RUU KMIP.
q) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP, untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
dalam pembahasan RUU KMIP pada masa sidang II tahun 2003-
2004 DPR RI pada tanggal 12 November 2003 bertempat di
Gedung Nusantara DPR RI.
r) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP, untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
pada tanggal 13 November 2003 bertempat di Gedung
Nusantara DPR RI.
s) Dalam meningkatkan penyadaran masyarakat tentang pentingnya
kebebasan informasi dan hak untuk mengetahui, Koalisi mencoba
untuk merumuskan alat yang paling tepat untuk membantu
meningkatkan kesadaran (raising awareness) masyarakat banyak
terhadap pentingnya kebebasan informasi melalui penggunaaan
campaign kit. Dalam kesempatan kerjasama dengan TIFA Foundation,
sepanjang November 2003, Koalisi merancang kalender sebagai
campaign kit untuk keperluan advokasi RUU Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik. Koalisi menyiapkan disain ilustrasi
yang merupakan hasil terjemahan kreatif dari isu-isu utama dalam
advokasi kebebasan informasi, baik di Indonesia maupun di dunia
internasional.
t) Membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari draf RUU KMIP
versi Panja DPR RI bertempat di kantor LSPP dan ICEL.
Menginventarisasi dan mengkritisi pasal-pasal dalam draf RUU
KMIP versi Panitia Kerja Pansus DPR RI dengan berlandaskan
pada draf RUU versi Koalisi, awal Desember 2003 sampai dengan
pertengahan Januari 2004.
u) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
pada tanggal 3 Desember 2003 bertempat di Ruang 0627, Gedung
Nusantara I.
79
Koalisi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Laporan Narasi Pertengahan Program November-
Januari 2004.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 133
Dari sejumlah kesempatan diskusi publik, menurut Koalisi,
mengemuka sejumlah isu kunci yang muncul dalam advokasi
kebebasan informasi, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Isu-isu tersebut antara lain adalah pentingnya jaminan informasi dalam
pengungkapan kasus-kasus hak asasi manusia di masa lalu, pentingnya
informasi dalam pemberantasan korupsi dan penegakan tata
pemerintahan yang baik, kebebasan informasi versus rahasia negara
dan sebagainya. Mengemuka juga persoalan bahwa masyarakat
Indonesia saat ini belum sadar akan haknya untuk tahu (right to know)
dan belum mengetahui bahwa pemerintah wajib untuk menjamin
kebebasan informasi (freedom of information).80
Kegiatan Koalisi pada tahun 2004, antara lain meliputi:
Kegiatan rutin Koalisi:
a) Kunjungan ke fraksi PPP dan bertemu dengan sekjen PPP tanggal
14 Januari 2004 mendiskusikan seputar perkembangan RUU
KMIP di DPR RI.
b) Mengkaji prosedur penyelesaian sengketa di Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Penyelesai Sengketa
Konsumen (BPSK) dilaksanakan tanggal 16 Januari 2004
bertempat di ICEL.
c) Diskusi publik tentang akses publik dalam memperoleh
informasi tentang calon legislative, dilaksanakan di Jakarta
tanggal 27 Januari 2004 yang dihadiri oleh Sumita Notososanto
(Cetro), Yunus Yosfiah (Sekjen PPP), Tomi A Legowo (peneliti
CSIS) dan Paulus Widiyanto (Ketua Pansus DPR RUU KMIP)
serta anggota Koalisi dan media massa.
d) Kegiatan lobi berupa pemantauan sikap parpol terhadap
kebebasan informasi pada bulan Februari 2004.
e) Pertemuan dengan Theo L. Sambuaga Ketua Komisi I DPR RI,
membahas sikap Anggota Pansus RUU KMIP dari Fraksi Golkar
untuk membahas posisi Golkar selama proses legislasi RUU
KMIP. Membahas komitmen Golkar terhadap prinsip-prinsip
keterbukaan informasi dan transparasi pada tanggal 3 Februari
2004 bertempat di Kantor DPP Golkar.
80
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. laporan akhir tahun 2003.
81
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Final Report: Advokasi Proses Legislasi Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik. November 2003-Mei 2004
82
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Kegiatan Diskusi Meja Bundar Unesco-Koalisi tentang Rahasia Negara
dan Kebebasan Informas. Desember 2004.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 135
tersebut, juga hak-hak lain yang terkait erat dengannya di antaranya
kebebasan informasi dan hak untuk mengetahui. Dalam sistem baru
Pemilu 2004, kebebasan informasi menjadi salah satu elemen yang vital.
Dapat dikatakan bahwa keseluruhan sistem Pemilu 2004 ini bertumpu
pada informasi. Setiap pemilih hanya dapat membuat pilihan-pilihan
kritis dan menentukan siapa yang layak menjadi wakilnya apabila
informasi yang diperoleh memadai. Informasilah yang menentukan
siapa yang kelak duduk di DPR, DPD, DPRD dan layak menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.
Koalisi mendisain kajian terhadap Paket UU Politik yang
menjabarkan rincian penyelenggaraan Pemilu 2004 berdasarkan
perspektif kebebasan informasi. Tujuan dari kajian ini adalah untuk
melihat sejauh mana keselarasan (degree of compliance) paket UU Pemilu
dengan prinsip-prinsip dan model hukum kebebasan informasi yang
telah mendapatkan pengakuan internasional. Hasil yang diharapkan
dari kajian ini adalah melihat bagaimana legislasi yang berhubungan
dengan kebebasan informasi, yaitu Paket UU Politik, memberikan
jaminan terhadap hak setiap individu untuk mengetahui.
Akses kajian informasi dalam penyelenggaran pemilu 2004
sebagai berikut:
a) Akses informasi dalam proses verifikasi partai politik peserta
pemilu sebelum dinyatakan sebagai peserta dalam Pemilu.
Setiap partai politik wajib mengikuti proses verifikasi. Verifikasi
ini dilakukan dua tahap, yakni verifikasi administratif dan
verifikasi faktual.
b) Akses informasi dalam proses verifikasi calon legislatif. Seperti
halnya parpol yang hendak menjadi peserta pemilu, bakal calon
legislatif yang menjadi calon legislater juga wajib mengikuti
proses verfikasi caleg. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
Koalisi, akses informasi dalam tahap ini juga tidak begitu lancar.
c) Akses informasi horisontal antara KPU dan Panwaslu.
Sebagaimana halnya dengan akses informasi vertikal, yakni
informasi bagi masyarakat ke badan-Badan Publik, akses
informasi horizontal, yakni akses informasi antar Badan Publik
juga sangat penting. Untuk itu, Koalisi juga mencoba mengkaji
akses informasi antara KPU dan Panwaslu.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 137
KPU/KPUD tidak menanggapi permintaan informasi tanpa memberikan
alasan penolakan sama sekali. Kasus-kasus tersebut muncul, selain
karena ketiadaan aturan hukum/pedoman pelaksana, juga disebabkan
oleh karena KPU/KPUD tidak mendokumentasikan dengan baik setiap
informasi kegiatannya, tidak semua kebijakan yang diambil KPU/KPUD
didokumentasikan dalam bentuk tertulis, dan tidak ada desk khusus yang
melayani permintaan informasi dari masyarakat.83
Kegiatan Koalisi pada tahun 2005 antara lain:
a) Diskusi tentang Komisi Informasi, 2 Mei 2005 di Jakarta.
Tujuannya mencari format dan bentuk kelembagaan yang ideal
dan efektif dari Komisi Informasi. Merumuskan sistem kerja,
hukum acara, sistem pendukung dari Komisi Informasi.
Kelemahan Komisi Informasi dapat mempunyai putusan yang
final dan mengikat. Memperkuat eksistensi Komisi Informasi
dengan memberikan kewenangan untuk mengatur lembaganya
secara mandiri.
b) Diskusi tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Sanksi, 9
Mei 2005, di Jakarta. Tujuannya mencari format dan mekanisme
alternatif penyelesaian sengketa dan sanksi. Mencari alternatif
lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa informasi.
Merumuskan bentuk dan besaran sanksi yang sesuai untuk pihak
yang menutup-nutupi akses informasi. Kelemahannya tidak ada
aturan jelas dalam penetapan sanksi.
c) Diskusi tentang informasi publik dengan narasumber
Harkrisyati Kamil (Asisten Direktur Informasi British Council), 13
Mei 2005 di Jakarta. Tujuannya menentukan jenis-jenis informasi
publik yang dapat dibuka dan jenis-jenis informasi publik yang
dikecualikan. Membangun argumen untuk menentukan jenis
informasi publik yang dapat dibuka dan dikecualikan. Menggali
pengalaman dalam melayani permohonan informasi (dalam
perspektif petugas informasi). Kelemahannya dalam konteks
melayani informasi, kesibukan bagi petugas informasi tidak
dapat dihindari. Dalam konteks Indonesia, perlu mempersiap-
kan petugas informasi khususnya di dalam Badan Publik.
83
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Kajian Kasus Transparansi dan Akses Informasi Dalam Penyelenggaraan
Pemilu 2004.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 139
h) Penyusunan Peraturan Daerah No. 14/2003 mengenai Kebebasan
Memperoleh Informasi diawali oleh program yang dilakukan
oleh United Nations Development Programme (UNDP). Antara
tahun 2000-2003, UNDP melakukan pendampingan kepada
beberapa kota di Indonesia untuk menerapkan aturan hukum
mengenai kebebasan memperoleh informasi. Pendampingan itu
memunculkan minat beberapa pemerintah kota untuk
menerapkan Perda mengenai kebebasan memperoleh informasi.
i) Pada tahun 2003, Kendari, secara resmi menetapkan berlakunya
Peraturan Daerah tentang Kebebasan Memperoleh Informasi,
menyusul Gorontalo. Penerapan Perda tersebut menurut Koalisi,
secara positif mencerminkan pergeseran paradigma pemerintah
daerah yang patut diberi apresiasi karena secara sadar pejabat
pemerintah daerah yang bersangkutan mengawali era baru kultur
pemerintahan daerah di Indonesia. Namun, keterlibatan publik
dalam proses pembentukan Perda belum maksimal. Perda
mengatur prinsip-prinsip kebebasan memperoleh informasi tanpa
penjelasan pelaksanaan teknisnya, sehingga pelaksanaannya
belum maksimal. Semangat pemerintah daerah sudah ada, akan
tetapi pelaksanaannya masih lemah.
j) Selain masalah pelaksanaan, sosialisasi juga belum dilakukan
secara maksimal sehingga kepedulian masyarakat terhadap
Perda masih rendah. Kalangan LSM belum semua memahami
keberadaan Perda itu, dan akibat lemahnya sosialisasi, respon
dari publik juga rendah. Anggota DPRD juga belum terlalu peduli
terhadap penerapan Perda ini, demikian pula di lingkungan
sekretariat pemerintah kota yang belum memahami betul isi
Perda. Sekalipun demikian akses terhadap media bertambah.
k) Kapasitas teknis penyediaan informasi juga menjadi masalah
bagi pemerintah kota, antara lain sistem informasi belum dimiliki
sehingga beban terpusat di bagian informasi. Wartawan juga
mengaku sering melanggar Perda sehingga menjadi bukti bahwa
fungsi legal Perda belum berjalan karena tidak ada mekanisme
penerapan sanksi.
l) Anggota masyarakat melihat bahwa akses terhadap informasi
keuangan masih belum leluasa. Masyarakat harus memanfaatkan
orang dalam untuk mendapatkan informasi sejenis itu.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 141
p) Seminar yang diselenggarakan Koalisi bekerja sama dengan
UNESCO, membahas tentang Tantangan dan Peluang dalam
Pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi,
dilaksanakan di Jakarta 14 September 2005. Tujuan seminar adalah
untuk mempelajari langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
mendorong proses legislasi di tingkat nasional, serta mempertegas
kontribusi KMI dalam tata pemerintahan yang bersih, baik di
bidang pemberantasan korupsi, maupun inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
q) Diskusi konsultatif membahas tentang Prospek Legislasi RUU
KMIP antara Pemerintah, DPR dan Koalisi untuk Kebebasan
Informasi, 21 Oktober 2005, di Jakarta. Diskusi terdiri dari tiga
pihak yaitu Pemerintah- DPR RI- dan unsur Masyarakat Warga.
Materi yang dibahas adalah prospek legislasi RUU KMIP lebih
lanjut untuk mengklarifikasi kekhawatiran-kekhawatiran yang
muncul tentang implikasi pengesahan UU KMIP, mengingat
sebulan sebelumnya Ketua DPR RI telah mengirimkan surat
kepada Presiden RI untuk meminta tanggapan resmi pemerintah
atas RUU KMIP hasil inisiatif DPR RI. Dengan demikian
pembahasan RUU KMIP tahap I telah selesai, dan selanjutnya
pembahasan tahap II akan dilakukan antara DPR dan Pemerintah.84
84
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan tahun 2005.
85
Suara Pembaruan, Rabu, 1 Juni 2005.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 143
g) Penyusunan draf desain riset kesiapan Badan Publik
h) Selama bulan Mei 2006 melanjutkan kegiatan pada bulan April
2006. Pertemuan dengan Menhan, Komisi I DPR RI, melakukan
diskusi publik tentang kebebasan pers versus RUU Rahasia
Negara dan talk show di radio tentang rahasia negara atau rahasia
birokrasi, talk show di TVRI tentang transparansi dan
profesionalisme dan pengelolaan BUMD.
i) Kunjungan ke Kabupaten Lebak, sebagai salah satu daerah yang
menjadi sasaran riset dalam rangka memonitor hasil dan
kemajuan kerja tim riset.
j) Kunjungan ke daerah penelitian di Pontianak (Kalimantan Barat)
dalam rangka monitoring program riset kesiapan Badan Publik.
Tinjauan kritis terhadap DIM RUU KMIP versi Pemerintah dan
DPR diselaraskan dengan DIM RUU KMIP versi Koalisi.
k) Selama bulan Juni 2006 meneruskan kegiatan pengkajian materi
dan riset kesiapan Badan Publik Mei 2006. Pertemuan dengan
Komisi I DPR RI, kemudian Pemda Sumatera Utara. Melakukan
diskusi publik tentang tarik ulur pembahasan RUU KMIP,
Rahasia Negara dan Intelijen, talk show di TVRI tentang rahasia
negara atau rahasia birokrasi.
l) Menanggapi RIM RUU KMIP versi DPR dan Pemerintah.
m) Koalisi bersama dengan World Bank Institute, National Democratic
Institute, dan Indonesian Parliamentary Center, menyelenggarakan
Loka Karya di Hotel Century Park Jakarta tanggal 7 dan 8 Juni 2006,
tentang Kebebasan Informasi dan Tata Pemerintahan Daerah
yang baik di Indonesia, diikuti oleh pejabat pemerintah daerah
kabupaten/kota, propinsi yang telah mengeluarkan peraturan
daerah mengenai transparansi yaitu Kab. Boalemo, Bolaang
Mongondow, Bulukumba, Gowa, Solok, Lamongan, Lebak,
Bandung, Magelang, Tanah Datar, Takalar, dan Kota Gorontalo,
Kendari, Palu, serta Propinsi Kalimantan Barat.86
n) Selama bulan Juli 2006 melanjutkan kegiatan pengkajian materi
DIM dan riset kesiapan Badan Publik serta persepsi dan sikap
DPR, pemerintah dan publik pada bulan sebelumnya Juni 2006.
86
World Bank Institute. National Democratic Institute. Indonesian Parliamentary Center, Pemerintah Daerah.
Memimpin Dalam Aturan Kebebasan Mendapatkan Informasi. Press Release. 8 Juni 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 145
Kegiatan-kegiatan tersebut di atas ditangani oleh anggota-
anggota Koalisi dan pada masing-masing kegiatan ditunjuk organisasi
pelaksana yang diketuai salah satu anggota Koalisi seperti Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Visi Anak Bangsa (VAB), Sains
Estetika dan Teknologi (SET), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), dan
Imparsial. Sampai Desember 2006 dapat disimpulkan dukungan
terhadap legislasi RUU KMIP meningkat. Kampanye RUU KMIP telah
berhasil mentransformasi pemahaman aparat publik dan masyarakat
akan pentingnya keterbukaan informasi dalam mendorong demokrasi,
good governance dan pelayanan publik. Proses legislasi RUU KMIP masih
akan dihadapkan pada berbagai tantangan dari aparat birokrasi yang
masih enggan mendorong keterbukaan informsi publik. Indikasinya,
pemerintah mengajukan RUU Rahasia Negara kepada DPR RI.
Diskusi, Seminar, Loka Karya, yang diselenggarakan Koalisi selalu
menyertakan nara sumber yang terdiri dari ahli dan praktisi dalam
berbagai bidang, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Tercatat 28 orang ahli dari Indonesia dan 24 orang ahli dari luar negeri,
yang pernah dilibatkan sebagai pakar dalam proses penyusunan RUU
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan Advokasinya. Ahli dari
Indonesia antara lain: Prof. Mardjono Reksodiputro (ahli hukum pidana),
Dr. Harkristuti Harkrisnowo (ahli hukum pidana), Prof. Soetandyo
Wignyo Soebroto (sosiologi hukum), Dr. Adnan Buyung Nasution
(praktisi dan pengamat hukum), Prof Dr. Hikmahanto Juwana
(pengamat hukum internasional dan bisnis), Dr. Bachtiar Ali (ahli
komunikasi), Dr. Dedy N. Hidayat (ahli komunikasi). Ahli dari luar
negeri antara lain: Toby Mendel (kadiv perundang-undangan Article 19),
Prof. Prokatti (ahli hukum Thailand), Amanda Frost (ahli hukum/praktisi
FOIA Amerika), Prof. Shimizu (Jepang), Per Unckel (Ketua Komisi
Konstitusi Swedia) (Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2001: v-vi ).
Kegiatan-kegiatan Koalisi sejak tahun 2000 sampai 2006 dapat
dikategorikan berdasarkan program pengendalian public relations
(Managing Public Relations Program) sebagai berikut:
a. Hubungan dengan media (media relations)
Hubungan dengan media sering disamakan dengan publikasi
(Jhonston and Zawawi, 2004: 259). Hubungan dengan media
diutamakan pula oleh Koalisi. Draf awal RUU KMI diluncurkan
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 147
masyarakat, partai politik, organisasi massa, LSM, mahasiswa,
akademisi, pengelola media massa. Hubungan dijalin dengan
mengundang mereka pada kegiatan seminar baik di tingkat nasional
maupun internasional, workshop atau loka karya, konsultasi publik
regional di beberapa wilayah antara lain Medan, Surabaya,
Semarang, Makassar, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Jogjakarta,
Pontianak, Manado, Gorontalo, Banjarmasin, dan Lampung.
Pertemuan dengan tokoh-tokoh partai, sosialisasi khusus kepada
mahasiswa, dan pengelola media. Agenda yang diutamakan adalah
sosialisasi draf RUU KMIP serta untuk menerima masukan dari para
peserta pertemuan dalam rangka memperkaya RUU KMIP.
d. Hubungan dengan pemerintah/negara (government/state relations)
Hubungan dengan DPR RI dan pemerintah sangat
dipentingkan oleh Koalisi karena disadari oleh Koalisi bahwa yang
memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang adalah
pemerintah bersama dengan DPR. Penyusunan draf awal RUU KMIP
didukung dan mendapat bantuan Komisi Hukum Nasional. Sejak
penyusunan draf awal RUU KMIP September tahun 2000 yang
dilakukan oleh ICEL, berusaha melakukan hubungan dengan DPR
RI, dengan maksud agar draf RUU KMIP diadopsi menjadi draf RUU
KMIP usul inisiatif DPR RI. Hubungan dengan DPR terus dijalin
semenjak draf RUU KMIP versi Koalisi diadopsi dan kemudian
disempurnakan oleh DPR RI. Koalisi terus melakukan pemantauan
kepada DPR dan partai politik mengenai perkembangan, pembahasan
RUU KMIP. Hubungan lebih ditingkatkan frekuensinya setelah DPR
menyatakan bahwa RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR RI, dan
dibentuk panitia khusus DPR. Pansus DPR RI selalu diikut sertakan
dalam pelaksanaan diskusi-diskusi dan studi banding dengan pihak-
pihak lain, Koalisi juga selalu memberikan masukan kepada DPR RI
selama pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU KMIP.
Hubungan dengan pemerintah juga dijalin oleh Koalisi secara
intensif, terutama dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi
serta Lembaga Informasi Nasional yang memiliki program
menyusun draf RUU KMIP versi pemerintah. Koalisi berusaha untuk
memperoleh titik temu antara draf RUU KMIP versi Koalisi dengan
draf RUU KMIP versi pemerintah melalui diskusi-diskusi antara
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 149
Loka karya internasional tanggal 8 juni 2006 di Jakarta
didukung oleh UNESCO, World Bank Institute, dan National Democratic
Institute. Koalisi mengikuti juga seminar yang dilaksanakan oleh
lembaga lain seperti: seminar di Kuala Lumpur pada tanggal 21
Oktober 2000, di Karachi, 27-28 Februari 2002.
87
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Tahunan 2003. Hasil wawancara dengan Josi Khatarina 17/7/2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 151
Pertama, gagasan-gagasan tentang kebebasan informasi belum
dikenal luas masyarakat. Masyarakat yang menjadi korban ketertutupan
informasi, banyak yang belum memahami kebebasan informasi,
maksud dari transparansi pemerintahan, dan urgensi UU KMIP. Di
kalangan media massa juga, pemahaman tentang pentingnya kebebasan
pers belum sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya kebebasan
informasi. Banyak wartawan yang belum memahami hubungan antara
kebebasan pers dan kebebasan informasi. Bagaimana meletakkan UU
KMIP dalam kerangka perwujudan pers yang bebas dan independen.
Demikian pula pemahaman dari beberapa kalangan LSM.
Kedua, ketidakpahaman terjadi juga pada pejabat-pejabat publik
yang sekaligus berfungsi sebagai abdi masyarakat. Sinyalemen Koalisi,
selama ini pejabat publik selalu menempatkan diri sebagai pemilik
informasi sehingga beranggapan masyarakat tidak perlu tahu urusan
penyelenggaraan negara. Pejabat publik merasa tidak perlu memberikan
informasi kepada masyarakat karena informasi itu milik pejabat publik
dan bukan milik masyarakat. Di lain pihak, masyarakat pun masih
banyak beranggapan bahwa informasi publik itu milik pemerintah
sehingga wajar kalau masyarakat tidak boleh meminta informasi.
Berdasarkan pengamatan Koalisi, ada beberapa penyebab
terjadinya kondisi di atas, yaitu: (a) telah banyak peraturan perundang-
undangan yang menjamin akses informasi sehingga yang dibutuhkan
hanyalah good-will dari penyelenggara negara saja untuk memberikan
informasi tersebut, (b) sebagian pihak menganggap bahwa informasi
sudah terjamin dengan baik, (c) sebagian masyarakat tidak tahu bahwa
informasi yang berada di suatu Badan Publik merupakan hak mereka
dan hak ini seharusnya mendapat jaminan untuk dilaksanakan.
Ketiga, tidak mudah meyakinkan masyarakat luas bahwa
paradigma pengelolaan negara telah berganti. Rezim ketertutupan dan
kerahasiaan negara telah menyebabkan tumpulnya kesadaran masyarakat
terhadap haknya untuk mengetahui seluruh informasi di Badan Publik.
Keempat, banyak pejabat publik menurut sinyalemen Koalisi
yang merasa terancam oleh keberadaan UU KMIP. Para pejabat publik
yang merasa terlibat dalam berbagai kasus merasa diuntungkan dari
struktur pemerintahan yang tertutup, feodal dan sarat KKN. Pejabat
88
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Narasi Pertengahan Program November 2003-Januari 2004.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 153
Salah satu sumber konflik kekerasan adalah kesenjangan sosial
dan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya alam. Manajemen
pemerintahan yang tertutup seperti yang dijalankan Orde Baru
mengakibatkan masyarakat menjadi penonton atau obyek dari
pembangunan yang tidak mempunyai pengaruh sedikitpun terhadap
penentuan nasib dan hajat hidup masyarakat.
Bahwa keterbukaan menghambat penegakan hukum, adalah
persepsi dari pihak yang belum memahami konsep pemerintahan
terbuka dan belum membaca secara utuh RUU KMIP versi Koalisi. DPR
RI maupun pemerintah yang telah memberikan pengaturan tentang
perlindungan upaya penegakan hukum yang sedang berjalan sebagai
bagian dari pengecualian informasi yang dapat diakses.
Persepsi-persepsi yang keliru seringkali muncul dalam berbagai
upaya konsultasi publik yang menghadirkan aparatur pemerintah di
berbagai daerah. Penyebabnya adalah ketidaktahuan, dominasi
paradigma pemerintahan tertutup yang sulit dihilangkan dari sebagian
birokrat atau upaya dari pihak yang menggalang kekuatan untuk
menumbuhkan kekuatan pro status quo. Demikian pula kampanye
bahwa kebebasan informasi adalah konsep barat yang tidak relevan
dengan kultur bangsa Indonesia.
Di samping persepsi-persepsi yang keliru menurut Santosa,
terdapat ancaman lain terhadap pengaktualisasian pemerintahan
terbuka yaitu upaya gigih Departemen Pertahanan RI mengundangkan
undang-undang rahasia negara. Pertentangan dengan RUU KMIP adalah
bahwa dalam RUU Rahasia Negara pemberlakuan kerahasiaan tidak
didasarkan kepada uji konsekuensi dan keseimbangan kepentingan
publik, sehingga secara diametral bertentangan dengan RUU KMIP versi
pemerintah, DPR RI dan versi Koalisi (Koalisi, 2003: xxii-xxv).
Hambatan lain menurut Hanif, Koordinator Bidang Umum
Koalisi, adalah sikap pemerintah yang mengalami proses perkembangan
yang berbeda-beda. Semula, pemerintah menolak undang-undang KMIP
karena aspek keamanan nasional. Kemudian, dalam perkembangannya
sikap pemerintah berubah dengan alasan birokrasi yang tidak atau
belum siap. Bukan alasan keamanan. Pemerintah seperti belum mau
melepas kebebasan informasi. Alasan lain yang dikemukakan
89
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. 19 Januari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 155
Apabila Indonesia saat ini masih dikenal sebagai negara korup,
negara yang hutannya rusak, terkenal dengan pelanggaran HAM,
mengapa hal-hal tersebut belum dapat diselesaikan, pendapat
Koordinator Bidang Umum Koalisi dalam hal ini mengaskan karena
Indonesia masih menganut prinsip ketertutupan. Untuk membuka
ketertutupan, langkah pertama harus mempunyai undang-undang yang
menganut prinsip-prinsip keterbukaan. Sebagaimana pemberantasan
korupsi, apabila korupsi dapat diatasi di sektor hulu, mengapa harus
menunggu di sektor hilir.90
Menanggapi statement Menteri Komunikasi dan Informatika
dalam beberapa kesempatan bahwa kelihatannya pemerintah akan
kesulitan melaksanakan Undang-undang Kebebasan Memperoleh
Informasi, karena dokumentasi informasi di lingkungan birokrasi belum
tersedia dengan baik, dan khawatir aparatnya hanya sibuk mengurusi
informasi ketimbang pekerjaan intinya, Sulistyo, Koordinator Bidang
Jaringan Koalisi merasa tertantang untuk dibuktikan tidak demikian
halnya. Berdasarkan hasil pengamatannya di beberapa daerah yang
baru mulai melaksanakan Perda transparansi, tidak pernah terjadi
pertengkaran. Pihak yang meminta informasi menyadari bahwa
informasi belum lengkap karena Perda transparansi masih baru, dan
pihak yang memberikan informasi tidak pernah merasa harus menutup-
nutupi karena sudah menjadi kewajibannya.91
Hambatan yang dikemukakan Koordinator Bidang Lobi, Agus
Sudibyo, adalah sikap pemerintah yang kurang responsif untuk
melahirkan undang-undang kebebasan informasi. Menyikapi RUU
kebebasan informasi ini, pemerintah itu menunggu saja. Sikap
pemerintah itu kalau tidak pasif, ya konfrontatif. Contoh draf RUU
KMIP Juli 2004 sudah dikirim ke Presiden sampai Oktober 2004 belum
ada tanggapan sama sekali. Saya justru heran, kalau Menteri Kominfo
menyatakan bahwa kebebasan informasi ini akan menambah beban
demokrasi, beban birokrasi, belum siap. Itu kampanye negatif terhadap
upaya memperjuangkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi di
Indonesia.92
90
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. 27 Januari 2006.
91
Wawancara dengan Koordinator bidang Jaringan Koalisi. 28 Februari 2006.
92
Wawancara dengan Koordinator Bidang Loby Koalisi. 13 Februari 2006.
93
Sekretariat Jenderal MPR RI 2001. Putusan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. hlm 61-62
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 157
Gorontalo Prakarsa Pemda Gorontalo dengan fasilitas
Breakthrough urban Initiatives for Local Development (BUILD)-
UNDP, diikuti oleh pemda-pemda lainnya seperti Pemda Kota
Kendari Kota ProbolinggoKota Sukabumi Kota Mataram.
Asosiasi-asosiasi Pemerintah Daerah yang tergabung dalam
APEKSI, APKASI, ADKASI yang didukung oleh Depdagri,
UNDP dan United Nations Centre for Human Settlements
HABITAT, juga telah mengkampanyekan Model Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pelibatan Masyarakat dalam Perumusan
dan Penetapan Kebijakan Publik.
Di berbagai daerah seperti Banda Aceh, Cirebon, Den Pasar,
Lombok Barat, Flores Timur, Maluku Utara, Samarinda, dan
Kendari, telah terjadi dinamika yang positif, dimana kelompok-
kelompok civil society bersama-sama unsur pemerintah dan
DPRD telah mengidentifikasi kebutuhan tentang pengembangan
kapasitas bagi pengaktualisasian akses informasi, termasuk
meningkatkan kapasitas access's demand, dan kapasitas
partisipasi dalam penyusunan kebijakan publik, (Koalisi, 2003 :
xxvi-xxvii).
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 159
NO NAMA DAERAH PERDA NOMOR/TGL. TENTANG
12. Kota Kendari 14 tahun 2003, Kebebasan memperoleh
tanggal 19 Mei 2003 informasi.
13. Propinsi 04 tahun 2005, Transparansi Penyelenggaran
Kalimantan Barat tanggal 13 Juni 2005 Pemerintahan Propinsi
Kalimantan Barat.
Sumber : Koalisi, Google Perda Online, 2006.
94
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Tahunan 2003. hlm. 5. SKHU Fajar : Melalui: <http:// www.fajar.co.id>
[2 Mei 2005]
95
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. tanggal 19 Januari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 161
Bidang Komunikasi merupakan salah satu bidang utama
kegiatan UNESCO sejak dimandatkan General Conference of UNESCO
tahun 1990, selain tiga bidang utama lainnya yaitu pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan. Mandat untuk menjamin adanya arus
kebebasan informasi, di samping memperluas akses publik terhadap
informasi, menurut Gunawan, sejalan dengan mandat dari pemerintah
Republik Indonesia di era reformasi yang menjamin hak masyarakat
terhadap informasi.
Setelah Indonesia memasuki era reformasi, merupakan saat yang
tepat bagi UNESCO untuk memberikan dukungan terhadap upaya-
upaya untuk menjamin adanya arus kebebasan memperoleh informasi,
karena UNESCO berprinsip bahwa kebebasan informasi merupakan
suatu komponen yang sangat esensial bagi perkembangan masyarakat
terutama di negara-negara yang bersepakat secara bulat untuk
menjadikan proses pengambilan keputusan berlandaskan demokrasi.
Pengertian kebebasan yang dimaksud UNESCO, dijelaskan Gunawan,
sebagaimana dikemukakan Direktur UNESCO, bukan kebebasan yang
mutlak berdasarkan kebebasan itu sendiri, tetapi kebebasan yang
berada dalam koridor yang jelas yaitu koridor hukum dan etika.
UNESCO dalam perumusan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menyangkut kebebasan arus informasi telah banyak
terlibat aktif dalam proses penyusunan Rancangan Undang-undang
tentang Pers, yang kemudian terbit Undang-undang nomor 40 tahun
1999 tentang Pers. Demikian pula terhadap proses penyusunan
Rancangan Undang-undang penyiaran sekalipun kontribusinya tidak
sebesar kontribusi terhadap RUU tentang Pers.
Terhadap proses penyusunan Rancangan Undang-undang
tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) oleh
Koalisi, menurut Gunawan, Kepala Unit Komunikasi UNESCO Jakarta,
UNESCO sangat appresiatif. Sekalipun Indonesia telah memiliki
Undang-undang Pers, menurut UNESCO, Undang-undang KMIP
cakupannya lebih luas dari Undang-Undang Pers karena mencakup
seluruh anggota masyarakat, lebih terbuka sifatnya, sehingga bukan
hanya masyarakat pers yang harus dilayani dalam permintaan
informasi, tetapi juga masyarakat pada umumnya.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 163
Dikemukakan lebih lanjut oleh Gunawan bahwa hubungan antara
kegiatan Koalisi dengan memperjuangkan diundangkannya Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dengan kegiatan
diplomasi publik, UU KMIP merupakan salah satu perangkat penting
untuk diplomasi, tetapi bukan satu-satunya. Terdapat hal lain yaitu aspek
kepastian hukum, kejelasan peraturan, sehingga tidak ada pungutan liar,
tidak ada sulapan untuk menanamkan investasi, demikian pula aspek
keamanan, seperti tindakan kekerasan domestik, konflik antar warga,
perang antar suku, sampai tindakan terorisme dengan ledakan bom.
Namun demikian perangkat hukum yang diperjuangkan Koalisi supaya
informasi benar-benar terbuka perlu didukung, dan UNESCO sudah
melakukan kegiatan bersama Koalisi, sekalipun diketahui banyak
hambatan dihadapi Koalisi, khususnya hambatan yang sifatnya politis
seperti isu mem-prioritaskan pembahasan RUU Rahasia Negara yang
agak bertolakbelakang dengan RUU KMIP.96
Article 19 sebagai sebuah LSM Internasional terkemuka di bidang
Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di London mengapresiasi
kegiatan Koalisi. Sebagaimana dikemukakan Widiastuti, Asia programm
Officer Article 19, Article 19 mendorong Koalisi untuk Kebebasan
Informasi dalam turut menunjang Indonesia mewujudkan good
governance, antara lain melalui upaya mendorong lahirnya Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Sekalipun belum
banyak yang dilakukan oleh Article 19 seperti yang direncanakan
sehubungan dengan keterbatasan tenaga dan biaya, tetapi sejak awal
Article 19 telah memberikan konsultasi segi legal untuk drafting maupun
dari segi kampanye. Bentuk kegiatannya adalah International Workshop
Freedom Of Information (FOI) pada bulan Maret 2003; Comment legal
analysis dan Konsultasi terhadap draf FOI Law yang disiapkan teman-
teman Koalisi dan DPR; Mengundang perwakilan Koalisi untuk datang
dan berbicara di negara-negara ASEAN yang sedang mempersiapkan
FOI Law; Mengangkat masalah akses informasi di Indonesia di forum-
forum regional/internasional dan melalui statement Aticle 19; Tulisan
mengenai kondisi FOI di Indonesia dalam baseline study tentang FOI dan
media di Indonesia.
96
Wawancara dengan Head of Communication Unit UNESCO Office Jakarta. Tanggal 3 Agustus 2006.
97
Wawancara dengan Asia Programm Officer. Article 19. Tanggal 4 Agustus 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 165
Mendel juga memberi contoh manfaat Undang-undang Kebebasan
Memperoleh Informasi bagi anggota masyarakat dengan kasus kebijakan
pemerintah India memberikan kredit pupuk bagi petani di daerah
pinggiran. Di beberapa tempat pegawai pemerintah yang menanganinya
mengkorup sebagian dana yang disediakan. Ketika di India dikampanye-
kan pembuatan UU KMIP, beberapa Ornop lokal meminta informasi
mengenai dana tersebut kepada otoritas lokal dan mendapat informasi
bahwa pemerintah tidak memberikan semua dana kepada masyarakat.
Ornop kemudian mengekspos dan membawa masalah ini ke pengadilan.98
Surat Kabar Harian Kompas sebagai surat kabar harian terbaik
kesatu tahun 2004 dan termasuk sepuluh surat kabar harian terbaik pada
tahun 2005 hasil pengkajian dan penelitian Dewan Pers dari sisi berita dan
hard news telah memberikan apresiasi terhadap kegiatan Koalisi. Litbang
Kompas telah membuat tulisan yang berjudul Kebebasan Informasi,
Penangkal Korupsi yang belum digunakan. Dimuat di halaman lima
rubrik politik dan hukum, Kompas tanggal 25 November 2005. Di
samping membuat tabel data daerah di Indonesia yang sudah memiliki
Perda Kebebasan Memperoleh Informasi serta Undang-undang
Kebebasan Informasi dan Peringkat Korupsi beberapa negara di dunia.
Dikemukakan Litbang Kompas antara lain bahwa,
Salah satu akar masalah yang menyuburkan korupsi adalah
ketertutupan lembaga negara atas informasi yang seharusnya
menjadi hak publik. Dengan ketertutupan itu, mekanisme
pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dilakukan
secara eksklusif tanpa melibatkan kontrol dan pengawasan
masyarakat. Jaminan hukum atas hak memperoleh informasi dan
transparansi merupakan alat kontrol menekan upaya penyele-
wengan kekuasaan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.
UU KMIP diharapkan mampu mengubah budaya birokrasi yang
tertutup menjadi administrasi publik yang lebih terbuka dan
transparan. Hasil survei Transparansi Internasional (TI) 2005
mencatat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun ini (2005)
2.2 poin atau meingkat sebesar 0.2 poin dibandingkan tahun 2004.
Meskipun demikian, posisi Indonesia tetap berada di peringkat
sepuluh kelompok negara terkorup. Mencermati survei TI dari
tahun ketahun, Indonesia seharusnya bisa belajar dari negara yang
98
Wawancara Koalisi dengan Direktur Program Hukum Article 19 melalui Radio UNESCO. Tanggal 15 Februari 2001.
99
Litbang Kompas. 2005. Kebebasan Informasi Penangkal Korupsi yang Belum Digunakan. Kompas 25 November
2005. hlm. 5.
100
Dewan Pers. Surat Keputusan Dewan Pers nomor 1/SK-DP/2005. tanggal 12 Januari 2005. dan nomor 11/SK-
DP/VIII/2006. tanggal 15 Agustus 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 167
Dalam mengungkap kegiatan-kegiatan Ornop/LSM yang ber-
hubungan dengan isu nasional dan internasional, menurut Rikard
Bagun, Kompas tidak memberikan framing sebagai masalah diplomasi
publik, tetapi substansinya dipenuhi. Sehubungan dengan isu
kebebasan informasi, kadangkala terjadi hal yang bersifat kontroversial
apabila menyangkut rahasia negara karena ketidakjelasan kerahasiaan
negara tersebut. Kontroversi antara rahasia negara dan kebebasan
informasi perlu pelurusan. Apabila media membicarakan pikiran dan
undang-undang untuk kepentingan masyarakat, media perlu
membukanya karena transparansi penting untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat. Sebaliknya sesuatu yang bersifat rahasia tidak
perlu sampai ke masyarakat serta apabila terjadi kebocoran, media tidak
dapat dipersalahkan.101
Tabel 3.8.
Tulisan, Liputan, Jajak Pendapat tentang Kebebasan memperoleh Informasi yang
dimuat Surat Kabar Harian Kompas Tahun 2005-2006
NO HARI/ JUDUL ISI
TANGGAL
1. Rabu, RUU Pelayanan Materi RUU mengenai Pelayanan Publik dini-
14/12/05 Publik Masih Bias lai masih bias kepentingan birokrat. Karena,
tercantum larangan bagi aparat penyeleng-
gara pelayanan publik membocorkan infor-
masi atau dokumen yang menurut peraturan
perundang-undangan wajib dirahasiakan.
2. Senin, Pembahasan RUU Belum ada jaminan bahwa RUU akan selesai
14/11/05 KMIP terancam pada tahun 2005. Kekhawatiran itu disampai-
molor kan Komisi I DPR, Tristanti Mitayani (Fraksi
PAN, Jabar X).
3. Jumat, Penangkal Korupsi Salah satu akar masalah yang menyuburkan
25/11/05 yang Belum korupsi adalah ketertutupan lembaga negara
Digunakan atas informasi yang seharusnya menjadi hak
publik. Dengan ketertutupan itu, mekanisme
pengambilan kebijakan dan pelaksanaan peme-
rintahan dilakukan secara eksklusif tanpa meli-
batkan kontrol dan pengawasan masyarakat.
4. Senin, Tarik Ulur RUU Kekhawatiran utama yang muncul terkait
2/1/06 Rahasia Negara proses penyusunan RUU Rahasia Negara itu
adalah aturan itu akan disalahgunakan.
5. Rabu, RUU Rahasia Koalisi lembaga swadaya masyarakat, jurnalis,
3/5/06 Negara Belenggu dan DPR mengkhawatirkan RUU Rahasia Ne-
Demokrasi gara akan membelenggu demokrasi, hak
publik mendapatkan informasi, serta akhirnya
dapat menyuburkan korupsi.
101
Wawancara dengan Wakil Pemred Surat Kabar Harian KOMPAS. tanggal 17 Februari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 169
Berdasarkan analisis framing, fakta atau peristiwa adalah hasil
konstruksi. Kaum konstruksionis berpendapat bahwa realitas itu
bersifat subjektif, dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan, tercipta
lewat konstruksi dari wartawan (Eriyanto, 2002:19). Berkaitan dengan
pemuatan berita oleh Kompas yang antara lain ditampilkan pada Tabel
4.8. menyangkut pembahasan RUU KMIP, bahkan ulasan yang
dikemukakan oleh Litbang Kompas, maka dapat diasumsikan terdapat
keberpihakan Kompas terhadap diperlukannya UU KMIP.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 171
Pemerintah memandang bahwa Rancangan Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik merupakan hal baru yang
memerlukan langkah-langkah cermat dalam pembahasannya sehingga
undang-undang yang dihasilkan akan memberikan nilai tambah dan
kemaslahatan bagi masyarakat dan negara. Regulasi tentang hak warga
negara memperoleh informasi, dinyatakan pemerintah, merupakan salah
satu instrumen yang baik dalam menciptakan iklim bernegara dan
bermasyarakat yang transparan dan bertanggung jawab. Melalui
instrumen ini akan tercipta mekanisme pengawasan publik melalui
keterbukaan informasi dalam berbagai sektor dan institusi, baik eksekutif,
legislatif, yudikatif, partai politik dan organisasi non pemerintah serta
Badan Publik berupa organisasi kemasyarakatan lainnya.
Namun, pemerintah mengingatkan bahwa undang-undang KMIP
akan menjadi ketentuan generalis yang terkait dengan hak-hak yang
sangat fundamental warga masyarakat dan individu warga negara
karena menyangkut hak-hak pribadi (privacy) di samping juga
menyangkut kepentingan pertahanan nasional. Oleh karena itu, menurut
pemerintah, pemberlakuan UU KMIP harus secara cermat dan sistematik
didahului oleh berbagai undang-undang lain yang mengatur hal-hal
yang termasuk dalam pengecualian yang memang seharusnya telah lebih
dulu ada, sehingga kepastian hukum secara sistemik akan tercipta.
Memenuhi kewajiban konstitusionalnya, pemerintah telah
menyerahkan daftar inventaris masalah (DIM) atas RUU KMIP yang
disampaikan DPR, disertai pemikiran bahwa dalam rangka melahirkan
undang-undang tentang hak warga negara untuk memperoleh
informasi publik, menurut pemikiran pemerintah, seharusnya undang-
undang yang mengatur tentang perlindungan hak-hak pribadi, undang-
undang tentang perlindungan saksi dan segala informasi tentang
identitasnya, undang-undang tentang perlindungan data yang terkait
dengan pertahanan negara, undang-undang tentang perlindungan
sumber daya negara yang strategis, undang-undang tentang rahasia
negara, undang-undang tentang intelijen dan lain-lain yang merupakan
kekecualian, lebih dulu diundangkan sebelum rancangan undang-
undang KMIP diberlakukan.
Menurut pemerintah, pemikiran tersebut perlu dipertimbangkan
karena RUU KMIP inisiatif DPR memiliki prinsip bahwa semua
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 173
kebebasan informasi, dapat memperlambat pelaksanaan kegiatan
pemerintahan daerah karena undang-undang lain yang mengatur
masalah informasi yang dikecualikan belum tersedia secara memadai.
Pemerintah khawatir bahwa dengan permintaan informasi yang
berlebih akan mengakibatkan terhambatnya berbagai program
pemerintah, karena pejabatnya terlalu disibukkan dengan pelayanan
informasi, yang mengakibatkan adanya berbagai pertanggungjawaban
yang melebihi proporsi tugasnya, sehingga dapat berakibat adanya
sanksi pidana. Di samping kekhawatiran atas kemungkinan
penyalahgunaan informasi oleh pengguna dengan tujuan-tujuan yang
tidak baik. Karena itu menurut pemerintah, harus dikaji secara
mendalam agar regulasi semacam ini tidak disalahgunakan agar tidak
dimanipulasi pihak tertentu dengan tujuan melawan hukum.
Untuk dapat memberikan pendapat dan pandangan secara lebih
objektif dan komprehensif, menurut pemerintah, telah dilakukan studi
komparatif tentang regulasi kebebasan informasi yang diterapkan di
negara-negara lain. Beberapa negara yang dipilih untuk dikaji undang-
undangnya adalah Amerika Serikat, Inggris, India dan Thailand.
Sebagai komparasi, di Amerika Serikat, regulasi mengenai kebebasan
informasi diundangkan pada tahun 1966, dengan judul Freedom of
Information Act (FOIA). Semenjak tahun 1966 hingga sekarang, undang-
undang tersebut telah diamandemen beberapa kali agar dapat
dilaksanakan dengan baik. FOIA mulai dilaksanakan secara efisien
ketika amandemen terakhir dilakukan, yang mengharuskan Badan
Publik mengeluarkan laporan tersebut di internet.
Hubungan FOIA dengan undang-undang yang dikecualikan,
dijelaskan pemerintah bahwa dalam praktek di Amerika Serikat, sebelum
FOIA diberlakukan, telah terlebih dulu diberlakukan berbagai undang-
undang lain yang melindungi kerahasiaan informasi seperti Labor
Management reporting and Disclosure Act (1959), Federal Property and
Administrative Service Act (1949), Atomic Energy (1954), Civil Rights Act
(1964) dan lain-lain. FOIA dalam perjalanannya secara sistematik,
dikurangi efektivitasnya melalui lahirnya berbagai undang-undang lain
berupa pengecualian. Hal ini tercermin dari laporan yang diberikan oleh
U.S. Justice Department yang menyatakan bahwa sampai tahun 2002
terdapat tidak kurang dari 140 macam informasi yang dikecualikan
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 175
pengalaman yang terkait dengan rezim hukum yang melindungi
berbagai informasi untuk kepentingan negara atau masyarakat secara
komprehensif.
Terkait hasil penelitian yang telah dilakukan, pemerintah
mengajukan beberapa usul perubahan terhadap Rancangan Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang akan dibahas
sebgai berikut:
Pertama, nama undang-undang diusulkan menjadi Rancangan
Undang-undang Mengenai Hak Warga Negara Untuk Memperoleh
Informasi disesuaikan dengan ketentuan pasal 28f UUD 1945.
Kedua mengenai definisi Badan Publik. Menurut pemerintah,
Badan Publik termasuk elemen lembaga swadaya masyarakat (LSM),
partai politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang bergerak di
bidang sosial/kemasyarakatan, yang mendapatkan dana dari
pemerintah atau dana dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar
negeri, yang dalam kegiatannya terkait dengan sektor publik/
kemasyarakatan di Indonesia.
Ketiga, mengenai masa mulai berlakunya undang-undang.
Pemerintah mengajukan masa peralihan selama 5 tahun setelah
rancangan diundangkan, untuk mempersiapkan pelaksanaan
penyediaan sistem, perangkat dan infrastuktur, serta sumber daya
manusia pengelolaan informasi supaya undang-undang dapat berjalan
dengan baik. Waktu persiapan digunakan untuk sosialisasi dan
pembelajaran kepada masyarakat agar dapat menggunakan instrumen
dengan baik dan benar, dan mempersiapkan regulasi-regulasi yang
berkaitan dengan hal-hal yang seharusnya dikecualikan.
Keempat, mengenai Komisi Informasi. Menurut pemerintah,
keberadaan komisi informasi tidak terlalu penting. Di Amerika Serikat
tidak dikenal adanya Komisi Informasi. Di India dan Thailand, Komisi
Informasi ditetapkan oleh presiden atau Perdana menteri sehingga
merupakan bagian dari organ pemerintah. Mengingat fungsinya yang
sangat teknis, komisi bertanggung jawab langsung kepada pemerintah
dan bukan kepada parlemen. Dengan demikian jika terjadi dispute dan
tidak dapat diselesaikan oleh Komisi maka penyelesaian berikutnya
melalui pengadilan.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 177
dan belum secara memuaskan menjamin ketersediaan norma-norma
yang bersifat kekecualian yang berkaitan dengan kebebasan informasi.102
Senada dengan pemandangan umum pemerintah tentang
kebebasan memperoleh informasi yang menghendaki agar undang-
undang yang mengatur tentang kekecualian supaya diundangkan lebih
dahulu, Wakil Presiden RI juga mengemukakan perlunya undang-
undang rahasia negara di samping undang-undang kebebasan
memperoleh informasi. Tak ada Negara Telanjang. Tidak ada di negara
mana pun yang telanjang dan sama sekali tidak memiliki kerahasiaan
negara. Meskipun batasan kerahasiaan negara itu berbeda-beda, semua
negara memiliki klasifikasi kerahasiaan negara yang berbeda-beda.
Karena itu, sebuah undang-undang kerahasiaan negara harus ada.
Dikemukakan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla ketika menerima
sejumlah perwakilan media massa yang tergabung dalam Media Massa
untuk Kemerdekaan Pers, Rabu (3/5) di Istana Wapres, Jakarta. Koalisi
Media Massa itu terdiri dari, antara lain, Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Lembaga Pers Dr.
Soetomo, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.103
Menanggapi pemandangan umum pemerintah terhadap
rancangan undang-undang tentang kebebasan memperoleh informasi
publik, Koalisi pada tanggal 13 Maret 2006 membuat catatan kritis atas
pemandangan umum pemerintah terhadap RUU KMIP. Menurut
Koalisi, pemandangan umum pemerintah terhadap RUU KMIP
memperlihatkan sikap standar ganda:
Pertama, pemerintah mengakui bahwa kebebasan informasi
merupakan sesuatu hal yang penting merujuk pada pasal 28F UUD 1945
tentang adanya hak setiap orang untuk mendapatkan informasi publik
dalam rangka pengembangan pribadi dan sosialnya. Karena itu,
pemerintah memandang perlu adanya suatu payung hukum yang
menjamin kepastian rakyat untuk mengakses informasi publik.
Pemerintah mengakui juga bahwa ketebukaan informasi merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakan hukum
102
Menteri Komunikasi dan Informatika. Pemandangan umum pemerintah terhadap rancangan undang-undang
tentang kebebasan memperoleh informasi publik. disampaikan kepada DPR RI. Tanggal 7 Maret 2006.
103
Harian Kompas tanggal 4 Mei 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 179
menjadi contoh buruk. Secara prinsip, kehadiran UU pengecualian ini
lebih berperan untuk saling bersinergi dan bukan saling mengabaikan.
Menurut Koalisi, tidak ada alasan untuk mempertentangkan di antara
keduanya. Bahkan Presiden Bill Clinton tahun 1992 mengakui bahwa
keberadaan FOIA telah mendongkrak partipasi rakyat AS dalam
pembuatan kebijakan publik. Semakin rakyat berpartisipasi, semakin
efektif pemerintah menjalankan kepemimpinannya.
Penerapan Perda Transparansi di daerah-daerah juga memberi-
kan gambaran positif, meskipun belum optimal. Sekadar contoh, Pemda
Kabupaten Kebumen telah memiliki agenda tetap untuk pelayanan
informasi seperti diatur dalam Perda No 53 tahun 2004. Perda ini
berperan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penentuan
kebijakan publik serta kontrol terhadap implementasi setiap kebijakan.
Contoh yang baik menurut Koalisi dapat menjadi bahan pelajaran bagi
pemerintah dalam rangka impelementasi UU KMIP.
Pemerintah khawatir dengan permintaan informasi yang berlebih
akan mengakibatkan terhambatnya berbagai program pemerintah
karena pejabatnya terlalu disibukkan dengan pelayanan informasi yang
berakibat lahirnya berbagai pertanggungjawaban yang melebihi proporsi
tugasnya, dan dapat dikenakan sanksi pidana. Di samping adanya
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan informasi oleh pengguna
dengan tujuan-tujuan yang tidak baik. Padahal pasal 5 ayat 1 telah
mengatur kewajiban pengguna informasi publik untuk menjaga dan
tidak menyalahgunakan informasi publik. Kekhawatiran ini menurut
Koalisi tidak beralasan karena pelayanan informasi sudah seharusnya
menjadi kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan pemerintah lainnya,
seperti pelayanan publik. Apalagi banyak pemerintah daerah yang telah
memiliki Badan Informasi dan Komunikasi yang secara khusus berperan
untuk melayani permintaan informasi.
Mengenai ketentuan masa peralihan sebelum berlakunya UU
KMIP yakni selama 5 tahun, dengan tujuan untuk membangun
infrastruktur, penyediaan sistem, dan SDM. juga untuk sosialisasi UU
KMIP dan penyiapan regulasi yang berkaitan dengan hal-hal yang
dikecualikan, menurut Koalisi, masa 5 tahun terlalu lama dan memberi
kesan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menyetujui agar UU KMIP
segera disahkan. Argumen mengenai perlunya penyediaan sistem,
104
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Catatan kritis terhadap tanggapan pemerintah mengenai RUU KMIP. Jakarta.
13 Maret 2006.
105
Wawancara dengan Koordinator Bidang Jaringan Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 16 Mei 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 181
d) Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah. Selasa, 27 Juni
2006. Waktu rapat diadakan setelah rapat Paripurna. Materi
acara, Pembahasan Materi RUU tentang KMIP. Bertempat di RR.
Komisi I DPR RI.
e) Jadwal kegiatan selanjutnya ditentukan sesuai kebutuhan.
106
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. 21 September 06.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 183
kondusif bagi berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Koalisi
berpendapat bahwa perlu ada undang-undang yang memaksa pejabat
negara dan pemerintah untuk berlaku transparan dalam menentukan
dan melaksanakan kebijakannya, serta masyarakat dapat mengawasi
pelaksanaannya.
Kesulitan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam keseharian-
nya seakan bertambah berat, khususnya di bidang ekonomi, sampai
tahun 2006 dapat digambarkan berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik bahwa jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 sebesar
39,05 juta (17,75%), naik 3,95 juta (1,78%) dibanding jumlah penduduk
miskin pada bulan Februari 2005 sebesar 35,10 juta (15,97%). Sebagian
besar (63,41%) penduduk miskin berada di daerah perdesaan dan
komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan
adalah beras, gula pasir, minyak kelapa, telur (makanan pokok).107 Angka
pengangguran juga meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1997 angka
pengangguran masih 4,7%, meningkat menjadi 6,12% pada tahun 2000,
8,1% pada tahun 2001, 9,062%, pada tahun 2002, 9,57%, pada tahun 2003,
9,86%, pada tahun 2004, dan 10,9% pada tahun 2005. Lembaga indef
memperkirakan jumlah penganggur terbuka tahun 2006 akan
meningkat menjadi 12-12,6 juta orang. Kondisi penganggur dicemaskan
oleh ahli ekonomi karena dua pertiga penganggur berusia muda 15-24
tahun, dan kecenderungan meningkatnya angka penganggur terdidik.108
Kondisi kehidupan keseharian yang tidak menyenangkan,
khsusnya di bidang ekonomi dan kinerja pemerintahan, telah
mendorong Koalisi untuk memperjuangkan adanya undang-undang
tentang kebebasan memperoleh informasi publik sebagai prasyarat
untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dorongan keinginan ini didesakkan kepada
DPR, pemerintah dan masyarakat warga supaya Indonesia memiliki
undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik. Kondisi
keseharian ini telah diterima masyarakat warga sebagai suatu realitas
yang dimiliki bersama dalam suatu kesadaran intersubyektif sehingga
inisiatif untuk melahirkan undang-undang ini menjadi inisiatif DPR.
107
BPS. Berita Resmi Statistik No. 47/H/: Melalui <http://www.bps.go.id.>[01/09/06]
108
Kompas Cyber Media. 18 Februari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 185
penyelarasan. Sikap kontroversi ini banyak dimuat di media massa.
Antara lain tulisan yang berjudul Kebebasan Informasi, Kontroversi
RUU Rahasia Negara dan RUU KMIP.
Mereka beranggapan pemerintah belum siap menghadapi
rezim keterbukaan seperti diatur dalam RUU KMIP. Rezim terbuka
menganut pemahaman, semua informasi publik bersifat terbuka
kecuali yang dikecualikan oleh UU. Kebalikannya, RUU Rahasia
Negara mengatur secara spesifik apa saja yang masuk dan
dikategorikan rahasia negara.109
Tulisan lain berjudul:
Kebebasan Informasi, Jangan paksakan RUU Rahasia Negara.
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Boleh jadi pepatah
tersebut mewakili sikap pemerintah dalam hal ini Departemen
Pertahanan yang terus berupaya mengegolkan draf Rancangan
Undang-undang Rahasia Negara. Mereka yang menolak
beranggapan aturan khusus tentang rahasia negara tidak lagi
diperlukan mengingat pemerintah dan DPR tengah membahas
draf RUU KMIP, yang di dalamnya dinilai sudah cukup
mengatur masalah kerahasiaan.110
109
Kompas. 14 Juni 06, hal. 8.
110
Kompas. 25 Agustus 2006 hlm. 5.
111
Kompas. 2 Januari 06 hal.8.
112
Kompas. 10 Mei 06.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 187
terhadap penafsiran subjektif pihak-pihak yang berwenang.
Kewenangan untuk menentukan suatu informasi sebagai rahasia
negara diserahkan kepada pimpinan lembaga pemerintah dan badan-
badan yang ditunjuk pemerintah, sedangkan kultur birokrasi
Indonesia belum banyak mengalami perubahan, belum kondusif bagi
pemberdayaan hak-hak publik atas berbagai pelayanan dari
pemerintah.113
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi, menurut
Koordinator Bidang Lobi Koalisi, seperti telah dikemukakan di muka,
seyogyanya menjadi produk hukum yang memayungi dan mengatasi
undang-undang lain yang juga mengatur ranah informasi publik.
Undang-undang kebebasan memperoleh informasi adalah perangkat
koordinasi dan harmonisasi di antara berbagai undang-undang yang
terkait dengan hak masyarakat dalam memperoleh informasi.
Hak publik atas informasi di Indonesia sesungguhnya telah
mendapatkan pengakuan hukum dalam pasal 28F amandemen kedua
Undang-undang Dasar 1945, serta pasal 20 dan 21 Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu banyak
undang-undang sektoral yang menegaskan pentingnya hak publik atas
informasi, seperti Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-undang nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, dan lain-lain.
Namun, Klausul-klausul tentang hak atas informasi dalam
beberapa undang-undang itu masih bersifat umum dan sebatas
mengakui hak masyarakat atas informasi. Tidak ada klausul yang secara
tegas mengatur kewajiban lembaga publik, tidak memuat ketentuan
yang jelas dan rinci tentang informasi apa saja yang dapat diperoleh
masyarakat, bagaimana prosedur dan mekanisme untuk memperoleh
informasi, lembaga mana yang dapat dimintai informasi, dan sanksi-
sanksi apa yang bisa dijatuhkan kepada lembaga yang tidak memberikan
informasi. Akibatnya, undang-undang itu tidak mempunyai kekuatan
yang memaksa terhadap pejabat publik yang tidak melayani permintaan
informasi dari masyarakat. (Koalisi, 2001:21-24). Korelasi konsepsi atas
113
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Seminar Kebebasan Pers, Rejim Kerahasiaan, dan UU Kebebasan Informasi di
Era Otonomi Daerah, Jakarta, 12 September 2001.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 189
informasi dari atau tentang pihak ketiga (pihak swasta) dapat pula
dibuka kepada publik. Menurut Koordinator Bidang Umum Koalisi :
Rancangan Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi
yang dibuat menurut konsep Koalisi, tidak hanya memberikan
hak kepada publik untuk mengakses informasi, tetapi juga
memberikan kewajiban kepada pejabat publik untuk membantu
setiap upaya pencarian informasi dan secara aktif memberikan
pengumuman (tidak sekedar menyediakan informasi) kepada
publik mengenai apa saja yang menjadi rencana, keputusan, dan
aktivitas pemerintah. Di samping harus meliputi pula jaminan
kepada setiap orang untuk menyebarkan (tidak sekedar
mengakses) kepada publik segala informasi yang didapatnya
berdasarkan undang-undang ini. Pada prinsipnya, segala
informasi yang bisa diakses, juga dapat disebarkan.114
114
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 27 Januari 2006.
115
Wawancara dengan Anggota Koalisi. 17 Juli 2006
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 191
Tabel 3.9.
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang Berkaitan dengan
Hak atau Kebebasan memperoleh Informasi
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. Deklarasi Universal Tentang Pasal 19
Hak-Hak Asasi Manusia 1948 Setiap orang berhak untuk kebebasan berpendapat
(dimana Indonesia meratifikasi) dan menyatakan pendapatnya, hal ini mencakup
untuk menganut pendapat tanpa ada yang meng-
ganggu dan untuk mencari, menerima dan mem-
berikan informasi dan gagasan melalui media
apapun tanpa memperdulikan batas negeri.
2. Kovenan Internasional Pasal 19
Hak-hak Sipil dan Politik. Setiap orang harus mempunyai hak untuk menyata-
kan pendapat, hak ini hak kebebasan mencari, me-
nerima, dan memberikan segala macam informasi
serta gagasan tanpa melihat perbatasan negara.
3. Perubahan kedua Undang- Pasal 28 F
undang Dasar Negara RI tahun Setiap orang berhak untuk berkomunikasi & mem-
1945 peroleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
4. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Pasal 4
Penataan Ruang 2. Setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang
5. PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pasal 2
Pelaksanaan Hak dan Kewajib- Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat
an, serta Bentuk dan Tata Cara berhak :
Peran serta Masyarakat Dalam b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang
Penataan Ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana
rinci tata ruang kawasan.
Pasal 3
1. Dalam rangka mewujudkan hak masyarakat
untuk mengetahui rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, maka
rencana tata ruang diundangkan dan dimuat
dalam:
a. Lembaran Negara, untuk Rencana Tata
Ruang wilayah Nasional dan kawasan
tertentu.
b. Lembaran Daerah Tingkat I, untuk Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I.
c. Lembaran Daerah Tingkat II, untuk Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II.
2. Dalam rangka memenuhi hak masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). peme-
rintah berkewajiban mengumumkan/ menye-
barluaskan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan pada tempat-tempat yang memung-
kinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 193
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
11. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Pasal 3: Asas-asas umum penyelenggaraan
Penyelenggara Negara yang meliputi:
Bersih dan Bebas Korupsi, 1. Keterbukaan
Kolusi dan Nepotisme
Pasal 5: Setiap penyelenggara negara
berkewajiban untuk:
1. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum,
selama dan setelah menjabat.
2. Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya
sebelum dan setelah menjabat.
Pasal 9
1. Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam
bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh dan memberi-
kan informasi tentang penyelenggaraan
negara
b. Hak memperoleh perlindungan hukum
dalam hal:
2. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud
dalam huruf a,b,c.
12. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pasal 41
Pemberantasan Tindak Pidana (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimak-
Korupsi sud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam
mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
c. hak untuk memperoleh perlindungan
hukum dalam hal:
(a) melaksanakan haknya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, dan c.
13. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Pasal 18
Telekomunikasi a. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
mencatat/ merekam secara rinci pemakaian
jasa telekomunikasi yang digunakan oleh
pengguna telekomunikasi.
b. Apabila pengguna memerlukan catatan/
rekaman pemakaian jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib
memberikannya.
Pasal 42
a. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
merahasiakan informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi
melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya.
b. Untuk keperluan proses peradilan pidana,
penyelenggara jasa telekomunikasi dapat
merekam informasi yang dikirim dan atau
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 195
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
tingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputus-
an kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/
atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum.
18. PP No. 68 Tahun 1999 tentang Pasal 2
Tata Cara Pelaksanaan Peran 1. Peran serta masyarakata dalam penyeleng-
Serta Masyarakat dalam garaan negara untuk mewujudkan penyeleng-
Penyelenggaraan Negara gara negara yang bersih dilaksanakan dalam
(turunan UU No. 28/99 tentang bentuk :
penyelenggaraan negara yang a. Hak mencari, memperoleh dan memberi-
bersih dan bebas KKN kan informasi mengenai penyelenggaraan
negara.
Pasal 3
1. Dalam hal masyarakat bermaksud mencari atau
memperoleh informasi tentang penyelenggara-
an negara sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat
(1) huruf a, maka yang berkepentingan berhak
menanyakan kepada atau memperoleh...
2. Hak untuk mencari atau memperoleh informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
Sumber : Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 197
(1) Informasi tentang simpanan atau keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan (pasal 40 UU No. 10 tahun 1998);
(2) Informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
tele-komunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi (pasal 42 (1) UU No. 36 tahun 1999).
116
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. op. cit. hlm. 9-14.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 199
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
keselamatan Republik Indonesia terhadap
serangan negeri asing, yang disimpang
olehnya atau yang diketahui olehnya akan isi
surat atau bentuk atau cara membuat benda-
benda rahasia itu, dipidana dengan pendana
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 114
Barangsiapa karena kesalahannya, menyebabkan
surat atau rahasia, termaksud dalam Pasal 113,
yang mana ia wajib menjaga atau menyimpan
atau bentuknya atau caranya membuat,
seluruhnya atau sebagian, menjadi diketahui oleh
orang banyak atau diperoleh atau diketahui orang
lain, yang didak berhak mengetahui, maka ia
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
satu tahun enam bulan atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 115
Barangsiapa membaca atau memeriksa surat atau
benda-benda rahasia yang tersebut dalam Pasal
113, seganapnya atau sebahagian, yang
diketahui-nya atau patut dapat disangka, bahwa
surat atau benda rahasia itu tidak boleh diketahui-
nya, membuat atau menyuruh membuat salinan
atau petikan huruf atau bahasa apapun juga, atau
membuat atau menyuruh membuat gambar atau
tiruan dari surat-surat atau benda-benda itu atau
yang tidak memberikan surat atau benda itu
kepada pegawai kehakiman atau polisi atau
pamong praja, jika surat-surat atau benda-benda
itu diperolehnya, maka orang itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya tiga tahun.
Pasal 137
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan sehingga kelihatan oleh
umum tulisan atau gambar, yang isinya
menghina Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud supaya isinya yang
menghina itu diketahui oleh umum, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya satu
tahun empat bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 155
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempel sehingga kelihatan oleh
umum tulisan atau gambar yang isinya
menyatakan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap pemerintah Republik
Indonesia dengan maksud supaya diketahui
oleh umum atau lebih diketahui oleh umum,
dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya empat tahun enam bulan atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 201
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 323
(1) Barangsiapa dengan sengaja
memberitahukan hal ikhwal tentang
sesuatu perusahaan dagang, kerajinan
atau pertanian tempat ia bekerja atau
dahulunya telah bekerja, sedang ia
diwajibkan merahasiakan hal ikhwal itu,
dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya sembilan ribu
rupiah.
117
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan akhir tahun 2003. hlm. 4.
118
The Online Network of Freedom of Information advocates: Melalui: <http://www. freedominfo.org/>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 203
kehamilan, sebagaimana dikampanyekan di Eropa bahwa Thalidomide
dapat menyebabkan kecacatan pada bayi dalam kandungan. Kasus,
ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka dinyatakan terbukti
menerima suap dari perusahaan pembuat pesawat Amerika supaya
pemerintah Jepang membeli pesawat Amerika yang diungkap oleh
parlemen Amerika. Permintaan masyarakat Jepang untuk mengetahui
kebenaran skandal tersebut ditolak oleh pemerintah Jepang dengan
alasan menjaga kerahasiaan pejabat publik. Kasus-kasus tersebut
menurut Khatarina telah memberikan pelajaran kepada masyarakat
Jepang, bahwa akar permasalahan yang mereka hadapi adalah
ketiadaan jaminan akses informasi publik.
Dimulai tahun 1979, Japan Civil Liberty Union (JCLU) membuat
usulan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara
mendapatkan informasi yang disebut JCLU's Proposal for an Information
Disclosure Law. Sejak diusulkan tahun 1979, kurang lebih 20 tahun
kemudian, yaitu tahun 1999 Jepang memiliki undang-undang yang
disebut Law Concerning Access to Information Held By Administrative
Organs, atau Undang-undang tentang Akses Terhadap Informasi yang
Dikuasai Badan-badan Administratif.
Pada tingkat lokal, atau pemerintah daerah (pemda) Jepang,
ternyata telah memiliki peraturan yang menjamin transparansi di
wilayahnya lahir jauh lebih dahulu dari undang-undang nasional yang
menjamin akses informasi. Berdasarkan Konstitusi Jepang, pemda
berhak mengatur urusan pemerintah di wilayahnya, termasuk
mengeluarkan aturan di wilayahnya sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum nasional. Dapat difahami apabila Kanagawa dan Saitama
prefectures (setingkat propinsi) pada tahun 1982 menjadi pelopor
kebebasan informasi di Jepang dengan mengeluarkan peraturan yang
menjamin kebutuhan informasi di daerah tersebut. Kemudian, diikuti
oleh Kanayama Villages di wilayah Kanagama Prefecture yang pada tahun
yang sama juga mengeluarkan Perda mengenai akses informasi. Pada
tahun 1998 hampir di seluruh pemda tingkat Propinsi (prefecture) telah
mengundangkan peraturan daerah untuk menjamin akses informasi
publik di daerah masing-masing. Hingga 1 April 2001, tercatat sudah
2131 Pemda dari sekitar 3200 Pemda tingkat II di Jepang telah
menetapkan Perda sejenis .
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 205
lain, OIA tidak memiliki asas yang menyatakan bahwa rakyat tidak
perlu menyertakan alasan bagi permohonan informasi, baik hanya
untuk melihat, mengetahui atau mendapatkan informasi. OIA tidak
memuat secara tegas asas yang menyatakan bahwa akses terhadap
informasi publik harus bersifat sederhana, murah, cepat, dan tepat
waktu. OIA juga secara tegas mencantumkan beberapa jenis informasi
yang dilarang untuk disebarluaskan dan juga untuk dibuka.
Sekalipun OIA Thailand tidak sempurna dibanding undang-
undang kebebasan informasi di negara-negara barat, tetapi menurut
pendapat Sudirman, rakyat Thailand sudah mempunyai mekanisme
khusus untuk memperjuangkan hak-haknya atas informasi yang
dikuasai pemerintah. Pejabat pemerintah tidak dapat berkata tidak
dengan seenaknya atas permohonan rakyat karena OIA dengan tegas
menyatakan bahwa penolakan atas sebuah permohonan informasi
harus disertai dengan alasan yang kuat dan tidak mengada-ada.
Manfaat keberadaan undang-undang kebebasan informasi di
Jepang dan Thailand telah dirasakan masyarakat. Di Jepang, korupsi
yang besarnya nyaris 80% dari keseluruhan dana publik dengan dalih
biaya entertainment berhasil diungkap. Di Thailand, berkat Official
Information Act, seorang ibu rumah tangga biasa berhasil mendapatkan
informasi tentang tes putrinya yang dinyatakan gagal memasuki
sekolah unggulan. Dengan demikian manfaatnya tidak hanya dirasakan
oleh pers, politisi, pekerja lembaga swadaya masyarakat atau kaum
akademisi, tetapi juga oleh masyarakat dalam arti luas termasuk oleh
masyarakat awam. Kebebasan informasi juga tidak serta merta
'mengancam' rahasia negara. Mengacu kepada prinsip-prinsip dan
model hukum internasional, bahwa kebebasan informasi mengakui
sederetan informasi yang patut dikecualikan setelah melalui
serangkaian pengujian serta pertimbangan. Jangka waktu juga menjadi
salah satu bahan pertimbangan. Contoh di Amerika Serikat, dokumen
yang termasuk kategori rahasia negara, setelah diuji bersama oleh
kalangan pertahanan keamanan dan akademisi sejarawan, dalam
jangka waktu dua puluh lima tahun harus dibuka untuk publik.119
119
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Koalisi Akhir Tahun 2003.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 207
Rencana Stratejik Departemen Luar Negeri 2004-2009 memuat
Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Kebijakan dan Program Departemen Luar
Negeri RI 2004-2009. Visi Deparlu RI adalah Melalui diplomasi total,
ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman, adil, demokratis
dan sejahtera. Misi Deparlu RI sebanyak tujuh pernyataan misi, dan
salah satu misi adalah meningkatkan citra Indonesia di masyarakat
internasional sebagai negara demokratis, pluralis, menghormati hak
asasi manusia, dan memajukan perdamaian dunia.
Sasaran Departemen Luar Negeri RI terdiri dari 27 sasaran, dan
salah satu sasaran adalah meningkatnya peran infomasi dan diplomasi
publik dalam memajukan citra Indonesia. Kebijakannya antara lain
mengoptimalkan diplomasi sosial budaya dan diplomasi kemanusiaan,
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam rangka pelaksanaan
diplomasi total, melaksanakan diplomasi publik dalam mendiseminasi-
kan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Program utamanya antara lain pemantapan politik luar negeri
dan optimalisasi diplomasi Indonesia dalam penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri; peningkatan
kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal
berbagai peluang dalam diplomasi dan kerjasama internasional
terutama kerjasama ASEAN di samping negara-negara yang memiliki
kepentingan yang sejalan dengan Indonesia; penegasan komitmen
perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membangun dan
mengembangkan semangat multilateralisme dalam memecahkan
berbagai persoalan keamanan internasional.120
Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program Departemen
Luar Negeri RI disusun dengan memperhatikan akibat globalisasi yang
membuat batas-batas nasional semakin kabur, dan saling ketergantung-
an, baik antarnegara maupun antarmasalah. Implikasi utama dari
globalisasi adalah kompetisi, sehingga pihak yang dapat memperoleh
manfaat dari globalisasi adalah yang mampu berkompetisi. Pihak yang
tidak mampu berkompetisi akan mendapatkan mudharatnya.
Globalisasi yang ditandai dengan revolusi informasi yang berakar
pada teknologi informasi, membuat jarak waktu menjadi hilang.
120
Deplu RI, Rencana Stratejik Deplu RI 2004-2009. Melalui: <http://www.deplu.go.id>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 209
Contoh lain, seperti sejak akhir perang dunia, perjuangan
internasional diarahkan kepada pemenuhan hak asasi manusia dan
kepada terciptanya tatanan pemerintahan yang baik atau good
governance. Tetapi di Indonesia di dalam pembangunan politiknya
dikekang yang mengakibat-kan tatanan kenegaraan menjadi lumpuh.
Contoh kasus, apabila terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, para
diplomat tidak dapat menutup-nutupi lagi pelanggaran HAM tersebut
karena bangsa lain akan cepat mengetahui melalui teknologi informasi.
Dengan demikian diplomasi tidak lagi menjadi ujung tombak dalam
membela kepentingan nasional. Sehubungan dengan itu diplomasi,
harus dapat mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan di luar
kepada publik dalam negeri, dan mengkomunikasikan perkembangan-
perkembangan di dalam negeri ke luar negeri. Diplomasi harus menjadi
dua arah untuk memperkecil jarak.
Konsep diplomasi total adalah konsep diplomasi yang
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam diplomasi serta melihat
masalah secara integratif. Mengingat, jarak antara masalah internasional
dengan masalah domestik menjadi kabur, dan aktor dalam diplomasi
bukan hanya aktor pemerintah, serta masalah tidak dapat dipandang
berdiri sendiri-sendiri. Visi Departemen Luar Negeri RI mengenai
pengertian diplomasi total yaitu instrumen dan cara yang digunakan
dalam diplomasi dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder,
memanfaatkan seluruh lini kekuatan (multi-track diplomacy).
Contoh kasus, juga dikemukakan Umar Hadi seperti penyelesaian
masalah perbatasan Indonesia-Malaysia tidak dapat hanya dilihat
sebagai masalah hukum, tetapi kesatuan dari masalah hukum, ekonomi,
politik, dan sosial budaya, serta memerlukan penanganan secara
terintegrasi. Kasus lain, bagaimana menanamkan rasa cinta Indonesia
kepada masyarakat yang tinggal di perbatasan Provinsi Sulawesi Utara
dan Filipina. Mereka banyak melihat siaran televisi dari Philipina,
berbelanja ke Filipina. Oleh karena itu untuk menanamkan rasa cinta
kepada Indonesia, ekonomi mereka harus dibangun, perangkat
telekomunikasi dan penyiaran radio/televisi harus dibangun. Kondisi
seperti di atas jika ditelaah berdasarkan kebutuhan akan pembangunan
suatu model diplomasi yang mampu mengajak masyarakat Sulawesi
tersebut maka Pemerintah RI maupun Ornop hendaknya melakukan
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 211
pemerintah sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor nonpemerintah.
Apabila hubungan antar pemerintah baik, tetapi dengan NGOs/LSM di
negara yang bersangkutan tidak baik, maka hubungan itu kurang
memiliki arti penting. Hubungan NGOs sebagai aktor nonpemerintah
di Indonesia dengan NGOs di negara negara lain, menurut
pengamatannya sudah baik, bahkan dengan kecepatan hubungan yang
sangat cepat. Departemen Luar Negeri RI dalam melakukan
pendekatan hubungan dengan NGOs di luar negeri, dilakukan melalui
NGOs di dalam negeri yang memiliki jaringan kerjasama dengan NGOs
di luar negeri tersebut, atau sebaliknya.
Departemen Luar Negeri RI dalam melaksanakaan diplomasi
total telah melibatkan NGOs/LSM klasik seperti Muhammadiah,
Nahdatul Ulama, antara lain dengan menyelenggarakan International
Conference of Islamic Scholars, kemudian, bersama-sama Pemerintah
Australia dan Pengurus Pusat Muhammadiyah, Pemerintah Indonesia
menyelenggarakan Regional Dialogue on Interfaith Cooperation. Demikian
pula bekerja sama dengan tokoh-tokoh lintas Agama, dan melibatkan
pula media massa. Departemen Luar Negeri tidak melakukan kerja
sama dengan Koalisi untuk Kebebasan Informasi karena, kegiatan
Koalisi untuk memperjuang-kan lahirnya undang-undang kebebasan
memperoleh informasi publik merupakan masalah domestik dan
menjadi wilayah Departemen Komunikasi dan Informatika.
Departemen Luar Negeri saat ini memiliki dua isu yang dapat
dipromosikan ke negara lain dalam rangka membanguun citra
Indonesia, yaitu Pertama, demokratisasi. Perubahan yang dilakukan
Indonesia dalam konteks demokrasi dipandang oleh bangsa lain sebagai
sesuatu yang luar biasa. Sejak bangsa Indonesia menyelenggarakan
pemilu 2004 yang pertama, untuk pemilihan anggota DPR RI dan DPRD.
Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
yang dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia, yang berlangsung
sukses selama dua kali putaran, diindikasikan dengan pelaksanaan yang
tepat waktu, tidak terjadi konflik dan kekerasan. Kedua, Umat Islam
Indonesia adalah umat Islam yang moderat dan menghargai
kebhinnekaan atau pluralisme.121
121
Wawancara dengan Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI. tgl. 13 Februari 2006.
Pemerintah
Wujud Kebebasan
Praktek Diplomasi
Kondisi Masyarakat
Proses Diplomasi
Informasi dalam
Peran Diplomasi
Indonesia
antar Bangsa
memberikan negara lain dengan
keunggulan dan
kepercayaan
pengaruh yang kuat
tergadap kiprah
terhadap masyarakat
Ornop dengan
bangsa Indonesia
pendekatan Public
Relations
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 213
Asia-Pasifik relatif aman dan stabil. Konflik-konflik internal di berbagai
belahan dunia juga mereda, bahkan konflik menahun, seperti di Aceh,
dapat diselesaikan melalui proses perdamaian. Banyak yang menilai
bahwa penyelesaian konflik di Aceh dapat menjadi contoh atau model
bagi penyelesaian konflik-konflik internal di negara-negara lain.
Perekonomian dunia menurut Menlu RI juga cenderung
membaik. Pertumbuhan ekonomi dunia menunjukkan tanda-tanda
perbaikan di penghujung 2005. Motor dari pertumbuhan itu antara lain
ekonomi Amerika Serikat yang terus membaik dan ekonomi China yang
terus tumbuh dengan rata-rata 9%. Menyusul ekonomi India yang pada
tahun 2005 tumbuh dengan 7%. Kemudian dikemukakan pula oleh
Menlu RI bahwa keinginan dan upaya ke arah liberalisasi Perdagangan
dunia tetap kuat, bahkan liberalisasi Perdagangan pada tingkat regional
justru semakin marak dengan menjamurnya free trade areas (FTAs).
Dari temuan di atas, di antaranya penulis dapat mengkonstruksi
model kegiatan Koalisi yang memberikan pemaknaan dalam diplomasi
publik terhadap pencitraan, seperti pada gambar berikut.
Intermestik
= Demokratisasi
=
Restrukturisasi
Diplomasi
=
Deplu Pluralis
=
Total
= Horamti
= HAM
Aktor
Non Negara
Koalisi
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 215
kawasan yang pada gilirannya ikut mempengaruhi hubungan-
hubungan politik dan keamanan serta proses kerja sama dan integrasi
kawasan. Oleh karena itu, harus sudah diantisipasi keperluan penataan
ke arah suatu equilibrium baru di kawasan dalam satu atau dua
dasawarsa mendatang.
Proses integrasi kawasan juga berkembang pesat. ASEAN
memegang peranan yang penting, bahkan lebih besar dari bobot aktual
ASEAN itu sendiri. Kesepakatan untuk membentuk ASEAN Community
pada tahun 2020 telah menjadikan ASEAN lebih mantap dalam
menjalankan peran kendali dalam proses integrasi kawasan Asia Timur,
yang sampai saat ini cetak birunya belum tampak. KTT Asia Timur
pertama di Kuala Lumpur, pada bulan Desember 2005, mencerminkan
kuatnya dorongan meningkatkan kerjasa di kawasan. Belum jelas
apakah proses ini akan menuju pada East Asia Community. Maraknya
proses negosiasi berbagai free trade area, seperti yang digulirkan ASEAN
dengan dialogue partner nya maka dapat diprediksi bahwa pada tahun
2012 atau paling lambat tahun 2015 terbentuknya East Asia Free Trade
Area merupakan sesuatu yang tidak mustahil.
Sejak Indonesia menjadi tuan rumah KTT ke-9 ASEAN di Bali pada
tahun 2003, menurut Menlu, masyarakat Internasional banyak yang
mengakui dan menghargai bahwa Indonesia telah kembali tampil
memimpin ASEAN dan bukan sekedar mengetuai pertemuan-
pertemuan ASEAN. Di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN sepakat
meningkatkan kerja sama menjadi suatu komunitas dari sebelumnya
sebagai suatu asosiasi yang longgar, selama 37 tahun sejak kelahirannya
pada tahun 1967. Demikian pula, diterimanya konsepsi Indonesia
mengenai proses KTT Asia Timur yang inklusif, yang tidak hanya
melibatkan ASEAN+3 (Republik Rakyat Cina, Korea Selatan dan Jepang),
tetapi juga India, Australia dan Selandia Baru. Stature kepemimpinan
Indonesia melalui ide dan prakarsa itu telah menjadikan Indonesia
semakin relevan dan diperhitungkan dalam konteks dinamika kawasan.
Kebijakan diplomasi Indonesia pada tahun 2005 merupakan
bagian dari kebijakan tahun pertama pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu. Namun, kebijakan itu merupakan bagian konsistensi dalam
politik luar negeri Indonesia yang berprinsip, sebagaimana
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 217
Satu ciri diplomasi di era globalisasi adalah semakin pentingnya
summit diplomacy. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
presiden pertama hasil pemilu langsung tidak saja hadir sebagai peserta
aktif pada KTT APEC di Santiago (Oktober) dan KTT ASEAN di
Vientiane (November 2004) tetapi juga menjadi tuan rumah dan ketua
KTT Khusus ASEAN Pasca Gempa Bumi dan Tsunami dan KTT Asia-
Afrika (April 2005). Dengan kehadiran Presiden RI pada KTT Dunia
atau UN Summit di Sidang Majelis Umum PBB ke-60. (New York 2005),
dan berbagai kunjungan bilateral yang dilakukan, praktis semua
pemimpin bangsa di dunia telah dapat dijangkau dalam tahun pertama
masa kerja kabinet. Sangat terasa dari rangkaian KTT tersebut, stature
diplomasi Indonesia semakin dihargai.
Harus diakui bahwa masih terdapat berbagai masalah bangsa
yang perlu diatasi dengan kerja keras bersama. Namun, harus diakui
pula bahwa sudah cukup banyak kemajuan yang berhasil diraih di
dalam upaya Indonesia keluar dari masa krisis dan dalam memajukan
proses reformasi. Demokratisasi Indonesia telah mendapat pengakuan
dan apresiasi yang sangat luas dari masyarakat internasional.
Penyebutan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia merupakan bagian dari apresiasi tersebut. Lebih lagi sebagai
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah
membuktikan bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan bersama.
Situasi keamanan juga relatif lebih baik. Konflik-konflik horizontal
praktis sudah dapat diredam, sementara konflik vertikal seperti konflik
di Aceh yang menahun telah dapat diselesaikan melalui dialog.
Penyelesaian konflik Aceh tidak hanya membuka kepercayaan bagi
upaya pemerintah menyelesaikan masalah Papua Barat tetapi sekaligus
memperkuat kredibilitas Indonesia di mata masyarakat internasional.
Pada tahun 2005 menurut Menlu, tampak Indonesia yang lebih
percaya diri. Indonesia yang lebih mampu berkiprah aktif dalam
pergaulan internasional. Indonesia yang lebih mampu tampil dengan
gagasan dan prakarsa untuk membangun kawasan yang lebih stabil,
lebih aman, dan lebih berkemakmuran.
Suatu hal yang sangat menonjol pada periode tahun 2005 adalah
penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh yang berjalan
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 219
Bersamaan dengan proses itu, hasil studi yang dilakukan oleh
Prof. Drooglever tentang Pepera telah diluncurkan pada pertengahan
November 2005. Sejak jauh hari sudah diantisipasi potensi dampak
negatif dari hasil studi ini yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-
kelompok pro kemerdekaan di Papaua Barat, yang selama ini
mengedepankan tema pelurusan sejarah dalam perjuangannya.
Berkat hubungan dan kerja sama dengan pemerintah Belanda, termasuk
tingkat menteri luar negeri, potensi dampak negatif dari hasil studi
tersebut dapat diredam.
Masih dalam rangka memagari potensi disintegrasi bangsa,
pemerintah terus menggarisbawahi pentingnya border diplomacy.
Dengan diterimanya konsep Wawasan Nusantara serta sebagai bagian
dari Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia sebagai negara kepulauan
perlu menentukan secara lebih pasti batas-batas wilayah maritimnya
termasuk zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Sepanjang
tahun 2005 Indonesia intensif melalukan rangkaian perundingan
dengan negara-negara tetangga untuk menyelesaikan berbagai masalah
perbatasan. Dalam proses penentuan garis batas laut walaupun telah
dicapai kemajuan-kemajuan, namun pada tahun 2005 belum mencapai
kesepakatan akhir. Dalam upaya menyelesaikan penarikan garis batas
darat antara Indonesia dengan Timor Leste telah ditandatangani
provisional agreement pada April 2005. Kesepakatan itu meliputi 97%
masalah perbatasan darat antara kedua negara.
Berkaitan dengan Timor Leste, sebagai upaya menyelesaikan
beban sejarah masa lalu, khususnya berkaitan dengan pelanggaran HAM
menjelang dan segera sesudah jajak pendapat pada tahun 1999, Indonesia
dan Timor Leste telah menyepakati pembentukan Commission of Truth and
Friendship (CTF) pada tanggal 14 Desember 2004. Setelah Terms of Reference
(TOR) disepakati oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Timor Leste
pada bulan Maret 2005, CTF sejak awal Agustus 2005 telah menjalankan
tugasnya, yang dibantu oleh sekretariat bersama yang berkedudukan di
Bali. Melalui proses CTF diharapkan kebenaran dapat ditemukan dan
rekonsiliasi antara kedua negara diperkuat, serta persahabatan dan kerja
sama kedua negara dapat terus dimajukan. Keberhasilan proses ini dapat
menepis argumen perlunya penyelesaian masalah bagian kelam sejarah
Indonesia Timor Leste melalui teribunal internasional.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 221
melaksanakan berbagai kegiatan diplomasi. Di sinilah dapat ditemukan
pendekatan-pendekatan public relations yang secara tidak sadar
dilakukan oleh pemerintah dan ornop. Dari temuan penelitian ini dapat
ditegaskan pula bahwa jika kerja sama internasional yang dimajukan
Indonesia dalam memerangi terorisme turut menyumbang keberhasilan
yang dicapai Indonesia, maka sebaliknya, keberhasilan itu dapat
ditujukan untuk memperkuat upaya diplomasi Indonesia dalam
memajukan kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional
dalam memberantas terorisme. Termasuk upaya memberdayakan
kelompok-kelompok moderat seperti melaksanakan interfaith dialogue
and cooperation yang disponsori Indonesia pada tingkatan kawasan Asia
Pasifik maupun kawasan Asia dan Eropa (ASEM).
Selanjutnya temuan-temuan ini dapat penulis rumuskan sebagai
salah satu proposisi mengenai Kegiatan Koalisi untuk Kebebasan
Informasi dalam diplomasi publik yang dilakukan dengan pendekatan
public relations, yaitu bahwa komponen internal dan eksternal yang ada
dalam lingkungan pemerintah maupun ornop serta kemampuan dalam
melakukan adaptasi dan demokratisasi melalui kerjasama diplomasi
dapat diberdayakan dalam kerangka pendekatan public relations melalui
diplomasi multijalur (multitrack diplomacy) secara selektif.
Perjalanan diplomasi Indonesia di tahun 2005 juga ditandai oleh
prestasi penting di tingkat kawasan, khususnya dalam forum ASEAN
dan East Asia Summit. Dalam diplomasi kawasan, Indonesia membukti-
kan kemampuan tidak hanya sebagai ketua (Chair) tetapi juga sebagai
pemimpin (Leader) yang tampil dengan pemikiran, konsep dan
prakarsa.
Kepemimpinan Indonesia juga terlihat dalam menyelesaikan isu-
isu pelik yang terkait dengan penyelenggaraan East Asia Summit,
termasuk masalah negara peserta. Dalam kaitan ini disepakati kriteria
peserta East Asia Summit, yaitu negara-negara yang telah menjadi mitra
wicara penuh ASEAN, yang memiliki hubungan substantif dengan
ASEAN, dan telah mengaksesi atau menyatakan kesediaan untuk
mengaksesi TAC (Treaty of Amity and Cooperation). Berdasarkan kriteria
itu, Australia, Selandia Baru, dan India dapat berpartisipasi dalam East
Asia Summit.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 223
Malaysia, Departemen Luar Negeri dan Departemen Hukum dan HAM
telah berkoordinasi dan sepakat untuk menyerahkannya kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menteri Luar Negeri RI telah memaparkan pula aspek-aspek
penting dalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia
di tahun 2006 serta berbagai masalah yang masih akan dihadapi
Indonesia dan tantangan baru yang mungkin muncul. Memulai
proyeksi 2006, dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri RI pandangan
Presiden AS ke 35 John F. Keneddy yang mengatakan bahwa the purpose
of foreign policy is not to provide an outlet for our own sentiment of hope or
indignation; it is to shape real events in a real world
Di tahun-tahun sebelumnya Indonesia sudah tampil dengan
banyak konsep baru. Tantangannya di tahun ini dan tahun-tahun
mendatang adalah bagaimana menerjemahkan konsep-konsep tersebut
menjadi kenyataan, menjadi real events in real world. Memasuki tahun
2006, menurut Menlu, Indonesia perlu terus mempertahankan
kesinambungan (continuum) dari variabel-variabel soft power yang
menjadi aset bagi hubungan luar negeri seperti demokrasi dan Islam
moderat. Indonesia tidak perlu bersikap puas diri dengan segala
apresiasi yang disampaikan masyarakat internasional atas keberhasilan
proses demokratisasi di Indonesia; bahkan harus semakin sungguh-
sungguh memajukan demokrasi.
Salah satu tantangan di tahun 2006 dan kiranya di tahun-tahun
berikutnya juga adalah upaya semakin terwujudnya rule of law based
democracy, di samping upaya mempertahankan kesinambungan electoral
democracy. Terpenting adalah bagaimana membuat demokrasi bekerja
bagi kesejahteraan rakyat. Demokrasi merupakan aset yang sangat
berharga bagi hubungan antar bangsa. Democracies share reasons to
cooperate. Tidak mungkin membangun kerja sama yang utuh apabila
kesenjangan masih cukup besar. Kasus Myanmar, misalnya, cukup
mengganggu keseimbangan ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia
meminta Myanmar menunjukkan kemajuan demokrasi yang terukur
dalam batasan waktu dan kerangka Roadmap to Democracy.
Indonesia harus terus bersikap proaktif dalam menjamin
terwujudnya secara bertahap ASEAN Community dan ketiga pilarnya
122
Menteri Luar Negeri RI. Dr. N. Hassan Wirajuda. Paparan Lisan, Refleksi 2005 dan Proyeksi 2006. tanggal 6
Januari 2006. di Jakarta.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 225
Penegasan pentingnya dilancarkan diplomasi total sudah lama
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI, seperti dalam pernyataan
pers akhir tahun 2001 melalui paparan lisannya tanggal 7 Januari 2002,
yang merupakan rangkuman pelaksanaan dan hasil-hasil yang dicapai
dalam hubungan dan politik luar negeri Indonesia pada tahun 2001,
serta proyeksi perkembangan di tahun 2002 sejak pembentukan Kabinet
Gotong Royong. Dikemukakan Menlu bahwa revolusi informasi dan
proses globalisasi yang dialami Indonesia bukan saja menghadirkan
banyak manfaat dan peluang, tetapi juga membawa potensi bencana
dan malapetaka. Menurut Menlu :
Dalam hal ini, saya menyikapinya dengan dua tesa sederhana.
Pertama, Indonesia sebagai bangsa akan mampu menarik manfaat,
sekaligus menghindari malapetaka, apabila mampu mendekatkan
antara faktor domestik dan faktor internasional atau saya sebut
faktor intermestik. Kedua, peran aktif diplomasi tidak lagi hanya
memproyeksikan kepentingan nasional kita, tetapi juga harus
mampu mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan di
dunia luar ke dalam negeri Oleh karena itu sudah waktunya kita
melakukan pendekatan integratis yang menghilangkan
pemisahan antara kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri
serta kebijakan sektoral di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya. Demikian pula, baik pada tingkat internasional maupun
nasional, aktor politik dan hubungan luar negeri telah menjadi
semakin banyak dan beragam. Sudah tiba waktunya pula kita
menjalankan total diplomacy yaitu diplomasi yang memandang
substansi permasalahan secara integratif dan melibatkan semua
komponen bangsa dalam suatu sinergi. Dengan demikian
Departemen Luar Negeri perlu meningkatkan peranannya dalam
mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan di luar
negeri kepada publik di dalam negeri, sekaligus menyerap
masukan dan aspirasi dari publik dalam negeri.123
123
Menteri Luar Negeri RI. Paparan Lisan Pernyataan Pers Akhir Tahun. tanggal 7 Januari 2002.
124
Menteri Luar Negeri RI. Dr. N. Hassan Wirajuda, Paparan pada seminar tahunan mengenang tokoh diplomasi
Dr. Moh. Hatta. tanggal 23 Juli 2006. di Jakarta. dimuat harian Kompas tanggal 24 Juli 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 227
demokrasi menjadi aset politik luar negeri Indonesia yang semakin
penting, dan konsep-konsep Indonesia tentang dialog lintas agama di
kawasan Asia Pasifik, antar kawasan Asia-Eropa serta inter media
semakin melembaga. Namun, di bidang ekonomi, menurut Menlu,
kondisi ekonomi makro Indonesia yang positif belum mencukupi untuk
mendorong sektor riil, sehingga diperlukan untuk meningkatkan foreign
direct investment.
Summit Diplomacy sebagaimana dilakukan pada tahun 2005,
merupakan elemen penting dalam diplomasi masa kini. Hubungan
kemitraan dengan Australia, India, China, Rusia, Jepang, Korea Selatan,
Belanda, dan Amerika Serikat mulai dibangun. Indonesia dan Australia
telah menandatangani Security Framework Agreement tanggal 16
November 2006 sebagai upaya memajukan kerjasama keamanan di
berbagai bidang dan memperkuat stabilitas hubungan antar kedua
negara bertetangga dekat.
Indonesia terpilih pada sembilan organ penting berbagai
organisasi internasional. Kesembilan keanggotaan di badan
internasional itu adalah: keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan
PBB 2007-2008, anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB 2006-2007,
anggota Komisi Pemajuan Perdamaian PBB 2006, anggota Dewan
International Telecommunication Union 2006-2010, anggota Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB 2007-2008, anggota Governing Council UN
Habitat 2007-2010, anggota Komisi Pencegahan dan Peradilan Tindak
Pidana 2007-2009, anggota Komisi Hukum Internasional 2007-2012, dan
anggota Badan Internasional tentang Pengawasan Obat-obat Bius dan
Terlarang 2007-2012. Hal itu menurut Menlu merupakan wujud dari
apresiasi banyak negara terhadap Indonesia baru sebagai hasil
reformasi, selain hasil kerja keras diplomasi Indonesia.125
Menyangkut tentang isu global, pada tahun 2005 Indonesia telah
meratifikasi dua Kovenan utama yaitu Kovenan tentang Hak-hak Sipil
dan Politik, serta Kovenan tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya,
(dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
125
Kompas. Refleksi Deplu, Peluang Diplomasi Belum dimanfaatkan. 29 Desember 2006. hlm. 1.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 229
daya tarik tersendiri bagi investasi asing. Tahun 2007 dijadikan proyeksi
sebagai tahun peluang bagi upaya membuka dan meluaskan pasar bagi
produk-produk Indonesia, meningkatkan arus masuk investasi asing,
mempromosikan pariwisata, dan memperluas kesempatan kerja. Akan
terus meningkatkan dan mengembangkan upaya-upaya diplomasi
publik secara inovatif dan kreatif. Indonesia perlu mengkomunikasikan
kepada publik dunia tentang Indonesia yang demokratis dengan
masyarakat yang pluralistik, Islam yang moderat, dan upaya
pembangunan ekonomi yang progresif.126
Alasan pentingnya diplomasi total sebagaimana dikemukakan
Menteri Luar Negeri RI dan telah dibentuknya Direktorat Diplomasi
Publik pada Departemen Luar Negeri, karena di samping tuntutan
globalisasi, khususnya karena terjadinya revolusi di bidang teknologi
komunikasi dan informasi, penyelenggaraan diplomasi Indonesia
setelah reformasi juga mencemaskan, seperti dikemukakan Yasmi (2000)
bahwa :
Citra Indonesia yang pernah menanjak, kini terancam ke
kubangan nestapa. Salah satu perangkat bangsa yang merasakan
langsung beban keterpurukan citra adalah diplomat Indonesia.
Logikanya sederhana saja. Pemberitaan media massa internasional
mengenai Indonesia, dari segi redaksional, sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan desain informasi dalam negeri. Tawuran,
demonstrasi, kerusuhan, perang SARA, korupsi elite politik-
birokrasi, bahkan debat kusir petinggi merupakan kemasan berita
biasa. Jika bangsa Indonesia saja miris dengan berita-berita itu,
apalagi publik internasional.127
126
Menteri Luar Negeri RI. Pernyataan Pers Tahunan, Refleksi 2006 dan proyeksi 2007. 8 Januari 2007.
127
Yasmi Adriansyah. 2000. Keniscayaan Multi Track Diplomacy. Kompas, 1 Juli tahun 2000, hlm. 36.
Summit
Diplomacy
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 231
Berdasarkan paradigma masa lalu, menurut Yasmi, sebagai duta,
diplomat harus menciptakan citra positif atas nama bangsa dan
negaranya. Diplomat dimaksud adalah diplomat pada jalur formal,
yaitu yang berada di jalur pemerintahan. Dikutip dari pendapat Joseph
Montville, dari Foreign Service Institute, pada tahun 1982 diperkenalkan
istilah track two diplomacy, yang memiliki pengertian bahwa diplomasi
pada hakikatnya bukan hanya pekerjaan diplomat profesional,
mengingat terdapat pelaku-pelaku lain yang bernama citizen-diplomats
atau non-state actors yang juga melakukan fungsi diplomasi
sebagaimana diplomat profesional.
Perkembangan terakhir, terminologi diplomasi track one and track
two telah mengalami ekstensivikasi dengan diperkenalkannya istilah
yang lebih komprehensif untuk diplomasi dan melihat diplomasi dalam
tatanan sistemik, dikenal dengan istilah multi track diplomacy atau
diplomasi multijalur.
Dikutip dari pendapat Diamod dan McDonald di dalam
bukunya: Multi Track Diplomacy: A System Approach to Peace (1996, third
edition), disebutkan, paling tidak ada sembilan jalur yang bisa dipakai
sebagai acuan konseptual dan praksis diplomasi multi jalur, yaitu:
Pertama, pemerintah. Jalur ini bersifat formal dan lebih banyak
bergerak pada tataran pembuatan kebijakan serta aplikasi tugas-tugas
pemerintahan (eksekutif). Jalur pemerintahan merupakan pelaku
utama diplomasi (first track).
Kedua, kaum profesional non-pemerintah. Jalur ini bermuatan
tindakan-tindakan profesional kalangan nonpemerintah yang
menganalisis dan mengelola masalah-masalah internasional.
Ketiga, bisnis. Jalur ini melakukan penyebaran kesempatan
ekonomis, persahabatan internasional dan kanal-kanal komunikasi
informal.
Keempat, warga negara. Jalur ini mencakup diplomasi kewargaan
(citizen diplomacy), program-program pertukaran, organisasi suka-
relawan, LSM, dan kelompok-kelompok dengan kepentingan khusus.
Kelima, komunitas ilmiah. Jalur ini meliputi tiga dimensi:
penelitian yang terkait dengan kampus perguruan tinggi, tangki
pemikir, dan pusat-pusat kajian; program-program pelatihan yang
128
Ibid. hlm. 36.
129
Institute for Multi-Track Diplomacy. Multi-Track Diplomacy. Melalui: <http://www.imtd.org./ publications-
books.htm>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 233
Konsep diplomasi multijalur yang melibatkan sembilan unsur
untuk berdiplomasi dengan konsep diplomasi total yang melibatkan
segenap komponen bangsa dalam diplomasi pada prinsipnya memiliki
pemikiran yang sejalan. Sekalipun konsepsi ini belum dilaksanakan
secara optimal di Indonesia.
Konsep diplomasi multi jalur dapat dikategorikan kedalam dua
kategori utama yaitu diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah dan
oleh non-pemerintah. Aktor yang melaksanakan diplomasi, baik aktor
pemerintah maupun non pemerintah keduanya memiliki peranan
penting dan saling mengisi. Sementara ini aktor yang dikenal luas oleh
masyarakat dalam diplomasi adalah aktor pemerintah, sedangkan aktor
non-pemerintah atau disebut juga non-state actors belum dikenal luas
oleh masyarakat. Ali Alatas, mantan Menteri luar Negeri RI, mengatakan
bahwa kiprah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) dan
badan-badan warga lainnya kini semakin berpengaruh bahkan
menentukan tata hubungan politik diplomasi antar pemerintah di
banyak negara. Begitu pentingnya peran NGO itu hingga seolah-olah
mereka bisa ikut menentukan citra (image) suatu negara dan
pemerintahnya di forum internasional.130
Lebih memperkuat keniscayaan perlunya dilaksanakan
diplomasi total, seperti dikemukakan Menteri Luar Negeri RI, sejalan
dengan pemikiran perlunya diplomasi multi jalur, dinyatakan Perkasa
(1998) bahwa saat memulai reformasi, pelaksanaan diplomasi Indonesia
babak belur. Totalitas tampilan dan citra Indonesia dalam hitung-
hitungan posisi internasional tengah terjun bebas. Republik Indonesia
sedang ber-transformasi dari kedudukan yang terhormat sebagai Ketua
GNB dan APEC, menjadi paria dalam pergaulan internasional. Paralel
dengan ambruknya kekuatan ekonomi nasional, citra dan eleganitas
diplomasi pun turut terpuruk ke titik nadir. Misalnya, komunitas
internasional merespon sangat keras terjadinya pelanggaran HAM, dan
tindak penjarahan. Tantangan ini menurut Ben Perkasa, perlu disikapi
sangat serius dan sistematis untuk peningkatan profesionalisme
diplomasi di segala aspek.131
130
Kompas. Kiprah LSM turut tentukan diplomasi pemerintah. 29 Agustus 2001, hlm. 6.
131
Ben Perkasa Drajat. 1998. Tantangan Diplomasi di Era Reformasi. Kompas. 12 Oktober 1998. hlm. 4.
132
Ben Perkasa Drajat. 2003. Diplomacy Unusual. Kompas. 3 Februari 2003. hlm. 4.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 235
Aktor
Pemerintah
pemerintah; klp NGO/kalangan
profesional; klp.bisnis; warga
Diplomasi Diplomasi negara biasa; penelitian,
Multijalur pendidikan, dan pelatihan;
Total juru damai advokasi;
klp.agama; penyedia dana;
komunikasi dan media
Aktor
Non-Pemerintah
Menghindari
Diplomacy unusual
Gambar 3.6. Peran aktor Pemerintah dan Non Pemerintah dalam Diplomasi Total
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 237
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi tersebut, peran yang
dijalankan Direktorat Diplomasi Publik dalam mendukung politik luar
negeri antara lain :
(a) Pemberdayaan kaum moderat Indonesia
(b) Memajukan people to people contact
(c) Diseminasi informasi mengenai politik luar negeri
(d) Merangkul dan mempengaruhi publik dalam dan luar negeri
(e) Mengumpulkan saran dan masukan bagi pelaksanaan politik
luar negeri
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 239
(7) Pengiriman misi kesenian Aceh Rafli dan Kande pada Music
Salaam Village ke London, tanggal 29 Juni- 14 Juli 2006.
(8) Islam Expo di London, tanggal 4-9 Juli 200 yang meliputi seminar
mengenai Islam in Indonesia, Islamic Finance and Investing in Britain
Conference, pertemuan delegasi Indonesia dengan Kementerian
Luar Negeri Inggris mengenai rencana pembentuk-kan Indonesia-
UK Islamic Advisory Group (IUIAG). Pertemuan dengan Muslim
Council of Britain, Pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri
Inggris, membahas rencana pembentukan IUIAG. Pameran
produk-produk Islami.
(9) Presidential Lecture di Jakarta, tanggal 2-3 Agustus 2006, terdiri
dari dua kegiatan yaitu presidential lecture on anti corruption dan
seminar anti korupsi bagi pejabat departemen dan BUMN.
(10)World Peace Forum di Jakarta tanggal 14-16 Agustus 2006, merupa-
kan forum tokoh-tokoh kunci dunia untuk menyuarakan pesan
Perdamaian dunia dengan meninggalkan cara-cara kekerasan.
(11)Program Duta Belia 2006, 20 Agustus-2September 2006.
Merupakan kegiatan tahunan yang dimulai sejak tahun 2003.
dalam rangka membentuk konstituen diplomasi dan lebih
melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan diplomasi. Duta belia
tahun 2006 berjumlah 70 peserta yang terdiri 66 anggota
Paskibrata dan 4 orang siswa berprestasi di bidang ilmu fisika dan
kimia.
(12)Global Inter-Media Dialogue, Bali, 1-2 September 2006. Kegitan ini
merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Norwegia
yang dihadiri oleh 73 tokoh media/jurnalis senior dari 44 negara
sebagai peserta aktif. Pada tahun 2007, kegiatan ini direncanakan
dilaksanakan di Norwegia.
(13)Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia, 6 September-1 Desember
2006. Jumlah penerima beasiswa seni dan budaya tahun 2006
berjumlah 40 orang dari 18 negara-negara ASEAN, South West
Pacific Dialogue, serta India.
(14)Acehnese Cultural Visit, Sidney-Canberra, 6-15 September 2006.
kerjasama PP Muhammadiyah dan Deplu RI mengadakan
Acehnese Children Cultural Visit, Exhibition and workshop di Sidney
dan Canberra.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 241
perkembangan terakhir. Hadir sebagai pembicara utama adalah
pakar diplomasi publik dari Amerika dan Inggeris. Hasil yang
diharapkan adalah rekomendasi strategi dan rencana aksi
diplomasi publik Indonesia tahun 2007-2009.
(25)Diseminasi informasi dalam rangka menjaga keutuhan wilayah
NKRI di Suva, Fiji, 13-14 Desember 2006.
(26)Lunch Break on Papua. Dijadwalkan menjadi program bulanan
sebagai salah satu sarana untuk memperluas wawasan mengenai
isu-isu aktual Papua dari berbagai narasumber, khusunya
kalangan non-pemerintah sehingga tercapai pemahaman secara
komprehensif mengenai masalah Papua. Apresiasi terhadap
program ini tidak saja datang daripeserta diskusi (Direktorat
terkait Deplu) tetapi juga dari kalangan LSM pemerhati masalah
Papua yang melihat dan merasakan sendiri adanya perubahan
sikap pemerintah dalam menjalin hubungan dengan LSM. Deplu
dianggap sebagai pelopor dalam melaksanakan reformasi
birokrasi dalam era keterbukaan ini.
(27)Diplomatic Gathering. Merupakan kegiatan rutin yang diadakan
untuk membangun komunikasi dan mempererat persahabatan
dengan para pejabat diplomatik perwakilan negara-negara asing
dan organisasi internasional/regional di Jakarta sebagai media
untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan citra
Indonesia.
(28)Dialog Ramadhan Campus to Campus. Dialog tersebut bertujuan
menjelaskan perkembangan isu internasional terkini, antara lain
mengenai ASEAN dan HAM, mencari masukan dari para
mahasiswa mengenai isu-isu yang dimaksud, serta menjelaskan
tentang peluang dan prosedur berkarir di Deplu.
(29)Kunjungan mahasiswa ke Deplu. Mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di Indonesia secara rutin melakukan kunjungan
ke Deplu RI untuk memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai Deplu, diplomasi, dan politik luar negeri RI.
Selama tahun 2006 kunjungan mahasiswa yang telah terlaksana
antara lain kunjungan mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta;
Universitas Trisakti, Jakarta; Universitas Pasundan, Bandung;
Universitas Parahyangan, Bandung; Universitas Hasanuddin,
Makassar; dan Universitas Muhammadiyah Malang.
133Direktorat Diplomasi Publik Deplu RI. Sekilas Direktorat Diplomasi Publik, 2002-2006. Desember 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 243
Kedua, hubungan internal. Hubungan internal dalam rangka
membangun kebanggaan individu dalam organisasi, membangun
partisipasi dalam kegiatan untuk efisiensi organisasi khususnya dalam
diplomasi, antara lain setiap tahun diselenggarakan rapat para kepala
perwakilan RI di luar negeri yang berpindah-pindah tempat dari satu
kawasan ke kawasan lain.
Ketiga, hubungan dengan pemerintah negara lain. Untuk
meningkat-kan efektivitas penyelenggaraan politik luar negeri RI, dan
dalam rangka meningkatkan hubungan dengan negara lain di dunia,
Departemen Luar Negeri RI telah melakukan restrukturisasi organisasi
dengan mengubah struktur organisasi Deplu yang semula disusun
menurut pembidangan (politik, sosial budaya dan ekonomi), menjadi
berbasis kawasan (Asia Pasifik dan Afrika, Amerika dan Eropa,
Kerjasama ASEAN), sesuai dengan konsep intermestik, yaitu telah
menyatunya masalah internasional dengan masalah domestik. Selain di
tingkat pusat, dilakukan pula restrukturisasi Kantor Perwakilan RI
dengan lebih menekankan kepada kompetensi dan menempatkan
pejabat yang memiliki bobot kompetensi sesuai dengan bobot politik
yang dihadapi dari suatu negara, di samping penempatan konsulat
yang perlu disesuaikan dengan perkembangan pusat pertumbuhan
suatu wilayah.
Keempat, hubungan dengan masyarakat, baik dengan masyarakat
dalam negeri maupun luar negeri, untuk mengetahui dan
mempertemukan kebutuhan dan harapan semua segmen masyarakat
dalam organisasi, seperti penyelenggaraan foreign policy breakfast,
melakukan diskusi dengan berbagai tokoh agama, jurnalis, LSM,
kalangan pemuda, dan lain-lain. Program Duta Belia Indonesia, yaitu
program pembekalan mengenai politik luar negeri RI kepada putra-
putri anggota pengibar bendera pusaka. Pengiriman misi kesenian,
seperti kesenian Aceh Rafli ke London, Islam expo di London, dengan
menyelenggarakan seminar tentang Islam di Indonesia. Acehnese cultur
visit ke Sydney-Canberra, Seminar Diplomasi dalam Perjuangan Bangsa
di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, pembuatan website
Museum Konferensi Asia Afrika, dan Deplu Yunior. Pertunjukkan
kesenian, seperti malam pagelaran seni budaya ASEAN dan Pasifik
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 245
246
Citra Indonesia di Mata Dunia
Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006
134
Brian Hocking. 2005. Multistakeholder Diplomacy: forms, functions, and frustrations, Centre for the Study of
Foreign Policy and Diplomacy George Eliot Building Coventry University Priory Street. Coventry. hlm. 6.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 247
3.5.1. Diplomasi Publik dengan pendekatan Public Relations
Kegiatan Koalisi dalam diplomasi publik melalui pendekatan
public relations pada prinsipnya dapat dikemukakan berdasarkan tiga
kegiatan utama Koalisi, yaitu kegiatan pengkajian, lobi dan kampanye.
Kegiatan pengkajian dilakukan Koalisi dengan melakukan penelitian
terhadap referensi yang berkenaan dengan kebebasan memperoleh
informasi, baik melalui literatur maupun melakukan studi lapangan ke
beberapa negara yang telah memiliki undang-undang kebebasan
memperoleh informasi. Melakukan diskusi dengan para ahli di dalam
negeri dan luar negeri untuk menyusun draf undang-undang
kebebasan memperoleh informasi. Koalisi juga menyusun program
kerja, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Draf awal undang-undang kebebasan memperoleh informasi
hasil diskusi dengan para ahli dalam negeri dan luar negeri selanjutnya
disebarluaskan kepada fakultas hukum perguruan tinggi negeri seluruh
Indonesia, departemen/kementerian, lembaga pemerintah non
departemen yang terkait, pengelola media, untuk memperoleh
tanggapan dan koreksi. Masukan dari berbagai pihak selanjutnya
dibawa ke dalam forum seminar, baik nasional maupun internasional
dengan mengundang para ahli baik nasional maupun internasional
untuk kemudian dilakukan penyempurnaan.
Koalisi juga mendiskusikan dan membuat perbandingan bentuk
lembaga, cara penyelesaian sengketa, kekuatan putusan, tugas dan
fungsi, serta wewenang lembaga dalam memutus sengketa informasi.
Membuat dan membahas daftar inventarisasi masalah RUU KMIP yang
dibahas pemerintah dan DPR. Melakukan riset tentang pelaksanaan
peraturan daerah tentang transparansi dan kebebasan informasi di
beberapa daerah (Kabupaten Kendari, Kabupaten Lebak, dan Provinsi
Kalimantan Barat).
Pengkajian atau riset terlihat diutamakan oleh Koalisi untuk
memperoleh bobot penelitian. Koalisi melibatkan para ahli dalam
berbagai bidang yang menyangkut keleluasaan informasi baik ahli dari
dalam negeri maupun luar negeri. Melakukan pemantauan sikap parpol
terhadap RUU kebebasan informasi. Menyusun kerangka acuan studi
dan pemetaan Badan Publik dalam memenuhi akses informasi.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 249
relations yang terdiri dari empat unsur kunci yaitu research, action
(program planning), communication (execution) dan evaluation sebagaimana
dikemukakan Wilxoc et.al (2003:7). Selanjutnya berdasarkan feedback
melakukan pertimbangan dan penyesuaian terhadap program. Koalisi
setiap bulan menyusun laporan advokasi terhadap suatu kegiatan.
Bersangkutan dengan unsur values dalam proses public relations
yang mendorong terjadinya hubungan antara organisasi dengan
publiknya serta yang dapat mempengaruhi kesuksesannya, sebagaimana
dikemukakan Guth dan Marsh (2006:16) dalam mukadimah statuta
Koalisi yang dapat dianggap sebagai pencerminan nilai atau values yang
dianut Koalisi dinyatakan bahwa, untuk mencegah praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme serta pelanggaran HAM, kedudukan masyarakat
sipil dihadapan negara harus diperkuat. Agenda yang harus dilakukan
adalah menciptakan peluang yang memungkinkan publik terlibat dalam
proses pemerintahan dan pengelolaan sumber daya publik.
Koalisi memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik sebagai sarana yang berbentuk aspek legal
formal dalam perundang-undangan Indonesia yang dapat memaksa
pemerintah dan pejabat publik untuk bertindak transparan terhadap
segala kebijakan yang diambil, yang berhubungan dengan kepentingan
publik, sehingga publik dapat berpartisipasi dan mengawasi pelaksana-
annya. Apabila kondisi ini terwujud dalam bentuk sistem pemerintahan
yang terbuka (open government), maka tatanan pemerintahan yang baik
(good governance) diharapkan dapat diwujudkan pula.
Kekuasaan membentuk undang-undang dipegang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) berdasarkan pasal 20 UUD 1945. Kemudian
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama.135 Lobi yang dilakukan Koalisi kepada DPR dan pemerintah
dapat dikatakan sebagai lobi yang sangat diutamakan, sejak awal sampai
dengan pembahasan RUU KMIP. Lobi dan negosiasi dilakukan melalui
diskusi-diskusi untuk meyakinkan pentingnya Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang terbuka, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, di
135
Sekretaris Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. hlm. 67.
136
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. op cit. hlm. xxii-xxiv.
137
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi, 27 Januari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 251
communication between an organization and its publics dibuktikan dengan
adanya program Koalisi dan berbagai lapisan masyarakat yang menjadi
publik sasaran dari kegiatan Koalisi. Tetapi maksud dan tujuan yang
dikehendaki manajemen dalam berkomunikasi belum jelas. Sedangkan
definisi yang dihasilkan Mexican Statemen (Davis, 2004:3) yang
mengandung unsur yang kuat tentang penelitian dalam melaksanakan
kegiatan public relations serta untuk kepentingan publik dan organisasi,
dapat tergambarkan pula dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan Koalisi,
yaitu bahwa langkah awal dalam penyusunan draf RUU KMIP dimulai
dengan melaksanakan penelitian dan studi banding, selanjutnya
dilakukan evaluasi terhadap berbagai tahapan kegiatan.
Sosialisasi yang dilakukan Koalisi melalui diskusi mempunyai
tujuan untuk memberikan pemahaman kepada sasaran khalayak
pentingnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
dan meminta dukungan. serta meyakinkan masyarakat bahwa mengakses
informasi terhadap segala kebijakan pemerintah merupakan hak rakyat di
samping untuk merumuskan materi dalam draft RUU KMIP.
Definisi-definisi public relations memiliki kesamaan pengertian
bahwa public relations adalah fungsi management suatu organisasi untuk
mengusahakan adanya saling pengertian, kerjasama, di antara organisasi
dan publiknya bagi kepentingan organisasi dan publiknya. Tetapi
Zawawi (2004:6) tidak ingin terlalu menggunakan kata 'organisasi' dalam
definisi yang cenderung menempatkan eksistensi public relations
berkaitan dengan perusahaan. Padahal public relations dapat ditangani
oleh organisasi, kelompok atau individu apabila berinteraksi dengan
berbagai publik Public relations didefinisikan sebagai manajemen
strategik dan etik suatu komunikasi serta hubungan, untuk membangun
dan mengembangkan koalisi serta kebijakan, mengidentifikasi dan
mengelola isu, menciptakan pesan-pesan untuk mendapatkan manfaat
dalam kerangka tanggung jawab sosial.
Praktek definisi ini tergambar dalam kegiatan Koalisi, karena
kepentingan yang dimaksud Koalisi bukan kepentingan suatu
perusahaan tetapi kepentingan sosial. Koalisi melakukan kegiatan
dengan cara berkoalisi antara pimpinan Koalisi yang diberi mandat
untuk merumuskan dan menyelenggarakan kegiatan Koalisi dengan
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 253
way Asymmetric, sebagai suatu persuasi atas dasar hasil penelitian,
dalam kondisi ketidakseimbangan antara kepentingan penyampai dan
penerima pesan; Two-way Symmetric, melaksanakan komunikasi
dialogis atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama.
Koalisi juga telah melaksanakan kegiatan-kegiatan kunci public
relations sebagaimana dikemukakan Zawawi (2004 : 9-10), antara lain
kegiatan: Communication, yaitu menyampaikan atau saling bertukar
pikiran, pendapat atau pesan baik secara visual, lisan, maupun tulisan,
melalui diskusi, siaran di radio, televisi, atau tulisan di surat kabar.
Publicity, menyebarkan pesan-pesan yang terrencana melalui media
terpilih, tanpa membayar, untuk kepentingan lebih jauh dari organisasi
seperti pembuatan pamplet, leaflet, kalender, dan penerbitan buku-buku.
Public Affairs/Lobbyist, bertindak mewakili organisasi dalam membuat
kesepakatan dengan politisi atau pemerintah yang menentukan kebijakan
dan pembuatan undang-undang, sebagaimana dilakukan Koalisi dalam
kegiatan lobi, baik kepada DPR maupun kepada pemerintah. Community
Relations, membangun dan memelihara hubungan antara organisasi
dengan kelompok-kelompok masyarakat yang saling mempengaruhi
satu sama lain, seperti melakukan lobi terhadap organisasi massa,
kelompok-kelompok masyarakat melalui konsultasi regional, atau
kunjungan ke kampus-kampus. Internal Relations, membangun dan
memelihara hubungan dengan internal organisasi melalui rapat-rapat
internal membahas masalah, evaluasi program dan kegiatan. Media
Relations, membangun dan memelihara hubungan dengan media, bukan
hanya dengan penyelenggara media, tetapi juga dengan pengelola media.
Public Diplomacy membangun dan memelihara hubungan untuk
mengembangkan antara lain kemauan bekerja sama secara umum dan
saling membantu di antara bangsa-bangsa, sebagaimana telah dilakukan
Koalisi, menjalin hubungan dan kerjasama baik dengan organ PBB,
Pemerintahan, maupun Ornop-ornop di negara lain untuk memperoleh
bantuan, dorongan, baik secara moril maupun material untuk
menyukseskan program Koalisi.
Temuan penelitian ini di antaranya mampu dijadikan dasar dalam
menemukan jawaban bagaimana kegiatan Koalisi untuk Kebebasan
Informasi memperoleh dukungan pihak lain dalam mencapai
tujuannya dengan mengintensifkan penyelenggaraan sistem hubungan
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 255
Koalisi tahun 2002, pada konsideran Menimbang dikemukakan:
1. Bahwa kebebasan memperoleh informasi publik merupakan hak
asasi manusia dan merupakan salah satu ciri terpenting dalam
negara hukum yang demokratis untuk mewujudkan peme-
rintahan yang terbuka.
2. Bahwa hak anggota masyarakat untuk memperoleh informasi
publik merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas
keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
publik.
3. Bahwa kebebasan memperoleh informasi publik merupakan unsur
penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap
penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna mendorong
pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
138
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Melawan Ketertutupan Informasi, Rancangan Undang-Undang tahun
2002, tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Lampiran 1.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 257
Bank Dunia mengartikan good governance sebagai pelayanan publik
yang efisien; sistem peradilan yang dapat diandalkan; serta pemerintahan
yang bertanggungjawab kepada publiknya (Dwipayana, 2003:18).
Sedarmayanti (2004 : 4-7) menyimpulkan good governance pada
empat prinsip utama, yaitu, akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan
aturan hukum, yang dapat memberi gambaran administrasi publik yang
berciri kepemerintahan yang baik. Bhatta (1996) dalam Sedarmayanti,
memasuk-kan pula unsur hak-hak asasi manusia dan kompetensi
manajemen sebagai unsur-unsur utama dalam good governance selain
akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum. Wujud good
governance menurut Lembaga Administrasi Negara (2000) adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung
jawab, efisien, efektif, menjaga kesinergisan interaksi antara domain
negara, sektor swasta dan masyarakat. Di samping itu penerapan prinsip
good governance dalam sektor publik adalah adanya tuntutan yang kuat
agar peranan pemerintahan dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk
dunia usaha dan Lembaga Swadaya Masyarakat/organisasi non-
pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.
Sekalipun demikian Koalisi tidak hanya mengandalkan adanya
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dari aspek
legal formal, tetapi akan mengupayakan pula bagaimana undang-
undang tersebut diimplementasikan sehingga membawa manfaat bagi
publik dan menjadikan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan
akuntabel. Sebagaimana dikemukakan Koalisi, bahwa Undang-undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik hanya merupakan suatu
instrumen, dan kemanfaatannya tergantung kepada adanya kesadaran
masyarakat akan haknya atas informasi, kapasitas Badan Publik yang
memadai dalam memenuhi hak atas informasi publik, serta tersedianya
infrastruktur yang memadai untuk mengakses informasi.
Ornop-Ornop yang bergabung dalam Koalisi Untuk Kebebasan
Informasi, baik yang telah berdiri sebelum reformasi, maupun yang
berdiri setelah reformasi bergerak dalam bidang yang sejalan dengan
prinsip-prinsip good governance.
Dapat dikemukakan beberapa contoh, seperti Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) yang berdiri sejak 1995, bergerak di bidang riset media,
jurnalisme bebas dan studi terhadap kebijakan yang ada hubungannya
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 259
(LSPP) yang didirikan tahun 1994 bergerak di bidang studi media dan
kebudayaan. Kegiatan utama meliputi diskusi, penelitian, pelatihan dan
penerbitan dengan isu pokok tentang media dan demokratisasi. Visi
LSPP membuka ruang publik dengan atau melalui budaya didukung
beberapa nilai yang sekaligus menjadi isu strategis LSPP, yaitu
demokratisasi, hak asasi manusia, dan multikulturalisme.139
Koalisi melalui kegiatan advokasi telah ikut melahirkan peraturan
daerah (Perda) di beberapa kabupaten/kota, propinsi di Indonesia
tentang transparansi, partisipasi masyarakat, dan kebebasan
memperoleh informasi, sekalipun dengan nama Perda yang berlainan,
yaitu di Kabupaten Solok, Lebak, Bandung, Magelang, Tanah Datar,
Kebumen, Lamongan, Boalemo, Bolaang Mongondo, Takalar, Kota
Gorontalo, Kendari, Propinsi Kalimantan Barat. Bupati Kabupaten Solok
pada tahun 2004 telah menerima penghargaan Bung Hatta Anti
Corruption Award karena sikap sederhana, berani menolak kenaikan
dana taktis, menindak staf yang korup, aktif mengkampanyekan good
governance. Di Kota Gorontalo,140 Badan Publik yang tidak membuka
informasi padahal memegang informasi diancam pidana kurungan 3-6
bulan dan denda 50 sampai 100 juta rupiah.
Koalisi telah melakukan pengkajian khusus terhadap penyeleng-
garaan Pemilu 2004 ditinjau dari perspektif kebebasan memperoleh
informasi, karena pemilu merupakan perwujudan hak asasi warga
negara untuk mengambil bagian dalam urusan-urusan publik. Hasil
pengkajian berupa rekomendasi ditujukan kepada Komisi Pemilihan
Umum sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan penyelenggaraan
pemilu diwaktu yang akan datang.
Berdasarkan hasil pengkajian Koalisi, secara umum penyelengara-
an pemilu 2004 masih belum transparan karena tidak dijaminnya akses
publik terhadap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan
pemilu. Ketiadaan jaminan hukum bagi penyelenggara pemilu untuk
memberikan informasi kepada publik, dan bagi masyarakat ketiadaan
jaminan untuk mengakses informasi. Akses masyarakat terhadap
verifikasi partai politik, calon legislatif, dana kampanye, dan terhadap
pengadaan logistik yang disinyalir banyak pihak tidak transparan.
139
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Direktori Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi.
140
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. op cit. hlm. 5.
141
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Pengkajian Kasus Transparansi dan Akses Informasi Dalam Penyelenggaraan
Pemilu 2004.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 261
ideology of egalitarianism, social justice, democratization. This is why
Knoke (1990) sees the NGO group as a 'moral force' which exspose the
condition of the poor as a problem of the general system.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 263
264
UMPAN BALIK
UMPAN BALIK
Diagram 3.4. Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi.
3.5.3. Good Governance untuk Pembangunan Citra
Kondisi krisis bangsa Indonesia sampai dengan empat tahun
setelah reformasi menuju kuartal terakhir tahun 2002 dicitrakan tetap
berlangsung. Masih terjadi krisis kepemimpinan, seperti dalam
pengambilan keputusan mengandalkan keputusan pribadi. Kenyataan,
bahwa bangsa Indonesia masih jauh dari cita-cita karena proses menuju
cita-cita bertolak belakang dengan makna dan semangat kemerdekaan
sehingga reformasi seakan diujung tanduk (Dhakidae, 2002:xvi). Empat
tahun setelah reformasi merupakan periode yang kritis dalam proses
demokratisasi dan reformasi bangsa Indonesia. Salah satu indikatornya
adalah kepercayaan publik yang semakin lemah terhadap institusi
politik Indonesia (Purba, 2005:37-50).
Citra bahwa krisis masih menimpa bangsa Indonesia tidak hanya
digambarkan setelah empat tahun reformasi, bahkan sampai dengan
delapan tahun setelah reformasi, krisis dicitrakan masih berlangsung,
sebagaimana tergambarkan dalam tulisan dan pemberitaan tentang
kondisi Indonesia di media massa dalam negeri dan luar negeri, baik di
televisi maupun di surat kabar.
Tabel 3.11.
Beberapa tulisan dan pemberitaan di Surat Kabar Harian Kompas dalam tahun
2006 yang dapat mencitrakan gerakan reformasi masih tidak menggembirakan
NO HARI/TGL JUDUL ISI
1. Jumat, 6/1/06 Negara Sudah Rusak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengaku hingga saat ini penyelenggaraan
negara belum mencerminkan tata
pemerintahan yang baik dan bersih.
2. Senin, 9/1/06 Wajah Kusam Partai Memasuki awal tahun 2006, kiprah politik
Politik dipandang secara pesimistis tidak akan
membawa harapan perbaikan. Bahkan,
dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya, citra tiang demokrasi ini
dinilai kian memburuk.
3. Selasa, 17/1/06 Memimpin Frustrasi Pers lebih tergiur mengamati bahasa
Rakyat tubuh presiden. Para pakar lebih tergoda
mengolok-ngolok model komunikasi peme-
rintah. Tokoh LSM berhenti berpromosi
HAM karena kurang biaya. Universitas lebih
suka menerima riset pesanan birokrasi dan
dunia bisnis ketimbang mengukur
kedalaman demokrasi dan keadilan.
4. Selasa, 17/1/06 Rakyat Sedih Melihat Bulan Mei mendatang kita akan mem-
Kaum Reformis peringati sewindu reformasi (Mei 1998 -
Mei 2006). Praktik bisnis yang curang,
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 265
NO HARI/TGL JUDUL ISI
penegakan hukum yang berat sebelah,
perawatan kesehatan yang asal-asalan,
pendidikan yang tidak bermutu, eksploita-
si keuangan atas nama birokrasi, pen-
jarahan lingkungan hidup, membengkak-
nya angka pengangguran, dan bertambah
banyak rakyat miskin.
5. Kamis, 19/1/06 Tajuk Rencana Mana Unjuk rasa yang disertai kekerasan kita
Musyarawarah untuk cemaskan. Dampaknya yang tidak
Mufakat proporsional dan negatif bisa kemana-
mana. Justru untuk kondisi serba sulit &
dilematis seperti sekarang ini kita coba
terapkan kebajikan dan kebijakan
musyawarah untuk mufakat sejauh
mungkin. Semua pihak jujur, tulus,
berkemauan baik.
6. Sabtu, 21/1/06 Negeri Mati Suri Korban SUTET yang menjahit mulut dan
mogok makan secara moral sama
dengan korban kehidupan (rakyat) lain
yang tertimpa; penggusuran, busung
lapar; pengangguran, dan bencana alam.
7. Senin, 30/1/06 Kebijakan Publik Justru Menghadapi kemelut bangsa yang sema-
Meminggirkan Publik kin kompleks, pemerintah dinilai belum
mampu menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang bisa membawa bangsa
ini keluar dari jurang kehancuran.
8. Rabu, 1/2/06 Keterpurukan Bangsa Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Sudah Sempurna Ulama Hasyim Muzadi menilai keter-
purukan yang dialami bangsa ini kini
sudah sempurna. Pemimpin harus
melakukan introspeksi dan mencari
solusi atas kondisi tersebut.
9. Kamis, 2/2/06 Mafia Peradilan Mafia Peradilan berkeliaraan di
di Indonesia Indonesia, menyedot perhatian berbagai
kalangan. Usulan Komisi Yudisial untuk
seleksi ulang hakim agung, terkait
merosotnya kepercayaan atas kerja
Mahkamah Agung, memicu perselisihan.
10. Sabtu, 4/2/06 Komitmen Reformasi Investor asing yang masuk ke Indonesia
Investasi Masih sekarang ini dituntut harus memiliki
Setengah Hati mental dan stamina kuat. Dari sejak
mengurus izin usaha saja, investor ibarat-
nya dipaksa memasuki lika-liku labirin
yang penuh jebakan, dengan lama waktu
pengurusan izin hingga 151 hari & belas-
an tahapan atau pintu yang harus dilewati.
11. Sabtu, 4/2/06 Mencemaskan Masuknya Gencarnya ajakan Pemerintah Indonesia
Investasi Asing untuk menarik investasi asing ternyata
belum dibarengi dengan sistem kebijak-
an, perundang-undangan, birokrasi, dan
jaminan rasa aman yang memadai.
12. Selasa, 7/2/06 Bahasa Keterpurukan Di tengah terpaan korupsi, bencana alam,
Kita penyakit, dan kekerasan, bangsa
Indonesia makin terperangkap dalam
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 267
NO HARI/TGL JUDUL ISI
21. Kamis, 18/5/06 Jangan Salahkan (Lagi) Berhenti menyalahkan Orba mengajak
Orde Baru kita melupakan kesalahan Orba. Berhenti
menyalahkan Orba adalah ajakan untuk
melihat sumber ketidakmampuan
menyelesaikan hal-hal yang buruk pada
diri sendiri.
22. Minggu, 21/5/06 Kwik Kian Gie: Bangsa Meskipun Indonesia sudah menjadi
Ini Belum Merdeka bangsa yang merdeka, namun ceng-
keraman asing pada bangsa ini belum
hilang. Bahkan, penguasaan pihak asing
pada sumber daya alam Indonesia
semakin besar.
23. Senin, 22/5/06 Reformasi Hukum Bak musim semi, situasi hukum di
Sebatas Jargon Semu Indonesia pasca-Orde Baru kian marak
oleh lembaga hukum dan gembor-gembor
penegakan hukum. Sayangnya, imple-
mentasi yang lemah menjadikan pene-
gakan hukum sebatas jargon yang semu.
24. Rabu, 24/5/06 Peradilan Tetap Saja Delapan tahun berlalu, reformasi belum
Korup membawa perubahan signifikan di bidang
peradilan. Peradilan masih korup, mafia
peradilan merajalela. Perubahan yang
terjadi masih di atas kertas. Pengawas
eksternal yang diharap mampu
menghadirkan checks and balance pun
ibarat senapan tanpa peluru.
25. Senin, 19/6/06 Keresahan di Balik Kuatnya kecenderungan penguasaan
Ormas wacana publik oleh sejumlah organisasi
massa lewat aksi-aksi kerasnya menun-
jukkan lemahnya negara. Namun, kecen-
derungan itu juga menunjukkan kian
menipisnya kesadaran kebhinnekaan
Indonesia dan makin sempitnya ruang
demokrasi. Publik pun berharap, inilah
saatnya negara menunjukkan kekuasaan
untuk menata kembali kehidupan
demokrasi.
26. Jumat, 14/7/06 Kesadaran Elite pada Lembaga Ketahanan Nasional atau
Pancasila Menipis Lemhannas menilai kesadaran dan
penghayatan akan pentingnya Pancasila
sebagai ideologi dan pandangan hidup
bangsa semakin menipis, terutama di
kalangan elite bangsa.
27. Selasa, 8/8/06 Premanisme Politik Sampai kapan kita harus mengurut dada
menyaksikan premanisme politik di
negara ini? Sepertinya kita tidak mau
memperbaiki situasi bangsa yang terus
mendatangkan prihatin.
28. Selasa, Refleksi Dua Tahun Apakah pemeritahan SBY-JK dapat
17/10/06 Pemerintahan SBY-JK meningkatkan kinerja lebih baik lagi pada
sisa pemerintahannya? Jawabannya:
hampir dapat dipastikan sangat sulit
untuk tidak mengatakan hampir mustahil.
Itu, terutama, disebabkan sistem
pemerintahan yang rancu.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 269
Tabel 3.12.
Pemberitaan Surat Kabar Australia pada tahun 2006 yang dapat mencitrakan
kondisi Indonesia tidak menyenangkan
NO. SK/HARI/TGL JUDUL ISI
1. The Australian, It is Islamic Fascism For the danger comes from what one
Monday, 14/08/06 (London's strike reminds would have hoped were the socially
us we are at war with integrated children of Muslim immigrants,
Muslim totalitarians, millions of whom have settled in western
warns Stephen Morris) Europe and hundreds of thousands in
Australia. Although radical Islam is out
military as powerful as Nazi Germany or
Soviet Union. It has the huge strategic
advantage of suicide bombing, which is
immune to deterrence.
2. Herald Sun, Warrior of the Right that Islam has nothing to offer the world
Monday, 28/08/06 but destruction. Muslims are the
legitimate target of jokes and calls for
obliteration. Westerners must rush to
breed more children because Muslims are
breeding like toxic rabbits. Britain is
doomed because Muslims there identify
primarily with Islam rather than Britain.
while 81% consider themselves Muslim
first. This becomes evidence for Steyn
that Islam is dangerous.
3. Herald Sun, Don't Bring up Children Since the Bali bombings and 9/11,
Monday, 28/08/06 to Hate Muslims have been seen as extremist
terrorists. They have been spat at,
assaulted, jeered and shunned. While we
need to counter terrorism, we also need
to protect innocent moderate Muslims,
ordinary Australians doing what ordinary
Australians do.
4. Herald Sun Terror Breeds Recruits It is age. Australia. Like other Western
nations attacked by radical Islamic
terrorists, has a rapidly ageing population.
The Problem is that Western societies
are not breeding at a fast enough rate,
while the Muslim countries are breeding
many more potential haters. While Muslim
countries and communities grow in size.
Meanwhile Australia, like Japan, is
remarkably affluent and breeding at a
lower rate than we could be and,
certainly, lower than the rate in Islamic
nations, where hatred of our societies is
growing.
5. The Age, Court Slams 'Farcical' The list also includes 13 dead or captured
Friday 01/09/06 ban on contacting alleged terrorists. ..Agus Dwikarna, an
Bin Laden Indonesian with links to Al-Qaeda
currently. Riduan Isamuddin (aka
Hambali), regarded as the Osama Bin
Laden of Asia, this Indonesian terrorist
has been in US custody since 2003.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 271
memberikan informasi yang lengkap tentang konsep yang dimaksud
dengan kebebasan informasi dalam kerangka mewujudkan pemerintahan
terbuka menuju tatanan pemerintahan yang baik (good governance).
Sekalipun demikian akurasi persepsi tergantung dari kemampu-
an orang melihat suatu realitas, karena sebagaimana dikemukakan
Koalisi dalam memperjuangkan adanya undang-undang kebebasan
memperoleh informasi publik terdapat persepsi yang keliru tentang
keterbukaan, termasuk keterbukaan informasi dan keterbukaan proses
pengambilan keputusan. Persepsi bahwa keterbukaan mendorong
akulturasi negatif yang merugikan masyarakat, mengancam kedaulatan
negara dan bangsa, menyuburkan suasana ketidakamanan, dan
menghambat penegakan hukum.
Koalisi berusaha menghilangkan kekeliruan persepsi dan
pencitraan melalui penjelasan pemikiran dalam sebuah rancangan
undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik. Di dalam
konsiderannya disebutkan bahwa kebebasan memperoleh informasi
publik merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu ciri
terpenting dalam negara hukum yang demokratis untuk mewujudkan
pemerintahan yang terbuka, serta mengoptimalkan pengawasan publik
terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna mendorong
pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Kebebasan memperoleh informasi juga bukan kebebasan yang
sebebas-bebasnya tanpa aturan. Dalam satu rancangan pasal dikemuka-
kan informasi yang dikecualikan untuk dibuka yaitu apabila akan
menimbulkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak diinginkan seperti
menghambat atau mengganggu proses penegakan hukum, merugikan
perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan persaingan usaha
sehat, membahayakan pertahanan dan keamanan nasional. (Koalisi 2003
: 109-110,125-126).
Tatanan pemerintahan yang baik atau good governance akan
memiliki citra yang baik karena good governance (Dwipayana, 2003 : 6-12)
merupakan cara pandang baru terhadap pemerintahan di era 1990-an
akibat proyek demokratisasi yang berkembang luas di dunia. Pandangan
yang menempatkan pemerintah sebagai kekuatan segala-galanya sudah
kehilangan pengaruh. Semangatnya adalah governance, meskipun
pemerintah selaku institusi tidak ditinggalkan. Governance dipahami
Tabel 3.13.
Development of Government Between 1850 and the Present
MID-19TH CENTURY PRESENT
Size and nature of state functions Nightwatch state Welfare State
Dominating governance strategy Laissez-faire state Interventionist state
Dominant governance model Repressive governance Preventive and
caring governance
Type of public organization Collegial and parochial Bureaucratic and
complex
Distribution of power Mainly with governing Sharedat leastwith
political bodies Bureaucracy
Sumber: Reprinted with permission from A. Van Braam (in cooperation with M.L.
Bernelmans-Videc), Leerboek Bestuurskunde (Muiderberg: Coutinho, 1986),
hlm. 351
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 273
Upaya yang dilakukan Koalisi memperjuangkan lahirnya Undang-
undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang bertujuan mem-
bangun pemerintahan yang terbuka menuju tatanan pemerintahan yang
baik (good governance) dapat membangun citra yang baik bagi Indonesia.
Citra dibangun oleh suatu realitas dan persepsi terhadap realitas.
Sekalipun citra tidak selalu harus sesuai dengan realitas, tetapi citra
diperoleh dari persepsi tentang realitas. Citra Indonesia yang terpuruk
setelah krisis ekonomi tahun 1997 kemudian membawa keterpurukan di
bidang politik dan sosial budaya telah memunculkan kekuatan reformasi
dengan sasaran yang luas. Tuntutan reformasi menguat dan mengkristal
dalam bentuk tuntutan mempercepat pemilu, mengubah UUD 1945,
mengadili Soeharto, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme,
sebagai jalan untuk mengakhiri krisis.142
Krisis ditandai dengan kondisi kehidupan keseharian bangsa
Indonesia yang memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin dan
penganggur bertambah akibat pemutusan hubungan kerja.
Ketimpangan, kecemburuan, ketegangan, dan penyakit sosial lainnya
makin menggejala, seperti dinyatakan dalam Ketetapan MPR nomor
X/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi
Kehidupan Nasional.143
Kehidupan keseharian sebagaimana dikemukakan Berger (1990:
31,33,xxi) memberikan kesadaran yang paling masif, mendesak, dan
mendalam. Kehidupan keseharian yang tidak menyenangkan karena
negara sebagai lembaga terbesar dalam struktur objektif tidak memberi-
kan rasa aman kepada individu-individu dan individu-individu
mengalami pengasingan, maka desakan untuk melakukan perubahan
cepat terjadi. Sekalipun realitas bagi seseorang dalam menghadapi
kehidupan itu berbeda dengan realitas bagi orang lain, tetapi menurut
Berger seseorang dan orang lain yang hidup dalam suatu dunia bersama
akan terdapat penyesuaian yang terus menerus antara makna-makna
seseorang dengan orang lain dan mempunyai kesadaran bersama tentang
kenyataan di dalamnya.
142
Jakob Tobing. 2002. Pengantar Materi Sosialisasi UUD 45 Hasil Amandemen. Makalah
143
Departemen Penerangan RI. 1998. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 275
mengubah citra secara drastis bahwa pemberantasan KKN dapat
mengatasi keterpurukan Indonesia.
Koalisi semenjak berdiri tahun 2000 terus menerus melakukan
pengkajian, lobi, dan kampanye, dengan memunculkan tema-tema:
kebebasan memperoleh infomasi adalah hak asasi manusia, prasyarat
bagi pemerintahan terbuka, perluasan demokrasi, karena demokrasi
bukan hanya kebebasan untuk memilih dan dipilih, tetapi juga
kebebasan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, dan turut mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan.
Upaya Koalisi tidak hanya ditujukan kepada masyarakat
Indonesia, tetapi juga kepada masyarakat dan pemerintahan di luar
negeri. Koalisi mengemukakan kondisi Indonesia sebagaimana pihak
lain mengetahui melalui media massa, termasuk media massa
transnasional. Sekalipun Koalisi mengemukakan kondisi Indonesia yang
sarat dengan KKN, pemerintahan tertutup atau otoriter, tetapi Koalisi
juga mengemukakan jalan keluarnya untuk mengatasi keterpurukan
yaitu memperjuangkan diundangkannya Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik sehingga Indonesia menjadi negara yang
berpemerintahan terbuka, demokratis, dan menghormati hak asasi
manusia. Upaya yang baik, terarah, dan terprogram, untuk mengatasi
keterpurukan, dan dengan tidak menutup-nutupi keterpurukan, tidak
memoles, sebagai bentuk kegiatan public relations untuk membangun
citra baik sebagaimana dikemukakan Jefkins (2004: 23) bahwa citra public
relations yang ideal adalah kesan yang benar, sepenuhnya berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang
sesungguhnya.
Citra yang baik dapat dimunculkan kapan saja, termasuk
terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk dengan menjelaskan secara
jujur yang menjadi penyebabnya. Apalagi dengan mengemukakan
rencana dan program yang terarah untuk mengatasi keterpurukan
dengan tema-tema yang sesuai dengan tema yang diperjuangkan
masyarakat internasional, seperti kebebasan memperoleh informasi,
perlindungan hak asasi manusia, demokratisasi, pemerintahan terbuka,
tatanan pemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana
diperjuangkan Koalisi.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 277
everywhere in the world the fact 90% of people response to the president
elected is amazing. Democratic processes at the Kabupaten level is still
developing I think Bupati in general still imagine that they have powerful
or that they are free as the old days I imagined that, gratefully in last
years Bupati are realizing that the are not the kings in the little kingdom
but they are simply the elected candidates by people and they are
answered to the people for the governance of economic opportunity.144
144
Wawancara dengan Akademisi dari School of International Studies. Faculty of Arts. Deakin University, 4
Desember 2006.
Hannan, Senior Lecturer for Visual arts and film, Monash University,
menyatakan bahwa situasi Indonesia setelah reformasi lebih baik
dibandingkan zaman Suharto. Kalau orang Australia tahu akan ada
kebebasan memperoleh informasi di Indonesia mereka akan setuju.
145
Wawancara dengan Senior Asian Libarrian. Asian Studies Research. Monash University. 15 November 2006.
146
Wawancara dengan Postdoctoral Fellow Centre of Southeast Asian Studies. Monash University. 22 November
2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 279
Beliau menyampaikan penjelasan dalam bahasa Inggris bercampur
dengan bahasa Indonesia, karena beliau dapat berbicara bahasa
Indonesia. Dikatakannya :
Situasi sekarang lebih baik dari jaman Suharto, I think so definitely.
saya rasa kalau orang tahu akan ada freedom of information di
Indonesia, mereka akan setuju, tetapi mereka tidak tahu but
now, I think orang-orang yang pergi ke Indonesia mendapat kesan
sangat baik mengenai Indonesia. My experience in Indonesia when I
am working on a program very positive exsperience.147
147
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash Univesity. 20 November 2006.
148
Wawancara dengan Guru Besar pada Asia Institute. The University of Melbourne. 29 November 2006.
149
Wawancara dengan Senior Asian Libarrian. Asian Studies Research Monash University. 15 November 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 281
Hannan mengemukakan bahwa masalah bagi orang Australia di
Indonesia karena terjadinya bom Bali. Peledakan bom di depan
Kedutaan Besar Australia, bom Bali pertama, kemudian bom Bali kedua,
membuat masyarakat Australia ketakutan sehingga turis dari Australia
ke Indonesia turun drastis.
Inggris bercampur bahasa Indonesia :
The problem in Australia must be Indonesian, oleh karena ada Bali
bombing di depan Kedutaan Besar Australia. Banyak orang
Australia yang berlibur ke Bali turun drastis, ternyata bukan
sesudah bom pertama, tetapi sesudah bom kedua, beberapa anak
Australia tewas. Well you know ada dua insiden di Bali dan
dianggap bahwa kerjasama antara Australian territory police dan
Indonesian police untuk menangkap Imam Samudera, Amrozy lalu
Dr. Azhari itu sangat baik dan ini contoh untuk dunia
internasional because Amerika belum bisa menangkap Osama bin
Laden. Kebanyakan orang Australia tahu bahwa hanya kalangan
kecil yang mau meledakkan bom dan membunuh orang asing
tetapi juga ada mereka yang tidak tahu apa-apa yang merasa nanti
Indonesia menjadi negara Islam fundamental, I don't think
Indonesia will, but there may be more terrorist, mungkin tetapi rakyat
biasa tidak mau, dan Abu Bakar Baasyir keturunan Arab.150
150
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash University. 20 November 2006.
151
Wawancara dengan Akademisi dari School of International Studies. Faculty of Arts. Deakin University. 4
Desember 2006.
152
Wawancara dengan Postdoctoral Fellow Centre of Southeast Asian Studies. Monash University. 22 November
2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 283
that at the top level is amazing yaya and that's definitely for me very
negative.153
153
Wawancara dengan Senior Asian Librarian. Asian Studies Research. Monash University. 15 November 2006.
154
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash University. 20 November 2006.
155
Wawancara dengan Akademisi dari School of International Studies. Faculty of Arts. Deakin University. 4
Desember 2006.
156
Wawancara dengan Senior Asian Librarian. Asian Studies Research. Monash University. 15 November 2006.
157
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash University. 20 November 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 285
Arief Budiman, mengemukakan pengamatannya tentang
pemberita-an oleh media di Indonesia mengenai kondisi Indonesia,
bahwa media di Indonesia dengan segala biasnya sudah baik Kalau
pemberitaan di media ada bias, kalau pembingkaiannya ditentukan
pengusaha, media bisa dikoreksi oleh masyarakat. Dinyatakan Arief
Budiman :
Media Indonesia kalau menurut saya dengan segala biasnya
sudah bagus. Kalau kita melihat dari zaman Suharto, Habibie, Gus
Dur, Megawati, sekarang sudah menarik sekali dan SBY nggak
keras kalau dikritik. Media itu bisa dikoreksi sebagaimana DPR
melalui demo-demo, kalau misalnya pemberitaan media bias,
medianya perlu didemo juga. Perlu dikoreksi oleh masyarakat.
Jadi memang masyarakat langsung mengadakan kritik terhadap
medianya, saya kira itu yang terbaik, ke pemerintahnya juga, ke
medianya juga.158
158
Wawancara dengan Guru Besar pada Asia Institute. The University of Melbourne. 29 November 2006.
159
Deplu RI. Kajian Politik Luar Negeri, Pokok-pokok Hasil Pertemuan Kelompok Ahli, tentang Arah Kebijakan
Hubungan RI-Australia di bidang Politik dan Keamanan. 17-18 Mei 2006. Melalui: <http://
www.deplu.go.id.>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 287
terjadinya tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan oleh orang
Indonesia sendiri. Sekalipun demikian, dari sisi pengembangan
demokrasi mereka menaruh harapan bahwa apabila demokrasi di
Indonesia dikembangkan dengan baik, lambat laun Indonesia dapat
mengatasi persoalan yang dihadapi.
Gambaran lain tentang citra Indonesia setelah reformasi dapat
diketahui dari tanggapan Pejabat Kedutaan Besar Malaysia di
Indonesia, yaitu Dr. Junaidi Abu Bakar, Director Malaysian Student
Department, Penasihat Pendidikan pada Kedutaan Besar Malaysia.
Tanggapan Junaidi terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial budaya
Indonesia serta masalah hubungan bilateral Indonesia Malaysia dan
peran NGO di Indonesia dalam hubungan Indonesia Malaysia
dikemukakan dalam bahasa Melayu, sekali-sekali ada kata-kata yang
diucapkan dalam bahasa Inggris
Menurut Junaidi, kondisi politik Indonesia setelah reformasi
ditunjukkan oleh partisipasi rakyat yang lebih terbuka, dan media serta
NGO telah diberi ruang untuk melakukan perubahan. Secara tidak
langsung mereka telah mengembangkan konsep demokrasi, sekalipun
terdapat sisi negatifnya karena terkadang rakyat terus menegur
pemerintah sehingga tidak ada peluang bagi pemerintah untuk
merencanakan sesuatu.
Selepas kepemimpinan baru Habibie, Gus Dur, Megawati, Pak
Bambang, kita dapati bahwa partisipasi rakyat itu lebih terbuka dan
media itu pun, NGO juga telah diberi ruang untuk melakukan suatu
perubahan dan juga media ikut peduli, salah satunya yang kita lihat
Metro TVsecara tak langsung dia telah mengembangkan konsep
demokrasi. Cuma dari segi negatifnya dia tidak memberi peluang
kepada pemerintah untuk merencanakan sesuatu. Sepatutnya
kepada pemerintah diberi peluang untuk melaksanakan perbaikan.
Apabila rakyat terus menegur, media terus menegur, kadang
merugikan rakyat sendiri.160
160
Wawancara dengan Penasihat Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia, tgl. 18 April 2007.
161
Ibid
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 289
mengganggu hubungan kedua negara. Masyarakat Malaysia
sangat mengharapkan TKI. Kalau tak ada orang Indonesia siapa
pembantu rumah. Industri kita akan lumpuh Orang Malaysia tak
ada lagi yang jadi pembantu rumah tangga, tak ada lagi yang
bekerja di ladang-ladang. Media di Indonesia perkara kecil pun
dibesar-besarkan. Macam masalah Ambalat, sebenarnya tak ada
apa-apa. Ditulisnya Indonesia sanggup berperang, macam itulah.
Sebenarnya tak betul. Kedua belah pihak telah setuju kita tidak
bawa ke Mahkamah antar Bangsa. Menteri Pertahanan sudah
runding, tetapi kadang kala media mengambil kesempatan.162
162
Ibid
163
Ibid
164
Ibid
165
Ibid
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 291
selama dua atau tiga tahun. Gerakan reformasi dinilainya bagus tetapi
pemerintahan reformasi harus diberi peran sebaik-baiknya. Rakyat
harus memberi kesempatan kepada yanag baru untuk berperan.
Dinyatakannya sebagai berikut :
Menteri-menteri di sini orang-orang yang hebat-hebat, tetapi
kadang kala mereka tidak bisa berbuat apa-apa, tekanan, desakan,
berbuat sedikit ditegur, itu tak bisa ambil peran. Di Malaysia ada
rancangan, di sini pun ada tetapi tak jelas. Rakyat tak pernah
question apa yang pemerintah buat, tetapi di sini tidak bisa.
Pemerintahan itu tak bisa kita lihat dua tahun, tiga tahun. Kita
melihat bagus reformasi, tetapi yang baru harus diberi peran
sebaik-baiknya. Secara teori pemimpin itu orang yang dipilih
rakyat, kita harus beri kepercayaan. Dari segi komunikasi
politiknya rakyat harus memberi kepercayaan kepada pemerintah,
tak boleh sembarang komentar, karena punya justifikasi sendiri .166
166
Ibid
167
Tempo Interaktif. Makassar Bentuk Front Ganyang Malaysia. Sabtu, 5 Maret 2005 Melalui:
http//www.tempointeraktif.com
168
Republika. Malaysia Minta Jalur Diplomasi. Jumat, 4 Maret 2005.
169
Kompas, Malaysia Tidak Akan Klaim Wilayah Milik Indonesia. Sabtu, 5 Maret 2005.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 293
Reaksi Pemerintah Malaysia pun dimuat surat kabar Malaysia,
antara lain sebagai berikut:
Malaysia dan Indonesia, Isnin bersetuju bahwa isu peng-
anugerahan konsesi minyak di Laut Sulawesi oleh Petronas
diselesaikan melalui perbincangan. Perbualan itu dicapai dalam
satu perbualan telefon antara Perdana Menteri Datuk Seri
Abdullah Ahmad Badawi dengan Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono.
Jakarta mendakwa kedua-dua blok itu yang dianugerahkan oleh
Petronas dan terletak berhampiran Pulau Sipadan dan Ligitan
kepunyaan Malaysia, sebagai kepunyaannya. Wisma Putra
bagaimanapun menyatakan bahawa kedua-dua blok tersebut
iaitu ND 6 dan ND 7 yang terletak di perairan Laut Sulawesi
adalah milik Malaysia seperti yang termaktub di dalam Pentas
Benua dan Wilayah Perairan Malaysia 1979.
Indonesia dilaporkan telah menghantar beberapa buah kapal
perang ke kawasan perairan terbabit sejak beberapa hari lepas.
Syed Hamid berkata Malaysia turut menempatkan dua buah
kapal perangnya di perairan berkenaan bagi tujuan mengawasi
dan meronda kawasan perairan negara.170
170
Agenda Daily. Malaysia dan Indonesia setuju bincang isu konsesi minyak di Laut Sulawesi. Melalui:
http://www.agenda daily.com/cms/content.jsp?id=com.tms.cms.article.Article_ 5d535255 -
ca9db1dO-8aaff400-eb577cdO
171
Paparan Lisan Menteri Luar Negeri RI. opcit.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 295
berkomunikasi dengan aktor-aktor non-pemerintah dan publik
di dalam negeri.172
172
Hassan Wirajuda. op. cit
173
Diamond dan Mc Donald. op cit.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 297
Informasi yang benar, dan lengkap, tentang suatu kebijakan,
masalah, kondisi senyatanya, terutama tentang kondisi perikehidupan
bangsa, dapat diperoleh apabila terdapat institusi pemerintah yang
memiliki kemampuan untuk mengetahui, memperoleh, mengolah, dan
menyimpan informasi, sehingga menjadi sumber informasi terpercaya
(focal point) dan dapat mendiseminasikan informasi kepada pihak-pihak
yang memerlukan. Pelaksanaan diplomasi publik oleh pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan174 dapat mengintegrasikan
dan menyinergikan pelaksanaan diplomasi publik oleh berbagai elemen
masyarakat melalui sistem pelayanan informasi yang terintegrasi dan
berstruktur sehubungan adanya hierarki pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah juga dapat memberdayakan elemen-elemen
masyarakat untuk melaksanakan diplomasi publik dengan memberikan
kewenangan atau mendorong memberikan motivasi. Dalam era revolusi
di bidang teknologi informasi, elemen masyarakat yang menjadi aktor
nonnegara mempunyai peranan penting dalam diplomasi publik,
bahkan dapat lebih menentukan daripada aktor negara, sebagaimana
dikemukakan Perwita dan Yani (2005:10-11):
Perubahan pada aktor diindikasikan dengan perubahan
(bertambah atau berkurangnya) jumlah dan sifat aktor hubungan
internasional. Di samping terjadinya penambahan aktor (negara)
terjadi pula penambahan secara signifikan pada jumlah aktor non-
negara (non state actors). Bahkan dalam beberapa kasus tertentu,
peran aktor non-negara jauh lebih penting daripada aktor negara.
174
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 4. ayat (1). Jakarta. hlm. 60
175
Seong Hun Yun. 2006. Toward Public Relations Theory-Based Study of Public Diplomacy: Testing the
Applicability of the Excellence Study. Journal of Public Relations Research. 18 (4): 289-312, Manhattan.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 299
sasaran khalayak yang dituju, juga memperhatikan dan mengolah
umpan balik dari sasaran khalayak yang dituju. Berdasarkan penjelasan
di atas, maka model diplomasi publik dengan menggunakan dimensi
tujuan yang bersifat two-way symmetrical dibagi dalam dua model yaitu
model diplomasi publik dengan sistem pelayanan informasi terintegrasi
dan berstruktur, serta model diplomasi publik dengan sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik. Jika dianalisis kembali bagaimana
model yang tepat dan adaptif untuk implementasi suatu kegiatan
diplomasi ternyata di dalamnya harus dilengkapi dengan instrumen
kegiatan-kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah ini setidaknya dapat menjadi
jembatan menuju persamaan pemikiran, serta pendekatan secara
personal akan terasa lebih terbuka. Dengan demikian manfaatnya (out
come) akan mampu menghasilkan pembangunan citra Indonesia secara
lebih mendasar, dan jika dikaitkan dengan temuan proposisi sebelumnya
bahwa unsur hubungan personal menjadi salah satu instrumen penting
dalam sebuah diplomasi antar negara, maka perlu terdapat kegiatan
ilmiah yang dimotori dan dielaborasi secara antarpersonal juga.
Dari temuan dan pembahasan pada bagian ini maka dapat penulis
rumuskan proposisi yang ditujukan untuk memberikan penguatan
ilmiah terhadap model diplomasi publik yang mampu membangun citra
Indonesia, yaitu: Diplomasi publik yang menggunakan pendekatan
sistem hubungan personal yang diwujudkan melalui aktivitas personal
dengan subjek bahasan dan produk pemikiran ilmiah, merupakan
sistem baru yang harus diadopsi dan dikembangkan oleh pelaku-pelaku
diplomasi publik dalam konteks hubungan internasional. Proposisi ini
dapat penulis kemukakan untuk semua praktisi diplomasi yang selama
ini memang belum optimal memperoleh keberhasilan dalam upaya
pencitraan bangsa Indonesia dalam percaturan internasional.
176
Menteri Luar Negeri RI. Paparan Lisan Pernyataan Pers Akhir Tahun. tanggal 7 Januari 2002.
177
Deplu. Op cit: Melalui: http://www.deplu.go.id.
178
Balai Pustaka. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. hlm. 944, 383, 512, 524.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 301
Definisi ini merepresentasikan interaksi antara pengirim dan
penerima komunikasi, kerjasama antara pengirim dan penerima, dan
memfasilitasi untuk saling beradaptasi satu sama lain. Atau seperti yang
dirumuskan Zawawi (2004:7) bahwa public relations adalah manajemen
strategik dan etik komunikasi serta hubungan dalam rangka membangun
dan mengembangkan koalisi dan kebijakan, untuk memperoleh manfaat
dalam kerangka tanggung jawab sosial, sebagaimana dikemukakan
sebagai berikut :
Public relations as the ethical and strategic management of
communications and relationships in order to build and develop
coalitions and policy, identify and manage issues and create and direct
messages to achieve sound outcomes within a socially responsible
framework.
179
Wolf Jr. and Rosen. op cit. hlm. 3.
180
Diamond dan Mc. Donald. op cit.
181
Wikipedia: Indonesia. Melalui: <http://www.id.wikipedia.org/wiki/indonesia>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 303
Konektivitas yang dimaksud adalah akses material dan fisik terhadap
infrastuktur dan jasa informasi global. Capacity building adalah
membangun kapasitas melalui investasi di bidang pendidikan dan
pelatihan untuk pengembangan dan penerapan teknologi informasi.
Masalah content selain dalam bahasa asing diperlukan pula muatan lokal
sesuai dengan budaya seempat. Legal Framework, selain diperlukan
institusi yang ditunjuk untuk menangani koordinasi dan kerjasama
antarpihak yang berkepentingan diperlukan juga peraturan perundangan
yang mendukung. Saat ini di Indonesia belum ada institusi pemerintah
yang ditunjuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk
menyinergikan informasi baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Upaya pemerintah untuk mengkoordinasikan dan menyinergi-
kan informasi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pemerintahan dengan memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat,
menyediakan akses kepada publik secara lebih luas dan menyelenggara-
an pemerintahan yang bertanggung jawab melalui teknologi informasi,
disebut dengan istilah electronic government (E-Government). Bank Dunia
(2002) memberikan definisi E-Government refers to the use of information
and communication technologies to improve the efficiency, effectiveness,
transparency and accountability of government.182 Dikemukakan pula oleh
Holmes (2001:2) bahwa Electronic Government, or e-government is the use of
information technology, in particular the internet, to deliver public services in a
much more convenient, customer-oriented, cost-effective, and altogether different
and better way.
Untuk pengembangan e-government, pemerintah telah
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang kebijakan
dan strategi nasional pengembangan e-government. Dalam uraian tentang
tuntutan perubahan, antara lain dikemukakan bahwa Indonesia tengah
mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara
fundamental menuju ke sistem pemerintahan yang demokratis
transparan serta meletakkan supremasi hukum. Penataan berbagai segi
kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi pada lingkungan kehidupan
antarbangsa yang semakin terbuka, dimana nilai-nilai universal di
bidang ekonomi dan perdagangan, politik, kemanusiaan, dan kelestarian
182
Eddy Satrya, Pentingnya Revitalisasi E.Government di Indonesia. Melalui: http://www. goodgovernance-
bappenas.go.id/archive_wacana/kliping_wawasan/klipwsn, hlm. 2.
183
Sekretariat Kabinet. Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional
pengembangan E-Government. Melalui: <http://www.theceli.com/dokumen/produk/lain/inpres3-
2003.htm>
184
Eddy Satrya, Pentingnya Revitalisasi E.Government di Indonesia. Melalui: http://www. goodgovernance-
bappenas.go.id/archive_wacana/kliping_wawasan/klip_wsn hlm. 3.
185
Deptan: Kebijakan Pembangunan Pertanian tahun 2007. Diakses Melalui: <http://www.deptan.go.id>
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 305
Mencermati kondisi infrastruktur yang masih lemah di Indonesia
yang merupakan persyaratan untuk terjalinnya konektifitas serta
dukungan peraturan perundang-undangan yang belum memadai dan
belum adanya lembaga penanggungjawab untuk mengkoordinasikan
dan menyinergikan informasi baik ke dalam maupun ke luar negeri,
maka sistem integrasi dan sinkronisasi layanan informasi dalam
diplomasi publik dapat dilakukan dengan model pelayanan informasi
terintegrasi yang berstruktur, yaitu integrasi dan sinkronisasi pelayanan
informasi baik ke dalam maupun ke luar negeri dikoordinasikan pada
tingkatan pemerintah pusat dan pada tingkatan masing-masing
pemerintah daerah. Hubungan dengan pemerintah negara lain tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah pusat tetapi juga oleh pemerintah
daerah, sehingga dapat dipahami apabila dalam konsep benah diri
Departemen Luar Negeri sebagaimana dikemukakan Umar Hadi, pejabat
Deplu juga sebaiknya ada yang ditempatkan di pemerintah daerah,
karena hubungan dengan pemerintah negara lain tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah daerah. Kondisi
tersebut dimungkinkan karena dalam sistem pemerintahan Indonesia
dikenal dengan pembagian wilayah pemerintahan, sebagaimana
tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa:
i. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai
pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang.
ii. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.186
186
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
187
Depdagri. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Melalui: http://www.depdagri.go.id.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 307
dikemukakan Diamond dan Donald, bahkan sepuluh jalur
sebagaimana dikemukakan Yasmi, termasuk jalur pemerintah
yang ditujukan kepada publik luar negeri dan dalam negeri
sebagai sasaran.
(b) Adanya hubungan (koneksitas) antara pemerintah pusat dalam hal
ini presiden dengan instansi pemerintah di tingkat pusat, presiden
dengan instansi non-pemerintah di tingkat pusat (ornop yang
bekerja sama dengan institusi di luar negeri), dan antara presiden
dengan pemerintah daerah. Presiden dapat menunjuk instansi
pemerintah di tingkat pusat yang bertugas mengoordinasikan dan
menyinergikan informasi pada tingkat pusat sebagai bahan
diplomasi publik. Demikian pula bagi gubernur, bupati, dan
walikota. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dilakukan antara institusi yang ditunjuk presiden di
tingkat pusat dengan institusi yang ditunjuk gubernur, bupati,
walikota di tingkat daerah. Institusi yang ditunjuk yang menjadi
focal point untuk mengoordinasikan dan menyinergikan informasi,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah belum ada.
(c) Adanya petugas yang memiliki kemampuan di bidang teknologi
informasi dan jabatan yang jelas untuk menunjukkan tanggung
jawabnya. Ketentuan bahwa pejabat hubungan masyarakat pada
instansi pemerintah sebagai pejabat fungsional diperlukan
pengembangan melalui pendidikan dan pelatihan.
(d) Adanya materi atau substansi masalah untuk diinformasikan.
Beragam potensi sumber daya alam yang dapat diolah menjadi
komoditi ekonomi, produk-produk unggulan daerah yang dapat
dijual ke luar negeri, kalau tidak terkoordinasikan dalam
penyampaian informasi, tidak akan terinformasikan secara luas
dan menyeluruh. Demikian pula informasi dalam hubungannya
dengan kegiatan internasional, apabila tidak terkoordinasikan,
peluang yang telah terbuka tidak akan dapat dimanfaatkan secara
baik. Sebagaimana dikemukakan Menteri Luar Negeri tentang
keberhasilan Indonesia menempati sembilan keanggotaan di
badan internasional dalam tahun 2006 yang merupakan wujud
apresiasi banyak negara terhadap Indonesia baru, tetapi ada
188
Kompas. 29 Desember 2006. hlm. 1 dan 15.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 309
S
Institusi P.R. U
B Pemerintah/
S
T Publik
Multitrack A
Pemerintah Luar
N
Pusat S Negeri
I serta
M Publik
A
Institusi P.R. S dalam
A Negeri
L
Multitrack A
Pemerintah H
Provinsi
Institusi P.R.
CITRA
Multitrack
Pemerintah
Kab/kota
Umpan Balik
189
Kompas. Kiprah LSM turut tentukan diplomasi pemerintah. 29 Agustus 2001. hlm. 6.
190
Wawancara dengan Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI. tgl. 13 Februari 2006.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 311
bersangkutan. Potensi untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan
dengan NGO atau masyarakat luar negeri masih besar tetapi terkendala
oleh dukungan anggaran yang tidak tersedia. Sekalipun demikian Koalisi
telah menunjukkan keberdayaannya melaksanakan diplomasi publik.
Konsep model diplomasi publik melalui sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik dimaksudkan sebagai konsep untuk
mengaktualisasi-kan potensi yang berupa kekuatan, kemampuan
Ornop atau kelompok masyarakat, atau merevitalisasi kemampuan
yang dimiliki yang dapat melaksanakan kegiatan diplomasi publik.
Sebagaimana definisi sederhana pemberdayaan menurut Vogt &
Murrell (1990: 8) sebagai berikut:
In simple definitional terms, the verb to empower means to enable, to
allow or to permit and can be concieved as both self initiated and
initiated by others. For social change agents, empowering is an act of
building, developing, and increasing power through cooperation,
sharing, and working together.
191
Redaksi Nuansa Aulia. 2006. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Yayasan. Nuansa
Aulia. Bandung. hlm. 33.
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 313
disinergikan dengan Renstra pemerintahan yang telah merumuskan
strategi diplomasi. Terkait dengan masalah tersebut, maka LSM/Ornop
bahkan kompetensi personal harus diberdayakan. Unsur-unsur yang
terlibat dalam diplomasi, terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan
pelatihan berkenaan dengan kebutuhan akan sertifikasi terhadap
kompetensi diplomasi publik di masa yang akan datang.
Proposisi yang dapat penulis rumuskan pada bagian ini bahwa
Model diplomasi publik yang ideal, mampu menyinergikan seluruh
kegiatan komponen masyarakat sebagai pelaku diplomasi serta
member-dayakannya melalui peningkatan kompetensi pelaku
diplomasi, dan mengembangkannya dalam sistem pendidikan dan
pelatihan yang dilaksanakan bersama departemen terkait.
Proposisi ini dapat dijadikan masukan bagi departemen luar
negeri yang selama ini belum optimal dalam memberdayakan dan
memberikan layanan dalam meningkatkan sistem pemikiran dan
kompetensi pihak LSM, NGO serta tokoh dan praktisi yang berpotensi
untuk diajak memperlancar diplomasi publik selama ini.
Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan upaya
pemerintah dan segenap pihak untuk memberdayakan LSM/Ornop.
Proses pember-dayaan menurut Pranarka dan Vidhyandika, 1996
(Hikmat, 2004 : 43-44) mengandung dua kecenderungan yaitu:
Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan,
dan kemampuan kepada masyarakat agar idividu yang
bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Proses
ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material
guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi (Oakley dan Mersden, 1984). Kecenderungan atau
proses yang pertama tersebut dapat disebut sebagai
kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua,
Kecenderungan sekunder, menekankan pada proses
menstimulasi atau mendorong atau memotivasi agar individu
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Sesungguhnya di antara kedua proses tersebut saling terkait.
Agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus
melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
Pemerintah RI :
Memberikan
Kekuasaan, Pemerintah
Kekuatan, dan dan Publik
Kemampuan
Luar Negeri
Program
LSM/NGOs Diplomasi CITRA
Publik
Publik
Pemerintah RI : Dalam
Menstimulasi, Negeri Diagram 3.6.
Mendorong atau Model Diplomasi Publik
Memotivasi
dengan Sistem Pelayanan
Informasi Pemberdayaan
Umpan Balik Publik
Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 315
Peranan pemerintah dan NGO dalam diplomasi publik dengan
model pelayanan informasi terintegrasi berstruktur dan model pelayanan
informasi pemberdayaan publik, dapat dilihat pada Tabel 3.14.
Tabel 3.14.
Peranan Pemerintah dan NGO dalam Dua Model Diplomasi Publik
MODEL I MODEL II
UNSUR (Pelayanan Informasi Terintegrasi (Pelayanan Informasi
Berstrukur) Pemberdayaan Publik)
Pemerintah pusat/Presiden dan pemerin-
< Memberikan atau mengalihkan
<
tah daerah membangun saluran informasi sebagian kekuasaan, kekuatan,
(koneksitas) dengan lembaga pemerintah dan kemampuan kepada masya-
di tingkat pusat dan daerah serta lembaga rakat/Ornop agar menjadi lebih
non-pemerintah di tingkat pusat dan berdaya (survival of the fittes).
daerah (Ornop yang bekerjasama dengan < Menstimulasi atau memotivasi
institusi di luar negeri) secara berstruktur. masyarakat/Ornop supaya mem-
Pemerintah pusat dan daerah menunjuk
< punyai kemampuan dalam
lembaga untuk menampung, mengolah melaksanakan diplomsi publik.
dan menyampaikan informasi serta < Mengidentifikasi Ornop yang
berfungsi sebagai focal point. memiliki potensi untuk melaksa-
Menggunakan teknologi informasi dan
< nakan diplomasi publik.
petugas yang menguasai teknologi < Mengupayakan legitimasi politis,
informasi. legalitas, peningkatan profesio-
Pemerintah Pemerintah menyediakan perangkat
< nalisme, serta bantuan finansial
kerja legal berupa peraturan perundang- kepada Ornop agar berdaya
undangan. melaksanakan diplomasi publik.
Mewujudkan pelayanan informasi one
<
stop information service untuk kepenting-
an dalam negeri dan luar negeri.
<Institusi/lembaga yang ditunjuk bertang-
gungjawab mengintegrasikan dan men-
sinergikan informasi baik ke dalam mau-
pun ke luar negeri.
<Menyediakan akses yang lebih luas
melalui teknologi informasi (electronic
government) dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pelayanan
informasi.
* * *
* * *
Ari Dwipayana, AAGN dan Sutoro. Eko. 2003. Membangun Good Governance di
Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE).
Agus Salim, penyunting. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran
Norman K. Denzin dan Egon Guba, dan penerapannya). Yogyakarta: Tiara
wacana Yogya.
Anak Agung Banyu Perwita dan Y. M. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abidin, H. dan M. Rukmini (ed). 2004. Kritik dan Saran Otokritik LSM,
Membongkar Kejujuran dan Ketebukaan Lembaga Swadaya Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Piramedia.
Banks, K.F. 2002. Crisis Communications, A Case book Approach. Second Edition.
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Barston, R. P. 1997. Modern Diplomacy. Second Edition. Longman, London and
New York.
Baylis, J. Dan S. Smith (ed). 2001. The Globalization of Word Politics, an Introduction
to International Relations. Second Edition. Oxford University.
Berger, Peter. L dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan.
Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Jurnal:
Awani Irewati. 2002. Faktor Internal yang Mempengaruhi Kepercayaan Luar
Negeri, Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional. P2P LIPI: hlm. 15.
Cincotta, Howard. 2003. Thoughts on Public Diplomacy and Integration.
Melalui: <http://www. publicdiplomacy. org/3. htm>
Fulton, Barry. 1998. Reinventing Diplomacy in the Information Age. Final Draft.
Project Cochair Richard Burt and Olin Robinson. CSIS.
* * *
Indeks 333
241, 242, 245, 260, 313 Dewan International Telecommu-
Bank Dunia, 2, 76, 258, 304 nication Union 2006-2010, 7
Barston, 19, 52, 247 Dharmawan, 10, 79
Baylis and Smith, 34, 35 Diamond, 50, 211, 233, 297, 302, 303,
belief, 74 308
Ben Perkasa, 234 Dili, 20
Berger, 23, 24, 25, 274 Diplomatic Encounter, 39
bernegosiasi, 20, 30 DPR, 43, 90, 100, 102, 103, 104, 106,
Bill Clinton, 180 109, 111, 112, 114, 116, 117,
biologis, 28 118, 119, 120, 122, 123, 124,
bom Bali, 221, 278, 280, 282 126, 127, 128, 130, 131, 132,
Boulding, 79, 80, 275, 287 133, 134, 136, 141, 142, 143,
BPS, 2, 3, 170, 184 144, 145, 146, 148, 150, 151,
153, 154, 157, 158, 164, 167,
168, 169, 170, 171, 172, 178,
181, 182, 184, 185, 186, 190,
C 191, 207, 212, 248, 249, 250,
catalytic diplomacy, 37 251, 254, 255, 261, 264, 267,
Centre for Electoral Reform (CETRO), 277, 280, 286, 297, 302
9 Dr. Azhari, 221, 282
Cetro, 133, 134 Dr. N. Hassan Wirajuda, 44, 225, 227
Charles Cooley, 27 draf RUU Rahasia Negara oleh
check and balance, 90 Pemerintah, 110
citra positif, 17, 18, 59, 69, 165, 231,
232, 278, 281
Coombs's, 58 E
CSIS, 20, 47, 134
E-Government, 304, 305
CTF, 220
ekonomi, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 33, 34, 36,
Culbertson dan Ni Chen, 66, 68, 69
37, 38, 41, 42, 50, 51, 69, 79,
82, 93, 95, 163, 182, 183, 184,
187, 199, 209, 210, 211, 213,
D 214, 215, 220, 226, 228, 229,
Davis, 55, 56, 65, 80, 252, 301 230, 233, 234, 237, 243, 244,
Dean Gullion, 41 259, 263, 267, 269, 274, 275,
Departemen Luar Negeri, 5, 6, 7, 20, 288, 289, 291, 292, 296, 302,
21, 22, 31, 44, 104, 120, 208, 303, 304, 308
209, 210, 211, 212, 223, 224, eksternalisasi, 24
226, 230, 231, 236, 237, 243, epistemic community, 9
244, 245, 246, 295, 297, 301,
306, 311
DeVito, 84
Indeks 335
Interaksionisme, 26, 27, 28 Kean, 66, 253
internalisasi, 24, 185 Kenneth Burke, 27
International Finance Corporation, 2 Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001,
International Institute for 157
Management, 2 Ketetapan MPR No. VIII tahun
International Press Institute, 9, 259 2001, 157
International transparency, 1 KHN, 129
Inventaris, 112, 131, 132, 145, 261 KKN, 12, 44, 93, 119, 128, 152, 177,
IPI, 9 178, 179, 182, 183, 196, 275,
276
KM Panikkar, 29
J KMIP, 102, 103, 104, 115, 118, 119,
124, 130, 131, 132, 133, 134,
Jakarta, 6, 8, 11, 17, 42, 90, 97, 98, 101, 141, 142, 145, 146, 147, 148,
108, 119, 122, 124, 125, 126, 149, 150, 152, 153, 154, 156,
127, 128, 129, 130, 133, 134, 162, 168, 169, 172, 173, 177,
135, 138, 139, 141, 142, 143, 179, 180, 181, 182, 261
144, 149, 150, 162, 164, 178,
Komisi Ombudsman, 114, 118, 133,
181, 188, 217, 221, 225, 226,
177
227, 239, 240, 242, 245, 271,
KOMNAS HAM, 119, 126
294, 298
komunikasi, 4, 6, 9, 12, 17, 18, 20, 27,
JCLU, 204
30, 32, 35, 37, 41, 48, 51, 52,
Jefkins, 61, 73, 82, 83, 276
55, 56, 59, 68, 69, 73, 74, 75,
Jepang, 8, 11, 100, 101, 106, 109, 111, 80, 81, 82, 85, 86, 89, 145, 146,
112, 121, 126, 146, 149, 202, 157, 161, 198, 225, 230, 232,
203, 204, 205, 206, 216, 228, 236, 238, 242, 245, 252, 253,
251 254, 265, 282, 284, 292, 296,
John Dewey, 27 297, 298, 299, 302, 303
Jones, 85, 297 kooperatif, 28, 130
Jonsson, 36, 49, 298 Korea, 8, 101, 106, 121, 127, 149, 216,
Joseph Duffy, 58, 60 228
korupsi, 1, 2, 7, 9, 10, 11, 44, 72, 92,
93, 95, 96, 97, 99, 101, 102,
K 103, 104, 105, 115, 121, 134,
kampanye, 10, 52, 61, 62, 100, 101, 142, 143, 145, 156, 157, 160,
118, 119, 123, 129, 133, 135, 161, 166, 167, 168, 182, 184,
137, 142, 143, 150, 154, 156, 187, 194, 197, 206, 209, 215,
161, 164, 202, 248, 249, 251, 223, 227, 230, 240, 250, 251,
253, 260, 276, 296, 299 255, 259, 261, 262, 263, 266,
Kaufmann, 78 267, 271, 274, 275, 277, 283,
KBRI, 21, 103 286, 287, 295
N
L negosiasi, 6, 29, 30, 31, 33, 35, 36, 37,
L. A. Richard, 27 216, 233, 250, 251
Langhorne, 34, 36 nepotisme, 12, 44, 72, 93, 97, 104,
learning by doing, 319 143, 166, 182, 184, 250, 251,
legitimasi, 312, 313, 315, 316 255, 262, 271, 274, 275, 277
Lesly, 69, 70, 71 NGO, 11, 22, 50, 78, 79, 80, 90, 101,
Lesly's, 69 119, 150, 160, 190, 234, 236,
Lingkaran Multitrack, 310 262, 273, 280, 283, 288, 290,
Littlejohn, 25, 26, 82, 297 292, 293, 295, 302, 303, 311,
Longman, 44 312, 314, 315, 316
LP3ES, 10, 312 NGOs, 10, 43, 44, 46, 47, 48, 78, 101,
LPSK, 116 105, 117, 160, 167, 209, 212,
LSM, 9, 10, 79, 90, 91, 98, 117, 119, 241, 247, 261, 262, 280, 296,
122, 125, 128, 140, 142, 148, 311, 315
152, 164, 167, 168, 169, 176, NGO's internasional, 22
190, 207, 209, 212, 232, 234, Nicolson, 29, 30, 31, 32, 39
242, 244, 259, 265, 303, 311, nomor 25 tahun 2000, 157
312, 313, 314, 315, 318 Nuklir, 35
LSPP, 72, 91, 99, 126, 132, 133, 141,
143, 146, 260
LSPS, 98, 127 O
Luckmann, 23, 24, 25 objektivasi, 24
O'Callaghan, 78, 79
open government, 11, 92, 124, 250
M organisasi, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 15, 16,
Manford Kuhn, 27 21, 23, 33, 36, 43, 45, 48, 51,
Manheim, 41, 46, 68, 297, 311 53, 55, 57, 62, 65, 70, 71, 73,
Mastruzzi, 78 74, 78, 79, 81, 82, 83, 85, 89,
McDonald, 50, 211, 232, 233 91, 97, 98, 99, 101, 105, 106,
Mead, 27, 28 107, 116, 119, 120, 146, 148,
Indeks 337
150, 161, 171, 172, 176, 190, Perda Kebebasan Memperoleh
198, 203, 211, 228, 232, 241, Informasi, 139, 155, 166
242, 244, 245, 247, 249, 250, Perwita, 49, 298
251, 252, 253, 254, 256, 258, PMDN, 3
259, 263, 268, 273, 290, 299, Political and Economic Risk
302, 303, 312, 313, 314, 318 Consultancy, 1
Ornop, 10, 18, 51, 72, 74, 75, 76, 78, politik, 1, 3, 5, 7, 9, 10, 20, 21, 22, 29,
79, 90, 97, 98, 100, 101, 102, 34, 35, 42, 45, 48, 59, 78, 79,
106, 107, 108, 109, 119, 120, 82, 101, 104, 124, 125, 133,
122, 124, 125, 128, 147, 149, 135, 136, 148, 149, 157, 166,
166, 168, 170, 190, 207, 210, 171, 172, 176, 183, 185, 187,
213, 247, 253, 254, 258, 261, 198, 207, 208, 210, 211, 213,
264, 271, 296, 297, 303, 311, 216, 217, 223, 224, 225, 226,
312, 313, 314, 315, 316, 318 227, 228, 231, 234, 235, 237,
Ottawa, 71, 94 238, 241, 242, 243, 244, 249,
Ottaway, 51 251, 259, 260, 263, 265, 267,
268, 269, 274, 277, 280, 288,
290, 292, 293, 296, 304, 311,
P 312, 313
Porter & Samovar, 74, 75
Palestina, 215, 229
pragmatism, 27
Papua Merdeka, 1, 283
Prasetiantono, 3
Parera dalam Berger, 1990, 24
Press centre, 15
pasal 18 Undang-Undang Dasar
Prof. John Bonine, 123, 124
1945, 306
Prof. Mardjono Reksodiputro, 123,
pasal 28 f UUD 1945, 171
129, 146
pasal 41 ayat (1) Undang-Undang
Prof. Mochtar, 39, 42
Nomor 31 Tahun 1999, 105
proyek, 137, 155, 256, 263, 272, 312
PASKIBRAKA, 238
Prussia, 31
Paulus, 102, 103, 104, 131, 134, 169
public interest, 54, 55, 73, 113
PBB, 7, 38, 39, 51, 71, 78, 94, 95, 101,
public relations, 4, 12, 14, 15, 16, 18,
106, 120, 161, 218, 223, 225,
23, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,
227, 228, 229, 241, 254, 263,
59, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
297
68, 69, 70, 71, 72, 73, 83, 90,
pencitraan, 5, 16, 18, 27, 73, 74, 75,
123, 146, 213, 222, 231, 243,
82, 85, 105, 163, 181, 214, 230,
248, 249, 250, 251, 252, 253,
231, 235, 269, 272, 300
255, 276, 296, 299, 301, 302,
Perancis, 31
317, 318, 319
Perda, 113, 139, 140, 141, 145, 155,
156, 158, 159, 160, 166, 173,
180, 204, 260, 317
Indeks 339
Tsunami, 7, 218 Wasesa, 54
Tunggal, 105, 263 White, 32, 34, 81
Wilcox, 62, 66, 249, 253
Wiyono, 105
U Woodrow Wilson, 30
Undang-Undang KMIP, 104, 113, World Economic Forum, 2
149, 163
UNDP, 11, 51, 77, 101, 106, 120, 140,
149, 150, 158, 160, 253, 257, Y
297 Yani, 49, 298
UNESCO, 11, 51, 101, 106, 120, 122, Yasmi, 230, 231, 232, 233, 303, 308
135, 142, 147, 150, 160, 161, YLKI, 72, 98, 126
162, 164, 165, 166, 253, 297
Yogyakarta, 97, 127, 245
Uni Sovyet, 35
Yugoslavia, 35
Universitas Airlangga, 3, 4, 13, 15
yuridis, 175
UNTS, 73, 95
USAID, 11, 51, 101, 106, 120, 122,
147, 150, 160, 202, 253
USICA, 58 Z
UU KMIP, 103, 104, 116, 118, 124, Zawawi, 57, 61, 72, 73, 146, 252, 254,
130, 133, 142, 150, 152, 153, 302
160, 164, 166, 167, 170, 172,
180, 181, 249, 261 ***
UU No. 10 Tahun 1998, 193, 199
UU No. 23 Tahun 1997, 193, 196
UU No. 25 Tahun 1999, 193
UU No. 8 Tahun 1999, 193, 196
UU RI Nomor 7 Tahun 2006, 104
V
value, 65, 74
Van Dinh, 35
Vickers, 48
Volag, 79
W
WALHI, 72, 98, 125
warnet, 305
ISBN: 978-979-24-7455-8