Anda di halaman 1dari 366

A.

Saefudin Ma'mun

Pengantar:
Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira
Dr. Dede Mariana
CITRA INDONESIA DI MATA DUNIA

Gerakan Kebebasan Informasi


dan Diplomasi Publik
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup
Hak Cipta

Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusifbagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hal Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
A. Saefudin Ma'mun
Citra Indonesia Di Mata Dunia
Gerakan Kebebasan Informasi
dan Diplomasi Publik

Copyright A. Saefudin Ma'mun

Editor : Dede Mariana dan Caroline Paskarina


Setting Layout : Windu Setiawan

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit

Diterbitkan pertama kali oleh:


Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Bandung
Bekerjasama dengan
Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad
Jl. Cisangkuy 62 Bandung 40115
Telp/Fax. (022) 7279435

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT);


Citra Indonesia Di Mata Dunia
cetakan 1, Bandung; Penerbit AIPI Bandung, 2009
xxiv + 340 hal. 21,5 cm x 14,5 cm
termasuk catatan, tabel, gambar, daftar pustaka, dan indeks
ISBN: 978 - 979 - 24 - 7455 - 8

I. Citra Indonesia Di Mata Dunia


II. Saefudin, Asep
III. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Bandung
IV. Puslit KP2W Lemlit Unpad
Bab 1
Kata Pengantar

K ondisi Indonesia yang terpuruk setelah krisis ekonomi 1997,


berdampak negatif terhadap bidang politik dan sosial budaya.
Citra negatif tentang bangsa dan negara Indonesia merupakan
dampak yang paling merugikan. Citra negatif tersebut terbangun
berdasarkan hasil pengalaman bangsa Indonesia sendiri yang merasakan
pahitnya kondisi kehidupan sehari-hari sebagai suatu realitas.
Citra negatif berupa gambaran kondisi kritis bangsa Indonesia
sejatinya dibentuk oleh persepsi orang-orang, sekalipun gambaran itu
tidak harus sesuai dengan realitas. Persepsi dibangun berdasarkan
informasi yang diterima yang dapat membentuk, mempertahankan,
atau meredefinisikan citra.
Informasi berperan penting dalam membangun interpretasi dan
menjadi andalan dalam proses penyampaian pesan pada suatu kegiatan
komunikasi. Informasi yang akurat, benar, dan lengkap, dapat
menghasilkan komunikasi yang efektif. Informasi, komunikasi, dan
persepsi, merupakan unsur-unsur penting dalam membangun citra.

Kata Pengantar v
Bagaimana bangsa Indonesia mengorganisasikan informasi,
komunikasi, dan persepsi untuk menghasilkan citra positif bagi bangsa
lain dan bagi bangsa Indonesia sendiri, bahwa krisis yang dialami dapat
diatasi dan Indonesia benar-benar mampu keluar dari krisis, merupakan
persoalan pelik yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia.
Di dalam konteks itulah, buku yang berada dihadapan sidang
pembaca mencoba mengupas dimensi publik sebagai unsur pokok
dalam kegiatan diplomasi publik.
Penilaian oleh segenap komponen bangsa terhadap kondisi yang
dihadapi, merupakan persoalan penting menyangkut kehidupan
bangsa berdasarkan pertukaran pikiran yang sadar dan rasional,
sehingga menghasilkan suatu opini publik.
Dengan demikian, opini publik yang memberikan motivasi untuk
memperoleh harapan baik, perlu dibangun. Baik untuk di dalam negeri,
dan terutama pula untuk masyarakat di luar negeri. Semoga.

Bandung, Maret 2009

H.A. Saefudin Ma'mun

vi Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 1 Diplomasi Publik
dan Masa Depan
Sebuah Negara:
Catatan Pengantar

K etika gelombang demokratisasi melanda seluruh belahan dunia,


terjadi perubahan mendasar terhadap praktek relasi kekuasaan,
termasuk dalam hubungan antarnegara. Demokratisasi yang
disertai dengan keterbukaan yang luas dalam akses informasi
menyebabkan seolah-olah batas administratif suatu negara menjadi hilang.
Kedaulatan pun menjadi suatu hal yang semu karena masuknya beragam
informasi sangat mempengaruhi pola pikir dan selanjutnya
mempengaruhi corak kebijakan yang dihasilkan. Dalam konteks seperti ini,
informasi seperti pisau bermata dua yang dapat bermakna positif untuk
memperluas wawasan, tapi di sisi lain juga sangat rentan dengan
manipulasi untuk kepentingan kekuasaan.
Saat ini, informasi menjadi sangat berharga, terutama untuk
membangun citra suatu bangsa dan negara. Politik pencitraan menjadi
basis kekuatan untuk melakukan diplomasi internasional, khususnya bagi
negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi. Negara-negara
yang semula bercorak otoriter ini perlu menampilkan sosok baru yang
lebih demokratis di mata internasional agar tetap dapat diterima dalam

Kata Pengantar vii


pergaulan dunia. Dukungan internasional menjadi salahsatu faktor
penting untuk memperkuat legitimasi suatu negara, sekaligus
menumbuhkan kepercayaan terhadap rezim pemerintahan baru yang
terbentuk pascatransisi demokrasi.
Politik pencitraan yang bercorak demokrasi ini pun menjadi agenda
strategis bagi Indonesia. Pascareformasi 1998, pemerintah yang berkuasa
di Indonesia memiliki agenda penting untuk memulihkan kepercayaan
publik, baik dalam maupun luar negeri kepada Indonesia.
Berbagai peristiwa kekerasan bahkan pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi di Indonesia selama periode awal transisi reformasi
memberikan stigma negatif bahwa Indonesia adalah negara yang tidak
aman, rawan kekerasan, sarang teroris, dan sebagainya. Seluruh stigma ini
akan sangat merugikan tidak hanya bagi pemulihan laju pertumbuhan
ekonomi dalam negeri, tapi juga mempengaruhi kerja sama internasional
yang selama ini telah dijalin dengan negara-negara lain.
Upaya diplomasi di masa sekarang tidak lagi menjadi tanggung
jawab pemerintah semata. Pelaku diplomasi publik, tidak hanya
pemerintah tetapi warga negara keseluruhan khususnya lembaga-
lembaga swadaya masyarakat atau non-governmental organizations. Peran
serta lembaga-lembaga ini dalam diplomasi publik akan lebih efektif
karena independensi yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut akan
membuat praktek diplomasi menjadi lebih bernuansa populis tidak
sekedar berpusat pada kepentingan pemerintah. Itulah yang dipikirkan
dan distudi oleh penulis.
Dengan latar belakang pernah menjadi praktisi di Departemen
Penerangan, penulis memahami benar secara empirik bagaimana
buruknya watak pemerintahan yang sentralistik dengan memonopoli
informasi sehingga bila hanya pemerintah yang melakukan diplomasi
publik niscaya akan nihil karena terjadi distrust besar-besaran terhadap
pemerintah dan negara pasca-jatuhnya Soeharto.
Teori-teori komunikasi atau paling tidak konsep-konsep
komunikasi dalam melakukan diplomasi publik sebagai pilihan kerangka
teoritik dan konseptual dalam melakukan diplomasi publik merupakan
suatu upaya memberi bobot ilmiah tersendiri. Ini sekaligus merupakan
sumbangan bagi pengembangan ilmu komunikasi di satu sisi dan ilmu
hubungan internasional juga ilmu politik di sisi yang lain, yang selama ini

viii Citra Indonesia di Mata Dunia


belum melirik ke konsep-konsep dan teori ilmu komunikasi dalam
mengembangkan hubungan antarnegara. Nilai lebih ini menjadi faktor
penarik bagi para peminat ilmu komunikasi, ilmu politik, dan ilmu
hubungan internasional untuk membaca buku ini.
Buku ini lahir dari suatu studi mendalam dalam bentuk disertasi
yang disusun penulis untuk meraih gelar doktor. Dalam penelitiannya
tersebut, penulis melakukan penggalian intensif sampai meliwati batas-
batas kenegaraan, yaitu sampai ke Malaysia dan Australia yang dianggap
lingkaran konsentris utama yang menjadi bahan pertimbangan formulasi
politik luar negeri dan diplomasi kita. Penulis pun bahkan bersedia
melalukan sit-in di kelas program S-1 Hubungan Internasional FISIP
Unpad demi mempertajam kajian keilmiahannya.
Di dalam buku ini terdapat tinjauan konseptual dan analisis tentang
peran lembaga-lembaga non-negara dalam melakukan diplomasi publik.
Peran ini bukan menjadi indikasi dari melemahnya negara, tetapi
sebaliknya menunjukkan suatu kesadaran politik yang kuat dari kalangan
civil society untuk memulihkan citra suatu negara di mata internasional.
Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa sinergi antara pemerintah
dan lembaga-lembaga non-pemerintah dewasa ini menjadi makin penting
dan strategis untuk menjamin keberlanjutan masa depan suatu negara.
Dengan jejaring kerja sama yang luas dan hambatan birokratisasi
yang relatif lebih minim, upaya diplomasi publik yang dilakukan lembaga-
lembaga non-pemerintah dapat mengisi celah-celah yang selama ini belum
tertangani oleh pemerintah. Karena itu, gagasan yang tertuang dalam
buku ini menjadi menarik untuk dikritisi dan untuk diterapkan dalam
praktik diplomasi di masa modern.

Bandung, 27 April 2009

Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira


Guru Besar Emeritus Unpad, kini Dean of the Faculty of Business and International
Relations, President University
Dr. Dede Mariana,
Dosen FISIP dan Pascasarjana Unpad

Kata Pengantar ix
Bab 1
Daftar Isi

Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................... v
CATATAN PENGANTAR................................................................... vii
DAFTAR ISI.......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL................................................................................... xii
DAFTAR DIAGRAM.......................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN...................................................................... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................ 1

BAB 2 CITRA, INFORMASI DAN DIPLOMASI


PUBLIK: Teori dan Konsep........................................... 13
2.1. Studi Pengembangan Sistem Layanan
Informasi Luar Negeri............................................ 13

x Citra Indonesia di Mata Dunia


2.2. Pengkajian dan Pengembangan Strategi
Komunikasi dalam Menunjang Pembentukan
Citra Positif Indonesia di Kalangan Masyarakat
Asing.......................................................................... 17
2.3. The failure of Indonesian Diplomacy, Indonesia's
Political and Diplomatic Relations with Australia
Over East Timor......................................................... 19
2.4. Teori Konstruksi Sosial tentang Realitas (The
Social Construction of Reality)................................... 23
2.5. Teori Interaksionisme Simbolik.............................. 26
2.6. Teori Diplomasi dan Diplomasi Publik................. 29
2.7. Teori Public Relations................................................ 52
2.8. Teori Komunikasi Antarbudaya............................. 75
2.9. Teori Kepemerintahan (Governance)...................... 77
2.10. Teori Organisasi Nonpemerintah (Ornop)........... 79
2.11. Teori tentang Citra................................................... 81

BAB 3 GAMBARAN UMUM KOALISI UNTUK


KEBEBASAN INFORMASI DAN DIPLOMASI
PUBLIK.............................................................................. 89
3.1. Profil Koalisi untuk Kebebasan Informasi........ 90
3.1.1. Latar Belakang Pendirian............................ 90
3.1.2. Maksud dan Tujuan...................................... 97
3.1.3. Keangggotaan............................................... 97
3.1.4. Prinsip-prinsip Kebebasan Informasi........ 109
3.2. Program Kerja dan Kegiatan Koalisi....................... 116
3.2.1. Program Kerja............................................... 116
3.2.2. Kegiatan Koalisi............................................ 123
3.2.3. Faktor Penunjang.......................................... 150
3.2.4. Faktor Penghambat...................................... 151
3.2.5. Hasil-Hasil Yang Telah Dicapai Koalisi....... 157

Daftar Isi xi
3.3. Urgensi Undang-Undang KMIP............................ 170
3.3.1. Urgensi Menurut Pemerintah RI................ 170
3.3.2. Urgensi Menurut Koalisi.............................. 182
3.4. Diplomasi Publik di Indonesia............................... 207
3.4.1. Kebijakan Diplomasi Pemerintah RI.......... 207
3.4.2. Diplomasi Publik oleh Departeman Luar
Negeri RI........................................................ 236
3.5. Diplomasi Publik oleh Koalisi................................. 247
3.5.1. Diplomasi Publik dengan Pendekatan
Public Relations............................................... 248
3.5.2. Diplomasi Publik untuk Good Governance.... 255
3.5.3. Good Governance untuk Pembangunan
Citra................................................................ 265
3.6. Model Diplomasi Publik......................................... 295
3.6.1. Model Sistem Pelayanan Informasi
Terintegrasi dan Berstruktur....................... 300
3.6.2. Model Sistem Pelayanan Informasi
Pemberdayaan Publik.................................. 311

BAB 4 PENUTUP......................................................................... 317

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 320


INDEKS................................................................................................. 333

* * *

xii Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 1
Daftar Tabel

Tabel Halaman
4.1. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Negara-Negara Terbersih
di Dunia Tahun 2006............................................................. 96
4.2. Tingkat IPK Indonesia 2006, Ketujuh Terkorup dari 163
Negara.................................................................................... 97
4.3. Tempat Kedudukan dan Waktu Pendirian Anggota
Koalisi ...................................................................................... 98
4.4. Kategori Anggota Koalisi Berdasarkan Bidang Kegiatan.... 98
4.5. Kegiatan Koalisi yang dapat Dikategorikan sebagai
Kegiatan Diplomasi Publik..................................................... 109
4.6. Bidang dan Kegiatan Koalisi................................................. 118
4.7. Kabupaten/Kota/Propinsi yang telah Memiliki Perda
tentang Transparansi dan Partisipasi.................................. 159
4.8. Tulisan, Liputan, dan Jajak Pendapat tentang Kebebasan
Memperolah Informasi yang Dimuat Surat Kabar
Harian Kompas Tahun 2005-2006........................................ 168

Daftar Tabel xiii


4.9. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang
Berkaitan Dengan Hak atau Kebebasan Memperoleh
Informasi................................................................................ 192
4.10. Peraturan Perundang-undangan yang Memuat Informasi
Yang Wajib Dirahasiakan......................................................... 199
4.11. Beberapa tulisan dan pemberitaan di SKH Kompas
dalam tahun 2006 yang Mencitrakan Gerakan Reformasi
Masih Tidak Menggembirakan............................................ 265
4.12. Pemberitaan Surat Kabar Australia pada tahun 2006 yang
Mencitrakan Kondisi Indonesia Tidak Menyenangkan...... 270
4.13. Development of Government Between 1850 and the
Present..................................................................................... 273
4.14. Peranan Pemerintah dan LSM/NGO dalam Dua Model
Diplomasi Publik.................................................................. 316

* * *

xiv Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 1
Daftar Diagram

Diagram Halaman
2.1. Konseptualisasi Public Relations sebagai Suatu Proses
yang Bersiklus....................................................................... 65
2.2. The Dynamic Model of the Public Relations Process............... 66
2.3. Values-Driven Public Relations............................................... 66
2.4. Model for Organizing Research in International Public
Relations.................................................................................. 69
2.5. Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian............................... 88
4.1. Bagan Organisasi Badan Pekerja Koalisi untuk
Kebebasan Informasi.......................................................... 100
4.2. Jaringan Koalisi dengan Lembaga-lembaga Dalam
Negeri dan Luar Negeri........................................................ 122
4.3. Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Departemen Luar
Negeri RI................................................................................ 246

Daftar Diagram xv
4.4. Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Koalisi untuk
Kebebasan Informasi.......................................................... 264
4.5. Model Diplomasi Publik dengan Sistem Pelayanan
Informasi Terintegrasi Terstuktur....................................... 310
4.6. Model Diplomasi Publik dengan Sistem Pelayanan
Informasi Pemberdayaan Publik........................................ 315

* * *

xvi Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 1
Daftar Gambar

Gambar Halaman
2.1. Konstruksi Realitas Menurut Hatcher (1990)....................... 26
2.2. Area Terpisah dan Tumpang Tindihnya Public Relations
dan Marketing........................................................................... 63
2.3. Hubungan Antarsektor........................................................... 79
4.1. Kemampuan Melakukan Checks and Balances di Antara Tiga
Elemen Bangsa (Sumber: Mas Achmad Santosa, 2002:5).............. 91
4.2. Arsitektur Informasi Mengenai Korelasi Konsepsi Atas
Jaminan Akses Informasi Publik (Sumber: LIN, 2001:44)......... 189
4.3. Implementasi Kegiatan Ornop Melalui Pendekatan Public
Relations dalam Proses Diplomasi publik............................. 213
4.4. Kegiatan Koalisi dalam Diplomasi terhadap Kondisi
Pencitraan................................................................................. 214
4.5. Model Implementasi dari Diplomasi Total........................... 231
4.6. Peran Aktor Pemerintah dan Non Pemerintah dalam
Diplomasi Total........................................................................ 236

Daftar Gambar xvii


Bab 1
Daftar Singkatan

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


ADB : Asian Development Bank
ADKASI : Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia
AJI : Aliansi Jurnalis Independen
AMM : Aceh Monitoring Mission
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APEC : Asia-Pasific Economic Coorperation
APEKSI : Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh indonesia
APJII : Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia
APKASI : Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia
ARF : ASEAN Regional Forum
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
ASEM : The Asia Europe Meeting
ATM : Automated Teller Machine

xviii Citra Indonesia di Mata Dunia


ATVLI : Asosiasi Televisi Lokal Indonesia
ATVSI : Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia
BBM : Bahan Bakar Minyak
BHACA : Bung Hatta Anti Corruption Award
BPKP : Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan
BPS : Badan Pusat Statistik
BUILD : Break Through Urban Initiatives for Local
Development
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CETRO : Centre for Electoral Reform
CFA : Confirmatory Factor Analisys
CMFR : Centre for Media Freedom and Responsibilty
CSIS : Centre for Strategic and International Studies
CTF : Commission of Truth Friendship
DEPDIKNAS : Departemen Pendidikan Nasional
DEPKES : Departemen Kesehatan
DEPLU : Departemen Luar Negeri
DIM : Daftar Inventaris Masalah
DK PBB : Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa
DPD : Dewan Perwakilan Daerah
DPP P3 : Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan
Pembangunan
DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ELSAM : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
ELSIM : Lembaga Studi Informasi dan Media Masa
FCC : Federal Communication Commission
FISIP : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
FKH UNPAK : Forum Kajian Hukum Universitas Pakuan
FM : Frequency Modulations
FOA : Freedom of Information Act
FOI : Freedom of Information

Daftar Singkatan xix


FPB : Foreign Policy Breakfast
FTAs : Free Trade Areas
G TO G : Government To Government
G8 : Government 8 (Kelompok Negara Maju)
GANDI : Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi
GNB : Gerakan Non Blok
GOLKAR : Golongan Karya
HAKI : Hak Atas Kekayaan Intelektual
HAM : Hak Asasi Manusia
HIPCS : Heavily Indebted Poor Countries
HIV/AIDS : Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immunodeficiency Syndrome
IBRD : International Bank for Recontruction and
Development
ICCPR : The International Covenant on Civil and
Political Rights
ICEL : Indonesian Center for Environmental Law
ICIS : International Conference of Islamic Scholar
ICRP : Indonesian Conference on Religion and Peace
ICW : Indonesia Corruptions Watch
IICW : International Interdiciplinary Congress on
Women
IMF : International Monetery Fund
IMPLC : Indonesia Media Law and Policy Center
INDEF : Institute for Development of Economics and
Finance
IPC : Indonesian Parlimentary Centre
IPI : International Press Institute
IPK : Indeks Persepsi Korupsi
ISAI : Institute Studi Arus Informasi
ISPP : Institut Survei Perilaku Politik
JCLU : Japan Civil Liberty Union
JICA : Japan International Corporation Agency
JK : Jusuf Kalla

xx Citra Indonesia di Mata Dunia


JMC : Jakarta Media Centre
KAA : Konferensi Asia Afrika
KBRI : Kedutaan Besar Republik Indonesia
KCM : Kompas Cyber Media
KEP : Keputusan
KHN : Komisi Hukum Nasional
KKN : Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme
KMIP : Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
KOMINFO : Komunikasi dan Informatika
KOMNAS HAM : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KONTRAS : Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
KPKPN : Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara
KPU : Komisi Pemilihan Umum
KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah
KRHN : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
KTT : Konferensi Tingkat Tinggi
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
LAKPESDAM NU : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Nahdatul Ulama
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
LBH PERS : Lembaga Bantuan Hukum Pers
LeIP : Lembaga Kajian Advokasi Untuk Independensi
Peradilan
LIN : Lembaga Informasi Nasional
LKPSM : Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia
LP3ES : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi Sosial
LPDS : Lembaga Pers Dokter Sutomo
LPSK : Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

Daftar Singkatan xxi


LSPP : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
LSPS : Lembaga Studi Perubahan Sosial
MABES TNI : Markas Besar Tentara Nasional Indonesia
MDGs : Millennium Development Goals
MENEG PAN : Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara
MPPI : Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia
MPR RI : Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia
MTI : Masyarakat Transparansi Indonesia
NGO's : Non Government Organizations
OIA : Official Information Act
OICI : Official Information Commission
ORNOP : Organisasi Nonpemerintah
PAN : Partai Amanat Nasional
PANSUS : Panitia Khusus
PANWASLU : Panitia Pengawas Pemilu
PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PCIJ : Phillipine Centre for Investigated Jurnalism
PERDA : Peraturan Daerah
PhD : Doctor of Philosophy
PIF : Pasific Island Forum
PIRAC : Public Interest Research and Advocacy Center
PKI : Partai Komunis Indonesia
PMA : Penanaman Modal Asing
PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri
POLRI : Kepolisian Republik Indonesia
PP : Peraturan Pemerintah
PR : Public Relations
PRSSNI : Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia
PSHK : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
PTI : Pendatang Tanpa Izin

xxii Citra Indonesia di Mata Dunia


PTUN : Peradilan Tata Usaha Negara
PWI : Persatuan Wartawan Indonesia
RI : Republik Indonesia
RN : Rahasia Negara
RPJMK/L : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kementerian atau Lembaga
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
RUU : Rancangan Undang-Undang
RUU KMIP : Rancangan Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik
SBY : Susilo Bambang Yudhoyono
SD : Sekolah Dasar
SEAPA : South East Asian Press Alliance
SET : Sains Estetika dan Teknologi
SK : Surat Keputusan
SKHU : Surat Kabar Harian Umum
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SPS : Serikat Penerbit Surat Kabar
SUTET : Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
TAC : Treaty of Amity And Cooperation
SMA : Sekolah Menengah Atas
TAI : The Access Initiative
TAP MPR : Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
TI Indonesia : Transparansi Internasional Indonesia
TJA : Thai Jurnalis Association
TK : Taman Kanak-Kanak
TKI : Tenaga Kerja Indonesia
TNI : Tentara Nasional Indonesia
TV : Televisi
TVRI : Televisi Republik Indonesia
UDHR : Universal Declaration of Human Rights
UN : United Nations
UNDIP : Universitas Diponegoro

Daftar Singkatan xxiii


UNDP : United Nations Development Program
UNESCO : United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization
USAID : United States Agency for International
Development
USIA : United States Information Agency
USU : Universitas Sumatera Utara
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
VAB : Visi Anak Bangsa
WALHI : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
WARNET : Warung Internet
WARTEL : Warung Telekomunikasi
WEF : World Economic Forum
YAPPIKA : Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan
Kemitraan Masyarakat
YLKI : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
YPSDM : Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia

* * *

xxiv Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 1
Pendahuluan

K risis moneter yang dialami Indonesia tahun 1997 telah


menimbulkan keterpurukan di bidang politik, ekonomi dan
sosial budaya, dan telah memberikan citra buruk bagi
Indonesia, baik menurut bangsa dan negara lain, lembaga internasional,
maupun masyarakat Indonesia. Sekalipun bangsa Indonesia telah
berupaya mengatasi krisis dengan gerakan reformasi, tetapi reformasi
dianggap oleh banyak pihak telah gagal dan salah arah. Anggapan ini
paling tidak untuk selama 4 tahun reformasi yang dimulai tahun 1998.
Di bidang politik, gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka
serta Gerakan Aceh Merdeka mencuat dalam politik nasional Indonesia.
Di bidang hak asasi manusia, Indonesia dikenal negara asing banyak
melakukan pelanggaran hak asasi manusia, seperti kasus pelanggaran
hak asasi manusia di Timor Timur, dan di Aceh. Di bidang hukum,
praktek korupsi di Indonesia masih tinggi. Political and Economic Risk
Consultancy di tahun 2003 mencatat, Indonesia menempati urutan
teratas negara paling korup di Asia, dan menempati urutan ke-96 dari
100 negara di tingkat internasional. International transparency dalam

Bab 1: Pendahuluan 1
penelitiannya juga mencatat, Indonesia di tahun 2004 menempati
peringkat kelima terkorup di antara 143 negara di dunia, dengan nilai
indeks 2,0, tahun 2005 menempati urutan keenam terkorup dari 158
negara yang disurvey, dengan nilai indeks 2,2, dan tahun 2006
menempati urutan ketujuh dari 163 negara yang disurvey dengan nilai
indeks 2,4. Sekalipun peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun tetapi karena masih di bawah nilai 3,0
masih dikatagorikan sebagai negara yang kondisinya sangat parah
dalam persoalan korupsi (severe corruption problem).1
Di bidang ekonomi, dilaporkan Asian Intelligence, Investasi asing
di Indonesia sejak tahun 1997 terus minus. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia sampai tahun 2002, dilaporkan Bank Dunia, adalah sederhana
di tengah pemulihan global yang tidak menentu dan iklim investasi
yang memburuk. Peringkat daya saing ekonomi Indonesia pada tahun
2005 berada pada posisi ke-69 dari 107 negara yang disurvey Forum
Ekonomi Dunia (World Economic Forum). Tahun 2006 berada pada posisi
ke-50 dari 125 negara yang disurvey. Meskipun menunjukkan kenaikan,
tetapi masih di bawah India ke-43, Thailand ke-35. Peringkat daya saing
di sektor industri menurut International Institute for Management
Development, mengalami penurunan pada setiap tahun sejak 2001 yaitu
peringkat ke-46, secara berurut menjadi peringkat ke-47, 57, 58, 59, dan
ke-60 pada tahun 2006. Dalam hal kemudahan memulai usaha, oleh
International Finance Corporation dan Bank Dunia, Indonesia dinyatakan
berada diperingkat ke-135 dari 175 negara.2
Aliran investasi asing ke pasar modal Indonesia dalam lima
tahun terakhir berdasarkan laporan perekonomian Indonesia tahun
2005 yang dikemukakan BPS menunjukkan pergerakan yang fluktuatif
disebabkan belum adanya pergerakan yang signifikan dalam
fundamental perekonomian di dalam negeri. Belum masuknya investasi
asing secara signifikan disebabkan karena investor asing sangat berhati-
hati dan selektif untuk melakukan investasi dan kegiatan ekonomi di
Indonesia. Rencana PMA yang disetujui pemerintah pada tahun 2002
turun 35,23% dari tahun 2001 (15093,9 juta U$) dan naik 35,54% pada
tahun 2003, kemudian turun lagi 22,18% pada tahun 2004, dan naik lagi

1
ICW: Melalui <http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid= 9302.
2
Kompas Cyber Media: Melalui <http://www.kompas.com/ver1/ekonomi/0609/22/084825. htm>

2 Citra Indonesia di Mata Dunia


26,29% pada tahun 2005. Demikian pula pada rencana PMDN. Tahun
2002 turun 56,94%, 2003 naik lagi, 2004 turun lagi, 2005 naik lagi.3
Menurut Prasetiantono, pertumbuhan ekonomi hingga akhir
tahun (2006) sulit mencapai 5,8%. Daya beli masyarakat sudah terkuras
untuk meladeni kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 yang
mengakibatkan investor tidak berani merealisasikan investasinya.
Modal stabilitas ekonomi saja tidak memadai untuk menggerakkan
perekonomian dan memangsa pengangguran. Stabilitas harga (inflasi)
dan kurs rupiah belum mampu menginspirasi sejumlah indikator
utama ekonomi makro yang lain yakni investasi dan pertumbuhan
ekonomi yang pada akhirnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan.4
Di bidang sosial budaya, terjadi konflik sosial horizontal
antaretnik, antarwarga, dengan kekerasan, di Maluku, Maluku Utara,
Sampit Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan bahkan di Poso
Sulawesi Tengah, sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara
tuntas. Keterpurukan Indonesia di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya, yang berlangsung hingga saat ini menjadikan sementara pihak
bersikap pesimistis terhadap masa depan negara Indonesia.
Citra buruk Indonesia menurut orang asing dan warga negara
Indonesia yang ada di luar negeri dapat diketahui antara lain dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Universitas Airlangga bekerja sama
dengan Lembaga Informasi Nasional pada tahun 2002 dalam Studi
Pengembangan Sistem Layanan Informasi Luar Negeri. Beberapa
kesimpulan hasil penelitian dari aspek citra, dikemukakan sebagai berikut:
Kondisi Indonesia dalam dua tahun terakhir citranya menurut
warga negara Indonesia di luar negeri amatlah buruk. Demikian
pula menurut wartawan asing. Namun orang-orang asing tidak
semua beropini sangat negatif walaupun mengakui lemahnya
penegakan hukum di Indonesia serta kurang optimalnya public
relations. Sedangkan kalangan diplomat atau pejabat Departemen
Luar Negeri RI mengakui citra Indonesia begitu buruk di dunia
internasional, karena bias informasi dari pemberitaan media massa
yang tidak komprehensif dan ulah media massa yang kurang fair,

3
BPS, Laporan Perekonomian Indonesia 2005. BPS katalog BPS 1404, hlm. 85-86 dan 90-91.
4
Tony Prasetiantono, Warta Ekonomi 13 oktober 2006 th. xviii, hlm. 12-13.

Bab 1: Pendahuluan 3
serta memandang persoalan secara hitam putih. Bias informasi atau
pemberitaan yang tidak lengkap dan akurat karena andil dari
lemahnya sistem humas pemerintah, termasuk layanan informasi
di luar negeri. Media massa dalam keseharian sering tidak terlayani
dan kurang dibantu secara memadai di dalam mencari informasi,
terutama yang berasal dari departemen, lembaga, ataupun elit-elit
pemerintahan Indonesia. Sehubungan dengan itu direkomendasi-
kan perlunya membangun sistem pelayanan informasi luar negeri
yang sistematis, dimulai dengan membangun government public
relations secara serius terlebih dahulu di dalam negeri.5

Studi ini tidak mengungkap bagaimana seharusnya kegiatan


diplomasi dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
mendorong dan melibatkan masyarakat atau publik dalam negeri dan
luar negeri untuk mengatasi citra buruk Indonesia. Bagaimana peranan
public relations dalam diplomasi dan bagaimana pula peranan aktor-
aktor non-negara dalam ikut serta melaksanakan diplomasi.
Data, informasi, kejadian, dan peristiwa yang menunjukkan
kondisi krisis Indonesia dalam berbagai bidang, telah menjadi suatu
realitas, dan telah menjadi gambaran yang bermakna tentang Indonesia.
Gambaran yang bermakna itu, disebut citra. Data, informasi, kejadian,
dan peristiwa yang menunjukkan kondisi krisis Indonesia yang
kemudian dikomunikasikan secara meluas melalui berbagai bentuk dan
media komunikasi kepada khalayak di dalam negeri dan di luar negeri,
menurut Roberts, dapat mempengaruhi cara khalayak mengorganisasi-
kan citra tentang kondisi krisis Indonesia, dan citra inilah yang
mempengaruhi cara khalayak tersebut bertindak (Rakhmat, 2004:224).
Gambaran suram Indonesia karena dilanda krisis, merupakan citra
buruk Indonesia. Sehubungan citra mempengaruhi bagaimana cara
khalayak, atau masyarakat suatu bangsa bertindak, maka citra tidak
sekedar sebuah citra. Citra buruk Indonesia karena gangguan keamanan,
konflik antar warga, antar etnik, penegakan hukum yang lemah, ketentuan
peraturan yang tidak konsisten dilaksanakan, dapat menyebabkan antara
lain enggannya bangsa lain menanamkan investasinya di Indonesia.

5 Tim Peneliti FISIP Universitas Airlangga. 2002. Studi Pengembangan Sistem Layanan Informasi Luar Negeri.
Surabaya. hlm. 179-180. 185-186.

4 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dengan demikian pencitraan suatu negara atau bangsa dari negara atau
bangsa lain menjadi unsur yang memotivasi atau menghambat bangsa lain
untuk bekerja sama. Pencitraan yang baik terhadap suatu negara atau
bangsa dapat memotivasi bangsa lain untuk bekerja sama yang saling
menguntungkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan negara atau
bangsa yang bersangkutan. Kondisi kehidupan bangsa yang baik di
bidang politik, hukum, keamanan, akan dipersepsikan bangsa lain
menguntungkan apabila melakukan kerja sama dalam berbagai bidang.
Persepsi terhadap realitas menghasilkan citra atas realitas.
Persepsi mengenai Indonesia yang didominasi krisis, dan
menggambarkan citra buruk, serta sikap pesimistis, dapat mengenyam-
pingkan semangat, upaya, dan hasil bangsa Indonesia dalam mengatasi
krisis. Hasil bangsa Indonesia dalam mengatasi krisis adalah
demokratisasi dalam kehidupan kenegaraan, seperti pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung, adanya kebebasan pers,
telah mendapatkan penilaian internasional bahwa Indonesia termasuk
negara demokratis terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India.6
Persepsi tentang adanya semangat dan kemauan pemerintah serta
bangsa Indonesia untuk berupaya mengatasi krisis, betapapun
kompleknya krisis itu, perlu dibangun. Keikutsertaan media dan
masyarakat untuk mengekspresikan semangat, kemauan, dan upaya
yang dilakukan bangsa Indonesia beserta hasil-hasil yang telah dicapai
melalui reformasi dapat menumbuhkan persepsi, baik dari masyarakat
dalam negeri, terutama masyarakat luar negeri, terhadap adanya
harapan untuk mengatasi krisis, sehingga dalam kaitan kepentingan
Indonesia dengan masyarakat internasional, kondisi ini dapat membantu
usaha diplomasi Indonesia untuk mengatasi krisis. Melalui diplomasi
dapat dibangun persepsi tentang adanya semangat, kemauan dan upaya
bangsa Indonesia mengatasi krisis, yang memberikan harapan bahwa
krisis akan dapat diatasi.
Indonesia dalam mengatasi krisis, khususnya di bidang ekonomi,
sangat memerlukan bantuan dunia Internasional, sebagaimana telah
terjadi dari waktu ke waktu, baik menyangkut modal pembangunan,
maupun bantuan tenaga ahli. Di samping berkaitan dengan bantuan

6 Departemen Luar Negeri RI, 2005. Promosi Citra Indonesia, Agustus 2005.

Bab 1: Pendahuluan 5
dunia internasional, sudah tentu motivasi, dan kerja keras bangsa
Indonesia menjadi syarat utama bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari
krisis.
Diplomasi sebagai proses kunci melaksanakan komunikasi dan
negosiasi bangsa Indonesia dengan bangsa lain untuk memperoleh
bantuan internasional, memerlukan keterlibatan seluruh komponen
bangsa Indonesia untuk berdiplomasi. Tidak hanya dilakukan antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain tanpa
melibatkan keikutsertaan masyarakat. Diplomasi hubungannya
dengan perbaikan citra, sebagaimana dikemukakan Ali Alatas, bahwa,
Untuk mengatasi citra Indonesia yang buruk di luar negeri
sebagai akibat kasus kekacauan yang menyebabkan investor
enggan kembali, yang pada gilirannya memperlambat
pemulihan ekonomi, diperlukan suatu upaya diplomasi yang
benar-benar komprehensif dan terpadu.7

Mengatasi krisis multi dimensi di Indonesia dalam suatu upaya


diplomasi yang komprehensif dan terpadu, adalah diplomasi yang
melibatkan semua komponen bangsa. Tidak hanya mengandalkan
aktor-aktor diplomasi di dalam pemerintahan, yang disebut diplomasi
tradisional, tetapi juga melibatkan aktor-aktor diplomasi di luar
pemerintahan, yang disebut aktor nonnegara yang tersebar di dalam
komponen-komponen masyarakat atau dalam berbagai macam publik.
Diplomasi yang dilakukan oleh aktor nonnegara, di luar pemerintah,
dinamakan diplomasi publik. Diplomasi publik dalam khasanah
diplomasi Indonesia, merupakan nomenklatur baru yang digunakan
pemerintah dalam struktur organisasi Departemen Luar Negeri mulai
tahun 2002. Sebagai suatu istilah, diplomasi publik belum dikenal luas
oleh masyarakat Indonesia, termasuk media massa. Diplomasi masih
dianggap oleh masyarakat sebagai suatu kegiatan yang hanya dapat
dilakukan oleh pemerintah dan antar pemerintah atau antar negara.
Apabila terdapat aktifitas masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai
diplomasi publik, media massa sementara ini tidak mempublikasikan-
nya sebagai suatu kegiatan diplomasi publik.

7 Ratna Shofi Inayati, dkk., 2002. Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Soeharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi
Nasional, Jakarta.LIPI, hlm. 76.

6 Citra Indonesia di Mata Dunia


Diplomasi yang dilakukan pemerintah, dalam rangka mengangkat
citra Indonesia di luar negeri, banyak dilaporkan oleh media massa.
Antara lain sukses diplomasi di tahun 2005, kesuksesan melaksanakan
diplomasi kemanusiaan sehubungan bencana alam Tsunami yang
melanda Aceh dan Sumatera Utara, sehingga mengalirnya bantuan yang
diterima Indonesia, merupakan bukti nyata kedekatan masyarakat
internasional dengan masyarakat Indonesia. Kemudian, kesuksesan
menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika, 2005, telah
dapat memperbaiki citra Indonesia, karena yang semula peserta
konferensi itu menganggap bahwa citra Indonesia itu sudah tenggelam,
karena mendapat bencana terus menerus, dari mulai krisis moneter, krisis
politik, kerusuhan, bom, gempa bumi, Tsunami, ternyata Indonesia tidak
seperti yang ada pada benak mereka dalam lima atau enam tahun terakhir
ini. Namun, diplomasi di bidang ekonomi, Indonesia masih ketinggalan
jika dibandingkan dengan negara lain.8
Tahun 2006, sebagaimana dinyatakan Menteri Luar Negeri,
diplomasi Indonesia telah mencapai berbagai raihan penting. Antara lain
pemulihan perdamaian di Aceh, penguatan institusi demokrasi
termasuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah di berbagai propinsi,
kabupaten, kota dan pemberantasan korupsi. Terpilihnya Indonesia
pada sembilan organisasi penting berbagai organisasi internasional
dengan rata-rata negara pendukungnya tinggi, yaitu keanggotaan tidak
tetap Dewan Keamanan PBB 2007-2008; anggota Dewan Hak Asasi
Manusia PBB 2006-2007; anggota Komisi Pemajuan Perdamaian PBB
2006; anggota Dewan International Telecommunication Union 2006-2010;
anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 2007-2008; anggota Governing
Council United Nation Habitat 2007-2010; anggota Komisi Pencegahan dan
Peradilan Tindak Pidana 2007-2009; anggota Komisi Hukum
Internasional 2007-2011; dan anggota Badan Internasional tentang
Pengawasan Obat-obat Bius dan Terlarang 2007-2012, telah banyak
diberitakan media massa, sekalipun kondisi ekonomi makro yang positif
belum mencukupi untuk mendorong sektor riil sehingga terdapat
keperluan untuk meningkatkan investasi langsung luar negeri.9

8 Kompas, 16 Oktober 2005.


9 Menteri Luar Negeri RI, 2007, Pernyataan Pers Tahunan, Departemen Luar Negeri, dan Surat Kabar Harian
Kompas, 29 Desember 2006, hlm. 1 dan 15.

Bab 1: Pendahuluan 7
Lain halnya dengan diplomasi publik yang dilaksanakan oleh
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, sebuah koalisi dari sejumlah
ornop yang memperjuangkan kebebasan memperoleh informasi.
Beberapa kegiatan Koalisi untuk Kebebasan Informasi, tidak
dipublikasikan di media massa sebagai kegiatan diplomasi publik,
seperti penyelenggaraan International Conference And Regional Public
Consultation tentang Jaminan akses informasi untuk mewujudkan
pemerintahan yang terbuka dan demokratis (good governance), yang
diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 22 April 2002. Ahli internasional
yang diundang, yaitu dari Swedia, Australia, Thailand, Jepang, dan
Korea, serta melibatkan kehadiran Presiden RI.
Tujuan konferensi antara lain membangun kesadaran bersama
tentang pentingnya jaminan akses informasi publik untuk meletakkan
dasar-dasar bagi negara demokratis. Konferensi ini apabila dilihat dari
rumusan pengertian diplomasi publik, termasuk kegiatan diplomasi
publik, karena membangun kesadaran semua pihak untuk menjamin
adanya akses terhadap informasi publik, serta adanya dorongan
masyarakat bangsa lain untuk mewujudkannya. Namun, pemberitaan
di media massa Indonesia hanya mengungkapkan pentingnya
kebebasan memperoleh informasi publik untuk membangun
pemerintahan yang terbuka, bersih dan bertanggung jawab. Tidak
dikemukakan bahwa kegiatan konferensi internasional tersebut
merupakan kegiatan diplomasi publik yang dilakukan Koalisi untuk
Kebebasan Informasi untuk membantu Indonesia mewujudkan
pemerintahan terbuka yang dapat mengangkat citra Indonesia, baik
menurut pandangan publik dalam negeri, maupun publik internasional.
Selain konferensi, diadakan pula konsultasi publik ke beberapa
ibu kota propinsi, dengan mengundang ahli internasional sebagai
pembicara dalam rangka menumbuhkembangkan semangat mengakses
informasi dari masyarakat. Kegiatan konsultasi publik ini pun tidak pula
diliput media massa setempat sebagai kegiatan diplomasi publik dalam
rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
diplomasi.
Di samping itu, apabila terdapat kegiatan Indonesian Cultural Show,
atau Malam Seni Budaya Indonesia, sebagai bagian dari diplomasi publik,
yang diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia di luar negeri, bekerja

8 Citra Indonesia di Mata Dunia


sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, dalam
pemberitaan, warna sebagai kegiatan pemerintahnya lebih ditonjolkan
dari pada komponen masyarakat Indonesia sebagai pelakunya.
Dapat diperkirakan, organisasi-organisasi nonpemerintah di
Indonesia yang melakukan kegiatan berkaitan dengan kepentingan
internasional, atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional,
telah melaksanakan diplomasi publik. Antara lain kegiatan yang
dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan tahun 1994,
yang memperjuangkan kebebasan pers, dan memiliki jaringan kerja
sama dengan organisasi wartawan internasional seperti dengan
International Press Institute (IPI). Centre for Electoral Reform (CETRO),
didirikan tahun 1999, yang memfokuskan pada reformasi di bidang
pemilihan umum. Indonesia Corruption Watch (ICW) didirikan tahun 1998
yang memperjuangkan terwujudnyua sistem politik, hukum, ekonomi,
dan birokrasi yang bersih dari korupsi. Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), dalam usaha menumbuhkan, memajukan dan
melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak asasi manusia pada
umumnya, dan banyak lagi organisasi nonpemerintah lainnya.
Keterlibatan komponen-komponen masyarakat dalam diplomasi,
di era globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
seperti menjadi suatu keharusan, karena kompleksitas masalah yang
dihadapi diplomasi di era globalisasi, memerlukan keahlian yang tidak
selalu dimiliki oleh para pembuat kebijakan. Sehubungan dengan itu,
keterlibatan sekumpulan ahli dari berbagai bidang keilmuan yang berada
di luar jalur pemerintahan, sebagai masyarakat epistemik (epistemic
community), dalam diplomasi publik, sangat diperlukan. Demikian pula
perlunya keterlibatan pengusaha, aktivis buruh, dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM), sebagai Koalisi Advokasi (Advocacy Coalition), yang
mempunyai peranan dalam pelaksanaan kebijakan.
Keterlibatan komponen-komponen masyarakat dalam diplomasi,
dalam hal apa, dan dengan cara bagaimana diplomasi itu dilakukan,
diperlukan pengkajian secara seksama untuk mengetahui intensitas dan
efektifitas peranan komponen-komponen masyarakat tersebut. Salah
satu komponen masyarakat Indonesia yang diasumsikan mempunyai
peranan penting dalam mempengaruhi suatu kebijakan, yaitu organisasi

Bab 1: Pendahuluan 9
nonpemerintah (Ornop) atau disebut juga Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Organisasi nonpemerintah atau LSM mulai tumbuh dan
berkembang di Indonesia pada awal tahun 1970-an yang mempunyai
peran mengawasi peran negara serta mengajukan alternatif gagasan,
seperti diperankan oleh LP3ES. Kemudian, setelah reformasi, muncul
Ornop-Ornop baru seperti, Ornop yang mengawasi masalah korupsi,
yang memantau proses penyusunan APBN/APBD, yang memantau dan
aktif kampanye masalah reformasi pemilu, dan lain-lain (Dharmawan,
2004 : 4-6). Para pengamat juga berargumentasi bahwa organisasi
nonpemerintah tumbuh sebagai suatu respon terhadap kontrol yang
ketat dari suatu sistem politik yang tidak memberikan kebebasan
10
kepada partai politik sebagai sebuah mimbar yang bebas.
Ornop-ornop yang dapat menjadi fokus perhatian untuk
mengembangkan peranannya dalam diplomasi adalah Ornop-ornop
yang bergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Koalisi ini
berdiri sejak Desember tahun 2000 terdiri dari 38 organisasi
nonpemerintah seperti Indonesian Center for Environmental Law, Indonesia
Corruption Watch, Aliansi Jurnalis Independen, Komite Peduli Otonomi
Daerah, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan, dan lain lain.
Tujuan Koalisi untuk Kebebasan Informasi adalah mengusaha-
kan agar akses masyarakat terhadap informasi terbuka seluas-luasnya,
baik bagi masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Terbukanya
akses terhadap informasi dijadikan sebagai prasyarat untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance. Kegiatan-
kegiatannya antara lain menyusun rancangan undang-undang tentang
kebebasan memperoleh informasi, melakukan lobi, khususnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat RI serta memobilisasi dukungan publik
untuk terwujudnya undang-undang kebebasan memperoleh informasi.
Dalam perkembangannya, organisasi nonpemerintah yang bergabung
berjumlah 46 Ornop.11

10 Eldridgedalam Anderson H. 2004. Good Governance and NGOs in Contemporary Indonesia, Clayton: Monash
University, hlm. 3.
11
Wawancara dengan Koordinator Bidang Lobi Koalisi, 27 Januari 2006.

10 Citra Indonesia di Mata Dunia


Mengingat prosedur untuk melahirkan sebuah undang-
undang itu tidak mudah, maka kegiatan yang dilakukan tidak terfokus
kepada penyusunan rancangan undang-undang kebebasan informasi
saja, melainkan juga melakukan kegiatan-kegiatan sektoral seperti di
bidang pendidikan dan pelatihan, melakukan studi dan tukar pendapat
dengan instansi-instansi seputar hak publik untuk memperoleh
informasi, serta penjelasan melalui media massa. Jaringan kerjasama
telah terbentuk dengan organisasi-organisasi di luar negeri seperti
UNESCO, UNDP, Articel 19, Asia Foundation, Friedrich Ebert Stiftung,
USAID, World Bank Institute, National Democratic Institute, serta tokoh-
tokoh perorangan di luar negeri seperti Prof. Rick Snell dari Tasmania
University, Prof. Kitisak Prokatti dari Thailand, Yukiko Miki, Direktur
Information Clearing House Jepang, dan lain-lain.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi beranggapan bahwa sebuah
pemerintahan dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang baik apabila
sumber daya publik dan masalah-masalah publik, dikelola secara efektif,
efisien, dan partisipatif. Hal ini menuntut adanya iklim demokrasi yang
sehat didasarkan pada prinsip transparansi, partisipatif, dan
akuntabilitas yang juga merupakan prasyarat bagi penyelenggaraan
pemerintahan yang terbuka (open government)12. Konsep open government
mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan pemerintah harus
dapat dipantau dan diikuti oleh masyarakat. Konsep open government
merupakan salah satu karakteristik good governance (Haryanto, 2005: 13)
Gerakan organisasi nonpemerintah Indonesia dalam terminologi
akses publik untuk informasi dan transparansi secara umum dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, meliputi (1) penelitian dan
advokasi, (2) urusan dengan pengadilan, (3) legislasi dan reformasi
kebijakan.13
Tidak adanya akses bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi
dan melakukan pengawasan yang efektif telah ikut memberikan
sumbangan yang besar bagi kegagalan yang terjadi pada saat ini.
Ketertutupan pemerintah menjadikan praktek korupsi, kolusi, dan

12 Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2002. Jaminan Informasi Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Terbuka
dan Demokratis. Jakarta : TOR International Conference. hlm. 1.
13 Josi Khatarina. 2001. Indonesian NGO Movement for Public Access to Information and The Struggle for Enactment
of a Freedom of Information Act. Jakarta: Makalah.

Bab 1: Pendahuluan 11
nepotisme (KKN) dapat tumbuh dengan subur, penegakan hukum tidak
dapat dilakukan dengan efektif, akses kepada sumber daya ketidak-
adilan, turunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara
negara, serta dampak ikutannya seperti kemiskinan yang terus
meningkat, kesenjangan sosial, dan lain lain.14
Dalam kerangka memfokuskan perhatian pada pengembangan
peranan Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang berkenaan dengan
pembangunan citra Indonesia di atas, baik yang bersumber dari fakta,
maupun yang dikritisi oleh para pakar dan tokoh-tokoh dalam
bidangnya masing-masing serta hasil studi yang dilakukan, maka
upaya mengatasi citra buruk Indonesia dapat dilakukan melalui
berbagai pendekatan.
Keterlibatan komponen-komponen masyarakat Indonesia dalam
diplomasi dalam membangun citra Indonesia, masuk ke dalam lingkup
kajian public relations, sebagai salah satu bidang dalam ilmu komunikasi.
Bagaimana diplomasi mampu meningkatkan keikutsertaan masyarakat
dalam negeri dan luar negeri, khususnya melalui peranan organisasi
nonpemerintah sebagai aktor nonnegara, merupakan pertanyaan
pokok. Di Indonesia peran ini dilakukan melalui Koalisi untuk
Kebebasan Informasi, atau disingkat Koalisi, untuk mewujudkan good
governance dalam membangun citra Indonesia.
Sehubungan lingkup permasalahan termasuk dalam kajian public
relations, dan diplomasi yang melibatkan keikutsertaan komponen
bangsa di luar pemerintahan itu disebut dengan istilah diplomasi
publik, maka studi yang dilakukan merupakan studi tentang penerapan
prinsip-prinsip public relations oleh Koalisi melalui diplomasi publik
dalam ikut membangun citra Indonesia.
Studi tentang Koalisi untuk Kebebasan Informasi dalam
menunjang terwujudnya good governance melalui pendekatan public
relations, diharapkan dapat memunculkan model diplomasi publik
melalui pendekatan public relations dalam membangun citra Indonesia.

* * *

14 Koalisi untuk Kebebasan Informasi. op cit. hlm. 2.

12 Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 2
Citra, Informasi dan
Diplomasi Publik:
Teori dan Konsep

S
ebagai dasar pijakan dalam memberikan kontrol analisis atau
relevansinya antara penelitian yang dilakukan peneliti dengan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka pada bagian ini
akan diuraikan beberapa temuan bersumber dari hasil analisis riset
yang menggunakan berbagai paradigma yang berbeda. Tujuannya
dalam hal ini dimaksudkan agar peneliti menemukan posisi dan nilai
originalitas paradigma yang digunakan dalam menuntaskan
penelitian ini jika dibandingkan dengan paradigma penelitian yang
digunakan oleh pihak lain sebelumnya. Hasil-hasil penelitian yang
dijadikan pokok kajian pustaka ini berdasarkan paradigma kualitatif.

2.1. Studi Pengembangan Sistem Layanan Informasi Luar Negeri


Studi tentang pengembangan sistem layanan informasi luar
negeri telah dilakukan pada tahun 2002 atas kerja sama Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga dengan Lembaga
Informasi Nasional Republik Indonesia. Metode penelitian yang

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 13


digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dan jenis
penelitiannya adalah deskriptif. Lingkup permasalahan pada penelitian
ini, antara lain bagaimana opini masyarakat internasional dan orang
Indonesia yang berada di luar negeri tentang kondisi aktual Indonesia,
serta dari manakah informasi yang mendasari opini mereka, bagaimana
pelayanan informasi di kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar
negeri begitu pula kantor kedutaan besar, konsulat jenderal negara-
negara sahabat dan negara lain, serta bagaimana peran wartawan asing,
koresponden atau media internasional yang ada di Indonesia, para
pakar asing pengamat Indonesia dalam menyebarkan informasi dan
pembentukan opini Internasional.
Hasil studi dikemukakan bahwa kalangan warga Indonesia di
luar negeri, melihat kondisi Indonesia tiga tahun terakhir ini citranya
amatlah buruk. Terjadinya ketidakadilan, lemahnya penegakan
hukum, hingga merosotnya kualitas keamanan, ditambah lemahnya
kemampuan public relations pemerintah. Berbeda dengan opini
masyarakat asing yang ada di Indonesia, tidak semua beropini negatif.
Mereka nampak sangat hati-hati melihat kondisi Indonesia, bahkan
cenderung melihat baik-baik saja. Menurut mereka kondisi Indonesia
tidaklah buruk, hanya salah pengertian. Mengenai terorisme misalnya,
dikatakan oleh mereka bahwa terorisme merupakan masalah
internasional, tetapi semuanya menekankan lemahnya penegakan
hukum dan kurang optimalnya public relations pemerintah.
Berdasarkan hasil studi, direkomendasikan beberapa strategi
kebijakan, antara lain perlunya membangun sistem pelayanan informasi
luar negeri yang sistematis, dimulai dengan membangun government
public relations secara serius terlebih dahulu di dalam negeri. Selanjutnya
mewujudkan prinsip The Orchestra of Communication and Information
yang berada dalam satu derigen yaitu Public Relations Kantor Presiden
dengan dukungan Kementerian Komunikasi dan Informasi (sekarang
Departemen Komunikasi dan Informatika) serta Lembaga Informasi
Nasional (sekarang dilebur ke dalam Departemen Komunikasi dan
Informatika) sebagai penyedia atau pusat informasi nasional, sekaligus
menjadi lembaga koordinasi dalam bidang informasi yang hasilnya
dapat dimanfaatkan semua departemen.

14 Citra Indonesia di Mata Dunia


Studi tersebut merekomendasikan pula perlu adanya press centre
untuk melayani media massa baik media massa dalam negeri maupun luar
negeri. Press centre disuplai informasinya dari berbagai departemen dan
badan pemerintah atas koordinasi Kementerian Komunikasi dan
Informasi (sekarang Departemen Komunikasi dan Informatika) serta
Lembaga Informasi Nasional (sekarang dilebur ke dalam Departemen
Komunikasi dan Informatika). Press centre merupakan sarana penunjang
humas pemerintah, serta tempat para wartawan untuk mengakses
berbagai informasi yang aktual, data base, dan backgrounder. Selain press
centre perlu pula diangkat juru bicara (spokeperson) di semua peringkat, baik
kepresidenan, departemen, hingga Kedutaan Besar Republik Indonesia di
luar negeri. Untuk layanan informasi luar negeri perlu dipikirkan
Indonesian Culture Centre yang menyatukan aktivitas berbagai pihak yang
mempunyai perhatian terhadap Indonesia. Lembaga ini menjadi jembatan
penghubung bagi mereka yang mempunyai persepsi yang salah terhadap
Indonesia.15 Kaitan dengan paradigma yang penulis lakukan dalam
penelitian ini pada dasarnya hampir sama yaitu menggunakan paradigma
kualitatif; subjektif atau naturalistik. Akan tetapi ada sedikit perbedaan
pada hasil penelitian yang dimunculkan. Dalam penelitian ini penulis
bermaksud mengkonstruksi bagaimana peran organisasi nonpemerintah
dalam membangun sebuah model diplomasi publik yang mampu
membangun citra Indonesia yang positif. Di sinilah originalitas penelitian
yang ingin dimunculkan dalam penelitian ini, sedangkan jika melihat
penelitian sebelumnya, upaya-upaya pengembangan sistem layanan
informasi luar negeri tersebut tidak mengungkap secara khusus peranan
public relations dalam diplomasi publik untuk mewujukan good governance
dalam membangun citra Indonesia.
Di sisi lain penelitian yang penulis lakukan ditujukan juga
sebagai kritik terhadap hasil penelitian terdahulu misalnya bagaimana
pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dan kemitraan dengan aktor-
aktor nonnegara di Indonesia dalam melaksanakan diplomasi seperti
dengan organisasi-organisasi nonpemerintah, pebisnis, media massa,
dan lain-lain, semuanya tidak dieksplisitkan dan tidak dimunculkan
bentuknya.

15 Tim Peneliti. 2002. Studi Pengembangan Sistem Pelayanan Informasi Luar Negeri, 2002. Surabaya: Kerjasama
Lembaga Informasi Nasional (LIN) dengan Universitas Airlangga, hlm 17-19.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 15


Demikian juga kritik lain misalnya upaya-upaya organisasi
nonpemerintah dalam memprakarsai dan menjembatani hubungan
mereka dengan mitranya di negara lain, melakukan kegiatan-kegiatan
dengan kelompok-kelompok kepentingan di negara lain termasuk
dengan pemerin-tahannya dalam kerangka membangun persepsi yang
menguntungkan bagi pencitraan Indonesia tidak secara jelas
dideskripsikan. Dalam penelitian yang peneliti lakukan diharapkan
semua itu mampu ditemukan dan secara jelas dikemukakan bagaimana
kajian diplomasi publik yang banyak diperankan oleh organisasi
nonpemerintah lebih ditekankan, serta bagaimana hal itu mampu
memberikan kejelasan terhadap upaya-upaya pembentukan pencitraan
Indonesia secara lebih nyata dan objektif. Demikian pula mengenai
bagaimana konsep untuk membangun dan membina hubungan itu
dibuat serta target-target sasaran yang hendak dicapai itu ditentukan,
maka di dalam penelitian ini penulis deskripsikan.
Penelitian terdahulu juga tidak mengkaji peranan Koalisi
untuk Kebebasan Informasi sebagai salah satu aktor bukan negara
dalam menunjang Indonesia mewujudkan good governance untuk
membangun citra Indonesia. Dalam penelitian yang penulis lakukan
hal ini justru merupakan target temuan bahkan merupakan dasar
dalam me-rekonstruksi pencitraan oleh organisasi nonpemerintah
dengan mengedepankan pendekatan public relations. Upaya perbaikan
atau kelengkapan dari paradigma yang penulis lakukan dalam hal ini
adalah paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif serta
menggunakan perspektif subjektif terhadap beberapa organisasi
nonpemerintah. Data secara subjektif akan lebih kuat sebagai dasar
dalam mengkonstruksi suatu model diplomasi publik yang mampu
membentuk pencitraan positif Indonesia. Secara khusus peneliti juga
mempertajam secara praktis dengan pendekatan public relations. Dari
penggunaaan paradigma tersebut dalam penelitian yang dilakukan
penulis, ditujukan sebagai upaya untuk melengkapi dan menggali
temuan yang masih tidak optimal dilakukan pada penelitian-
penelitian sebelumnya.

16 Citra Indonesia di Mata Dunia


2.2. Strategi Komunikasi Pembentukan Citra Positif Indonesia di Mata
Masyarakat Asing
Pada tahun 2004 telah dilaksanakan pengkajian dan
pengembangan strategi komunikasi dalam menunjang pembentukan
citra positif Indonesia di kalangan masyarakat asing, kerjasama antara
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dengan Lembaga
Informasi Nasional. Penelitian juga termasuk ke dalam klasifikasi
penelitian yang menggunakan paradigma penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif dan evaluatif akan tetapi masih kurang optimal dalam
menghasilan temuan-temuan penelitian yang diharapkan. Di mana
tujuan pengkajian ini adalah untuk mengevaluasi sistem pelayanan
informasi dan komunikasi luar negeri serta menguji dan mengamati
sejauh mana penerapan strategi pelayanan yang dilakukan berbagai
institusi pemerintah telah dilaksanakan secara benar dan konsisten.
Lingkup kegiatan meliputi pengkajian untuk mengevaluasi
sejauh mana kebijakan mengenai sistem pengelolaan, pengolahan,
serta diseminasi materi pelayanan informasi luar negeri telah
berlandaskan pada sudut pandang strategi komunikasi untuk
membangun citra positif Indonesia; mengevaluasi seberapa efektifkah
pelaksanaan pelayanan dan diseminasi informasi luar negeri oleh
berbagai instansi pemerintah dikoordinasikan dalam penyampaiannya
sehinga mencapai sasaran pada tempat, waktu, dan sasaran khalayak
yang tepat; serta menganalisis pengembangan upaya penyempurnaan
konsepsi sistem, strategi dan manajemen di bidang pengelolaan,
pengolahan materi, maupun pelayanan/diseminasi informasi luar
negeri yang diperlukan ke depan, baik untuk segmen khalayak
masyarakat asing di Indonesia maupun masyarakat internasional.
Metode penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi studi
meliputi berbagai kluster masyarakat asing yang berada di Indonesia,
meliputi wilayah Jakarta, Batam, dan Bali.
Berdasarkan hasil studi, disimpulkan bahwa belum terdapat
sistem komunikasi dan informasi dalam melayani masyarakat asing di
Indonesia secara terpadu antar lembaga terkait, mekanisme yang tidak
jelas serta tidak adanya sikap pelayanan dan transparansi pada pejabat;
pelayanan informasi dan komunikasi oleh pemerintah secara

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 17


kelembagaan berlangsung sporadis, insidental, parsial; saat ini belum
ada strategi pelayanan informasi yang dilakukan oleh pemerintah baik
secara konseptual, perencanaan, program maupun implementasi secara
khusus bagi masyarakat asing; hanya sedikit informasi tentang
Indonesia yang diperoleh dari kontak person atau melalui forum resmi;
citra Indonesia menurut masyarakat asing terdapat perbedaan sebelum
dan setelah berkunjung ke Indonesia, cenderung berubah dari citra
negatif berdasarkan pemberitaan media massa di negaranya menjadi
netral dan positif setelah mereka berada di Indonesia. Saran dan
rekomendasi antara lain pelayanan informasi bagi masyarakat asing
merupakan cakupan pekerjaan yang kompleks dan luas, untuk itu
diperlukan koordinasi, kerjasama di antara lembaga pengelola dan
penyedia informasi.16
Pada penelitian ini penulis menemukan keterbatasan mendasar
terutama dalam melakukan pengkajian dan pengembangan strategi
komunikasi dalam menunjang pembentukan citra positif Indonesia di
kalangan masyarakat asing tidak didasarkan pada pengkajian tentang
peranan Ornop-Ornop dalam ikut menunjang pembentukan citra
positif Indonesia di kalangan masyarakat asing. Dalam pendekatan
masalah, sekalipun digunakan konsep-konsep strategi komunikasi
untuk membentuk citra melalui pendekatan public relations, namun
pendekatan tersebut tidak dikaitkan dengan kegiatan diplomasi publik.
Dengan keterbatasan-keterbatan pengkajian ini akan penulis lengkapi
dengan analisis secara lengkap, khususnya terhadap peranan Ornop
secara subjektif serta mengkaji beberapa peran yang dilakukan oleh
Ornop tersebut melalui pendekatan public relations yang ditujukan
langsung pada telaah diplomasi publik sehingga pencitraan yang
terbentuk dalam penelitian ini dapat mengkonstruksi model-model
yang bisa dirujuk oleh pihak yang berkepentingan.

16 Tim Peneliti. 2004. Pengkajian dan Pengembangan Strategi Komunikasi Dalam Menunjang Pembentukan Citra
Positif Indonesia Di Kalangan Masyarakat Asing, Bandung: Kerja sama Lembaga Informasi Nasional
dengan Yayasan Arena Komunikasi. hlm. 95.

18 Citra Indonesia di Mata Dunia


2.3. The Failure of Indonesian Diplomacy, Indonesia's Political
and Diplomatic Relations with Australia Over East Timor
Pada tahun 2003 telah dilakukan studi oleh Sukawarsini
Djelantik untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy pada Flinders
University Australia, dengan judul disertasi: The Failure of Indonesian
Diplomacy? Indonesia's Political and Diplomatic Relations with Australia
Over East Timor. Metode penelitian yang digunakan adalah studi
kasus. Maksud Studi adalah mengevaluasi keterbatasan dan kegunaan
diplomasi sebagai suatu alat untuk menganalisis kinerja kegiatan
diplomasi Indonesia dalam kerangka penyelenggaraan diplomasi
Indonesia dengan Australia hubungannya dengan isu yang spesifik
tentang Timor Timur.
Membahas perkembangan diplomasi, sehubungan dengan
perkembangan teknologi modern, Sukawarsini, mengutip pendapat
R.P Barston, yang mengemukakan bahwa perubahan fundamental di
abad 21 (dua puluh satu) khususnya yang berhubungan dengan
teknologi Informasi, telah memaksa negara merumuskan kembali
praktek diplomasi mereka. Melalui perkembangan teknologi
informasi peran diplomat yang ditempatkan di luar negeri menjadi
berkurang. Sehubungan dengan itu peranan media massa dan
diplomasi publik menjadi penting. Sekalipun diplomasi tradisional
dan instrumen militer masih diperlukan, hal itu tidak cukup, sehingga
suksesnya suatu kebijakan juga mensyaratkan adanya dukungan dari
masyarakat negara lain termasuk pemimpinnya. Diplomat harus
memobilisasi koalisi dukungan dari masyarakat dalam negeri sendiri
dan juga masyarakat dari luar negeri.
Secara tradisional, diplomasi adalah tertutup dan hanya
berhubungan dengan diplomat serta wakil pemerintahan yang resmi.
Lain halnya dalam masyarakat terbuka, kerahasiaan dan ketertutupan
informasi tidak memiliki tempat lagi. Tambahan lagi, gagasan, dan
modal, bergerak sangat cepat, dan dengan tanpa hambatan melintasi
jaringan global dari pemerintahan, perusahaan, dan organisasi-
organisasi nonpemerintah. Diplomasi publik mencakup kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menanamkan opini publik di negara
lain, seperti mewujudkan adanya interaksi antara kelompok masyarakat
dari satu negara dengan kelompok masyarakat negara lain, antara

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 19


diplomat dengan koresponden negara lain, serta melalui proses
komunikasi antarbudaya. Sehubungan dengan itu peranan lembaga
seperti antara lain Asia Foundation, Japan Foundation, The Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) di Indonesia mempunyai arti
penting dalam diplomasi publik.
Membahas mengenai kondisi diplomasi Indonesia selama Orde
Baru, dikemukakan Sukawarsini bahwa sekalipun Departemen Luar
Negeri Indonesia telah mengkomunikasikan kebijakan luar negeri
Indonesia kepada masyarakat luar negeri dan juga menyebarkan
adanya perubahan-perubahan dalam hubungan internasional kepada
masyarakat dalam negeri, tetapi upaya itu tidak didukung oleh budaya
politik, dan oleh proses pembuatan keputusan di dalam pemerintahan
Indonesia. Peranan ABRI di masa Orde Baru merupakan faktor krusial
yang telah menghambat lajunya peranan Departemen Luar Negeri
sebagai aktor utama dalam kegiatan diplomasi, seperti beberapa kasus
pelanggaran terhadap hak asasi manusia oleh ABRI. Selain itu Undang-
undang Kebebasan Informasi yang dikenal luas di Negara Barat tidak
pernah terwujud selama Orde Baru. Informasi dipegang secara rahasia
oleh pejabat pemerintah dan tidak pernah dikemukakan kepada
masyarakat.
Hubungannnya dengan Australia, khususnya dalam kasus
Timor Timur, Indonesia tidak mempertimbangkan Australia sebagai
negara yang memiliki peranan berarti bagi penyelenggaraan kebijakan
luar negeri Indonesia karena Australia secara de facto, dan de jure telah
mengakui integrasi Timor Timur ke dalam negara Indonesia tahun
1978. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya ternyata sikap pemerintah
dan masyarakat Australia berubah setelah terjadinya serangkaian
pelanggaran hak asasi manusia oleh ABRI terhadap masyarakat Timor
Timur seperti insiden Balibo tahun 1975, insiden Dili tahun 1991, dan
lain-lain yang tidak disenangi oleh masyarakat Australia.
Berdasarkan hasil studinya diperoleh kesimpulan bahwa secara
umum diplomasi Indonesia telah gagal memelihara citra baik
Indonesia, memelihara hubungan yang stabil atau untuk bernegosiasi
mengenai kepentingan nasional Indonesia di Australia. Kinerjanya
dipengaruhi secara signifikan oleh faktor internal dan eksternal; politik
dalam negeri; isu regional dan internasional.

20 Citra Indonesia di Mata Dunia


Secara internal Departemen Luar Negeri RI dihadapkan kepada
masalah-masalah organisasi dan struktur, kekurangan dukungan
sumberdaya manusia, dan kekurangan koordinasi antar Departemen
Luar Negeri dengan departemen lain. Dalam berbagai kasus, Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra tidak banyak berperan,
dan tidak berperan secara strategik, serta hanya melaksanakan kegiatan
administrasi secara rutin.
Masalah lain adalah masalah dalam politik dalam negeri
Indonesia sendiri. Peranan signifikan dari militer (ABRI) dalam politik
Indonesia telah menghambat peran diplomasi Departemen Luar
Negeri. Militer telah menyensor informasi dari Timor Timur dan
mencegah akses ke Timor Timur. Kondisi ini tidak menguntungkan
dalam terminologi menghadirkan citra Indonesia sebagai sebuah
negara demokrasi. Departemen Luar Negeri Indonesia tidak
mempunyai kewenangan atau kekuasaan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Masalah eksternal, kegagalan diplomasi Indonesia mengacu
kepada peranan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia
yang memahami kompleksitas media internasional, sedangkan
Departemen Luar Negeri Indonesia dan bagian pemerintahan lainnya
tidak memahami kompleksitas media internasional dan tidak dapat
memahami cara kerja sistem politik Australia.
Diplomasi Indonesia juga gagal untuk melakukan penyesuaian
terhadap perubahan lingkungan internasional. Revolusi dalam
teknologi informasi memungkinkan aktor nonnegara dan warga negara
secara individu memainkan peranan dalam diplomasi dan melakukan
tindakan sebagai suatu kelompok penekan untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Sekalipun perubahan terjadi, Indonesia masih
menggunakan paradigma lama dan sudut pandang diplomasi
tradisional. Negosiasi masih ditangani pihak pemerintah tanpa
diketahui publik. Diplomasi masih dipandang sebagai urusan wakil-
wakil pemerintah dimana informasi dan keamanan nasional
merupakan hak istimewa pejabat-pejabat pemerintah. Publik dianggap
tidak memahami politik dan aktivitas diplomatik, serta pemerintah
mengambil setiap keputusan atas nama kepentingan nasional.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 21


Perubahan-perubahan dalam lingkungan dunia juga telah
mengubah peranan publik dan individu dalam diplomasi publik.
Bagaimanapun diplomasi Indonesia lalai memanfaatkan diplomasi jalur
kedua yang sangat berarti, seperti pemerintahan Orde Baru yang lebih
memfokuskan untuk menjaga dan meningkatkan hubungan baik
antarpemerintah. Tidak digunakannya diplomasi publik memberi
kontribusi yang berarti terhadap kegagalan diplomasi Indonesia di
Australia. Departemen Luar Negeri Indonesia baru memulai aktivitas
diplomasi publik setelah terjadi insiden Dilli tahun 1991, sementara aktor-
aktor bukan negara orang Timor Timur telah memiliki periode yang
panjang untuk menanamkan dukungan dari NGO's internasional, aktivis,
dan media. Jaringan internasional memberikan kontribusi yang sangat
berarti terhadap suksesnya diplomasi internasional orang Timor Timur.
Sekalipun telah terjadi revolusi teknologi informasi, serta hal itu
mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam proses media nasional
Indonesia, pemerintah Indonesia juga tidak banyak terlibat dalam
proses secara keseluruhan untuk memperoleh informasi dan
menyebarluaskannya. Hasilnya adalah publik Indonesia tidak memiliki
informasi yang cukup tentang isu Timor Timur.
Sukawarsini menyimpulkan bahwa, mempertimbangkan
seluruh faktor secara keseluruhan, diplomasi Indonesia telah gagal
dalam mengupayakan keberhasilan diplomasi dengan Australia.
Kegagalan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1) Diplomat Indonesia tidak memenangkan hati dan pikiran orang-
orang Australia juga publik Timor Timur. Pendekatan
diplomatik hanya berhubungan dengan tingkatan pejabat resmi
dan mengabaikan peranan yang berarti dari diplomasi publik.
2) Diplomat Indonesia gagal karena mereka meremehkan potensi
Timor Timur yang membahayakan citra Indonesia di tingkat
internasional.
3) Diplomat Indonesia tidak memperhitungkan sistem politik
Australia dan proses pembuatan keputusan dalam pemerintahan
Australia. Partai-partai oposisi tidak eksis di dalam sistem politik
Indonesia, tetapi di Australia partai-partai oposisi memainkan
peranan yang sangat berarti dalam mempengaruhi opini publik
orang Australia tentang kasus Timor Timur. Diplomat-diplomat

22 Citra Indonesia di Mata Dunia


Indonesia menganggap pernyataan-pernyataan partai oposisi
sama saja dengan partai yang berkuasa. Pernyataan diplomatik
Indonesia sering membingungkan apakah pernyataan itu
ditujukan kepada pemerintah yang berkuasa atau kepada
pemimpin oposisi.
4) Diplomasi Indonesia lebih dari dua dekade diwarnai berbagai
kepentingan, dan oleh kelompok yang berbeda.17

Studi tentang kegagalan diplomasi Indonesia yang menyangkut


isu Timor Timur telah menekankan betapa pentingnya diplomasi
publik dalam mempengaruhi opini masyarakat suatu negara sehingga
pada gilirannya dapat mempengaruhi kebijakan negara yang
bersangkutan. Pemanfaatan aktor-aktor nonnegara dan media massa,
baik nasional maupun internasional merupakan sasaran dalam
penyelenggaraan diplomasi publik. Namun langkah-langkah yang
harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberdayakan
diplomasi publik yang melibatkan publik-publik kepentingan seperti
pebisnis, organisasi nonpemerintah, media massa dan lain-lain, belum
terbahas secara konkret.
Berkenaan dengan penyelenggaraan diplomasi publik melalui
pendekatan public relations secara lebih mendalam, di dalam studi ini
akan ditelaah sesuai dengan fokus penelitian yang dianalisis.
Bagaimana Penelitian ini diharapkan mampu secara khusus mengkaji
peranan Koalisi untuk Kebebasan Informasi sebagai salah satu aktor
bukan negara dalam mewujudkan good governance untuk membangun
citra Indonesia.

2.4. Teori Konstruksi Sosial tentang Realitas (The Social


Construction of Reality)
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Teori Konstruksi
Sosial tentang Kenyataan (1990: 1) mengemukakan bahwa kenyataan
itu dibangun secara sosial. Namun, kenyataan sosial itu bukanlah

17 Sukawarsini Djelantik. 2003. The Failure of Indonesian Diplomacy ? Indonesia's Political and Diplomatic
Relations with Australia Over East Timor. Disertasi Ph.D. Flinders University, hlm. 450-455.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 23


tunggal melainkan bersifat ganda. Kenyataan sosial itu bersifat ganda
karena memiliki dimensi objektif dan subjektif. Kenyataan yang
berdimensi objektif diperoleh manusia melalui proses eksternalisasi,
dan kenyataan objektif itu mempengaruhi kembali manusia melalui
proses internalisasi yang mencerminkan kenyataan subjektif. Melalui
kemampuan berfikir dialektis, Berger memandang bahwa masyarakat
merupakan produk manusia, dan manusia juga sebagai produk
masyarakat (Parera dalam Berger, 1990 : xx).
Proses eksternalisasi, internalisasi, dan juga objektivasi, sebagai
kerangka pemikiran dari Berger merupakan langkah-langkah dalam
proses dialektis masyarakat untuk memperlihatkan hubungan antara
individu dan masyarakat. Proses eksternalisasi merupakan proses
penciptaan suatu dunia manusia, karena manusia diprogram secara
tidak sempurna sehingga manusia harus menciptakan dunia manusia,
yaitu kebudayaan dan juga menciptakan dirinya dalam suatu dunia,
sehingga setiap masyarakat merupakan usaha ke arah pembangunan
dunia, dan oleh karena itu masyarakat merupakan produk manusia.
Kemudian, kebudayaan yang diciptakan manusia menjadi sesuatu
yang berada di luar diri manusia dan menjadi suatu realitas objektif.
Selanjutnya sesuatu yang diobjektivasi diserap kembali ke dalam
struktur kesadaran subjektif individu melalui proses internalisasi, dan
dalam hal ini manusia adalah produk masyarakat (Sunarto, 2000 : 236).
Salah satu lembaga sosial yang besar dalam masyarakat yang
sangat mempengaruhi proses eksternalisasi individu-individu yaitu
negara, dan dengan birokrasinya sangat mewarnai kehidupan publik
dari individu-individu. Struktur-struktur objektif dalam pandangan
Berger dan Luckmann tidak pernah menjadi produk akhir dari suatu
interaksi sosial karena struktur berada dalam suatu proses obyektivasi
menuju bentuk baru internalisasi yang kemudian melahirkan proses
eksternalisasi baru lagi. Bentuk baru internalisasi inilah yang menurut
hemat penulis akan bermuara pada tatanan subjektifivitas, dengan
demikian landasan penggunaan Teori Konstruksi Sosial ini sangat
relevan ketika penulis harus mengelaborasi temuan-temuan yang
berupa kondisi natural dan objektif dari informan maupun lingkungan
yang mendukungnya.

24 Citra Indonesia di Mata Dunia


Secara tegas dalam menganalisis realitas objektif melalui realitas
dari individu dalam masyarakat dengan kekuatan subjektivitasnya
maka diasumsikan banyak dipengaruhi oleh budaya atau etnik
individu dalam masyarakat atau masyarakat secara keseluruhan .
Parera (Berger dan Luckmann, 1990: xxii) selanjutnya
menyatakan bahwa perubahan itu tidak akan cepat terjadi apabila ada
rasa aman yang dialami individu-individu berhadapan dengan struktur
objektif. Rasa aman bukan secara materi, tetapi aman secara rohani,
antara lain karena makna kehidupannya dijamin dalam struktur
objektif. Apabila individu kehilangan rasa aman atau mengalami
alienasi, maka ancaman terhadap struktur objektif akan muncul,
sekalipun hanya dalam taraf kesadaran subjektif.
Menurut Berger, kenyataan hidup sehari-hari mempengaruhi
kesadaran yang paling masif, mendesak dan mendalam. Sekalipun apa
yang merupakan di sini bagi seseorang, dan merupakan di sana
bagi orang lain, boleh jadi bertentangan, tetapi menurut Berger,
seseorang dan orang lain hidup dalam suatu dunia bersama, dan ada
persesuaian yang berlangsung terus menerus antara makna-makna
seseorang dengan orang lain dan mempunyai kesadaran bersama
tentang kenyataan di dalamnya (Berger, 1990: 31-34).
Seperti dikatakan Berger dan Luckmann bahwa kenyataan atau
realitas itu dapat berbeda penerimaannya antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. Memberi contoh tentang 'kebebasan',
apa yang menyebabkan paham tentang kebebasan itu diterima
sebagai sudah sewajarnya dalam masyarakat yang satu dan tidak
diterima dalam masyarakat yang lain (Berger dan Luckmann, 1990:3).
Dikemukakan pula oleh Littlejohn (1996:180) dalam sebuah ilustrasi
tentang ide dasar dari konstruksi sosial atas realitas bahwa nampaknya
tidak ada cara yang tetap untuk memahami setiap objek. Konstruksi
sosial tidak sepenuhnya konsisten dan memiliki banyak sudut pandang,
sebagaimana dikemukakannya:
There is a seemingly endless number of ways to understand each object.
How we understand objects and how we behave toward them depend in
large measure on the social reality in force. Like all movement, social
construction is not entirely consistent and has various version.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 25


Sebagaimana dikemukakan Littlejohn, Carl Rogers (Mulyana,
2004: 189), juga menyatakan bahwa individu berreaksi terhadap dunia
yang dialaminya dan menafsirkannya. Dunia perseptual bagi individu
tersebut adalah realitas. Kita tidak bereaksi terhadap realitas mutlak
melainkan terhadap persepsi kita mengenai realitas tersebut. Kita hidup
dengan peta perseptual yang tidak pernah merupakan realitas itu sendiri.
Menurut Mulyana terkadang indra dan persepsi kita menipu sehingga
kita ragu seberapa dekat persepsi kita dengan realitas sebenarnya. Tidak
ada persepsi yang pernah objektif karena kita melakukan interpretasi
berdasarkan pengalaman masa lalu dan kepentingan kita.
Persepsi yang keliru dapat timbul karena seperti dikemukakan
Hatcher (Moleong, 2004:50) kemungkinan terjadi kesulitan dalam
mengkonstruksi realitas, ada realitas objektif yang ditelaah melalui
realitas subjektif, dan ada realitas yang dipersepsikan tentang realitas
yang dibangun oleh suatu paradigma. Untuk memberikan penjelasan
dan penegasan atas alasan penulis menggunakan teori Konstruksi
Sosial atas Realitas berdasarkan fenomena objektif dan subjektif yang
ternyata banyak ditemukan dalam studi di lapangan, maka berikut ini
dapat dilihat pada gambar pembagian realitas soaial yang menjadi
fokus kajian dialektika dalam masyarakat yang dimaksud.

REALITAS REALITAS
YANG YANG
DISADARI TAMPAK

REALITAS REALITAS

SUBJEKTIF OBJEKTIF

REALITAS REALITAS
YANG TIDAK YANG TIDAK
DISADARI TAMPAK

Gambar 2.1. Konstruksi Realitas Menurut Hatcher (1990)

2.5. Interaksionisme Simbolik


Kebutuhan akan suatu pisau analisis dalam menganalisis
fenomena tentang realitas sosial, yang sebelumnya diasumsikan banyak

26 Citra Indonesia di Mata Dunia


dipengaruhi oleh pemikian-pemikiran dalam bidang kajian ilmu sosial
seperti konstruksi sosial, pencitraan, komunikasi antarbudaya,
semuanya akan menukik pada telaah terhadap fenomena masyarakat
dalam proses diplomasi publik yang akan banyak menciptakan dan
mengembangkan simbol dan makna. Simbol dan pemaknaan inilah
yang pada akhirnya akan dipertukarkan seiring dengan upaya mem-
persepsi dan memberikan citra selama diplomasi publik berlangsung.
Pemikiran filosofis Mead pada dasarnya merupakan pandangan
aliran "pragmatism". Perkembangan pendekatan aliran Interaksionisme
Simbolik ini, menurut Manford Kuhn, dapat dibagi dalam 2 (dua)
periode. Periode pertama, merupakan periode tradisi oral dan menjadi
awal perkembangan dasar-dasar pemikiran Interaksionisme Simbolik.
Tokoh-tokohnya yang dikenal antara lain Charles Cooley, John Dewey,
L. A. Richard dan George Herbert Mead. Karya Mead tentang Mind, Self
and Society (Pemikiran, Diri dan Masyarakat) merupakan bahan
pegangan pemikiran yang utama. Oleh karena itu, periode ini disebut
juga sebagai periode mead atau meadian. Periode kedua, disebut juga
sebagai masa pengkajian atau penyelidikan, muncul beberapa tahun
setelah publikasi karya Mead. Tokoh-tokoh yang muncul pada masa ini
antara lain Herbert Banner (penerus aliran Chicago School) dan
Manford Kuhn (The Iowa School), dan Kenneth Burke.
Mead, berpandangan bahwa studi tentang tingkah laku manusia
pada dasarnya tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti
cara mempelajari benda-benda. Manusia, menurut aliran ini, adalah
makhluk yang kreatif, inovatif dan bebas mendefinisikan setiap situasi
melalui berbagai cara yang mungkin tidak dapat diduga sebelumnya.
Keberadaan diri manusia (self) dan keberadaan masyarakat (society)
dilihat sebagai proses, bukan struktur tetap. Apabila kembali ke
pemikiran Mead, ada tiga konsep utama yang diajukan olehnya yakni:
Mind, Self and Society (Pemikiran, Diri dan Masyarakat). Ketiga konsep
ini menurut Mead merupakan unsur-unsur utama yang terlibat dalam
proses yang disebut "tindakan sosial". Tindakan sosial, menurut Mead,
merupakan suatu unit lengkap yang terjadi dan tidak dapat dianalisis
secara sepotong-sepotong. Bentuk dasar tindakan sosial adalah : aksi,
reaksi dan hasil interaksi. Hasil interaksi adalah makna yang diperoleh
komunikator atas tindakan yang dilakukannya. Dengan demikian,

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 27


makna bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan
hasil dari keterkaitan dari tiga unsur tersebut di atas.
Mead lebih lanjut mengatakan bahwa orang adalah aktor
(pelaku) dalam masyarakat, bukan reaktor, sementara "social act"
(tindakan sosial) merupakan payungnya. Tindakan sosial ini, menurut
Mead, mencakup 3 (tiga) tahapan yang saling berkaitan: (1) initial gesture
(gerak isyarat awal) dari seorang individu, (2) response (tanggapan) atas
gerak isyarat tersebut dari individu-individu lainnya baik secara nyata
maupun secara tersembunyi, dan (3) hasil tindakan (interaksi) yang
dipersepsikan oleh kedua belah pihak.
Mead berpandangan bahwa masyarakat (society) merupakan
himpunan dari perbuatan-perbuatan kooperatif yang berlangsung di
antara para warga/anggotanya. Namun demikian, perbuatan kooperatif
ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisik-biologis, tetapi juga aspek
psikologis karena melibatkan proses berpikir (minding). Jadi
cooperation atau kerjasama mengandung arti membaca atau
memahami tindakan dan maksud orang lain agar dapat berbuat sesuai
dengan cara yang diinginkan orang lain. Pemikiran bahwa masyarakat
merupakan rangkaian interaksi penggunaan simbol-simbol yang
kooperatif, pada dasarnya menekankan pentingnya aspek berbagi arti
(sharing) atas simbol-simbol yang digunakan diantara para anggota
masyarakat. Interaksi sosial, dengan demikian dapat dikatakan sebagai
hasil perpaduan antara pemahaman diri sendiri (self) dan pemahaman
atau pemikiran (mind) atas orang-orang lain dalam masyarakat (society).
Inilah pokok-pokok pikiran mengenai Mind, Self and Society
sebagaimana dikemukakan oleh George Herbert Mead (dalam Joel M.
Charon, Symbolic Interactionism : An Introduction, An Interpretation, An
Integration", 1998: 27-33).
Interaksionisme simbolik sangat penting dalam menelaah
fenomena simbol-simbol dan pemaknaan-pemaknaan yang dilakukan
dalam diplomasi publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
non pemerintah di dalam negeri dan antar negara. George Ritzer
(Mulyana, 2001:73) meringkaskan teori interaksionisme simbolik ke
dalam prinsip-prinsip, sebagai berikut:
1) Manusia tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan
kemampuan berpikir, 2) Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh

28 Citra Indonesia di Mata Dunia


interaksi sosial, 3) Dalam interaksi sosial orang belajar makna dan
simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan
khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir, 4) Makna dan simbol
memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi
yang khas manusia, 5) Orang mampu memodifikasi atau
mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas
situasi, 6) Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini
karena antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri
sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan
tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian
memilih salah satunya, 7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang
jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.

2.6. Teori Diplomasi dan Diplomasi Publik


Dalam penelitian ini secara tegas dibutuhkan beberapa telaah
mengenai dasar teori Diplomasi dan Diplomasi Publik. Sebagai hasil
telaah peneliti dalam menemukan teori-teori mendasar tersebut, maka
telaah teori-teori yang dimaksud dapat berawal dari analisis kata
diplomasi, dimana dalam bahasa mutakhir menurut Nicolson
(1988:3-5) menunjukkan beberapa pengertian yang berbeda. Diplomasi
berarti politik luar negeri, negosiasi, mekanisme pelaksanaan politik
luar negeri, atau cabang dinas luar negeri. Sedangkan definisi
diplomasi, Nicolson mengutip definisi diplomasi dari Oxford English
Dictionary yaitu: Diplomacy is the management of international relations by
negotiation; the method by which these relations are adjusted and managed by
ambassadors and envoys; the business or art of the diplomatist. Definisi lain
dari Satow: (Nicolson, 1988:24) The application of intellegence and tact to
the conduct of official relations between the goverments of independent states.
Definisi lain (Roy, 1991: 2-3) menurut KM Panikkar: Diplomasi, dalam
hubungannya dengan politik internasional adalah seni mengedepankan
kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.
Definisi-definisi tersebut setidaknya dapat dijadikan dasar dalam
memahami maksud dari diplomasi yang menjadi salah satu fokus
dalam penelitian ini. Sebagaimana peneliti dapat simpulkan bahwa
pemahaman awal mengenai diplomasi ini dapat diarahkan kepada

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 29


upaya-upaya seseorang dalam melaksanakan suatu proses interaksi dan
komunikasi yang memiliki muatan begitu luas dan berada dalam
koridor hubungan internasional.
Penyelenggaraan diplomasi didasarkan kepada perkembangan
teori diplomasi yang sejalan dengan perkembangan sejarah
penyelenggaraan diplomasi. Sebagaimana dikemukakan Prof. Mowat
(Nicolson, 1988 : 15) perkembangan teori diplomasi dapat dibedakan
dalam tiga periode, periode pertama tahun 476-1475, meliputi periode
kegelapan ketika diplomasi belum diorganisasikan secara baik; periode
kedua tahun 1473-1914 merepresentasi-kan satu tahap dalam sejarah
ketika teori diplomasi mengikuti sistem kebijakan yang dikenal dengan
Sistem Negara Eropa; periode ketiga, diplomasi mengacu pada
pernyataan Presiden A.S Woodrow Wilson (1918) dalam sebuah pidato
yang dikenal dengan Diplomasi Demokratis. Poin pertama pidatonya
(S.L. Roy, 1991:79) adalah: Perjanjian damai yang terbuka yang dicapai
secara terbuka tak boleh diikuti dengan pengertian (understanding)
internasional secara tersendiri dalam bentuk apapun, tetapi diplomasi
harus berlangsung secara terbuka dan diketahui umum.
Sekalipun tidak diketahui kapan diplomasi pertama kali
digunakan, Roy (1991: 49-68) setuju dengan yang dikatakan Nicolson
bahwa asal mula diplomasi ikut terkubur di kegelapan zaman yang
mendahului fajar sejarah, sehingga dugaan bahwa pada saat manusia
memulai kehidupan kelompok, mengadakan hubungan, bernegosiasi
dalam upaya penghentian permusuhan, dan lain-lain dapat dianggap
bukti adanya diplomasi pada zaman pra-sejarah. Pada dasarnya teori
diplomasi sangat dipengaruhi oleh unsur pragmatis dari para
pelakunya dan cenderung lebih mengarah kepada upaya-upaya
persahabatan dan kerjasama, dan jika ada permasalahan maka jalan
saling memahami dan pengertian antar pihak yang terlibat didalamnya
lebih diutamakan dengan tanpa adanya permasalahan baru.
Perkembangan diplomasi di India Kuno, yang dijumpai adanya
referensi berbagai tipe utusan seperti duta, prahita, palgala, suta. Di
Yunani, adanya juru bicara dan penyampai pesan serta melakukan
negosiasi di antara suku-suku bangsa yang berbeda. Di Romawi Kuno,
yang menciptakan berbagai aturan seperti hukum yang diterapkan
kepada warga negara Romawi, kepada warga negara Romawi dengan

30 Citra Indonesia di Mata Dunia


orang asing, dan hukum bagi seluruh ummat manusia. Di zaman
Byzantium, yang pertama mengorganisasi Departemen Luar Negeri
untuk berhubungan dengan urusan-urusan luar negeri, melatih para
duta besar untuk dikirim ke negara lain. Perkembangan diplomasi
sesudah renaissance di Italia, Perancis, dengan melaksanakan diplomasi
yang modern seperti penempatan utusan di negara lain secara
permanen, adanya hukum perang dan damai sehingga menurut
Nicolson : 'kemajuan teori diplomasi telah berangkat dari konsepsi
sempit hak-hak kesukuan yang eksklusif menuju konsepsi yang lebih
luas tentang kepentingan umum yang inklusif'.
Jika dianalisis berdasarkan periode dan ciri diplomasi dalam
hubungan antar negara, maka diplomasi memiliki perkembangan yang
cukup unik dan berpengaruh terhadap karakter diplomasi. Sebagai
misal analisis diplomasi ini dapat dimulai dari tinjauan berdasarkan
periode keberlakukan praktek diplomasi. Periode diplomasi demokratis
menandai transisi dari diplomasi lama pada periode pertama dan
kedua, dengan diplomasi baru. Diplomasi lama (Nicolson. 1988: 28-29)
disebut juga diplomasi rahasia, yang tidak mempunyai reputasi baik
dalam pandangan moral. All really good speak of the 'Old Diplomacy' as
also her disreputable friend 'Secret Diplomacy'- in a tone of moral censure.
Tetapi menurut Cambon, dugaan adanya perbedaan antara diplomasi
lama dan baru adalah ilusi yang populer to contend that the alleged
difference between the old and the new diplomacy is a popular illusion. Era
diplomasi lama (Roy. 1991 : 73-75) mengacu pada periode berkisar sejak
munculnya sistem negara bangsa sampai pada Perang Dunia I. Untuk
memperoleh tujuan yang lebih besar, negara kadang-kadang
menggunakan ancaman atau penggunaan kekuatan sesungguhnya tapi
jarang menjadi ancaman nyata. Diplomasi lama atau tradisional
mencirikan semangat kompromi. Keberhasilan diplomasi lama yang
terbesar adalah keberhasilan negosiasi dalam kongres wakil lima negara
besar yaitu Austria, Rusia, Prussia, Inggris, dan Perancis pada Kongres
Wina tahun 1815 yang bersepakat untuk mengahiri perbedaan di antara
mereka. Sedangkan diplomasi demokratis, menurut Wilson (Roy.1991 :
79) atau disebut juga diplomasi baru, atau diplomasi terbuka,
mengandung tiga gagasan yaitu: pertama, harus tidak ada perjanjian
rahasia; kedua, negosiasi harus dilakukan secara terbuka; ketiga, apabila

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 31


suatu perjanjian sudah dicapai, tak boleh ada usaha di belakang layar
untuk mengubah ketetapannya secara rahasia.
Menurut Nicolson (1988 : 36-37) perkembangan teori diplomasi
dalam negara-negara demokratis bersumber dari konsepsi hak-hak
nasional secara eksklusif ke arah konsepsi kepentingan internasional
bersama. I have already stated that the development of diplomatic theory in
democratic states has been from the conception of exclusive national rights
towards a conception of common international interest. Faktor besar kedua
dalam perkembangan teori diplomasi selama abad sembilan belas
adalah kebangkitan pentingnya opini publik. Dikemukakan Palmerston
bahwa opini lebih kuat dari tentara. Opini publik yang didasarkan
kepada kebenaran dan keadilan akan berhasil melawan bayonet
infantri, tembakan artileri dan serangan kavaleri. Sedangkan faktor
ketiga adalah perkembangan sistem komunikasi sehingga dengan
penemuan mesin uap, telegraf, pesawat terbang, telepon, telah banyak
mengubah praktek-praktek diplomasi lama. Faktor-faktor perkembang-
an teori diplomasi tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Nicolson (1988 :
37), sebagai berikut:
The second factor in the development of diplomatic theory during the
nineteenth century was the growing realization of the importance of
public opinion. Palmerstone was of the same view. 'opinions' he said are
stronger than armies. Opinions if they are founded in truth and justice,
will in the end prevail against the bayonets of infantry, the fire of
artillery, and the charges of cavalery. A third factor in this transition was
the improvement in communications. The steam engine, the telegraph,
the aeroplane and the telephone have done much to modify the practices
of the old diplomacy .

Perkembangan sejarah penyelenggaraan diplomasi dikemuka-


kan pula oleh Brian White bahwa diplomasi dapat dibedakan dari
tingkatan tradisional kepada baru ; dari perang dingin kepada
setelah perang dingin. Perbedaan pengertian diplomasi tradisional
(traditional diplomacy) dengan diplomasi baru (new diplomacy) serta
diplomasi perang dingin (cold war diplomacy) dengan diplomasi
setelah perang dingin (post cold war diplomacy) ditinjau melalui struktur,
proses dan agendanya.

32 Citra Indonesia di Mata Dunia


Diplomasi tradisional memiliki struktur yang menempatkan
negara sebagai pusat kegiatan. Pejabat diplomatik bertindak atas nama
negara yang kemudian menjadi suatu institusi bahkan menjadi suatu
profesi. Mengenai prosesnya, diplomasi diorganisasikan secara luas
dalam hubungan bilateral dan biasanya dilaksanakan secara rahasia.
Sejak abad ke 15, diplomasi menjadi bukan hanya proses yang teratur
tetapi proses yang diatur, dan agendanya sempit serta tentu saja dengan
membandingkan periode sebelumnya. Kepentingan yang kuat dari
diplomasi direfleksikan oleh kekuatan kepentingan pimpinan
politiknya. Demikian juga halnya dengan Diplomasi Baru timbul
karena kegagalan Diplomasi Tradisional untuk mencegah perang
dunia pertama sehingga meluaskan keyakinan bahwa bentuk baru
diplomasi dibutuhkan. Diplomasi Baru timbul dari dua gagasan
penting yaitu: pertama, diplomasi seyogyanya lebih membuka
pengawasan dan penelitian publik. Kedua, pentingnya membangun
organisasi internasional yang bermula dari Liga Bangsa Bangsa yang
dibentuk setelah perang dunia pertama.
Jika dianalisis berdasarkan strukturnya maka struktur Diplomasi
Baru tetap hampir sama dengan Diplomasi Tradisional yang
menempatkan negara dan pemerintahan sebagai aktor utama dalam
sistem, namun terdapat dua perubahan penting yang perlu dicatat,
bagaimanapun mempunyai implikasi bukan hanya terhadap struktur
tetapi juga terhadap proses. Pertama, negara tidak lagi menjadi satu-
satunya aktor yang terlibat. Negara harus membagi masalah
internasional seperti organisasi internasional yang juga terlibat dalam
diplomasi. Organisasi internasional terdiri dari dua tipe yaitu
antarpemerintah dengan anggota hanya wakil-wakil pemerintah, dan
nonpemerintah dengan anggota secara individual dan kelompok. Kedua,
mulai mengubah terminologi lingkup kegiatan dan memperluas
ketentuan-ketentuan yang menyangkut kehidupan warga negara.
Mereka mempunyai kepedulian yang lebih luas dari semula hanya untuk
keamanan fisik kepada kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Perubahan kepentingan dari negara sebagai aktor internasional
dan pertumbuhan sejumlah aktor non-negara yang terlibat dalam
perubahan ciri-ciri karakteristik Diplomasi Baru, sebagai sebuah
proses dalam negosiasi. Dengan demikian kajian diplomasi sebagai

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 33


sesuatu kegiatan yang kompleks yang melibatkan aktor yang berbeda
sangat nyata dalam menunjukkan arah perkembangannya.
Jika dianalisis berdasarkan perspektif agenda diplomasi
selanjutnya maka seiring dengan perkembangan dan kepentingan antar
negara berkembanglah sebuah paradigma diplomasi baru. Diplomasi
baru ini berisi sejumlah isu baru dan juga memperkuat kembali
pengamanan secara militer. Penghindaran perang menjadi prioritas,
bahwa Diplomasi Baru mengusahakan Perang Dunia pertama
sebagai akhir dari seluruh perang. Namun, dengan pecahnya Perang
Dunia Kedua, keterbatasan Diplomasi Baru menjadi terungkap.
Sekalipun demikian karakteristik-karakteristik dalam Diplomasi
Baru terus berlanjut dan berkembang setelah Perang Dunia Kedua,
seperti multilateralisme dan bertambahnya agenda khusus yang
menyangkut isu tentang lingkungan hidup, teknologi dan pengawasan
persenjataan. (Baylis and Smith, 2001:317-322).
Berakhirnya Perang Dunia Kedua menurut Hamilton dan
Langhorne (1995 : 183, 187) mengukuhkan pelajaran bagi bangsa di
Eropa bahwa tidak ada perbedaan antara politik internasional dan
ekonomi internasional. Bertambahnya jumlah permasalahan di bidang
industri, sosial dan teknologi dipersepsikan memiliki dimensi
internasional, dan oleh karena itu juga memiliki dimensi diplomasi.
Sebagaimana halnya perang dalam abad ke-20, diplomasi menjadi total
dalam sasarannya dan masalah pokoknya. Istilah menurut Chester B.
Bowles yang dikutip Hamilton : we are coming to realize that foreign
operations in today's world call for a total diplomacy ... . Franklin Delano
Roosevelt mantan Presiden Amerika Serikat, juga mendorong orang-
orang dari dunia industri dan perdagangan untuk melakukan misi
diplomatik. White (Baylis and Smith, 2001: 317) mendefinisikan
diplomasi ... as a key process of communication and negotiation in world
politics and as an important foreign policy instrument used by global actors.
Memperhatikan luasnya cakupan masalah dalam diplomasi
total yang melibatkan banyak komponen masyarakat maka dapat
dipahami apabila pada tahun 1979 kongres Amerika mengubah nama
United States Advisory Commision on International Communication,
Cultural, and Educational Affairs yang memiliki kewenangan dalam
melayani berbagai kepentingan publik menjadi United States Advisory

34 Citra Indonesia di Mata Dunia


Commission on Public Diplomacy. Komisi ini berkewajiban untuk
melaporkan kepada Presiden, Kongres dan Menteri serta Direktur
United States Information Agency (USIA) yang bersangkutan dengan
kegiatan diplomasi publik (Van Dinh, 1987 : 49-50 ).
Istilah Diplomasi Perang Dingin merujuk kepada beberapa
aspek yang spesifik dari diplomasi yang tumbuh setelah Perang Dunia
Kedua. Sejak akhir 1940 sampai dengan 1980 politik dunia didominasi
oleh konfrontasi ideologi antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet.
Aktivitas diplomatik diasosiasikan dengan konfrontasi Timur-Barat
yang kemudian memunculkan istilah Diplomasi Perang Dingin atau
Diplomasi Nuklir, yaitu interaksi di antara negara-negara yang
mempunyai persenjataan nuklir agar tidak menggunakan senjata nuklir
atau menghentikan kegiatan yang telah dimulainya; kemudian
Diplomasi Krisis merujuk kepada komunikasi dan negosiasi yang
sulit dilaksanakan dari negara-negara yang terlibat dalam krisis;
Diplomasi Pertemuan Tingkat Tinggi merujuk kepada pertemuan di
antara para kepala pemerintahan khususnya negara adi kuasa untuk
memecahkan permasalahan utama. Pertemuan tingkat tinggi ini
menjadi mode selama perang dingin. (Baylis and Smith, 2001:322).
Diplomasi setelah Perang Dingin ditandai dengan berakhirnya
konflik ideologi Timur-Barat dan bubarnya Uni Sovyet yang
membangkitkan harapan umum tentang kekuatan yang dapat diperoleh
melalui diplomasi dan negosiasi. Suksesnya penghentian invasi Irak ke
Kuwait tahun 1991 memunculkan sebuah model diplomasi ke depan.
Optimisme ini kemudian berubah bahwa berakhirnya Perang Dingin
ternyata menyimpan masalah yang tersembunyi. Contoh masalah yang
tersembunyi antara lain kegagalan diplomasi untuk mengatasi kekacauan
di Balkan yang menggambar-kan sifat keras kepala dari banyak masalah
dalam perang dingin. Masalah dimulai ketika pada tahun 1991 Kroasia
dan Slovania menyatakan kemerdekaannya serta Serbia menggunakan
kekuatan militer untuk berupaya menjaga keutuhan Yugoslavia. Masalah
yang sama menyebar ke anggota federasi lainnya, yaitu ke Bosnia-
Hercegovina, dan tahun 1998- 1999 ke Kosovo. Konflik ditangani dalam
bentuk militer secara konvensional tetapi juga dirumitkan oleh tindak
kekerasan antaretnik yang berbeda kelompok, seperti orang Serbian,
orang Kroasia dan orang Muslim (Baylis and Smith, 2001: 323-324).

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 35


Aspek yang dijadikan studi diplomasi selain aspek historis
adalah aspek tipologi. Secara khusus, menurut Jonsson, dapat
dibedakan dengan berbagai fungsi dalam diplomasi. Fungsi utama
adalah representasi yang terdiri dari representasi simbolik, representasi
kepentingan dan kekuatan, dan representasi gagasan tentang
perdamaian dan dialog, serta representasi pertukaran informasi.
Kemudian fungsi negosiasi, perlindungan warga negara dan
perdagangan, promosi ekonomi, hubungan kebudayaan, dan ilmu
pengetahuan sebagai sebuah peningkatan fungsi yang penting dalam
diplomasi. Tipologi lain dapat dilihat dari model diplomasi yang
membedakan antara diplomasi bilateral, multilateral, dan diplomasi
tingkat kepala negara atau pemerintahan, atau antara diplomasi terbuka
dan diplomasi rahasia atau teknik-teknik diplomatik yang dapat
dibedakan antara negosiasi, mediasi, atau koresponden diplomatik,
persetujuan-persetujuan dan aturan-aturan keprotokolan. Secara
umum, literatur tentang penyelenggaraan diplomasi berlimpah dalam
metoda dan tekniknya tetapi memiliki keterbatasan dalam teorinya.
The general point, to repeat, is that the literatur on diplomacy displays an
abundance of taxonomics, but a shortage of theories.
Salah satu hasil studi mengenai diplomasi selanjutnya yaitu
dilakukan oleh Jonsson yang mengemukakan tentang isu-isu
kontemporernya. Dalam temuannya itu terdapat dua tema yang
menonjol dalam diplomasi yang dimaksud yaitu, corak baru (newness)
dan kemunduran (decline). Dalam hal ini, Jonsson mengemukakan
empat faktor pokok dalam studi diplomasi yang dikutip dari
pendapat Hamilton dan Langhorne (1995:238-9) yaitu: 1. the
international order; 2. the threat, prevalence and changing nature of war; 3. the
evolution of the state; and 4. advances in science and technology.
Mengenai perkembangan dalam tatanan internasional
(international order) antara lain dikemukakan Jonsson tentang
penambahan jumlah dan tipe aktor internasional dengan perluasan
agenda diplomasi. Penambahan bukan hanya jumlah negara, tetapi tipe-
tipe baru aktor telah berpartisipasi dalam hubungan internasional.
Kemunculan aktor baru menggunakan label-label seperti diplomasi
asosiatif (associative diplomacy) yang menguraikan hubungan-hubungan
di antara organisasi-organisasi regional, dan diplomasi katalitik

36 Citra Indonesia di Mata Dunia


(catalytic diplomacy) untuk menunjukkan pertalian dan hubungan
simbiotik antara aktor pemerintah dan aktor non-pemerintah.
Perusahaan juga menjadi bagian dari dialog diplomasi, sehingga
diidentifikasikan Susan Stranger (1992) pola triangulasi diplomasi yaitu
negara- negara, negara-perusahaan, dan perusahaan-perusahaan.
Dalam konteks tersebut maka dapat dipahami bahwa suatu bentuk
partisipasi dalam diplomasi oleh aktor non-tradisional disebut dengan
istilah paradiplomacy. Hubungan langsung ke luar negeri oleh
pemerintah dan agen-agen non-pemerintah di luar departemen luar
negeri, tidak resmi (unofficial), perorangan (private or citizen diplomacy),
peluang untuk aktor-aktor non-negara, kelompok dan individu-
individu beroperasi dalam tingkatan dunia- jalur kedua atau multi jalur
(track two or multi-track diplomacy).
Mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
faktor yang sangat penting yang berpengaruh terhadap perkembangan
diplomasi adalah revolusi di bidang teknologi komunikasi dan
transportasi. Kecepatan dan kemudahan transportasi dan komunikasi
telah mengurangi peranan diplomat. Perkembangan media elektronik
dan teknologi informasi telah mengurangi pentingnya diplomat dalam
mengumpulkna informasi, dan dalam kecepatan pengambil keputusan
berreaksi secara segera terhadap peristiwa internasional melalui
saluran diplomasi tradisional. (Carlsnaes, et al 2002: 215-217).
Tipologi diplomasi lainnya dikemukakan Roy (1991 : 119-169)
bahwa diplomasi dikatagorikan menurut metode yang dipakai dalam
hubungan diplomatik. Tipetipe diplomasi tersebut adalah:
(a) Diplomasi Komersial, yaitu diplomasi borjuis atau sipil yang
didasarkan kepada anggapan bahwa penyelesaian kompromi
antara yang berselisih melalui negosiasi pada umumnya lebih
menguntungkan daripada penghancuran total musuh. Dalam
diplomasi komersial dikenal diplomasi ekonomi yang dikenal
dengan sebutan diplomasi dollar;
(b) Diplomasi Demokratis, kelahiran dari demokrasi terbuka.
Diplomasi yang harus dijalankan secara terus terang dan terbuka
serta memperoleh pengawasan penuh dari publik. Faktor
penting untuk mewujudkan kontrol demokratis atas diplomasi
adalah masalah ratifikasi perjanjian oleh pihak legislatif;

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 37


(c) Diplomasi Totaliter, pertumbuhannya disebabkan berbagai faktor
antara lain ekstrimitas dalam nasionalisme, dan dalam ekonomi.
Menyangkut pemujaan patriotisme dan loyalitas kepada negara.
Nasionalisme ekonomi menguatkan kecenderungan kepada
nasionalisme.
(d) Diplomasi melalui Konperensi, menjadi model mulai abad dua
puluh. Diplomasi yang tidak mungkin dilakukan dengan cara-
pcara diplomatik biasa karena banyak masalah penting yang
memerlukan keputusan yang cepat di antara negara-negara yang
menjadi sekutu, misalnya dalam menghadapi perang. Setelah
perang dunia pertama, tipe diplomasi melalui konperensi yang
terorganisasi dan permanen dengan terbentuknya Liga Bangsa-
Bangsa, dan sesudah perang dunia kedua dibentuk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara di dunia mempunyai
perwakilan di PBB. Diplomasi yang dilakukan PBB sering disebut
diplomasi multilateral, diplomasi publik, diplomasi konperensi
atau diplomasi parlementer. Karena diplomasi konperensi PBB
dilakukan di depan penglihatan umum, maka juga disebut
'Diplomasi publik'.
(e) Diplomasi diam-diam, sangat erat berkaitan dengan diplomasi
PBB. 'Diplomasi diam-diam' bukan diplomasi rahasia, tetapi
merupakan pandangan diam-diam oleh para wakil negara,
sering dilakukan oleh Sekretaris Jenderal PBB tanpa publikasi.
Para wakil negara berunding diam-diam baik secara bilateral
maupun multilateral di luar pandangan publik.
(f) Diplomasi Preventif, digunakan oleh negara-negara dunia ketiga
dengan menjaga perselisihan di dunia ketiga agar tetap bersifat
lokal dengan mencari perlindungan di PBB karena tidak ingin
terlibat ke dalam konflik negara-negara besar, akhirnya menjadi
negara satelit yang satu atau lainnya.
(g) Diplomasi Sumber Daya, yaitu diplomasi yang menggunakan
bahan-bahan mentah (batu bara, besi, minyak, uranium, dsb.)
untuk mendukung kekuatan suatu negara. Bagi negara yang
tidak banyak memiliki sumber daya akan berusaha menguasai
wilayah yang mempunyai bahan-bahan mentah tersebut.

38 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dalam praktek diplomasi yang banyak berkembang saat ini
sebenarnya masih terdapat metoda diplomasi lain yang lazim
digunakan selain metoda diplomasi yang telah dikemukakan, (Deplu
RI. 2004: 17-18) yaitu :
(a) Covert Diplomacy, adalah diplomasi yang dilakukan oleh satu pihak
atau beberapa pihak untuk menciptakan situasi-kondisi yang
menguntungkan mereka sebelum mengadakan perundingan.
(b) Machiavelli Diplomacy, diplomasi berdasarkan pengertian
dihalalkan semua cara untuk mencapai suatu tujuan'.
(c) Gunboat Diplomacy, diplomasi dengan menggunakan ancaman
dan mengirim kapal perang.
(d) Pingpong Diplomacy, Cara pendekatan, misal, sebelum meningkat
pada pembukaan hubungan diplomatik, menyelenggarakan
pertandingan pingpong antara Amerika Serikat dan Republik
Rakyat Cina pada masa pemerintahan Nixon.
(e) Humanitarian Diplomacy, kerja sama antarbangsa dalam rangka
PBB atau tidak untuk memberi bantuan kemanusiaan kepada
bangsa yang ditimpa musibah bencana alam, korban perang,
para pengungsi, dan lain-lain.
(f) Pertemuan Diplomatic (Diplomatic Encounter), dalam sebuah
seminar antarnegara yang berkepentingan untuk melihat
perundingan-perundingan yang telah diselenggarakan dalam
suatu konteks sejarah yang luas.
(g) Diplomasi Kebudayaan, kegiatan untuk lebih memperkenalkan
tanah air melalui kebudayaan bangsa seperti yang telah
dilakukan pemerintah Indonesia dengan menyelenggarakan
pameran kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat.

Tentang diplomasi kebudayaan, menurut Prof. Mochtar


Kusuma-atmadja sebutan diplomasi kebudayaan sebenarnya keliru,
karena menurut beliau lebih condong dikatakan sebagai diplomasi
yang menggunakan seni budaya sebagai salah satu sarananya, atau
kita menambah satu dimensi pada cara melakukan diplomasi tersebut
dengan menambahkan dimensi seni-budaya.
Jika kembali peneliti memperhatikan definisi diplomasi seperti
dikemukakan Nicolson, atau Ernest Satow sebagaimana dikemukakan

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 39


dimuka, dikaitkan dengan periode perkembangan penyelenggaraan
diplomasi, khususnya periode penyelenggaraan diplomasi modern,
atau disebut juga diplomasi demokratis, atau demokrasi terbuka, maka
definisi tersebut sudah tidak memadai lagi karena aktor diplomasi
tidak hanya terdiri dari aktor negara, tetapi terdiri dari aktor negara
dan aktor non-negara.
Melakukan studi tentang diplomasi publik yang dipersamakan
dengan diplomasi konperensi seperti dikemukakan Roy sehubungan
kebangkitan pentingnya opini publik pada abad 19 di negara-negara
demokratis, memiliki pembahasan secara luas dan definisi tersendiri.
Menurut Library of Congress study of U.S. international and cultural programs
and activities prepared for the Committee on Foreign Relations of the U.S.
Senate, istilah diplomasi publik digunakan pertama kali tahun 1965 oleh
Edmund Gullion dari Fletcher School of Law and Diplomacy at Tufs
University digunakan dalam rangka pendirian Fletcher of the Edward R.
Murrow Center of Public Diplomacy. Dalam katalog Flether School of Tufts
University, diplomasi publik didefinisikan sebagai 'cause and effect of public
attitudes and opinions which influence the formulation and execution of foreign
policy. Hansen mencatat beberapa definisi diplomasi publik antara lain
dikemukakan Pollster Daniel Yankelovich, baginya diplomasi publik
esensial dalam membangun dialog, sehingga didefinisikan :
As contrasted with tradisional diplomacy, which develops relations
between government, public diplomacy establishes between societies a
dialogue on issues of mutual concern. Its goel is to improve perceptions
and understanding between the people of the United States and the
people of other countries.

The Murrow Center memiliki definisi diplomasi publik yang lebih


detil lagi sebagai berikut :
Public diplomacy... deals with the influence of public attitudes on the
formation and execution of foreign policies. It encompasses dimensions of
international relations beyond traditional diplomacy; the cultivation by
governments of public opinion in other countries; the interaction of private
group and interests in one country with those in another; the reporting of
foreign affairs and its impact on policy; communication between those whose
job is communication, as between diplomats and foreign correspondents;
and the processes of intercultural communication. (Hansen. 1984 : 2-3).

40 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dikemukakan Hansen (1984 : 4-5) bahwa istilah diplomasi publik
yang dikemukakan Dean Gullion tahun 1965, saat ini menjadi populer dari
sebelumnya disebabkan revolusi teknologi komunikasi dan pertumbuhan
secara dramatis kesalingtergantungan dalam ekonomi internasional
sehingga diplomasi publik menjadi penting untuk kepentingan nasional
sama pentingnya dengan kesiapan di bidang militer.
Dikemukakan pula oleh Manheim (1994 : 3-4) bahwa peran
sentral komunikasi terhadap perilaku diplomasi, telah lama terbukti.
Para ahli dan praktisi lebih mencurahkan perhatiannya bagi terjadinya
hubungan komunikasi dan diplomasi. Perhatiannya terhadap aktivitas
diplomasi dikarakteristikkan menurut Manheim dalam empat aspek
sebagai berikut :
This renewed emphasis can be characterized as addressing four
distinctive aspects of diplomatic activity: government-to-government,
diplomat-to-diplomat, people-to-people, and government-to-people
contacts. The first of these refers to the traditional form of diplomacy
The second, commonly termed 'personal diplomacy'The third, often
referred to as 'public diplomacy',The last, which is another form of
public diplomacy,includes efforts by the government of one nation to
influence public or elite opinion in a second nation for the purpose of
turning the foreign policy of the target nation to advantage.

Berdasar pada empat aspek yang dikemukakan di atas, terdapat


dua aspek dalam aktivitas diplomasi yang disebut sebagai diplomasi
publik, yaitu aspek berupa hubungan yang dilakukan masyarakat
suatu negara kepada masyarakat negara lain, ditandai oleh pertukaran
budaya, pengembangan media dan semisalnya, serta semua rancangan
guna menjelaskan kebijakan pemerintah dan gambaran sebuah bangsa
kepada khalayak luar negeri.
Sebagaimana yang ditelaah dalam penelitian ini, maka
pemahaman terhadap hubungan yang dilakukan pemerintah suatu
negara kepada masyarakat di negara lain disebut juga diplomasi
publik dalam bentuk lain, yaitu upaya pemerintah suatu bangsa untuk
mempengaruhi publik atau pendapat elit dari bangsa lain, dengan
tujuan memperoleh keuntungan dari target kebijakan luar negeri yang
telah ditentukan.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 41


Elmert Staats, mantan comptroller general of the United States,
menguraikan bahwa, diplomasi publik dibangun oleh informasi
internasional, pendidikan, dan kebudayaan. Dikemukakan sebagai
berikut:
Public diplomacy (is) international communication, cultural and
educational activities in which the public is involved, Public
diplomacy has become the principal instrument of foreign policy for the
U.S. and other nations.

Mempelajari kebudayaan sebagai unsur yang membangun


diplomasi publik menurut Elmert Staats, Pemerintah Indonesia bahkan
telah menggunakan istilah diplomasi kebudayaan sebagai suatu sistem
pelaksanaan diplomasi yang menggunakan pendekatan kebudayaan
sebagai sarana bantu untuk mencapai sasaran dan tujuan diplomasi.18
Pengertian diplomasi kebudayaan yang dirumuskan bulan Maret 1983,
dan merupakan gagasan Menteri Luar Negeri RI Prof. Mochtar
Kusumaatmadja waktu itu merupakan bentuk diplomasi alternatif yang
melengkapi pelaksanaan diplomasi politik dan diplomasi ekonomi.
Tujuannya supaya diplomasi Indonesia lebih mantap dan efektif, dan
untuk mengubah citra Indonesia ke arah tumbuh dan berkembangnya
citra yang positif. Strategi utamanya adalah memfungsikan kebudayaan
sebagai sarana pemberi identitas dan pendukung pelaksanaan diplomasi.19
Diplomasi kebudayaan dilaksanakan melalui kegiatan misi kebudayaan,
pertukaran pemuda, forum-forum ilmiah, dan juga pariwisata.20
Diplomasi kebudayaan atau diplomasi budaya menurut Bondan
Winarno,21 bahwa diplomasi ini termasuk bagian dari diplomasi
publik, sebagaimana dikemukakan bahwa:
Dalam hubungan internasional kita mengenal public diplomacy
yaitu diplomasi yang dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat
pada ranah masyarakat itu sendiri. Bukan diplomasi G to G
(Government to Government) saja, melainkan juga diplomasi P to P

18 Badan Penelitian dan Pengembangan Deplu. 1988. Peranan Kesenian dan Kebudayaan sebagai Media Diplomasi
dan Komunikasi Antarbangsa, Jakarta, hlm. 2.
19 Ibid. hlm 5.
20 Tim Peneliti Universitas Udayana. Laporan Penelitian Pariwisata Sebagai Pendukung dalam rangka Pelaksanaaan
Diplomasi di Bidang Kebudayaan. hlm. 1.
21 Bondan Winarno, Penulisan Masalah-Masalah Manajemen. Melalui: http://www.kontan-online.com/ 04/01/
manajemen/man.htm

42 Citra Indonesia di Mata Dunia


(People to People). Kita sering mendengar istilah diplomasi
dagang atau diplomasi budaya, yang pada dasarnya adalah
bagian dari public diplomacy itu.

Rumusan diplomasi publik yang dikemukakan Edward R.


Murrow Center berhubungan dengan upaya mempengaruhi sikap
publik, meliputi dimensi-dimensi dalam hubungan internasional di
luar diplomasi tradisional. Dimensi-dimensi tersebut, selain dimensi
penanaman opini publik oleh pemerintah kepada masyarakat di negara
lain juga termasuk interaksi kelompok kepentingan suatu negara
kepada kelompok kepentingan di negara lain. Menurut Kuper
(2000:510), kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang
berusaha mempengaruhi kebijakan publik melalui proses yang disebut
'lobi' (pendekatan ke tokoh-tokoh pembuat kebijakan).
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi dapat disebut
sebagai kelompok kepentingan karena kegiatan utama yang dilakukan
Koalisi dalam mempengaruhi kebijakan publik antara lain melalui
proses lobi kepada pemerintah dan DPR RI yang memiliki kewenangan
membuat dan menentukan kebijakan untuk mengundangkan Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Demikian pula
interaksi Koalisi dengan kelompok-kelompok kepentingan (NGOs) di
negara lain, telah dijalin dalam mengkaji dan mengkampanyekan
perlunya Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.
Definisi lain diplomasi publik (public diplomacy) dikemukakan United
States Information Agency (USIA) sebagai berikut:
Public Diplomacy seeks to promote the national interest...through
understanding, informing and influencing foreign audiences. Public
Diplomacy seeks to promote the national interest...through
understanding, informing and influencing foreign publics and
broadening dialogue between...citizens and institutions and their
counterparts abroad.22

Definisi tersebut menekankan adanya tujuan diplomasi publik


yaitu upaya mempromosikan kepentingan nasional. Untuk menunjuk-
kan adanya upaya mempromosikan kepentingan nasional oleh Koalisi,

22 USIA: What is Public Diplomacy? dari http://www.publicdiplomacy.org/1.htm (Akses 25- 05- 05).

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 43


maka dapat dianalisis berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan-
nya. Pengertian to promote antara lain memiliki arti to help something to
develop and be successful (Longman 1995 : 1130). Kegiatan Koalisi yakni
untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sifatnya tertutup
menjadi terbuka sebagai prasyarat bagi terwujudnya pemerintahan
yang terbuka dan demokratis. Model pemerintahan demikian menekan-
kan adanya upaya preventif bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) serta menjalin kerjasama dengan NGOs negara lain,
merupakan wujud promosi bagi kepentingan Indonesia.
Diplomasi publik menurut Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat merujuk pada program yang disponsori pemerintah dengan
maksud memberikan informasi dan atau mempengaruhi opini publik
di negara lain, yaitu bahwa,
Public Diplomacy refers to government sponsored programs intended
to inform or influence public opinion in other countries; its chief
instruments are publications, motion pictures, cultural exchanges,
radio and television.23

Diplomasi publik menurut Departemen Luar Negeri Republik


Indonesia tidak bermaksud hanya memberikan informasi kepada
publik di negara lain, tetapi juga kepada publik di dalam negeri,
sebagaimana dikemukakan Menteri Luar Negeri RI bahwa,
berbeda dengan upaya diplomasi publik yang dilakukan
berbagai negara lain yang hanya berurusan dengan publik di
negara lain, maka diplomasi publik Indonesia juga diarahkan
untuk berkomunikasi dengan aktor-aktor non-pemerintah dan
publik di dalam negeri. Pertama, karena faktor pentingnya
kemitraan antara Deplu dengan berbagai kalangan masyarakat
yang memang bisa menjalankan peran dalam upaya menjangkau
aktor-aktor non-pemerintah dan publik di luar negeri.24

Pemerintah Amerika Serikat saat ini menekankan pentingnya


diplomasi publik untuk kepentingan nasional dengan mengemukakan
langkah-langkah pembaharuan dalam lembaga diplomasi publik,

23 Ibid. hlm. 2.
24 Hassan Wirajuda. Pidato Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda pada Loka karya
Nasional Diplomasi Publik. Bandung; 6 Desember 2006.

44 Citra Indonesia di Mata Dunia


sebagaimana dinyatakan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat sebagai
berikut:
The time has come to look anew at our institutions of public diplomacy.
We must do much more to confront hateful propaganda, dispel
dangerous myths and get out the truth. We must increase our exchanges
with the rest of the world. We must work closer than ever with
educational institutions, the private sector and nongovernmental
organizations and we must encourage our citizens to engage the world
to learn foreign languages, to understand different cultures and to
welcome others in their homes.25

Berdasarkan rumusan dan definisi di atas, terdapat dua tipe


kegiatan diplomasi publik yaitu yang dilakukan oleh kelompok
kepentingan suatu negara dengan kelompok kepentingan di negara
lain, seperti yang dilakukan oleh Koalisi, dan yang dilakukan oleh
pemerintah suatu bangsa kepada kelompok kepentingan bangsa lain
dengan tujuan, mendapatkan keuntungan dari sasaran kebijakan luar
negeri yang telah ditentukan.
Menurut Riordan bahwa abad 21 merupakan abad diplomasi
publik, mengingat di abad tersebut isu-isu internasional seperti degradasi
lingkungan, penyebaran penyakit menular, ketidakstabilan keuangan,
organisasi kejahatan, migrasi, isu sumber daya dan energi saling mengait.
Tidak satupun negara, bahkan kelompok negara-negara dari satu
kawasan, dapat mengatasi, seperti mengatasi terorisme internasional,
dan kolaborasi antara pemerintah dan elit politik belum cukup.
Tidak hanya di dalam kasus yang memerlukan keterlibatan
masyarakat dengan jumlah yang terbatas, tetapi juga dalam beberapa
kasus yang kunci keberhasilannya bukan terletak kepada pengawasan
dan kompetensi. Seperti mengurangi penyebaran penyakit menular,
diperlukan kolaborasi dengan tenaga medis profesional yang tidak
langsung berhubungan dengan pemerintah, dan dapat mengubah
sikap dan perilaku sosial dalam populasi yang lebih luas. Sama halnya
dengan menangani kerusakan lingkungan memerlukan kolaborasi

25 Remarks of Secretary of State, Condoleezza Rice dalam Bruce Gregory. Director. Public Diplomacy Institute
Adjunct Assistant Professor for Media and Public Affairs, Public Diplomacy and Strategic Communication:
Culture, Firewall, and Imported Norm. Melalui <Bgregory@gwu.edu>, (Akses August 31, 2005.)

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 45


antara NGOs dan perusahaan, juga pemerintah. Pemikiran bahwa
diplomasi publik tentang menjual kebijakan dan nilai-nilai serta citra
nasional tetap utama, baik secara teoritis maupun praktis dalam
penanganan isu.26
Saat ini, pejabat tinggi negara tidak mungkin lagi hanya
mengandalkan perhatian dengan mengikuti kelengkapan ketentuan
protokol dalam diplomasi tanpa melakukan pendekatan terhadap
publik. Sebab menurut Manheim (1994 : 6).
A government to survive, must supplement formal government-to-
government relations with an approach to the peopleTo meet this
challenge government around the world have turned to a total new
concept of international diplomacy. This is the age of public diplomacy
International opinion wields incredible power, and we must inform the
people of other nationsallies and enemies alike. The government that
fails to do so may find itself inarticulate in the face of world opinion.

Terjadinya perubahan yang begitu cepat dan mendasar dalam


tata pergaulan global mengakibatkan dunia telah berubah secara
drastis. Citra dan informasi tidak lagi memperhatikan waktu, ruang dan
batas negara. Kekuatan mendasar yang menuntut perubahan dalam
praktek diplomasi menurut Fulton adalah revolusi di bidang teknologi
informasi, adanya pengembangan media baru, globalisasi di bidang
bisnis dan keuangan, meluasnya partisipasi publik dalam hubungan
internasional, serta isu yang bersifat kompleks yang melintasi batas
nasional, dan penggerak utama perubahan adalah teknologi informasi.
Sebagaimana dikemukakannya :
Revolution in information technology; Proliferation of new media;
Globalization of business and finance; Widening participation of
publics in international relations; Complex issues that transcend
national boundaries.
The prime mover of change is information technologyThe critical
elements are the international networks created by computers and
electronic connectivityThe new media borne the information age
with low entry cost and global distribution, are available to anyone with

26 Shaun Riordan. 2004. Discussion Papers in Diplomacy, Dialog-based Public Diplomacy: a New Foreign Paradigm?,
Clingendael: Netherlands Institute of International Relations. No. 95. hlm. 7-9.

46 Citra Indonesia di Mata Dunia


creativity and a modest of investmentGlobalization of finance and
business has erased national boundaries from the laws of supply and
demandThe public dimension receives less attention, yet it may be the
most significant of the change that affect the conduct of diplomacy. The
dominant issues of the next decade include democracy and human
rights; weapon of mass destruction; terrorism; drugs, and global crime;
environmental concerns; population, refugees, and migration, disease
and famine.27

Dimensi publik menurut Fulton sangat memiliki arti dalam


suatu perubahan, dan berpengaruh terhadap perilaku diplomasi.
Dikemukakan alasan bahwa tidak ada masalah besar luar negeri atau
inisiatif di dalam negeri yang diambil saat ini tanpa pertama-tama diuji
oleh opini publik, dan dimensi publik tidak hanya menyangkut opini
publik, tetapi juga konsultasi, keterlibatan, dan tindakan publik.
Keterlibatan publik dibuktikan oleh adanya lebih dari 15.000
NGOs secara langsung terlibat dalam isu-isu internasional, seperti isu
tentang lingkungan hidup, kejahatan global, penyalahgunaan obat-obat
terlarang, penyakit, dan kelaparan. Dimensi publik menjadi unsur
pokok diplomasi baru dan sebuah pengaruh kritis terhadap kebijakan
luar negeri.
Fulton juga mengemukakan adanya kesenjangan penampilan
dalam diplomasi antara perilaku diplomasi dengan janji yang
dikemukakan dalam diplomasi, padahal dunia telah berubah secara
fundamental. Citra dan informasi tidak memiliki batas waktu dan
wilayah. Keterbukaan sedang menguak kerahasiaan dan eksklusifisme.
Kesenjangan dalam diplomasi akan dapat diatasi apabila praktek
diplomasi saat ini diubah. Banyak langkah yang perlu dilakukan untuk
mengatasi kesenjangan yang difokuskan kepada perubahan budaya
diplomasi.
Perubahan budaya diplomasi akan berkaitan dengan lembaga
diplomasi, teknologi informasi, dan aktor non-negara. Dalam hal aktor-
aktor non-negara, area internasional telah disibukkan oleh perusahaan
multi nasional dan NGOs. Institusi tersebut memiliki pengaruh kuat dan
langsung bagi hubungan internasional serta membawa konsekwensi

27 Barry Fulton. 1998. Reinventing Diplomacy in the Information Age. Washington D.C: CSIS. hlm. 8-9.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 47


terhadap perilaku diplomasi. NGOs telah menjadi sebuah kekuatan
politik dalam hubungan internasional.28
Kekuatan internasional yang dilakoni oleh NGOs memungkin-
kan munculnya tiga kecenderungan bagi penciptaan kondisi yang
mendukung diplomasi publik, sebagaimana menurut Mor yaitu:
The long term trend of democratization; the outcome itself of the cold
war; and the unprecedented revolution in the means of
communication, which has broken down previous state (and market)
barriers, globalizing and homogenizing data, perceptions, images, and
knowledge.29

Sehubungan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap


praktek diplomasi, seperti disebutkan sebelumnya, dikemukakan pula
oleh Vikers dengan suatu kejelasan yang dimaksud faktor meluasnya
partisipasi publik yaitu meningkatnya kemampuan warganegara serta
organisasi non-pemerintah dalam mengakses dan menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi. Perubahan yang disebabkan
faktor-faktor itu disebut dengan 'a new public diplomacy' ditandai dengan
kaburnya jarak tradisional antara aktivitas informasi domestik dan
internasional, antara diplomasi publik dan diplomasi tradisional dan
antara diplomasi budaya dengan pemasaran dan manajemen informasi.
Sebagaimana dikemukakan Vickers (2004) bahwa:
The interaction of technological, economic, political and social changes,
such as globalization, the development and rapid expansion of
information and communication technologies, the increasing ability of
citizen and non governmental organizations (NGOs) to access and use
technologies, and the rise of transnational and co-operative security
issues, are affecting the ways government conduct their diplomacy.
These changes are giving rise to what might be termed a 'new public
diplomacy'. This can be characterized by a blurring of traditional
distinctions between international and domestic information activities,
between public and traditional diplomacy and between cultural
diplomacy, marketing and news management.30

28 Ibid, hlm. 34-47.


29 Ben D. Mor. 2006. Public Diplomacy in Grand Strategy. Garsington: Blackwell Publishing, Foreign Policy Analysis
(2006) 2, 160-161.
30 Rhiannon Vickers. 2004. The New Public Diplomacy: Britain and Canada Compared. Political Studies Association.
Garsington Road: Blackwell Publishing. 2004 Vol. 6. hlm. 182.

48 Citra Indonesia di Mata Dunia


Keberadaan aktor non-negara dalam hubungan internasional
menjadi suatu keniscayaan dalam dunia yang mengalami perubahan
mendasar disebabkan oleh revolusi di bidang teknologi informasi,
perkembangan media baru, globalisasi di bidang bisnis dan keuangan,
meluasnya partisipasi publik dalam hubungan internasional, serta
kompleksitas isu yang melintasi batas negara. Menurut Perwita dan
Yani (2005 :10-11) dinamika hubungan internasional pada dasawarsa
terakhir ini menunjukkan berbagai kecenderungan baru yang secara
substansial sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Paling
tidak terdapat dua aspek yang mengemuka sebagai isu dominan dalam
hubungan internasional, yaitu perubahan aktor hubungan internasional
dan konsep kekuasaan. Dalam perubahan aktor hubungan
internasional, dikemukakan:
Perubahan pada aktor diindikasikan dengan perubahan
(bertambah atau berkurangnya) jumlah dan sifat aktor hubungan
internasional. Di samping terjadinya penambahan aktor (negara)
terjadi pula penambahan secara signifikan pada jumlah aktor
non-negara (non state actors). Bahkan dalam beberapa kasus
tertentu, peran aktor non-negara jauh lebih penting daripada
aktor negara, (Yani, 2005).

Penggerak utama perubahan, sebagaimana dikemukakan Fulton


adalah teknologi informasi. The prime mover of change is information
technology.31 Sehubungan adanya revolusi di bidang teknologi
informasi, dampaknya terhadap peran diplomat (aktor negara) menurut
Jonsson, (2002: 217) menjadi berkurang. Dikemukakan sebagai berikut:
Perhaps the most important factor affecting the evolution of diplomacy
has been the revolution in communication and transportation
technology. The speed and ease of transportation and communication
have reduced the role of diplomats in several different ways.

Eksistensi aktor non-negara dalam diplomasi, kaitannya dengan


hubungan internasional sangat jelas karena sebagaimana dikemukakan
Jonsson (2002: 212), diplomasi dinyatakan sebagai 'the master institution'
or, more prosaically as 'the engine room' of international relations.

31 Barry Fulton. 1998. op. cit. hlm. 8.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 49


Pemikiran tentang perlunya diplomasi publik sejalan dengan
pemikiran Diamond and McDonald (1996: 1-2) yang bertolak dari
pemikiran bahwa diplomasi yang mengandalkan wakil-wakil negara
berdaulat belum menjadi metode yang sangat efektif untuk menjaga
kerjasama internasional, mengatasi perbedaan atau konflik, sehingga
diplomasi tidak hanya dilakukan melalui jalur pemerintah (track one)
tetapi memerlukan jalur kedua yang digagas oleh Joseph Montville dari
Foreign Service Institute pada tahun 1982, yaitu dipomasi yang
dilaksanakan di luar sistem pemerintahan, yang merujuk kepada
hubungan tidak resmi, dan kegiatan yang dilakukan di antara
masyarakat warga negara atau kelompok-kelompok individu, disebut
juga diplomat warga negara atau aktor non-negara (citizen diplomats or
nonstate actors). Dikemukakan sebagai berikut:
Historically, the notion of two tracks arose from the realization by
diplomats, social scientists, conflict resolution professionals, and others
that formal, official, government-to-government interactions between
instructed representatives of sovereign nation were not necessarily the
most effective methods for securing international cooperation or
resolving differences or conflicts. The phrase Track Two was coined in
1982 by Joseph Montville of the Foreign Service Institute to describe
methods of diplomacy that were outside the formal governmental
system. It refers to nongovernmental informal, and unofficial contacts
and activities between private citizens or groups of individuals,
sometimes called citizen diplomats or nonstate actors.

Konsep jalur kedua dalam diplomasi (track two) selanjutnya


diperluas oleh Diamond and McDonald (1996:1, 5-6) menjadi Multi-
Track Diplomacy yaitu suatu kerangka kerja konseptual dalam diplomasi
yang dirancang untuk merefleksikan berbagai aktivitas yang
memberikan kontribusi terhadap pembangunan dan pembuatan
perdamaian internasional yang terdiri dari sembilan jalur, yaitu:
Pertama: pemerintah, melalui juru damai diplomasi; Kedua,
kelompok NGO's/kalangan profesional atau juru damai melalui resolusi
konflik; Ketiga, kelompok bisnis atau juru damai melalui kegiatan
ekonomi dan perdagangan; Keempat, warga negara biasa atau juru damai
perorangan (citizen diplomacy), termasuk di dalamnya berbagai upaya
masyarakat yang terlibat dalam aktivitas perdamaian maupun

50 Citra Indonesia di Mata Dunia


pembangunan, program pertukaran, organisasi swasta perorangan,
organisasi bukan pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan
khusus; Kelima, aktivitas penelitian, pelatihan, pendidikan atau
perdamaian melalui pembelajaran; Keenam, aktivitas atau juru damai
melalui advokasi, mencakup bidang perdamaian dan lingkungan seperti
masalah perlucutan senjata, penghormatan terhadap hak asasi manusia,
keadilan sosial ekonomi, dan advokasi yang dilakukan kelompok-
kelompok kepentingan khusus; Ketujuh, kelompok agama atau juru
damai melalui penebalan keimanan; Kedelapan, perdamaian melalui
penyediaan dana; Kesembilan, komunikasi dan media, atau perdamaian
melalui penyediaan informasi, bagaimana opini publik dibentuk dan
diekspresikan oleh media massa baik cetak maupun elektronik.32
Isu internasional yang diperjuangkan Koalisi adalah kebebasan
memperoleh informasi atau hak atas informasi sebagai hak yang telah
diakui di dunia internasional sebagaimana tercantum dalam pasal 19
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) tahun 1948 yang menyatakan :
Every one has the right to freedom of opinion and expression; this right
includes freedom to hold opinions without interference and to seek,
receive and impart information and ideas through any media and
regardless of frontiers (Ottaway, Jr. at.all 1998 : 1).

Kebebasan informasi menurut Abid Hussain, pelapor untuk


kepentingan PBB (Koalisi, 2003 : 11) merupakan salah satu hak asasi
manusia yang sangat penting. Kebebasan tidak akan efektif apabila
orang tidak memiliki akses terhadap informasi. Akses informasi
merupakan dasar bagi kehidupan demokrasi.
Jaringan kerja sama telah dibangun oleh Koalisi dengan Ornop-
Ornop internasional dan organ PBB seperti UNESCO, UNDP, Article 19,
Asia foundation, USAID, Friedrich Ebert Stiftung, National Democratic
Institute, International Transparency, dan lain-lain dalam memperjuang-
kan kebebasan memperoleh informasi. Jaringan kerja sama itu
diwujudkan dalam bentuk saran dan masukan bagi penyusunan
rancangan undang-undang tentang kebebasan memperoleh informasi,

32 Sukawarsini Djelantik. 2004. Diplomasi Publik dan Peran Epistemic Community. Buletin Deplu Vol. 2 No. 6 hlm.
71.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 51


bantuan pendanaan untuk kegiatan, dan kampanye di dalam negeri
dan di luar negeri.
Apabila kegiatan diplomasi publik menurut Riordan tentang
menjual kebijakan dan nilai-nilai, serta citra nasional, tetap yang utama,
maka secara prinsip, Koalisi telah memperkenalkan dan menjual
kebijakan dan nilai-nilai baru dalam demokrasi di Indonesia yang
bertolak dari keinginan untuk mengubah kondisi yang dicitrakan
sebagai pemerintahan tertutup, kepada pemerintahan terbuka atau
good governance.
Perkembangan penyelenggaraan diplomasi telah melibatkan
secara intensif peran komunikasi dan informasi untuk mendapatkan
citra yang benar tentang sebuah negara, masyarakat dan gaya hidupnya,
tetapi bukan untuk propaganda yang kasar seperti dilakukan dalam Era
Perang Dingin. Perhatiannya adalah dengan menciptakan kepercayaan
bagi negara dan produknya. Aspek penting informasi dalam aspek
diplomasi adalah dengan memperbesar saluran melalui pelayanan
institusi public relations, sebagaimana dikemukakan Barston :
Information is one of the several specialist post which have been added to
many embassies in recent years. Putting across the correct image of a
country, its people, and life- styleIn this way modern diplomcy has
changed to being concerned with information, not in a crude propaganda
sense of the cold warThe importance of this aspec of diplomacy can be
further seen in that states have frequently augmented their official
diplomatic channel by hiring the services of public relations agencies.
(Barston. 1988: 21-23).

2.7. Teori Public Relations


Untuk membahas keterlibatan informasi dan komunikasi dalam
diplomasi, khususnya public relations sebagai salah satu profesi dalam
ilmu komunikasi, dikemukakan oleh Cincotta bahwa diplomasi publik
telah dijadikan stereotipe sebagai sebuah terminologi yang sedikit
bergengsi untuk public relations. Tetapi tidak seutuhnya demikian
kenyataannya dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut masalah-
masalah internasional dan hubungan antar negara. More recently,
public diplomacy has been stereotyped as a slightly upscale term for public

52 Citra Indonesia di Mata Dunia


relations-necessary perhaps, but not really central to the real work of
international affairs or state-to-state relations.33
Masalah-masalah internasional saat ini tidak mungkin hanya
dihadapi oleh negara. Abad yang memiliki karakteristik tersebarnya
kekuatan, globalisasi, dan beraneka ragam konsumsi informasi, sesuai
dengan karakteristik diplomasi publik. Oleh karena itu diplomasi
publik dirumuskan Cincotta sebagai :
a set of skill and tools for any diplomat who must communicate with the
vast and varied foreign publics that are now players in international
affairs; government certainly, but also news media, academic, regional
entities, private enterprises and a vast array of special interests and
nongovernmental organizations.34

Senada dengan pernyataan Cincotta tentang terminologi


diplomasi publik dan public relations, diplomasi publik juga disebut
sebagai euphemisme pemerintah untuk public relations. Public
diplomacy is a government euphemism for public relations.35
Kesamaan antara diplomasi dengan public relations menurut
L'Etang (Theaker, 2004: 5-6), kedua-duanya ditunjukkan oleh kesamaan
ketiga fungsi yaitu fungsi representasi dari organisasi, fungsi dialog,
dan fungsi memberikan pertimbangan atau nasihat. Dikemukakan
sebagai berikut :
In tracing the similarities between diplomacy and public relations
points out that both involve three kinds of functions:
1. Representational (rhetoric, oratory, advocacy). This would cover
the language and images used to represent the organisation in
communication with publics, including written, spoken and visual
communication.
2. Dialogic (negotiation, peacemaking). The public relations
practitioner is often seen a bridge builder, the voice of different
internal and external publics within the organisation, and the voice
of the organisation to those different publics. They have to see other
people's point of view.

33 Howard Cincotta. 1999. Thought on Public Diplomacy and Integration. Service Journal, Selected Article and
Resources on Public Diplomacy. hlm. 1.
34 Ibid, hlm 1.
35 Disinfopedia. 2004. Public Diplomacy. Center for Media & Democracy, hlm. 1.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 53


3. Advisory (counselling). This role covers both pro-active PR, such as
campaign planning, and re-active PR, such as dealing with a crisis.

Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat dan


meluasnya isu internasional membutuhkan kemampuan diplomasi yang
kuat, maka diplomasi saat ini tidak lagi menjadi monopoli para diplomat.
Munculnya praktek diplomasi publik, merupakan keterlibatan luar biasa
saat ini dari orang-orang profesional public relations dan publicity dalam
diplomasi. Dikemukakan contoh: Under Secretary for Public Diplomacy
of the United States Department of State today- Karen Hughes- has been
recruited from her job as head of a public relations/advertising agency 36
Eratnya hubungan antara profesi diplomat dengan public relations,
dikemukakan Menteri Luar Negeri RI, bahwa terdapat keeratan yang
menghubungkan karena diplomat tidak sekedar memproyeksikan
kepentingan nasional, tapi juga sekaligus harus mengkomunikasikan
secara representatif perkembangan-perkembangan di dunia luar ke
dalam negeri. Karena diplomasi hanya kata-kata, maka memerlukan
sinergi dengan kemampuan public relations, memerlukan aksi untuk
menjadikan kata-kata tersebut berarti. (Wasesa 2005 : 183-185).
Banyaknya pengertian dan definisi yang membahas tentang
public relations menginspirasi Harlow (Grunig 1984:7) untuk merumus-
kan satu definisi yang baku dan meliputi berbagai elemen penting. Dari
472 definisi, Harlow merumuskan dalam satu kalimat yaitu:
Public relations is a distinctive management function which helps
establish and maintain mutual lines of communication, understanding,
acceptance and co-operation between organisation and its publics;
involves the management of problems or issues; help management to keep
informed on and responsive to public opinion; defines and emphasises the
responsibility of management to serve the public interest; help
management keepabreast of and effectively utilise change, serving as an
early warning system to help anticipate trends; and uses research and
ethical communication techniques as its principal tools. (Grunig 1984:7)

Banyak bagian dari definisi tersebut yang dapat dipersingkat


kedalam satu kalimat the management of communication between an

36 Wiryono, S. 2006. Public Diplomacy: The 'selling' of a Country. Lokakarya Nasional Diplomasi Publik. Bandung 6-7
Desember 2006. Makalah. hlm.2

54 Citra Indonesia di Mata Dunia


organization and its publics. Public relations, therefore, is the management of
communication between an organization and its publics (Grunig 1984:7).
Namun, menurut Davis (2004:3-4) definisi public relations yang singkat
dari Grunig tersebut tidak cukup untuk menjelaskan secara
keseluruhan elemen-elemen dan operasional kerja public relations.
Kebutuhan akan operasionalisasi konsep dan definisi yang meliputi
berbagai elemen tadi menjadi salah satu tuntutan public relations.
Memahami bahwa para praktisi public relations memerlukan
definisi yang lengkap dan operasional, Davis (2004:3-4) mengemuka-
kan definisi public relations hasil Mexican Statement yang merupakan
pertemuan asosiasi praktisi public relations dari 31 negara pada tahun
1978 di Mexico City, yaitu:
Public relations practice is the art and social science of analyzing
trends, predicting their consequences, counselling organizations'
leaders, and implementing planned programmes of action which will
serve both the organizations' and the public interest.

Definisi mengandung unsur yang kuat tentang penelitian, dan


perilaku yang bertanggung jawab hubungannya dengan kepentingan
publik dan organisasi. Davis mengemukakan pula bahwa masyarakat
Amerika mendifinisikan public relations sebagai berikut :
Public relations helps an organization and its publics to adapt mutually
to each other. Public relations is an organization's effort to win the co-
operation of groups of people. Public relations helps organizations
effectively interact and communicate with their key publics.

Definisi di atas mereferensikan interaksi antara pengirim dan


penerima komunikasi, kerjasama antara penerima dan pengirim, dan
yang lebih signifikan, adalah memfasilitasi untuk saling beradaptasi
satu sama lain. Dengan demikian, public relations adalah gambaran
tentang dialog, bukan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi
terhadap seseorang, Davis kemudian mengajukan definisi yang lebih
kontemporer dan sederhana di luar organisasi, yaitu :
Public relations is communication with people who matter to the
communicator, in order to gain their attention and collaboration in
ways that are advantageous to the furtherance of his or her interest or
those of whoever or whatever is represented.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 55


Apabila Davis lebih menekankan pengertian public relations
kepada sistem komunikasi yang digunakan dan tujuan yang hendak
dicapai, maka Elreath (Zawawi, 2004:6-7) menekankan kepada
kedudukan public relations sebagai fungsi management, seperti
didefinisikan: as a management function that uses communications to
facilitate relationships and understanding between an organisation and its
publics. Zawawi tidak sependapat dengan definisi public relations dari
sudut pandang organisasi, karena tidak memperhitungkan tumbuhnya
kecenderungan demokratisasi dan komunikasi. Sangat menggunakan
kata 'organisasi' dalam definisi public relations cenderung menempatkan
eksistensi praktek public relations berkaitan erat dengan perusahaan.
Keterkaitan tradisional semacam ini sudah tidak memadai lagi.
Kehadiran komunikasi massa yang murah dalam bentuk
internet, tumbuhnya kelompok-kelompok kecil masyarakat atau
individu-individu yang menggunakannya, dan media tradisional telah
membatasi pengertian manusia dari kerangka dan kedalaman aktivitas
public relations. Oleh karena itu public relations dirumuskan sebagai:
as the ethical and strategic management of communications and
relationships in order to build and develop coalitions and policy,
identify and manage issues and create and direct messages to achieve
sound outcomes within a socially responsible framework.

Public relatians dapat ditangani oleh organisasi, kelompok atau


individu apabila berinteraksi dengan berbagai publik untuk mencapai
sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Public relations sebagai etika dan
manajemen strategis komunikasi mensyaratkan koalisi dan
hubungan sebagai sentral dalam public relations. Upaya public relations
yang tidak didasari koalisi dan hubungan menurut Zawawi tidak
mungkin memiliki pengaruh yang kuat. Dapat dipahami apabila fokus
kegiatan public relations adalah menciptakan dan menguatkan jalinan
keterikatan dari semua tingkatan. Perumpamaan sebuah koalisi, seperti
koalisi antara teknisi yang menyelenggarakan kegiatan public relations
dengan manajemen senior yang menentukan kebijakan untuk meme-
cahkan masalah, dikenal sebagai koalisi dominan sebuah manajemen.
Grunig (1984 : 21-23) mengemukakan empat model public
relations, sebagai representasi public relations dalam praktek, yaitu

56 Citra Indonesia di Mata Dunia


model press agentry/publicity, public information, two-way asymmetric, dan
two-way symmetric model. Setiap model dibedakan oleh tujuannya, dan
sekalipun public relations mengembangkan fungsinya sebagai
komunikasi persuasif, tetapi tidak semua model digunakan untuk
tujuan persuasif. Press agentry/publicity digunakan untuk tujuan
propaganda, public information untuk tujuan penyebarluasan informasi,
tidak semestinya dengan melakukan persuasi secara intensif. Two-way
asymmetric model bertujuan sebagai scientific persuasion melalui teori
ilmu pengetahuan sosial dan penelitian tentang sikap dan perilaku
untuk melakukan persuasi terhadap publik agar menerima sudut
pandang organisasi dan memberikan dorongan.
Dalam two-way symmetric model, praktisi public relations
memberikan pelayanan sebagai mediator antara organisasi dan publik.
Tujuannya agar tercipta saling pengertian di antara institusi tersebut.
Model press agentry/publicity dan public information, adalah model
komunikasi satu arah, sedangkan model two-way asymmetric, dan two-
way symmetric adalah model komunikasi dua arah, kepada dan dari
publik. Terdapat perbedaan mendasar antara model asymmetric dengan
symmetric model, asymmetric model tidak mengubah organisasi
sebagaimana hasil public relations. Organisasi hanya berupaya
mengubah sikap dan perilaku publik. Model two-way symmetric lebih
terfokus pada dialog dari pada monolog. Pihak manajemen akan
mengubah kebijakannya setelah diperoleh hasil usaha public relations.
Model, menurut Grunig (1992 : 291) dapat berupa teori normatif
atau teori positif. Model yang berupa teori normatif digunakan untuk
memahami masalah, sedangkan model yang berupa teori positif
digunakan untuk memecahkan masalah. Setiap model dari empat
model public relations dinyatakan Grunig sebagai teori normatif. Meski
demikian, two-way symmetric model yang menggambarkan excellent
public relations seyogyanya digunakan. Namun, konsep excellent public
relations tidak akan dipahami para ahli dan praktisi kecuali memahami
world view yang menunjang konsep excellent public relations, serta
bagaimana world view seseorang dapat dipahami berbeda dengan world
view orang lain. World view merupakan: a set of image and assumptions
about the world.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 57


Excellent public relations menurut Grunig, (2002 : 306-307, 377)
terdiri dari managerial, strategic, symmetrical, diverse, and ethical. Dalam
public relations, manajer dan strategi saling terkait. Agar memiliki
kualitas, maka .fungsi public relations harus dilaksanakan oleh manajer
yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang strategis
dalam organisasi. Diverse dan ethical berkaitan dengan symmetrical.
Apabila fungsi public relations memberi nilai, baik terhadap organisasi
maupun terhadap masyarakat, konsep symmetry menunjukkan
pengertian bahwa fungsi public relations harus didasarkan kepada nilai-
nilai yang merefleksikan sebuah kewajiban moral untuk mencapai
keseimbangan, antara kepentingan organisasi dan kepentingan publik.
Apabila praktek public relations didasarkan kepada nilai-nilai
symmetrical, akan membawa kepada perspektif diverse (berbeda dari
yang lainnya) dan pertimbangan etika terhadap perilaku dan keputusan
organisasi. Grunig juga telah menguji keempat model public relations
khususnya two-way symmetrical model (symmetrical dan asymmetrical
model) yang diperdebatkan keabsahannya dalam praktek oleh beberapa
ahli tentang apakah symmetrical merupakan model ideal normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat model adalah teori
positif dan normatif serta two-way symmetrical model masih muncul
menjadi teori ideal normatif untuk praktek public relations. Empat
model masih memiliki akurasi serta alat yang bermanfaat untuk
menggambarkan praktek public relations dan world view. Empat model
yang dikemukakan Grunig (1984) menurut Zawawi (2004: 53) adalah
teori public relations yang sangat dikenal. Grunig telah menjelaskan
perkembangan public relations sejak akhir abad 19 dan permulaan abad
20 untuk praktek public relations saat ini.
Keeratan hubungan diplomasi publik dengan public relations
tidak hanya diketahui dari kesamaan pengertian, sasaran dan tujuan
yang hendak dicapai keduanya, tetapi juga dibuktikan melalui
pengujian tentang berlakunya studi public relations pada studi diplomasi
publik yang didasarkan kepada teori public relations. Empat model public
relations yang dikemukakan Grunig menjadi bahan untuk pengujian
diplomasi publik.
Pengujian penerapan studi unggulan (L. A. Grunig, J.E. Grunig &
Dozier, 2002) menuju teori public relations berdasarkan studi tentang

58 Citra Indonesia di Mata Dunia


diplomasi publik telah dikemukakan Hun Yun (2006)37 menanggapi
seruan Signizer and Coombs's (1992) untuk melakukan penelitian empiris
tentang penjelasan dan pengujian yang dapat ditransfer pada teori public
relations dan menelaah konvergensi konseptual dari dua bahasan
tersebut. Studi menggambarkan konsepsi praktek diplomasi publik
dan keunggulannya sebagai sebuah bangun teori untuk mencegah
kesenjangan antara praktek dan keunggulannya.
Studi juga mengusulkan kerangka kerja konseptual perilaku dan
keunggulan public relations agar dapat diaplikasikan untuk
pengembangan konsepsi-konsepsi yang tidak berkembang. Dalam
pengujian aplikasinya, studi menilai kesesuaian dua model pengukuran
perilaku dan keunggulan public relations yang dikembangkan dari
kerangka kerja konseptual studi unggulan. Studi menguji model-model
dengan mensurvey data praktek dan manajemen diplomasi publik yang
dikumpulkan dari 113 kedutaan di Washington DC. Penemuan
menunjukkan bahwa kerangka kerja konseptual dan pengukuran studi
unggulan dapat diaplikasikan.
Menurut Hun Yun, beragam karya telah dilakukan untuk
menanggapi usulan Signitzer dan Comb, namun karya-karya tersebut
pada dasarnya mengelaborasi pandangan konseptual antara dua
bidang tanpa melakukan riset empiris untuk menguji penerapan teori-
teori public relations terhadap teori diplomasi publik.
Pengujian tentang teori-teori public relations yang paling baik
ditransfer untuk studi diplomasi publik, dan juga pengujian konsep
konvergensi yang diusulkan di antara dua bidang tersebut, telah
dilakukan para ahli public relations sepuluh tahun yang lalu.
Kelambanan untuk menjembatani kedua tradisi penelitian dan
membangun pandangan empiris secara parsial merupakan tanggung
jawab praktisi diplomasi publik yang berpendapat bahwa public relations
berbeda dengan diplomasi publik.
Dikemukakan HunYun bahwa Joseph Duffy, mantan Kepala
USIA tahun terakhir sebelum berubah menjadi USICA telah
mengemukakan pendapat Senat Komite Hubungan Luar Negeri

37 Seong Hun Yun. 2006. Toward Public Relations Theory-Based Study of Public Diplomacy: Testing the Applicability
of the Excellence Study. Journal of Public Relations Research 18 (4). hlm. 288.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 59


Amerika Serikat yang menyatakan bahwa diplomasi publik bukan
public relations. Diplomasi publik tidak menangkis untuk sebuah
lembaga pemerintah atau bahkan untuk Amerika. Diplomasi Publik
mencoba menghubungkan di luar pemerintah dengan pemerintah,
hubungan dengan lembaga swasta, individu, kontak jangka panjang,
pemahaman yang akurat, dan serangkaian panjang persepsi Amerika
terhadap ketentraman dunia, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
Let me just say a word about public diplomacy. It is not public relations.
It is not flakking for government agency or even flakking for America. It
is trying to relate beyond government-to-government relationship the
private institutions, the individuals, the long term contact, the accurate
understanding, the full range of perceptions of America to the rest of the
world.38

Menurut Hun Yun, kontribusi potensial teori public relations tidak


diapresiasi oleh kebiasaan utama diplomasi publik. Di Amerika Serikat
masalah dalam diplomasi publik dipandang tidak lebih hanya sebatas
masalah pemasaran karena kurang ekspos sehingga dapat ditangani
dengan advertensi sebagai sarana untuk mengekspos. Minow (2003)
berargumentasi bahwa penangkal potensial untuk mencegah kegagalan
diplomasi publik dapat ditemukan pada bakat pemasaran orang
Amerika untuk menjual citra positif negara dengan sukses.
Sebagai akibatnya, permasalahan diplomasi publik tidak didekati
melalui masalah public relations yang berasal dari konsekwensi-
konsekwensi atau eksternalitas penampilan perilaku pemerintah
terhadap pemerintahan global dan domestik pada publik mancanegara
yang terpengaruh. Oleh karena itu tujuan studi adalah memperkenal-
kan perspektif public relations pada studi diplomasi publik, menguji
secara empiris pandangan-pandangan dan menguji penerapan dari
perspektif public relations.
Para ahli hubungan internasional dalam mempelajari diplomasi
publik telah memfokuskan kepada pengaruh makro diplomasi publik
dalam sistem internasional dengan menekankan pada diplomasi publik
sebagai alat untuk melaksanakan politik internasional. Sedangkan para
ahli public relations telah berusaha memahami pengaruh mikro program

38 Joseph Duffy dalam Seong Hun Yun 2006. op cit, hlm. 289.

60 Citra Indonesia di Mata Dunia


diplomasi publik dari perspektif pengaruh komunikasi. Di Amerika
Serikat, fokus kegiatan diplomasi publik lebih jauh diklasifikasikan
kepada lima macam praktek diplomasi publik yaitu pada media
diplomasi/pernyataan publik, informasi publik, pelayanan penyiaran
internasional, program pendidikan dan kebudayaan, dan kegiatan
politik (kontribusi nasional untuk demokrasi).
Program penelitian dalam public relations yang disebut studi
keunggulan atau excellence study telah dikembangkan sebagai sebuah
konsep dan kerangka pengukuran untuk mengetahui karakteristik dan
ukuran dalam praktek public relations. Kerangka kerja dimulai dari
empat tipologi model (J. E. Grunig & Hunt, 1984), yaitu press agentry,
public information, two-way symmetrical, and two-way asymmetrical, yang
kemudian direkonstruksi pada empat dimensi kerangka kerja pada
akhir 1990 karena dalam kenyataan, empat model tersebut berdamping-
an dan tumpang tindih satu sama lain. Oleh Grunig diusulkan bahwa
praktek public relations lebih baik dikarakteristikkan kepada empat
dimensi perilaku komunikasi dan kerangka kerja dimensi lebih jauh
akan memfasilitasi studi komparatif public relations dalam praktek.
Dimensi itu adalah arah (satu atau dua arah), tujuan (simetris atau
asimetris), saluran (komunikasi antar pribadi, atau melalui media), dan
etika (teleologi, keterbukaan, dan tanggungjawab sosial).
Selama ini peninjauan kembali literatur diplomasi publik dan
studi public relations telah menunjukkan terjadinya konvergensi
konseptual antara praktek-praktek komunikasi dalam manajemen
komunikasi, antara diplomasi publik dan public relations. Studi menguji
penerapan (applicability) studi public relations untuk mengembangkan
studi tentang diplomasi publik melalui penelitian empiris terhadap
diplomasi publik didasarkan kepada teori public relations. Studi melalui
metode Confirmatori Factor Analysis (CFA) telah menguji keberlakuan
dua model pengukuran perilaku public relations (model pengukuran
enam faktor yaitu two-way (direction), symmetrical, asymmetrical, ethical,
interpersonal, and mediated communication dan lima faktor yaitu
involvement, integration, symmetrical communication, knowledge, and
symmetrical internal communication) serta kualitas public relations dengan
melakukan survey data dari 113 kedutaan besar di Washington.
Kesesuaian indeks pada model menunjukkan bahwa kerangka kerja

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 61


public relations dapat diterapkan atau sesuai terhadap konseptualisasi
dan pengukuran perilaku dan kualitas diplomasi publik.
Diplomasi publik sebagai sebuah praktek international public
relations telah dihadapkan pada isu pertanggungjawaban, dan beban
untuk memperlihatkan nilai tersebut terhadap masalah-masalah luar
negeri secara menyeluruh. Penelitian diplomasi publik saat ini mencari
nilai dalam menciptakan dan mengendalikan citra nasional atau
reputasi. Citra dan reputasi tidak hanya dikendalikan oleh bagaimana
dan apa yang kita ucapkan. Pengaruh lain yang menentukan hal itu
dalam operasionalisasi di luar lingkup diplomasi publik, adalah attraksi
atas perilaku politik, ekonomi, budaya, dan etika, serta kemanusiaan
dalam diplomasi.39
Pengendalian citra dan reputasi dalam diplomasi publik menjadi
perhatian utama pula bagi suksesnya kegiatan public relations. Menurut
Marconi (2004 : 81) praktisi public relations sering dilukiskan sebagai
pembuat citra dan citra memiliki kesamaan pengertian dengan persepsi
dan reputasi. Kesenjangan antara persepsi dan realitas biasanya terjadi
secara berarti. Apabila demikian, ahli public relations telah gagal untuk
menghasilkan public relations yang efektif. Citra juga memiliki kesamaan
pengertian dengan reputasi, sebuah terminologi yang menyatakan
tingkat kepercayaan, sebagaimana dikemukakannya:
Public relations practitioners are often described as 'image makers' and
their client and employers hire them because of a concern of their images-
about looking right to the public. Image is synonimous with perceptions,
and in the opinion of many, the gap between perception and reality
usually exist and can be significant. It is here that public relations
specialists have fallen short excellenceImage is also synonimous with
reputation, a term that implies a level of truth, whereas image carriers a
more superficial connotation, perhaps even illusion.

Bagaimana citra dikreasi, dipelihara dan diubah, menurut Marconi


(2004:93) diperlukan kreativitas dan keahlian, tetapi kemampuan untuk
sukses tergantung dari tingkat akurasi dan kepercayaan terhadap
informasi yang mendasari dan mendorong perencanaan. Sebagaimana
dikemukakannya:

39 Ibid. hlm.309.

62 Citra Indonesia di Mata Dunia


Creating an image, maintaining an image, or changing an image
requires creativity and skill, but the ability to succeed in such an effort
depends to an enormous degree on the accuracy and reliability of
information that underlies and drives the plan.

Demikian pula pentingnya fakta atau kenyataan hubungannya


dengan citra, bahwa citra public relations yang ideal adalah sebuah
pengaruh yang nyata yang didasarkan kepada pengalaman,
pengetahuan dan pengertian atas sesuatu fakta. Upaya memalsukan
citra adalah sebuah penyalahgunaan public relations. Seperti
dikemukakan Jefkins (1984:9) bahwa:
The ideal public relations image should only be a true impression based
on experience and knowledge and understanding of the facts. It follows
that an image cannot be 'polished' (since that would distort it). A better
image has to be earned by putting right the causes of the bad image-
whether it be faulty behaviour or faulty information. To attemp to falsify
an image is an abuse of public relations.

Mempelajari keterkaitan antara public relations dan marketing


dikemukakan Zawawi (2000 : 12-13) bahwa peranan public relations dan
marketing memperlihatkan area terpisah tetapi saling terkait.
Keterampilan yang bervariasi, taktik dan tehnik, adalah keniscayaan
dalam kampanye yang mensyaratkan peranan praktisi public relations,
marketing dan advertising berjalan bersama. Sambil ketiga area itu
terpisah, ketiga area juga saling tergantung. Public relations dan marketing
sering tumpang tindih seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.2 berikut.

Marketing Marketing/
Public Relations
Market Assessment Public Relations
Publications
Customer Segmentation Image Assessment
Events
Customer Relations Media Strategy
Corporate Advertising
Lobbying
Product Development
Relationship Marketing Community Relations
Client Servicing
Direct Mail Media Relations
Telemarketing
Branding Social Investments
Sales
Sponsorship Crisis Communication
Point of Sales Promotions
Promotion Issues Management
Advertising

Gambar 2.2. Area Terpisah dan Tumpang Tindihnya Public Relations dan Marketing

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 63


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan Hun Yun,
kecocokan indeks dari model-model public relations menunjukkan bahwa
kerangka kerja public relations dapat diberlakukan kepada konseptualisasi
dan pengukuran perilaku diplomasi publik serta kualitas diplomasi
publik. Demikian pula dengan kesamaan pengertian yang dikemukakan
dalam berbagai definisi diplomasi publik dan public relations, terdapat
kesamaan antara diplomasi publik dan public relations, sebagaimana
dikemukakan L'Etang (Theaker, 2004: 5-6) karena kedua-duanya melibat-
kan tiga macam fungsi yaitu merepresentasikan organisasi dalam
berkomunikasi dengan publik, baik secara tertulis, terucapkan, maupun
secara visual. Sebagai jembatan untuk berdialog apabila terjadi
perbedaan kepentingan antara publik internal dan eksternal dengan
organisasi, serta mendengarkan dan memberi dorongan kepada publik
dalam memecahkan masalah, memberi saran pertimbangan untuk
perencanaan kampanye dan jalan keluar dari sebuah krisis.
Apabila pengertian diplomasi publik memiliki kesamaan dengan
pengertian public relations, karena keduanya memerlukan fungsi-fungsi
yang sama untuk menumbuhkan saling pengertian terhadap pihak-
pihak yang berkepentingan, dan public relations merupakan komponen
yang esensial dalam diplomasi, khsusnya dalam diplomasi publik, maka
model yang digunakan dalam public relations dapat dijadikan model bagi
diplomasi publik. Namun, persyaratan yang diperlukan untuk mem-
peroleh pengertian dari kelompok masyarakat tertentu akan berlainan
dengan persyaratan yang diperlukan bagi kelompok masyarakat lainnya,
karena public relations merupakan sebuah proses, yakni serangkaian
perbuatan atau tindakan, perubahan-perubahan, atau fungsi-fungsi yang
membawa kepada suatu hasil. Kegiatan public relations menurut Wilcox
et.al (2003:7) terdiri dari empat unsur kunci yaitu :
1. Research. What is the problem or situation
2. Action (program planning). What is going to be done about it
3. Communication (execution). How will the public told
4. Evaluation. Was the audience reached and what was the effect
(a) Research, is discovery phase of a problem-solving process:
practitioners' use of formal and informal methods of information
gathering to learn about an organization, the challenges and
opportunities it faces, and the publics important to its success.

64 Citra Indonesia di Mata Dunia


(b) Planning, is the strategy phase of a problem-solving process, in which
practitioners use the information gathered during research. From that
information, they develop effective and efficient strategies to need of their
clients or organizations.
(c) Communication, is the execution phase of the public relations
process. This is where practitioners direct messages to specific publics in
support of specified goals. But good plans are flexible: because changes
can occur suddenly in the social or business environment, sometimes it's
necessary to adjust, overhaul, or an abandon the planned and strategies.
It's worth repeating here that effective communication is two-way,
involving listening to publics as well as sending them messages.
(d) Evaluation, is the measurement of how efficiently and effectively a
public relations effort met the organization's goals. (Guth dan Marsh,
2006 : 14)

Policy
Formation

Research and
Analysis

Program
Programming Assesment
and Adjustment

Communication

Feedback

Diagram 2.1. Konseptualisasi Public Relations sebagai Suatu Proses yang Bersiklus
(Sumber: Guth dan Marsh, 2006 : 14)

Empat unsur kunci dalam proses public relations atau kalau


menurut Guth dan Marsh disebut model tradisional empat langkah
dalam proses public relations, tidak merefleksikan kenyataan sebenarnya
karena menggambarkan sebuah proses linear. Langkah kedua
mengikuti langkah kesatu, langkah ketiga mengikuti langkah kedua
dan seterusnya. Kenyataannya, public relations terlibat dalam sebuah
proses yang dinamis. Dunia adalah suatu tempat yang selalu berubah.
Evaluasi akan terjadi dalam setiap langkah proses public relations.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 65


Penelitian perlu mengidentifikasi cara untuk mengukur efek dari
program public relations. Pengukuran kemudian perlu menyatu pada
setiap langkah dalam perkembangannya. Digambarkan oleh Guth dan
Marsh sebagai berikut:

RESEARCH

PLANNING EVALUATION

COMMUNICATION

Diagram 2.2. The Dynamic Model of the Public Relations Process


(Sumber: Guth dan Marsh, 2006 15)

Menurut Guth dan Marsh (2006:16) dalam proses di atas masih


kehilangan unsur kunci yaitu values. Apabila didefinisikan, values
adalah keyakinan dasar yang mendorong perilaku dan pengambilan
keputusan:
Values are defined as the fundamental beliefs and standards that drive
behavior and decision making. To put it another way, values are the
filters through which we see the world and the world sees us. Everyone
has values. Organizations have values. Actions communicate values.

Digambarkan sebagai berikut:

VALUES VALUES
RESEARCH

PLANNING EVALUATION

COMMUNICATION
VALUES VALUES

Diagram 2.3. Values-Driven Public Relations (Sumber: Guth dan Marsh, 2006 16)

66 Citra Indonesia di Mata Dunia


Guth200 dan Marsh (2006:17) mengajukan definisi alternatif
untuk public relations: Public relations is the values driven management of
relationships between an organization and the publics that can affect its
success. Pendekatan ini dinamakan values-driven public relations.
Values of public relations menurut Grunig (2002:90-92) sekurang-
kurangnya ditentukan oleh empat tahapan. Secara ringkas yaitu :
1. Porgram Level : The program level has been the tradisional focus of
evaluative research in public relations. However, effective
communication programs may or may not contribute to organizational
effectiveness.
2. Functional level : The public relations or communication fungtion as a
whole can be audited by comparing the structure and processes of the
department that implement the function with the best practices of the
public relations function in other organizations or with theoretical
principles derived from scholarly research.
3. Organizational level. To show that public relations has value to the
organization, we must be able to show that effective communication
programs and functions contribute to organizational effectiveness
4. Societal level. Organizations cannot be said to be effective unless they
also are socially responsible; and public relations can be said to have
value when it contributes to the social responsibility of organizations.

Berdasarkan pendapat Guth dan Marsh serta Grunig, nilai public


relations ditentukan oleh efektifitas organisasi dalam melaksanakan
program dan fungsi serta tanggung jawab sosialnya. Nilai public
relations terdapat di dalam public relations yang efektif dan public relations
yang paling efektif dilukiskan oleh Grunig dan Grunig (Davis, 2004: 76)
sebagai excellent public relations.
Kegiatan public relations dikaitkan dengan kegiatan diplomasi
publik apabila memperhatikan definisi diplomasi publik oleh USIA
yaitu: seeks to promote the national interest...through understanding,
informing and influencing foreign publics and broadening dialogue
between...citizens and institutions and their counterparts abroad, sejalan
dengan definisi international public relations sebagaimana dikemukakan
Wilcox et al (2003: 378), yaitu:

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 67


International public relations may be defined as the planned and
organized effort of company, institution, or government to establish
mutually beneficial relations with the public of other nations. These
publics, in turn, may be defined as the various groups of people who are
affected by, or who can affect, the operations of a particular firm,
institution, or government.

Public relations juga merupakan komponen esensial dalam


diplomasi.
Today, although in some languages there is no term comparable to
public relations, the practice has spread to most countries, especially
those with industrial bases and large urban populations. This is
primarily the result of worldwide technological, social, economic, and
political changes and the growing understanding that public relations
is an essential component of advertising, marketing, and diplomacy.

Kean (1969:6) secara sederhana mendefinisikan international


public relations yaitu :
Public relations becomes international when it directs its appeal to
foreign publics. International public relations deals with many
countries, many nationalities, and, above all, many mentalities. While
the broad goals are the same as those of domestic public relations.

Culbertson dan Ni Chen (1996:18-26) menjelaskan interdisiplin


teori dasar untuk international public relations. Definisi international
public relations menurut Grunig dalam Culbertson dan Ni Chen adalah:
'a broad perspectif that will allow (practitioners) to work in many countries-or
to work collaboratively' with people in many nations. Culbertson dan Ni
Chen mengemukakan model untuk mengorganisasikan penelitian
dengan menggunakan beberapa teori yang sesuai untuk praktek
international public relations, disajikan pada diagram 2.4 di bawah ini,
yaitu:

68 Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep
Sumber: Culbertson, Hugh M dan Ni Chen. 1996. International Public Relations
Diagram 2.4. Model for Organizing Research in International Public Relations.

69
Menurut Culbertson dan Ni Chen, perkembangan teknologi
informasi telah membawa media massa dan ideologinya memutari
dunia dengan meningkatkan kecepatan dan rendahnya biaya yang
belum pernah sebelumnya dikomunikasikan begitu cepat kepada
orang banyak. Peningkatan akses media massa ini menunjukkan tiga
implikasi teori untuk international public relations. Implikasi melibatkan
ciri-ciri karakteristik pesan media, imperialisme media dan
pengaruhnya, serta pengembangan isu dan aktivitas global.
Sehubungan faktor-faktor tersebut, peranan media penting untuk
dipelajari dalam international public relations.
Peran media dalam teori komunikasi, yang bersangkutan
dengan international public relations dikemukakan Culberston dan Ni
Chen sebagai berikut:
The first useful theory could be called 'media dependency', which would
show how assumptions about communication can change when placed
into an international contaxt. However, in the global arena, there is
evidence that the media become increasingly powerful as sources of
information. Manheim and Albritton (1984) theorized that most
information about other countries comes from the mass media. In local
confines, people can check the 'reality' of coverage through their own
experiences or contacs. But few people have direct experience by which
to judge coverage of other countries. Therefore, these authors observed
that 'image of the actors and events on the international scene will be
heavily media dependent. Another lines of theory traces the global
flow of information. Recent studies indicate that information and
entertainment flow one way from western nations to developing world.

Sekalipun demikian menurut Culberston dan Ni Chen terdapat


pandangan yang berbeda di antara peneliti mengenai pengaruh media
massa terhadap bangsa-bangsa di negara berkembang. Teoritisi
berpaham modern (modernization theorists) meyakini bahwa media
massa bagi bangsa-bangsa di negara berkembang meningkatkan
kehidupan ekonomi mereka dan menyediakan standar kehidupan
yang tinggi. Pendapat yang berlawanan, para teoritisi berpaham
ketergantungan (dependency theorists) menyatakan bahwa beberapa
media asing merupakan alat untuk melangsungkan imperialisme dan

70 Citra Indonesia di Mata Dunia


dominasi ekonomi. Sekalipun demikian, Culbertson dan Ni Chen tidak
mempertimbangkan teori mana yang lebih akurat, menurut Culbertson
dan Ni Chen, global media telah membantu integrasi publik dan isu di
seluruh dunia.
Tujuan utama international public relations menurut Kunczik
(1997:74) adalah membangun kepercayaan. Sasaran utamanya adalah
membangun (atau memelihara yang telah berfungsi) citra positif
bangsa sendiri untuk memunculkan nilai kepercayaan tersebut kepada
aktor-aktor lain dalam suatu sistem dunia. Kepercayaan bukan konsep
yang abstrak. Dalam bidang kebijakan internasional, kepercayaan
faktor penting dalam memobilasasi sumber-sumber daya, misalnya
dalam menerima bantuan material dari bangsa lain. Kepercayaan
adalah uang dan uang adalah kepercayaan.
Pengaruh luar biasa international public relations pada tahun 1990-
an sebagaimana dikemukakan Leaf (Lesly's, 1991:709) dimulai dengan
meningkatnya aktivitas melintasi batas negara oleh banyak perusahaan
dengan memasuki area cekung pasifik, China, Russia, dan Eropa
Timur. Perusahaan mulai memberanikan diri untuk keluar dari
negaranya, dengan keperluan untuk meningkatkan komunikasi
dengan pemerintahan, pekerja, dan masyarakat lokal. Keperluan luar
biasa bagi seseorang atau perusahaan ketika melakukan kesepakatan
adalah memahami budaya lokal dan mempunyai kemampuan untuk
menggunakannya. Dikemukakan beberapa contoh antara lain di Timur
Tengah, kunci yang mempengaruhi transaksi jual beli di toko-toko
besar bukan atas dasar harga, tetapi atas dasar hubungan pribadi.
Dijelaskan Leaf ( Lesly's, 1991 : 709-710):
In the Middle East, many key purchasing influences place greater
store on personal relationships than on price. This is often hard for many
western businessmen to understand. Even in Japan employee relations
cannot be overlooked. In many cases far more important than the pay
scale is what the Japanese refer to as 'Wa' (harmony). Overseas even an
understanding of body language can have impact. Taking your thumb
and second your finger and forming it into a circle means A OK in the
U. S. but in France it means 'Zero' whereas in Japan it means 'Money'
and in Tunisia it means 'I kill you'. When dealing in multi-racial
societies a special understanding is needed.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 71


Kemudian memahami dan menggunakan bahasa negara yang
bersangkutan, untuk berhubungan dan melakukan kegiatan publikasi.
Seperti dikatakan Lesly (1991: 719) All material to newspapers, wire
services, and news magazines must be in the language of the country. Koalisi
menanggapi persyaratan ini telah menyusun dan menyampaikan draf
RUU KMIP tahun 2002 dalam bahasa Inggris kepada ahli-ahli asing
yang bekerja sama dengan Koalisi, sebagaimana dimuat dalam buku
Koalisi (2003: 161-210) sebagai lampiran, dengan judul Draf Law of The
Republic of Indonesia, Number2002. Concerning Freedom of Access to
Public Information.
Bagaimana mengatur program public relations supaya efektif,
ditunjukkan Grunig (1984: 265-285), secara garis besar, bahwa
hubungan perlu dibangun dengan berbagai unsur yang mempengaruhi
efektifitas program public relations, antara lain membangun hubungan
dengan unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, hubungan dengan media (media relations), adalah
sangat utama dalam praktek public relations. Public relations tidak
mempunyai arti lebih dibanding hubungan dengan media, sebab
media sebagai penjaga gawang informasi.
Kedua, hubungan dengan anggota organisasi (internal relations),
untuk membangun kebanggaan individu anggota dalam organisasi,
membangun partisipasi dalam kegiatan untuk efisiensi organisasi, dan
mengembangkan loyalitas terhadap organisasi.
Ketiga, membangun hubungan dengan masyarakat (community
relations), baik dalam pengertian kelompok orang berdasarkan lokasi
geografis, maupun berdasarkan kepentingan yang sama, seperti
masyarakat akademik, masyarakat pengusaha, untuk mengetahui dan
mempertemukan kebutuhan dan harapan semua segmen masyarakat
yang berhubungan dengan organisasi.
Keempat, hubungan dengan pemerintah (government relations),
untuk melakukan lobi yang dapat mendorong kepentingan organisasi
dalam pemerintahan.
Kelima, hubungan dengan publik internasional (international
public relations) dikemukakan oleh Lesly ( 1992 : xiv), bahwa hubungan
dengan publik internasional merupakan salah satu upaya organisasi
memanfaatkan public relations secara efektif.

72 Citra Indonesia di Mata Dunia


Isu kebebasan memperoleh informasi yang diperjuangkan Koalisi
secara substansial diasumsikan tidak akan memperoleh hambatan
kultural, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, karena isu
kebebasan memperoleh informasi adalah isu yang telah mendapatkan
pengakuan dunia internasional. Kebebasan memperoleh informasi
merupakan hak asasi manusia, dan setiap orang memiliki hak untuk
bebas berpendapat dan berekspresi, termasuk untuk mencari,
memperoleh, dan menyampaikan informasi serta gagasan melalui
berbagai media, tanpa pembatasan wilayah, sebagaimana dikandung
dalam instrumen hak asasi manusia internasional yakni Deklarasi PBB
tentang Hak Asasi Manusia (United Nations Declaration of Human Rights)
dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dengan isi
pernyataan yang bersamaan. Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa:
Every one has the right to freedom of opinion and expression; this right
includes freedom to hold opinions without interference and to seek,
receive and impart information and ideas through any media and
regardless of frontiers. (Ottawa, Jr 1998 : 1).

Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan


Politik menyatakan bahwa :
Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall
include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all
kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the
form of art, or through any other media of his choice.40

Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap


Koalisi diasumsikan tinggi karena banyak di antara Ornop anggota
Koalisi telah lama menjalin hubungan kerja sama dengan Ornop atau
pemerintahan di luar negeri sebelum Reformasi di Indonesia, seperti
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Institut Studi Arus
Informasi (ISAI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP),
Transparansi Internasional Indonesia (TI-Indonesia), Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Konsumen

40 United Nations Treaty Series (UNTS) No. 14668. Vol. 999 (1976): Melalui <http://www.unhchr. ch/html/
menu3/b/acepr.htm>

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 73


Indonesia (YLKI), Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi (SET) dan lain-
lain, sampai saat ini berjalan baik. Nilai yang diusung Koalisi yaitu
mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab, dan
meluasnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan,
sehingga negara bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, menjadi
negara yang memiliki tatanan pemerintahan yang baik atau good
governance, adalah nilai yang diakui dan diperjuangkan dunia
internasional.
Mengenai isu kebebasan memperoleh informasi yang dimuat
media massa Indonesia di era globalisasi ini tidak hanya dapat diketahui
oleh masyarakat Indonesia tetapi juga oleh masyarakat asing di luar
negeri, seperti di Australia, Malaysia, sehingga isu itu diasumsiskan
dapat diketahui luas di luar negeri. Lebih menguatkan asumsi karena di
Indonesia beroperasi sejumlah koresponden media asing untuk meliput
peristiwa dan perkembangan yang terjadi di Indonesia.
Johnstone dan Zawawi (2004 : 9-10) mengemukakan bahwa
pekerjaan praktisi public relations banyak aspek, dan satu aspek dapat
diliput aspek lain. Sejumlah kegiatan kunci dan peranan public relations,
diringkas sebagai berikut:
Communication publicity promotions press agentry
integrated marketing issues management crisis management
press secretary/ public information officer public affairs/lobbyist
financial relations community relations internal relations
industry relations minority relations media relations public
diplomacy-establishing and maintaining relationship to enhance trade,
tourism and general goodwill between nations event management
sponsorship cause/relationship marketing fundraising.

Diplomasi publik menurut Johnstone dan Zawawi, termasuk


salah satu kegiatan public relations. Public relations dalam praktek,
(Jefkins, 1984:1) memikirkan, merencanakan, dan sebuah usaha
berkelanjutan untuk membangun dan memelihara saling pengertian
antara organisasi dan publiknya. Public relations practice is the deliberate,
planned and sustained effort to established and maintain mutual
understanding between an organisation and its public. Public relations
adalah segala bentuk komunikasi yang terencanakan, baik keluar

74 Citra Indonesia di Mata Dunia


maupun kedalam, antara organisasi dan publiknya dengan tujuan
untuk mencapai sasaran khusus yang bersangkutan dengan saling
pengertian. ... Public relations consist of all forms of planned communication,
outwards and inwards, between an organisation and its publics for the purpose
of achieving specific objectives concerning mutual understanding.
Metode manajemen berdasarkan sasaran (Jefkins, 1984: 2) adalah
aplikasi public relations. Ketika sasaran ditetapkan, hasilnya dapat
diukur berdasarkan sasaran tersebut sehingga membuat public relations
sebagai suatu aktivitas yang nyata. Aktivitas ini menyangkal anggapan
yang keliru bahwa public relations adalah kegiatan yang tidak nyata
(abstrak). Apabila program public relations dijalankan untuk
memperoleh suatu sasaran tertentu maka hasilnya dapat diamati dan
diukur. Public relations practice is the art and social science of analysing trend,
predicting their consequences, counselling organisation leaders, and
implementing planned programmes of action which will serve both the
organisation's and the public interest.

2.8. Teori Komunikasi Antarbudaya


Dari telaah terhadap persepsi pencitraan melalui pendekatan
public relations diharapkan mampu mempertemukan kemampuan
persepsi dan pencitraan masyarakat terhadap apa yang mereka terima.
Tentunya masyarakat yang satu dengan yang lain memiliki latar
belakang budaya yang berbeda dalam melakukan persepsi, demikian
juga pencitraan, diantaranya dapat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan budaya yang berbeda. Terlebih masyarakat yang berbeda
budaya maka dalam melakukan dialog dalam rangka mewujudkan dan
mempraktekan sebuah diplomasi yang tepat tentunya sangat sulit.
Untuk itu dalam penelitian ini penulis merasa perlu menetapkan telaah
atau hasil kajian dari analisis komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya menurut Porter & Samovar (Deddy
Mulyana, 2001:25-26) dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mem-
persepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Dikemukan lebih
lanjut:
Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa
masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering dipersulit oleh

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 75


perbedaan-perbedaan persepsi, dan untuk memahami dunia
dan tindakan orang lain harus terlebih dahulu memahami
kerangka persepsinya. Tiga unsur sosial budaya mempunyai
pengaruh yang besar dan langsung atas makna-makna yang kita
bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah (1)
sistem kepercayaan (belief), nilai (value) dan sikap (attitude); (2)
pandangan dunia (worldview); serta (3) organisasi sosial (social
organization).

Telaah mengenai komunikasi antarbudaya seperti dikemukakan


oleh Porter dan Samovar (1985:24) bahwa untuk mengkaji komunikasi
antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dan
komunikasi. Dengan demikian analisis mendalam dalam konteks
perilaku komunikasi antarbudaya, komunikasi secara perlahan
mempengaruhi proses diplomasi yang dilakukan oleh Koalisi dengan
latarbelakang yang berbeda. Kecenderungannya bahwa komponen
komunikasi antarbudaya yang dipraktekkan adalah komunikasi yang
ditujukan untuk memahami kondisi satu sama lain seperti dalam
strukur dan suasana di lingkungan Ornop yang melakukan koalisi
maka kemampuan memahami budaya yang berbeda adalah kunci
kelancaran aktivitas koalisi.
Pengkajian mengenai studi tentang bagaimana budaya masing-
masing Ornop serta masyarakat yang terlibat dalam proses diplomasi
yang ternyata memiliki perbedaan kemampuan dalam memberikan
pencitraan merupakan telaah pokok dalam penelitian ini. Dalam
perkembangannya fenomena ini akan berkaitan dengan kemampuan
individu dalam Ornop ataupun masyarakat antarnegara untuk mampu
mempersepsi hingga memberikan pencitraan melalui kategori-
kategori, konsep-konsep, simbol-simbol yang dihasilkan dalam
diplomasi publik.
Jika dikaitkan dengan teori konstruksi sosial implementasinya
dalam realitas sosial, maka telaah komunikasi antarbudaya ini akan
cukup memberikan arti dan makna bagi para pelakunya. Dalam hal ini
maka jika semakin besar perbedaan budaya antara dua orang, semakin
besar pula perbedaan mereka terhadap suatu realitas. Sebagaimana
dikemukakan Porter & Samovar (Deddy Mulyana, 2001:34) bahwa

76 Citra Indonesia di Mata Dunia


masalah utama dalam komunikasi antarbudaya adalah kesalahan
dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
budaya yang mempengaruhi proses persepsi.
Temuan tersebut dapat dijadikan salah satu kajian teori yang
mendasar dalam penelitian ini, khususnya dalam menganalisis kinerja
Koalisi yang ditunjukkan oleh Ornop-Ornop yang melakukan keja sama
dengan latarbelakang serta negara yang berbeda, namun diharapkan
mampu mewujudkan suatu bentuk diplomasi yang adaptif. Dengan
demikian komunikasi antarbudaya yang efektif akan memberikan
kontribusi yang banyak terhadap kelancaran diplomasi publik yang
dimaksud dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan oleh
Schramm (Deddy Mulyana, 2001:6-7) yang mengemukakan bahwa,
Ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk berkomunikasi
efektif antar budaya yaitu: (1) menghormati anggota budaya lain
sebagai manusia; (2) menghormati budaya lain sebagaimana apa
adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3)
menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda
dengan cara kita bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya
yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang
dari budaya lain.

Menurut peneliti, ke empat syarat yang harus dimiliki untuk


melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif merupakan
serangkaian sikap bagaimana menerima dan menghormati budaya lain
yang dilandasi kesadaran bahwa dalam kehidupan bermasyarakat
senantiasa berhadapan dengan berbagai budaya. Kondisi seperti ini
akan terjadi dalam suasana yang berbeda, baik itu status, usia,
kepangkatan, maupun atribut predikat individu, tetapi apabila
memiliki pemikiran yang sama untuk bekerja sama maka ketika Ornop
melakukan koalisi dalam rangka memperjuangkan kebebasan
memperoleh informasi akan mampu diwujudkan.

2.9. Teori Kepemerintahan (Governance)


Istilah governance pertama kali dikemukakan oleh Bank Dunia
(World Bank) dalam publikasinya yang diterbitkan tahun 1992 yang
berjudul Governance and Development. Definisi governance menurut Bank

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 77


Dunia adalah the manner in which power is exercised in the management of a
country's social and economic resources for development (Hetifah. 2004:3).
Indikator-indikator tentang kepemerintahan (governance) oleh Bank
Dunia telah disebutkan terdiri dari enam dimensi kepemerintahan,
secara ringkas sebagai berikut :
1. Voice and Accountability (VA), the extent to which a country's citizens
are able to participate in selecting their government, as well as freedom
of expression, freedom of assosiation, and free media.
2. Political stability and absence of violence (PV), perception of the
likelihood that the government will be destabilized or overthrown by
unconstitutional or violent means, including political violence and
terrorism.
3. Government effectiveness (GE), the quality of public service, the quality
of the civil service and the degree of its independence from political
pressures, the quality of policy formulation and implementation, and
the credibility of the government's commitment to such policies.
4. Regulatory quality (RQ), the ability of the government to formulate
and implement sound policies and regulations that permit and promote
private sector development.
5. Rule of Law (RL), the extent to which agents have convidence in and
abide by the rules of society, and in particular the quality of contract
enforcement, the police, and the court, as well as the likelihood of crime
and violence.
6. Control of corruption (CC), the extent to which public power is exercised
for privat gain, including both petty and grand forms of corruption, as
well as capture of the state by elites and private interests.41

Definisi serupa tentang governance (Sedarmayanti, 2003:3)


dikemukakan UNDP sebagai berikut :
Governance is the exercise of economic, political, and administrative
authority to manage a country's affairs at all level and means by which
states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of
their population.

Berdasarkan definisi ini, governance meliputi tiga komponen


yaitu negara atau pemerintah, sektor swasta atau dunia usaha, dan

41 Kaufmann, Kraay, Mastruzzi, Governance Matters V. Melalui: http://web.worldbank.org.

78 Citra Indonesia di Mata Dunia


masyarakat yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing. Hubungan di antara ketiganya (Sedarmayanti, 2003:5)
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.3. Hubungan Antarsektor

STATE SOCIETY

PRIVATE
SECTOR

Sumber : Sedarmayanti, 2003.

Dengan demikian tatanan kepemerintahan yang baik (good


governance) menurut Tashereau dan Campos; UNDP (Thoha, 2005:63)
merupakan kondisi yang menunjukkan proses kesejajaran, kesamaan,
kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang
dilakukan ketiga komponen tersebut. Apabila kesamaan derajat tidak
sebanding maka akan terjadi pembiasan dari tatanan kepemerintahan
yang baik (good governance).

2.10. Teori Organisasi Nonpemerintah (Ornop)


Definisi Organisasi Non-pemerintah (Ornop) atau Non-
governmental Organization (NGO) menurut PBB (Sinaga. 1994 : 22)
adalah:
NGOs are those private organizations which commonly gain financial
support from international agencies and which devote themselves to the
design, study, and execution of programs and projects in developing
countries.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 79


Penjelasan lain tentang NGO menurut PBB adalah any non-profit
voluntary citizens group which is organizied on a local, national or
international level.42
Griffith and O'Callaghan (2002:215-217), merumuskan pula
NGO sebagai:
Any transnational organisation that has not been established by a state.
Humanitarian and aid organisations, human rights groups, lobby
groups, enviromentalists, professional associations, new social
movements, multinational corporations, terrorist, and criminal
organisations, and ethnic and religious groups all qualify as NGOs on
this account.

Dikemukakn lebih lanjut oleh Griffith and O'Callaghan bahwa


NGO dalam hubungan international terdiri dari tiga kategori, Pertama,
NGO yang bekerjasama erat dengan organisasi-organisasi
antarpemerintah (intergovernmental organisations). Kerangka kebijakan
kerjasamanya terutama sangat kuat pada bidang hak asasi manusia dan
pembangunan. Kedua, NGO menjadi bagian penting dalam area
international, sehubungan dengan berkembangnya masyarakat sipil
dalam kancah global, seperti hubungan individu dalam tingkatan
international. Ketiga, NGO merupakan pertumbuhan yang berarti dari
kekuatan masyarakat dalam hubungan international disebabkan
negara telah gagal merespon kebutuhan-kebutuhan yang mendesak di
bidang sosial, politik, lingkungan, kesehatan, dari individu-individu
(Griffith and O'Callaghan, 2004:216-217).
Definisi secara jelas tentang Ornop atau NGO menurut Sinaga
(1994: 21) sulit diperoleh karena istilah NGO meliputi seluruh
organisasi yang bukan bagian dari pemerintah dan yang didirikan
bukan sebagai hasil persetujuan dengan atau antarpemerintah.
Kesulitan lain, NGO memiliki berbagai nomenklatur seperti Voluntary
Organization (Volag), Community Organization (CO), Non-profit
Organization (NPO) atau Private Voluntary Organization (PVO) yang
dapat dipertukarkan penerapannya dengan NGO. Perbedaan

42 Erik B. Bluemer. 2004. Overcoming NGO Accountabilty Concerns in International Governance. Article.

80 Citra Indonesia di Mata Dunia


terminologi ini berasal dari perbedaan pendekatan dan keberadaan
serta operasionalnya berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Kehadiran NGO bukan suatu yang tidak substansial tetapi merupakan
bagian yang integral dari kesepakatan masyarakat untuk berupaya
memecahkan masalah dan merupakan reaksi tidak berfungsinya
elemen-elemen dalam sistem sosial sehingga menjadi suatu alternatif
yang ditawarkan (Sinaga, 1994 : 21, 25).
Di Indonesia, organisasi nonpemerintah juga dikenal sebagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pada dasarnya mengandung
eufemisme agar tidak menimbulkan melawan negara/pemerintah
(Dharmawan, 2004 : 17,19).

2.11. Teori tentang Citra


Kondisi Indonesia yang terpuruk setelah terjadinya krisis di
bidang ekonomi tahun 1997, kemudian membawa keterpurukan di
bidang politik dan sosial budaya telah memberikan citra negatif bagi
bangsa dan negara lain termasuk bagi bangsa Indonesia sendiri, karena
citra dibangun berdasarkan hasil pengalaman bangsa Indonesia yang
merasakan pahitnya kondisi kehidupan sehari-hari saat itu sebagai
suatu realitas, dan bagaimana bangsa lain mempersepsikan kondisi
itu. Seperti dikatakan Boulding (1956:6):
what, however, determines the image?. This is the central question of
this work. It is not a question which can be answered by it. Nevertheless,
such answers as I shall give will be quite fundamental to the
understanding of how both life and society really operate. One thing is
clear. The image is built up as a result of all past experience of the
possessor of image. Part of the image is the history of the image itself.

Pencitraan, sebagaimana dikemukakan Boulding (1956:7-8), dapat


berubah setiap waktu di saat seseorang menerima pesan baru, kemudian
mengubah pola-pola perilaku yang bersangkutan every time a message
reaches him his image is likely to be changed in some degree by it, and as his image
is changed his behavior patterns will be changed likewise. Sekalipun
demikian, sejauh mana pesan baru atau informasi tentang pergantian
Presiden RI itu dapat mengubah citra, menurut Boulding, apabila suatu

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 81


pesan membentuk citra, tiga hal dapat terjadi. Pertama, citra tetap tidak
akan terpengaruh. Kedua, kemungkinan suatu pesan berpengaruh
terhadap citra. Ketiga, pesan akan mengubah citra secara drastis.
Gambaran tentang realitas kondisi bangsa Indonesia yang masih
mengalami krisis menghasilkan citra krisis, walaupun gambaran
tentang realitas itu tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra
adalah dunia menurut persepsi seseorang dan dibentuk berdasarkan
informasi yang diterima. Informasi dapat membentuk, mempertahan-
kan atau meredefinisikan citra. Menurut Roberts (1977) citra adalah
representasi dari seluruh informasi tentang dunia dimana seseorang
telah memproses, mengorganisasikan dan menyimpannya, dan
menurut Lippman (1965) citra adalah gambaran tentang sesuatu dalam
benak seseorang. Sedangkan informasi yang disampaikan oleh media
adalah informasi yang telah diolah atau diseleksi oleh media sehingga
menjadi realitas kedua. Informasi yang disampaikan oleh media
menurut Roberts (1977) cenderung mempengaruhi cara seseorang
mengorganisasikan citra tentang lingkungan, dan citra ini yang
mempengaruhi cara seseorang berperilaku. Menurut Roberts,
komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu,
tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra
kita tentang lingkungan; dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita
berperilaku (Rakhmat, 2004:223-224).
Citra menurut Bernays (Davis, 2004 : 25-26 ) berbeda dengan
realitas. Citra adalah sebuah kesatuan mental atau interpretasi sensual
(penginderaan), sebuah persepsi tentang seseorang atau sesuatu hal
yang dikonstruksi secara deduktif, didasarkan kepada bukti yang
tersedia, secara nyata maupun dalam imajinasi, dikondisikan oleh
adanya kesan, kepercayaan, gagasan, dan emosi, sebagaimana
dinyatakan Bernays sebagai berikut:
Images differ from reality, just what is image, a term that has entered
universal usage and is widely applied by people generally. An image is a
composit mental or sensual interpretation, a perception, of someone or
something; a construct arrived at by deduction based upon all the
avaliable evidence, both real and imagined, and conditioned by existing
impressions, beliefs, ideas and emotions. Perceptions can be, often are,

82 Citra Indonesia di Mata Dunia


intuitive, relating to, for instance, aesthetic qualities, fundamental
truths, absolute givens, basic understandings. Image may be cultivated
that are factually accurate reflections of reality or essentially ephemeral
and insubstansial.

Sedangkan Grunig dan White (1992) mengemukakan bahwa


The average person sees image as the opposite of reality.
Apabila pesan atau informasi itu yang membentuk citra, dan
citra itu adalah dunia dalam persepsi kita, dengan demikian citra
dihasilkan oleh suatu persepsi dan kualitas informasi menentukan
kualitas suatu persepsi. Menurut Mulyana (2004 : 167-170), persepsi
didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna. Persepsi
merupakan inti komunikasi, karena apabila persepsi kita tidak akurat,
tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsi yang
menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang
lain.
Dikemukakan lebih lanjut oleh Mulyana, persepsi terdiri dari
tiga aktifitas yaitu seleksi, mencakup sensasi dan atensi; organisasi,
yaitu meletakkan suatu rangsangan bersama rangsangan lainnya
sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna; dan interpretasi
atas informasi yang kita peroleh melalui salah satu atau lebih indera
kita. Tahap terpenting dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi
yang kita peroleh melalui salah satu atau lebih indera kita. Pengetahuan
yang kita peroleh melalui persepsi bukan pengetahuan yang
sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya
obyek tersebut.
Informasi mempunyai peranan penting dalam interpretasi, dan
suatu pencitraan. Komunikasi yang efektif tergantung dari akurasi
suatu persepsi, sedangkan informasi menjadi andalan dalam proses
penyampaian pesan dari suatu komunikasi. Communication is a
message-centered process that relies on information (Littlejohn, 1996:105).
Dihubungkan dengan dikemukakan-nya kritik oleh beberapa ahli
ekonomi dan politik terhadap suatu kebijakan pemerintah bahwa
pemerintah belum berhasil menyejahterakan masyarakat antara lain
karena jumlah orang miskin bertambah, pengangguran bertambah,

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 83


pemerintahan belum efektif, dan lain-lain, dapat saja dibantah oleh
pejabat pemerintah dengan berbagai alasan dan mengajukan beberapa
kendala bahkan dapat menyalahkan pihak lain.
Realitas yang dipandang berbeda karena perbedaan persepsi
telah menimbulkan berbagai macam citra seperti dikemukakan Jefkins
(1984 : 7-9) bahwa citra terdiri dari lima jenis, yaitu mirror image,
current image, wish image, corporate image, serta multiple image.
Mirror image, adalah citra dari seseorang dalam organisasi
terutama pimpinannya yang meyakini kesan baik pihak luar tentang
organisasinya. Citra ini dapat merupakan ilusi yang disebabkan oleh
sangat kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pendapat
orang/pihak luar. Keadaan ini adalah situasi biasa yang seringkali
didasarkan pada fantasi semua orang menyukai kita.
Current image, adalah citra yang dianut oleh pihak luar organisasi
yang kemungkinan didasarkan kepada miskinnya pengalaman atau
informasi dan pemahaman terhadap organisasi yang bersangkutan.
Current image tergantung kepada sedikit atau banyaknya orang
mengetahui suatu organisasi, dan di dalam dunia yang serba sibuk,
pengetahuan mereka tidak akan sempurna dari pada mereka yang ada
di dalam organisasi. Sebuah contoh, penduduk asli akan mengetahui
lebih banyak tentang negaranya dari pada orang asing yang tinggal
ratusan atau ribuan kilometer jauhnya. Jenis citra ini menjadi
permasalahan komunikasi yang besar bagi dunia ketiga. Citra bagi
kebanyakan negara berkembang adalah miskin menurut Negara Barat
sehubungan dengan apatisme dan ketidakpedulian Negara-negara
Barat.
Wish image, adalah citra yang dikehendaki pihak manajemen.
Citra ini juga sangat tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan
sebenarnya atau berlainan dengan kenyataan.
Corporate image, adalah citra dari organisasi itu sendiri dan tidak
hanya citra tentang produk. Citra organisasi dapat dibentuk oleh
banyak hal, seperti riwayat organisasi, stabilitas dan suksesnya
finansial, kualitas produksi, sukses ekspor, hubungan industri, reputasi
dari pegawai, tanggung jawab sosial, hasil penelitian, dan lain-lain.

84 Citra Indonesia di Mata Dunia


Multiple image, yaitu citra yang dimiliki sejumlah individu,
cabang atau perwakilan lainnya dari organisasi secara keseluruhan.
Seandainya terdapat citra masing-masing individu, cabang atau
perwakilan yang tidak sesuai dengan citra organisasi secara
keseluruhan, masalahnya dapat diatasi oleh penggunaan secara
menyeluruh mengenai simbol, lencana, pelatihan-pelatihan staf, dan
lain-lain.
Baik Mirror image, Current image, maupun Wish image,
merupakan citra yang tidak sesuai dan bertentangan dengan realitas.
Menurut Jefkins (1984 : 9) citra yang dibangun melalui public relations
yang ideal adalah kesan yang benar yang didasarkan kepada
pengalaman dan pengetahuan serta pemahaman dari suatu fakta. Citra
tidak bisa dipoles.
... the ideal public relations image should only be a true impression based
on experience and knowledge and understanding of the facts. It follows
that an image cannot be 'polished'. A better image has to be earnedby
putting rights the causes of bad image wheather it be faulty behaviour or
faulty information. To attempt to falsify an image is an abuse of public
relations

Citra dengan demikian tidak dapat dipalsukan. Citra yang baik


dapat diperoleh dengan menempatkan atau mengemukakan
kebenaran dari sebab-sebab, sekalipun dari suatu kondisi yang jelek,
baik itu karena perilaku yang salah atau informasi yang salah.
Memalsukan sebuah citra adalah sebuah penyalahgunaan dari public
relations.
Perbedaan bahkan kekeliruan persepsi dapat terjadi karena
seperti dikemukakan DeVito (1997 : 77-85) persepsi dipengaruhi oleh
berbagai proses psikologis penting. Antara lain oleh teori kepribadian
implisit, yani orang mengatakan bahwa seseorang yang bergairah dan
mempunyai rasa ingin tahu yang besar pasti cerdas. Padahal
kenyataannya belum tentu demikian. Kemudian oleh ramalan yang
terpenuhi dengan sendirinya, terjadi jika kita membuat perkiraan atau
merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita
meramalkannya dan bertindak seakan-akan itu benar. Proses

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 85


psikologis lainnya adalah stereotiping, yani citra yang melekat atas
sekelompok orang. Melihat seseorang sebagai anggota kelompok
sehingga mendistorsi kemampuan kita untuk mempersepsikan orang
lain secara akurat. Proses psikologis lain yang menghambat persepsi
(Mulyana 2004:223) yaitu prasangka, konsekuensi dari storeotip, dan
lebih teramati dari stereotip. Mengutip kata-kata Robertson 'pikiran
berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang
meringkus apapun yang dipercaya sebagai khas suatu kelompok. Citra
demikian disebut stereotip'.
Kekeliruan-kekeliruan persepsi dapat terjadi, seperti
dikemukakan Mulyana (2004 : 171-191) bahwa persepsi terbagi dalam
persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap
manusia atau persepsi sosial. Mempersepsi lingkungan fisik,
terkadang melakukan kekeliruan karena indera kita terkadang
menipu. Sedangkan dalam mempersepsi objek-objek dan lingkungan
sosial, setiap orang memiliki gambaran yang berbeda mengenai
realitas di sekelilingnya. Persepsi manusia terhadap seseorang, objek,
kejadian berdasarkan pengalaman masa lalunya berkaitan dengan
seseorang, objek, atau kejadian serupa. Persepsi juga bersifat selektif.
Atensi seseorang pada suatu rangsangan merupakan faktor utama
yang menentukan selektivitas atas rangsangan. Persepsi juga bersifat
evaluatif karena alat indera terkadang menipu, sehingga kita juga ragu
seberapa dekat persepsi kita dengan realitas sebenarnya. Persepsi juga
bersifat kontekstual. Ketika kita melihat seseorang, suatu objek, suatu
kejadian, sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan, dan
juga persepsi kita.
Sehubungan keterlibatan unsur sensasi, atensi, ekspektasi,
motivasi dan memori dalam persepsi, sebagaimana dikemukakan di
atas, dihubungkan dengan pencitraan, diketemukan dua masalah
utama dalam pencitraan yaitu realitas dan persepsi. Masalah
realitas bersangkutan dengan upaya-upaya bangsa Indonesia untuk
mengatasi keterpurukan di segala bidang, dan masalah persepsi
berhubungan dengan mengkomunikasikan upaya-upaya bangsa
Indonesia dalam mengatasi krisis kepada bangsa Indonesia sendiri, dan
juga kepada bangsa dan negara lain secara lengkap, akurat, dan benar,
supaya dapat menghindari kesalahan persepsi yang patal.

86 Citra Indonesia di Mata Dunia


Kekeliruan persepsi dan gambaran stereotipe menurut Jones
(1993:192-193) dapat mengaburkan dan mengacaukan komunikasi
dalam hubungan antarbangsa dan negara. Beberapa bentuk kekacauan
komunikasi seperti pencitraan buruk terhadap bangsa lain, dan citra
hebat negara sendiri merupakan kekeliruan persepsual dari gejala ini.
Citra suatu negara terhadap negara lain tersebut selain belum tentu
sesuai dengan kenyataan, juga sulit diubah, meskipun peristiwa dan
pengalaman jelas-jelas bertentangan dengannya.
Persepsi menurut Deutsch (Mohtar Mas'oed, 1990:29-31) menjadi
salah satu substansi studi hubungan internasional. antara lain
dikemukakan, bagaimana para pemimpin dan warga suatu negara
memandang bangsa mereka sendiri, dan bagaimana mereka
memandang bangsa-bangsa lain dan perilaku mereka? Berapa kadar
kenyataan atau khayalan dalam persepsi ini? Kapan persepsi ini
bersifat realistik atau ilusi? Dalam hal apa? Dalam kondisi bagaimana
pemerintah dan rakyat pemilihnya bersikap penuh pengertian
terhadap bangsa lain, dan dalam hal apa mereka bersikap picik?
Persepsi yang akurat dihasilkan oleh sensasi, atensi, organisasi
dan interpretasi yang akurat. Informasi yang akurat, benar dan lengkap
menjadi unsur utama untuk menghasilkan komunikasi yang efektif.
Persepsi yang akurat menghasilkan komunikasi yang efektif. Citra juga
dibangun oleh informasi. Persepsi, komunikasi, informasi, merupakan
unsur-unsur penting untuk membangun citra. Menjadi permasalahan
adalah bagaimana mengorganisasikan persepsi, komunikasi, dan
informasi sehingga menghasilkan citra yang diharapkan dari
masyarakat atau publik dalam negeri dan luar negeri. Dimensi publik
menjadi unsur pokok dalam diplomasi baru/diplomasi publik, dan
mempunyai pengaruh yang kritis terhadap kebijakan luar negeri.
Dimensi publik tidak hanya opini publik tetapi juga konsultasi publik,
partisipasi atau keterlibatan publik, dan tindakan publik.
Secara lebih jelas kerangka pemikiran penelitian ini penulis
visualisasikan dalam bentuk diagram seperti terlihat pada Diagram
2.5.

Bab 2: Citra, Informasi dan Diplomasi Publik : Teori dan Konsep 87


PARADIGMA KONSTRUKTIVISME

TEORI TEORI
KONSTRUKSI INTERAKSIONISME
SOSIAL SIMBOLIK

TEORI DIPLOMASI TEORI KOMUNIKASI TEORI


& DIPLOMASI PUBLIK ANTARBUDAYA PUBLIC RELATIONS

TEORI
TEORI CITRA TEORI ORNOP
KEPEMERINTAHAN

KEGIATAN KOALISI UNTUK KEBEBASAN INFORMASI


DALAM DIPLOMASI PUBLIK

MODEL DIPLOMASI PUBLIK


YANG TERINTEGRASI DAN BERSINERGI

Diagram 2.5 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian

* * *

88 Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 3
Gambaran Umum
Koalisi untuk Kebebasan
Informasi dan Diplomasi
Publik di Indonesia

H asil penelitian yang dipaparkan tentang Koalisi untuk


Kebebasan Informasi selanjutnya disebut Koalisi, meliputi
profil Koalisi dengan mengemukakan struktur organisasi dan
keanggotaan Koalisi serta tujuan dan motivasi pendirian Koalisi
sebagaimana tercantum dalam Statuta Koalisi dengan mengungkapkan
latar belakang pendiriannya. Melalui wawancara, observasi, dan studi
dokumentasi, peneliti mengemukakan program kerja dan kegiatan
Koalisi, baik yang dilaksanakan di dalam negeri maupun di luar negeri,
faktor-faktor yang menunjang dan menghambat serta hasil-hasil yang
dicapai Koalisi. Pemaparan hasil-hasil kegiatan Koalisi dapat berupa
hasil Koalisi secara langsung dan hasil advokasi Koalisi terhadap pihak
lain.
Sebagai upaya menjamin keaslian data dalam penelitian ini maka
informasi atau data-data yang diperoleh dari informan kunci maupun
informan pendukung, hasilnya penulis rumuskan dalam bentuk
proposisi dan model-model temuan penelitian. Proposisi dan model
temuan ini penulis lakukan pengujian validitas isinya melalui proses
triangulasi dalam bentuk diskusi dengan informan yang bersangkutan.
Selain itu triangulasi dilakukan dengan beberapa pakar komunikasi

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 89
khususnya dalam bidang public relations, serta para akademisi di dalam
maupun di luar negeri.

3.1. Profil Koalisi untuk Kebebasan Informasi


3.1.1. Latar Belakang Pendirian
Koalisi dibentuk oleh 38 Ornop yang bergabung atas dasar
pemikiran yang sama bahwa menurut mereka hal mendasar yang perlu
dilakukan dalam reformasi dan demokratisasi, adalah memperkuat
kedudukan masyarakat warga (civil-society) di hadapan negara. Selain
dengan menciptakan kondisi sehingga masyarakat dapat mengontrol
kinerja pemerintah dan para pejabat publik tanpa diliputi perasaan
cemas atau takut. Untuk itu, Indonesia perlu memiliki suatu
perundang-undangan yang menjamin kelembagaan atas transparansi
pemerintahan, keterbukaan informasi dan partisipasi publik, yang
menjamin dan mengatur hak publik atas berbagai informasi
pemerintahan, serta kewajiban lembaga-lembaga publik untuk
memberikan informasi. Perundang-undangan dimaksud adalah
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi.43
Pendapat Koalisi, kebebasan memperoleh informasi merupakan
prasyarat untuk mewujudkan tatanan pemerintahan yang baik atau
good governance, dan pada tatanan pemerintahan yang baik diperlukan
keseimbangan kekuatan (check and balance) antara ketiga elemen bangsa
yaitu elemen negara, sektor swasta, dan masyarakat warga (civil society)
(ICEL, 2006:5). Kemampuan melakukan keseimbangan kekuatan di
antara tiga elemen bangsa, digambarkan pada Gambar 4.1.
Draf awal Rancangan Undang Undang Kebebasan Memperoleh
Informasi Publik (RUU KMIP) diluncurkan pertama kali oleh Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL) sebuah LSM/NGO yang bergerak di
bidang hukum lingkungan hidup, pada tanggal 8 september 2000. Draf
awal sebagai hasil penelitian dan studi banding yang dilakukan ICEL,
diluncurkan untuk memicu perdebatan publik dalam rangka
memperkaya isi rancangan undang-undang kebebasan memperoleh
informasi publik, serta sebagai upaya advokasi kepada DPR agar draf

43
KoalisiUntuk Kebebasan Informasi. 2000. Statuta Koalisi. Jakarta. hlm.1

90 Citra Indonesia di Mata Dunia


tersebut diadopsi sebagai RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat.
Disadari ICEL bahwa memperjuangkan akses terhadap informasi
publik merupakan kepentingan banyak pihak terutama insan pers.
ICEL kemudian bersama-sama dengan Komisi Hukum Nasional masih
dalam tahun 2000 mengajak berbagai organisasi LSM dan lembaga
independen pers, seperti AJI, LSPP, ISAI dan lainnya membentuk
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, sebagaimana dikemukakan oleh
Santosa, pendiri ICEL (Koalisi, 2003:xv).

Gambar 3.1.
Kemampuan Melakukan Checks and Balances Di Antara Tiga Elemen Bangsa

NEGARA
- Eksekutif
- Legislatif
- Judikatif

DUNIA USAHA MASYARAKAT WARGA


- Perbankan - Koperasi - Akademisi - Pengamat
- BUMN - BUMD - Wartawan - LSM/Ornop
- Private - Corporation - Tokoh Masyarakat
- Masy. Sadar Politik

Sumber: Mas Achmad Santosa, 2002:5

Kebebasan informasi, atau jaminan atas akses publik terhadap


informasi, (public access to information), menurut Koalisi, saling mengait
dengan sistem negara yang demokratis (democratic state), dan tata
pemerintahan yang baik (good governance). Kebebasan informasi
membuat masyarakat dapat mengontrol setiap langkah, dan kebijakan
yang diambil oleh pejabat, dan dalam negara yang demokratis,
penyelenggaraan kekuasaan harus setiap saat dapat dipertanggung-
jawabkan kepada rakyat. Pertanggungjawaban penyelenggara
kekuasaan akan membawa kepada tata pemerintahan yang baik (good
governance) yang bermuara pada jaminan terhadap hak asasi manusia.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 91
Untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance),
pemerintahan terbuka (open government) merupakan salah satu
fondasinya, dan dalam pemerintahan yang terbuka, kebebasan
informasi adalah sebuah keniscayaan (Haryanto, 2005:12-13).
Pemerintahan yang terbuka, mensyaratkan adanya jaminan
terhadap lima hal yaitu:
1. Hak memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan
peran publiknya (right to observe)
2. Hak memperoleh informasi (right to information)
3. Hak terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan
kebijakan publik. (right to participate).
4. Kebebasan berekspresi, salah satunya diwujudkan melalui
kebebasan pers.
5. Hak mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-
hak di atas. (Haryanto, 2005:13-14)

Dalam urutan lain, dikemukakan Koalisi beberapa hak yang perlu


dijamin untuk suatu pemerintahan terbuka yaitu: (1) Hak mendapatkan
informasi dan berekspresi (freedom of information and freedom of
expression), (2) Hak mendapatkan perlindungan hukum apabila
melaporkan berbagai tindakan yang tidak tepat, atau kesalahan
manajemen di pemerintahan (whistle blower protection), (3) Hak untuk
dapat berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik (public right to
participate), dan (4) Hak mengajukan keberatan apabila hak-hak di atas
dilanggar (right to appeal).
Hak atas informasi dinyatakannya sebagai hal yang sangat
penting dalam demokrasi karena di antara keempat hal di atas, hak atas
informasi memungkinkan setiap orang melakukan fungsi pengawasan
publik secara efektif (effective public scrutiny), menciptakan transparansi,
dan meningkat-kan kualitas masyarakat dalam berpartisipasi terhadap
pengambilan keputusan dari suatu kebijakan publik. Tanpa informasi
yang akurat keempat hal di atas tidak mungkin dilakukan.
Pengamatan Koalisi bahwa berbagai upaya untuk membawa
reformasi ke arah yang diinginkan terbukti kurang berhasil. Korupsi
masih terus berlangsung dengan modus korupsi baru di berbagai
sektor pemerintahan seperti dilaporkan Badan Pengawas Keuangan.

92 Citra Indonesia di Mata Dunia


Selain lemahnya penegakkan hukum dan belum dijaminnya prakondisi
pemerintahan yang terbuka, ketidakterbukaan (tidak transparan)
merupakan biang keladi kondisi yang kondusif bagi berkembangnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di berbagai Badan Publik.
Sehubungan dengan itu undang-undang kebebasan memperoleh
informasi merupakan upaya konkret mewujudkan transparansi.44
Koalisi tidak sependapat apabila demokrasi hanya diartikan
sebagai hak rakyat untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum
yang berlangsung lima tahun sekali. Sebagaimana dikemukakan Hanif
Suranto, Koordinator Bidang Umum Koalisi, bahwa:
Kebebasan untuk memperoleh informasi merupakan perluasan
hak rakyat dalam demokrasi, karena demokrasi tidak hanya
menyangkut kebebasan rakyat untuk memilih dan dipilih serta
mengekspresikan suatu kehendak, akan tetapi menyangkut pula
hak rakyat untuk mengetahui dan mengontrol badan-Badan
Publik dalam melakukan pelayanan bagi kepentingan publik.
Nilai-nilai demokrasi perlu dilembagakan dengan membuat
aturannya, membuat undang-undangnya, guna memperjelas
pada saat kapan seseorang mempunyai hak serta pada saat kapan
seseorang harus memenuhi kewajiban.45

Koalisi berpendapat, supaya hak dan kewajiban masyarakat


diketahui dengan baik, masyarakat perlu memiliki kebebasan
mengakses informasi sehingga dapat berperan serta dalam memenuhi
hak dan kewajibannya. Transparansi dan partisipasi adalah elemen-
elemen penting demokrasi. Apabila akses terhadap informasi dibuka,
diyakini tingkat partisipasi masyarakat akan berkembang dan kualitas
demokrasi juga berkembang.
Pola-pola pemerintahan Indonesia yang tertutup seperti dialami
di zaman Orde Baru, menurut Koalisi, telah membawa Indonesia kepada
krisis kepercayaan terhadap pemerintah, di samping krisis ekonomi dan
sosial, karena tidak ada kontrol publik terhadap penyelenggaraan
pembangunan. Untuk mengatasi krisis, pemerintah dituntut oleh
masyarakat menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis, yaitu

44
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Laporan Kegiatan. Tahun 2000. hlm. 1-2.
45
Hasil wawancara dengan Hanif Suranto. Koordinator Bidang Umum. Koalisi untuk Kebebasan Informasi tgl. 27
Januari 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 93
pemerintahan yang terbuka, yang menginformasikan kebijakan-
kebijakan yang dikembangkan dan keputusan-keputusan yang akan
diambil yang perlu diketahui oleh masyarakat, apalagi apabila
informasi tersebut memberikan dampak kepada masyarakat. Oleh
karena itu akses atas informasi kebijakan pemerintah harus dibuka
kepada masyarakat.
Berdasarkan perspektif hak asasi manusia, kebebasan informasi
merupakan hak fundamental (asasi) manusia sebagaimana dikandung
dalam instrumen hak asasi manusia internasional yakni Deklarasi PBB
tentang Hakhak Asasi Manusia (United Nations Declaration of Human
Rights) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Hak-hak
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Sebagai
pengejawantahan dari pemerintahan yang terbuka dibutuhkan adanya
mekanisme dan kepastian hukum terhadap kebebasan informasi.
Urgensi pengembangan mekanisme dan kepastian hukum tentang
kebebasan informasi adalah mempercepat terwujudnya pemerintahan
yang baik dan bersih sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan
46
penyelenggaraan negara yang baik (good governance).
Dimungkinkannya undang-undang kebebasan memperoleh
informasi di Indonesia diterbitkankan, karena Indonesia telah
menanda-tangani Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights-UDHR) dan Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil&Political Rights-
ICCPR). Keduanya memiliki kesamaan pengertian dan menunjukkan
bahwa dunia telah mengakui hak setiap orang untuk bebas menyatakan
pendapat dan berekspresi, termasuk mempertahankan pendapat tanpa
intervensi dari pihak manapun, dan untuk mencari, memperoleh, dan
menyampaikan informasi serta gagasan melalui media tanpa
pembatasan wilayah. Pasal 19 Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia
(Declaration of Human Rights) menyatakan bahwa:
Every one has the right to freedom of opinion and expression; this right
includes freedom to hold opinions without interference and to seek,
receive and impart information and ideas through any media and
regardless of frontiers (Ottawa, Jr 1998 : 1).

46
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi. 2002. Urgensi Dibentuknya Undang-undang tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi. hlm. 1-3.

94 Citra Indonesia di Mata Dunia


Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Hak-hak
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) pasal 19 ayat 2
menyatakan bahwa:
Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall
include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all
kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the
form of art, or through any other media of his choice.47

Pengakuan dunia internasional terhadap pentingnya kebebasan


memperoleh informasi, menurut Koalisi, tidak hanya berhenti sampai
taraf perangkat hukum. Ditunjukkan oleh Amartya Sen, pemenang
hadiah nobel bidang ekonomi, bahwa kelaparan yang parah terbukti
tidak pernah terjadi di negara-negara demokratis dengan pers yang
relatif bebas, karena melalui informasi yang sampai ke tangan
masyarakat, memungkinkan publik untuk mengawasi tindakan
pemerintahannya dengan seksama. Kebebasan informasi mampu
memberi peringatan dini sehingga kelaparan tidak perlu sampai terjadi.
Melalui kebebasan informasi, inefisiensi, kemubaziran dan tindak
korupsi tidak akan bisa tumbuh dengan subur.
Indonesia sendiri merupakan salah satu dari 125 negara yang
menandatangani Konvensi PBB untuk Memerangi Korupsi di Merida
Meksiko 11 Desember tahun 2002. Dengan menandatangani konvensi
berarti suatu negara terikat dengan aturan konvensi. Salah satu materi
Konvensi adalah menegakkan sistem pemerintahan yang transparan.48
Isu kebebasan informasi dalam konteks pemenuhan Hak Asasi
Manusia (HAM) sedikit abstrak, tetapi di tingkat praktis isu kebebasan
informasi dapat ditempatkan dalam konteks good governance karena salah
satu prinsip good governance adalah transparansi. Kebebasan informasi
menjadi alat yang ampuh dan merupakan upaya preventif untuk
memberantas korupsi. Mencegah terjadinya perbuatan korupsi lebih
baik dari pada menindak perbuatan korupsi, karena korupsi telah terjadi.
Kebebasan informasi mencegah korupsi di tingkat hulu, bukan di tingkat
hilir. Upaya preventif mencegah korupsi melalui transparansi jelas lebih
bermakna, dan dengan cara itu Indonesia bisa meningkatkan citra,

47
Article 19 of the International Covenant on Civil and Political Rights.UNTS No. 14668. Vol. 999 (1976), Melalui:
<http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cepr.htm>
48
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi. Laporan Akhir Tahun 2003.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 95
misalnya apabila indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia turun.49 Koalisi
berpendapat bahwa kebebasan informasi menjadi salah satu indikator
sebuah negara demokratis dan dapat menjadi negara yang bersih dari
korupsi. Negara-negara yang memiliki undang-undang kebebasan
memperoleh informasi rating indeks persepsi korupsinya tinggi seperti
digambarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3.1
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Negara-Negara Terbersih Di Dunia Tahun 2006
RANGKING NEGARA TERBERSIH DI DUNIA IPK UU KMI MULAI TAHUN
1 Finlandia 9.6 1919
1 Iceland 9.6 1970
1 Newzealand 9.6 1982
4 Denmark 9.5 1996
5 Singapore 9.4
6 Sweden 9.2 1949 (Konstitusi 1776)
9 Australia 8.7 1995
9 The Netherlands 8.7 1991
11 United Kingdom 8.6 2000
14 Canada 8.5 1996
50
Sumber: Transparency International: Corruption Perception Indeks, 2006

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006, dengan nilai


indeks 2,4 menurut Transparency International, meningkat dibanding tiga
tahun terakhir 1,9 pada tahun 2003, menjadi 2,0 pada tahun 2004,
menjadi 2,2 pada tahun 2005, dan menjadi 2,4 pada tahun 2006. Dari
urutan kelima terkorup pada tahun 2004 menjadi urutan keenam
terkorup pada tahun 2005 dari 158 negara yang disurvey, dan menjadi
urutan ketujuh pada tahun 2006 dari 163 negara yang disurvey. Namun,
nilai indeks 2,4 masih sangat kecil untuk dibanggakan. Dalam kategori
Transparancy International, nilai di bawah 3 masih dikategorikan sebagai
negara yang kondisinya sangat parah dalam persoalan korupsi (severe
corruption problem).51 Dari rentang 0-10, skor 10 sebagai negara terbersih,
dan 0 sebagai negara terkorup.

49
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 27 Februari 2006.
50
Transparency International. Corruption Perseption Indeks (CPI) Score. Melalui <http://www.transparency.
org/policy-research/survey- indices/cpi /2006>
51
Indonesia Corruption Watch (ICW). Indeks Korupsi Indonesia 2006. Melalui http://www.antikorupsi.org/
mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=9302. [2006]

96 Citra Indonesia di Mata Dunia


Posisi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 dari
163 negara yang di survey oleh transparansi internasional ditunjukkan
dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3.2.
Tingkat IPK Indonesia 2006, Ketujuh Terkorup dari 163 Negara
RANGKING NEGARA IPK
130 Indonesia, Papua New Guinea, Togo, Zimbabwe 2,4
138 Cameroon, Ecuador, Niger, Venezuela. 2,3
142 Angola, Congo Republic, Kenya, Kyrgyzstan, Nigeria,
Pakistan, Siera leone, Tajikistan, Turkmenistan. 2,2
151 Belarus, Cambodia, Cote D`Ivoire, Equotorial Guinea,
Uzbekistan. 2,1
156 Bangladesh, Chad, Democratic Republic of Congo, Sudan 2,0
160 Guinea, Iraq, Myanmar. 1,9
163 Haiti. 1,8
Diolah dari: Transparency International, 2006.

3.1.2. Maksud dan Tujuan


Maksud dan Tujuan pendirian Koalisi sebagaimana tercantum
dalam Statuta Koalisi adalah terjaminnya hak-hak setiap orang untuk
memperoleh informasi publik dalam mewujudkan pemerintahan yang
terbuka. Perumusan maksud dan tujuan ini didasarkan kepada pendapat
Koalisi bahwa akar dari persoalan merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pemerin-
tahan Orde Baru, karena lemahnya kontrol masyarakat terhadap negara.

3.1.3. Keanggotaan
Koalisi untuk Kebebasan Informasi merupakan koalisi sejumlah
organisasi nonpemerintah yang didirikan pada bulan Desember tahun
2000, namun tanggal pendiriannya tidak terdokumentasikan. Anggota
Koalisi sebagian besar beralamat di Jakarta, dan terdapat pula di beberapa
daerah antara lain di Bali, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Bogor, Kendari, Medan, dan Bekasi. Jumlah organisasi non-pemerintah
(Ornop) yang berkoalisi pada tahap awal tercatat 38 organisasi,
kemudian berkembang menjadi 46 Ornop. Umumnya didirikan setelah
Indonesia memasuki reformasi, namun terdapat pula Ornop yang
didirikan sebelum Indonesia memasuki reformasi.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 97
Status Ornop, selain merupakan badan hukum di Indonesia,
kebanyakan berbentuk yayasan, terdapat pula Ornop yang mempunyai
hubungan organisasi dengan Ornop di luar negeri, seperti Transparency
International-Indonesia dengan Transparency International yang bermarkas
di Berlin dan telah memiliki sekitar 80 lembaga di berbagai penjuru
dunia. Selain itu terdapat pula aliansi organisasi pers, seperti South East
Asian Press Alliance (SEAPA), yang beralamat di Jakarta (Indonesia), di
Bangkok (Thailand), di Manila (Phillipina). Didirikan oleh lima
organisasi pers yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia,
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Indonesia, Thai Jurnalists Association
(TJA) Thailand, Phillipine Center for Investigative Jurnalism (PCIJ), dan
Center for Media Freedom and Responsibility (CMFR) Philipina. Jumlah dan
tempat kedudukan anggota Koalisi, disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.3.
Tempat kedudukan dan Waktu Pendirian Anggota Koalisi
NO TEMPAT KEDUDUKANWAKTU PENDIRIAN JUMLAH
1. Tempat Kedudukan Jakarta 37
Luar Jakarta 9
2. Waktu Pendirian Sebelum Reformasi 13
Setelah Reformasi (>1998) 33
Sumber: Analisis Hasil Penelitian, 2006.

Secara garis besar, bidang kegiatan Ornop ditunjukkan pada tabel


berikut ini:

Tabel 3.4.
Kategori Anggota Koalisi Berdasarkan Bidang Kegiatan
NO ORNOP BIDANG
1. AJI, ATVLI, PWI REFORMASI, SEAPA, LKM Surabaya,
Forum LSM-DIY. PERS
2. YLKI. Perlindungan konsumen
3. PATTIRO, LAKPESDAM NU, LKPSM, LPDS. Pengembangan SDM
4. CETRO, Forum Rektor YPSDM. Pemilu
5. ICEL, WALHI, Komite Pedili Otonomi Daerah. Lingkungan Hidup
6. ICW, IICT, FKH-Unpak, IMPLC, LBH, LeIP, MPPI, PSHK,
TI-Indonesia, KRHN, DESANTARA, LBH PERS, LSPS
Surabaya, ELSIM, LBH Jakarta, LBH Medan,
LBH Semarang. Hukum

98 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO ORNOP BIDANG
7. GANDI, ICRP, KONTRAS, LSPP, ELSAM, MTI, YAPPIKA,
Yayasan Sains Estetika dan Teknologi, Imparsial. HAM
8. Indonesian Parlemen Centre. Parlemen
9. Visi Anak Bangsa, BINA DESA, Lespi Semarang. Sosial
Sumber: Koalisi, 2006

Anggota-anggota Koalisi bergerak di berbagai bidang antara lain


pada isu pengembangan sumber daya manusia; lingkungan hidup;
reformasi hukum dan perundang-undangan; reformasi pemilihan
umum; riset media; jurnalisme; kajian tentang kebijakan dan hukum
media di Indonesia; hak asasi manusia; pemberantasan korupsi;
advokasi bantuan hukum; transparansi; perlindungan konsumen;
demokrasi di bidang sosial budaya; otonomi daerah; dan lain-lain.
Keberadaan Koalisi di dukung oleh Komisi Hukum Nasional sebagai
organisasi pemerintah yang berfokus pada reformasi hukum.
Dalam kegiatan keseharian Koalisi tidak nampak kegiatan
keseluruhan anggota Koalisi. Anggota Koalisi yang sangat aktif saat ini
dalam keseharian kegiatan Koalisi adalah Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP); Indonesian Parliamentary Center(IPC); Visi Anak
Bangsa (VAB); Institut Arus Informasi (ISAI); Yayasan Sains Estetika
dan Teknologi (SET); Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL); dan
Imparsial.52
Organisasi Koalisi dalam pelaksanaan program kerja sehari-hari
dijalankan oleh Badan Pekerja Koalisi yang dipimpin seorang
Koordinator Umum Badan Pekerja dengan dibantu oleh sekretaris
eksekutif dan empat koordinator bidang, yaitu Koordinator Bidang Lobi,
Koordinator Bidang Perumusan dan Pengkajian Kebijakan, Koordinator
Bidang Kampanye, dan Koordinator Bidang Pengembangan Jaringan.
Struktur organisasi Badan Pekerja Koalisi untuk Kebebasan Informasi,
ditampilkan pada Diagram 3.1.

52
Wawancara dengan Sekretaris Koalisi. 6 Februari 2007

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 99
Diagram 3.1.
Bagan Organisasi Badan Pekerja Koalisi untuk Kebebasan Informasi
KOALISI BADAN PEKERJA
UNTUK KEBEBASAN
INFORMASI KOORDINATOR
UMUM
ANGGOTA KOALISI

SEKRETARIS

KOORD. BIDANG
KOORD. BIDANG LOBI
KAMPANYE

KOORD. BIDANG PERUMUSAN KOORD. BIDANG


& PENGKAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN JARINGAN

Dalam rangka memperjuangkan aspek legal kebebasan


memperoleh informasi melalui sebuah undang-undang, sejumlah
Ornop merasa khawatir apabila menggantungkan harapan kepada
itikad baik pemerintah semata, sehingga sejumlah Ornop berkoalisi,
menggabungkan kegiatan dan sumber daya dalam Koalisi untuk
Kebebasan Informasi. Sesuai definisi Gamson tentang koalisi, bahwa:
A coalition has been defined as the joint use of resources to determine
the out come of a mixed-motive situation involving more than two units.
A mixed motive situation is further defined as one in which there is an
element of conflict, since there exists no out come which maximizes the
payoff to everybody. There is an element of coordination, since there
exists for at least two of the players (or actors) the possibility that they
can do better by coordinating their resources then by acting alone
(Hinckley, 1981: 4).

Koalisi dalam mengusahakan aspek legal kebebasan memperoleh


informasi melalui sebuah undang-undang melakukan tiga kegiatan
utama yaitu kegiatan pengkajian, lobi, dan kampanye. Kegiatan
pengkajian tidak hanya dilakukan melalui studi literatur, tetapi juga
melakukan studi banding ke negara lain yang telah memiliki undang-
undang kebebasan memperoleh informasi antara lain ke Australia,
Jepang, dan Swedia. Kegiatan lobi dilaksanakan secara intensif kepada
DPR RI, pemerintah, dan lembaga non-departemen yang terlibat dalam
penyusunan draf RUU Kebebasan Memperoleh Informasi. Kegiatan

100 Citra Indonesia di Mata Dunia


kampanye dilakukan Koalisi selain terhadap sasaran masyarakat dalam
negeri dari berbagai strata, misalnya seperti mahasiswa, organisasi
massa, partai politik, dan masyarakat umum melalui diskusi, seminar,
workshop, baik secara langsung berhadapan dengan khalayak, maupun
melalui media massa, juga dilakukan seminar, workshop dengan
mendatangkan ahli-ahli internasional ke Jakarta, serta mengikuti seminar
internasional di negara lain atas undangan Ornop di negara lain tersebut.
Koalisi telah membangun kerja sama dengan UNESCO, UNDP,
organisasi dalam lingkup PBB, USAID, JICA, serta dengan NGOs
internasional seperti dengan Article 19, World Bank Institute, National
Democratic Institute, British Council, Friedrich Ebert Stiftung, Asia Foundation,
dengan lembaga semi pemerintah seperti Partnership for Government
Reform in Indonesia. Kerja sama dalam bentuk seminar, workshop, diskusi-
diskusi, penerbitan buku, dan bahan-bahan kampanye lainnya seperti
leaflet, kalender, dan lain-lain dalam mengkampanyekan kebebasan
memperoleh informasi. Seminar, workshop, diskusi-diskusi yang
diselenggarakan di Indonesia juga sering mendatangkan ahli-ahli
internasional dari negara-negara yang telah memiliki undang-undang
kebebasan memperoleh informasi, seperti ahli dari Thailand, Swedia,
Amerika Serikat, Jepang, Australia, India, Afrika Selatan, Korea Selatan.
Koalisi, menurut penelitian Laksmini (2003) telah melaksanakan
kerja sama dengan beberapa NGOs internasional termasuk dengan
Article 19 di London yang memfokuskan kegiatan kepada kemerdekaan
berekspresi dan akses terhadap informasi. Kegiatan Article 19 bekerja
sama dengan NGO baik lokal maupun internasional melalui saling urun
rembug nilai, diskusi-diskusi dan saling menukar informasi, sebagai
sebuah contoh yang disebut transnational advocacy network. Jaringan
Advokasi Transnasional untuk kebebasan informasi sangat penting atas
beberapa alasan, antara lain pada masa kini jaringan secara terus menerus
memberikan kepada masyarakat informasi yang dibutuhkan untuk
memberantas korupsi sebagai salah satu masalah serius di Indonesia.53
Tujuan pendirian Koalisi dalam konteks internasional dinyatakan
Hanif, bahwa model pemerintahan yang transparan sudah menjadi

53
Gita W. Laksmini. 2003. Can Transnasional Advocacy Networks Force Repressive State Actors to Comply with
Human Rights Norms?, Freedom of Information in Indonesia. Thesis. London University. hlm. 8-9.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 101
norma dalam pergaulan internasional. Negara-negara yang tertutup
tidak mempunyai tempat dalam pergaulan internasional. Sesungguhnya
apabila negara memiliki komitmen untuk keterbukaan, warga negara
tidak perlu mengupayakan adanya undang-undang tentang kebebasan
memperoleh informasi, tetapi kenyataannya fungsi lembaga-lembaga
negara belum berjalan secara maksimal sehingga perlu dorongan dan
juga partisipasi dari warga negara. Menjamin hak publik atas informasi,
bukan tugas warga negara tetapi tanggung jawab negara.
Apabila dikaitkan dengan konteks internasional saat ini, menurut
Koalisi, pemerintahan yang tertutup bukan jamannya lagi. Norma
pergaulan internasional adalah mendorong pemerintahan yang terbuka,
karena itu menjadi salah satu standar dalam pergaulan internasional.
Masalah korupsi, kerusakan hutan, pelayanan publik yang buruk, dalam
pergaulan internasional akan mengakibatkan citra yang buruk juga.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah-masalah yang dikemukakan
sebelumnya adalah dengan mendorong transparansi melalui adanya
undang-undang.
Walaupun RUU KMIP telah disahkan menjadi undang-undang,
Koalisi berpendapat masih banyak masalah lain yang perlu dilakukan
yaitu bagaimana mengembangkan aspek kelembagaan komisi informasi,
bagaimana meningkatkan kapasitas Badan Publik sehingga informasi
yang diperlukan tersedia dengan baik, bagaimana meningkatkan
kesadaran masyarakat akan haknya atas informasi supaya masyarakat
meyakini bahwa hak atas informasi adalah hak yang dapat digunakan
oleh masyarakat, serta bagaimana melengkapi infrastruktur untuk
kepentingan mengakses informasi.54
Ketua Pansus RUU KMIP DPR RI periode 1999-2004, Paulus
Wijayanto, mengakui bahwa Ornop-ornop yang tergabung dalam KMIP
telah berusaha memasukkan lebih dahulu kebebasan informasi dalam
amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2000, pasal 28f
yaitu:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,

54
Wawancara dengan Koordinator Umum Koalisi. 21 September 2006.

102 Citra Indonesia di Mata Dunia


menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.55

Selanjutnya dicantumkan pula dalam Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2002 tentang penyiaran. Dalam penjelasan umum atas undang-
undang tersebut, disebutkan antara lain bahwa kemerdekaan menyata-
kan pendapat, menyampaikan, dan memperoleh informasi, bersumber
dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.56
Selaku Ketua Pansus RUU KMIP DPR RI sering menghadiri
undangan dari International Agency antara lain Friedrich Ebert Stiftung
dari Jerman, World Bank, dalam seminar-seminarnya, demikian juga
untuk melaksanakan studi-studi komparatif ke luar negeri, seperti ke
Thailand, Afrika Selatan, Namebia, Amerika Serikat, dalam hal ini ke
Federal Communication Commission (FCC). International Agency selalu
berkomunikasi dengan Ketua Pansus dan selalu dikatakan oleh Ketua
Pansus bahwa UU KMIP merupakan alat berkomunikasi dengan
International Agency. Indonesia berkeinginan mengubah paradigma,
dari ketertutupan menuju paradigma keterbukaan, dan keinginan ini
mendapat respon yang baik dari International Agency tersebut.
Draf RUU KMIP yang dikemukakan dalam dua bahasa yaitu
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris, menurut Paulus, penting untuk
diketahui oleh pihak asing dengan baik. Sementara itu KBRI di luar
negeri belum mengikuti perkembangan perundang-undangan atau
ketetapan-ketetapan terbaru di Indonesia dengan baik. Dalam peta
Freedom of Information, Indonesia jauh tertinggal untuk dikenali bila
dibandingkan negara-negara Eropa, karena terkendala oleh bahasa.
Undang-undang KMIP kegunaannya dalam pencegahan korupsi
di Indonesia dan dalam hubungan internasional, dikatakan Paulus :
Undang-undang KMIP menjadi alat untuk mencegah korupsi
sejak dini, karena memberantas korupsi di hilir sangat sulit.
Kebebasan memperoleh informasi adalah hak setiap orang, baik
warga negara Indonesia maupun warga non-Indonesia. Dalam

55
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 75.
56
Lembaga Informasi Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, hlm. 33.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 103
interaksi global tidak ada lagi batasan karena informasi tidak
mengenal batas wilayah (border less), karena itu juga berkaitan
dengan tugas Departemen Luar Negeri. Dalam draf RUU KMIP
disebutkan bahwa Informasi yang dikecualikan antara lain
informasi publik yang apabila dibuka akan mengganggu
hubungan baik antara negara Republik Indonesia dengan negara
lain. Bahkan Departemen Luar Negeri juga telah diminta masukan
untuk penyempurnaan draf RUU KMIP, tetapi tidak dilakukan
dialog secara intensif.

Pandangan umum pemerintah terhadap RUU KMIP yang


dikemukakan Menteri Komunikasi dan Informasi, bahwa sebelum RUU
KMIP disahkan, karena bersifat umum perlu ada undang-undang yang
bersifat spesialis lebih dahulu seperti UU rahasia negara, menurut
Paulus, saat ini tidak terlihat urgensi dan keterdesakannya bahwa
Undang-Undang Rahasia Negara harus terlebih dahulu disahkan
sebelum UU KMIP, sedangkan UU KMIP memiliki alasan mendesak
karena untuk memberantas korupsi sejak dari hulu. Adanya UU KMIP
akan mendapatkan apresiasi tinggi dari dunia internasional.57
Masalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
diperjuangkan oleh Koalisi melalui Undang-Undang KMIP, bukan hanya
menjadi masalah lokal tetapi juga menjadi masalah internasional. Dalam
UU RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003), pada konsideran menimbang tercantum bahwa tindak
pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi
merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerjasama
internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk
pemulihan atau pengembali-an aset-aset hasil tindak pidana korupsi.
Arti penting konvensi bagi Indonesia, sebagaimana dikemukakan dalam
penjelasan atas undang-undang tersebut, bahwa ratifikasi konvensi ini
merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra Indonesia
dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari
ratifikasi konvensi tersebut adalah antara lain meningkatkan kerjasama

57
Wawancara dengan Ketua Pansus RUU KMIP DPR RI. periode 1999-2004. 21 September 2006.

104 Citra Indonesia di Mata Dunia


internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance). Sesuai Preamble dalam United Nations Convention Against
Corruption, 2003 antara lain dinyatakan bahwa Convinced that corruption
is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies
and economies, making international cooperation to prevent and control it
essential (Tunggal, 2006:6).
Selanjutnya dalam Article 10 tentang Public Reporting, United
Nations Convention Against Corruption, 2003 dikemukakan bahwa
Taking into account the need to combat corruption, each State Party shall, in
accordance with the fundamental principles of its domestic law, take such
measures as may be necessary to enhance transparency in its public
administration, (Tunggal, 2006:27).
Peran serta masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan secara eksplisit pada
pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berbunyi: Masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2000 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan peran
serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat,
atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi (Wiyono, 2006:227-228). Dengan
demikian maka Koalisi untuk Kebebasan Informasi memiliki aspek
legal atau landasan hukum yang kuat dalam ikut memperjuangkan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana
korupsi tidak hanya merupakan masalah lokal melainkan telah menjadi
fenomena transnasional, maka kegiatan Koalisi dapat diasumsikan
sebagai kegiatan yang menyangkut kepentingan nasional yang
berhubungan dengan pencitraan Indonesia di dunia internasional.
Kegiatan Koalisi membangun kerja sama dengan masyarakat
dalam negeri dan NGOs serta ahli-ahli internasional untuk
memperjuangkan isu kebebasan informasi supaya memiliki aspek legal
berupa undang-undang kebebasan memperoleh informasi di Indonesia
dapat dikategorikan sebagai upaya Koalisi memperluas hak rakyat dalam
demokrasi di Indonesia. Koalisi telah berperan sebagai aktor nonnegara

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 105
sesuai dengan pengertian aktor dalam hubungan internasional yang
diperluas sebagai berikut:
Any entity which plays an identifiable role in international relations may
be termed an actor. The Pope, the Secretary-General of the UN, British
Petroleum, Botswana and the IMF are thus all actors. The terms is now
widely used by both scholars and practitioners in international relations
as it is a way of avoiding the obvious limitations of the word state.
Although it lacks precision it does possess scope and flexibility. Its use also
conveys the variety of personalities, organizations and institutions that
play a role at present. Some authors have argued that, in effect, the system
can be conceived of as a mixed actor model because the relative
significance of the state has been reduced (Evans & Newham, 1998:4-5).

Kegiatan Koalisi memperjuangkan aspek legal bagi kebebasan


memperoleh informasi melalui sebuah undang-undang, dilakukan
dengan melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam negeri seperti
melalui kegiatan regional public consultation, yaitu melakukan pertemuan
dengan para pejabat pemerintah daerah dan para tokoh masyarakat di
banyak daerah di Indonesia, melakukan diskusi, workshop, dengan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti dengan mahasiswa,
politisi, pengelola media massa, wartawan, pengusaha, dan dengan DPR
RI, pejabat departemen, dan nondepartemen di tingkat pusat yang
memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan erat dengan kepentingan isu
kebebasan informasi.
Kegiatan Koalisi yang melibatkan masyarakat luar negeri
dilakukan kerjasama dengan Ornop internasional seperti telah
dikemukakan di muka bahkan dengan organisasi di bawah PBB seperti
UNESCO, UNDP dan organisasi di bawah pemerintah seperti USAID,
serta semi pemerintah seperti Partnership for Government Reform in
Indonesia. Di samping mendapat bantuan para ahli dari luar negeri yang
berasal dari negara-negara yang telah memiliki dan mempunyai
pengalaman melaksanakan Undang-undang Kebebasan Memperoleh
Informasi seperti dari Amerika Serikat, Swedia, Australia, Jepang,
Thailand, India, Korea Selatan.
Kegiatan Koalisi sebagaimana telah dikemukakan di atas sebagai
kegiatan diplomasi publik apabila dihubungkan dengan pengertian
diplomasi publik yang dikemukakan USIA yaitu Public diplomacy seeks

106 Citra Indonesia di Mata Dunia


to promote the national interestthrough understanding, informing and
influencing foreign publics and broadening dialogue betweencitizens and
institutions and their counterparts abroad. Dalam rumusan kalimat lain
Public diplomacy seeks to promote the national interestthrough
understanding, informing, and influencing foreign audience. Diplomasi
publik tidak hanya berhubungan dengan pemerintah, tetapi terutama
dengan individu-individu dan organisasi-organisasi nonpemerintah,
public diplomacy deals not only with governmnet but primarily with non-
governmental, individuals and organizations.58
Inisiatif untuk melakukan diplomasi publik tidak harus selalu
berasal dari pemerintah tetapi juga dapat berasal dari non-pemerintah.
Nancy Snow bahkan berpendapat bahwa diplomasi publik terutama
bukan datang dari pemerintah karena presiden dan pejabat pemerintah
sangat mempengaruhi citra dalam menjelaskan kebijakan publik yang
selalu di bawah kecurigaan. Dinyatakannya :
Public diplomacy cannot come primarily from the US Government
because it is our President and our government officials whose image
predominate in explaining US public policy. Official spin has its place,
but it is always under suspicion or parsed for clues and secret codes. The
primary source for America's image campaign must be drawn from the
American people.59

Wolf, Jr dan Rosen mengemukakan beberapa pertimbangan


sehubungan dengan tugas dan hambatan yang dihadapi diplomasi
publik, sebaiknya diusahakan bantuan untuk memperoleh ide-ide baru
dan bakat yang kreatif dari sektor bisnis, akademik, penelitian, dan
Ornop untuk melaksanakan diplomasi publik. Dalam setiap peristiwa,
pemerintah seyogyanya tidak menjadi alat utama dalam diplomasi
publik. Dikemukakannya: In any event, government should not be the
exclusive instrument of public diplomacy. Responsible business, academic,
research, and other nongovernmental organization could be enlisted and
motivated through a competitive bidding process.60

58
USIA: What is Public Diplomacy? dari http://www.publicdiplomacy.org/1.htm (Akses 25-05-05).
59
Nancy Snow. 2004. How to Build an Effective US Public Diplomacy: Ten Steps for Change, dalam Charles Wolf, Jr.
Brian Rosen, Public Diplomacy How to Think About and Improve It. Rand Corporation. hlm. 22.
60
Ibid. hlm. 22.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 107
Koalisi tidak menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan Koalisi sebagai kegiatan diplomasi publik, bahkan Koalisi
meminta tanggapan atau pendapat pihak lain apakah kegiatan-kegiatan
yang dilakukan Koalisi termasuk kegiatan diplomasi publik. Apabila
diplomasi publik didefinisikan sebagai upaya untuk mempromosikan
kepentingan nasional melalui memperoleh pengertian, informasi, dan
mempengaruhi publik luar negeri, dapat diasumsikan bahwa
memperjuangkan diundangkannya undang-undang kebebasan
memperoleh informasi dengan memperoleh bantuan dari Ornop
internasional bahkan dari badan pemerintah negara lain, baik secara
finansial maupun bantuan pemikiran oleh tenaga ahli luar negeri,
membangun jaringan kerja sama untuk mengkampanyekan pentingnya
undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik, sebagai
kegiatan diplomasi publik.
Kebebasan informasi yang diperjuangkan Koalisi kaitannya
dengan mempromosikan kepentingan nasional Indonesia, karena
kebebasan informasi merupakan salah satu esensi demokrasi yang
bersesuaian dengan upaya masyarakat internasional menegakkan tiga
pilar jaminan terhadap hak-hak rakyat dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sebagaimana terdapat
dalam The Aarhus Convention, sebuah Konvensi Internasional di Aarhus
Denmark yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, 25
Juni 1998. Pilar pertama adalah akses terhadap informasi, bahwa setiap
orang berhak untuk memperoleh informasi yang utuh, akurat, dan
mutakhir untuk berbagai tujuan. Pilar kedua adalah akses partisipasi
dalam pengambilan keputusan, yaitu pilar demokrasi yang menekan-
kan kepada jaminan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu
proses pengambilan keputusan. Pilar ketiga adalah akses terhadap
keadilan, yaitu akses untuk memaksakan dan memperkuat, baik hak
akses informasi maupun hak partisipasi, kemudian hak ini dimasukkan
ke dalam sistem hukum nasional.61
Beberapa kegiatan Koalisi yang dapat dikategorikan sebagai
kegiatan diplomasi publik dapat dilihat dalam Tabel 3.5. berikut ini.

61
Indonesian Center for Environmental Law, 2006, Membuka Ruang Menjembatani Kesenjangan, Jakarta, hlm 1-2.

108 Citra Indonesia di Mata Dunia


Tabel 3.5.
Kegiatan Koalisi yang dapat Dikategorikan sebagai Kegiatan Diplomasi Publik
NO KEGIATAN SASARAN
1. Lobi Kedutaan asing yang telah memiliki
undang-undang kebebasan informasi
2. Studi banding Negara-negara yang memiliki UU
Kebebasan Informasi, antara lain
Swedia, Jepang, Australia, Thailand
3. Bantuan Tim Ahli Perumusan Ahli-ahli internasional tentang
RUU KMIP kebebasan informasi
4. Menyelenggarakan Seminar Ahli-ahli internasional tentang
Internasional tentang KMI kebebasan informasi dan Ornop
internasional
5. Menyelenggarakan Lokakarya, Ahli-ahli internasional tentang
diskusi, konsultasi regional kebebasan informasi dan Ornop
internasional
6. Menghadiri seminar internasional Pembicara dan peserta seminar
tentang KMI
7. Kerjasama dalam penerbitan buku/ Lembaga-lembaga/Ornop
information kit internasional
8. Kampanye via media massa Wawancara Radio dan TV dengan ahli
Ornop internasional, Komisi I DPR RI,
Pemerintah.
9. Penggunaan Website Sosialisasi program

Diolah dari: Daftar Kegiatan Koalisi, 2006.

3.1.4. Prinsip-Prinsip Kebebasan Informasi


Prinsip-prinsip kebebasan informasi yang dijadikan dasar oleh
Koalisi dalam menyusun draf Rancangan Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi (RUU KMI) adalah prinsip-prinsip yang berlaku
secara internasional, dalam pengertian prinsip-prinsip yang juga
digunakan negara-negara lain yang telah memiliki Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi. Prinsip-prinsip kebebasan
informasi yang dianut Koalisi sejumlah sembilan prinsip, bersesuaian
dengan sembilan prinsip yang dikemukakan Article 19 yang disebut The
Public's Right to Know sekalipun dengan rumusan kalimat yang berbeda,
yang menyebutkan standar-standar praktek terbaik tentang perundang-
undangan kebebasan memperoleh informasi. Didasarkan kepada
hukum dan standar internasional maupun kewilayahan, praktek

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 109
pernegara yang sedang berrevolusi, dan prinsip-prinsip umum tentang
hukum yang diakui masyarakat antar bangsa (Mendel, 2004:23).
Terdapat satu prinsip dalam The Public's Right to Know yang tidak
tercantum dalam rumusan prinsip pada Koalisi yaitu prinsip
Keterbukaan informasi adalah prioritas dengan pernyataan singkat
bahwa undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan
informasi yang maksimum seharusnya diubah atau dibatalkan.
Kemudian prinsip Ancaman hukuman bagi mereka yang menghambat
akses informasi publik tidak terdapat pada prinsip dalam The Public's
Right to Know. Prinsip-prinsip yang dianut Koalisi tersebut (Koalisi,
2003:59-69) sebagai berikut:
1. Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi sebagai
perangkat koordinasi dan harmonisasi.
Informasi publik memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup
segala informasi yang dihasilkan, dikelola atau dihimpun dari kegiatan
yang didanai oleh dana publik dalam berbagai bentuknya. Prinsip ini
dimaksudkan Koalisi supaya apabila terdapat ketentuan peraturan
yang menyangkut informasi, undang-undang kebebasan memperoleh
informasi menjadi payungnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Agus
Sudibyo, Koordinator Bidang Lobi Koalisi :
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi seyogyanya
menjadi perangkat koordinasi dan harmonisasi dari undang-
undang sektoral yang sama-sama mengatur hak/kewajiban
masyarakat atau negara atas informasi. Undang-undang
Kebebasan Memperoleh Informasi tidak mengingkari adanya
beberapa jenis informasi yang harus dikecualikan dalam klasifikasi
informasi rahasia, misalnya saja informasi yang jika dibuka kepada
publik dapat membahayakan kepentingan pertahanan nasional,
keselamatan bangsa, atau kekayaan intelektual. Namun,
pengklasifikasian kerahasiaan sebuah informasi harus bersifat
jelas, ketat, terbatas, dan mengacu kepada kepentingan publik
yang lebih besar.62

Prinsip ini menjadi argumentasi yang kuat bagi Koalisi


sehubungan diajukannya draf RUU Rahasia Negara oleh Pemerintah

62
Wawancara dengan Koordinator Bidang Lobi Koalisi. 27 Januari 2006.

110 Citra Indonesia di Mata Dunia


yang dianggap Koalisi memiliki paradigma yang berseberangan dengan
UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, karena UU Rahasia
Negara berparadigma ketertutupan. Padahal di dalam draf RUU KMIP
versi Koalisi tahun 2002, terdapat pasal tentang informasi yang
dikecualikan yaitu apabila dibuka akan menghambat atau mengganggu
proses penegakan hukum, merugikan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual dan persaingan usaha sehat, membahayakan pertahanan
dan keamanan nasional, mengganggu hubungan baik antara negara RI
dengan negara lain, akan merugikan satu negara atau lebih, akan
melanggar privasi pribadi, (Koalisi, 2003 : 125-126).

2. Permintaan Informasi tidak perlu disertai alasan


Anggota masyarakat tidak mempunyai kewajiban untuk
menjelaskan alasan-alasan tertentu, sebab informasi yang dikelola
lembaga publik tersebut pada dasarnya menjadi hak miliknya sebagai
warga masyarakat. Dicontohkan di Jepang, (Katharina, 2003 : 84):
Untuk mengajukan permohonan informasi, tidak diwajibkan bagi
peminta informasi memberikan alasan mengapa mereka meminta
informasi tertentu. Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Akses Informasi
Jepang hanya mengatur bahwa setiap peminta informasi wajib
mengajukan permintaan informasi dengan menyertakan (1) nama
dan alamat yang jelas; dan (2) spesifikasi informasi yang diminta
dan keterangan lain yang memudahkan pencarian informasi.
Perihal memperoleh informasi secara cepat dan tepat waktu diatur
secara rinci dalam Undang-Undang Akses Informasi.

Masalah permintaan informasi yang tidak memerlukan alasan,


terdapat pandangan yang berbeda antara Koalisi dengan sementara
anggota DPR RI di saat dijelaskan oleh pengusul inisiatif anggota DPR RI
20 Maret 2002. Pendapat yang menyatakan alasan permintaan informasi
perlu dikemukakan, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik
peminta/pengguna informasi sehingga kelangsungan kepentingan
nasional tetap terpelihara, sebagaimana dikemukakan Santosa (Koalisi,
2003 : xvii). Dalam pembahasan selanjutnya antara pemerintah dan DPR
RI, pandangan semacam ini masih mengemuka seperti dalam daftar
inventarisasi masalah pemerintah atas Rancangan Undang-Undang
tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik terdapat usulan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 111
bahwa setiap pengguna informasi publik berhak mengajukan
permintaan informasi publik disertai alasan permintaan tersebut.63
Koalisi dalam memberikan masukan kepada DPR RI tetap berpendapat
bahwa permintaan informasi tidak perlu disertai alasan.

3. Akses yang bersifat sederhana, murah, cepat dan tepat waktu.


Dalam penjelasan awal disebutkan bahwa UU Kebebasan
Memperoleh Informasi bertujuan menjamin hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi. Oleh karena itu pengaturan undang-undang
ini akan menitikberatkan kepada kewajiban Badan Publik untuk
memenuhi dan menjamin hak masyarakat atas informasi.
Prinsip ini bersesuaian dengan prinsip biaya dari Article 19
bahwa orang tidak boleh dihambat dalam meminta informasi melalui
biaya yang berlebihan walaupun peminta informasi tetap dikenakan
biaya. Contoh kasus dalam undang-undang kebebasan informasi di
Jepang, peminta informasi dikenakan biaya, dan pengaturan permintaan
informasi berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Di tingkat nasional peminta
informasi hanya dapat dibebani dengan biaya yang benar-benar
dikeluarkan oleh badan tersebut. Namun demikian, dalam menerapkan
biaya, pejabat publik harus mempertimbangkan apakah biaya tersebut
dapat dipikul oleh peminta informasi. Apabila ada kesulitan ekonomis
dalam memikul biaya, pejabat Badan Publik yang bersangkutan dapat
mengurangi atau membebaskan peminta informasi dari biaya yang
seharusnya ditanggung (Mendel, 2004:34).

4. Informasi harus bersifat utuh, akurat, benar, dan dapat dipercaya.


Informasi tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat untuk
menjamin hak asasinya melainkan akses terhadap informasi
merupakan bentuk pertanggungjawaban Badan Publik terhadap
amanat publik dan dana publik yang digunakan.
Untuk menjamin terlaksananya prinsip ini Badan Publik seperti
akan menghadapi kendala karena sebagaimana dinyatakan Menteri
Komunikasi dan Informasi, kemungkinan Badan Publik belum dapat
menyediakan informasi yang utuh, akurat, benar dan dapat dipercaya

63
Departemen Komunikasi dan Informatika. 2006. Daftar Inventaris Masalah (DIM) Pemerintah atas Rancangan
Undang-Undang tentang Kebebasan memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP).

112 Citra Indonesia di Mata Dunia


sehubungan masih lemahnya pendokumentasian pada badan-Badan
Publik. Penamaan/ peristilahan data yang tidak konsisten sehingga
membingungkan dan mempersulit pertukaran informasi, serta sistem
penyimpanan data dan dokumen yang tidak memperhatikan
kemudahan menemukan kembali (retrive).64 Dalam pembahasan daftar
inventarisasi masalah RUU KMIP Menteri Komunikasi dan Informatika
mengusulkan masa mulai berlakunya Undang-undang dengan
mengajukkan masa peralihan selama lima tahun. Namun, disampaikan
Sulistyo, Koalisi berpendapat bahwa jangka waktu lima tahun terlalu
lama. Berdasarkan pengamatan Koalisi di beberapa daerah di Pulau Jawa
yang telah memiliki Perda tentang transparansi dan kebebasan informasi
terbukti bahwa Badan Publik dan peminta informasi sama-sama
menyadari proses pemberdayaan itu dapat terintegrasi dalam
implementasi Undang-Undang KMIP.65

5. Akses maksimum dan pengecualian yang terbatas (Maximum


access and limited exemption).
Prinsip ini sangat diperjuangkan oleh Koalisi karena prinsip ini
merupakan syarat untuk memenuhi asas keterbukaan dalam informasi.
Seluruh informasi publik menurut Koalisi pada dasarnya bersifat
terbuka. Pengecualian hanya dapat dilakukan secara ketat, terbatas, dan
berorientasi kepada kepentingan umum. Pengecualian sebuah informasi
dapat dilakukan bersandar kepada prinsip jika dipertimbangkan bahwa
pembukaan sebuah informasi dapat menimbulkan konsekuensi yang
tidak diinginkan (consequensial harm test). Informasi yang dikecualikan
pun dapat dibuka apabila setelah diuji akan lebih menguntungkan
kepentingan yang lebih besar (balancing public interest test).
Dalam prinsip menurut Article 19, keterbukaan informasi adalah
prioritas. Undang-undang yang tidak sesuai dengan keterbukaan
informasi yang maksimum seharusnya diubah atau dibatalkan.
Undang-undang tentang kebebasan informasi harus berada di atas
undang-undang kerahasiaan jika prinsip keterbukaan maksimum ingin
dihormati dan jika budaya kerahasiaan ingin diatasi (Mendel, 2003:35).

64
Kualitas Layanan Informasi Publik Dalam Era Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi. Kementrian
Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. Makalah. 2002.
65
Wawancara dengan Kordinator Bidang Jaringan Koalisi. 28 Februari 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 113
Prinsip maksimum akses banyak menimbulkan kecurigaan
terjadinya keterbukaan yang tidak terbatas. Sebagaimana dikemukakan
Santosa (Koalisi, 2003:xxii-xxiv) terjadi persepsi yang keliru terhadap
keterbukaan, seperti persepsi bahwa keterbukaan mendorong
akulturasi negatif yang merugikan masyarakat secara luas, mengancam
kedaulatan negara dan bangsa, menyuburkan suasana ketidakamanan,
menghambat penegakan hukum. Persepsi-persepsi keliru ini menurut
Santosa, sering muncul dalam konsultasi publik yang menghadirkan
aparatur pemerintah di berbagai daerah.
6. Informasi Proaktif
Hak atas informasi meliputi juga hak untuk diberitahu. Informasi
yang harus diberitahukan secara proaktif kepada masyarakat meliputi:
informasi dalam rangka mensosialisasikan kebijakan; ruang lingkup
Badan Publik; gambaran kepada masyarakat mengenai informasi yang
dimiliki serta tata cara untuk mendapatkan informasi; informasi mengenai
rencana pembuatan suatu kebijakan dalam rangka memfasilitasi partisi-
pasi masyarakat. Informasi yang wajib diumumkan tanpa di tunda-tunda
yaitu informasi mengenai ancaman terhadap hajat hidup orang banyak.
Dalam draf RUU KMIP versi Koalisi tahun 2002, dikemukakan
jenis-jenis informasi publik yaitu: informasi publik yang harus diumum-
kan; yang harus tersedia setiap saat; serta yang harus diumumkan secara
serta merta, disamping pengecualian informasi publik.
7. Penyelesaian Sengketa Secara Cepat, Murah, dan Independen
Prinsip yang dianut Koalisi untuk menyelesaikan sengketa
informasi antara pihak masyarakat dengan pemerintah adalah cepat,
tepat waktu dan sederhana. Mekanisme penyelesaian informasi tidak
diserahkan kepada mekanisme di pengadilan umum. Sehubungan
dengan itu Koalisi ber-pendirian perlu dibentuk Komisi Informasi yang
berfungsi menyelesaikan sengketa informasi publik antara Badan
Publik dan peminta informasi melalui mediasi atau ajudikasi.
Dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU KMIP
antara pemerintah dan DPR keberadaan Komisi Informasi menjadi
perdebatan. Pemerintah berpendapat bahwa penyelesaian sengketa
tidak perlu ditangani Komisi Informasi tetapi dapat dibebankan kepada
lembaga pemerintah yang telah terbentuk, seperti Komisi Ombudsman.

114 Citra Indonesia di Mata Dunia


8. Ancaman hukuman bagi mereka yang menghambat akses
informasi publik
Undang-undang KMIP menurut pendapat Koalisi seharusnya
memuat ancaman pidana kepada setiap orang yang dengan sengaja
menghalangi akses informasi publik dalam bentuk dengan segaja
menghancurkan informasi, membuat informasi yang tidak benar, tidak
mendokumentasikan dan tidak memberikan informasi sesuai dengan
kewajiban.
Dalam draf RUU KMIP versi Koalisi tahun 2002, dicantumkan
sangsi pidana, antara lain dalam pasal 54 yang berbunyi: setiap orang
yang dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusak,
membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi, atau menghilangkan
informasi publik apapun dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya 10 (sepuluh) tahun dan serendah-rendahnya 2 (dua) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
dan serendah-rendahnya Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) (Koalisi,
2003:156-157).

9. Perlindungan terhadap informan dan pejabat publik yang


beritikad baik
Jaminan hukum bagi pejabat publik yang dengan itikad baiknya
bersedia memberikan informasi yang diminta masyarakat, diperlukan,
mengingat pejabat publik akan diliputi kekhawatiran ancaman pidana
jika mengeluarkan informasi penting tertentu. Dalam prinsip yang
dikemukakan Article 19 perlindungan terhadap informan diperlukan
apalagi apabila informan mengungkap pelanggaran (whistle-blower)
(Mendel, 2003 : 35).
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban, Nomor 13 Tahun 2006, Tanggal 11 Agustus 2006.66 Menurut
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM,
terdapat beberapa hal yang belum termasuk dalam undang-undang ini
yaitu antara lain perlindungan saksi dan korban khusus anak dan
perempuan, perlindungan terhadap whistle-blower. Belum ada
pengelompokan saksi, misalnya saksi secara umum, saksi dalam kasus
pidana berat seperti narkoba dan korupsi, saksi yang berkaitan dengan

66
Depdagri. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Melalui: <www.depdagri.go.id.>

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 115
korban. Penyempurnaan terhadap undang-undang ini dapat dilakukan
oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang
pembentukannya telah diamanatkan oleh undang undang ini.67
Dalam rangka otonomi, menurut Santosa (Koalisi, 2003:vii)
pemerintah daerah dimungkinkan memiliki peraturan yang sifatnya
lebih progressif dari UU KMIP dalam menerjemahkan 9 (sembilan)
prinsip-prinsip tersebut di atas.

3.2. Program Kerja dan Kegiatan Koalisi


3.2.1. Program kerja
Sejak terbentuknya Koalisi untuk Kebebasan Informasi pada
bulan Desember tahun 2000, Koalisi menyusun program kerja yang
dibagi dalam periode jangka pendek 1-2 tahun, jangka menengah 2-5
tahun, dan jangka panjang 10-15 tahun. Dengan uraian sebagai berikut:
1) Jangka Pendek (1-2 Tahun)
Meningkatkan kesadaran dari anggota DPR, birokrasi, dan
organisasi masyarakat warga tentang pentingnya hak atas informasi,
hubungannya dengan pemerintahan terbuka dan pemerintahan
yang baik (good governance), serta pentingnya jaminan hukum hak
atas informasi (Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi).
2) Jangka Menengah (2-5 Tahun)
a) Mengundangkan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh
Informasi Publik (UU KMIP) dengan memperkenalkan
prinsip prinsip; (a) maksimum akses dan pengecualian yang
sempit, (b) prosedur untuk meminta informasi yang utuh,
akurat, benar dan reliable, (c) mekanisme independen dalam
menyelesaikan sengketa informasi, (d) kewajiban Badan
Publik untuk membangun manajemen pelayanan informasi
publik, (e) sanksi atau hukuman bagi seseorang yang dengan
sengaja menghambat akses informasi publik;
b) Meningkatkan permintaan publik dalam mengakses informasi
melalui jaminan hukum dalam UU KMIP (access claims);

67
Tempo Interaktif, Undang-Undang Perlindungan Saksi Diakui Belum Sempurna. Melalui: <www.
tempointeraktif.com>

116 Citra Indonesia di Mata Dunia


c) Meningkatkan manajemen pelayanan informasi publik oleh
Badan Publik;
d) Indikasi awal perubahan kultur birokrasi dari ketertutupan
ke keterbukaan.
3) Jangka Panjang (10-15 Tahun)
Terwujudnya iklim keterbukaan dan transparansi dalam
manajemen sumber daya publik;
a) Meningkatnya kualitas dan kuantitas peran serta masyarakat
yang pada akhirnya mencapai akuntabilitas pemerintahan;
b) Perubahan signifikan kultur birokrasi dari ketertutupan ke
keterbukaan dalam menangani urusan publik.

Pelaksanaan program kerja jangka pendek, jangka menengah


dan jangka panjang dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
a) Membangun dan memperkuat koalisi NGOs untuk
memobilisasi dukungan publik yang luas
b) Melakukan kajian literatur dan perbandingan untuk memper-
kaya ide dalam merealisasikan Rancangan Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP)
c) Memformulasikan RUU KMIP
d) Mempengaruhi proses pembuatan RUU KMIP dan draf
akademik di DPR RI melalui lobi sekaligus menjadikan
anggota Koalisi sebagai bagian dari Tim Ahli Baleg DPR-RI;
e) Mengkampanyekan draf RUU KMIP dan konsep-konsep
yang melandasinya kepada publik.
f) Mengikutsertakan anggota kunci DPR RI dalam studi banding,
sebagai pembicara dalam seminar, workshop, diskusi di radio,
talkshow di televisi, dan berbagai kegiatan lain.
g) Membangun dan memperkuat jaringan di daerah-daerah,
sebagai alternatif dari perjuangan di tingkat pusat.
h) Melakukan koordinasi dan sinergi dengan koalisi-koalisi LSM
yang lain, sehingga akan dicapai hasil yang lebih optimal
ketika menghadapi isu, problem atau perkembangan tertentu.
i) Memperkuat masyarakat 'akar rumput' untuk menyadari
hak-hak mereka atas informasi publik sebagai contoh bagi
masyarakat lainnya mengenai pentingnya akses informasi
dalam kehidupan sehari-hari.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 117
j) Memberikan insentif bagi Badan Publik yang memberikan
informasi tanpa jaminan hukum khusus akses informasi
publik, melalui pemberian
k) penghargaan (award) bagi Badan Publik yang dinilai sudah
menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam menjamin akses
informasi publik.68

Program kerja yang disusun Koalisi tidak dicapai sesuai target


waktu. Target waktu diundangkannya Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik paling lambat tahun 2005, dihitung sejak
Koalisi didirikan tahun 2000 dengan program jangka panjang antara dua
sampai lima tahun. Sedangkan, draf RUU KMIP baru dibahas oleh DPR
dan Pemerintah RI tanggal 7 Maret 2006, dimulai dengan pemandangan
umum Pemerintah RI, diwakili Menteri Komunikasi dan Informatika,
terhadap Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh
Informasi Publik. Demikian pula penentuan target waktu jangka panjang
antara 10-15 tahun akan mengalami keterlambatan.
Program kerja yang disusun Koalisi secara garis besar
diimplementasikan dalam tiga kegiatan yaitu kegiatan pengkajian, lobi,
dan kampanye. Secara garis besar dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.6. Bidang dan Kegiatan Koalisi


NO BIDANG KEGIATAN
1. Pengkajian
Melakukan studi literatur, menelaah undang-undang
yang menjamin akses terhadap informasi

Melakukan studi banding ke negara-negara lain yang
telah mempunyai UU KMIP

Menyusun draf RUU KMIP

Menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU
KMIP versi DPR (sebelum disempurnakan oleh
Panja/Pansus)

Menginventarisasi dan mengkritisi pasal-pasal dalam
draf RUU KMIP versi pemerintah

Membuat perbandingan untuk mengetahui bentuk-
bentuk lembaga yang diperlukan dalam undang-undang
KMIP

Mengkaji sifat putusan Komisi Informasi di beberapa
negara, serta fungsi, tugas, wewenang, dan mekanisme
penyelesaian sengketa di Komisi Ombudsman.

68
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Akhir Program Dana Hibah. The Asia Foundation 2002-2003. 3 April
2003. hlm. 2-3.

118 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO BIDANG KEGIATAN
2. Lobi
Kegiatan Lobi dilaksanakan kepada Pimpinan fraksi/
komisi DPR RI, Pemerintah, dan unsur-unsurnya yang
terlibat dalam penyusunan RUU KMIP versi pemerintah,
media massa, Partai Politik, Organisasi Massa,
LSM/NGO

Pemantauan persidangan Panitia Khusus (PANSUS)
DPR RI untuk RUU KMIP

Pertemuan formal-informal dengan anggota Pansus DPR
RI, dan unsur pemerintah yang terkait dengan RUU
KMIP, dengan organisasi-organisasi atau lembaga-
lembaga strategis yang potensial mendukung Koalisi
3. Kampanye
Seminar di Medan, Surabaya, Semarang dan Makassar.

Seminar-seminar internasional di Jakarta mengundang
para ahli internasional sebagai pembicara, dan mengikuti
seminar internasional di negara lain.

Pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan pejabat
pemerintah daerah, LSM, politisi, dalam bentuk Regional
Public Consultation

Memfasilitasi mitra-mitra daerah untuk membuat
kegiatan sendiri.

Diskusi dengan Stakeholders di Jakarta dalam berbagai
perspektif, seperti pemberantasan KKN, pengungkapan
kasus HAM, perlindungan konsumen, perspektif
lingkungan, kebebasan pers, dan lain-lain.

Diskusi di kampus-kampus, di sejumlah media massa
cetak dan elektronik, pemberitaan di media massa.

Pembuatan dan penyebaran buku-buku yang
bertemakan kebebasan memperoleh informasi
Sumber : Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2006.

Di samping kegiatan pengkajian, lobi, dan kampanye, dilakukan


pula kegiatan pengembangan jaringan dengan maksud memperluas
jaringan kerjasama, dilakukan dengan cara menyelenggarakan
hubungan kerja dengan lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki
kaitan erat dengan penyusunan RUU KMIP, seperti DPR, Kementerian
Komunikasi dan informasi (sekarang Departemen Komunikasi dan
Informatika), Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan
Perundang-Undangan, Lembaga Sandi Negara, Badan Intelijen Negara,
pemerintah daerah, dan dengan lembaga strategis yang potensial
mendukung Koalisi. Antara lain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), Dewan Pers, Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia
(ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI),
Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pengelola media masssa di Jakarta
dan daerah-daerah, serta tokoh-tokoh masyarakat, Ornop/LSM.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 119
Di luar negeri dijalin hubungan dengan organisasi dalam lingkup
PBB yaitu UNESCO, UNDP, dan lingkup pemerintahan seperti USAID,
serta Ornop-Ornop internasional seperti Article 19, British Council,
Friedrich Ebert Stiftung, Asia Foundation, World Bank Institue, National
Democratic Institute.
Jaringan hubungan dengan Departemen Luar Negeri RI belum
dibangun Koalisi secara intensif, sekalipun di dalam RUU KMIP versi
Koalisi tahun 2002, pasal 14, tentang pengecualian informasi publik ayat
(1)d terdapat ketentuan: Informasi publik yang apabila dibuka akan
mengganggu hubungan baik antara negara RI dengan negara lain
(Koalisi, 2003:126). Jaringan hubungan yang kurang intensif dengan
Departemen Luar Negeri, dikemukakan Ketua Pansus RUU KMIP DPR
RI periode 1999-2004 bahwa Departemen Luar Negeri juga telah diminta
masukan untuk penyempurnaan draf RUU KMIP, tetapi tidak
dilakukan dialog secara intensif.69
Umar Hadi, Direktur Diplomasi Publik Deplu beranggapan
bahwa masalah Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik yang diperjuangkan Koalisi merupakan masalah domestik
sehingga penanganannya lebih tepat ditangani Departemen
Komunikasi dan Informatika.70 Koordinator Bidang Jaringan Koalisi
mengakui bahwa jaringan hubungan dengan Departemen Luar Negeri
belum dibangun.
Hubungan dilakukan Koalisi secara intensif dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) karena DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.71 Kemudian dengan Departemen
Komunikasi dan Informatika, yang sebelum tahun 2004 bernama
Kementerian Komunikasi dan Informasi, karena sejak tahun 2001 telah
menyusun draf RUU KMIP versi pemerintah, sehingga oleh Koalisi
diperlukan penyesuaian dengan draf tersebut.72

69
Wawancara dengan Ketua Pansus RUU KMIP periode 1999-2004, tgl.21-9-06.
70
Wawancara dengan Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI. 13 Februari 2006.
71
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. hlm. 67.
72
Wawancara dengan Sulistio. Kordinator Bidang Jaringan Koalisi. tanggal 16 Mei 2006.

120 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dalam menyusun draf RUU KMIP, dan mensosialisasikan
pentingnya Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik, Koalisi bekerja sama dengan para ahli dari negara-negara lain
(Amerika Serikat, Australia, Swedia, Thailand, Jepang, Korea Selatan)
yang menguasai masalah kebebasan informasi, dan negaranya telah
memiliki undang-undang kebebasan memperoleh informasi. Tema
yang diusung Koalisi dalam memperjuangkan Undang-undang
tersebut adalah bahwa kebebasan memperoleh informasi sebagai hak
asasi manusia. Kebebasan memperoleh informasi sebagai demokrasi
rakyat yang diperluas. Kebebasan Informasi akan mewujudkan
pemerintahan terbuka sebagai prasyarat untuk mewujudkan tatanan
pemerintahan yang baik (good governance). Kebebasan informasi alat
yang ampuh untuk memberantas korupsi dari hulu. Tema-tema ini
adalah tema-tema yang diperjuangkan dunia internasional. Bantuan
dari lembaga-lembaga internasional, baik berupa pemikiran maupun
bantuan finansial berkaitan dengan tema-tema yang diperjuangkan
Koalisi yang berdimensi kepentingan internasional.
Hubungan kerja juga dijalin intensif oleh Koalisi dengan
Departemen Hukum, HAM, dan Perundang-undangan, sehubungan
dengan materi RUU dan prosedur yang harus ditempuh untuk
melahir-kan suatu undang-undang. Kemudian dengan Departemen
Pertahanan, Badan Intelejen Negara, dan Lembaga Sandi Negara,
sehubungan telah disusunnya draf RUU Rahasia Negara yang
dianggap Koalisi memiliki paradigma yang berbeda dengan kebebasan
memperoleh informasi. Koalisi berpendapat bahwa RUU Rahasia
Negara tidak diperlukan karena materinya telah tertampung di dalam
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Kebebasan informasi
berparadigma keterbukaan, sedangkan rahasia negara berparadigma
ketertutupan. Mengenai jaringan hubungan kerja dan kerjasama
Koalisi ditunjukkan dalam Diagram 3.2.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 121
Diagram 3.2.
Jaringan Koalisi dengan Lembaga-lembaga Dalam Negeri dan Luar Negeri

KOALISI

HUBUNGAN KERJA JARINGAN KERJASAMA

DPR RI UNESCO

Departemen Kominfo USAID

Departemen : Article 19
Hukum, HAM & UU
British Council
Lembaga Sandi Negara
Friedrich Ebert Stiftung
Badan Intelijen Negara
Asia Foundation
Pemerintah Daerah
World Bank Institute
Komnas HAM, Dewan Pers,
ATVSI, SPS PRSSNI, media, National
tokoh masyarakat, LSM Democratic Institute

Sosialisasi untuk memperoleh dukungan dan pengertian dari


semua pihak terutama pemerintah dan DPR RI tentang pentingnya
kebebasan memperoleh informasi, telah dilakukan Ornop-ornop yang
menjadi cikal bakal Koalisi. Pemberitaan melalui surat kabar dan
majalah, bahkan melalui internet sebelum Koalisi berdiri bulan
Desember Tahun 2000, sejak Januari tahun 2000 telah dilakukan.
Pemberitaan, merupakan upaya sosialisasi tentang urgensi
kebebasan informasi, baik dibuat oleh anggota Koalisi maupun dalam
bentuk pernyataan-pernyataan anggota DPR RI dan pemerhati kebebasan
informasi tentang perlunya kebebasan untuk memperoleh informasi
publik. Antara lain pada surat kabar Suara Pembaharuan, Kompas, Rakyat
Merdeka, Media Indonesia, Koran Tempo, Palembang Pos, Sinar Harapan,
Republika, Bisnis Indonesia, Sriwijaya Pos, Riau Pos, Majalah Tempo,
Majalah Pondasi, Pontianak Pos, Manado Pos, Solo Pos, Jakarta Pos.
Judul-judul pemberitaan antara lain: Perlu Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi; Hak Masyarakat Untuk Memperoleh

122 Citra Indonesia di Mata Dunia


Informasi Harus Dijamin; UU Informasi Elemen Penting Pemenuhan
HAM; UU Informasi Bagian Pertanggungjawaban Terhadap Publik;
RUU Kebebasan Informasi versus RUU Rahasia Negara; Urgensi UU
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik; Penghambat Informasi Bisa
Dituntut Pidana; UU Pemberantasan Korupsi Tidak Akan Berjalan
Optimal Tanpa Kebebasan Informasi dan Perlindungan Saksi; Rahasia
Negara Hanya Bagian UU Kebebasan Informasi; Masyarakat Belum Siap
Menerima Keterbukaan; DPR Didesak Segera Bahas RUU Kebebasan
Informasi; Sejumlah UU Hambat Kebebasan Pers; DPR Didesak
Dahulukan Bahas RUU Kebebasan Informasi; Harus Ada Tekanan Publik
Untuk RUU KMIP; UU Kebebasan Informasi Dukung Antikorupsi;
Batalkan RUU Rahasia Negara; Kebebasan Informasi Milik Publik; New
Code Threatens Media Freedom; Kebebasan Informasi Penangkal Korupsi
Yang Belum Digunakan.73

3.2.2. Kegiatan Koalisi


Kegiatan pengkajian, lobi, dan kampanye Koalisi, secara rinci
terurai dalam pertahun kegiatan dimulai tahun 2000 sampai 2006.
Untuk menggambarkan hubungan kegiatan dengan pengaturan
program dalam public relations, kegiatan-kegiatan dikategorikan sesuai
pengaturan program public relations.
Tahun 2000, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
meluncurkan draf pertama Rancangan Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi (RUU KMI). Draf pertama disusun dengan
bantuan tenaga ahli Indonesia (Prof. Dr. Kusnadi Hardjasoemantri,
Prof. Mardjono Reksodiputro, Dr. Hikmahanto Juwana) serta bantuan
ahli asing seperti Prof. John Bonine dari Origon University, Charlie
Tebbut dari USA, dengan dukungan The Office of Transitional Initiative.
Pada waktu pembuatan, dilakukan kajian oleh Santosa, pendiri
ICEL, ke Australia, melakukan perbandingan dengan seluruh negara
bagian dan federal, khususnya negara bagian Queensland. Draf
pertama juga didasarkan pada kajian pengaturan kebebasan informasi
di Thailand, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Afrika, dan Australia

73
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan akhir September 2002- Februari 2003. hlm. 9- 12, kliping media cetak
2005. Kompas 25 November 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 123
yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Draf ini
kemudian disempurnakan berdasarkan diskusi lanjutan dengan ahli-
ahli nasional dan stakeholders, selanjutnya disampaikan kepada Badan
Legislasi DPR RI. Badan Legislasi menjadwalkan pembahasan RUU
KMIP pada tahun 2001.
Draf pertama menurut Koalisi, telah mengakomodasi berbagai
prinsip yang memperkuat masyarakat warga, seperti (1) jaminan setiap
orang untuk memperoleh informasi; (2) kewajiban pemerintah
menyediakan dan melayani permintaan informasi dengan cepat, murah
dan tepat waktu; (3) pengecualian yang dibatasi ketat; (4) kewajiban
instansi penyelenggara negara untuk membenahi sistem dokumentasi
dan pelayanan informasi; (5) lembaga independen yang mampu
menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan akses informasi, serta (6)
sanksi dan ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat
akses publik terhadap informasi.
Draf pertama RUU KMIP yang diluncurkan tanggal 8 September
2000, telah memancing masukan-masukan, baik dari masyarakat dalam
negeri, maupun dari ahli orang asing. Untuk membahas berbagai
masukan dilakukan seminar, workshop, dan lain-lain seperti seminar
bersama British Council, dengan tema Akses Masyarakat terhadap Hasil
Kerja dan Informasi Parlemen yang diselenggarakan tanggal 29
September 2000 di Jakarta. Seminar dengan tema Urgensi Jaminan
Kebebasan Memperoleh Informasi dalam Konteks Negara Demokrasi
diselenggarakan tanggal 17 Oktober 2000, di Jakarta bekerja sama dengan
Komisi Hukum Nasional, dengan tujuan untuk menyebarluaskan
urgensi UU KMIP di Indonesia dalam menciptakan pemerintahan
terbuka (open government) sebagai pondasi pemerintahan yang baik (good
governance), dan memperoleh masukan dari berbagai kalangan untuk
penyempurnaan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi.
Seminar menghadirkan berbagai ahli, baik dari Indonesia, dari
berbagai kalangan, yaitu pemerintah, Ornop, partai politik, media massa,
maupun pengamat politik dan ahli hukum Indonesia dari Amerika
Serikat. Selain itu untuk mengetahui penerapan UU KMIP di negara lain
diundang dua orang pakar, dari Thailand (Nakorn Serirak-Head of Policy
and Planning Office of The Official Information Commission Thailand) dan dari
Amerika Serikat (Prof. John Bonine-Oregon University. Nakorn

124 Citra Indonesia di Mata Dunia


mengemukakan besarnya peran Official Information Act Thailand di
dalam mengubah perilaku birokrasi-tertutup pemerintah Thailand
menjadi lebih terbuka dan merupakan sumbangan besar bagi perubahan
agenda politik di Thailand.
Selain seminar, diselenggarakan pula workshop sehari pada tgl. 18
Oktober 2000 di Jakarta, bekerja sama dengan Komisi Hukum Nasional
dengan tujuan mempertajam materi RUU draf pertama, dengan
mengundang ahli dari Thailand (Nakorn Serirak) serta beberapa
Ornop/LSM secara terbatas. Penyebaran lebih lanjut RUU KMIP, oleh
Koalisi dikirimkan ke berbagai lembaga pemerintah, non pemerintah
dan ke fakultas hukum universitas negeri di seluruh Indonesia.
Selain menyelenggarakan seminar di dalam negeri, juga mengikuti
seminar di luar negeri yang diselenggarakan oleh South-East Asian Press
Alliance (SEAPA) dan Phillipine Center for Investigative Journalism (PCIJ) di
Kuala Lumpur tanggal 21 Oktober 2000. Melalui seminar ini Koalisi
memperoleh jaringan regional untuk memperjuangkan RUU KMI. Selain
itu sejalan dengan riset yang dilakukan SEAPA tentang akses kepada
informasi di negara South-East Asia, ICEL menjadi pemberi masukan
untuk bagian hukum (legal section) dari hasil penelitian untuk wilayah
negara Indonesia. Draf RUU KMI sendiri dijadikan bagian dari penulisan
yang memper-lihatkan perkembangan kebebasan informasi di bidang
hukum di Indonesia.
Mengikuti pertemuan dengan pemerintah daerah provinsi yang
diadakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah dan Otonomi
Daerah, Departemen Dalam Negeri RI membahas tema Transparansi,
Partisipasi, dan Akuntabilitas Publik di 6 wilayah di Indonesia yaitu
Bali, Banjarmasin, Padang, Pontianak, Manado, Pekanbaru yang
diselenggarakan pada bulan November 2000. Kemudian mengikuti
seminar WALHI tentang informasi lingkungan hidup, dan Seminar
Nasional UU tentang Dokumen Perusahaan yang diselenggarakan
tanggal 13 November 2000 di Jakarta.74
Kegiatan Koalisi pada tahun 2001 adalah, melakukan studi
banding ke luar negeri, menyelenggarakan dan atau mengikuti seminar-

74
Indonesian Center for Environmental Law. Laporan kegiatan Pembuatan, Sosialisasi, dan Lobby RUU Kebebasan
Memperoleh Informasi. Agustus- Desember 2000.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 125
seminar serta mengintensifkan kegiatan lobi. Kegiatan-kegiatan tersebut
antara lain: Studi banding ke Jepang tanggal 13-14 April 2001
mempelajari kegiatan yang dilakukan oleh Local Government dalam
Information Clearing House tentang Information Disclosure Ordonance; Studi
banding ke Thailand 14-17 Mei 2001 mempelajari Thai Official Information
Act; Studi banding ke Swedia 22-29 September 2001 mempelajari Freedom
of Information Act di Swedia. Studi banding tersebut didukung oleh
Sweden Embassy.75 Diskusi dan seminar di Indonesia dengan beberapa
stakeholders mengenai:
a) Peran UU Kebebasan Informasi Dalam Memberantas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme yang diselenggarakan tanggal 24 April
2001 di Jakarta. Pembicara terdiri dari unsur BPKP, ICW, Pejabat
Dep. Kehakiman, KPKPN.
b) RUU Rahasia Negara Dalam Perspektif Kebebasan Informasi
diselenggarakan oleh Lembaga Sandi Negara pada Agustus
2001. Pembicara dari Lembaga Sandi Negara, dan Koalisi.
c) Kebebasan Pers, Rahasia Negara dan UU Kebebasan Informasi
diselenggarakan di Jakarta, 12 September 2001. Pembicara dari
DPR RI dan Director of Press Board of Indonesia.
d) UU Kebebasan Informasi dan Hak untuk Mengetahui
Kebenaran atas Pelanggaran HAM Masa Lalu diselenggarakan
di Jakarta, 17 Oktober 2001. Pembicara dari KONTRAS, ELSAM,
LSPP, KOMNAS HAM.
e) UU Kebebasan Informasi dan Perlindungan Konsumen
diselenggarakan oleh Friedrich Ebert Stiftung di Jakarta, 30
Oktober 2001. Pembicara dari Koalisi, YLKI, Executive Director of
PIRAC, Food and Medicine Regulatory Body.
f) Seminar sehari tentang Kebebasan Pers, Rejim Kerahasiaan, dan
UU Kebebasan Informasi di Era Otonomi Daerah diselenggara-
kan di Medan, 8 November 2001. Pembicara dari MPPI, ISAI,
USU, Sumut Pos.
g) Akses Publik Terhadap Informasi dalam Pembuatan Peraturan
Perundang-undangan diselenggarakan di Jakarta, 15 November
2001. Pembicara dari ICEL, Dep. Kehakiman dan HAM, dan dari
DPR RI.

75
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Berita tentang RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Koran,
Majalah., Internet. tahun 2001.

126 Citra Indonesia di Mata Dunia


h) Seminar Sehari tentang Kebebasan Memperoleh Informasi
diselenggarakan oleh LSPS (Lembaga Studi Perubahan Sosial) di
Surabaya, 20 November 2001. Pembicara dari ICW, dan Koalisi.
i) Seminar sehari tentang RUU Kebebasan Informasi sebagai
bagian dari usaha Demokratisasi dan Perwujudan Open
Government di Makassar.76

Kegiatan Koalisi pada tahun 2002 antara lain meliputi:


a) International Seminar on The Right to Information Avari Towers
Karachi, Pakistan 27-28 February 2002. Topik yang dibahas
antara lain : The Need for the Right to Information, Standards on the
Right to Information. Diikuti oleh ICEL selaku anggota Koalisi.
b) Regional Public Consultation selama periode Maret 2002. Seminar di
beberapa kota besar seperti Medan, Surabaya, Semarang, Makassar,
Pekan Baru, Palembang, Bandung, Surabaya, Yogyakarta,
Pontianak, Manado Gorontalo. Banjarmasin, Lampung. Regional
Public Consultation memfasilitasi mitra-mitra daerah untuk
membuat kegiatan sendiri berkaitan dengan isu transparansi dan
informasi dalam konteks otonomi daerah.
c) Seminar Internasional dan Konsultasi Publik Regional
diselenggarakan pada tanggal 22 April 2002 di Jakarta tentang
Jaminan Akses Informasi untuk Mewujudkan Pemerintahan yang
terbuka dan Demokratis (good governance). Seminar tersebut dibuka
oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri.
Menghadirkan para ahli Internasional yaitu dari :
a. Sweden (Johan Willhemson, Legal Adviser Ministry of Justice
Sweden, Sweden representative on FOI issue in European Union)
b. Australia (Prof. Rick Snell, University of Tasmania)
c. Thailand (Prof. Prokatti, Official Information Commissioner)
d. Japan (Mr. Yikiko Miki, Information Clearing House Japan)
e. Korea (Prof Sung Nak, In-drafter of the Korea Act on Information
Disclosure by public agencies)

Seminar telah melahirkan pernyataan sikap Koalisi, DPR RI, Meneg


Kominfo, dan Lembaga Informasi Nasional, yang menyatakan antara lain
bahwa hal mendasar yang harus dilakukan dalam kerangka reformasi

76
Coalition For Freedom of Information. Narrative Report Stakeholder Discussion. Desember 2001.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 127
adalah bagaimana memperkuat kedudukan masyarakat di hadapan
negara. Bagaimana menciptakan mekanisme kontrol masyarakat
terhadap pemerintah, bagaimana memberdayakan akses publik ke
lembaga-lembaga publik yang selama ini tertutup oleh berbagai budaya,
praktek, dan peraturan yang tidak kondusif. Hal-hal inilah yang
membuat bangsa ini terpuruk dalam krisis multidimensional: praktik
KKN dan pelanggaran HAM. Pada titik inilah ditemukan urgensi UU
Kebebasan Informasi yang secara tegas dan komprehensif mengatur hak-
hak publik atas informasi, serta sebaliknya kewajiban badan dan pejabat
publik untuk memberikan informasi.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, yang terdiri dari berbagai
LSM di Jakarta dan daerah terus berusaha memperjuangkan RUU
Kebebasan Informasi. Namun, pada perkembangannya muncul
kesadaran Koalisi bahwa RUU ini menurut Koalisi seharusnya menjadi
milik semua pihak. Akan sangat ideal jika semua pihak, baik dari unsur
masyarakat maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama
tentang pentingnya hak-hak publik untuk mendapatkan informasi dan
transparansi lembaga-lembaga publik. Sehubungan dengan itu, Koalisi
untuk Kebebasan Informasi tidak ragu-ragu bekerjasama dengan DPR
RI, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, serta Lembaga Informasi
Nasional menyelenggarakan seminar internasional tentang RUU
Kebebasan Informasi.
a) Launch the assessment, seminar on The Actualization of Access to
Information, Access to Participation, and Access to Justice in Indonesia
Environmental Management on May 23, 2002, Jakarta. Wakil-wakil
dari pemerintah, DPR RI, Ornop, pengusaha, dan wartawan, telah
menandatangani nota kesepahaman untuk menegakkan tiga pilar
yaitu, akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi
masyarakat, dan akses terhadap keadilan, dalam melaksanaan
program pembangunan.
b) Workshop on Essential Element of Good Environmental Governance
held on May 29, 2002, Bali. Ide dasar dari workshop adalah untuk
meningkatkan pelaksanaan tiga akses dalam pengambilan
keputusan, yaitu akses terhadap informasi, terhadap partisipasi
masyarakat, dan terhadap keadilan. (ICEL activity)

128 Citra Indonesia di Mata Dunia


c) TAI (The Access Initiative) Socialization Program, Bali 3 Juni 2002.
Conducted a side event to disseminate the importance of endorsing the
indicators to realize environmental governance. (ICEL activity)77
d) Diskusi dengan pakar dari Thailand Nakorn Sarirack, dan dari
Indonesia Prof. Mardjono Reksodiputro pada tanggal 18 September
2002 di Jakarta dengan tema: Tugas dan Fungsi Lembaga yang
dibutuhkan dalam UU KMI dengan mendatangkan ahli dari
Thailand.
e) Diskusi dengan Pakar dari Article 19 Tobby Mendel tanggal 25
September 2002 di Jakarta mengenai Ruang Lingkup Badan
Publik dan Kepentingan Umum Dalam RUU KMI.
f) Diskusi dengan pakar pada tanggal 27 September 2002 di Jakarta
mengenai Lingkup Informasi yang Apabila Dibuka Dapat
Mengganggu Hubungan Internasional dan Persaingan Usaha
yang Sehat.
g) Diskusi dengan Ketua Kontras sdr. Munir tanggal 15 Oktober
2002 di Jakarta mengenai Informasi yang Dikecualikan Dalam
Kebebasan Informasi: Rahasia Negara-Pertahanan Negara.
h) Seminar kampanye kebebasan memperoleh informasi dengan
tema Kebohongan Publik diselenggarakan Lembaga Pers
Mahasiswa Media Publica bertempat di Universitas Prof. Dr.
Moestopo Jakarta, 18 Oktober 2002.
i) Dua Diskusi dengan civitas akademika di kampus Universitas
Prof. Dr. Moestopo dan di kampus Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP, Universitas Indonesia pada tanggal 19 Oktober 2002.
j) Seminar tentang Proposal RUU Rahasia Negara VS RUU
Kebebasan Memperoleh Informasidiselenggarakan di Jakarta,
24 Oktober 2002.
k) Kunjungan ke beberapa Media Massa cetak dan elektronik
periode bulan OktoberNovember 2002 dalam rangka sosialisasi
RUU KMIP.
l) Roundtable Discussion Tim Lobi Koalisi untuk Kebebasan
Informasi di Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta pada
tanggal 20 November 2002 tentang RUU KMIP.

77
Indonesian Center for Environtment Law (ICEL). Interim Report Programm on Access to Information, Access to
Participation and Access to Justice in Indonesia tahun 2002.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 129
m) Diskusi pendalaman draf RUU bertempat di Komnas HAM
Jakarta pada tanggal 26 November 2002.
n) Diskusi melalui Radio Jakarta News FM pada tanggal 26
Desember 2002 tentang RUU KMIP.
o) Diskusi melalui Radio 68H Jakarta pada tanggal 26 Desember
2002 tentang RUU KMIP.
p) Diskusi melalui RRI Stasiun Nasional Jakarta pada tanggal 30
Desember 2002 tentang RUU KMIP.78

Kegiatan Koalisi pada tahun 2003 antara lain meliputi:


a) Pertemuan dengan sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
tanggal 14 Januari 2003 bertempat di Kantor DPP PPP dengan
agenda: mendesak agar sekjen PPP memperingatkan anggota
yang terlibat Pansus RUU KMIP untuk lebih aktif dan fokus
terhadap tugas-tugasnya dan lebih kooperatif terhadap aspirasi-
aspirasi publik. Mendesak agar PPP sebagai parpol peserta
Pemilu mempunyai platform yang jelas soal kebebasan informasi,
transparansi dan partisipasi.
b) Rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU
KMIP tanggal 6 Maret 2003 tentang kebebasan memperoleh
informasi.
c) Lobi terhadap anggota Pansus dalam Forum Strategic Planning
Koalisi. Tanggal 6-10 Maret 2003 dalam kerangka memperlancar
pembahasan RUU KMIP
d) Lobi ke Menegkominfo tanggal 8 Maret 2003 dalam kerangka
menyamakan persepsi dari materi RUU KMIP
e) Pertemuan dengan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia (PRSSNI) tanggal 12 Maret 2003 untuk memperoleh
dukungan dalam rangka mensosialisasikan RUU KMIP
f) Pertemuan dengan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia
(MPPI) tanggal 20 Maret 2003 untuk memperoleh dukungan
dalam upaya mempercepat lahirnya UU KMIP.
g) International workshop tentang Freedom of Information (FOI)
bekerjasama dengan Article 19, dilaksanakan pada bulan Maret
2003, di gedung DPR RI dengan mengundang ahli-ahli FOI antara

78
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Akhir Program Dana Hibah The Asia Foundation untuk mendukung
kegiatan Koalisi untuk Kebebasan Informasi September 2002-Februari 2003.

130 Citra Indonesia di Mata Dunia


lain dari India, dan Thailand. Tujuannya mendorong DPRRI
supaya bersama pemerintah segera membahas RUU KMIP.
h) Pertemuan dengan anggota Pansus RUU KMIP membahas
proses legislasi RUU KMIP tanggal 17 September 2003 bertempat
di Lobi Gedung Nusantara IV DPR RI
i) Pertemuan dengan Ketua Pansus RUU KMIP membahas kondisi
terakhir draf RUU KMIP. tanggal 18 September 2003, bertempat
di Kantor Paulus Widiyanto, Ruang 0627, Gedung Nusantara IV
DPR RI.
j) Pertemuan dengan Kepala Lembaga Informasi Nasional (LIN)
tanggal 7 Oktober 2003 bertempat di Kantor Kepala LIN Jl. Merdeka
Barat No. 9, dengan agenda: Menjelaskan posisi Koalisi dalam
relasinya dengan LIN, memaparkan situasi terakhir proses legislasi,
membahas perkembangan terakhir pembahasan di interdep.
k) Diskusi mengenai Daftar Inventaris Masalah, dilaksanakan pada
tanggal 9, 22, dan 30 Oktober 2003. Diskusi diikuti oleh tim kajian
Koalisi. Diskusi menghasilkan Daftar Inventaris Masalah RUU
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik versi Koalisi. Mengikuti
isu yang muncul dalam proses persidangan Pansus KMIP DPR.
l) Membuat perbandingan bentuk lembaga, cara menyelesaikan
sengketa, kekuatan putusan dari lembaga yang bersangkutan,
serta tugas, fungsi dan wewenang lembaga tersebut pada
pertengahan bulan Oktober 2003 sampai dengan pertengahan
Desember 2003 bertempat di kantor ICEL.
m) Mengkaji tugas, wewenang, fungsi, mekanisme penyelesaian
sengketa, dan sifat putusan Komisi Informasi di Thailand, Canada
dan Queensland (Australia) pada pertengahan bulan Oktober
2003 sampai dengan awal Januari 2004 bertempat di kantor ICEL.
n) Pertemuan dengan Deputi IV Meneg Kominfo tanggal 30
Oktober 2003 bertempat di Kantor Deputi IV Meneg Kominfo,
dengan agenda memaparkan situasi terakhir proses legislasi.
Membahas perkembangan terakhir pembahasan di interdep.
Membahas keberatan-keberatan pemerintah atas draf Koalisi.
o) Pemantauan masa sidang II tahun 2003-2004 DPR RI pada
tanggal 4 November 2003 bertempat di Gedung Nusantara DPR
RI untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 131
p) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 DPR RI pada
tanggal 11 November 2003 bertempat di Gedung Nusantara DPR
RI untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
tentang perkembangan pembahasan RUU KMIP.
q) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP, untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
dalam pembahasan RUU KMIP pada masa sidang II tahun 2003-
2004 DPR RI pada tanggal 12 November 2003 bertempat di
Gedung Nusantara DPR RI.
r) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP, untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
pada tanggal 13 November 2003 bertempat di Gedung
Nusantara DPR RI.
s) Dalam meningkatkan penyadaran masyarakat tentang pentingnya
kebebasan informasi dan hak untuk mengetahui, Koalisi mencoba
untuk merumuskan alat yang paling tepat untuk membantu
meningkatkan kesadaran (raising awareness) masyarakat banyak
terhadap pentingnya kebebasan informasi melalui penggunaaan
campaign kit. Dalam kesempatan kerjasama dengan TIFA Foundation,
sepanjang November 2003, Koalisi merancang kalender sebagai
campaign kit untuk keperluan advokasi RUU Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik. Koalisi menyiapkan disain ilustrasi
yang merupakan hasil terjemahan kreatif dari isu-isu utama dalam
advokasi kebebasan informasi, baik di Indonesia maupun di dunia
internasional.
t) Membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari draf RUU KMIP
versi Panja DPR RI bertempat di kantor LSPP dan ICEL.
Menginventarisasi dan mengkritisi pasal-pasal dalam draf RUU
KMIP versi Panitia Kerja Pansus DPR RI dengan berlandaskan
pada draf RUU versi Koalisi, awal Desember 2003 sampai dengan
pertengahan Januari 2004.
u) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota Panja
pada tanggal 3 Desember 2003 bertempat di Ruang 0627, Gedung
Nusantara I.

132 Citra Indonesia di Mata Dunia


v) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP untuk memperoleh informasi terbaru dari anggota panja
RUU KMIP (versi DPR) pada tanggal 5 Desember 2003 bertempat
di Ruang Mentawai, Hotel Ibis Thamrin.
w) Pemantauan masa sidang kedua tahun 2003-2004 Panja RUU
KMIP untuk memantau pembahasan RUU KMIP (versi DPR)
oleh Panja pada tanggal 6 Desember 2003 bertempat di Ruang
Mentawai, Hotel Ibis Thamirin.
x) Pertemuan dengan anggota Komisi Ombudsman Indonesia Prof.
Soenaryati dan Teten Masduki dengan agenda kegiatan,
wawancara mengenai fungsi, tugas, wewenang, dan mekanisme
penyelesaian sengketa di Komisi Ombudsman serta kemungkinan
dipilihnya Komisi Ombudsman sebagai lembaga penyelesai
sengketa informasi pada tanggal 9 Desember dan 19 Desember
2003 bertempat di Hotel Bidakara dan Gedung Bank Mandiri Plaza.
y) Diskusi dengan para ahli guna memperoleh gambaran tentang
kemungkinan pencantuman sanksi adminitrasi dalam UU KMIP.
pada tanggal 16 Desember 2003 bertempat di kantor ICEL Jakarta.
z) Diskusi publik tentang dana kampanye partai politik tanggal 17
Desember 2003 di hotel Ibis Tamarin, yang dihadiri oleh Teten
Masduki (ICW), Hadar Gumay (Cetro), anggota Koalisi dari
media massa.
) Pertemuan Organisasi Strategis anggota Koalisi KMIP tanggal 18
Desember 2003 dengan agenda konsolidasi tim lobi bertempat di
Jakarta Media Centre (JMC).
) Diskusi tentang Komisi Informasi tanggal 18 Desember 2003 di
LSPP Jakarta. Dibahas secara internal sebagai bahan pembahasan
RUU KMIP dengan DPR dan Pemerintah.
) Diskusi tentang Kertas Posisi (Position Paper) serta Laporan Akhir
Tahun mengenai RUU KMIP pada tanggal 18 Desember 2003 di
Gedung Dewan Pers yang dihadiri oleh media massa dan
anggota Koalisi.79

79
Koalisi Untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Laporan Narasi Pertengahan Program November-
Januari 2004.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 133
Dari sejumlah kesempatan diskusi publik, menurut Koalisi,
mengemuka sejumlah isu kunci yang muncul dalam advokasi
kebebasan informasi, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Isu-isu tersebut antara lain adalah pentingnya jaminan informasi dalam
pengungkapan kasus-kasus hak asasi manusia di masa lalu, pentingnya
informasi dalam pemberantasan korupsi dan penegakan tata
pemerintahan yang baik, kebebasan informasi versus rahasia negara
dan sebagainya. Mengemuka juga persoalan bahwa masyarakat
Indonesia saat ini belum sadar akan haknya untuk tahu (right to know)
dan belum mengetahui bahwa pemerintah wajib untuk menjamin
kebebasan informasi (freedom of information).80
Kegiatan Koalisi pada tahun 2004, antara lain meliputi:
Kegiatan rutin Koalisi:
a) Kunjungan ke fraksi PPP dan bertemu dengan sekjen PPP tanggal
14 Januari 2004 mendiskusikan seputar perkembangan RUU
KMIP di DPR RI.
b) Mengkaji prosedur penyelesaian sengketa di Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Penyelesai Sengketa
Konsumen (BPSK) dilaksanakan tanggal 16 Januari 2004
bertempat di ICEL.
c) Diskusi publik tentang akses publik dalam memperoleh
informasi tentang calon legislative, dilaksanakan di Jakarta
tanggal 27 Januari 2004 yang dihadiri oleh Sumita Notososanto
(Cetro), Yunus Yosfiah (Sekjen PPP), Tomi A Legowo (peneliti
CSIS) dan Paulus Widiyanto (Ketua Pansus DPR RUU KMIP)
serta anggota Koalisi dan media massa.
d) Kegiatan lobi berupa pemantauan sikap parpol terhadap
kebebasan informasi pada bulan Februari 2004.
e) Pertemuan dengan Theo L. Sambuaga Ketua Komisi I DPR RI,
membahas sikap Anggota Pansus RUU KMIP dari Fraksi Golkar
untuk membahas posisi Golkar selama proses legislasi RUU
KMIP. Membahas komitmen Golkar terhadap prinsip-prinsip
keterbukaan informasi dan transparasi pada tanggal 3 Februari
2004 bertempat di Kantor DPP Golkar.

80
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. laporan akhir tahun 2003.

134 Citra Indonesia di Mata Dunia


f) Pertemuan dengan FITRA tanggal 16 Februari 2004. Koalisi aktif
menghadiri pertemuan-pertemuan dan dalam kesempatan ini
terus mengembangkan dan memasyarakatkan gagasan tentang
kebebasan informasi.
g) Pertemuan dengan Menegkominfo tanggal 17 Februari 2004 dan
dengan World Bank Institute 18 Februari 2004 seputar
perkembangan proses legislasi RUU KMIP.
h) Kegiatan kampanye berupa pembuatan dan distribusi kalender
2004 selama bulan Maret 2004 yang berisi sosialisasi tentang
RUU KMIP.
i) Pengkajian pasal paket UU Pemilu dan kasus pelanggaran Hak
Untuk Mengetahui dalam Pemilu 2004, selama bulan Mei 2004.
j) Memanfaatkan momentum Pemilu 2004, melakukan wawancara
dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tanggal 7 Mei
2004, dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
tanggal 10 Mei 2004, dan dengan Golongan Karya (Golkar)
tanggal 14 Mei 2004, mengenai sikap dan pandangan mereka
terhadap RUU KMIP.81
k) Diskusi Meja Bundar United Nations Educational Scientific, and
Cultural Organization (UNESCO)- Koalisi untuk Kebebasan
Informasi tanggal 15 Desember 2004 bertempat di Crown Plaza
Hotel Jakarta. Diskusi ini dimuat di harian Kompas 17 Desember
2004 dengan judul: Kebebasan Informasi penting bagi Demokrasi.82

Pengkajian Koalisi khusus tentang penyelenggaraan Pemilu 2004


Menghadapi pemilihan umum tahun 2004, Koalisi merasa perlu
untuk secara khusus mencermati seluruh proses pemilu 2004 dari
perspektif kebebasan informasi. Pemilu menurut Koalisi, merupakan
peristiwa penting dalam dinamika politik di negara manapun,
termasuk Indonesia. Pemilu merupakan perwujudan hak asasi warga
negara untuk mengambil bagian dalam urusan-urusan publik,
demikian pula dengan Pemilu 2004.
Sebuah pemilu dapat dikatakan berhasil menurut pendapat
Koalisi, apabila negara memberikan jaminan penuh terhadap hak

81
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Final Report: Advokasi Proses Legislasi Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik. November 2003-Mei 2004
82
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Kegiatan Diskusi Meja Bundar Unesco-Koalisi tentang Rahasia Negara
dan Kebebasan Informas. Desember 2004.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 135
tersebut, juga hak-hak lain yang terkait erat dengannya di antaranya
kebebasan informasi dan hak untuk mengetahui. Dalam sistem baru
Pemilu 2004, kebebasan informasi menjadi salah satu elemen yang vital.
Dapat dikatakan bahwa keseluruhan sistem Pemilu 2004 ini bertumpu
pada informasi. Setiap pemilih hanya dapat membuat pilihan-pilihan
kritis dan menentukan siapa yang layak menjadi wakilnya apabila
informasi yang diperoleh memadai. Informasilah yang menentukan
siapa yang kelak duduk di DPR, DPD, DPRD dan layak menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.
Koalisi mendisain kajian terhadap Paket UU Politik yang
menjabarkan rincian penyelenggaraan Pemilu 2004 berdasarkan
perspektif kebebasan informasi. Tujuan dari kajian ini adalah untuk
melihat sejauh mana keselarasan (degree of compliance) paket UU Pemilu
dengan prinsip-prinsip dan model hukum kebebasan informasi yang
telah mendapatkan pengakuan internasional. Hasil yang diharapkan
dari kajian ini adalah melihat bagaimana legislasi yang berhubungan
dengan kebebasan informasi, yaitu Paket UU Politik, memberikan
jaminan terhadap hak setiap individu untuk mengetahui.
Akses kajian informasi dalam penyelenggaran pemilu 2004
sebagai berikut:
a) Akses informasi dalam proses verifikasi partai politik peserta
pemilu sebelum dinyatakan sebagai peserta dalam Pemilu.
Setiap partai politik wajib mengikuti proses verifikasi. Verifikasi
ini dilakukan dua tahap, yakni verifikasi administratif dan
verifikasi faktual.
b) Akses informasi dalam proses verifikasi calon legislatif. Seperti
halnya parpol yang hendak menjadi peserta pemilu, bakal calon
legislatif yang menjadi calon legislater juga wajib mengikuti
proses verfikasi caleg. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
Koalisi, akses informasi dalam tahap ini juga tidak begitu lancar.
c) Akses informasi horisontal antara KPU dan Panwaslu.
Sebagaimana halnya dengan akses informasi vertikal, yakni
informasi bagi masyarakat ke badan-Badan Publik, akses
informasi horizontal, yakni akses informasi antar Badan Publik
juga sangat penting. Untuk itu, Koalisi juga mencoba mengkaji
akses informasi antara KPU dan Panwaslu.

136 Citra Indonesia di Mata Dunia


d) Akses informasi dana kampanye parpol yang dimiliki KPU. Dana
kampanye Parpol menjadi sorotan utama dalam Pemilu 2004. Isu
ini mencuat karena beberapa pihak mensinyalir, terdapat banyak
penyalahgunaan dana kampanye dalam Pemilu kali ini. Oleh
karena itu, akses informasi menjadi penting sebagai upaya
mencegah atau meminimalisasi penyalahgunaan dana tersebut.
e) Akses informasi tentang pengadaan logistik pemilu. Selain isu
mengenai dana kampanye parpol, isu lain yang tidak kalah
mendapat sorotan adalah isu pengadaan logistik pemilu. Banyak
pihak mensinyalir bahwa proses tender pengadaan logistik
pemilu dilakukan dengan sangat tidak transparan. Bahkan ada
yang dengan sinis menyebutnya sebagai proyek bagi-bagi rejeki
saja. Oleh karena itu, akses informasi bagi publik menjadi sangat
penting untuk memastikan bahwa tahap ini tidak sekadar
dijadikan ajang bagi-bagi rejeki.

Penyelenggaraan Pemilu 2004 oleh Komisi Pemilihan Umum


(KPU)/Komisi Pemilhan Umum Daerah (KPUD) berdasarkan hasil kajian
Koalisi, dapat disimpulkan secara umum, tidak transparan. Hal ini
disebabkan antara lain tidak dijaminnya akses publik terhadap informasi
yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu. Ketiadaan jaminan ini
dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan terkait
dengan pemilu. Ketiadaan jaminan hukum bagi penyelenggara pemilu
untuk memberikan informasi kepada publik, dan bagi masyarakat,
ketiadaan jaminan untuk mengakses informasi mengakibatkan
kesimpangsiuran informasi di lapangan, dan pada gilirannya membuat
masyarakat bingung. Penyelenggara pemilu juga kebingungan karena
tidak ada pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam pemberian
informasi.
Beberapa kasus yang biasanya muncul dalam akses informasi
publik: 1) penyelenggara pemilu (KPU/KPUD) tidak menanggapi
permintaan informasi. 2) KPU/KPUD menanggapi permintaan
informasi namun tidak sesuai dengan yang diminta. 3) KPU/KPUD
menanggapi permintaan informasi, namun dalam jangka waktu yang
sangat lama. 4) KPU/KPUD menolak permintaan informasi dengan
alasan informasi yang diminta adalah rahasia negara. Atau seringkali

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 137
KPU/KPUD tidak menanggapi permintaan informasi tanpa memberikan
alasan penolakan sama sekali. Kasus-kasus tersebut muncul, selain
karena ketiadaan aturan hukum/pedoman pelaksana, juga disebabkan
oleh karena KPU/KPUD tidak mendokumentasikan dengan baik setiap
informasi kegiatannya, tidak semua kebijakan yang diambil KPU/KPUD
didokumentasikan dalam bentuk tertulis, dan tidak ada desk khusus yang
melayani permintaan informasi dari masyarakat.83
Kegiatan Koalisi pada tahun 2005 antara lain:
a) Diskusi tentang Komisi Informasi, 2 Mei 2005 di Jakarta.
Tujuannya mencari format dan bentuk kelembagaan yang ideal
dan efektif dari Komisi Informasi. Merumuskan sistem kerja,
hukum acara, sistem pendukung dari Komisi Informasi.
Kelemahan Komisi Informasi dapat mempunyai putusan yang
final dan mengikat. Memperkuat eksistensi Komisi Informasi
dengan memberikan kewenangan untuk mengatur lembaganya
secara mandiri.
b) Diskusi tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Sanksi, 9
Mei 2005, di Jakarta. Tujuannya mencari format dan mekanisme
alternatif penyelesaian sengketa dan sanksi. Mencari alternatif
lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa informasi.
Merumuskan bentuk dan besaran sanksi yang sesuai untuk pihak
yang menutup-nutupi akses informasi. Kelemahannya tidak ada
aturan jelas dalam penetapan sanksi.
c) Diskusi tentang informasi publik dengan narasumber
Harkrisyati Kamil (Asisten Direktur Informasi British Council), 13
Mei 2005 di Jakarta. Tujuannya menentukan jenis-jenis informasi
publik yang dapat dibuka dan jenis-jenis informasi publik yang
dikecualikan. Membangun argumen untuk menentukan jenis
informasi publik yang dapat dibuka dan dikecualikan. Menggali
pengalaman dalam melayani permohonan informasi (dalam
perspektif petugas informasi). Kelemahannya dalam konteks
melayani informasi, kesibukan bagi petugas informasi tidak
dapat dihindari. Dalam konteks Indonesia, perlu mempersiap-
kan petugas informasi khususnya di dalam Badan Publik.

83
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Kajian Kasus Transparansi dan Akses Informasi Dalam Penyelenggaraan
Pemilu 2004.

138 Citra Indonesia di Mata Dunia


d) Diskusi tentang Badan Publik dengan narasumber Wishnu Basuki,
Senior Officer Know-How, Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro
Law Firm, 14 Mei 2005 di Jakarta. Tujuannya merumuskan Badan
Publik yang dapat dikategorikan sebagai Badan Publik yang akan
dikenai kewajiban memberikan informasi. Merumuskan definisi
dan argumen tentang Badan Publik. Kelemahannya terlalu luas
jumlah dan bentuk badan-Badan Publik dalam berbagai bentuk dan
kegiatan sehingga sulit merumuskan secara definitif satu persatu.
e) Diskusi tentang Rahasia Negara dalam kaitannya dengan Sektor
Pertahanan dan Keamanan dengan narasumber T. Harry
Prihartono (Direktur Eksekutif Pro Patria), 18 Mei 2005 di Jakarta.
Tujuannya menentukan bentuk dan jenis informasi yang dapat
dirahasiakan atau yang dapat dikecualikan dalam RUU dan UU
yang berkaitan dengan kerahasiaan dalam sektor pertahanan dan
keamanan. Menentukan apakah kerahasiaan tersebut bersifat
mutlak. Menentukan jaminan publik untuk mendapatkan
informasi.
f) Diskusi tentang Rahasia Negara dalam kaitannya dengan Sektor
Dagang dan Perbankan dengan narasumber Anung Karyadi
(Transparency International Indonesia), 19 Mei 2005 di Jakarta.
Tujuannya menentukan bentuk dan jenis informasi yang dijamin
dalam UU Rahasia Bank dan UU Rahasia Dagang. Menentukan
apakah kerahasiaan tersebut bersifat mutlak menentukan
jaminan publik untuk mendapatkan informasi. Kelemahannya,
segala aturan, kegiatan dan aktivitas perbankan dikontrol oleh
Bank Indonesia. Menjadi masalah adalah UU Bank Indonesia,
karena yang dapat dimintai akses adalah Bank Indonesia.
g) Laporan Assessment penerapan Peraturan Daerah (PERDA) Kota
Kendari No. 14 Tahun 2003 tentang Kebebasan Memperoleh
Informasi, 30 Juni 2005. Dari laporan assesment Koalisi dikemuka-
kan bahwa Perda Kebebasan Memperoleh Informasi di Kendari
masih mengalami banyak hambatan, diantaranya Perda tersebut
belum efektif berlaku, disebabkan antara lain belum meratanya
sosialisasi Perda ke seluruh lapisan masyarakat dan Badan Publik.
Komisi Informasi yang disiapkan sebagai lembaga yang
menyelesaikan sengketa informasi sebagaimana dimaksud dalam
Perda tersebut belum terbentuk.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 139
h) Penyusunan Peraturan Daerah No. 14/2003 mengenai Kebebasan
Memperoleh Informasi diawali oleh program yang dilakukan
oleh United Nations Development Programme (UNDP). Antara
tahun 2000-2003, UNDP melakukan pendampingan kepada
beberapa kota di Indonesia untuk menerapkan aturan hukum
mengenai kebebasan memperoleh informasi. Pendampingan itu
memunculkan minat beberapa pemerintah kota untuk
menerapkan Perda mengenai kebebasan memperoleh informasi.
i) Pada tahun 2003, Kendari, secara resmi menetapkan berlakunya
Peraturan Daerah tentang Kebebasan Memperoleh Informasi,
menyusul Gorontalo. Penerapan Perda tersebut menurut Koalisi,
secara positif mencerminkan pergeseran paradigma pemerintah
daerah yang patut diberi apresiasi karena secara sadar pejabat
pemerintah daerah yang bersangkutan mengawali era baru kultur
pemerintahan daerah di Indonesia. Namun, keterlibatan publik
dalam proses pembentukan Perda belum maksimal. Perda
mengatur prinsip-prinsip kebebasan memperoleh informasi tanpa
penjelasan pelaksanaan teknisnya, sehingga pelaksanaannya
belum maksimal. Semangat pemerintah daerah sudah ada, akan
tetapi pelaksanaannya masih lemah.
j) Selain masalah pelaksanaan, sosialisasi juga belum dilakukan
secara maksimal sehingga kepedulian masyarakat terhadap
Perda masih rendah. Kalangan LSM belum semua memahami
keberadaan Perda itu, dan akibat lemahnya sosialisasi, respon
dari publik juga rendah. Anggota DPRD juga belum terlalu peduli
terhadap penerapan Perda ini, demikian pula di lingkungan
sekretariat pemerintah kota yang belum memahami betul isi
Perda. Sekalipun demikian akses terhadap media bertambah.
k) Kapasitas teknis penyediaan informasi juga menjadi masalah
bagi pemerintah kota, antara lain sistem informasi belum dimiliki
sehingga beban terpusat di bagian informasi. Wartawan juga
mengaku sering melanggar Perda sehingga menjadi bukti bahwa
fungsi legal Perda belum berjalan karena tidak ada mekanisme
penerapan sanksi.
l) Anggota masyarakat melihat bahwa akses terhadap informasi
keuangan masih belum leluasa. Masyarakat harus memanfaatkan
orang dalam untuk mendapatkan informasi sejenis itu.

140 Citra Indonesia di Mata Dunia


Informasi mengenai rencana tata ruang kota juga belum jelas bagi
seorang arsitek, karena pemerintah masih tertutup mengenai
rencana tata ruang, sehingga tata ruang Kota Kendari semrawut,
dan ketertutupan informasi tentang tata ruang dapat memicu
konflik tanah. Dari hasil Assesment, Koalisi merekomendasikan
perlu dirancang beberapa kegiatan yang berkaitan dengan
sosialisasi Perda KMI kepada Badan Publik dan masyarakat luas,
serta pengkajian dan advokasi pembentukan Komisi Informasi
Kota Kendari.
m) Laporan Kegiatan Konsinyasi KMIP pada tanggal 3-5 Juli 2005
bertempat di Hotel Jayakarta Anyer. Hasil yang dicapai Tim
Perumus memberi review hasil proses pertemuan sebelumnya.
Ada dua upaya dalam melihat lembaga alternatif penyelesaian
sengketa dan sangsi. Pertama Komisi Informasi merupakan
komisi yang mempunyai keputusan yang mengikat dan final,
atau hasilnya masih bisa di bawa ke Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Membahas beberapa hal lebih lanjut dari serial diskusi
tim perumus, yaitu: masalah waktu penyelesaian sengketa dan
independensi lembaga.
n) Diskusi terbatas mengenai Aspek Kebebasan Memperoleh
Informasi dalam RUU Intelijen dan Aspek Intelijen dalam RUU
KMIP: Mencari Konsep Pengaturan Intelijen Berperspektif
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dilaksanakan oleh
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), sebagai anggota
Koalisi, 20 September 2005 di Jakarta.
o) Diskusi KMIP dengan narasumber dari Komisi III DPR RI dan
Koalisi tentang Perlindungan Saksi, 26 September 2005 di Jakarta.
Program perlindungan terhadap saksi memegang sebuah prinsip
penting yang mendasari hampir seluruh aktivitas sebuah program
perlindungan. Prinsip tersebut adalah prinsip kerahasiaan. Dalam
prakteknya, prinsip kerahasiaan ini bahkan diterjemahkan
dengan lebih spesifik, bahwa pembukaan informasi berkaitan
dengan program perlindungan saksi adalah sebuah kejahatan
yang diancam pidana berat. Paparan ini akan mencoba
mendeskripsikan secara mendasar mengenai prinsip kerahasiaan
tersebut dan bagaimana seharusnya ia diterapkan dalam program
perlindungan saksi.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 141
p) Seminar yang diselenggarakan Koalisi bekerja sama dengan
UNESCO, membahas tentang Tantangan dan Peluang dalam
Pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi,
dilaksanakan di Jakarta 14 September 2005. Tujuan seminar adalah
untuk mempelajari langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
mendorong proses legislasi di tingkat nasional, serta mempertegas
kontribusi KMI dalam tata pemerintahan yang bersih, baik di
bidang pemberantasan korupsi, maupun inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
q) Diskusi konsultatif membahas tentang Prospek Legislasi RUU
KMIP antara Pemerintah, DPR dan Koalisi untuk Kebebasan
Informasi, 21 Oktober 2005, di Jakarta. Diskusi terdiri dari tiga
pihak yaitu Pemerintah- DPR RI- dan unsur Masyarakat Warga.
Materi yang dibahas adalah prospek legislasi RUU KMIP lebih
lanjut untuk mengklarifikasi kekhawatiran-kekhawatiran yang
muncul tentang implikasi pengesahan UU KMIP, mengingat
sebulan sebelumnya Ketua DPR RI telah mengirimkan surat
kepada Presiden RI untuk meminta tanggapan resmi pemerintah
atas RUU KMIP hasil inisiatif DPR RI. Dengan demikian
pembahasan RUU KMIP tahap I telah selesai, dan selanjutnya
pembahasan tahap II akan dilakukan antara DPR dan Pemerintah.84

Tahun 2005 Koalisi secara intensif melaksanakan lobi kepada DPR


RI dan pemerintah, memantau perkembangan proses legislasi untuk
RUU KMIP, dengan harapan supaya segera dibahas oleh DPR dan
Pemerintah, di samping melaksanakan seminar dan diskusi.
Mengingat proses legislasi RUU KMIP sudah lama mandeg,
sembilan anggota DPR RI dari berbagai fraksi dan Kelompok LSM,
pada tanggal 31 Mei 2005 melakukan kampanye bersama dengan
mendeklarasikan terbentuknya KMI Club dan pembacaan Proklamasi
RUU KMIP, untuk mendorong RUU KMIP disahkan menjadi undang-
undang. Anggota-anggota DPR tersebut sepakat mendukung langkah
yang ditempuh Koalisi LSM untuk KMIP dalam mendesak dan
mendorong pemerintah bersikap terbuka dan transparan dengan
kebebasan informasi.

84
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan tahun 2005.

142 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dalam pemerintahan yang baik, informasi mempunyai peran
penting untuk menegakkan transparansi dan pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Kebebasan memperoleh informasi publik
merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan pemerintahan yang
transparan, terbuka dan partisipatoris.85
Kegiatan Koalisi tahun 2006 antara lain :
a) Diskusi terbatas merumuskan dan mendefiniskan pasal-pasal
pengecualian dalam konteks menjamin hak publik untuk
mendapat-kan informasi, diselenggarakan oleh Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP), 13 Februari 2006 bertempat di
LSPP Jakarta.
b) Diskusi terbatas tentang Komisi Informasi serta mekanisme
penyelesaian sengketa dan sanksi diselenggarakan 15 Februari
2006 oleh LSPP.
c) Merumuskan dan mendefinisikan pasal mengenai ketentuan
tentang Badan Publik dalam konteks menjamin hak publik
untuk mendapatkan informasi, 17 Februari 2006 bertempat di
LSPP dan diselenggarakan oleh LSPP.
d) Menyusun kerangka acuan studi dan pemetaan kesiapan Badan
Publik dalam memenuhi akses informasi kepada masyarakat,
tanggal 16-17 Maret 2006 di Jakarta.
e) Rapat program untuk merinci kegiatan dan pembahasan
deskripsi tugas pelaksana program, 21 Maret 2006, lobi ke
Departemen Hukum dan HAM 29 Maret 2006.
f) Selama bulan April 2006 melaksanakan kegiatan mengkolek data
pengkajian tentang informasi publik, Badan Publik dan komisi
informasi. Melakukan riset kesiapan Badan Publik dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi di kantor
Menteri Lingkungan Hidup, dan DPR, DPRD Kalimantan Barat,
Dinas Informasi Kalbar, DPRD Kabupaten Lebak, Dinas Kesehatan
dan RSUD Kabupaten Lebak. Riset mengenai pemetaan persepsi
dan sikap DPR, Pemerintah, Pengguna Informasi terhadap
kebebasan informasi. Melakukan lobi, menyelenggarakan
Pertemuan dengan Lemsaneg, Menkominfo. Melakukan
kampanye melalui press release, konferensi pers.

85
Suara Pembaruan, Rabu, 1 Juni 2005.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 143
g) Penyusunan draf desain riset kesiapan Badan Publik
h) Selama bulan Mei 2006 melanjutkan kegiatan pada bulan April
2006. Pertemuan dengan Menhan, Komisi I DPR RI, melakukan
diskusi publik tentang kebebasan pers versus RUU Rahasia
Negara dan talk show di radio tentang rahasia negara atau rahasia
birokrasi, talk show di TVRI tentang transparansi dan
profesionalisme dan pengelolaan BUMD.
i) Kunjungan ke Kabupaten Lebak, sebagai salah satu daerah yang
menjadi sasaran riset dalam rangka memonitor hasil dan
kemajuan kerja tim riset.
j) Kunjungan ke daerah penelitian di Pontianak (Kalimantan Barat)
dalam rangka monitoring program riset kesiapan Badan Publik.
Tinjauan kritis terhadap DIM RUU KMIP versi Pemerintah dan
DPR diselaraskan dengan DIM RUU KMIP versi Koalisi.
k) Selama bulan Juni 2006 meneruskan kegiatan pengkajian materi
dan riset kesiapan Badan Publik Mei 2006. Pertemuan dengan
Komisi I DPR RI, kemudian Pemda Sumatera Utara. Melakukan
diskusi publik tentang tarik ulur pembahasan RUU KMIP,
Rahasia Negara dan Intelijen, talk show di TVRI tentang rahasia
negara atau rahasia birokrasi.
l) Menanggapi RIM RUU KMIP versi DPR dan Pemerintah.
m) Koalisi bersama dengan World Bank Institute, National Democratic
Institute, dan Indonesian Parliamentary Center, menyelenggarakan
Loka Karya di Hotel Century Park Jakarta tanggal 7 dan 8 Juni 2006,
tentang Kebebasan Informasi dan Tata Pemerintahan Daerah
yang baik di Indonesia, diikuti oleh pejabat pemerintah daerah
kabupaten/kota, propinsi yang telah mengeluarkan peraturan
daerah mengenai transparansi yaitu Kab. Boalemo, Bolaang
Mongondow, Bulukumba, Gowa, Solok, Lamongan, Lebak,
Bandung, Magelang, Tanah Datar, Takalar, dan Kota Gorontalo,
Kendari, Palu, serta Propinsi Kalimantan Barat.86
n) Selama bulan Juli 2006 melanjutkan kegiatan pengkajian materi
DIM dan riset kesiapan Badan Publik serta persepsi dan sikap
DPR, pemerintah dan publik pada bulan sebelumnya Juni 2006.

86
World Bank Institute. National Democratic Institute. Indonesian Parliamentary Center, Pemerintah Daerah.
Memimpin Dalam Aturan Kebebasan Mendapatkan Informasi. Press Release. 8 Juni 2006.

144 Citra Indonesia di Mata Dunia


Lobi dengan DPR, talk show di radio, diskusi publik di Lampung
tentang urgensi RUU KMIP dalam mendorong pemerintahan
yang bersih, terbuka dan bebas korupsi. Diskusi harmonisasi
RUU KMIP dengan RUU Rahasia Negara. Konferensi pers
tentang bahaya RUU Rahasia Negara.
o) Upaya memetakan sikap fraksi melalui Daftar Inventaris Masalah
(DIM) yang mereka susun. Workshop untuk membahas hasil riset
sementara kesiapan Badan Publik terhadap RUU KMIP,
p) Selama bulan Agustus 2006 melanjutkan kegiatan pengkajian
materi, DIM dan riset kesiapan Badan Publik serta persepsi dan
sikap DPR, pemerintah dan publik pada bulan Juli 2006.
Launching studi advokasi persepsi dan sikap DPR, pemerintah,
dan publik terhadap kebebasan informasi. Audiensi dengan
ketua DPR RI, dengan KPK untuk mendapat dukungan terhadap
RUU KMIP agar segera disahkan menjadi Undang-Undang.
Diskusi publik, jaminan akses informasi dalam sistem peringatan
dini bencana, diskusi publik di Pontianak tentang proses legislasi
RUU KMIP dan efektivitas implementasi Perda transparansi.
q) Selama bulan September 2006 melakukan audiensi dengan
Komisi I DPR RI, talk show di radio, diskusi publik di Malang
tentang urgensi RUU KMIP untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan bebas korupsi. Konferensi pers tentang
mempertanyakan kesungguhan legislasi RUU KMIP.
r) Selama bulan Oktober 2006 audiensi dengan Kepala Arsip
Nasional, dengan Mahkamah Konstitusi, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Pemantauan rapat kerja RUU KMIP.
s) Selama bulan November 2006 pertemuan dengan anggota DPD
RI, dengan wakil Sekjen Damai Sejahtera, dengan Menteri
komunikasi dan Informatika, dan ketua Komisi I, dengan anggota
fraksi Golkar, diskusi publik di Kendari tentang urgensi KMIP
untuk wewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Talk show di radio, diskusi publik di Solok tentang sosialisasi RUU
KMIP dan penerapan Perda transparansi Kabupaten Solok.
Penyebaran policy brief berkaitan dengan RUU KMIP.
t) Selama bulan Desember 2006 melakukan lobi dengan Komisi I
DPR RI, Juru Bicara Presiden RI (DR. Andi Malarangeng), talk
show di radio, TVRI.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 145
Kegiatan-kegiatan tersebut di atas ditangani oleh anggota-
anggota Koalisi dan pada masing-masing kegiatan ditunjuk organisasi
pelaksana yang diketuai salah satu anggota Koalisi seperti Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Visi Anak Bangsa (VAB), Sains
Estetika dan Teknologi (SET), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), dan
Imparsial. Sampai Desember 2006 dapat disimpulkan dukungan
terhadap legislasi RUU KMIP meningkat. Kampanye RUU KMIP telah
berhasil mentransformasi pemahaman aparat publik dan masyarakat
akan pentingnya keterbukaan informasi dalam mendorong demokrasi,
good governance dan pelayanan publik. Proses legislasi RUU KMIP masih
akan dihadapkan pada berbagai tantangan dari aparat birokrasi yang
masih enggan mendorong keterbukaan informsi publik. Indikasinya,
pemerintah mengajukan RUU Rahasia Negara kepada DPR RI.
Diskusi, Seminar, Loka Karya, yang diselenggarakan Koalisi selalu
menyertakan nara sumber yang terdiri dari ahli dan praktisi dalam
berbagai bidang, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Tercatat 28 orang ahli dari Indonesia dan 24 orang ahli dari luar negeri,
yang pernah dilibatkan sebagai pakar dalam proses penyusunan RUU
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan Advokasinya. Ahli dari
Indonesia antara lain: Prof. Mardjono Reksodiputro (ahli hukum pidana),
Dr. Harkristuti Harkrisnowo (ahli hukum pidana), Prof. Soetandyo
Wignyo Soebroto (sosiologi hukum), Dr. Adnan Buyung Nasution
(praktisi dan pengamat hukum), Prof Dr. Hikmahanto Juwana
(pengamat hukum internasional dan bisnis), Dr. Bachtiar Ali (ahli
komunikasi), Dr. Dedy N. Hidayat (ahli komunikasi). Ahli dari luar
negeri antara lain: Toby Mendel (kadiv perundang-undangan Article 19),
Prof. Prokatti (ahli hukum Thailand), Amanda Frost (ahli hukum/praktisi
FOIA Amerika), Prof. Shimizu (Jepang), Per Unckel (Ketua Komisi
Konstitusi Swedia) (Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2001: v-vi ).
Kegiatan-kegiatan Koalisi sejak tahun 2000 sampai 2006 dapat
dikategorikan berdasarkan program pengendalian public relations
(Managing Public Relations Program) sebagai berikut:
a. Hubungan dengan media (media relations)
Hubungan dengan media sering disamakan dengan publikasi
(Jhonston and Zawawi, 2004: 259). Hubungan dengan media
diutamakan pula oleh Koalisi. Draf awal RUU KMI diluncurkan

146 Citra Indonesia di Mata Dunia


oleh ICEL pada 8 September 2000, dikemukakan di depan media
massa. Diskusi-diskusi/talkshow di televisi baik TVRI maupun
televisi swasta serta di radio baik RRI maupun radio swasta, selalu
diupayakan oleh Koalisi untuk diselenggarakan secara kontinyu,
sekalipun tidak disiarkan pada hari dan waktu siaran yang tetap.
Koalisi juga menerbitkan berbagai buku tentang kebebasan
informasi kerjasama Koalisi dengan USAID, The Asia Foundation,
Friedrich Ebert stiftung, dan UNESCO seperti: Buku Melawan
Ketertutupan Informasi kerjasama Koalisi dengan USAID dan The
Asia Foundation. Buku Kebebasan Informasi Di Beberapa Negara
kerjasama Koalisi dengan USAID, Friedrich Ebert Stiftung dan The Asia
Foundation. Buku Melawan Tirani Informasi kerjasama Koalisi
dengan The Asia Foundation dan USAID. Buku Apa Itu Kebebasan
Memperoleh Informasi? kerjasama Koalisi dengan UNESCO, di
samping menerbitkan kalender, leaflet dan lain-lain.
Koalisi juga menyelenggarakan seminar bersama dengan
media massa, melakukan kunjungan ke berbagai media massa dan
elektronik, melakukan pertemuan dengan Persatuan Radio Siaran
Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Masyarakat Pers dan Penyiaran
Indonesia (MPPI), untuk membahas upaya percepatan RUU KMIP
menjadi undang-undang.
b. Hubungan internal (Internal relations)
Melaksanakan diskusi internal antara anggota Koalisi dari
mulai menyusun draf RUU KMIP, mengkritisi draf RUU KMIP versi
pemerintah, membahas dan mengevaluasi program kerja secara
periodik baik setelah selesai dilakukan suatu program/kegiatan atau
untuk membahas kegiatan baru, melakukan pembagian tugas
anggota Koalisi untuk menjadi penanggungjawab dalam suatu
kegiatan. Hubungan internal yang dimaksud Koalisi adalah
hubungan antara Ornop sesama anggota dan pimpinan Koalisi serta
institusi atau lembaga yang menjadi pendukung kegiatan Koalisi,
seperti Komisi Hukum Nasional.
c. Hubungan dengan masyarakat (community relations)
Hubungan dengan masyarakat sangat dipentingkan pula oleh
Koalisi. Masyarakat terdiri dari berbagai strata yaitu: tokoh-tokoh

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 147
masyarakat, partai politik, organisasi massa, LSM, mahasiswa,
akademisi, pengelola media massa. Hubungan dijalin dengan
mengundang mereka pada kegiatan seminar baik di tingkat nasional
maupun internasional, workshop atau loka karya, konsultasi publik
regional di beberapa wilayah antara lain Medan, Surabaya,
Semarang, Makassar, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Jogjakarta,
Pontianak, Manado, Gorontalo, Banjarmasin, dan Lampung.
Pertemuan dengan tokoh-tokoh partai, sosialisasi khusus kepada
mahasiswa, dan pengelola media. Agenda yang diutamakan adalah
sosialisasi draf RUU KMIP serta untuk menerima masukan dari para
peserta pertemuan dalam rangka memperkaya RUU KMIP.
d. Hubungan dengan pemerintah/negara (government/state relations)
Hubungan dengan DPR RI dan pemerintah sangat
dipentingkan oleh Koalisi karena disadari oleh Koalisi bahwa yang
memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang adalah
pemerintah bersama dengan DPR. Penyusunan draf awal RUU KMIP
didukung dan mendapat bantuan Komisi Hukum Nasional. Sejak
penyusunan draf awal RUU KMIP September tahun 2000 yang
dilakukan oleh ICEL, berusaha melakukan hubungan dengan DPR
RI, dengan maksud agar draf RUU KMIP diadopsi menjadi draf RUU
KMIP usul inisiatif DPR RI. Hubungan dengan DPR terus dijalin
semenjak draf RUU KMIP versi Koalisi diadopsi dan kemudian
disempurnakan oleh DPR RI. Koalisi terus melakukan pemantauan
kepada DPR dan partai politik mengenai perkembangan, pembahasan
RUU KMIP. Hubungan lebih ditingkatkan frekuensinya setelah DPR
menyatakan bahwa RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR RI, dan
dibentuk panitia khusus DPR. Pansus DPR RI selalu diikut sertakan
dalam pelaksanaan diskusi-diskusi dan studi banding dengan pihak-
pihak lain, Koalisi juga selalu memberikan masukan kepada DPR RI
selama pembahasan daftar inventarisasi masalah RUU KMIP.
Hubungan dengan pemerintah juga dijalin oleh Koalisi secara
intensif, terutama dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi
serta Lembaga Informasi Nasional yang memiliki program
menyusun draf RUU KMIP versi pemerintah. Koalisi berusaha untuk
memperoleh titik temu antara draf RUU KMIP versi Koalisi dengan
draf RUU KMIP versi pemerintah melalui diskusi-diskusi antara

148 Citra Indonesia di Mata Dunia


Koalisi dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi serta
Lembaga Informasi Nasional. Draf awal RUU KMIP versi
pemerintah memiliki perbedaan prinsip dengan RUU KMIP dengan
versi Koalisi mengenai otoritas pengawasan dan pembinaan
terhadap pelaksanaan Undang-Undang KMIP oleh Badan Publik,
sedangkan Koalisi berpendapat bahwa yang memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa informasi publik atau antara Badan
Publik dan peminta, melalui mediasi atau ajudikasi oleh Komisi
Informasi yang dibentuk sebagai lembaga mandiri.
e. Hubungan dengan Publik Internasional (international public
relations)
Hubungan dengan publik internasional dijalin Koalisi sejak
penyusunan draf RUU KMI seperti dengan ahli-ahli dari Thailand,
Jepang, Amerika Serikat, Swedia, Korea Selatan, dan Australia.
Hubungan dibina melalui kegiatan konsultasi tentang materi RUU
KMIP, mengundang menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi
yang diselenggarakan di Indonesia tentang kebebasan memperoleh
informasi.
Bekerjasama menerbitkan buku menyangkut kebebasan
informasi, sebagai bahan sosialisasi, seperti telah ditunjukkan di
muka. Seminar internasional di Jakarta dengan mendatangkan para
ahli dari luar negeri seperti dari Swedia, Amerika Serikat, Thailand,
Jepang, Korea Selatan, India, dilaksanakan oleh Koalisi sebanyak tiga
kali. Loka karya/diskusi bekerja sama dengan lembaga/Ornop
internasional di Jakarta, serta menghadiri seminar internasional di
negara lain.
Seminar internasional pertama, dilaksanakan tanggal 17
Oktober 2000 di Jakarta menghadirkan ahli politik dan ahli hukum
Indonesia dari Amerika Serikat. Seminar internasional kedua
dilaksanakan pada tanggal 22 April 2002 yang dilaksanakan di
Jakarta, dibuka oleh Presiden Megawatisukarnoputri. Seminar
didukung Tifa Foundation, UNDP, Asia Foundation, dan Article 19.
Seminar ketiga dilaksanakan pada bulan Maret 2003 mengundang
ahli dari India dan Thailand yang dilaksanakan di Jakarta. Diskusi
pada tanggal 13 Mei 2005 di Jakarta dengan mendatangkan Asisten
Direktur Informasi British Council.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 149
Loka karya internasional tanggal 8 juni 2006 di Jakarta
didukung oleh UNESCO, World Bank Institute, dan National Democratic
Institute. Koalisi mengikuti juga seminar yang dilaksanakan oleh
lembaga lain seperti: seminar di Kuala Lumpur pada tanggal 21
Oktober 2000, di Karachi, 27-28 Februari 2002.

3.2.3. Faktor Penunjang


Upaya Koalisi memperjuangkan lahirnya UU KMIP mendapat
dukungan dari NGO dan lembaga-lembaga internasional. Jaringan kerja
sama dengan organisasi-organisasi internasional seperti UNESCO,
USAID, UNDP, World Bank Institute, Article 19, British Council, Friedrich
Ebert Stiftung, Asia Foundation, National Democratic Institute, telah
terbentuk dan telah mendorong serta memberikan bantuan finansial
bagi Koalisi untuk memperjuangkan adanya Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi di Indonesia melalui berbagai
kegiatan seperti melakukan pengkajian, seminar, loka karya, diskusi,
penyusunan buku-buku bahan kampanye, studi banding, dan lain-lain.
Sejumlah lembaga keuangan internasional, seperti Asian
Development Bank (ADB), Inter-American Development Bank, International
Monetery Fund (IMF), International Bank for Reconstuction and Development
(IBRD), berdasarkan survey yang dilakukan freedominfo.org Januari
2003 telah mengkaji kebijakan informasi mereka untuk membuka lebih
banyak lagi informasi kepada publik. Kebijakan ini telah menimbulkan
suasana kondusif di kalangan Koalisi untuk lebih intensif memper-
juangkan diundangkannya kebebasan memperoleh informasi.
Faktor yang menunjang yang sangat menonjol bagi Koalisi dalam
mengusahakan agar RUU KMIP segera dibahas oleh DPR RI dan
pemerintah adalah setelah DPR RI periode 1999-2004 menerima RUU
KMIP yang diusulkan Badan Legislasi DPR yang berawal dari draf RUU
KMIP versi Koalisi sebagai RUU usul inisiatif DPR RI. Kemudian DPR RI
membentuk Panitia Khusus atau Pansus untuk RUU KMIP pada tanggal
18 Februari 2003, dan draf RUU KMIP usul inisiatif DPR RI diajukan
kepada pemerintah untuk dibahas bersama. Pemerintah juga memiliki
draf RUU KMIP versi pemerintah. Namun, pembahasan RUU KMIP
dalam DPR periode 1999-2004 sampai akhir masa jabatannya, mandeg.

150 Citra Indonesia di Mata Dunia


Koalisi secara berkelanjutan mengadakan lobi-lobi dengan DPR
RI periode 2004-2009. Kemudian DPR RI periode 2004-2009 juga
menjadikan RUU KMIP sebagai usul inisiatif DPR RI sebagaimana sikap
DPR RI periode 1999-2004. Pembahasan RUU KMIP oleh DPR RI
bersama pemerintah dimulai dengan disampaikannya pemandangan
umum pemerintah terhadap rancangan undang-undang tentang
kebebasan memperoleh informasi publik pada tanggal 7 Maret 2006.
Selanjutnya ditentukan jadwal pembahasan daftar inventaris masalah
(DIM) atas dasar kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR.

4.2.4. Faktor Penghambat


Di samping faktor yang menunjang, Koalisi juga menghadapi
beberapa hambatan dalam turut memperjuangkan lahirnya Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Hambatan yang
serius menurut Koalisi, karena adanya draf tentang RUU Rahasia
Negara, dan RUU Intelijen yang diajukan pemerintah dan diusulkan
oleh pemerintah untuk dibahas secara terintegrasi dengan RUU KMIP.
Penggabungan pembahasan RUU yang saling berbeda paradigma
dianggap Koalisi seperti 'mencampur minyak dengan air'. Koalisi
berpendapat bahwa materi RUU Rahasia Negara dapat disatukan di
dalam RUU KMIP karena keduanya mengatur ranah informasi publik.87
Hambatan pembahasan dapat dilalui karena pembahasan RUU KMIP
tidak disatukan dengan RUU Rahasia Negara.
Hambatan lain adalah sikap masyarakat yang masih permisif
karena belum sadar akan hak-haknya untuk memperoleh pelayanan yang
prima, baik oleh Badan Publik maupun oleh badan swasta. Penyebab
utama menurut Koalisi karena masyarakat tidak memperoleh informasi
yang memadai akan hak-haknya. Seandainya masyarakat mengetahui,
mereka tidak mengerti bagaimana cara memperoleh haknya.
Berdasarkan pengamatan Koalisi selama tahun 2003-2004
ditemukan beberapa masalah yang menjadi hambatan sekaligus
menjadi tantangan bagi advokasi RUU KMIP, antara lain:

87
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Tahunan 2003. Hasil wawancara dengan Josi Khatarina 17/7/2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 151
Pertama, gagasan-gagasan tentang kebebasan informasi belum
dikenal luas masyarakat. Masyarakat yang menjadi korban ketertutupan
informasi, banyak yang belum memahami kebebasan informasi,
maksud dari transparansi pemerintahan, dan urgensi UU KMIP. Di
kalangan media massa juga, pemahaman tentang pentingnya kebebasan
pers belum sejalan dengan pemahaman tentang pentingnya kebebasan
informasi. Banyak wartawan yang belum memahami hubungan antara
kebebasan pers dan kebebasan informasi. Bagaimana meletakkan UU
KMIP dalam kerangka perwujudan pers yang bebas dan independen.
Demikian pula pemahaman dari beberapa kalangan LSM.
Kedua, ketidakpahaman terjadi juga pada pejabat-pejabat publik
yang sekaligus berfungsi sebagai abdi masyarakat. Sinyalemen Koalisi,
selama ini pejabat publik selalu menempatkan diri sebagai pemilik
informasi sehingga beranggapan masyarakat tidak perlu tahu urusan
penyelenggaraan negara. Pejabat publik merasa tidak perlu memberikan
informasi kepada masyarakat karena informasi itu milik pejabat publik
dan bukan milik masyarakat. Di lain pihak, masyarakat pun masih
banyak beranggapan bahwa informasi publik itu milik pemerintah
sehingga wajar kalau masyarakat tidak boleh meminta informasi.
Berdasarkan pengamatan Koalisi, ada beberapa penyebab
terjadinya kondisi di atas, yaitu: (a) telah banyak peraturan perundang-
undangan yang menjamin akses informasi sehingga yang dibutuhkan
hanyalah good-will dari penyelenggara negara saja untuk memberikan
informasi tersebut, (b) sebagian pihak menganggap bahwa informasi
sudah terjamin dengan baik, (c) sebagian masyarakat tidak tahu bahwa
informasi yang berada di suatu Badan Publik merupakan hak mereka
dan hak ini seharusnya mendapat jaminan untuk dilaksanakan.
Ketiga, tidak mudah meyakinkan masyarakat luas bahwa
paradigma pengelolaan negara telah berganti. Rezim ketertutupan dan
kerahasiaan negara telah menyebabkan tumpulnya kesadaran masyarakat
terhadap haknya untuk mengetahui seluruh informasi di Badan Publik.
Keempat, banyak pejabat publik menurut sinyalemen Koalisi
yang merasa terancam oleh keberadaan UU KMIP. Para pejabat publik
yang merasa terlibat dalam berbagai kasus merasa diuntungkan dari
struktur pemerintahan yang tertutup, feodal dan sarat KKN. Pejabat

152 Citra Indonesia di Mata Dunia


publik yang demikian masih menduduki posisi-posisi penting dalam
struktur pemerintahan. Sangat masuk akal menurut Koalisi apabila
pejabat publik tersebut lebih mendukung RUU Rahasia Negara
daripada RUU KMIP untuk dijadikan undang-undang.
Kelima, banyak RUU yang harus dibahas dan diselesaikan oleh
DPR sehingga memerlukan waktu yang panjang untuk membahasnya.88
Hambatan lain menurut Santosa, (Koalisi, 2003: xxii-xxv). adalah
adanya persepsi yang keliru terhadap keterbukaan, termasuk
keterbukaan informasi dan keterbukaan dalam proses pengambilan
keputusan. Persepsi-persepsi yang keliru itu antara lain:
Bahwa keterbukaan mendorong akulturasi negatif yang
merugikan masyarakat luas. Persepsi ini berasal dari pihak yang
senantiasa mengaitkan dengan akses informasi yang sangat deras dari
luar. Padahal UU KMIP dimaksudkan untuk membuka akses informasi
sebagai bagian dari akuntabilitas publik dan kontrol masyarakat.
Bahwa keterbukaan mengancam kedaulatan negara dan bangsa,
yang didasarkan kepada suatu pemahaman bahwa UU KMIP tidak
mengenal pengecualian dan kerahasiaan. Padahal RUU KMIP dengan
sangat tegas mengatur pengecualian apabila informasi tertentu dibuka
dan dapat menimbulkan konsekwensi-konsekwensi seperti
menghambat atau mengganggu proses penegakan hukum, merugikan
kepentingan pertahanan dan keamanan nasional, menghambat atau
mengganggu proses penegakan hukum.
Bahwa keterbukaan menyuburkan suasana ketidakamanan.
Keterbukaan dikhawatirkan dan telah dituduh menyuburkan konflik-
konflik horizontal dan vertikal yang bersifat kekerasan sehingga
mengganggu stabilitas keamanan dan sosial Indonesia. Padahal
keterbukaan yang dimaksud oleh konsep pemerintahan terbuka,
termasuk undang-undang KMIP, adalah keterbukaan dalam mengelola
sumber daya publik, agar sumber daya tersebut dapat dikelola dengan
efisien dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan
untuk kepentingan segelintir orang.

88
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Narasi Pertengahan Program November 2003-Januari 2004.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 153
Salah satu sumber konflik kekerasan adalah kesenjangan sosial
dan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya alam. Manajemen
pemerintahan yang tertutup seperti yang dijalankan Orde Baru
mengakibatkan masyarakat menjadi penonton atau obyek dari
pembangunan yang tidak mempunyai pengaruh sedikitpun terhadap
penentuan nasib dan hajat hidup masyarakat.
Bahwa keterbukaan menghambat penegakan hukum, adalah
persepsi dari pihak yang belum memahami konsep pemerintahan
terbuka dan belum membaca secara utuh RUU KMIP versi Koalisi. DPR
RI maupun pemerintah yang telah memberikan pengaturan tentang
perlindungan upaya penegakan hukum yang sedang berjalan sebagai
bagian dari pengecualian informasi yang dapat diakses.
Persepsi-persepsi yang keliru seringkali muncul dalam berbagai
upaya konsultasi publik yang menghadirkan aparatur pemerintah di
berbagai daerah. Penyebabnya adalah ketidaktahuan, dominasi
paradigma pemerintahan tertutup yang sulit dihilangkan dari sebagian
birokrat atau upaya dari pihak yang menggalang kekuatan untuk
menumbuhkan kekuatan pro status quo. Demikian pula kampanye
bahwa kebebasan informasi adalah konsep barat yang tidak relevan
dengan kultur bangsa Indonesia.
Di samping persepsi-persepsi yang keliru menurut Santosa,
terdapat ancaman lain terhadap pengaktualisasian pemerintahan
terbuka yaitu upaya gigih Departemen Pertahanan RI mengundangkan
undang-undang rahasia negara. Pertentangan dengan RUU KMIP adalah
bahwa dalam RUU Rahasia Negara pemberlakuan kerahasiaan tidak
didasarkan kepada uji konsekuensi dan keseimbangan kepentingan
publik, sehingga secara diametral bertentangan dengan RUU KMIP versi
pemerintah, DPR RI dan versi Koalisi (Koalisi, 2003: xxii-xxv).
Hambatan lain menurut Hanif, Koordinator Bidang Umum
Koalisi, adalah sikap pemerintah yang mengalami proses perkembangan
yang berbeda-beda. Semula, pemerintah menolak undang-undang KMIP
karena aspek keamanan nasional. Kemudian, dalam perkembangannya
sikap pemerintah berubah dengan alasan birokrasi yang tidak atau
belum siap. Bukan alasan keamanan. Pemerintah seperti belum mau
melepas kebebasan informasi. Alasan lain yang dikemukakan

154 Citra Indonesia di Mata Dunia


pemerintah bahwa pemerintah akan mengalami kesulitan karena
pendokumentasian informasi di birokrasi belum baik, dan khawatir
aparat akan sibuk mengurus permintaan informasi ketimbang pekerjaan
intinya.
Kebebasan informasi seharusnya menjadi perspektif untuk segala
hal yang terkait. Bagaimana masyarakat dan bangsa lain melihat
kepastian hukum di Indonesia, dapat dilihat dari kebebasan mengakses
informasi, karena kebebasan mengakses informasi mempunyai peranan
cukup besar untuk mendapatkan kepastian hukum. Hukum di
Indonesia kadang-kadang disembunyikan, sehingga bagi pihak-pihak
tertentu terbuka peluang untuk mengambil keuntungan. Di samping itu,
disinyalir banyak pihak yang takut terhadap isu transparansi, seolah-
olah kalau segala sesuatu menjadi transparan mereka akan rugi. Padahal
yang terjadi justru sebaliknya. Misalnya pernah dalam suatu diskusi,
Koalisi menghadirkan Bupati Lebak. Dalam presentasinya tentang Perda
Kebebasan Memperoleh Informasi di Kabupaten Lebak, dinyatakan
bahwa melalui Perda Kebebasan Memperoleh Informasi justru telah
meningkatkan partisipasi masyarakat.
Karena APBD Kabupaten Lebak untuk membiayai suatu proyek
terbatas, dan diketahui oleh rakyat, maka rakyat dengan sukarela
bergotong royong membantu penyelesaian proyek tersebut. Dalam
dunia intelejen sekalipun, di banyak negara sudah mengembangkan
open source information. Masalahnya bukan bagaimana mencari informasi
secara sembunyi-sembunyi, tetapi bagaimana menyediakan sebanyak-
banyaknya informasi untuk kemudian dipilih informasi yang tepat,
pada waktu yang tepat guna kepentingan pengambilan keputusan.89
Menyinggung sikap pasif masyarakat terhadap haknya untuk
mendapatkan akses terhadap informasi, terdapat hubungan
permasalahan atau keterkaitan antara akar kultural dengan problem
struktural dalam memahami kepasifan masyarakat selama ini. Di zaman
Orde Baru, masyarakat tidak pernah diberi kesempatan menjadi subjek.
Rakyat selalu menjadi objek. Pemerintah tidak pernah memberikan
akses kepada masyarakat untuk mengetahui segala sesuatu yang
dilaksanakan pemerintah, sehingga masyarakat pun menjadi pasif.

89
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. 19 Januari 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 155
Apabila Indonesia saat ini masih dikenal sebagai negara korup,
negara yang hutannya rusak, terkenal dengan pelanggaran HAM,
mengapa hal-hal tersebut belum dapat diselesaikan, pendapat
Koordinator Bidang Umum Koalisi dalam hal ini mengaskan karena
Indonesia masih menganut prinsip ketertutupan. Untuk membuka
ketertutupan, langkah pertama harus mempunyai undang-undang yang
menganut prinsip-prinsip keterbukaan. Sebagaimana pemberantasan
korupsi, apabila korupsi dapat diatasi di sektor hulu, mengapa harus
menunggu di sektor hilir.90
Menanggapi statement Menteri Komunikasi dan Informatika
dalam beberapa kesempatan bahwa kelihatannya pemerintah akan
kesulitan melaksanakan Undang-undang Kebebasan Memperoleh
Informasi, karena dokumentasi informasi di lingkungan birokrasi belum
tersedia dengan baik, dan khawatir aparatnya hanya sibuk mengurusi
informasi ketimbang pekerjaan intinya, Sulistyo, Koordinator Bidang
Jaringan Koalisi merasa tertantang untuk dibuktikan tidak demikian
halnya. Berdasarkan hasil pengamatannya di beberapa daerah yang
baru mulai melaksanakan Perda transparansi, tidak pernah terjadi
pertengkaran. Pihak yang meminta informasi menyadari bahwa
informasi belum lengkap karena Perda transparansi masih baru, dan
pihak yang memberikan informasi tidak pernah merasa harus menutup-
nutupi karena sudah menjadi kewajibannya.91
Hambatan yang dikemukakan Koordinator Bidang Lobi, Agus
Sudibyo, adalah sikap pemerintah yang kurang responsif untuk
melahirkan undang-undang kebebasan informasi. Menyikapi RUU
kebebasan informasi ini, pemerintah itu menunggu saja. Sikap
pemerintah itu kalau tidak pasif, ya konfrontatif. Contoh draf RUU
KMIP Juli 2004 sudah dikirim ke Presiden sampai Oktober 2004 belum
ada tanggapan sama sekali. Saya justru heran, kalau Menteri Kominfo
menyatakan bahwa kebebasan informasi ini akan menambah beban
demokrasi, beban birokrasi, belum siap. Itu kampanye negatif terhadap
upaya memperjuangkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi di
Indonesia.92

90
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. 27 Januari 2006.
91
Wawancara dengan Koordinator bidang Jaringan Koalisi. 28 Februari 2006.
92
Wawancara dengan Koordinator Bidang Loby Koalisi. 13 Februari 2006.

156 Citra Indonesia di Mata Dunia


3.2.5. Hasil-Hasil yang Telah Dicapai Koalisi
Gagasan Koalisi dalam memperjuangkan Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik mendapatkan apresiasi
melalui Ketetapan MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Di dalam poin 6 pasal 2 disebutkan arah kebijakan untuk:
Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya
untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan
pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya
meliputi d. Kebebasan Mendapatkan Informasi; 93

Sebelum Ketetapan MPR No.VIII tahun 2001, Undang-undang


nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun
2000-2004, mencantumkan Sasaran Program Pengembangan
Informasi, Komunikasi dan Media Massa yaitu terwujudnya
kesadaran dan kedewasaan berpolitik masyarakat melalui pertukaran
arus informasi yang bebas dan transparan, serta adanya mekanisme
kontrol politik yang lebih terbuka. Kegiatan pokok yang dilakukan
antara lain membentuk dan menyempurnakan perangkat peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan komunikasi, informasi,
dan media massa (Sekretariat Negara RI, 2000). Di samping itu dampak
positif dari upaya Koalisi dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan
anggota Koalisi sebagaimana dikemukakan Santosa sebagai berikut:
Advokasi yang dilakukan secara intensif sejak tahun 2000 oleh
Koalisi, baik Koalisi secara kelembagaan maupun anggota
Koalisi secara individual, bersama-sama dengan anggota-
anggota DPR RI, Lembaga Informasi Nasional (LIN) dan
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), telah
muncul berbagai dampak positif Yang terutama, adalah imbas
advokasi pemerintahan terbuka ke daerah-daerah. Kota
Gorontalo, Sulawesi Utara pada tanggal 13 Maret 2002 telah
memberlakukan Peraturan Daerah (PERDA) nomor 03 tahun
2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota

93
Sekretariat Jenderal MPR RI 2001. Putusan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. hlm 61-62

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 157
Gorontalo Prakarsa Pemda Gorontalo dengan fasilitas
Breakthrough urban Initiatives for Local Development (BUILD)-
UNDP, diikuti oleh pemda-pemda lainnya seperti Pemda Kota
Kendari Kota ProbolinggoKota Sukabumi Kota Mataram.
Asosiasi-asosiasi Pemerintah Daerah yang tergabung dalam
APEKSI, APKASI, ADKASI yang didukung oleh Depdagri,
UNDP dan United Nations Centre for Human Settlements
HABITAT, juga telah mengkampanyekan Model Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pelibatan Masyarakat dalam Perumusan
dan Penetapan Kebijakan Publik.
Di berbagai daerah seperti Banda Aceh, Cirebon, Den Pasar,
Lombok Barat, Flores Timur, Maluku Utara, Samarinda, dan
Kendari, telah terjadi dinamika yang positif, dimana kelompok-
kelompok civil society bersama-sama unsur pemerintah dan
DPRD telah mengidentifikasi kebutuhan tentang pengembangan
kapasitas bagi pengaktualisasian akses informasi, termasuk
meningkatkan kapasitas access's demand, dan kapasitas
partisipasi dalam penyusunan kebijakan publik, (Koalisi, 2003 :
xxvi-xxvii).

Draf RUU KMIP versi Koalisi telah dijadikan bahan masukan


bagi DPR RI, khususnya bagi Badan Legislasi DPR RI periode 1999-
2004. Setelah dilakukan penyempurnaan oleh DPR RI kemudian
dijadikan draf RUU KMIP usul inisiatif DPR RI periode 1999-2004.
Selanjutnya oleh DPR RI periode 2004-2009 draf RUU KMIP kembali
dijadikan usul inisiatif DPR RI periode 2004-2009.
Koalisi telah turut memberikan andil dalam mendorong
beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia, melahirkan beberapa
peraturan daerah (Perda) tentang transparansi, kebebasan
informasi dan partisipasi publik, yang sejalan dengan semangat
kebebasan memperoleh informasi publik, seperti di Kab. Lebak,
Kab. Solok, Kab. Bandung, Kab. Gowa, Kab. Magelang, Kab.
Takalar, Kab. Bulukumba, Kab. Boalemo, Kab Bolaan
Mongondow, Kab. Kebumen, Kota Kendari, Kota Gorontalo,
Propinsi Kalimantan Barat.

158 Citra Indonesia di Mata Dunia


Tabel 3.7.
Kabupaten/Kota/Propinsi yang telah Memiliki Perda
tentang Transparansi dan Partisipasi
NO NAMA DAERAH PERDA NOMOR/TGL. TENTANG
1. Kabupaten Solok 5 tahun 2004, Transparansi Penyelenggaran
tanggal 29 April 2004 Pemerintahan dan Partisipasi
Masyarakat.
2. Kabupaten Lebak 10 tahun 2004, Transparansi dan Partisipasi
tanggal 1 Juni 2004 dalam Penyelenggaran
Pemerintahan dan
Pengelolaan Pembangunan
di Kabupaten Lebak.
3. Kabupaten Bandung 06 tahun 2004, Transparansi dan Partisipasi
tanggal 20 Agustus 2004 dalam Penyelenggaran
Pemerintahan di Kabupaten
Bandung.
4. Kabupaten 10 tahun 2004, Mekanisme Konsultasi Publik.
Magelang tanggal 15 Maret 2004
5. Kabupaten 02 tahun 2005, Transparansi dan Partisipasi.
Tanah Datar tanggal 3 Juni 2005
6. Kabupaten 53 tahun 2004, Partisipasi Masyarakat dalam
Kebumen tanggal 28 Juni 2004 Proses Kebijakan Publik.
7. Kabupaten 07 tahun 2005, Transparansi dalam
Lamongan tanggal 1 Agustus 2005 Penyelenggaran
Pemerintahan dan Partispasi
Masyarakat di Kabupaten
Lamongan.
8. Kabupaten Boalemo 06 tahun 2004, Transparansi Pelayanan
tanggal 24 Agustus 2004 Publik dalam Penyelenggaran
Pemerintahan di Kabupaten
Boalemo.
07 tahun 2004, Partisipasi masyarakat dalam
tanggal 24 Agustus 2004 penyelenggaran
pembangunan dan proses
kebijakan publik.
9. Kabupaten Bolaang 04 tahun 2005, Partisipasi masyarakat dalam
Mongondo tanggal 14 April 2005 proses pengambilan
kebijakan publik.
05 tahun 2005, Transparansi Penyelenggaran
tanggal 14 April 2005 Pemerintahan Daerah.
10. Kabupaten Takalar 02 tahun 2005, Transparansi Penyelenggaran
tanggal 19 Agustus 2005 Pemerintahan dan Partisipasi
Masyarakat dalam
pembangunan di Kabupaten
Takalar.
11. Kota Gorontalo 03 tahun 2002, Transparansi Penyelenggaran
tanggal 13 Maret 2002 Pemerintahan Kota
Gorontalo.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 159
NO NAMA DAERAH PERDA NOMOR/TGL. TENTANG
12. Kota Kendari 14 tahun 2003, Kebebasan memperoleh
tanggal 19 Mei 2003 informasi.
13. Propinsi 04 tahun 2005, Transparansi Penyelenggaran
Kalimantan Barat tanggal 13 Juni 2005 Pemerintahan Propinsi
Kalimantan Barat.
Sumber : Koalisi, Google Perda Online, 2006.

Dampak positif peraturan daerah tentang transparansi ini, antara


lain, Bupati Kabupaten Solok, Gamawan Fawzi, pada tahun 2004, telah
menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA).
Gamawan ditetapkan sebagai penerima BHACA karena sikap sederhana,
berani menolak kenaikan dana taktis untuk mencegah preseden di
DPRD, ada indikasi korupsi. Menindak staf yang korupsi, konsisten
melaksanakan clean governance, memangkas jalur birokrasi dengan
melalui satu pintu dan transparan, serta menerapkan kesepakatan tidak
memberi dan menerima sesuatu, serta aktif mengkampanyekan good
governance dan pelayanan publik. (Haryanto, 2003: 48-49).
Di Kota Gorontalo, seseorang yang tidak membuka informasi
padahal yang bersangkutan memegang informasi publik, diancam
pidana kurungan 3-6 bulan dan denda Rp. 50 juta sampai Rp. 100 juta.
Perda yang berkaitan dengan transparansi, diharapkan masyarakat
dapat meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada
badan-badan Publik, dan transparansi membuat semua kalangan dapat
mengontrol penggunaan dana publik dengan lebih bertanggung jawab.94
Koalisi untuk Kebebasan Informasi telah memperoleh
dukungan dan kerja sama dengan NGO dan lembaga-lembaga
international yang mendorong Koalisi untuk menyukseskan
lahirnya UU KMIP. Dukungan diperoleh antara lain dari
UNESCO, UNDP, USAID, Worldbank Institute, National Democratic
Institute, Article 19, Asia Foundation, SEAPA, Friedrich Ebert Stiftung,
British Council.

Upaya-upaya Koalisi mendorong lahirnya UU KMIP, telah


menarik simpati NGOs dan Lembaga Internasional. Bentuk simpati

94
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Tahunan 2003. hlm. 5. SKHU Fajar : Melalui: <http:// www.fajar.co.id>
[2 Mei 2005]

160 Citra Indonesia di Mata Dunia


selain berupa bantuan dana, juga berupa pemikiran dan konsep-konsep
yang menyangkut kebebasan informasi. Kemudian, melalui kegiatan
kampanye dan lobi seperti melakukan pelatihan-pelatihan kepada
masyarakat luas, penyebaran buku yang dibuat Koalisi, sosialisasi
melalui media cetak dan elektronik, berdasarkan hasil evaluasi Koalisi,
telah memberikan pemahaman kepada banyak pihak mengenai
perlunya kebebasan memperoleh informasi sebagai salah satu syarat
untuk mewujudkan partisipasi publik dan pemerintahan yang baik
(good governance). Secara sendiri-sendiri, anggota Koalisi juga telah
menyumbangkan hasil kegiatan yang berhubungan dengan upaya
mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) seperti
penilaian tentang indeks persepsi korupsi yang dilaksanakan setiap
tahun oleh Transparancy International Indonesia.95
UNESCO sebagai suatu organisasi di dalam lingkup Perserikatan
Bangsa Bangsa memberikan apresiasi terhadap kegiatan Koalisi.
Apresiasi direalisasikan dalam bentuk kerjasama dengan Koalisi
melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka kampanye kebebasan
informasi, seperti menyelenggarakan seminar atau diskusi-diskusi yang
membahas tentang pentingnya kebebasan informasi bagi demokrasi,
atau membahas peluang dan tantangan dalam pembahasan RUU
Kebebasan Memperoleh Informasi. Di samping itu bersama Koalisi
menerbitkan buku sebagai bahan kampanye, seperti buku yang berjudul
Apa Itu Kebebasan Memperoleh Informasi?. Kemudian buku yang
berjudul Kebebasan Memperoleh Informasi, sebuah survei
perbandingan hukum.
Perhatian UNESCO terhadap isu kebebasan informasi menurut
Gunawan, bersesuaian dengan mandat yang diberikan PBB kepada
UNESCO di bidang komunikasi dan informasi dengan fokus perhatian
kepada dua hal utama yaitu pertama; menjamin adanya arus kebebasan
informasi termasuk di dalamnya kebebasan berekspresi, kebebasan
pers, dan kebebasan informasi itu sendiri. Kedua; memperluas akses
publik terhadap informasi, karena sekalipun telah ada kebebasan
memperoleh informasi tetapi kalau akses publik terhadap informasi
tidak diperluas, maka kebebasan informasi akan menjadi sia-sia.

95
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. tanggal 19 Januari 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 161
Bidang Komunikasi merupakan salah satu bidang utama
kegiatan UNESCO sejak dimandatkan General Conference of UNESCO
tahun 1990, selain tiga bidang utama lainnya yaitu pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan. Mandat untuk menjamin adanya arus
kebebasan informasi, di samping memperluas akses publik terhadap
informasi, menurut Gunawan, sejalan dengan mandat dari pemerintah
Republik Indonesia di era reformasi yang menjamin hak masyarakat
terhadap informasi.
Setelah Indonesia memasuki era reformasi, merupakan saat yang
tepat bagi UNESCO untuk memberikan dukungan terhadap upaya-
upaya untuk menjamin adanya arus kebebasan memperoleh informasi,
karena UNESCO berprinsip bahwa kebebasan informasi merupakan
suatu komponen yang sangat esensial bagi perkembangan masyarakat
terutama di negara-negara yang bersepakat secara bulat untuk
menjadikan proses pengambilan keputusan berlandaskan demokrasi.
Pengertian kebebasan yang dimaksud UNESCO, dijelaskan Gunawan,
sebagaimana dikemukakan Direktur UNESCO, bukan kebebasan yang
mutlak berdasarkan kebebasan itu sendiri, tetapi kebebasan yang
berada dalam koridor yang jelas yaitu koridor hukum dan etika.
UNESCO dalam perumusan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menyangkut kebebasan arus informasi telah banyak
terlibat aktif dalam proses penyusunan Rancangan Undang-undang
tentang Pers, yang kemudian terbit Undang-undang nomor 40 tahun
1999 tentang Pers. Demikian pula terhadap proses penyusunan
Rancangan Undang-undang penyiaran sekalipun kontribusinya tidak
sebesar kontribusi terhadap RUU tentang Pers.
Terhadap proses penyusunan Rancangan Undang-undang
tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) oleh
Koalisi, menurut Gunawan, Kepala Unit Komunikasi UNESCO Jakarta,
UNESCO sangat appresiatif. Sekalipun Indonesia telah memiliki
Undang-undang Pers, menurut UNESCO, Undang-undang KMIP
cakupannya lebih luas dari Undang-Undang Pers karena mencakup
seluruh anggota masyarakat, lebih terbuka sifatnya, sehingga bukan
hanya masyarakat pers yang harus dilayani dalam permintaan
informasi, tetapi juga masyarakat pada umumnya.

162 Citra Indonesia di Mata Dunia


Undang-Undang KMIP merupakan salah satu komponen
penting untuk berlangsungnya transparansi dan akuntabilitas
pemerintahan. Karena dengan Undang-Undang KMIP, setiap lembaga,
individu yang terkait dengan kepentingan publik, dan mempunyai
kewenangan untuk menentukan kebijakan publik, memiliki kewajiban
untuk mengungkapkan mulai dari gagasan awal sampai proses
terjadinya kebijakan. Kemudian pelaksanaannya, harus dibuka kepada
publik, dan berarti transparan sekali. Kebebasan informasi menjadikan
pemerintahan terbuka, dan akan menjalankan pemerintahan dengan
baik. Dinyatakan Gunawan:
Kebebasan informasi menjadi sesuatu yang esensial yang harus
dimiliki bangsa Indonesia, karena hanya dengan itulah publik
mendapat sesuatu yang diperlukan untuk memberdayakan
dirinya, bahkan untuk hal-hal yang sangat elementer, yang sangat
mendasar yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari
seperti: informasi pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM); Kartu
Tanda Penduduk (KTP); Paspor; kemana publik harus mencari
informasi. Dalam situasi seperti sekarang tidak ada perangkat
hukum yang mengharuskan atau otoritas pihak yang berwenang
membuka saluran informasi publik. Publik kadang-kadang
tersesat untuk mencari tahu.

Menurut Gunawan, pemerintahan yang telah melaksanakan


prinsip-prinsip transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas yang
merupakan prinsip-prinsip dari tatanan pemerintahan yang baik atau
good governance, sudah pasti akan memiliki pencitraan yang baik, baik
dari masyarakat dalam negeri, maupun dari bangsa lain. Posisi
Indonesia di tahun 2005 sebagai negara terkorup ke 6 di dunia
berdampak luar biasa terhadap pencitraan Indonesia. Masyarakat dunia
mengetahui hasil survey dari lembaga yang kompeten bahwa daya saing
ekonomi Indonesia lemah. Banyak ketentuan peraturan yang tidak jelas
dan tidak transparan. Sementara murahnya tenaga kerja tidak bisa lagi
menyaingi Vietnam, dan China. Berapa banyak investor asing yang
semula menanamkan modal di Indonesia kemudian merelokasi ke
negara lain. Persoalan citra, mungkin orang atau bangsa lain tidak
melihat langsung keadaan Indonesia, tetapi berdasarkan informasi atau
pemberitaan melalui media.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 163
Dikemukakan lebih lanjut oleh Gunawan bahwa hubungan antara
kegiatan Koalisi dengan memperjuangkan diundangkannya Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dengan kegiatan
diplomasi publik, UU KMIP merupakan salah satu perangkat penting
untuk diplomasi, tetapi bukan satu-satunya. Terdapat hal lain yaitu aspek
kepastian hukum, kejelasan peraturan, sehingga tidak ada pungutan liar,
tidak ada sulapan untuk menanamkan investasi, demikian pula aspek
keamanan, seperti tindakan kekerasan domestik, konflik antar warga,
perang antar suku, sampai tindakan terorisme dengan ledakan bom.
Namun demikian perangkat hukum yang diperjuangkan Koalisi supaya
informasi benar-benar terbuka perlu didukung, dan UNESCO sudah
melakukan kegiatan bersama Koalisi, sekalipun diketahui banyak
hambatan dihadapi Koalisi, khususnya hambatan yang sifatnya politis
seperti isu mem-prioritaskan pembahasan RUU Rahasia Negara yang
agak bertolakbelakang dengan RUU KMIP.96
Article 19 sebagai sebuah LSM Internasional terkemuka di bidang
Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di London mengapresiasi
kegiatan Koalisi. Sebagaimana dikemukakan Widiastuti, Asia programm
Officer Article 19, Article 19 mendorong Koalisi untuk Kebebasan
Informasi dalam turut menunjang Indonesia mewujudkan good
governance, antara lain melalui upaya mendorong lahirnya Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Sekalipun belum
banyak yang dilakukan oleh Article 19 seperti yang direncanakan
sehubungan dengan keterbatasan tenaga dan biaya, tetapi sejak awal
Article 19 telah memberikan konsultasi segi legal untuk drafting maupun
dari segi kampanye. Bentuk kegiatannya adalah International Workshop
Freedom Of Information (FOI) pada bulan Maret 2003; Comment legal
analysis dan Konsultasi terhadap draf FOI Law yang disiapkan teman-
teman Koalisi dan DPR; Mengundang perwakilan Koalisi untuk datang
dan berbicara di negara-negara ASEAN yang sedang mempersiapkan
FOI Law; Mengangkat masalah akses informasi di Indonesia di forum-
forum regional/internasional dan melalui statement Aticle 19; Tulisan
mengenai kondisi FOI di Indonesia dalam baseline study tentang FOI dan
media di Indonesia.

96
Wawancara dengan Head of Communication Unit UNESCO Office Jakarta. Tanggal 3 Agustus 2006.

164 Citra Indonesia di Mata Dunia


Pendapat Article 19 terhadap kegiatan Koalisi, apakah dapat
dikategorikan sebagai suatu kegiatan diplomasi publik, dan dapat
membangun citra positif bagi Indonesia, dinyatakan Widiastuti bahwa,
Kegiatan Koalisi memang kegiatan diplomasi publik oleh aktor
nonnegara. Semestinya dijalankan untuk banyak isu lain seperti
pendidikan. Kegiatan Koalisi tentu membawa citra positif bagi
Indonesia. Tetapi ini akan tergantung bagaimana pemerintah
Indonesia menyikapi aktivitas publik seperti ini. Ini adalah
wujud partisipasi warga negara yang seharusnya didorong.97

Toby Mendel, Direktur Program Hukum Article 19, Global Campaign


for Free Expression, tanggal 15 Februari 2001 melakukan wawancara
dengan anggota Koalisi melalui Radio UNESCO sehubungan rencana
Koalisi menyusun undang-undang tentang kebebasan memperoleh
informasi. Menjawab pertanyaan pewawancara yaitu Ignatius Haryanto
dari Koalisi, mengapa Article 19 concern terhadap Undang-undang
Kebebasan Memperoleh Informasi, dikemukakan Mendel bahwa
mendorong kebebasan informasi sebagai bagian dari jaminan kebebasan
berekspresi sebagai satu bagian sangat penting dari mandat Article 19.
Standar dalam kebebasan informasi yang diperkenalkan oleh Article 19
berdasarkan hukum internasional dan perbandingan dari beberapa
negara. Kebebasan memperoleh informasi menurut Mendel sebagai satu
hal yang fundamental di dalam kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Menurut Mendel, kebebasan memperoleh informasi dijamin
dalam hukum internasional dan juga dalam pasal 28 UUD 1945 (pasal 28F
setelah amandemen) yang menjamin hak untuk mendapat dan menerima
informasi, di dalamnya termasuk hak untuk mendapat dan menerima
informasi dari otoritas publik. Otoritas publik/negara yang mengelola
informasi publik, tetapi informasi tetap milik publik. Itulah prinsip dasar
HAM dan aspek fundamental demokrasi. Apabila negara membiarkan
publik tidak mengetahui informasi yang dimilikinya, tidak memberi
informasi mengenai hal yang dikerjakan pemerintah, maka negara
tersebut tidak memiliki demokrasi. Oleh karena itu Kebebasan
Memperoleh Informasi adalah HAM yang mendasar, krusial dalam mem-
buat HAM lainnya, berfungsi dan sekaligus melindungi HAM lainnya.

97
Wawancara dengan Asia Programm Officer. Article 19. Tanggal 4 Agustus 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 165
Mendel juga memberi contoh manfaat Undang-undang Kebebasan
Memperoleh Informasi bagi anggota masyarakat dengan kasus kebijakan
pemerintah India memberikan kredit pupuk bagi petani di daerah
pinggiran. Di beberapa tempat pegawai pemerintah yang menanganinya
mengkorup sebagian dana yang disediakan. Ketika di India dikampanye-
kan pembuatan UU KMIP, beberapa Ornop lokal meminta informasi
mengenai dana tersebut kepada otoritas lokal dan mendapat informasi
bahwa pemerintah tidak memberikan semua dana kepada masyarakat.
Ornop kemudian mengekspos dan membawa masalah ini ke pengadilan.98
Surat Kabar Harian Kompas sebagai surat kabar harian terbaik
kesatu tahun 2004 dan termasuk sepuluh surat kabar harian terbaik pada
tahun 2005 hasil pengkajian dan penelitian Dewan Pers dari sisi berita dan
hard news telah memberikan apresiasi terhadap kegiatan Koalisi. Litbang
Kompas telah membuat tulisan yang berjudul Kebebasan Informasi,
Penangkal Korupsi yang belum digunakan. Dimuat di halaman lima
rubrik politik dan hukum, Kompas tanggal 25 November 2005. Di
samping membuat tabel data daerah di Indonesia yang sudah memiliki
Perda Kebebasan Memperoleh Informasi serta Undang-undang
Kebebasan Informasi dan Peringkat Korupsi beberapa negara di dunia.
Dikemukakan Litbang Kompas antara lain bahwa,
Salah satu akar masalah yang menyuburkan korupsi adalah
ketertutupan lembaga negara atas informasi yang seharusnya
menjadi hak publik. Dengan ketertutupan itu, mekanisme
pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dilakukan
secara eksklusif tanpa melibatkan kontrol dan pengawasan
masyarakat. Jaminan hukum atas hak memperoleh informasi dan
transparansi merupakan alat kontrol menekan upaya penyele-
wengan kekuasaan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.
UU KMIP diharapkan mampu mengubah budaya birokrasi yang
tertutup menjadi administrasi publik yang lebih terbuka dan
transparan. Hasil survei Transparansi Internasional (TI) 2005
mencatat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun ini (2005)
2.2 poin atau meingkat sebesar 0.2 poin dibandingkan tahun 2004.
Meskipun demikian, posisi Indonesia tetap berada di peringkat
sepuluh kelompok negara terkorup. Mencermati survei TI dari
tahun ketahun, Indonesia seharusnya bisa belajar dari negara yang

98
Wawancara Koalisi dengan Direktur Program Hukum Article 19 melalui Radio UNESCO. Tanggal 15 Februari 2001.

166 Citra Indonesia di Mata Dunia


memiliki IPK tinggi. Negara yang terbukti mampu menekan
korupsi adalah mereka yang memberikan jaminan hukum kepada
masyarakatnya untuk secara aktif mengontrol aktivitas negara.
Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah produk hukum yang
mengatur hak masyarakat atas informasi publik. Bahkan UUD 1945
hasil amandemen pasal 28F menyebutkan, setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Namun,
aturan dasar tersebut tidak menjelaskan secara rinci jenis informasi
yang boleh dan tidak boleh diakses. Pemerintah sendiri masih
menyimpan kegamangan. Menteri Komunikasi dan Informasi,
Sofyan Djalil dalam rapat kerja Komisi I DPR, sempat
mengutarakan kekhawatirannya jika RUU KMIP disahkan.
Undang-undang ini mengandung konsekuensi birokrasi yang
sangat kuat. Padahal menurut Koordinator Lobi Koalisi,
memperoleh Informasi, tanpa UU KMIP perilaku korupsi akan
lebih buruk dan kerugian negara dan masyarakat akan lebih besar.99

Tulisan yang dimuat di surat kabar harian Kompas diasumsikan


dapat tersebar dan dibaca oleh sejumlah pembaca secara nasional, bahkan
pembaca di luar negeri mengingat daerah sirkulasi Surat Kabar Harian
Kompas menjangkau seluruh daerah di Indonesia, dengan oplah men-
dekati 500.000 eksemplar sehingga menjadikan Kompas sebagai salah satu
surat kabar nasional terbesar di Indonesia.100 Surat Kabar Harian Kompas
memiliki semacam ATM berita di beberapa negara dan memiliki situs
internet www.kompas.com serta Kompas Cyber Media (KCM) yang dapat
diakses bukan hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga oleh pemerhati
Indonesia. Surat kabar harian Kompas sangat menghargai upaya-upaya
NGOs/LSM yang memiliki kualitas membangun kontribusi, membangun
hubungan dengan dunia luar, menggali ide-ide pihak luar untuk diterap-
kan di Indonesia serta melakukan wacana tentang isu demokratisasi,
HAM, lingkungan hidup, masalah gender, dan melakukan perbaikan
bidang hukum. Kompas juga memberi ruang sejauh gagasan itu
berdasarkan penilaian profesional bahwa baik untuk dikembangkan
karena memiliki nilai berita dan bernilai untuk masa depan.

99
Litbang Kompas. 2005. Kebebasan Informasi Penangkal Korupsi yang Belum Digunakan. Kompas 25 November
2005. hlm. 5.
100
Dewan Pers. Surat Keputusan Dewan Pers nomor 1/SK-DP/2005. tanggal 12 Januari 2005. dan nomor 11/SK-
DP/VIII/2006. tanggal 15 Agustus 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 167
Dalam mengungkap kegiatan-kegiatan Ornop/LSM yang ber-
hubungan dengan isu nasional dan internasional, menurut Rikard
Bagun, Kompas tidak memberikan framing sebagai masalah diplomasi
publik, tetapi substansinya dipenuhi. Sehubungan dengan isu
kebebasan informasi, kadangkala terjadi hal yang bersifat kontroversial
apabila menyangkut rahasia negara karena ketidakjelasan kerahasiaan
negara tersebut. Kontroversi antara rahasia negara dan kebebasan
informasi perlu pelurusan. Apabila media membicarakan pikiran dan
undang-undang untuk kepentingan masyarakat, media perlu
membukanya karena transparansi penting untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat. Sebaliknya sesuatu yang bersifat rahasia tidak
perlu sampai ke masyarakat serta apabila terjadi kebocoran, media tidak
dapat dipersalahkan.101

Tabel 3.8.
Tulisan, Liputan, Jajak Pendapat tentang Kebebasan memperoleh Informasi yang
dimuat Surat Kabar Harian Kompas Tahun 2005-2006
NO HARI/ JUDUL ISI
TANGGAL
1. Rabu, RUU Pelayanan Materi RUU mengenai Pelayanan Publik dini-
14/12/05 Publik Masih Bias lai masih bias kepentingan birokrat. Karena,
tercantum larangan bagi aparat penyeleng-
gara pelayanan publik membocorkan infor-
masi atau dokumen yang menurut peraturan
perundang-undangan wajib dirahasiakan.
2. Senin, Pembahasan RUU Belum ada jaminan bahwa RUU akan selesai
14/11/05 KMIP terancam pada tahun 2005. Kekhawatiran itu disampai-
molor kan Komisi I DPR, Tristanti Mitayani (Fraksi
PAN, Jabar X).
3. Jumat, Penangkal Korupsi Salah satu akar masalah yang menyuburkan
25/11/05 yang Belum korupsi adalah ketertutupan lembaga negara
Digunakan atas informasi yang seharusnya menjadi hak
publik. Dengan ketertutupan itu, mekanisme
pengambilan kebijakan dan pelaksanaan peme-
rintahan dilakukan secara eksklusif tanpa meli-
batkan kontrol dan pengawasan masyarakat.
4. Senin, Tarik Ulur RUU Kekhawatiran utama yang muncul terkait
2/1/06 Rahasia Negara proses penyusunan RUU Rahasia Negara itu
adalah aturan itu akan disalahgunakan.
5. Rabu, RUU Rahasia Koalisi lembaga swadaya masyarakat, jurnalis,
3/5/06 Negara Belenggu dan DPR mengkhawatirkan RUU Rahasia Ne-
Demokrasi gara akan membelenggu demokrasi, hak
publik mendapatkan informasi, serta akhirnya
dapat menyuburkan korupsi.

101
Wawancara dengan Wakil Pemred Surat Kabar Harian KOMPAS. tanggal 17 Februari 2006.

168 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO HARI/ JUDUL ISI
TANGGAL
6. Kamis, Wapres: Tak Ada Di negeri ini menjaga kerahasian agak susah.
4/5/06 Negara 'Telanjang' Apa pun bisa bocor ke publik dan tidak ada
sanksi pulaJusuf Kalla.
7. Jumat, Pembahasan RUU KMIP & RN, bisa dilakukan dalam waktu ber-
5/5/06 KMIP dan Rahasia samaan di DPR bersama pemerintah sehingga
Negara agar menjadi lebih komprehensif Menteri
Bersamaan Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil.
8. Rabu, Rahasia Negara Institusi pemerintah tidak bisa begitu saja
10/5/06 Tak Ditentukan menentukan suatu informasi, benda, atau
kegiatan tertentu masuk ke kategori rahasia
negara ataupun rahasia instansi begitu RUU
Rahasia Negara disahkan dan diterapkan
pemerintah dengan persetujuan DPR.
9. Jumat, Tak Perlu Komisi Ide melahirkan Komisi Informasi yang diusul-
23/5/06 Informasi kan pembentukannya lewat RUU KMIP
terhambat.
10. Rabu, Kontroversi RUU Pemerintah dan negara perlu diberi keleluasa-
14/6/06 Rahasia Negara an merahasiakan beberapa kebijakannya,
dan RUU KMIP agar tidak selalu didikte atau dicampurtangani
banyak pihak Juwono Sudarsono.
11. Jumat, Jangan Paksakan Anjing menggonggong kafilah berlalu. Boleh
25/8/06 RUU Rahasia jadi pepatah tersebut mewakili sikap
Negara pemerintah, dalam hal ini Departemen
Pertahanan yang terus berupaya
mengegolkan draf RUU Rahasia Negara.
12. Rabu, Penolakan Masih Tak ada kebutuhan mendesak dan signifikan
Tinggi, DPR Harus untuk segera mengatur rahasia negara.
Drop Draf RUU Yang perlu prioritas justru RUU KMIP
Rahasia Negara Paulus Widiyanto.
13. Selasa, Pemerintah Terus Pemerintah terus berupaya mendegradasi
5/9/06 Berupaya naskah RUU Kebebasan Memperoleh
Mendegradasi Informasi atau RUU KMIP usulan Dewan
Usulan DPR Perwikan Rakyat
14. Sabtu, Pemerintah Belum Analisis anggota Komisi I DPR Andreas
23/9/06 Rela Serahkan Hal Pareira, mengenai tersendatnya
Informasi pembahasan RUU KMIP disebabkan karena
sikap pemerintah yang terus mengulur waktu
pembahasan, pemerintah sepertinya belum
rela mengembalikan hak itu kepada rakyat.
15. Rabu, RUU Rahasia Anggota DPR menganggap RUU Rahasia
27/9/06 Negara Dianggap Negara belum menjadi prioritas karena
Bukan Prioritas masih banyak RUU lain yang jauh lebih
penting dan mendesak, tapi hingga kini belum
selesai dibahas.
17. Jumat, LSM Tolak RUU RN Sebanyak 10 LSM akan menggalang
29/9/06 dukungan sejuta tanda tangan untuk menolak
RUU tantang rahasia negara yang sudah di
tangan DPR. Mereka juga mendesak untuk
menolak RUU itu, yang dianggap
menghambat demokrasi.

Sumber : SKHU Kompas, 2005-2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 169
Berdasarkan analisis framing, fakta atau peristiwa adalah hasil
konstruksi. Kaum konstruksionis berpendapat bahwa realitas itu
bersifat subjektif, dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan, tercipta
lewat konstruksi dari wartawan (Eriyanto, 2002:19). Berkaitan dengan
pemuatan berita oleh Kompas yang antara lain ditampilkan pada Tabel
4.8. menyangkut pembahasan RUU KMIP, bahkan ulasan yang
dikemukakan oleh Litbang Kompas, maka dapat diasumsikan terdapat
keberpihakan Kompas terhadap diperlukannya UU KMIP.

3.3. Urgensi Undang-Undang Kebebasan memperoleh Informasi


Publik
3.3.1. Urgensi menurut Pemerintah RI
Memenuhi permintaan DPR RI yang mengajukan RUU KMIP
sebagai usul inisiatif DPR RI kepada pemerintah untuk dibahas bersama
pemerintah dan DPR RI serta sejalan dengan tuntutan Ornop yang
tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi, sebagai aktor
nonnegara, yang mendorong lahirnya Undang-undang Kebebasan
memperoleh Informasi, Menteri Komunikasi dan Informatika RI telah
membentuk Tim Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di DPR RI dengan Keputusan
Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 05/KEP/M.KOMINFO/
1/2006, tanggal 16 Januari 2006.
Susunan tim terdiri dari: Pengarah, Menteri Komunikasi dan
Informatika, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretariat Negara.
Kelompok Pakar, Prof. Dr. Musa Asy'arie (Staf Ahli Menteri Bid. Sosbud
dan Peran Serta Masyarakat), Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH (UNDIP),
Sinta Dewi, SH, LLM (UNPAD), Rivanto, SH, LLM (UNPAD) dan
Pelaksana yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, SH, MH
(Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Dep. Kominfo dengan mengikut-
sertakan para pejabat dari unsur-unsur yang mewakili departemen dan
lembaga non departemen, yaitu para pejabat dari Departemen Hukum
dan Ham, Departemen Pertahanan, Sekretariat Negara, Departemen
Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara, POLRI, Dep. Keuangan, Meneg
PAN, Arsip Nasional, Dep. Diknas, Mabes TNI, BPS, Dep. Kesehatan,
Bank Indonesia, Ahli Bahasa.

170 Citra Indonesia di Mata Dunia


Tim bertugas menyiapkan bahan dan tanggapan atas Rancangan
Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
dalam bentuk daftar inventarisasi masalah (DIM), mengikuti
pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik di DPR-RI, menyampaikan laporan
kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas, ketua tim dapat mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, mengangkat anggota
tambahan dan membentuk sekretariat sesuai kebutuhan.
Pada tanggal 7 Maret 2006 pemerintah yang dalam kesempatan
ini diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, menyampaikan
pemandangan umum terhadap Rancangan Undang-undang tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Menurut Pemerintah, materi
muatan substantif terkait hak warga negara atas kebebasan memperoleh
informasi publik merupakan hal yang diperlukan, karena sejalan
dengan pasal 28 f UUD 1945. Di samping disadari bahwa menciptakan
iklim bernegara yang transparan dan bertanggung jawab merupakan
sesuatu yang penting sehingga diperlukan mekanisme pengawasan
publik melalui keterbukaan informasi dalam berbagai sektor institusi
baik eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik dan organisasi non
pemerintah/organisasi kemasyarakatan lainnya.
Untuk mewujudkan hal-hal tersebut, menurut pemerintah,
diperlukan suatu perangkat hukum yang menjamin hak warga negara
agar dapat mengakses informasi. Pemerintah mengingatkan agar dalam
merumuskan regulasinya harus cermat sehingga implementasi pasal 28 f
UUD 1945 dapat dilaksanakan dengan tanpa mencederai hak-hak privasi
dan hak asasi manusia pada umumnya, dan efektivitas pelaksanaan
pemerintahan dan badan-badan publik, keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta ancaman-ancaman global yang mungkin timbul
akibat keterbukaan informasi, tetap perlu diperhatikan. Alasan yang
dikemukakan pemerintah karena undang-undang lain yang merupakan
kekecualian yang sangat diperlukan keberadaannya yang disebut oleh
pemerintah sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan dari
regulasi kebebasan informasi itu sendiri, masih belum lengkap dan
belum tersedia.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 171
Pemerintah memandang bahwa Rancangan Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik merupakan hal baru yang
memerlukan langkah-langkah cermat dalam pembahasannya sehingga
undang-undang yang dihasilkan akan memberikan nilai tambah dan
kemaslahatan bagi masyarakat dan negara. Regulasi tentang hak warga
negara memperoleh informasi, dinyatakan pemerintah, merupakan salah
satu instrumen yang baik dalam menciptakan iklim bernegara dan
bermasyarakat yang transparan dan bertanggung jawab. Melalui
instrumen ini akan tercipta mekanisme pengawasan publik melalui
keterbukaan informasi dalam berbagai sektor dan institusi, baik eksekutif,
legislatif, yudikatif, partai politik dan organisasi non pemerintah serta
Badan Publik berupa organisasi kemasyarakatan lainnya.
Namun, pemerintah mengingatkan bahwa undang-undang KMIP
akan menjadi ketentuan generalis yang terkait dengan hak-hak yang
sangat fundamental warga masyarakat dan individu warga negara
karena menyangkut hak-hak pribadi (privacy) di samping juga
menyangkut kepentingan pertahanan nasional. Oleh karena itu, menurut
pemerintah, pemberlakuan UU KMIP harus secara cermat dan sistematik
didahului oleh berbagai undang-undang lain yang mengatur hal-hal
yang termasuk dalam pengecualian yang memang seharusnya telah lebih
dulu ada, sehingga kepastian hukum secara sistemik akan tercipta.
Memenuhi kewajiban konstitusionalnya, pemerintah telah
menyerahkan daftar inventaris masalah (DIM) atas RUU KMIP yang
disampaikan DPR, disertai pemikiran bahwa dalam rangka melahirkan
undang-undang tentang hak warga negara untuk memperoleh
informasi publik, menurut pemikiran pemerintah, seharusnya undang-
undang yang mengatur tentang perlindungan hak-hak pribadi, undang-
undang tentang perlindungan saksi dan segala informasi tentang
identitasnya, undang-undang tentang perlindungan data yang terkait
dengan pertahanan negara, undang-undang tentang perlindungan
sumber daya negara yang strategis, undang-undang tentang rahasia
negara, undang-undang tentang intelijen dan lain-lain yang merupakan
kekecualian, lebih dulu diundangkan sebelum rancangan undang-
undang KMIP diberlakukan.
Menurut pemerintah, pemikiran tersebut perlu dipertimbangkan
karena RUU KMIP inisiatif DPR memiliki prinsip bahwa semua

172 Citra Indonesia di Mata Dunia


informasi pada dasarnya dapat diakses kecuali yang ditetapkan dalam
kekecualian. Pemerintah berpendapat, bagaimana mungkin akan terjadi
kepastian hukum apabila hal-hal yang dikecualikan belum diatur
dalam undang-undang tersendiri, sedangkan undang-undang yang
bersifat generalis yang menyatakan semua informasi harus dapat diakses
telah diberlakukan.
Berdasarkan kajian legal akademis yang dilakukan pemerintah,
keberadaan undang-undang sebagai implementasi atas pasal-pasal
tentang pengecualian menjadi sangat penting eksistensinya. Diberikan
contoh, Freedom of Information Act Amerika Serikat yang telah banyak
dirujuk sebagai contoh oleh negara-negara di dunia, saat ini telah
dikecualikan oleh tidak kurang dari 140 undang-undang lainnya.
Praktek di Amerika Serikat ini menurut pemerintah, setidaknya menjadi
bahan refleksi dan introspeksi negara-negara lainnya termasuk
Indonesia yang sedang mempersiapkan regulasi di bidang yang sama.
Dalam mengkaji RUU KMIP, menurut pemerintah, telah diadakan
berbagai penelitian sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KMIP. Penelitian terhadap
pelaksanaan peraturan daerah yang berkaitan dengan transparansi,
kebebasan informasi atau peraturan-peraturan serupa lainnya yang telah
dimiliki beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah ingin mengetahui
dampak dan efektifitas pelaksanaan Perda kepada masyarakat. Untuk
kepentingan penyelenggaraan penelitian, pemerintah telah membentuk
Tim Penjaring Pendapat untuk memperoleh data dari berbagai daerah
yang telah memiliki Perda di bidang transparansi, seperti Kota
Gorontalo, kabupaten Rangkasbitung, Kabupaten Bandung, Kota
Probolinggo, Propinsi Kalimantan Barat dan daerah-daerah lainnya.
Berdasarkan hasil pengkajian pemerintah dalam pelaksanaan
Perda disebutkan antara lain kurangnya kesiapan dan pemahaman
pejabat publik, Badan Publik dan badan pengawas transparansi.
Ketidaksiapan Badan Publik dikarenakan regulasi KMIP masih
merupakan paradigma baru, sehingga sulit bagi pejabat publik, Badan
Publik, pengawas transparansi untuk melaksanakan peraturan tanpa
adanya contoh praktek. Kurangnya pengalaman mengakibatkan
sulitnya pejabat publik untuk mengimplementasikan regulasi dalam
praktek. Pemerintah mengkhawatirkan Perda tentang transparansi,

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 173
kebebasan informasi, dapat memperlambat pelaksanaan kegiatan
pemerintahan daerah karena undang-undang lain yang mengatur
masalah informasi yang dikecualikan belum tersedia secara memadai.
Pemerintah khawatir bahwa dengan permintaan informasi yang
berlebih akan mengakibatkan terhambatnya berbagai program
pemerintah, karena pejabatnya terlalu disibukkan dengan pelayanan
informasi, yang mengakibatkan adanya berbagai pertanggungjawaban
yang melebihi proporsi tugasnya, sehingga dapat berakibat adanya
sanksi pidana. Di samping kekhawatiran atas kemungkinan
penyalahgunaan informasi oleh pengguna dengan tujuan-tujuan yang
tidak baik. Karena itu menurut pemerintah, harus dikaji secara
mendalam agar regulasi semacam ini tidak disalahgunakan agar tidak
dimanipulasi pihak tertentu dengan tujuan melawan hukum.
Untuk dapat memberikan pendapat dan pandangan secara lebih
objektif dan komprehensif, menurut pemerintah, telah dilakukan studi
komparatif tentang regulasi kebebasan informasi yang diterapkan di
negara-negara lain. Beberapa negara yang dipilih untuk dikaji undang-
undangnya adalah Amerika Serikat, Inggris, India dan Thailand.
Sebagai komparasi, di Amerika Serikat, regulasi mengenai kebebasan
informasi diundangkan pada tahun 1966, dengan judul Freedom of
Information Act (FOIA). Semenjak tahun 1966 hingga sekarang, undang-
undang tersebut telah diamandemen beberapa kali agar dapat
dilaksanakan dengan baik. FOIA mulai dilaksanakan secara efisien
ketika amandemen terakhir dilakukan, yang mengharuskan Badan
Publik mengeluarkan laporan tersebut di internet.
Hubungan FOIA dengan undang-undang yang dikecualikan,
dijelaskan pemerintah bahwa dalam praktek di Amerika Serikat, sebelum
FOIA diberlakukan, telah terlebih dulu diberlakukan berbagai undang-
undang lain yang melindungi kerahasiaan informasi seperti Labor
Management reporting and Disclosure Act (1959), Federal Property and
Administrative Service Act (1949), Atomic Energy (1954), Civil Rights Act
(1964) dan lain-lain. FOIA dalam perjalanannya secara sistematik,
dikurangi efektivitasnya melalui lahirnya berbagai undang-undang lain
berupa pengecualian. Hal ini tercermin dari laporan yang diberikan oleh
U.S. Justice Department yang menyatakan bahwa sampai tahun 2002
terdapat tidak kurang dari 140 macam informasi yang dikecualikan

174 Citra Indonesia di Mata Dunia


berdasarkan pengecualian yang tidak termasuk dalam FOIA,
berdasarkan regulasi baru. Disamping itu FOIA memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk mengeluarkan executive order untuk
menyatakan informasi tertentu sebagai dikecualikan sepanjang
menyangkut kepentingan keamanan nasional atau kebijakan luar negeri.
Pemerintah juga mengemukakan tahap-tahap yang dilalui dalam
pengundangan kebebasan memperoleh informasi di Inggris, India, dan
Thailand. Di Inggris, regulasi mengenai kebebasan informasi
menggunakan masa peralihan selama 5 tahun. Dalam masa peralihan,
Inggris membuka informasi secara bertahap dalam jangka waktu yang
berbeda-beda. Jumlah pengecualian yang dicantumkan dalam UU
kebebasan informasi Inggris adalah dua puluh pengecualian. Di India,
regulasi tentang kebebasan informasi pertama kali diundangkan pada
tahun 2002, tetapi tidak berjalan sebagai mana mestinya. Oleh karena itu
pada tahun 2005 dilakukan amandemen terhadap Freedom of Information
Act 2002 menjadi Right to Information Act 2005. Amandemen ini dilakukan
karena terkait dengan kesiapan masyarakat dan negara-negara bagian
dalam pelaksanaanya. Di Thailand, regulasi mengenai kebebasan
informasi diundangkan pada tahun 1997, dengan nama Official
Information Act. Hambatan-hambatan pelaksanaan Official Information Act
antara lain adalah ketidaksiapan masyarakat dan Badan Publik serta
banyak pejabat yang tidak mengerti dan tidak dapat mengimplementasi-
kan regulasi ini karena kurangnya pengetahuan dan informasi sehingga
muncul tanggapan atau sikap negatif tentang regulasi ini.
Hasil penelitian yang telah dilakukan pemerintah, seperti
dikemuka-kan sebelumnya, yang diharapkan pemerintah adalah agar
hasil-hasil penelitian tersebut menjadi bahan kajian dan pertimbangan
dalam pembahasan RUU sehingga dapat menciptakan regulasi yang
memiliki nilai efektifitas dengan terpenuhinya tiga prasyarat hukum
yang baik yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis. Dalam implementasinya
perlu diperhatikan kewajiban negara untuk melindungi berbagai
informasi strategis atau sensitif yang apabila tidak dilindungi dapat
merugikan berbagai pihak, baik negara maupun masyarakat. Asas yang
harus diperhatikan dalam penegakan kebebasan informasi adalah asas
kehati-hatian, mengingat menurut pemerintah, Indonesia belum pernah
memiliki regulasi kebebasan informasi, sehingga belum memiliki

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 175
pengalaman yang terkait dengan rezim hukum yang melindungi
berbagai informasi untuk kepentingan negara atau masyarakat secara
komprehensif.
Terkait hasil penelitian yang telah dilakukan, pemerintah
mengajukan beberapa usul perubahan terhadap Rancangan Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang akan dibahas
sebgai berikut:
Pertama, nama undang-undang diusulkan menjadi Rancangan
Undang-undang Mengenai Hak Warga Negara Untuk Memperoleh
Informasi disesuaikan dengan ketentuan pasal 28f UUD 1945.
Kedua mengenai definisi Badan Publik. Menurut pemerintah,
Badan Publik termasuk elemen lembaga swadaya masyarakat (LSM),
partai politik dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang bergerak di
bidang sosial/kemasyarakatan, yang mendapatkan dana dari
pemerintah atau dana dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar
negeri, yang dalam kegiatannya terkait dengan sektor publik/
kemasyarakatan di Indonesia.
Ketiga, mengenai masa mulai berlakunya undang-undang.
Pemerintah mengajukan masa peralihan selama 5 tahun setelah
rancangan diundangkan, untuk mempersiapkan pelaksanaan
penyediaan sistem, perangkat dan infrastuktur, serta sumber daya
manusia pengelolaan informasi supaya undang-undang dapat berjalan
dengan baik. Waktu persiapan digunakan untuk sosialisasi dan
pembelajaran kepada masyarakat agar dapat menggunakan instrumen
dengan baik dan benar, dan mempersiapkan regulasi-regulasi yang
berkaitan dengan hal-hal yang seharusnya dikecualikan.
Keempat, mengenai Komisi Informasi. Menurut pemerintah,
keberadaan komisi informasi tidak terlalu penting. Di Amerika Serikat
tidak dikenal adanya Komisi Informasi. Di India dan Thailand, Komisi
Informasi ditetapkan oleh presiden atau Perdana menteri sehingga
merupakan bagian dari organ pemerintah. Mengingat fungsinya yang
sangat teknis, komisi bertanggung jawab langsung kepada pemerintah
dan bukan kepada parlemen. Dengan demikian jika terjadi dispute dan
tidak dapat diselesaikan oleh Komisi maka penyelesaian berikutnya
melalui pengadilan.

176 Citra Indonesia di Mata Dunia


Terkait dengan keberadaan komisi, pemerintah mengusulkan
penyelesaian sengketa cukup disampaikan kepada Komisi Ombudsman
sehingga tidak perlu adanya Komisi Informasi dalam RUU.
Kelima, mengenai informasi yang dikecualikan. Pengecualian
sesuai dengan perkembangan dunia pada saat ini. Sebelum
diberlakukan undang-undang KMIP, seharusnya berbagai undang-
undang yang terkait dengan kekecualian harus terlebih dahulu ada,
supaya tercipta kepastian hukum.
Keberadaan Undang-undang yang mengatur hal-hal yang
dikecuali-kan, menurut pemerintah, merupakan prasyarat yang tidak
bisa ditawar-tawar mengingat sifat regulasi KMIP sebagai lex generalis.
Keenam, perlu penambahan peraturan pemerintah sebagai
implementing regulation dalam pelaksanaan regulasi kebebasan
informasi. Regulasi yang bersifat lebih teknis menurut pemerintah,
diperlukan dalam penegakan hukumnya. Oleh karena itu pemerintah
sebagai eksekutif harus memiliki kewenangan yang cukup untuk
melakukan langkah-langkah teknis dimaksud, seperti di Amerika
Serikat yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk
mengeluarkan executive order yang bersangkutan dengan penetapan
informasi ketahanan nasional dan kebijakan luar negeri yang tidak
dapat dibuka.
Menurut pemerintah, perubahan-perubahan yang diajukan,
merupakan sebagian dari beberapa perubahan yang diajukan.
Pemerintah akan terus mengadakan pengkajian dengan mengundang
para pakar dan praktisi untuk mendapatkan masukan-masukan
konstruktif, sehingga DIM yang telah disampaikan akan terus
disempurnakan dengan harapan akan menghasilkan UU yang benar-
benar dapat menjawab kebutuhan. Diakui pemerintah bahwa materi
muatan substantif tentang kebebasan informasi merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakan hukum dan
demokratisasi.
Pemerintah juga mengusulkan alternatif adanya penyisipan
berbagai prinsip tentang kebebasan informasi ke dalam berbagai
undang-undang yang mengatur hal-hal yang potensial dijadikan ajang
KKN sehubungan sistem hukum nasional yang masih belum memadai

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 177
dan belum secara memuaskan menjamin ketersediaan norma-norma
yang bersifat kekecualian yang berkaitan dengan kebebasan informasi.102
Senada dengan pemandangan umum pemerintah tentang
kebebasan memperoleh informasi yang menghendaki agar undang-
undang yang mengatur tentang kekecualian supaya diundangkan lebih
dahulu, Wakil Presiden RI juga mengemukakan perlunya undang-
undang rahasia negara di samping undang-undang kebebasan
memperoleh informasi. Tak ada Negara Telanjang. Tidak ada di negara
mana pun yang telanjang dan sama sekali tidak memiliki kerahasiaan
negara. Meskipun batasan kerahasiaan negara itu berbeda-beda, semua
negara memiliki klasifikasi kerahasiaan negara yang berbeda-beda.
Karena itu, sebuah undang-undang kerahasiaan negara harus ada.
Dikemukakan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla ketika menerima
sejumlah perwakilan media massa yang tergabung dalam Media Massa
untuk Kemerdekaan Pers, Rabu (3/5) di Istana Wapres, Jakarta. Koalisi
Media Massa itu terdiri dari, antara lain, Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Lembaga Pers Dr.
Soetomo, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.103
Menanggapi pemandangan umum pemerintah terhadap
rancangan undang-undang tentang kebebasan memperoleh informasi
publik, Koalisi pada tanggal 13 Maret 2006 membuat catatan kritis atas
pemandangan umum pemerintah terhadap RUU KMIP. Menurut
Koalisi, pemandangan umum pemerintah terhadap RUU KMIP
memperlihatkan sikap standar ganda:
Pertama, pemerintah mengakui bahwa kebebasan informasi
merupakan sesuatu hal yang penting merujuk pada pasal 28F UUD 1945
tentang adanya hak setiap orang untuk mendapatkan informasi publik
dalam rangka pengembangan pribadi dan sosialnya. Karena itu,
pemerintah memandang perlu adanya suatu payung hukum yang
menjamin kepastian rakyat untuk mengakses informasi publik.
Pemerintah mengakui juga bahwa ketebukaan informasi merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi KKN, penegakan hukum

102
Menteri Komunikasi dan Informatika. Pemandangan umum pemerintah terhadap rancangan undang-undang
tentang kebebasan memperoleh informasi publik. disampaikan kepada DPR RI. Tanggal 7 Maret 2006.
103
Harian Kompas tanggal 4 Mei 2006.

178 Citra Indonesia di Mata Dunia


dan demokratisasi. Namun, mengingat saat ini sistem hukum nasional
belum memadai dan belum secara memuaskan menjamin ketersediaan
norma-norma yang bersifat kekecualian terkait dengan kebebasan
informasi, maka salah satu alternatif yang ditawarkan pemerintah selain
terlebih dahulu menyediakan berbagai perangkat hukum dimaksud
dalam bentuk undang-undang adalah melalui penyisipan berbagai
prinsip tentang kebebasan informasi ke dalam berbagai undang-
undang yang mengatur hal-hal potensial dijadikan ajang KKN.
Kedua, pemerintah terkesan apriori dengan keberadaan RUU
KMIP. Pemerintah menegaskan bahwa sebagai lex generalis, semestinya
terlebih dahulu membuat UU yang menjadi kekecualian dari KMIP
seperti UU yang terkait dengan hak-hak yang sangat fundamental
warga masyarakat dan individu menyangkut hak-hak individu (pivacy),
di samping juga menyangkut kepentingan pertahanan nasional pada
umumnya, maka pemberlakuannya harus secara cermat dan sistemik
didahului oleh undang-undang lainnya yang mengatur hal-hal yang
termasuk pengecualian yang memang seharusnya terlebih dahulu ada,
sehingga kepastian hukum secara sistemik akan tercipta.
Kekhawatiran yang dikemukakan pemerintah tidak perlu terjadi
karena jenis informasi yang dikecualikan telah diatur secara lengkap
dalam Bab III pasal 14-19 RUU KMIP. Pasal 15 poin b menjelaskan bahwa:
termasuk informasi yang dikecualikan adalah informasi yang berkaitan
dengan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), rahasia dagang, dan
perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat dan poin c; Informasi
tentang intelijen, taktik dan strategi pertahanan dan keamanan negara
dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; Dokumen
yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan; jumlah dan
komposisi kekuatan militer dan rencana pengembangannya; Keadaan
pangkalan militer; Data perkiraan kemampuan militer negara lain.
Sementara, terkait informasi rahasia pribadi diatur dalam poin g:
Riwayat, kondisi dan perawatan kesehatan fisik dan psikis seseorang;
Kondisi keuangan, aset, pendapatan dan rekening bank seseorang;
Hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas dan
rekomendasi kemampuan seseorang.
Studi kasus di AS soal keberadaan 140 UU yang menjadi
pengecualian dari Freedom of Information Act menurut Koalisi bukan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 179
menjadi contoh buruk. Secara prinsip, kehadiran UU pengecualian ini
lebih berperan untuk saling bersinergi dan bukan saling mengabaikan.
Menurut Koalisi, tidak ada alasan untuk mempertentangkan di antara
keduanya. Bahkan Presiden Bill Clinton tahun 1992 mengakui bahwa
keberadaan FOIA telah mendongkrak partipasi rakyat AS dalam
pembuatan kebijakan publik. Semakin rakyat berpartisipasi, semakin
efektif pemerintah menjalankan kepemimpinannya.
Penerapan Perda Transparansi di daerah-daerah juga memberi-
kan gambaran positif, meskipun belum optimal. Sekadar contoh, Pemda
Kabupaten Kebumen telah memiliki agenda tetap untuk pelayanan
informasi seperti diatur dalam Perda No 53 tahun 2004. Perda ini
berperan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penentuan
kebijakan publik serta kontrol terhadap implementasi setiap kebijakan.
Contoh yang baik menurut Koalisi dapat menjadi bahan pelajaran bagi
pemerintah dalam rangka impelementasi UU KMIP.
Pemerintah khawatir dengan permintaan informasi yang berlebih
akan mengakibatkan terhambatnya berbagai program pemerintah
karena pejabatnya terlalu disibukkan dengan pelayanan informasi yang
berakibat lahirnya berbagai pertanggungjawaban yang melebihi proporsi
tugasnya, dan dapat dikenakan sanksi pidana. Di samping adanya
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan informasi oleh pengguna
dengan tujuan-tujuan yang tidak baik. Padahal pasal 5 ayat 1 telah
mengatur kewajiban pengguna informasi publik untuk menjaga dan
tidak menyalahgunakan informasi publik. Kekhawatiran ini menurut
Koalisi tidak beralasan karena pelayanan informasi sudah seharusnya
menjadi kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan pemerintah lainnya,
seperti pelayanan publik. Apalagi banyak pemerintah daerah yang telah
memiliki Badan Informasi dan Komunikasi yang secara khusus berperan
untuk melayani permintaan informasi.
Mengenai ketentuan masa peralihan sebelum berlakunya UU
KMIP yakni selama 5 tahun, dengan tujuan untuk membangun
infrastruktur, penyediaan sistem, dan SDM. juga untuk sosialisasi UU
KMIP dan penyiapan regulasi yang berkaitan dengan hal-hal yang
dikecualikan, menurut Koalisi, masa 5 tahun terlalu lama dan memberi
kesan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menyetujui agar UU KMIP
segera disahkan. Argumen mengenai perlunya penyediaan sistem,

180 Citra Indonesia di Mata Dunia


infrastruktur dan kesiapan Badan Publik tidak beralasan karena proses
pemberdayaan itu dapat terintegrasi dalam implementasi UU KMIP.
Terkait dengan masalah di atas, menurut Koalisi, bahwa RUU KMIP
sudah seharusnya segera disahkan menjadi UU KMIP karena telah lama
dinantikan masyarakat dan DPR.104 Menurut Sulistyo:
Adanya kebebasan memperoleh informasi, merupakan prasyarat
untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka, yang menjadi syarat
utama untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, atau good
governance. Pemerintahan yang terbuka yang mewujudkan tata
pemerintahan yang baik, akan memberikan pencitraan yang baik
terhadap negara.105
Sehubungan telah dibentuknya Tim Pembahasan Rancangan
Undang-undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di
DPR RI dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika RI
Nomor 05/KEP/M.KOMINFO/1/2006, tanggal 16 Januari 2006, maka
telah dijadwal-kan untuk sementara rapat-rapat pembahasan RUU
tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP). Berdasarkan
Keputusan Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI, Pimpinan Fraksi-Fraksi
DPR RI dan Pimpinan Komisi-Komisi DPR RI tanggal 18 April 2006,
Rapat Pimpinan Komisi I DPR RI tanggal 1 Mei 2006 dan Rapat Intern
Komisi I DPR RI tanggal 4 Mei 2006 menetapkan jadwal-jadwal sebagai
berikut:
a) Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah, Senin, 15 Mei
2006 pkl 9.00 Wib, dengan materi acara Pembahasan Materi RUU
tentang KMIP. Bertempat di RR. Komisi I DPR RI.
b) Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah. Senin, 22 Mei
2006 pkl 9.00 Wib, dengan materi acara Pembahasan Materi RUU
tentang KMIP. Bertempat di RR. Komisi I DPR RI.
c) Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah. Selasa, 20 Juni
2006. Waktu rapat diadakan setelah rapat Paripurna. Materi
acara, Pembahasan Materi RUU tentang KMIP. Bertempat di RR.
Komisi I DPR RI.

104
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Catatan kritis terhadap tanggapan pemerintah mengenai RUU KMIP. Jakarta.
13 Maret 2006.
105
Wawancara dengan Koordinator Bidang Jaringan Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 16 Mei 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 181
d) Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Pemerintah. Selasa, 27 Juni
2006. Waktu rapat diadakan setelah rapat Paripurna. Materi
acara, Pembahasan Materi RUU tentang KMIP. Bertempat di RR.
Komisi I DPR RI.
e) Jadwal kegiatan selanjutnya ditentukan sesuai kebutuhan.

3.3.2. Urgensi menurut Koalisi


Koalisi memperjuangkan adanya landasan hukum berbentuk
undang-undang bagi kebebasan memperoleh informasi yang diyakini
Koalisi sebagai prasyarat untuk mewujudkan pemerintahan yang
transparan, mendasarkan upayanya kepada berbagai kenyataan atau
realitas yang memerlukan perubahan segera, karena negara sebagai
lembaga besar dalam masyarakat tidak lagi memberikan rasa aman
karena makna kehidupan masyarakat tidak terjamin dalam struktur
objektif itu. Makna kehidupan masyarakat yang tidak terjamin itu
dinyatakan secara eksplisit oleh Koalisi dalam Mukadimah Statuta Koalisi
bahwa akar persoalan dari merebaknya praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta pelanggaran HAM dalam pemerintahan Orde Baru
adalah lemahnya kontrol masyarakat terhadap negara. Oleh karena itu
menurut Koalisi hal mendasar yang harus dilakukan tentang reformasi
dan demokratisasi adalah memperkuat kedudukan masyarakat di
hadapan negara. Pada titik ini muncul kebutuhan akan perundang-
undangan yang menjamin pelembagaan atas transparansi pemerintahan,
keterbukaan informasi, dan partisipasi publik.
Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak saja
melahirkan konglomerasi tetapi juga menciptakan kultur baru praktik-
praktik birokrasi yang mencemaskan, berlangsung secara menyeluruh,
dari pusat sampai ke pemerintahan terkecil di desa-desa. Kondisi
Indonesia sebagai ciri-ciri negara lunak yaitu negara yang menjadikan
praktek KKN dan semacam-nya sebagai kegiatan yang membudaya,
tanpa kemauan secara sungguh-sungguh untuk memberantasnya, yang
menyebabkan negara diliputi ketimpangan sosial ekonomi dan
ketidakadilan (Salam, 2003:13). Di samping itu sebagaimana
dikemukakan Koordinator Umum Koalisi bahwa sikap otoriter dan
ketertutupan pemerintah telah banyak menimbulkan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap kemerdekaan untuk

182 Citra Indonesia di Mata Dunia


menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan pers, dan keikutsertaan
masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Keseluruhan yang dikemukakan Koordinator Umum Koalisi itu
sebagai realitas sosial yang mempunyai masa lampau dan masa depan.
Telah berlangsung dalam suatu kurun waktu dan dihadapkan kepada
masa depan, apakah masyarakat mempunyai kesadaran untuk
mengubahnya. Realitas sosial yang tidak menyenangkan, sebagai realitas
patologis merupakan sebuah ceritera tentang hambatan-hambatan
perealisasian diri manusia. Sebagian besar hambatan menyangkut
kesadaran dari tokoh-tokoh beserta figurannya dari cerita itu (Hardiman,
2003:18).
Sehubungan dengan kesadaran dari tokoh-tokoh dan figuran
dalam ceritera yang menyangkut hambatan perealisasian diri dan
diperlukannya kesadaran untuk mengubah situasi yang tidak
menyenangkan, dikemukakan Koalisi bahwa seandainya negara
mempunyai komitmen untuk mewujudkan pemerintahan yang
transparan, partisipasi dari warga negara tidak terlalu diperlukan.
Tetapi kenyataannya fungsi-fungsi lembaga negara di Indonesia ini
belum berjalan secara maksimal sehingga perlu dorongan dan juga
partisipasi dari warga negara. Menjamin hak itu bukan tugas warga
negara, dan memenuhi hak itu bukan tanggung jawab warga negara,
tetapi tanggung jawab negara. Permasalahannya apakah negara telah
memenuhi tugas dan tanggung jawabnya untuk menjadikan
pemerintahan yang transparan, dan bertanggung jawab.106
Bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis di bidang ekonomi,
yang dimulai tahun 1997, kemudian menimbulkan krisis di bidang
politik, telah merumuskan kata kunci untuk menentukan penyakitnya
dengan istilah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Namun, paling
tidak setelah empat tahun gerakan reformasi, penyakit tersebut belum
dapat diatasi karena kekuatan untuk mengobati sendiri itu tidak
tumbuh (Dhakidae, 2002 : xxv). Demikian pula dikemukakan oleh
Koalisi, bahwa berbagai upaya untuk membawa reformasi ke arah yang
diinginkan kurang berhasil, karena pemerintahan yang terbuka belum
terwujud. Ketidakterbukaan merupakan biang keladi kondisi yang

106
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi. 21 September 06.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 183
kondusif bagi berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Koalisi
berpendapat bahwa perlu ada undang-undang yang memaksa pejabat
negara dan pemerintah untuk berlaku transparan dalam menentukan
dan melaksanakan kebijakannya, serta masyarakat dapat mengawasi
pelaksanaannya.
Kesulitan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam keseharian-
nya seakan bertambah berat, khususnya di bidang ekonomi, sampai
tahun 2006 dapat digambarkan berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik bahwa jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 sebesar
39,05 juta (17,75%), naik 3,95 juta (1,78%) dibanding jumlah penduduk
miskin pada bulan Februari 2005 sebesar 35,10 juta (15,97%). Sebagian
besar (63,41%) penduduk miskin berada di daerah perdesaan dan
komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan
adalah beras, gula pasir, minyak kelapa, telur (makanan pokok).107 Angka
pengangguran juga meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1997 angka
pengangguran masih 4,7%, meningkat menjadi 6,12% pada tahun 2000,
8,1% pada tahun 2001, 9,062%, pada tahun 2002, 9,57%, pada tahun 2003,
9,86%, pada tahun 2004, dan 10,9% pada tahun 2005. Lembaga indef
memperkirakan jumlah penganggur terbuka tahun 2006 akan
meningkat menjadi 12-12,6 juta orang. Kondisi penganggur dicemaskan
oleh ahli ekonomi karena dua pertiga penganggur berusia muda 15-24
tahun, dan kecenderungan meningkatnya angka penganggur terdidik.108
Kondisi kehidupan keseharian yang tidak menyenangkan,
khsusnya di bidang ekonomi dan kinerja pemerintahan, telah
mendorong Koalisi untuk memperjuangkan adanya undang-undang
tentang kebebasan memperoleh informasi publik sebagai prasyarat
untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dorongan keinginan ini didesakkan kepada
DPR, pemerintah dan masyarakat warga supaya Indonesia memiliki
undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik. Kondisi
keseharian ini telah diterima masyarakat warga sebagai suatu realitas
yang dimiliki bersama dalam suatu kesadaran intersubyektif sehingga
inisiatif untuk melahirkan undang-undang ini menjadi inisiatif DPR.

107
BPS. Berita Resmi Statistik No. 47/H/: Melalui <http://www.bps.go.id.>[01/09/06]
108
Kompas Cyber Media. 18 Februari 2006.

184 Citra Indonesia di Mata Dunia


Untuk memperkokoh kesadaran bersama dari komponen bangsa,
Koalisi melakukan sosialisasi dalam upaya mendorong terjadinya proses
internalisasi dari masyarakat warga dengan harapan kenyataan yang
dihadapi menjadi kenyataan yang disadari bersama dan menjadi
kenyataan intersubyektif. Sosialisasi yang dilakukan Koalisi mencakup
berbagai strata masyarakat, pemerintahan dan pejabat negara, dengan
menggunakan berbagai cara, baik melakukan sosialisasi secara langsung
berhadapan muka, maupun melalui media dan dalam berbagai macam
pertemuan seperti diskusi, workshop, seminar tingkat nasional,
internasional. Baik mengikutsertakan ahli-ahli di dalam negeri, maupun
ahli-ahli dari luar negeri, khususnya ahli-ahli di bidang hukum dan politik.
Sosialisasi tidak hanya ditujukan untuk masyarakat di dalam negeri tetapi
juga kepada masyarakat asing di luar negeri. Tidak hanya kepada
pemerintah di tingkat pusat, tetapi juga kepada pemerintah di daerah.
Sosialisasi juga dimaksudkan oleh Koalisi untuk mencegah
adanya persepsi yang keliru dari sementara masyarakat terhadap isu
kebebasan memperoleh informasi seperti persepsi bahwa keterbukaan
mengancam kedaulatan negara, menghambat penegakan hukum,
mendorong akulturasi negatif yang merugikan masyarakat secara luas,
menyuburkan suasana ketidakamanan.
Hambatan serius yang dihadapi Koalisi dari kekeliruan persepsi
terhadap kebebasan informasi yaitu adanya kebijakan pemerintah
Indonesia untuk memiliki undang-undang rahasia negara yang
dianggap oleh Koalisi memiliki paradigma yang bertolak belakang
dengan undang-undang kebebasan memperoleh informasi. Undang-
undang rahasia negara bertolak dari paradigma ketertutupan sedangkan
undang-undang kebebasan memperoleh informasi bertolak dari
paradigma keterbukaan. Padahal di dalam rancangan undang-undang
kebebasan memperoleh informasi juga terdapat pasal yang mengatur
tentang informasi yang dikecualikan, antara lain informasi yang apabila
dibuka akan membahayakan pertahanan dan keamanan nasional;
mengganggu hubungan baik antara negara RI dengan negara lain; akan
merugikan satu negara atau lebih.
Pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
sebagai usul inisiatif DPR RI dan RUU Rahasia Negara sebagai inisiatif
pemerintah dapat menimbulkan kontroversi sehingga diperlukan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 185
penyelarasan. Sikap kontroversi ini banyak dimuat di media massa.
Antara lain tulisan yang berjudul Kebebasan Informasi, Kontroversi
RUU Rahasia Negara dan RUU KMIP.
Mereka beranggapan pemerintah belum siap menghadapi
rezim keterbukaan seperti diatur dalam RUU KMIP. Rezim terbuka
menganut pemahaman, semua informasi publik bersifat terbuka
kecuali yang dikecualikan oleh UU. Kebalikannya, RUU Rahasia
Negara mengatur secara spesifik apa saja yang masuk dan
dikategorikan rahasia negara.109
Tulisan lain berjudul:
Kebebasan Informasi, Jangan paksakan RUU Rahasia Negara.
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Boleh jadi pepatah
tersebut mewakili sikap pemerintah dalam hal ini Departemen
Pertahanan yang terus berupaya mengegolkan draf Rancangan
Undang-undang Rahasia Negara. Mereka yang menolak
beranggapan aturan khusus tentang rahasia negara tidak lagi
diperlukan mengingat pemerintah dan DPR tengah membahas
draf RUU KMIP, yang di dalamnya dinilai sudah cukup
mengatur masalah kerahasiaan.110

Lain halnya pendapat yang menyatakan perlunya UU Rahasia


Negara, seperti dikemukakan Ketua Panitia Antardepartemen RUU
Rahasia Negara, bahwa RUU Rahasia Negara juga dilakukan justru
untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan akuntabel serta
menjamin adanya kepastian hukum.111 Begitu juga menurut Wakil Ketua
Panitia Antardepartemen RUU Rahasia Negara bahwa kekhawatiran
masyarakat terhadap keberadaan RUU Rahasia Negara muncul akibat
masih adanya sejumlah ketidakjelasan mekanisme. Antara lain terkait
dengan prosedur penetapan rahasia negara dan instansi sesuai ruang
lingkup yang telah ditetapkan dalam RUU RN. Tidak mungkin ruang
lingkup rahasia negara atau soal kriteria membahayakan kedaulatan
negara diatur secara rinci dan dijelaskan dalam RUU.112

109
Kompas. 14 Juni 06, hal. 8.
110
Kompas. 25 Agustus 2006 hlm. 5.
111
Kompas. 2 Januari 06 hal.8.
112
Kompas. 10 Mei 06.

186 Citra Indonesia di Mata Dunia


Kontroversi antara diperlukan dan tidak diperlukannya Undang-
undang Rahasia Negara menunjukkan bahwa persepsi kedua pihak
tentang keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya Indonesia saat ini
berbeda sehingga realitas yang dilihat kedua belah pihak itu berbeda.
Urgensi Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi
Publik menurut Koalisi, adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang
terbuka dan partisipatoris, menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), serta mengubah
kultur birokrasi yang menjadi semacam tirani informasi yang menutup
akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola birokrasi. Untuk
melaksanakan agenda-agenda tersebut dibutuhkan antara lain kondisi
adanya keterbukaan informasi sehingga masyarakat dapat mengetahui
yang terjadi dalam birokrasi pemerintahan dan yang dikerjakan oleh
pejabat-pejabat publik. Dengan demikian diperlukan suatu peraturan
perundang-undangan yang menjamin transparansi informasi yang
menyangkut kepentingan masyarakat (Koalisi, 2003:18-19).
Sekalipun dalam pemerintahan reformasi telah ada Undang-
undang RI No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan
pers dan pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi, seperti tercantum dalam
pasal 4 ayat (3), namun, Undang-undang Pers saat ini menurut Koalisi
belum sepenuhnya menjamin kemerdekaan pers. Undang-undang Pers,
belum sepenuhnya memberikan jaminan hukum bagi berlangsungnya
kebebasan pers di Indonesia. Kesadaran tentang pentingnya kebebasan
pers baik dari kalangan elit maupun masyarakat, belum tumbuh.
Kemudian, terdapat beberapa ketentuan undang-undang yang
berpotensi mengganjal implementasi kebebasan pers. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lebih dari 20 pasal yang
mengatur ketentuan informasi yang tergolong rahasia jabatan, rahasia
pertahanan negara, dan rahasia dagang. Kerahasiaan informasi juga
terdapat dalam Undang-undang Perbankan, dan Kearsipan.
Draf rancangan undang-undang tentang rahasia negara yang
disusun oleh Lembaga Sandi Negara karena tidak ada ketentuan yang
jelas dan rinci untuk mengklasifikasikan sebuah informasi sebagai
rahasia negara. Ketentuan di dalamnya terlalu umum dan rentan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 187
terhadap penafsiran subjektif pihak-pihak yang berwenang.
Kewenangan untuk menentukan suatu informasi sebagai rahasia
negara diserahkan kepada pimpinan lembaga pemerintah dan badan-
badan yang ditunjuk pemerintah, sedangkan kultur birokrasi
Indonesia belum banyak mengalami perubahan, belum kondusif bagi
pemberdayaan hak-hak publik atas berbagai pelayanan dari
pemerintah.113
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi, menurut
Koordinator Bidang Lobi Koalisi, seperti telah dikemukakan di muka,
seyogyanya menjadi produk hukum yang memayungi dan mengatasi
undang-undang lain yang juga mengatur ranah informasi publik.
Undang-undang kebebasan memperoleh informasi adalah perangkat
koordinasi dan harmonisasi di antara berbagai undang-undang yang
terkait dengan hak masyarakat dalam memperoleh informasi.
Hak publik atas informasi di Indonesia sesungguhnya telah
mendapatkan pengakuan hukum dalam pasal 28F amandemen kedua
Undang-undang Dasar 1945, serta pasal 20 dan 21 Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu banyak
undang-undang sektoral yang menegaskan pentingnya hak publik atas
informasi, seperti Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-undang nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, dan lain-lain.
Namun, Klausul-klausul tentang hak atas informasi dalam
beberapa undang-undang itu masih bersifat umum dan sebatas
mengakui hak masyarakat atas informasi. Tidak ada klausul yang secara
tegas mengatur kewajiban lembaga publik, tidak memuat ketentuan
yang jelas dan rinci tentang informasi apa saja yang dapat diperoleh
masyarakat, bagaimana prosedur dan mekanisme untuk memperoleh
informasi, lembaga mana yang dapat dimintai informasi, dan sanksi-
sanksi apa yang bisa dijatuhkan kepada lembaga yang tidak memberikan
informasi. Akibatnya, undang-undang itu tidak mempunyai kekuatan
yang memaksa terhadap pejabat publik yang tidak melayani permintaan
informasi dari masyarakat. (Koalisi, 2001:21-24). Korelasi konsepsi atas

113
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Seminar Kebebasan Pers, Rejim Kerahasiaan, dan UU Kebebasan Informasi di
Era Otonomi Daerah, Jakarta, 12 September 2001.

188 Citra Indonesia di Mata Dunia


jaminan akses informasi publik, dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Siapa yang Wajib


Memberi Informasi

Siapa yang Berhak


Menerima Informasi

Bagaimana Informasi Apa


Mekanisme Meminta/
Menerima Informasi

Gambar 3.2. Arsitektur Informasi Mengenai Korelasi Konsepsi Atas


Jaminan Akses Informasi Publik (Sumber: LIN, 2001: 44)

Sehubungan dengan penggunaan istilah hak atas informasi


dalam perundang-undangan di Indonesia, dan istilah kebebasan
informasi yang diusulkan oleh Koalisi dalam rancangan undang-
undang kebebasan memperoleh informasi, sebagai terjemahan dari
istilah freedom of information yang lazim digunakan di negara-negara
lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, Afrika Selatan,
menurut pendapat Koalisi, tidak ada permasalahan dalam penggunaan
kedua istilah tersebut.
Mengenai ruang lingkup kebebasan informasi, berkisar kepada,
apakah undang-undang tentang hak atau kebebasan atas informasi itu
akan meliputi pemberian akses terhadap informasi dan hak untuk
mendapatkan informasi. Dalam pemberian akses, negara wajib
memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi,
sedangkan pada hak untuk mendapatkan informasi mengindikasikan
adanya kewajiban negara untuk memberikan informasi, diminta
ataupun tidak. Berdasarkan hal di atas, undang-undang kebebasan
memperoleh informasi meliputi informasi yang berada di tangan
pejabat publik, namun apabila kepentingan umum menghendaki,

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 189
informasi dari atau tentang pihak ketiga (pihak swasta) dapat pula
dibuka kepada publik. Menurut Koordinator Bidang Umum Koalisi :
Rancangan Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi
yang dibuat menurut konsep Koalisi, tidak hanya memberikan
hak kepada publik untuk mengakses informasi, tetapi juga
memberikan kewajiban kepada pejabat publik untuk membantu
setiap upaya pencarian informasi dan secara aktif memberikan
pengumuman (tidak sekedar menyediakan informasi) kepada
publik mengenai apa saja yang menjadi rencana, keputusan, dan
aktivitas pemerintah. Di samping harus meliputi pula jaminan
kepada setiap orang untuk menyebarkan (tidak sekedar
mengakses) kepada publik segala informasi yang didapatnya
berdasarkan undang-undang ini. Pada prinsipnya, segala
informasi yang bisa diakses, juga dapat disebarkan.114

Draf awal Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh


Informasi Publik (RUU KMIP) menurut Katharina, diluncurkan oleh
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yaitu LSM/NGO yang
bergerak di bidang pengelolaan lingkungan hidup pada tanggal 8
September tahun 2000 dengan mengundang berbagai media cetak dan
elektronik serta organisasi-organisasi non pemerintah (Ornop).
Kemudian, setelah terbentuk Koalisi, rancangan undang-undang
dikembangkan lebih komprehensif oleh Koalisi pada bulan Juli 2001.
Setelah itu draf kembali diperbaiki berdasarkan masukan dari
masyarakat dan para ahli secara intensif sebanyak dua kali. Selanjutnya
dilakukan pertemuan pertemuan intensif dengan para politisi DPR RI
melalui jalur Badan Legislatif, Komisi, Fraksi-Fraksi, dan unsur
pimpinan DPR RI., serta juga melakukan studi banding bersama unsur
DPR RI, pemerintah, dan LSM/NGO. Draf RUU Versi Koalisi kemudian
diadopsi menjadi RUU setelah dilakukan penyempurnaan oleh Badan
Legislasi DPR dan pada bulan November 2001diajukan kepada
pimpinan DPR RI oleh 29 anggota dari berbagai fraksi.115

114
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 27 Januari 2006.
115
Wawancara dengan Anggota Koalisi. 17 Juli 2006

190 Citra Indonesia di Mata Dunia


Tanggapan fraksi-fraksi di DPR RI terhadap penjelasan
pengusul inisiatif anggota DPR RI tentang RUU KMIP pada tanggal 20
Maret 2002, menurut Santosa, pada umumnya fraksi-fraksi besar dan
fraksi reformasi mendukung usul inisiatif 29 anggota DPR RI. Kecuali
fraksi TNI/POLRI di samping mendukung terdapat catatan yang
disampaikan, yaitu meminta peninjauan kembali tentang prinsip
adanya jaminan hak bagi setiap orang untuk mengetahui, melihat dan
mendapatkan informasi tanpa memerlukan alasan yang melatar-
belakangi permintaan. Menurut fraksi TNI/POLRI alasan permintaan
perlu dikemukakan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik
sebagai peminta atau pengguna informasi, sehingga kelangsungan
kepentingan nasional terpelihara. Fraksi TNI/POLRI, diduga oleh
Koalisi mencampuradukkan hak informasi publik sebagai hak asasi
manusia dengan pemberlakuan rejim kerahasiaan (secrecy regime).
(Koalisi, 2003:xiv xviii).
RUU KMIP yang telah diajukan Badan Legislatif DPR pada
bulan Maret 2002, yang dijadikan sebagai RUU usul inisiatif DPR saat
itu (DPR periode 1999-2004), kemudian DPR membentuk Panitia
Khusus (PANSUS) untuk menyempurnakan RUU KMIP. Pada bulan
Juli 2004. Dalam rapat paripurna DPR, draf RUU KMIP hasil Pansus
DPR disahkan menjadi draf DPR. Namun, sampai dengan akhir masa
jabatan DPR periode 1999-2004, Amanat Presiden untuk menunjuk
menteri yang mewakili presiden dalam rapat-rapat pembahasan
selanjutnya dengan DPR, tidak kunjung turun. Pada periode DPR
2004-2009, Koalisi berhasil meyakinkan Komisi I DPR untuk memulai
kembali proses pembahasan RUU KMIP dan Komisi I secara resmi
menyampaikan RUU KMIP ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan
sebagai RUU usul inisiatif DPR. Seluruh fraksi menerima RUU KMIP
sebagai RUU usul inisiatif DPR. (Haryanto, 2005 : 67-68)
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang telah menjamin akses publik terhadap informasi
sebagaimana dalam tabel 3.9. berikut:

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 191
Tabel 3.9.
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yang Berkaitan dengan
Hak atau Kebebasan memperoleh Informasi
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. Deklarasi Universal Tentang Pasal 19
Hak-Hak Asasi Manusia 1948 Setiap orang berhak untuk kebebasan berpendapat
(dimana Indonesia meratifikasi) dan menyatakan pendapatnya, hal ini mencakup
untuk menganut pendapat tanpa ada yang meng-
ganggu dan untuk mencari, menerima dan mem-
berikan informasi dan gagasan melalui media
apapun tanpa memperdulikan batas negeri.
2. Kovenan Internasional Pasal 19
Hak-hak Sipil dan Politik. Setiap orang harus mempunyai hak untuk menyata-
kan pendapat, hak ini hak kebebasan mencari, me-
nerima, dan memberikan segala macam informasi
serta gagasan tanpa melihat perbatasan negara.
3. Perubahan kedua Undang- Pasal 28 F
undang Dasar Negara RI tahun Setiap orang berhak untuk berkomunikasi & mem-
1945 peroleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
4. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Pasal 4
Penataan Ruang 2. Setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang
5. PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pasal 2
Pelaksanaan Hak dan Kewajib- Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat
an, serta Bentuk dan Tata Cara berhak :
Peran serta Masyarakat Dalam b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang
Penataan Ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana
rinci tata ruang kawasan.
Pasal 3
1. Dalam rangka mewujudkan hak masyarakat
untuk mengetahui rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, maka
rencana tata ruang diundangkan dan dimuat
dalam:
a. Lembaran Negara, untuk Rencana Tata
Ruang wilayah Nasional dan kawasan
tertentu.
b. Lembaran Daerah Tingkat I, untuk Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I.
c. Lembaran Daerah Tingkat II, untuk Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II.
2. Dalam rangka memenuhi hak masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). peme-
rintah berkewajiban mengumumkan/ menye-
barluaskan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan pada tempat-tempat yang memung-
kinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.

192 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
6. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pasal 5
pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi
lingkungan hidup berkaitan dengan peran
dalam pengelolaan lingkungan hidup
7. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Pasal 41
Perubahan atas Undang- 5) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank
undang No. 7 Tahun 1992 Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan
tentang Perbankan berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti tertulis serta surat-surat
mengenai keadaan keuangan Nasabah dan
Penyimpanan tertentu kepada pejabat pajak.
Pasal 41A
Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara,
Pimpinan Bank Indonesia, memberikan izin kepada
polisi, Jaksa, atau hakim untuk memperoleh
keterangan dari bank mengenai simpanan Debitur.
8. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 Pasal 20
tentang Hak Asasi Manusia Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya.
Pasal 21
Setiap orang berhak mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampai-
kan informasi dengan penggunaan segala jenis
saluran yang tersedia
9. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Pasal 3
Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen bertujuan:
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keter-
bukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
d. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/
atau jasa.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
f. memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
10. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Pasal 27
Perimbangan Keuangan antara 1. Pemerintah Pusat meyelenggarakan suatu
Pemerintah Pusat dan Daerah Sistem Informasi Keuangan Daerah.
2. Informasi yang dibuat dalam Sistem Informasi
Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan data terbuka yang
dapat diketahui masyarakat.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 193
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
11. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Pasal 3: Asas-asas umum penyelenggaraan
Penyelenggara Negara yang meliputi:
Bersih dan Bebas Korupsi, 1. Keterbukaan
Kolusi dan Nepotisme
Pasal 5: Setiap penyelenggara negara
berkewajiban untuk:
1. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum,
selama dan setelah menjabat.
2. Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya
sebelum dan setelah menjabat.
Pasal 9
1. Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam
bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh dan memberi-
kan informasi tentang penyelenggaraan
negara
b. Hak memperoleh perlindungan hukum
dalam hal:
2. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud
dalam huruf a,b,c.
12. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pasal 41
Pemberantasan Tindak Pidana (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimak-
Korupsi sud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. hak mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam
mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
c. hak untuk memperoleh perlindungan
hukum dalam hal:
(a) melaksanakan haknya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, dan c.
13. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Pasal 18
Telekomunikasi a. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
mencatat/ merekam secara rinci pemakaian
jasa telekomunikasi yang digunakan oleh
pengguna telekomunikasi.
b. Apabila pengguna memerlukan catatan/
rekaman pemakaian jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib
memberikannya.
Pasal 42
a. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
merahasiakan informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi
melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya.
b. Untuk keperluan proses peradilan pidana,
penyelenggara jasa telekomunikasi dapat
merekam informasi yang dikirim dan atau

194 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
diterima oleh penyelenggara jasa telekomuni-
kasi serta dapat memberikan informasi yang
diperlukan atas:
(a) permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
untuk tindak pidana tertentu;
(b) permintaan penyidik untuk tindak pidana
tertentu sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melang-
gar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
14. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Pasal 14
Hak Asasi Manusia 1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memper-
oleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan mengguna-
kan segala jenis sarana yang tersedia.
15. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pasal 4
Pers 1. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers
nasional mempunyai hak mencari, memperoleh
dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 17
2. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang
diperlukan.
16. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Pasal 54
Kehutanan 1. Pemerintah bersama-sama dengan dunia
usaha dan masyarakat mempublikasikan hasil
penelitian dan pengembangan sistem informasi
dan pelayanan hasil penelitian dan
pengembangan kehutanan.
Pasal 68
2. Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) masyarakat dapat mengetahui rencana
peruntukan hutan dan informasi kehutanan.
17. PP. No 27 Tahun 1999 tentang Pasal 33
Analisis mengenai Dampak 1. Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
Lingkungan dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumum-
kan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum
pemrakarsa menyusun analisis mengenai
dampak lingkungan hidup.
Pasal 35
2. Semua dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup, saran, pendapat dan
tanggapan warga masyarakat yang berkepen-

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 195
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
tingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputus-
an kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/
atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum.
18. PP No. 68 Tahun 1999 tentang Pasal 2
Tata Cara Pelaksanaan Peran 1. Peran serta masyarakata dalam penyeleng-
Serta Masyarakat dalam garaan negara untuk mewujudkan penyeleng-
Penyelenggaraan Negara gara negara yang bersih dilaksanakan dalam
(turunan UU No. 28/99 tentang bentuk :
penyelenggaraan negara yang a. Hak mencari, memperoleh dan memberi-
bersih dan bebas KKN kan informasi mengenai penyelenggaraan
negara.
Pasal 3
1. Dalam hal masyarakat bermaksud mencari atau
memperoleh informasi tentang penyelenggara-
an negara sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat
(1) huruf a, maka yang berkepentingan berhak
menanyakan kepada atau memperoleh...
2. Hak untuk mencari atau memperoleh informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
Sumber : Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2006.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas,


menurut analisis Koalisi, pengaturan hak atau kebebasan atas informasi,
meliputi:
1) Jaminan hukum terhadap hak atau kebebasan atas informasi
Pada dasarnya jaminan ini bersifat umum (seperti tercantum dalam
pasal 20 TAP MPR No. XVII/MPR/1998), dan yang bersifat khusus,
(seperti Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
tentang Perlindungan Konsumen, dsb). Jaminan ini menyatakan
bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengakses informasi.
2) Dasar dibukanya suatu informasi
Dibukanya suatu informasi serta keberadaan hak atau kebebasan
atas informasi didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
(1) Sebagai wujud adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia (misalnya dalam pasal 20 TAP MPR No. XVII/
MPR/1998 dan pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999);
(2) Sebagai salah satu perwujudan peran serta masyarakat (misalnya
dalam pasal 9 UU No. 28 tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 1999);
(3) Sebagai alat perlindungan masyarakat (misalnya dalam pasal 5
UU No. 23 Tahun 1997 dan pasal 3,4, dan 7, UU No. 8 Tahun 1999).

196 Citra Indonesia di Mata Dunia


3) Informasi yang dapat dibuka, diakses, atau disebarluaskan
Informasi yang dapat dibuka, diakses, atau disebarluaskan kepada
publik meliputi:
(1) Segala macam informasi (pasal 20 Tap MPR No. XVII/MPR/1998,
pasal 14 UU No. 39 tahun 1999, dan pasal 4 dan 17 UU No. 40 tahun
1999);
(2) Informasi tentang hasil penelitian dan pengembangan sistem
informasi, pelayanan hasil penelitian dan pengembangan
kehutanan, serta rencana peruntukkan dan informasi kehutanan
(pasal 54 dan 68 UU No. 41 tahun 1999)
(3) Informasi tentang Sistem Keuangan Daerah (pasal 27 UU No. 25
UU 1999)
(4) Informasi tentang penyelenggaraan negara (pasal 9 UU No. 28
tahun 1999 dan pasal 2 (1) dan 3 (1) PP No. 68 tahun 1999);
(5) Informasi yang berhubungan dengan adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi (pasal 41 (2) UU No. 31 tahun 1999);
(6) Informasi tentang lingkungan hidup dan seluruh dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan-termasuk proses
penyusunan dan persetujuannya (pasal 5 UU No. 23 tahun 1997
dan pasal 35 (1) PP No. 27 tahun 1999);
(7) Informasi tentang rencana tata ruang (pasal 4 (2) UU No. 24
tahun 1992 dan pasal 2 PP No. 69 tahun 1996);
(8) Informasi tentang kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
(pasal 4 UU No. 8 tahun 1999);
(9) Informasi tentang catatan pemakaian jasa telekomunikasi (pasal
18 UU No. 36 tahun 1999).
4) Informasi yang wajib dibuka atau diumumkan kepada publik
Informasi yang dengan atau tanpa adanya permohonan, tetap harus
dibuka atau diumumkan kepada publik. Informasi ini meliputi:
(1) Informasi tentang kekayaan pejabat negara sebelum atau setelah
menjabat (pasal 5 UU No. 28 tahun 1999);
(2) Informasi tentang rencana suatu kegiatan atau usaha (pasal 33 (1)
PP No. 27 tahun 1999.
5) Informasi yang dilarang untuk dibuka
Informasi yang dilarang untuk dibuka kepada publik (wajib
dirahasiakan):

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 197
(1) Informasi tentang simpanan atau keadaan keuangan Nasabah
Penyimpan (pasal 40 UU No. 10 tahun 1998);
(2) Informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
tele-komunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi (pasal 42 (1) UU No. 36 tahun 1999).

Informasi tersebut di atas wajib dibuka kepada pejabat atau


penegak hukum antara lain untuk kepentingan yang berurusan dengan
pajak, proses peradilan suatu tindak pidana, atau dalam rangka
kepailitan (Koalisi, 2003:30-38).
Sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut di atas,
menurut pendapat Koalisi, menunjukkan bahwa jaminan hukum atas
kebebasan informasi telah diakui. Akan tetapi dalam praktek,
berdasarkan pengamatan Koalisi, masih terdapat benturan dengan
perundang-undangan lain. Alasan yang sering digunakan dalam
menolak permohonan seseorang untuk mengakses suatu informasi
adalah bahwa informasi yang dimohonkan itu merupakan rahasia
negara atau rahasia perusahaan.
Berdasarkan pengalaman yang diketahui Koalisi, di masa Orde
Baru, misalnya permintaan seseorang untuk mengetahui anggaran dari
Angkatan Bersenjata RI atau bahkan struktur organisasi suatu
departemen seringkali ditolak dengan alasan bahwa informasi tersebut
merupakan rahasia negara. Sebaliknya untuk tujuan politik tertentu,
seringkali seorang pejabat menyebarluaskan informasi bahwa seseorang
adalah bekas anggota atau keturunan PKI padahal dikemudian hari
informasi tersebut ternyata keliru. Informasi yang keliru menurut Koalisi
dapat menjadi ancaman bagi hak asasi manusia, khususnya bagi
kebebasan informasi (Koalisi, 2003: 36-39).
Koalisi berpendapat bahwa pengakuan terhadap kebebasan
informasi belum mencukupi, masih diperlukan adanya kepastian yang
jelas dan tegas antara lain mengenai: Informasi yang dapat diakses dan
atau disebarluaskan kepada publik, serta informasi yang wajib dibuka
atau diumumkan kepada publik; Mekanisme yang perlu dilalui untuk
memperoleh informasi, termasuk biaya penelusuran informasi dan
proses banding sampai ke pengadilan apabila seseorang berkeberatan
atas penolakan pejabat publik terhadap permohonan pembukaan suatu

198 Citra Indonesia di Mata Dunia


informasi; Sanksi bagi yang berupaya menghalangi pencarian dan
penyebaran informasi; Mekanisme hukum bagi mereka yang
berkeberatan dibukanya suatu informasi. Kejelasannya hanya dapat
diperoleh apabila diatur melalui suatu undang-undang khusus
mengenai kebebasan memperoleh informasi.116
Indonesia selain memiliki undang-undang yang menjamin hak
publik atas informasi, juga memiliki sejumlah undang-undang yang
memuat informasi yang wajib dirahasiakan., seperti tercantum dalam
Tabel 3.10. sebagai berikut.
Tabel 3.10.
Peraturan Perundang-undangan yang Memuat Informasi yang Wajib Dirahasiakan
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1. UU No. 10 Tahun 1998, tentang Pasal 40
Perubahan Atas Undang-Undang a. Bank wajib merahasiakan keterangan
No. 7 Tahun 1992, tentang mengenai nasabah penyimpan dan simpanan-
Perbankan nya, kecuali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, 41A, 42, 43, 44, dan 44A.
2. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Pasal 42
Telekomunikasi (3) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
merahasiakan informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi
melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakan.
3. UU No. 30 Tahun 2000, tentang Pasal 2
Rahasia Dagang Lingkup perlindungan usaha dagang meliputi
metode produksi, metode pengolahanm metode
penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi
dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan
tidak diketahui oleh masyarakat umum.
4. Kitab Undang-undang Hukum Pasal 112
Pidana (KUHP) Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, atau
mengabarkan atau menyampaikan surat-surat,
kabar dan keterangan tentang sesuatu hal kepada
negara asing , sedang ia mengetahui, bahwa
surat, kabar, atau keterangan itu harus dirahasia-
kan kerena kepentingan negara, dipidana dengan
penjara selama-lamanya 7 tahun.
Pasal 113
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan,
memberitahukan, atau menyampaikan kepada
orang yang tidak berhak mengetahui,
segenapnya atau sebagian dari surat, peta
bumi, rencana, gambar atau benda rahasia
yang berhubungan dengan pertahanan atau

116
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. op. cit. hlm. 9-14.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 199
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
keselamatan Republik Indonesia terhadap
serangan negeri asing, yang disimpang
olehnya atau yang diketahui olehnya akan isi
surat atau bentuk atau cara membuat benda-
benda rahasia itu, dipidana dengan pendana
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 114
Barangsiapa karena kesalahannya, menyebabkan
surat atau rahasia, termaksud dalam Pasal 113,
yang mana ia wajib menjaga atau menyimpan
atau bentuknya atau caranya membuat,
seluruhnya atau sebagian, menjadi diketahui oleh
orang banyak atau diperoleh atau diketahui orang
lain, yang didak berhak mengetahui, maka ia
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
satu tahun enam bulan atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 115
Barangsiapa membaca atau memeriksa surat atau
benda-benda rahasia yang tersebut dalam Pasal
113, seganapnya atau sebahagian, yang
diketahui-nya atau patut dapat disangka, bahwa
surat atau benda rahasia itu tidak boleh diketahui-
nya, membuat atau menyuruh membuat salinan
atau petikan huruf atau bahasa apapun juga, atau
membuat atau menyuruh membuat gambar atau
tiruan dari surat-surat atau benda-benda itu atau
yang tidak memberikan surat atau benda itu
kepada pegawai kehakiman atau polisi atau
pamong praja, jika surat-surat atau benda-benda
itu diperolehnya, maka orang itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya tiga tahun.
Pasal 137
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan sehingga kelihatan oleh
umum tulisan atau gambar, yang isinya
menghina Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud supaya isinya yang
menghina itu diketahui oleh umum, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya satu
tahun empat bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 155
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempel sehingga kelihatan oleh
umum tulisan atau gambar yang isinya
menyatakan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap pemerintah Republik
Indonesia dengan maksud supaya diketahui
oleh umum atau lebih diketahui oleh umum,
dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya empat tahun enam bulan atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.

200 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 157
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan tulisan atau gambar, yang
isinya menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian, atau penghinaan terhadap atau
antara beberapa golongan isi-negara Republik
Indonesia dengan maksud supaya isinya
diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya dua tahun enam
bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat
ribu lima ratus rupiah.
Pasal 161
i. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan tulisan, yang isinya meng-
hasut supaya orang melakukan sesuatu
tindak pidana atau melawan kuasa umum
dengan kekerasan atau supaya orang jangan
menurut seperti yang diterangkan dalam pasal
di atas, dengan maksud supaya isi tulisan
yang meng-hasut itu diketahui oleh umum
atau lebih diketahui oleh umum, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya
empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 163
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan,
atau menempelkan tulisan-tulisan yang isinya
berjanji akan memberi keterangan,
kesempatan atau ikhtiar untuk melakukan
sesuatu tindak pidana dengan maksud
supaya janji itu diketahui oleh umum atau
lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya empat bulan
dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya
empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 207
Barangsiapa dengan sengaja di muka umum
dengan lisan atau dengan tulisan menghina suatu
kekuasaan yang diadakan di daerah Republik
Indonesia atau suatu badan umum yang diadakan
disini, dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya satu tahun enam bulan atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 208
(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan suatu tulisan atau gambar
yang isinya menghinakan suatu kekuasaan
yang diadakan di daerah Republik Indonesia
atau kepada suatu badan umum yang diada-
kan disini, dengan maksud suapaya isi yang
menghinakan itu diketahui umum atau lebih
diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya empat bulan atau
denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima
ratus rupiah.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 201
NO PERATURAN KETENTUAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 323
(1) Barangsiapa dengan sengaja
memberitahukan hal ikhwal tentang
sesuatu perusahaan dagang, kerajinan
atau pertanian tempat ia bekerja atau
dahulunya telah bekerja, sedang ia
diwajibkan merahasiakan hal ikhwal itu,
dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya sembilan ribu
rupiah.

Sumber: Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2006.

Pada prinsipnya semua undang-undang tentang kebebasan


mem-peroleh informasi di negara-negara yang telah memilikinya
dipelajari dan dijadikan referensi oleh Koalisi. Baik melalui kunjungan
langsung kepada negara-negara yang bersangkutan, maupun melalui
studi literatur. Tidak hanya kebebasan informasi di negara-negara
Eropa dan Amerika, tetapi juga kebebasan informasi di negara-negara
di Asia yaitu Jepang dan Thailand. Dokumentasi hasil pengkajian, dan
sekaligus sebagai bahan kampanye, telah diterbitkan buku yang
berjudul Kebebasan Informasi di Beberapa Negara oleh Koalisi
bekerja sama dengan USAID, The Asia Foundation, dan Friedrich Ebert
Stiftung Isinya menguraikan tentang kebebasan informasi di Amerika
Serikat, Inggris, Swedia, Jepang, dan Thailand.
Pemberlakuan undang-undang kebebasan memperoleh
informasi menurut Koalisi tidak harus menunggu kelengkapan
infrastruktur. Dicontohkan di Swedia hak atas kebebasan informasi
sudah dikenal masyarakat Swedia sejak lebih dua ratus tahun yang lalu,
tepatnya tahun 1776 dalam The Freedom of Information Act, sekalipun
sistem data base maupun teknologi informasi yang canggih belum
dikenal. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak
segera memberlakukan undang-undang kebebasan memperoleh
informasi sekalipun belum memiliki infrastruktur yang canggih.
Amerika Serikat pertama kali mengesahkan The Freedom of
Information Act pada tahun 1966. Selain di tingkat federal, masing-
masing negara bagian pun memiliki undang-undang kebebasan

202 Citra Indonesia di Mata Dunia


memperoleh informasi dengan nama yang berbeda-beda. Ketentuan-
ketentuannya tidak jauh berbeda dengan undang-undang kebebasan
memperoleh informasi di tingkat federal. New Zealand, mengesahkan
undang-undang kebebasan memperoleh informasi tahun 1982 dalam
Official Information Act, The Nederlands tahun 1991 dalam Act
Containing Regulations Governing Public Access to Government, Canada
tahun 1996 dalam Freedom of Information Act and Protection of Privacy Act,
diikuti Inggris pada tahun 2000 dalam The Freedom of Information Act
(Koalisi, 2003:67).117 Data pada bulan Juli 2006, tercatat 68 negara di
dunia yang telah memiliki undang-undang tentang akses publik
terhadap informasi.118
Koalisi di dalam buku Kebebasan Informasi di Beberapa Negara
sengaja menguraikan secara kronologis perjuangan untuk memiliki
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi di Jepang dan
Thailand untuk membuktikan bahwa kebebasan memperoleh informasi
bukan konsep barat yang dicangkokkan ke timur melainkan
konsep yang diperlukan bagi negara-negara yang berpaham demokrasi.
Undang-undang kebebasan memperoleh informasi di Jepang dan
Thailand telah memberikan andil besar bagi terwujudnya pemerintahan
yang terbuka, dan bertanggung jawab yang menjadi prasyarat untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Diuraikan Khatarina, (2003 : 67-85) bahwa di Jepang peraturan
yang menjamin akses masyarakat Jepang terhadap informasi berawal
dari tingkat lokal. Perjuangan rakyat Jepang menuntut jaminan
informasi, disponsori oleh organisasi konsumen di Jepang, Shufu
Rengokai, tahun 1960, yang meminta Kementerian Kesehatan dan
Kesejahteraan Jepang memberikan informasi mengenai dampak
pestisida dan zat-zat tambahan dalam makanan karena adanya
perdebatan di tubuh Kementerian Kesehatan mengenai boleh tidaknya
penggunaan zat-zat tersebut. Tetapi, permintaan Shufu Rengokai oleh
pemerintah Jepang ditolak. Kasus penolakan terhadap permintaan
informasi dari masyarakat Jepang oleh pemerintah mengenai efek
samping Thalidomide dan beberapa obat-obatan lainnya yang merugikan

117
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan akhir tahun 2003. hlm. 4.
118
The Online Network of Freedom of Information advocates: Melalui: <http://www. freedominfo.org/>

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 203
kehamilan, sebagaimana dikampanyekan di Eropa bahwa Thalidomide
dapat menyebabkan kecacatan pada bayi dalam kandungan. Kasus,
ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka dinyatakan terbukti
menerima suap dari perusahaan pembuat pesawat Amerika supaya
pemerintah Jepang membeli pesawat Amerika yang diungkap oleh
parlemen Amerika. Permintaan masyarakat Jepang untuk mengetahui
kebenaran skandal tersebut ditolak oleh pemerintah Jepang dengan
alasan menjaga kerahasiaan pejabat publik. Kasus-kasus tersebut
menurut Khatarina telah memberikan pelajaran kepada masyarakat
Jepang, bahwa akar permasalahan yang mereka hadapi adalah
ketiadaan jaminan akses informasi publik.
Dimulai tahun 1979, Japan Civil Liberty Union (JCLU) membuat
usulan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara
mendapatkan informasi yang disebut JCLU's Proposal for an Information
Disclosure Law. Sejak diusulkan tahun 1979, kurang lebih 20 tahun
kemudian, yaitu tahun 1999 Jepang memiliki undang-undang yang
disebut Law Concerning Access to Information Held By Administrative
Organs, atau Undang-undang tentang Akses Terhadap Informasi yang
Dikuasai Badan-badan Administratif.
Pada tingkat lokal, atau pemerintah daerah (pemda) Jepang,
ternyata telah memiliki peraturan yang menjamin transparansi di
wilayahnya lahir jauh lebih dahulu dari undang-undang nasional yang
menjamin akses informasi. Berdasarkan Konstitusi Jepang, pemda
berhak mengatur urusan pemerintah di wilayahnya, termasuk
mengeluarkan aturan di wilayahnya sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum nasional. Dapat difahami apabila Kanagawa dan Saitama
prefectures (setingkat propinsi) pada tahun 1982 menjadi pelopor
kebebasan informasi di Jepang dengan mengeluarkan peraturan yang
menjamin kebutuhan informasi di daerah tersebut. Kemudian, diikuti
oleh Kanayama Villages di wilayah Kanagama Prefecture yang pada tahun
yang sama juga mengeluarkan Perda mengenai akses informasi. Pada
tahun 1998 hampir di seluruh pemda tingkat Propinsi (prefecture) telah
mengundangkan peraturan daerah untuk menjamin akses informasi
publik di daerah masing-masing. Hingga 1 April 2001, tercatat sudah
2131 Pemda dari sekitar 3200 Pemda tingkat II di Jepang telah
menetapkan Perda sejenis .

204 Citra Indonesia di Mata Dunia


Mengenai pengajuan informasi di Jepang, tidak diwajibkan bagi
peminta informasi memberikan alasan mengapa mereka meminta
informasi tertentu. Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Akses Informasi
Jepang hanya mengatur bahwa setiap peminta informasi wajib
mengajukan permintaan informasi dengan menyertakan (1) nama dan
alamat yang jelas; dan (2) spesifikasi informasi yang diminta dan
keterangan lain yang memudahkan pencarian informasi. Perihal
memperoleh informasi secara cepat dan tepat waktu diatur secara rinci
dalam Undang-undang Akses Informasi.
Untuk memperoleh informasi, peminta informasi dikenakan
biaya. Pengaturan mengenai biaya permintaan informasi sendiri
berbeda-beda di tiap daerah. Di tingkat nasional, (1) peminta informasi
hanya dapat dibebani dengan biaya yang benar-benar (riil) dikeluarkan
oleh Badan Publik tersebut (within the limits of actual expenses); (2) dalam
menerapkan biaya tersebut, maka pejabat publik harus memper-
timbangkan apakah biaya tersebut dapat dipikul oleh peminta
informasi; (3) apabila ada kesulitan ekonomis dalam memikul biaya
tersebut, maka pejabat Badan Publik yang bersangkutan dapat
memutuskan untuk mengurangi atau membebaskan peminta informasi
dari biaya yang seharusnya ditanggung. Setiap Badan Publik secara
khusus harus menunjuk Dirjen Manajemen dan Koordinasi (The Director
General of Management and Coodination Agency) untuk membuat kantor
khusus tempat melayani permintaan informasi (general inquiry offices).
Di Thailand menurut Sudirman (2003 : 99-111) pada tahun 1997
Thailand telah memiliki Official Information Act (OIA) yang memberikan
hak kepada seluruh rakyat Thailand untuk mendapatkan semua
informasi yang dikuasai pemerintah. Sekalipun demikian, dalam kasus
permintaan informasi dari keluarga korban mengenai data korban
unjuk rasa terhadap kudeta militer tahun 1991 yang mengakibatkan
ribuan orang meninggal, pemerintah tidak memberikan informasi
secara terbuka dan lengkap. Kelemahan OIA, tidak mengatur secara
tegas jenis hukuman bagi lembaga pemerintah yang gagal menjalankan
fungsinya untuk menyediakan informasi. Pejabat pemerintah yang
bersangkutan hanya mendapat teguran dari Official Information
Commision (OIC) apabila pemerintah menolak memberi informasi yang
diminta masyarakat padahal informasi tersebut dimilikinya. Kelemahan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 205
lain, OIA tidak memiliki asas yang menyatakan bahwa rakyat tidak
perlu menyertakan alasan bagi permohonan informasi, baik hanya
untuk melihat, mengetahui atau mendapatkan informasi. OIA tidak
memuat secara tegas asas yang menyatakan bahwa akses terhadap
informasi publik harus bersifat sederhana, murah, cepat, dan tepat
waktu. OIA juga secara tegas mencantumkan beberapa jenis informasi
yang dilarang untuk disebarluaskan dan juga untuk dibuka.
Sekalipun OIA Thailand tidak sempurna dibanding undang-
undang kebebasan informasi di negara-negara barat, tetapi menurut
pendapat Sudirman, rakyat Thailand sudah mempunyai mekanisme
khusus untuk memperjuangkan hak-haknya atas informasi yang
dikuasai pemerintah. Pejabat pemerintah tidak dapat berkata tidak
dengan seenaknya atas permohonan rakyat karena OIA dengan tegas
menyatakan bahwa penolakan atas sebuah permohonan informasi
harus disertai dengan alasan yang kuat dan tidak mengada-ada.
Manfaat keberadaan undang-undang kebebasan informasi di
Jepang dan Thailand telah dirasakan masyarakat. Di Jepang, korupsi
yang besarnya nyaris 80% dari keseluruhan dana publik dengan dalih
biaya entertainment berhasil diungkap. Di Thailand, berkat Official
Information Act, seorang ibu rumah tangga biasa berhasil mendapatkan
informasi tentang tes putrinya yang dinyatakan gagal memasuki
sekolah unggulan. Dengan demikian manfaatnya tidak hanya dirasakan
oleh pers, politisi, pekerja lembaga swadaya masyarakat atau kaum
akademisi, tetapi juga oleh masyarakat dalam arti luas termasuk oleh
masyarakat awam. Kebebasan informasi juga tidak serta merta
'mengancam' rahasia negara. Mengacu kepada prinsip-prinsip dan
model hukum internasional, bahwa kebebasan informasi mengakui
sederetan informasi yang patut dikecualikan setelah melalui
serangkaian pengujian serta pertimbangan. Jangka waktu juga menjadi
salah satu bahan pertimbangan. Contoh di Amerika Serikat, dokumen
yang termasuk kategori rahasia negara, setelah diuji bersama oleh
kalangan pertahanan keamanan dan akademisi sejarawan, dalam
jangka waktu dua puluh lima tahun harus dibuka untuk publik.119

119
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Laporan Koalisi Akhir Tahun 2003.

206 Citra Indonesia di Mata Dunia


3.4. Diplomasi Publik Di Indonesia
Penyelenggaraan diplomasi publik di Indonesia merupakan
pelaksanaan dari kebijakan diplomasi pemerintah Republik Indonesia
dan dalam bingkai kebijakan politik luar negeri Indonesia. Diplomasi
publik selain diselenggarakan oleh aktor-aktor negara juga dilaksanakan
oleh aktor-aktor non-negara yang berada pada lembaga-lembaga non-
pemerintah seperti Ornop/LSM.
Ornop-ornop yang menghadapi masalah dan tujuan yang sama
menggabungkan kegiatan dan sumberdaya dalam sebuah koalisi,
seperti Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang memperjuangkan
lahirnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.
Koalisi melakukan advokasi dan lobi kepada DPR RI dan pemerintah RI,
serta bekerjasama dengan lembaga/Ornop internasional yang
memperjuangkan isu yang berhubungan dengan kepentingan
internasional, seperti isu hak asasi manusia, pemerintahan terbuka,
tatanan pemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana
diperjuangkan pula oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi.

3.4.1. Kebijakan Diplomasi Pemerintah Republik Indonesia


3.4.1.1. Politik Luar Negeri dan Diplomasi RI
Meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka
memperjuangkan kepentingan nasional merupakan salah satu arah
kebijakan pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerja sama
internasional yang tercantum dalam Peraturan Presiden nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009. RPJMN memuat berbagai program pembangunan
nasional dalam jangka menengah, dan salah satu kegiatan dalam
program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi
Indonesia adalah peningkatan citra dan promosi keberhasilan
pelaksanaan demokrasi, kebebasan warga, dan kesetaraan gender.
RPJMN selanjutnya berdasarkan Undang-undang nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dijabarkan oleh Kementerian/Lembaga yang disebut Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (RPJMK/L)
yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 207
Rencana Stratejik Departemen Luar Negeri 2004-2009 memuat
Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Kebijakan dan Program Departemen Luar
Negeri RI 2004-2009. Visi Deparlu RI adalah Melalui diplomasi total,
ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman, adil, demokratis
dan sejahtera. Misi Deparlu RI sebanyak tujuh pernyataan misi, dan
salah satu misi adalah meningkatkan citra Indonesia di masyarakat
internasional sebagai negara demokratis, pluralis, menghormati hak
asasi manusia, dan memajukan perdamaian dunia.
Sasaran Departemen Luar Negeri RI terdiri dari 27 sasaran, dan
salah satu sasaran adalah meningkatnya peran infomasi dan diplomasi
publik dalam memajukan citra Indonesia. Kebijakannya antara lain
mengoptimalkan diplomasi sosial budaya dan diplomasi kemanusiaan,
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam rangka pelaksanaan
diplomasi total, melaksanakan diplomasi publik dalam mendiseminasi-
kan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Program utamanya antara lain pemantapan politik luar negeri
dan optimalisasi diplomasi Indonesia dalam penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri; peningkatan
kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal
berbagai peluang dalam diplomasi dan kerjasama internasional
terutama kerjasama ASEAN di samping negara-negara yang memiliki
kepentingan yang sejalan dengan Indonesia; penegasan komitmen
perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membangun dan
mengembangkan semangat multilateralisme dalam memecahkan
berbagai persoalan keamanan internasional.120
Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program Departemen
Luar Negeri RI disusun dengan memperhatikan akibat globalisasi yang
membuat batas-batas nasional semakin kabur, dan saling ketergantung-
an, baik antarnegara maupun antarmasalah. Implikasi utama dari
globalisasi adalah kompetisi, sehingga pihak yang dapat memperoleh
manfaat dari globalisasi adalah yang mampu berkompetisi. Pihak yang
tidak mampu berkompetisi akan mendapatkan mudharatnya.
Globalisasi yang ditandai dengan revolusi informasi yang berakar
pada teknologi informasi, membuat jarak waktu menjadi hilang.

120
Deplu RI, Rencana Stratejik Deplu RI 2004-2009. Melalui: <http://www.deplu.go.id>

208 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dampak perkembangan teknologi informasi, Departemen Luar Negeri
RI harus menghadapi tatanan waktu pelayanan hubungan luar negeri
yang tidak berhenti. Sedangkan informasi tidak ada begitu saja tetapi
diciptakan untuk kepentingan penciptanya. Mengutip pendapat Prof.
Joseph Nye: 'Information does not just exist. It is created. It serves the purpose
of its creator'. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah RI tentang diplomasi
tidak terlepas dari upaya untuk menyikapi perkembangan keadaan
yang ditandai oleh globalisasi, dan revolusi informasi, yang bergulir
secara stabil dan gerakannya yang terus membesar, serta munculnya
aktor-aktor nonnegara dalam diplomasi, sebagaimana dikemukakan
Umar Hadi, Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI.
Kemunculan aktor-aktor selain pemerintah atau negara dalam
diplomasi, menurut Umar Hadi, menjadikan dominasi pemerintah
dalam diplomasi terkurangi. Dikemukakannya bahwa di akhir tahun
1980-an telah dibicarakan tentang pengaruh NGOs yang semakin hari
semakin kuat. Setelah reformasi, peranan aktor-aktor nonnegara yang
terdiri dari NGOs/LSM semakin kuat. Bukan hanya NGOs yang bersifat
imparsial tetapi juga NGOs/LSM klasik yang telah lama memiliki
pengaruh seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan Islam,
Mahasiswa, Masyarakat Pengusaha, sebagai interest group. Aktor-aktor
nonnegara semakin lama semakin banyak dan beragam. Memperhatikan
perkembangan keadaan seperti dikemukakan di atas, maka konsep
konsep yang melandasi kebijakan luar negeri, terdiri dari tiga konsep
yaitu konsep intermestik, konsep diplomasi total dan konsep benah diri.
Konsep intermestik adalah berpadunya konsep kebijakan
internasional dengan kebijakan domestik. Antara kebijakan yang
berlaku secara internasional tidak boleh ada jarak dengan kebijakan
yang berlaku secara nasional. Beberapa contoh dikemukakan Umar
Hadi, seperti pada saat sebelum Indonesia menghadapi krisis moneter
tahun 1997, dalam lingkup internasional telah terjadi liberalisasi di
bidang ekonomi. Indonesia juga melakukan liberalisasi tetapi setengah
hati. Tidak didukung oleh sistem hukum yang cukup, oleh birokrasi
yang anti korupsi, dan oleh pengusaha yang memiliki jiwa
enterprenership, sehingga jarak kebijakan antara dalam negeri dengan
internasional begitu jauh, dan dengan sedikit gangguan pada bidang
ekonomi di lingkup internasional maka ekonomi Indonesia collapse.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 209
Contoh lain, seperti sejak akhir perang dunia, perjuangan
internasional diarahkan kepada pemenuhan hak asasi manusia dan
kepada terciptanya tatanan pemerintahan yang baik atau good
governance. Tetapi di Indonesia di dalam pembangunan politiknya
dikekang yang mengakibat-kan tatanan kenegaraan menjadi lumpuh.
Contoh kasus, apabila terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, para
diplomat tidak dapat menutup-nutupi lagi pelanggaran HAM tersebut
karena bangsa lain akan cepat mengetahui melalui teknologi informasi.
Dengan demikian diplomasi tidak lagi menjadi ujung tombak dalam
membela kepentingan nasional. Sehubungan dengan itu diplomasi,
harus dapat mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan di luar
kepada publik dalam negeri, dan mengkomunikasikan perkembangan-
perkembangan di dalam negeri ke luar negeri. Diplomasi harus menjadi
dua arah untuk memperkecil jarak.
Konsep diplomasi total adalah konsep diplomasi yang
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam diplomasi serta melihat
masalah secara integratif. Mengingat, jarak antara masalah internasional
dengan masalah domestik menjadi kabur, dan aktor dalam diplomasi
bukan hanya aktor pemerintah, serta masalah tidak dapat dipandang
berdiri sendiri-sendiri. Visi Departemen Luar Negeri RI mengenai
pengertian diplomasi total yaitu instrumen dan cara yang digunakan
dalam diplomasi dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder,
memanfaatkan seluruh lini kekuatan (multi-track diplomacy).
Contoh kasus, juga dikemukakan Umar Hadi seperti penyelesaian
masalah perbatasan Indonesia-Malaysia tidak dapat hanya dilihat
sebagai masalah hukum, tetapi kesatuan dari masalah hukum, ekonomi,
politik, dan sosial budaya, serta memerlukan penanganan secara
terintegrasi. Kasus lain, bagaimana menanamkan rasa cinta Indonesia
kepada masyarakat yang tinggal di perbatasan Provinsi Sulawesi Utara
dan Filipina. Mereka banyak melihat siaran televisi dari Philipina,
berbelanja ke Filipina. Oleh karena itu untuk menanamkan rasa cinta
kepada Indonesia, ekonomi mereka harus dibangun, perangkat
telekomunikasi dan penyiaran radio/televisi harus dibangun. Kondisi
seperti di atas jika ditelaah berdasarkan kebutuhan akan pembangunan
suatu model diplomasi yang mampu mengajak masyarakat Sulawesi
tersebut maka Pemerintah RI maupun Ornop hendaknya melakukan

210 Citra Indonesia di Mata Dunia


kerjasama dengan Pemerintah Filipina. Dengan demikian pendekatan
diplomasi yang bisa dikembangkan sebagaimana dikemukakan oleh
Diamond and McDonald (1996 : 1;5-6) menjadi Multi-Track Diplomacy
diantaranya dengan mengimplementasikan jalur diplomasi ketiga yaitu
dengan cara memberdayakan kerjasama kelompok bisnis atau juru
damai melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan, antara Indonesia
dan Filipina.
Konsep benah diri menurut Umar Hadi adalah konsep
membenahi diri Departemen Luar Negeri supaya diplomasi dapat
berjalan dengan baik. Disadari Deplu RI bahwa pasca perang dingin
menghadapi masalah internasional tidak dapat ditangani dengan cara-
cara lama. Sehubungan itu dalam konsep benah diri Deplu RI
melakukan tiga hal yaitu restrukturisasi organisasi, restrukturisasi
perwakilan, dan pembenahan profesi.
Restrukturisasi Deplu RI dilakukan dengan mengubah struktur
organisasi Deplu RI yang semula disusun menurut pembidangan (politik,
sosial budaya dan ekonomi), menjadi berbasis kawasan (Asia Pasifik dan
Afrika, Amerika dan Eropa, Kerjasama ASEAN), sesuai dengan konsep
intermestik. Restrukturisasi Kantor Perwakilan diubah dengan lebih
menekankan kepada kompetensi dengan menempatkan pejabat yang
memiliki bobot kompetensi sesuai dengan bobot politik yang dihadapi
dari suatu negara, di samping penempatan konsulat yang perlu
disesuaikan dengan perkembangan pusat pertumbuhan suatu wilayah.
Pembenahan profesi selain dalam rangka peningkatan kemampuan
profesionalisme pegawai, antara lain diarahkan pula kepada tercapainya
rasio ideal antara jumlah diplomat dengan staf yang bukan diplomat.
Khusus mengenai dibentuknya Direktorat Diplomasi Publik,
Umar Hadi menjelaskan bahwa dalam era demokrasi, pemerintah tidak
dapat lagi mendominasi hal ihwal yang menyangkut kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aktor pemerintah pun tidak
lagi didominasi oleh pemerintah pusat, karena pemerintah daerah juga
sering menjadi aktor dalam diplomasi, berhubungan langsung dengan
negara lain, dan membuat nota kesepahaman.
Mengemukakan kembali peranan aktor nonnegara dalam
diplomasi, dikemukakan Umar Hadi, di negara-negara maju,

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 211
pemerintah sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor nonpemerintah.
Apabila hubungan antar pemerintah baik, tetapi dengan NGOs/LSM di
negara yang bersangkutan tidak baik, maka hubungan itu kurang
memiliki arti penting. Hubungan NGOs sebagai aktor nonpemerintah
di Indonesia dengan NGOs di negara negara lain, menurut
pengamatannya sudah baik, bahkan dengan kecepatan hubungan yang
sangat cepat. Departemen Luar Negeri RI dalam melakukan
pendekatan hubungan dengan NGOs di luar negeri, dilakukan melalui
NGOs di dalam negeri yang memiliki jaringan kerjasama dengan NGOs
di luar negeri tersebut, atau sebaliknya.
Departemen Luar Negeri RI dalam melaksanakaan diplomasi
total telah melibatkan NGOs/LSM klasik seperti Muhammadiah,
Nahdatul Ulama, antara lain dengan menyelenggarakan International
Conference of Islamic Scholars, kemudian, bersama-sama Pemerintah
Australia dan Pengurus Pusat Muhammadiyah, Pemerintah Indonesia
menyelenggarakan Regional Dialogue on Interfaith Cooperation. Demikian
pula bekerja sama dengan tokoh-tokoh lintas Agama, dan melibatkan
pula media massa. Departemen Luar Negeri tidak melakukan kerja
sama dengan Koalisi untuk Kebebasan Informasi karena, kegiatan
Koalisi untuk memperjuang-kan lahirnya undang-undang kebebasan
memperoleh informasi publik merupakan masalah domestik dan
menjadi wilayah Departemen Komunikasi dan Informatika.
Departemen Luar Negeri saat ini memiliki dua isu yang dapat
dipromosikan ke negara lain dalam rangka membanguun citra
Indonesia, yaitu Pertama, demokratisasi. Perubahan yang dilakukan
Indonesia dalam konteks demokrasi dipandang oleh bangsa lain sebagai
sesuatu yang luar biasa. Sejak bangsa Indonesia menyelenggarakan
pemilu 2004 yang pertama, untuk pemilihan anggota DPR RI dan DPRD.
Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
yang dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia, yang berlangsung
sukses selama dua kali putaran, diindikasikan dengan pelaksanaan yang
tepat waktu, tidak terjadi konflik dan kekerasan. Kedua, Umat Islam
Indonesia adalah umat Islam yang moderat dan menghargai
kebhinnekaan atau pluralisme.121

121
Wawancara dengan Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI. tgl. 13 Februari 2006.

212 Citra Indonesia di Mata Dunia


Menelaah apa yang dikemukakan informan kunci di atas maka
kaitan dengan upaya penerapan public relations dalam implementasi
program Koalisi pada dasarnya akan membutuhkan analisis khusus
terhadap kondisi nyata yang dialami oleh masyarakat, bukan hanya
oleh negara atau pemerintahan saja. Peran ornop di dalamnya dapat
dijadikan perantara atau medium untuk bisa masuk secara lebih adaptif
dengan lingkungan/kondisi bangsa atau pemerintahan dan kehidupan
masyarakat di negara yang dituju. Selama ini bangsa Indonesia tidak
tanggap dengan kemampuan ornop untuk melakukan tugas-tugas
diplomasi yang dibutuhkan, padahal jika prinsip-prinsip public relations
yang menggunakan pendekatan kegiatan secara demokratis dilakukan,
setidaknya permasalahan kebutuhan dan pembangunan sarana
diplomasi yang mengarah kepada terciptanya keterbukaan dan
demokratisasi informasi dapat diwujudkan dengan mudah. Dari
temuan ini penulis dapat visualisasikan sebagai berikut.

Aktivitas Diplomasi Publik


Multi-Tack Diplomacy
dengan Inplementasi

Pemerintah

Wujud Kebebasan

Praktek Diplomasi
Kondisi Masyarakat
Proses Diplomasi

Informasi dalam
Peran Diplomasi

Indonesia

antar Bangsa
memberikan negara lain dengan
keunggulan dan
kepercayaan
pengaruh yang kuat
tergadap kiprah
terhadap masyarakat
Ornop dengan
bangsa Indonesia
pendekatan Public
Relations

Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006.

Gambar 3.3. Impl Public Relationsementasi Kegiatan Ornop melalui


Pendekatan dalam Proses Diplomasi Publik

Gambaran umum kehidupan politik, ekonomi, dan sosial,


negara-negara di dunia serta hubungannya dengan kedudukan dan
sikap Indonesia menghadapi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial
negara-negara di dunia, dalam refleksi tahun 2005 dan proyeksi tahun
2006, telah dipaparkan Menteri Luar Negeri RI dalam paparan lisannya
tanggal 6 Januari 2006. Antara lain diungkapkan bahwa situasi politik
dan keamanan dunia pada tahun 2005 relatif lebih baik dari tahun-tahun
sebelumnya. Tidak ada perang terbuka di dunia, sementara kawasan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 213
Asia-Pasifik relatif aman dan stabil. Konflik-konflik internal di berbagai
belahan dunia juga mereda, bahkan konflik menahun, seperti di Aceh,
dapat diselesaikan melalui proses perdamaian. Banyak yang menilai
bahwa penyelesaian konflik di Aceh dapat menjadi contoh atau model
bagi penyelesaian konflik-konflik internal di negara-negara lain.
Perekonomian dunia menurut Menlu RI juga cenderung
membaik. Pertumbuhan ekonomi dunia menunjukkan tanda-tanda
perbaikan di penghujung 2005. Motor dari pertumbuhan itu antara lain
ekonomi Amerika Serikat yang terus membaik dan ekonomi China yang
terus tumbuh dengan rata-rata 9%. Menyusul ekonomi India yang pada
tahun 2005 tumbuh dengan 7%. Kemudian dikemukakan pula oleh
Menlu RI bahwa keinginan dan upaya ke arah liberalisasi Perdagangan
dunia tetap kuat, bahkan liberalisasi Perdagangan pada tingkat regional
justru semakin marak dengan menjamurnya free trade areas (FTAs).
Dari temuan di atas, di antaranya penulis dapat mengkonstruksi
model kegiatan Koalisi yang memberikan pemaknaan dalam diplomasi
publik terhadap pencitraan, seperti pada gambar berikut.

Intermestik
= Demokratisasi
=
Restrukturisasi
Diplomasi
=
Deplu Pluralis
=
Total
= Horamti
= HAM

Aktor
Non Negara
Koalisi

Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006.

Gambar 3.4. Kegiatan Koalisi dalam Diplomasi Terhadap Kondisi Pencitraan

Kemiskinan menurut Menlu RI, masih menjadi masalah global


yang serius. Sekitar 1,2 milyar manusia, atau 21% dari penduduk dunia
hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, sasaran-sasaran
pembangunan global yang ditargetkan dalam Millennium Development
Goals (MDGs) masih menjadi sumber keprihatinan khususnya bagi

214 Citra Indonesia di Mata Dunia


negara-negara berkembang. Mengenai penghapusan hutang negara-
negara miskin oleh negara-negara maju (Government-8), Indonesia
menyambut baik, tetapi komitmen United Nations Summit untuk
mencapai target MDGs, khususnya financing for development tidak
cukup kuat.
Pertentangan antara multilateralisme dan unilateralisme yang
sempat memuncak pada bulan Maret 2003, dinyatakan Menlu, telah
mereda, bahkan mulai muncul kesadaran bahwa penggunaan hard
power sebagai wujud unilateralisme ternyata tidak menyelesaikan
masalah. Sebaliknya, demokrasi dan kerja sama sebagai bentuk
pendekatan soft power cenderung mengemuka.
Demokrasi, baik sebagai nilai universal maupun sistem
kepemerintahan, telah diterima di sebagian besar negara. Di sejumlah
negara di kawasan Afrika, Amerika Selatan dan Tengah, serta Asia
Pasifik yang sejak awal 1990-an menjadi ajang konflik internal-kini telah
tampil pemerintahan-pemerintahan baru yang demokratis. Demikian
pula di wilayah-wilayah konflik seperti Palestina dan Irak, praktik
demokrasi dalam pemerintahan terus berkembang. Dengan demikian,
seperti di Indonesia sendiri, demokrasi bisa diharapkan menjadi faktor
pendorong bagi penyelesaian konflik.
Dunia juga semakin peduli pada human security dengan
mencuatnya masalah-masalah yang menjadi ancaman bagi keselamatan
bersama seperti misalnya terorisme dan penyakit HIV/AIDs atau avian
influenza. Bersamaan dengan itu, isu-isu good governance dan anti
korupsi juga menjadi agenda penting dunia.
Menurut Menlu kemajuan proses reformasi dan demokratisasi di
Indonesia, telah memungkinkan Indonesia lebih siap dalam guliran
proses globalisasi dan bahkan menempatkan Indonesia dalam arus
utama (mainstream) masyarakat global. Tidak ada kecanggungan sama
sekali bagi Indonesia dalam diskursus global mengenai demokrasi, good
governance, pemajuan HAM, anti korupsi dan perdagangan bebas.
Indonesia juga telah tampil kembali sebagai pemain aktif di
kawasan Asia Timur yang berkembang sangat dinamis. Munculnya
China sebagai kekuatan ekonomi serta India yang mulai bangkit telah
menciptakan dinamika baru dalam tata hubungan antar negara di

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 215
kawasan yang pada gilirannya ikut mempengaruhi hubungan-
hubungan politik dan keamanan serta proses kerja sama dan integrasi
kawasan. Oleh karena itu, harus sudah diantisipasi keperluan penataan
ke arah suatu equilibrium baru di kawasan dalam satu atau dua
dasawarsa mendatang.
Proses integrasi kawasan juga berkembang pesat. ASEAN
memegang peranan yang penting, bahkan lebih besar dari bobot aktual
ASEAN itu sendiri. Kesepakatan untuk membentuk ASEAN Community
pada tahun 2020 telah menjadikan ASEAN lebih mantap dalam
menjalankan peran kendali dalam proses integrasi kawasan Asia Timur,
yang sampai saat ini cetak birunya belum tampak. KTT Asia Timur
pertama di Kuala Lumpur, pada bulan Desember 2005, mencerminkan
kuatnya dorongan meningkatkan kerjasa di kawasan. Belum jelas
apakah proses ini akan menuju pada East Asia Community. Maraknya
proses negosiasi berbagai free trade area, seperti yang digulirkan ASEAN
dengan dialogue partner nya maka dapat diprediksi bahwa pada tahun
2012 atau paling lambat tahun 2015 terbentuknya East Asia Free Trade
Area merupakan sesuatu yang tidak mustahil.
Sejak Indonesia menjadi tuan rumah KTT ke-9 ASEAN di Bali pada
tahun 2003, menurut Menlu, masyarakat Internasional banyak yang
mengakui dan menghargai bahwa Indonesia telah kembali tampil
memimpin ASEAN dan bukan sekedar mengetuai pertemuan-
pertemuan ASEAN. Di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN sepakat
meningkatkan kerja sama menjadi suatu komunitas dari sebelumnya
sebagai suatu asosiasi yang longgar, selama 37 tahun sejak kelahirannya
pada tahun 1967. Demikian pula, diterimanya konsepsi Indonesia
mengenai proses KTT Asia Timur yang inklusif, yang tidak hanya
melibatkan ASEAN+3 (Republik Rakyat Cina, Korea Selatan dan Jepang),
tetapi juga India, Australia dan Selandia Baru. Stature kepemimpinan
Indonesia melalui ide dan prakarsa itu telah menjadikan Indonesia
semakin relevan dan diperhitungkan dalam konteks dinamika kawasan.
Kebijakan diplomasi Indonesia pada tahun 2005 merupakan
bagian dari kebijakan tahun pertama pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu. Namun, kebijakan itu merupakan bagian konsistensi dalam
politik luar negeri Indonesia yang berprinsip, sebagaimana

216 Citra Indonesia di Mata Dunia


diamanatkan konstitusi. Pelaksanaan diplomasi Indonesia juga
konsisten dengan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif,
yang semata-mata diabdikan bagi kepentingan nasional. Sejak awal,
Kabinet telah menetapkan program-program dan prioritas yang pada
pokoknya adalah upaya ke arah Indonesia yang lebih aman dan damai,
lebih adil dan demokratis, serta lebih sejahtera.
Diplomasi yang dijalankan adalah bagian integral dari upaya
pencapaian program-program prioritas tersebut, yang telah dijabarkan
dalam rencana kerja berjangka 5 tahunan dan 1 tahunan. Namun,
kenyataan selalu saja terdapat tugas-tugas penting negara yang tidak
tertuang atau terjadwal dalam rencana kerja. Contoh yang paling
mengemuka adalah penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di
Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004. Meskipun tidak direncanakan
sebelumnya, diplomasi berkewajiban untuk memberikan kontribusi
maksimal yang dikemas dalam diplomasi kemanusiaan. Suatu prestasi
yang membanggakan bahwa melalui diplomasi kemanusiaan,
Indonesia telah mampu mengkanalisasi kepedulian yang luar biasa
besarnya dari masyarakat internasional, sehingga penanganan tahap
tanggap darurat maupun rekonstruksi dan rehabilitasi dapat dijalankan
dengan relatif lebih baik. Dalam hitungan hari, Indonesia telah mampu
menyelenggarakan KTT Khusus ASEAN pasca tsunami dan gempa
bumi di Jakarta (5 Januari 2005) yang terbukti telah sangat membantu
dalam proses penanganan bantuan luar negeri. Bahkan dalam upaya
pencegahan seperti tsunami early warning system.
Pada tahun pertama kabinet ini pula Indonesia telah mampu
menyelenggarakan KTT Asia-Afrika di Jakarta dan Peringatan 50 Tahun
KAA 1955 di Bandung pada April 2005. KTT Asia Afrika bukan saja
sukses dari segi teknis penyelenggaraannya, tetapi juga dari segi
substansi yang dihasilkannya. Diperoleh banyak apresiasi bahwa
kemitraan Asia-Afrika sebagai konsep baru ternyata bisa diluncurkan 50
tahun setelah KAA 1955. Juga banyak diperoleh apresiasi bahwa di
tengah berbagai persoalan yang sedang dihadapi, Indonesia dapat
dengan tegar memprakarsai dan menyelenggarakan suatu peristiwa
bersejarah. Sekaligus mampu mengoreksi gambaran Indonesia yang
seperti terpuruk tiada henti sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997
hingga kesulitan akibat bencana tsunami.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 217
Satu ciri diplomasi di era globalisasi adalah semakin pentingnya
summit diplomacy. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
presiden pertama hasil pemilu langsung tidak saja hadir sebagai peserta
aktif pada KTT APEC di Santiago (Oktober) dan KTT ASEAN di
Vientiane (November 2004) tetapi juga menjadi tuan rumah dan ketua
KTT Khusus ASEAN Pasca Gempa Bumi dan Tsunami dan KTT Asia-
Afrika (April 2005). Dengan kehadiran Presiden RI pada KTT Dunia
atau UN Summit di Sidang Majelis Umum PBB ke-60. (New York 2005),
dan berbagai kunjungan bilateral yang dilakukan, praktis semua
pemimpin bangsa di dunia telah dapat dijangkau dalam tahun pertama
masa kerja kabinet. Sangat terasa dari rangkaian KTT tersebut, stature
diplomasi Indonesia semakin dihargai.
Harus diakui bahwa masih terdapat berbagai masalah bangsa
yang perlu diatasi dengan kerja keras bersama. Namun, harus diakui
pula bahwa sudah cukup banyak kemajuan yang berhasil diraih di
dalam upaya Indonesia keluar dari masa krisis dan dalam memajukan
proses reformasi. Demokratisasi Indonesia telah mendapat pengakuan
dan apresiasi yang sangat luas dari masyarakat internasional.
Penyebutan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia merupakan bagian dari apresiasi tersebut. Lebih lagi sebagai
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah
membuktikan bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan bersama.
Situasi keamanan juga relatif lebih baik. Konflik-konflik horizontal
praktis sudah dapat diredam, sementara konflik vertikal seperti konflik
di Aceh yang menahun telah dapat diselesaikan melalui dialog.
Penyelesaian konflik Aceh tidak hanya membuka kepercayaan bagi
upaya pemerintah menyelesaikan masalah Papua Barat tetapi sekaligus
memperkuat kredibilitas Indonesia di mata masyarakat internasional.
Pada tahun 2005 menurut Menlu, tampak Indonesia yang lebih
percaya diri. Indonesia yang lebih mampu berkiprah aktif dalam
pergaulan internasional. Indonesia yang lebih mampu tampil dengan
gagasan dan prakarsa untuk membangun kawasan yang lebih stabil,
lebih aman, dan lebih berkemakmuran.
Suatu hal yang sangat menonjol pada periode tahun 2005 adalah
penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh yang berjalan

218 Citra Indonesia di Mata Dunia


beriringan dengan proses perdamaian di Aceh. Fakta bahwa kedua
proses ini dapat berjalan secara simultan dan relatif berhasil baik
merupakan berkah dari demokrasi. Pada proses perdamaian di Aceh,
tampak bahwa demokrasi menyediakan ruang yang lebih luas untuk
dilakukannya dialog ke arah penyelesaian konflik. Demokrasi juga
memungkinkan adanya sikap yang lebih terbuka dalam memanfaatkan
dukungan dan bantuan dari luar negeri.
Kehadiran Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terdiri dari tim
ASEAN dan Uni Eropa memperlihatkan bukan saja kepada masyarakat
Indonesia, tetapi juga kepada negara-negara lainnya khususnya
ASEAN, tentang manfaat dari konsep ASEAN Peace Keeping Operation
yang ditawarkan Indonesia sebagai bagian dari gagasan ASEAN Security
Community. Atas keberhasilan proses damai di Aceh, termasuk
pengawasannya oleh AMM, maka para Kepala Negara ASEAN pada
KTT ke 11 di Kuala Lumpur, menghargai AMM tersebut sebagai model
dan genesis dari ASEAN Peace Keeping Arrangement.
Melalui penyelesaian masalah Aceh secara damai, Indonesia
akan memiliki waktu dan energi yang lebih banyak untuk fokus pada
penyelesaian masalah Papua. Dukungan masyarakat internasional
terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Indonesia telah berhasil
diraih dan dipelihara dalam beberapa tahun terakhir ini. Dukungan
penuh juga diraih Indonesia bagi otonomi khusus sebagai modalitas
penyelesaian masalah, baik masalah Aceh maupun masalah di Papua.
Dukungan tersebut antara lain termuat dalam ARF (ASEAN Regional
Forum) Chairman's Statement tahun 2003, Pasific Island Forum (PIF) sejak
tahun 2000, dan pada pernyataan-pernyataan Uni Eropa serta statement
pada berbagai pertemuan puncak bilateral antara Indonesia dengan
negara-negara lain, termasuk dengan Amerika Serikat dan Australia.
Pada pertengahan pertama tahun 2005, Kongres AS antara lain
mempertanyakan keabsahan Pepera 1969. Dalam perkembangannya,
potensi masalah yang timbul sebagian besar teratasi oleh joint conference
Kongres dan Senat AS yang berujung pada pencabutan embargo militer
Amerika Serikat. Lebih penting lagi ialah penghapusan rujukan-rujukan
yang mempertanyakan eksistensi Papua sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 219
Bersamaan dengan proses itu, hasil studi yang dilakukan oleh
Prof. Drooglever tentang Pepera telah diluncurkan pada pertengahan
November 2005. Sejak jauh hari sudah diantisipasi potensi dampak
negatif dari hasil studi ini yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-
kelompok pro kemerdekaan di Papaua Barat, yang selama ini
mengedepankan tema pelurusan sejarah dalam perjuangannya.
Berkat hubungan dan kerja sama dengan pemerintah Belanda, termasuk
tingkat menteri luar negeri, potensi dampak negatif dari hasil studi
tersebut dapat diredam.
Masih dalam rangka memagari potensi disintegrasi bangsa,
pemerintah terus menggarisbawahi pentingnya border diplomacy.
Dengan diterimanya konsep Wawasan Nusantara serta sebagai bagian
dari Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia sebagai negara kepulauan
perlu menentukan secara lebih pasti batas-batas wilayah maritimnya
termasuk zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Sepanjang
tahun 2005 Indonesia intensif melalukan rangkaian perundingan
dengan negara-negara tetangga untuk menyelesaikan berbagai masalah
perbatasan. Dalam proses penentuan garis batas laut walaupun telah
dicapai kemajuan-kemajuan, namun pada tahun 2005 belum mencapai
kesepakatan akhir. Dalam upaya menyelesaikan penarikan garis batas
darat antara Indonesia dengan Timor Leste telah ditandatangani
provisional agreement pada April 2005. Kesepakatan itu meliputi 97%
masalah perbatasan darat antara kedua negara.
Berkaitan dengan Timor Leste, sebagai upaya menyelesaikan
beban sejarah masa lalu, khususnya berkaitan dengan pelanggaran HAM
menjelang dan segera sesudah jajak pendapat pada tahun 1999, Indonesia
dan Timor Leste telah menyepakati pembentukan Commission of Truth and
Friendship (CTF) pada tanggal 14 Desember 2004. Setelah Terms of Reference
(TOR) disepakati oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Timor Leste
pada bulan Maret 2005, CTF sejak awal Agustus 2005 telah menjalankan
tugasnya, yang dibantu oleh sekretariat bersama yang berkedudukan di
Bali. Melalui proses CTF diharapkan kebenaran dapat ditemukan dan
rekonsiliasi antara kedua negara diperkuat, serta persahabatan dan kerja
sama kedua negara dapat terus dimajukan. Keberhasilan proses ini dapat
menepis argumen perlunya penyelesaian masalah bagian kelam sejarah
Indonesia Timor Leste melalui teribunal internasional.

220 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dalam rangka penciptaan keamanan dan stabilitas, Indonesia
juga masih dihadapkan pada gangguan keamanan di Selat Malaka,
utamanya dari perompakan di laut, penyeludupan dan potensi
terorisme. Upaya diplomasi Indonesia dalam kaitannya dengan Selat
Malaka diarahkan untuk menyamakan persepsi di antara ketiga negara
tepian Selat Maka (Indonesia, Singapura dan Malaysia) tentang
keseluruhan permasalahan yang dihadapi, yang meliputi masalah
keamanan, keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan hidup.
Pengamanan dalam arti luas tersebut meliputi tidak hanya privacy, tetapi
juga penyelundupan, illegal trafficking, baik orang, barang, bahkan
senjata. Dalam pertemuan ketiga menlu (Indonesia, Singapura, dan
Malaysia) di Batam 1 Agustus 2005 yang digagas Indonesia, dicapai
persepsi bersama tentang lingkup permasalahan di atas dan dengan
mempertimbangkan selat Malaka dan selat Singapura sebagai straits
used for international navigations disepakati untuk memajukan kerja sama
internasional utamanya dengan negara pengguna selat (users) atas dasar
prinsip burden sharing khususnya dalam membantu peningkatan
kapasitas negara-negara selat.
Dalam upaya menciptakan Indonesia yang lebih aman dan
damai, masalah terorisme tetap menjadi fokus perhatian pemerintah
selama tahun 2005. Peristiwa Bom Bali II telah menegaskan bahwa
terorisme masih merupakan ancaman bagi Indonesia. Seperti halnya
penyelidikan atas peristiwa bom Bali tahun 2002 dan pemboman di
Jakarta 2003 dan 2004, Kepolisian RI telah berhasil mengungkap dan
menangkap para pelaku tindak terorisme termasuk terbunuhnya Dr.
Azhari. Masyarakat internasional memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap keberhasilan tersebut. Bahkan harian The New York Times
pada pertengahan November 2005 memuji human intelligen Kepolisian
RI sebagai salah satu yang terbaik di dunia, meskipun fasilitas yang
dimiliki masih dipandang kurang memadai.
Melalui pernyataan Menlu RI di atas, ternyata kegiatan-kegiatan
diplomasi dapat dilakukan melalui penekanan terhadap kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan ornop secara saling
mengisi satu sama lain. Keberhasilan-keberhasilan pada tingkat
internasional pada dasarnya dapat diwujudkan berdasarkan kekuatan
dan keserasian satu sama lain dalam melakukan kerjasama

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 221
melaksanakan berbagai kegiatan diplomasi. Di sinilah dapat ditemukan
pendekatan-pendekatan public relations yang secara tidak sadar
dilakukan oleh pemerintah dan ornop. Dari temuan penelitian ini dapat
ditegaskan pula bahwa jika kerja sama internasional yang dimajukan
Indonesia dalam memerangi terorisme turut menyumbang keberhasilan
yang dicapai Indonesia, maka sebaliknya, keberhasilan itu dapat
ditujukan untuk memperkuat upaya diplomasi Indonesia dalam
memajukan kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional
dalam memberantas terorisme. Termasuk upaya memberdayakan
kelompok-kelompok moderat seperti melaksanakan interfaith dialogue
and cooperation yang disponsori Indonesia pada tingkatan kawasan Asia
Pasifik maupun kawasan Asia dan Eropa (ASEM).
Selanjutnya temuan-temuan ini dapat penulis rumuskan sebagai
salah satu proposisi mengenai Kegiatan Koalisi untuk Kebebasan
Informasi dalam diplomasi publik yang dilakukan dengan pendekatan
public relations, yaitu bahwa komponen internal dan eksternal yang ada
dalam lingkungan pemerintah maupun ornop serta kemampuan dalam
melakukan adaptasi dan demokratisasi melalui kerjasama diplomasi
dapat diberdayakan dalam kerangka pendekatan public relations melalui
diplomasi multijalur (multitrack diplomacy) secara selektif.
Perjalanan diplomasi Indonesia di tahun 2005 juga ditandai oleh
prestasi penting di tingkat kawasan, khususnya dalam forum ASEAN
dan East Asia Summit. Dalam diplomasi kawasan, Indonesia membukti-
kan kemampuan tidak hanya sebagai ketua (Chair) tetapi juga sebagai
pemimpin (Leader) yang tampil dengan pemikiran, konsep dan
prakarsa.
Kepemimpinan Indonesia juga terlihat dalam menyelesaikan isu-
isu pelik yang terkait dengan penyelenggaraan East Asia Summit,
termasuk masalah negara peserta. Dalam kaitan ini disepakati kriteria
peserta East Asia Summit, yaitu negara-negara yang telah menjadi mitra
wicara penuh ASEAN, yang memiliki hubungan substantif dengan
ASEAN, dan telah mengaksesi atau menyatakan kesediaan untuk
mengaksesi TAC (Treaty of Amity and Cooperation). Berdasarkan kriteria
itu, Australia, Selandia Baru, dan India dapat berpartisipasi dalam East
Asia Summit.

222 Citra Indonesia di Mata Dunia


Indonesia juga terus memberikan perhatian khusus kepada
negara-negara di Pasifik Barat Daya. Pada bulan Oktober 2005 Indonesia
sebagai mitra dialog telah hadir pada pertemuan ke-17 Post Dialogue
Forum-Pasific Islands Forum di Port Moresby, Papua Nugini, dimana
negara-negara PIF menegaskan kembali dukungannya terhadap
kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Instrumen penting dalam diplomasi RI terhadap negara-negara di
kawasan itu adalah kerjasama teknik seperti pelatihan dan pemberian
beasiswa guna memajukan people to people contacts.
Selama tahun 2005 juga menonjol Summit Diplomacy di PBB yang
memusatkan perhatian pada isu reformasi PBB. KTT PBB atau UN
Summit itu mendapat hasil akhir yang dapat dikatakan mixed, dan tidak
sepenuhnya sesuai dengan harapan Indonesia. Masalah-masalah seperti
pencapaian MDGs tidak terakomodasi dengan baik. Komitmen negara-
negara maju untuk membantu pembangunan juga kurang sesuai
dengan harapan Indonesia. Rancangan reformasi DK PBB pun tidak
berhasil dicapai, bahkan belum diketahui kapan akan dibahas lagi.
Masalah lain yang menjadi perhatian Indonesia adalah pembentukan
Peacebuilding Commission di PBB yang sudah disepakati. Selain itu, ada
juga gagasan untuk membentuk Human Rights Council sebagai
pengganti Human Rights Commission yang disepakati pada tingkat
summit yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan.
Untuk menunjang pelaksanaan politik luar negeri yang efektif
dan efisien, selama tahun 2005 Deplu RI terus melakukan upaya benah
diri, yang mencakup pembenahan kelembagaan, pembenahan
administratif dan pemajuan good governance. Struktur baru Deplu sudah
mulai diterapkan terhitung 1 Januari 2006 dan pada tanggal 28
Desember 2005 sejumlah pejabat Eselon II sudah dilantik untuk mengisi
unit-unit dalam struktur baru tersebut.
Dalam hal benah diri, cukup banyak hal yang positif yang diraih.
Oleh karena itu, diimbau agar semua pihak terus bersama-sama
melanjutkan proses ini untuk memperbaiki Departemen Luar Negeri.
Dengan terungkapnya kasus-kasus pungutan liar di perwakilan,
khusunya pelaksanaan tugas keimigrasian, Deplu juga perlu
mengintrospeksi diri agar tidak melibatkan diri dalam kegiatan korupsi
dan pungutan liar. Terhadap temuan-temuan di perwakilan RI di

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 223
Malaysia, Departemen Luar Negeri dan Departemen Hukum dan HAM
telah berkoordinasi dan sepakat untuk menyerahkannya kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menteri Luar Negeri RI telah memaparkan pula aspek-aspek
penting dalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia
di tahun 2006 serta berbagai masalah yang masih akan dihadapi
Indonesia dan tantangan baru yang mungkin muncul. Memulai
proyeksi 2006, dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri RI pandangan
Presiden AS ke 35 John F. Keneddy yang mengatakan bahwa the purpose
of foreign policy is not to provide an outlet for our own sentiment of hope or
indignation; it is to shape real events in a real world
Di tahun-tahun sebelumnya Indonesia sudah tampil dengan
banyak konsep baru. Tantangannya di tahun ini dan tahun-tahun
mendatang adalah bagaimana menerjemahkan konsep-konsep tersebut
menjadi kenyataan, menjadi real events in real world. Memasuki tahun
2006, menurut Menlu, Indonesia perlu terus mempertahankan
kesinambungan (continuum) dari variabel-variabel soft power yang
menjadi aset bagi hubungan luar negeri seperti demokrasi dan Islam
moderat. Indonesia tidak perlu bersikap puas diri dengan segala
apresiasi yang disampaikan masyarakat internasional atas keberhasilan
proses demokratisasi di Indonesia; bahkan harus semakin sungguh-
sungguh memajukan demokrasi.
Salah satu tantangan di tahun 2006 dan kiranya di tahun-tahun
berikutnya juga adalah upaya semakin terwujudnya rule of law based
democracy, di samping upaya mempertahankan kesinambungan electoral
democracy. Terpenting adalah bagaimana membuat demokrasi bekerja
bagi kesejahteraan rakyat. Demokrasi merupakan aset yang sangat
berharga bagi hubungan antar bangsa. Democracies share reasons to
cooperate. Tidak mungkin membangun kerja sama yang utuh apabila
kesenjangan masih cukup besar. Kasus Myanmar, misalnya, cukup
mengganggu keseimbangan ASEAN. Oleh karena itu, Indonesia
meminta Myanmar menunjukkan kemajuan demokrasi yang terukur
dalam batasan waktu dan kerangka Roadmap to Democracy.
Indonesia harus terus bersikap proaktif dalam menjamin
terwujudnya secara bertahap ASEAN Community dan ketiga pilarnya

224 Citra Indonesia di Mata Dunia


sesuai dengan Rencana Aksi-nya masing-masing. Dalam kaitannya
dengan forum East Asia Summit, Indonesia perlu terus menjaga agar
ASEAN tetap berada di driver's seat dari forum tersebut, serta
mengantisipasi adanya game yang mengarah ke proses munculnya APEC
versi kedua atau ARF tingkat Summit. Sejak April 2005 belum banyak
yang dapat dilakukan dalam merealisasikan Kemitraan Strategis Baru
Asia Afrika. Di tahun 2006 ini perlu ada langkah tindak lanjut yang
konkret, misalnya, menjajagi kemungkinan kerjasama kedua kawasan
ke arah peluncuran satelit komunikasi Asia-Afrika.
Diplomasi multirateral Indonesia akan diarahkan untuk
tercapainya Millennium Development Goals (MDGs). Peningkatan
kerjasama dengan badan-badan khusus PBB terkait, akan tetap penting,
khusus bagi pengembangan kapasitas nasional dalam mencapai MDGs.
Dalam kaitannya dengan pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak
tetap DK-PBB periode 2007-2008, Perwakilan RI di luar negeri akan terus
melakukan pendekatan dengan negara-negara akreditasi untuk
memperoleh dukungan.
Dalam rangka benah diri, Deplu akan terus memberikan
perhatian pada upaya terwujudnya tertib fisik, administrasi, termasuk
administrasi keuangan dan tertib waktu, di samping melanjutkan
proses penataan kelembagaan dan pemajuan good governance. Selain itu,
demi terciptanya misi diplomatik yang aman, Deplu akan membenahi
pengamanan jaringan komunikasi, baik yang berada di pusat maupun
di perwakilan.
Mengakhiri pemaparan, Menteri Luar Negeri RI menggaris-
bawahi pentingnya diplomasi total dalam pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia, dan kemitraan Deplu dengan kalangan media massa
akan terus memiliki arti penting di tahun 2006. Melalui kemitraan
dengan media massa, publik di dalam dan di luar negeri diharapkan
dapat memperoleh fakta yang utuh dan opini yang jernih mengenai
masalah-masalah internasional serta masalah-masalah intermestik yang
terkait dengan kepentingan Indonesia.122

122
Menteri Luar Negeri RI. Dr. N. Hassan Wirajuda. Paparan Lisan, Refleksi 2005 dan Proyeksi 2006. tanggal 6
Januari 2006. di Jakarta.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 225
Penegasan pentingnya dilancarkan diplomasi total sudah lama
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI, seperti dalam pernyataan
pers akhir tahun 2001 melalui paparan lisannya tanggal 7 Januari 2002,
yang merupakan rangkuman pelaksanaan dan hasil-hasil yang dicapai
dalam hubungan dan politik luar negeri Indonesia pada tahun 2001,
serta proyeksi perkembangan di tahun 2002 sejak pembentukan Kabinet
Gotong Royong. Dikemukakan Menlu bahwa revolusi informasi dan
proses globalisasi yang dialami Indonesia bukan saja menghadirkan
banyak manfaat dan peluang, tetapi juga membawa potensi bencana
dan malapetaka. Menurut Menlu :
Dalam hal ini, saya menyikapinya dengan dua tesa sederhana.
Pertama, Indonesia sebagai bangsa akan mampu menarik manfaat,
sekaligus menghindari malapetaka, apabila mampu mendekatkan
antara faktor domestik dan faktor internasional atau saya sebut
faktor intermestik. Kedua, peran aktif diplomasi tidak lagi hanya
memproyeksikan kepentingan nasional kita, tetapi juga harus
mampu mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan di
dunia luar ke dalam negeri Oleh karena itu sudah waktunya kita
melakukan pendekatan integratis yang menghilangkan
pemisahan antara kebijakan domestik dan kebijakan luar negeri
serta kebijakan sektoral di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya. Demikian pula, baik pada tingkat internasional maupun
nasional, aktor politik dan hubungan luar negeri telah menjadi
semakin banyak dan beragam. Sudah tiba waktunya pula kita
menjalankan total diplomacy yaitu diplomasi yang memandang
substansi permasalahan secara integratif dan melibatkan semua
komponen bangsa dalam suatu sinergi. Dengan demikian
Departemen Luar Negeri perlu meningkatkan peranannya dalam
mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan di luar
negeri kepada publik di dalam negeri, sekaligus menyerap
masukan dan aspirasi dari publik dalam negeri.123

Pernyataan pentingnya diplomasi total, juga disampaikan


Menteri Luar Negeri RI dalam seminar tahunan mengenang tokoh
diplomasi Dr. Moh. Hatta di Jakarta 23 Juli tahun 2002. Pendapat Menlu
didasarkan kepada pidato Bung Hatta tanggal 15 Desember 1945 di

123
Menteri Luar Negeri RI. Paparan Lisan Pernyataan Pers Akhir Tahun. tanggal 7 Januari 2002.

226 Citra Indonesia di Mata Dunia


Jakarta yang menyatakan bahwa politik luar negeri yang dilakukan oleh
pemerintah harus sejalan dengan politik dalam negeri. Rakyat harus
berdiri di belakang pemerintah RI, dengan persatuan yang sekuat-
kuatnya, baru pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya
dari diplomasi yang dijalankan. Menlu menegaskan bahwa pidato Bung
Hatta itu telah memiliki visi bagai-mana sebenarnya diplomasi harus
dilaksanakan. Bung Hatta menekankan pelaksanaan diplomasi
merupakan perpaduan antara kemampuan diplomasi pemerintah dan
dukungan rakyat. Perpaduan ini sangat relevan dengan perkembangan
saat ini terutama proses globalisasi yang cenderung memunculkan
aktor nonpemerintah dalam hubungan politik luar negeri.124
Mengawali tahun 2007 Menteri Luar Negeri juga mengemukakan
refleksi 2006 dan proyeksi 2007 tanggal 8 Januari 2007. Refleksi 2006
merupakan gambaran hasil proyeksi 2006, sebagaimana ditekankan
Menlu bahwa memasuki tahun 2006 Indonesia perlu terus memper-
tahankan kesinambungan (continuum) dari variabel-variabel soft power
yang menjadi aset bagi hubungan luar negeri seperti demokrasi dan
Islam moderat, dan tantangan di tahun 2006 dan di tahun berikutnya
adalah semakin terwujudnya rule of law based democracy, karena
demokrasi menurut Menlu merupakan aset yang sangat berharga bagi
hubungan antar bangsa.
Pada tahun 2006 diplomasi Indonesia menurut Menlu telah
mencapai berbagai raihan penting. Indonesia tidak hanya telah aktif
membangun persahabatan dengan negara lain tetapi juga aktif
memprakarsai dan membangun berbagai kerjasama dan kemitraan
internasional baru. Pemulihan perdamaian di Aceh, penguatan institusi
demokrasi termasuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara
langsung dan upaya pemberantasan korupsi merupakan kemajuan
yang dicapai di dalam negeri yang mendukung pelaksanaan diplomasi.
Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah konperensi negara-
negara pihak Konvensi PBB Menentang Korupsi yang akan
diselenggarakan bulan November 2007. Islam moderat dalam tatanan

124
Menteri Luar Negeri RI. Dr. N. Hassan Wirajuda, Paparan pada seminar tahunan mengenang tokoh diplomasi
Dr. Moh. Hatta. tanggal 23 Juli 2006. di Jakarta. dimuat harian Kompas tanggal 24 Juli 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 227
demokrasi menjadi aset politik luar negeri Indonesia yang semakin
penting, dan konsep-konsep Indonesia tentang dialog lintas agama di
kawasan Asia Pasifik, antar kawasan Asia-Eropa serta inter media
semakin melembaga. Namun, di bidang ekonomi, menurut Menlu,
kondisi ekonomi makro Indonesia yang positif belum mencukupi untuk
mendorong sektor riil, sehingga diperlukan untuk meningkatkan foreign
direct investment.
Summit Diplomacy sebagaimana dilakukan pada tahun 2005,
merupakan elemen penting dalam diplomasi masa kini. Hubungan
kemitraan dengan Australia, India, China, Rusia, Jepang, Korea Selatan,
Belanda, dan Amerika Serikat mulai dibangun. Indonesia dan Australia
telah menandatangani Security Framework Agreement tanggal 16
November 2006 sebagai upaya memajukan kerjasama keamanan di
berbagai bidang dan memperkuat stabilitas hubungan antar kedua
negara bertetangga dekat.
Indonesia terpilih pada sembilan organ penting berbagai
organisasi internasional. Kesembilan keanggotaan di badan
internasional itu adalah: keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan
PBB 2007-2008, anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB 2006-2007,
anggota Komisi Pemajuan Perdamaian PBB 2006, anggota Dewan
International Telecommunication Union 2006-2010, anggota Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB 2007-2008, anggota Governing Council UN
Habitat 2007-2010, anggota Komisi Pencegahan dan Peradilan Tindak
Pidana 2007-2009, anggota Komisi Hukum Internasional 2007-2012, dan
anggota Badan Internasional tentang Pengawasan Obat-obat Bius dan
Terlarang 2007-2012. Hal itu menurut Menlu merupakan wujud dari
apresiasi banyak negara terhadap Indonesia baru sebagai hasil
reformasi, selain hasil kerja keras diplomasi Indonesia.125
Menyangkut tentang isu global, pada tahun 2005 Indonesia telah
meratifikasi dua Kovenan utama yaitu Kovenan tentang Hak-hak Sipil
dan Politik, serta Kovenan tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya,
(dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

125
Kompas. Refleksi Deplu, Peluang Diplomasi Belum dimanfaatkan. 29 Desember 2006. hlm. 1.

228 Citra Indonesia di Mata Dunia


International Covenant on Cipil and Political Rights ). Menurut Menlu hal
tersebut merupakan tonggak penting dalam upaya pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia. Indonesia juga prihatin atas
perkembangan situasi di Palestina dan memasuki tahun ke empat
perang Irak, Indonesia berpandangan bahwa peran masyarakat
internasional mutlak diperlukan untuk penyelesaiannya.
Indonesia memprakarsai dialog lintas agama yang telah menjadi
bagian dari arus utama diplomasi. Proses dialog lintas agama telah
masuk dalam agenda PBB. Pada bulan Februari 2006 Indonesia telah
melakukan dialog lintas agama bilateral dengan Belanda. Indonesia-UK
Islamic Advisory Group akan diresmikan 30 Januari 2007 di London,
terdiri dari 14 tokoh agama Islam dari Indonesia dan Inggris untuk
menyusun rekomendasi upaya perbaikan hubungan Islam dan Barat.
Indonesia juga telah menyelenggara-kan Global Inter Media Dialogue di
Bali 2 September 2006, mengambil peluang dari krisis akibat penerbitan
kartun Nabi Muhammad SAW.
Program Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia untuk negara-
negara di kawasan Asia dan Pasifik telah berjalan empat tahun, para
peserta program dapat dikatakan telah menjadi sahabat-sahabat
Indonesia di negaranya masing-masing. Indonesia juga telah
menyelenggarakan pertemuan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN
Oktober, dan November 2006 untuk membahas masalah kabut asap
lintas batas. Dalam hal perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di
luar negeri, dalam konteks ASEAN, Indonesia telah memimpin
pembahasan mengenai pembentukan Declaration on the Protection of The
Rights of Migran Workers.
Proyeksi 2007 dikemukakan Menlu RI bahwa isu-isu Perdamaian
dan keamanan akan tetap menonjol. Dinamika internasional yang masih
penuh gejolak memerlukan ketepatan assesment dan artikulasi kebijakan
supaya Indonesia dapat terus berperan aktif mencari solusi. Sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia akan memberi-
kan prioritas pada masalah Perdamaian di Timur Tengah khususnya
Palestina.
Dengan prospek ekonomi Indonesia yang membaik, terbuka
peluang bagi peningkatan kinerja ekonomi nasional yang akan menjadi

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 229
daya tarik tersendiri bagi investasi asing. Tahun 2007 dijadikan proyeksi
sebagai tahun peluang bagi upaya membuka dan meluaskan pasar bagi
produk-produk Indonesia, meningkatkan arus masuk investasi asing,
mempromosikan pariwisata, dan memperluas kesempatan kerja. Akan
terus meningkatkan dan mengembangkan upaya-upaya diplomasi
publik secara inovatif dan kreatif. Indonesia perlu mengkomunikasikan
kepada publik dunia tentang Indonesia yang demokratis dengan
masyarakat yang pluralistik, Islam yang moderat, dan upaya
pembangunan ekonomi yang progresif.126
Alasan pentingnya diplomasi total sebagaimana dikemukakan
Menteri Luar Negeri RI dan telah dibentuknya Direktorat Diplomasi
Publik pada Departemen Luar Negeri, karena di samping tuntutan
globalisasi, khususnya karena terjadinya revolusi di bidang teknologi
komunikasi dan informasi, penyelenggaraan diplomasi Indonesia
setelah reformasi juga mencemaskan, seperti dikemukakan Yasmi (2000)
bahwa :
Citra Indonesia yang pernah menanjak, kini terancam ke
kubangan nestapa. Salah satu perangkat bangsa yang merasakan
langsung beban keterpurukan citra adalah diplomat Indonesia.
Logikanya sederhana saja. Pemberitaan media massa internasional
mengenai Indonesia, dari segi redaksional, sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan desain informasi dalam negeri. Tawuran,
demonstrasi, kerusuhan, perang SARA, korupsi elite politik-
birokrasi, bahkan debat kusir petinggi merupakan kemasan berita
biasa. Jika bangsa Indonesia saja miris dengan berita-berita itu,
apalagi publik internasional.127

Dari temuan penelitian di atas maka terdapat sebuah konstruksi


baru dalam bidang diplomasi yang mampu mewujudkan pencitraan
Indonesia di mata masyarakat dunia, yaitu melalui peran dan reformasi
yang dilakukan di lingkungan Departemen Luar Negeri. Dalam hal ini
penulis mencoba untuk mengkonstruksi model diplomasi yang
dimaksud seperti pada Gambar 3.5.

126
Menteri Luar Negeri RI. Pernyataan Pers Tahunan, Refleksi 2006 dan proyeksi 2007. 8 Januari 2007.
127
Yasmi Adriansyah. 2000. Keniscayaan Multi Track Diplomacy. Kompas, 1 Juli tahun 2000, hlm. 36.

230 Citra Indonesia di Mata Dunia


Rule of law
=
Ratifikasi
=
based Konvensi/Kovenan
democracy Stabilitas Kawasan
=
Electoral
=
Soft Power/
Total Diplomacy =
democracy Perdamain dunia

Summit
Diplomacy

Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006.

Gambar. 3.5. Model Implementasi Dari Diplomasi Total

Dalam implementasinya model ini memungkinkan banyak


memberikan perubahan secara signifikan dalam perilaku politik
bangsa, khususnya dalam menumbuhkan pencitraan tertentu yang
memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Berikut ini dapat ditelaah
beberapa pendapat pakar mengingat dalam implementasinya
terkadang masih banyak faktor yang harus diperhatikan relevansinya.
Sebagaimana dikemukakan Yasmi, Ironisnya penyebab kondisi
menyedihkan tentang citra Indonesia tidak jarang dituduhkan kepada
kinerja diplomat Indonesia baik berupa kritikan maupun kecaman.
Kecaman dialamatkan dalam bentuk ketidakmampuan diplomat
Indonesia mengusung penciptaan citra positif (public relations).
Tudingan itu mungkin benar, tetapi sangat mungkin berpotensi
salah. Melihat beratnya tanggungan domestik, adalah tidak realistis jika
mengangkat citra hanya dibebankan kepada pundak diplomat
Indonesia. Tugas-tugas diplomatik formal first-track atau Government
to Government (G to G) sendiri sudah menyita waktu dan energi.
Sehubungan dengan itu, adalah keniscayaan bagi bangsa Indonesia
untuk disadarkan, bahwa tugas-tugas mengangkat citra bangsa-negara
bukan hanya tugas diplomat RI (Departemen Luar Negeri) karena
sesungguhnya diplomasi bersifat multi jalur. Bahkan setiap warga
negara pada esensinya berhak menjadi diplomat. Mengatasi masalah
di atas, menurut Yasmi, maka konsep diplomasi yang bersifat banyak
jalur atau Multitrack-Diplomacy merupakan suatu keniscayaan.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 231
Berdasarkan paradigma masa lalu, menurut Yasmi, sebagai duta,
diplomat harus menciptakan citra positif atas nama bangsa dan
negaranya. Diplomat dimaksud adalah diplomat pada jalur formal,
yaitu yang berada di jalur pemerintahan. Dikutip dari pendapat Joseph
Montville, dari Foreign Service Institute, pada tahun 1982 diperkenalkan
istilah track two diplomacy, yang memiliki pengertian bahwa diplomasi
pada hakikatnya bukan hanya pekerjaan diplomat profesional,
mengingat terdapat pelaku-pelaku lain yang bernama citizen-diplomats
atau non-state actors yang juga melakukan fungsi diplomasi
sebagaimana diplomat profesional.
Perkembangan terakhir, terminologi diplomasi track one and track
two telah mengalami ekstensivikasi dengan diperkenalkannya istilah
yang lebih komprehensif untuk diplomasi dan melihat diplomasi dalam
tatanan sistemik, dikenal dengan istilah multi track diplomacy atau
diplomasi multijalur.
Dikutip dari pendapat Diamod dan McDonald di dalam
bukunya: Multi Track Diplomacy: A System Approach to Peace (1996, third
edition), disebutkan, paling tidak ada sembilan jalur yang bisa dipakai
sebagai acuan konseptual dan praksis diplomasi multi jalur, yaitu:
Pertama, pemerintah. Jalur ini bersifat formal dan lebih banyak
bergerak pada tataran pembuatan kebijakan serta aplikasi tugas-tugas
pemerintahan (eksekutif). Jalur pemerintahan merupakan pelaku
utama diplomasi (first track).
Kedua, kaum profesional non-pemerintah. Jalur ini bermuatan
tindakan-tindakan profesional kalangan nonpemerintah yang
menganalisis dan mengelola masalah-masalah internasional.
Ketiga, bisnis. Jalur ini melakukan penyebaran kesempatan
ekonomis, persahabatan internasional dan kanal-kanal komunikasi
informal.
Keempat, warga negara. Jalur ini mencakup diplomasi kewargaan
(citizen diplomacy), program-program pertukaran, organisasi suka-
relawan, LSM, dan kelompok-kelompok dengan kepentingan khusus.
Kelima, komunitas ilmiah. Jalur ini meliputi tiga dimensi:
penelitian yang terkait dengan kampus perguruan tinggi, tangki
pemikir, dan pusat-pusat kajian; program-program pelatihan yang

232 Citra Indonesia di Mata Dunia


memberikan pelatihan keterampilan khusus seperti negosiasi dan
mediasi; serta pendidikan, mulai dari TK sampai dengan program Ph.D
yang meliputi kajian budaya dan sebagainya.
Keenam, aktivisme. Jalur ini meliputi aktivisme di dalam isu-isu
tertentu seperti HAM, keadilan sosial ekonomi dan kebijakan-kebijakan
spesifik pemerintah.
Ketujuh, agama. Jalur ini berusaha menyelami kepercayaan dan
tindakan-tindakan komunitas spiritual dan religius serta gerakan
berbasis moral.
Kedelapan, pendanaan. Jalur ini mengacu kepada komunitas
pendanaan seperti yayasan dan para filantropis yang menyediakan
dukungan finansial bagi aktivitas-aktivitas di jalur-jalur lainnya.
Kesembilan, informasi. Jalur ini tertuju kepada memikirkan suara
masyarakat, bagaimana opini publik terbentuk dan diaspirasikan oleh
media dan kesenian. Yasmi mengusulkan jalur kesepuluh, yaitu Cyber
diplomacy. Diplomasi jalur virtual sebagai diplomasi jenis baru seiring
dengan semakin canggihnya teknologi informasi khususnya internet.128
Dinyatakan Diamond dan McDonald bahwa diplomasi multi jalur
adalah upaya yang memandang proses pembentukan perdamaian
internasional sebagai sebuah sistem kehidupan. Tampak sebuah jaringan
yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan yaitu kegiatan-
kegiatan, individu-individu, lembaga-lembaga, masyarakat yang
beroperasi bersama untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah
perdamaian dunia dengan sistem sembilan jalur yaitu pemerintahan;
resolusi konflik profesional; bisnis; warga negara; penelitian, pendidikan,
dan pelatihan; keaktifan; keagamaan; pembiayaan; media atau opini
publik. Sebagaimana dikemukakannya :
Multi-track diplomacy is a way to view the process of international
peacemaking as a living system. It looks at the web of interconnected parts
(activities, individuals, institutions, communities) which operate together
for a common goal: a world peace nine tracks in this system: government;
professional conflict resolution; business; private citizen; research, training,
and education; activism; religion; funding; and media or public opinion.129

128
Ibid. hlm. 36.
129
Institute for Multi-Track Diplomacy. Multi-Track Diplomacy. Melalui: <http://www.imtd.org./ publications-
books.htm>

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 233
Konsep diplomasi multijalur yang melibatkan sembilan unsur
untuk berdiplomasi dengan konsep diplomasi total yang melibatkan
segenap komponen bangsa dalam diplomasi pada prinsipnya memiliki
pemikiran yang sejalan. Sekalipun konsepsi ini belum dilaksanakan
secara optimal di Indonesia.
Konsep diplomasi multi jalur dapat dikategorikan kedalam dua
kategori utama yaitu diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah dan
oleh non-pemerintah. Aktor yang melaksanakan diplomasi, baik aktor
pemerintah maupun non pemerintah keduanya memiliki peranan
penting dan saling mengisi. Sementara ini aktor yang dikenal luas oleh
masyarakat dalam diplomasi adalah aktor pemerintah, sedangkan aktor
non-pemerintah atau disebut juga non-state actors belum dikenal luas
oleh masyarakat. Ali Alatas, mantan Menteri luar Negeri RI, mengatakan
bahwa kiprah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) dan
badan-badan warga lainnya kini semakin berpengaruh bahkan
menentukan tata hubungan politik diplomasi antar pemerintah di
banyak negara. Begitu pentingnya peran NGO itu hingga seolah-olah
mereka bisa ikut menentukan citra (image) suatu negara dan
pemerintahnya di forum internasional.130
Lebih memperkuat keniscayaan perlunya dilaksanakan
diplomasi total, seperti dikemukakan Menteri Luar Negeri RI, sejalan
dengan pemikiran perlunya diplomasi multi jalur, dinyatakan Perkasa
(1998) bahwa saat memulai reformasi, pelaksanaan diplomasi Indonesia
babak belur. Totalitas tampilan dan citra Indonesia dalam hitung-
hitungan posisi internasional tengah terjun bebas. Republik Indonesia
sedang ber-transformasi dari kedudukan yang terhormat sebagai Ketua
GNB dan APEC, menjadi paria dalam pergaulan internasional. Paralel
dengan ambruknya kekuatan ekonomi nasional, citra dan eleganitas
diplomasi pun turut terpuruk ke titik nadir. Misalnya, komunitas
internasional merespon sangat keras terjadinya pelanggaran HAM, dan
tindak penjarahan. Tantangan ini menurut Ben Perkasa, perlu disikapi
sangat serius dan sistematis untuk peningkatan profesionalisme
diplomasi di segala aspek.131

130
Kompas. Kiprah LSM turut tentukan diplomasi pemerintah. 29 Agustus 2001, hlm. 6.
131
Ben Perkasa Drajat. 1998. Tantangan Diplomasi di Era Reformasi. Kompas. 12 Oktober 1998. hlm. 4.

234 Citra Indonesia di Mata Dunia


Pelaksanaan diplomasi Indonesia di tahun 2003 pun, menurut
Perkasa, banyak ketidaklaziman (diplomacy unusual). Antara lain disebut-
kan bahwa pendekatan, orientasi dan takaran pelaksanaan politik luar
negeri dan diplomasi di era reformasi ini menjadi bersifat terlalu
domestik karena campur tangan pelbagai pihak berkepentingan di area
konstituen politik domestik. Kemudian, adanya harapan yang berlebihan
dari publik terhadap capaian diplomasi, padahal amunisi yang diterima
aparat diplomasi amat minim. Diplomasi divisualkan mencitrakan sosok
ideal dan bukan refleksi dari kondisi yang sedang terjadi di lapangan.
Bukan sebagai cermin yang menayangkan wajah sebenarnya. Untuk itu
publik perlu diedukasi supaya menerima realitas hubungan antar bangsa
yang kompleks. Ketidaklaziman lainnya adalah pluralisme representasi
politik di kabinet maupun di lembaga legislatif, dengan variasi
kepentingan dan orientasi politik yang beragam menyebabkan makin
sulitnya mem-formulasikan konsep kepentingan nasional yang harus
dijalankan oleh diplomasi.132
Temuan penelitian di atas memberikan sebuah alternatif
terhadap suatu pemikiran bahwa diplomasi publik dalam upaya
mewujudkan citra Bangsa Indonesia ternyata dapat berawal dari suatu
fenomena kebutuhan atau tuntutan yang cukup tegas dalam
memperhatikan peran politik.
Ada dua belah pihak yang masing-masing mampu memerankan
perannya dalam aktivitas politik yang ditujukan untuk kepentingan
diplomasi bangsa, yaitu peran pemerintah dan non pemerintah. Jika
dikaitkan dengan fokus penelitian ini, maka dapat digambarkan alternatif
model bagaimana aktor diplomasi ini mampu memberikan pilihan
terhadap bentuk dan praktek sebuah diplomasi. Di antaranya diplomasi
multijalur yang mampu mengarah kepada sebuah diplomasi total,
sehingga perwujudan cita-cita bangsa khususnya dalam berpartisipasi
untuk mewujudkan pencitraan dapat dilakukan melalui beberapa sektor.
Akhirnya model diplomasi dalam upaya pencitraan bangsa Indonesia ini
diharapkan mampu menghindarkan diri dari hasil-hasil yang tidak jelas
karena diplomasinya tidak jelas, dan inilah yang harus dihindari. Secara
sederhana model ini dapat dilihat pada bagan berikut.

132
Ben Perkasa Drajat. 2003. Diplomacy Unusual. Kompas. 3 Februari 2003. hlm. 4.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 235
Aktor
Pemerintah
pemerintah; klp NGO/kalangan
profesional; klp.bisnis; warga
Diplomasi Diplomasi negara biasa; penelitian,
Multijalur pendidikan, dan pelatihan;
Total juru damai advokasi;
klp.agama; penyedia dana;
komunikasi dan media
Aktor
Non-Pemerintah
Menghindari
Diplomacy unusual

Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006.

Gambar 3.6. Peran aktor Pemerintah dan Non Pemerintah dalam Diplomasi Total

3.4.2. Diplomasi Publik oleh Departemen Luar Negeri RI


Globalisasi dan revolusi informasi telah mengubah kenyataan
wawasan dalam hubungan internasional, dan telah mendorong
pergeseran paradigma, dari paradigma tradisional diplomacy yang
dilakukan para diplomat dan di waktu sebelum revolusi informasi
dianggap sebagai satu-satunya aktor utama dalam menangani masalah-
masalah luar negeri serta hubungan internasional, kepada paradigma
baru yang menempatkan peran aktor di luar pemerintahan atau disebut
non-state actors dalam hubungan internasional dan diplomasi semakin
menonjol.
Diplomasi yang dilakukan aktor non-pemerintah kepada
masyarakat bangsa lain, atau dari pemerintah kepada masyarakat
bangsa lain disebut diplomasi publik. Menurut Umar Hadi, Direktur
Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri, untuk tetap dapat
mempertahankan identitas suatu bangsa dalam pergaulan atau
hubungan internasional dituntut pendekatan melalui kegiatan
diplomasi publik. Secara umum diplomasi publik merupakan langkah-
langkah mempromosikan kepentingan nasional negara dalam rangka
menciptakan saling pengertian dan mempengaruhi opini masyarakat
luas di luar negeri. Dengan demikian sasaran pelaksanaan diplomasi
publik berbeda dengan traditional diplomacy, karena tidak hanya
ditujukan kepada pemerintah setempat tetapi lebih diutamakan kepada

236 Citra Indonesia di Mata Dunia


civil society atau non-state actors di negara lain. Sebagai apresiasi
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Departemen Luar Negeri
RI, maka dibentuk Direktorat Diplomasi Publik.
Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI
pertama kali dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Luar
Negeri RI nomor 053/OT/II/2002/01, tanggal 1 Februari 2002. tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri. Pada tahun 2005
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri diperbaharui
berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri No. 02/A/OT/VIII/2005/01
Tahun 2005, Tanggal 19 Agustus 2005. Direktorat Diplomasi Publik
berada dalam lingkup Direktorat Jenderal Informasi, Diplomasi Publik,
dan Perjanjian Internasional.
Direktorat Diplomasi Publik mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik di
bidang diplomasi publik mengenai kebijakan politik luar negeri kepada
publik di dalam dan luar negeri di bidang politik, keamanan, ekonomi,
pembangunan, sosial budaya, serta isu-isu aktual dan strategis.
Direktorat Diplomasi Publik menyelenggarakan fungsi antara
lain penyiapan perumusan kebijakan dan standardisasi teknis di
bidang diplomasi publik mengenai kebijakan politik luar negeri kepada
publik di dalam dan luar negeri di bidang politik, keamanan, ekonomi,
pembangunan, sosial budaya, serta isu-isu aktual strategis; koordinasi
dan pelaksanaan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
diplomasi publik mengenai kebijakan politik luar negeri kepada publik
di dalam dan luar negeri di bidang politik, keamanan, ekonomi,
pembangunan, sosial budaya, serta isu-isu aktual dan strategis;
penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di
bidang diplomasi publik mengenai kebijakan politik luar negeri
kepada publik di dalam dan luar negeri di bidang politik, keamanan,
ekonomi, pembangunan, sosial budaya, serta isu-isu aktual dan
strategis; pemberian bimbingan teknis, informasi, evaluasi, dan
pelaporan di bidang diplomasi publik mengenai kebijakan politik luar
negeri kepada publik di dalam dan luar negeri di bidang politik,
keamanan, ekonomi, pembangunan, sosial budaya, serta isu-isu aktual
dan strategis.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 237
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi tersebut, peran yang
dijalankan Direktorat Diplomasi Publik dalam mendukung politik luar
negeri antara lain :
(a) Pemberdayaan kaum moderat Indonesia
(b) Memajukan people to people contact
(c) Diseminasi informasi mengenai politik luar negeri
(d) Merangkul dan mempengaruhi publik dalam dan luar negeri
(e) Mengumpulkan saran dan masukan bagi pelaksanaan politik
luar negeri

Sejalan dengan peran tersebut, pelaksanaan diplomasi publik


Indonesia terutama diarahkan pada :
(a) Menampilkan wajah Indonesia yang baru (moderat, demokratis,
dan progresif)
(b) Membangun konstituen diplomasi dengan bekerjasama
dilaksanakan dan merangkul semua pemangku kepentingan
hubungan luar negeri.

Memacu pada tujuan tersebut, sejak dibentuknya pada tahun


2002, kegiatan Direktorat Diplomasi Publik secara garis besar antara lain
pada tahun 2002 secara berkala Deplu RI menyelenggarakan Foreign
Policy Breakfast (FPB) dalam rangka menjalin komunikasi dengan semua
pemangku kepentingan di bidang hubungan luar negeri.
Pada tahun 2003 dilaksanakan program antara lain beasiswa seni
budaya Indonesia, dengan memberikan beasiswa kebudayaan kepada
15 peserta dari kalangan akademisi dan pemuda. Kegiatan lain
diplomasi publik adalah program Duta Belia Indonesia, gagasannya
pertama kali disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI pada bulan Juli
tahun 2003. Semula program Duta Belia Indonesia adalah program
pembekalan mengenai politik luar negeri RI kepada anggota pasukan
pengibar bendera pusaka (PASKIBRAKA), didasarkan pemikiran
bahwa generasi muda merupakan pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara, termasuk dalam pelaksanaan diplomasi, dan para anggota
PASKIBRAKA merupakan bagian dari putra-putri terbaik generasi
muda dari setiap propinsi di Indonesia. Kegiatannya antara lain
pembekalan di DEPLU RI, kunjungan ke luar negeri, dan pengukuhan

238 Citra Indonesia di Mata Dunia


duta belia oleh Menteri Luar Negeri RI. Kegiatan lainyang dilaksanakan
yaitu temu budaya/seminar di Brussels dengan tema Indonesia's
cultural Diversity in Times of Global Change, di Wellington dengan tema
Religious Harmony in the Pluralistic Society.
Pada tahun 2004 dilaksanakan kegiatan antara lain International
Conference of Islamic Scholars, Dialogue on Interfaith Cooperation. Pada
tahun 2005 antara lain yang dilaksanakan yaitu Interfaith Dialogue
kerjasama Deplu RI dengan Uni Eropa, Interfaith Dialogue Islam in
Pluralistic Society kerjasama Deplu RI dengan Vatikan, dan Interfaith
DialogueIslam in Pluralistic Society kerjasama Deplu RI dengan
Australia.
Selama tahun 2006, kegiatan pokok Direktorat Diplomasi Publik
tetap mengacu pada kegiatan tahun-tahun sebelumnya dengan
berbagai modifikasi. Kegiatan yang dilaksanakan selama tahun 2006
antara lain:
(1) Pembuatan film Aceh Reborn : a Portrait of Recovery, Oktober 2005-
Februari 2006. Menggambarkan upaya yang dilakukan
pemerintah, rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional
dalam merespon bencana gempa bumi dan tsunami yang
menimpa Aceh.
(2) The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue peaceful Coexistence
and Interfaith Cooperation di Den Haag Belanda, 28 Februari dan 1
Maret 2006. Dialog antar agama bilateral.
(3) Cebu Dialogue on Regional Interfaith Cooperation for Peace,
Development, and Human Dignity 14-16 Maret 2006
(4) Diplomatic Tour ke Bandung, 20-21 April 2006. Tujuan kegiatan ini
lebih diarahkan untuk memperkenalkan wajah Indonesia.
Sekaligus untuk meningkatkan kerjasama dan hubungan baik
dengan para diplomat asing di Jakarta.
(5) Pameran hari lahirnya Pancasila dan Foreign Policy Breakfast, di
Jakarta tanggal 1 Juni 2006, ditrujukan untuk merefleksikan
kembali arti Pancasila sebagai jati diri bangsa.
(6) International Conference of Islamic Scholars (ICIS) II, di Jakarta,
tanggal 20-22 Juni 2006, membahas masalah-masalah keumatan
yang menonjol.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 239
(7) Pengiriman misi kesenian Aceh Rafli dan Kande pada Music
Salaam Village ke London, tanggal 29 Juni- 14 Juli 2006.
(8) Islam Expo di London, tanggal 4-9 Juli 200 yang meliputi seminar
mengenai Islam in Indonesia, Islamic Finance and Investing in Britain
Conference, pertemuan delegasi Indonesia dengan Kementerian
Luar Negeri Inggris mengenai rencana pembentuk-kan Indonesia-
UK Islamic Advisory Group (IUIAG). Pertemuan dengan Muslim
Council of Britain, Pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri
Inggris, membahas rencana pembentukan IUIAG. Pameran
produk-produk Islami.
(9) Presidential Lecture di Jakarta, tanggal 2-3 Agustus 2006, terdiri
dari dua kegiatan yaitu presidential lecture on anti corruption dan
seminar anti korupsi bagi pejabat departemen dan BUMN.
(10)World Peace Forum di Jakarta tanggal 14-16 Agustus 2006, merupa-
kan forum tokoh-tokoh kunci dunia untuk menyuarakan pesan
Perdamaian dunia dengan meninggalkan cara-cara kekerasan.
(11)Program Duta Belia 2006, 20 Agustus-2September 2006.
Merupakan kegiatan tahunan yang dimulai sejak tahun 2003.
dalam rangka membentuk konstituen diplomasi dan lebih
melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan diplomasi. Duta belia
tahun 2006 berjumlah 70 peserta yang terdiri 66 anggota
Paskibrata dan 4 orang siswa berprestasi di bidang ilmu fisika dan
kimia.
(12)Global Inter-Media Dialogue, Bali, 1-2 September 2006. Kegitan ini
merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Norwegia
yang dihadiri oleh 73 tokoh media/jurnalis senior dari 44 negara
sebagai peserta aktif. Pada tahun 2007, kegiatan ini direncanakan
dilaksanakan di Norwegia.
(13)Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia, 6 September-1 Desember
2006. Jumlah penerima beasiswa seni dan budaya tahun 2006
berjumlah 40 orang dari 18 negara-negara ASEAN, South West
Pacific Dialogue, serta India.
(14)Acehnese Cultural Visit, Sidney-Canberra, 6-15 September 2006.
kerjasama PP Muhammadiyah dan Deplu RI mengadakan
Acehnese Children Cultural Visit, Exhibition and workshop di Sidney
dan Canberra.

240 Citra Indonesia di Mata Dunia


(15)Tripartite Forum on High-Level Conference in Interfaith Cooperation
for Peace. PBB New York, 21 September 2006. Dihadiri perwakilan
negara anggota PBB, organisasi dalam sistem PBB serta tokoh-
tokoh/ pemuka agama dan civil society.
(16)Pembuatan buku Gedung Linggajati dan Perundingan Linggajati,
Oktober-November 2006 berupa buku komikal bagi pelajar SD,
SMP, SMA.
(17)Seminar Diplomasi dalam Perjuangan Bangsa, di Kabupaten
Kuningan 11 November 2006, sebagai rangkaian peringatan
Linggajati.
(18)Pembuatan website Museum Konferensi Asia Afrika, Agustus-
Desember 2006, dalam rangka revitalisasi Museum Konferensi
Asia Afrika. Akan diluncurkan Januari 2007.
(19)Pembuatan website www.deplujunior.org, September-Desember
2006, salah satu strategi komunikasai Deplu RI terhadap generasi
muda. Segmennya anak-anak SD dan SMP.
(20)Promosi The Indonesia Today. Dilaksanakan di Slovakia, 23-24
November 2006, Deplu memfasilitasi penyelenggaraan seminar
Indonesia, Islam, dan Demokrasi yang menghadirkan
pembicara rektor UIN dan Kepala Departemen HI UI. Di Selandai
Baru, 14-16 November 2006 melaui kegiatan dialog, diskusi, dan
seminar dengan kalangan NGOs, akademisi, dan para pemerhati
Indonesia.
(21)Pembuatan film Politik Luar Negeri Bebas Aktif dari Masa ke
Masa, November 2006, dalam rangka meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman masyarakat umum mengenai politik luar negeri
bebas aktif.
(22)Partisipasi The Diplomats dalam Jak Jazz 2006. November 2006,
sebagai sarana promosi citra Indonesia.
(23)Malam pagelaran seni budaya ASEAN & Pasifik Barat Daya di
Bandung, 6 Desember 2006. Menampilkan peserta program
beasiswa seni dan budaya Indonesia 2006 dari 18 negara.
(24)Lokakarya nasional Diplomasi Publik di Bandung, 6 Desember
2006. Lokakarya ini mempertemukan seluruh kepentingan
diplomasi publik Indonesia dalam satu forum untuk mendiskusi-
kan format diplomasi publik Indonesia yang sesuai dengan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 241
perkembangan terakhir. Hadir sebagai pembicara utama adalah
pakar diplomasi publik dari Amerika dan Inggeris. Hasil yang
diharapkan adalah rekomendasi strategi dan rencana aksi
diplomasi publik Indonesia tahun 2007-2009.
(25)Diseminasi informasi dalam rangka menjaga keutuhan wilayah
NKRI di Suva, Fiji, 13-14 Desember 2006.
(26)Lunch Break on Papua. Dijadwalkan menjadi program bulanan
sebagai salah satu sarana untuk memperluas wawasan mengenai
isu-isu aktual Papua dari berbagai narasumber, khusunya
kalangan non-pemerintah sehingga tercapai pemahaman secara
komprehensif mengenai masalah Papua. Apresiasi terhadap
program ini tidak saja datang daripeserta diskusi (Direktorat
terkait Deplu) tetapi juga dari kalangan LSM pemerhati masalah
Papua yang melihat dan merasakan sendiri adanya perubahan
sikap pemerintah dalam menjalin hubungan dengan LSM. Deplu
dianggap sebagai pelopor dalam melaksanakan reformasi
birokrasi dalam era keterbukaan ini.
(27)Diplomatic Gathering. Merupakan kegiatan rutin yang diadakan
untuk membangun komunikasi dan mempererat persahabatan
dengan para pejabat diplomatik perwakilan negara-negara asing
dan organisasi internasional/regional di Jakarta sebagai media
untuk mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan citra
Indonesia.
(28)Dialog Ramadhan Campus to Campus. Dialog tersebut bertujuan
menjelaskan perkembangan isu internasional terkini, antara lain
mengenai ASEAN dan HAM, mencari masukan dari para
mahasiswa mengenai isu-isu yang dimaksud, serta menjelaskan
tentang peluang dan prosedur berkarir di Deplu.
(29)Kunjungan mahasiswa ke Deplu. Mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di Indonesia secara rutin melakukan kunjungan
ke Deplu RI untuk memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai Deplu, diplomasi, dan politik luar negeri RI.
Selama tahun 2006 kunjungan mahasiswa yang telah terlaksana
antara lain kunjungan mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta;
Universitas Trisakti, Jakarta; Universitas Pasundan, Bandung;
Universitas Parahyangan, Bandung; Universitas Hasanuddin,
Makassar; dan Universitas Muhammadiyah Malang.

242 Citra Indonesia di Mata Dunia


Kegiatan diplomasi publik yang dilaksanakan Departemen Luar
Negeri terutama yang dilakukan Perwakilan RI di Luar Negeri
dibingkai dalam kegiatan promosi citra Indonesia. Berbagai macam
kegiatan promosi citra Indonesia seperti Pembekalan dan Rapat
Koordinasi Para Kepala Perwakilan RI dari beberapa kawasan,
bertempat di salah satu negara; Konsultasi politik (political consultation)
antara RI dengan suatu negara; Sosialisasi perubahan Undang-undang
Dasar 1945; Promosi tentang Indonesia bertempat di suatu negara;
Seminar potensi suatu daerah di Indonesia; Sosialisasi trade expo
Indonesia; Pertunjukan kesenian Indonesia dan malam budaya; dan
lain-lain.133
Diplomasi publik yang dilaksanakan Departemen Luar Negeri
RI dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori hubungan dalam
pengaturan program public relations. Hubungan yang dibangun dalam
rangka memajukan people to people contact, diseminasi informasi
mengenai politik luar negeri RI, merangkul dan mempengaruhi publik
dalam dan luar negeri, mengumpulkan saran dan masukan bagi
pelaksanaan politik luar negeri.
Pertama, hubungan dengan media. Setiap tahun, sejak tahun 2002,
Menteri Luar Negeri RI memberikan paparan lisan diperuntukkan bagi
media massa mengenai refleksi tahun kegiatan yang telah dilalui
dengan mengemukakan kondisi politik, ekonomi, sosial budaya dalam
lingkup internasional termasuk kawasan yang berhubungan dan
mempunyai pengaruh terhadap kebijakan politik luar negeri Indonesia,
serta langkah-langkah, kegiatan dan hasil-hasil yang dicapai Indonesia
dalam penyelenggaraan politik luar negeri. Kemudian memaparkan
proyeksi tahun yang akan dijalani, titik berat mengemukakan program
dan langkah-langkah yang perlu dilaksanakan pada tahun yang
bersangkutan. Pada setiap kegiatan selalu disertakan media massa
untuk merekam dan menyebarluaskan informasi tentang kegiatan yang
telah dilaksanakan itu. Di samping membuat sendiri bahan publikasi
seperti pembuatan film Aceh Reborn: A Portret of Recovery. Pembuatan
film Politik Luar Negeri Bebas Aktif dari Masa ke Masa.

133Direktorat Diplomasi Publik Deplu RI. Sekilas Direktorat Diplomasi Publik, 2002-2006. Desember 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 243
Kedua, hubungan internal. Hubungan internal dalam rangka
membangun kebanggaan individu dalam organisasi, membangun
partisipasi dalam kegiatan untuk efisiensi organisasi khususnya dalam
diplomasi, antara lain setiap tahun diselenggarakan rapat para kepala
perwakilan RI di luar negeri yang berpindah-pindah tempat dari satu
kawasan ke kawasan lain.
Ketiga, hubungan dengan pemerintah negara lain. Untuk
meningkat-kan efektivitas penyelenggaraan politik luar negeri RI, dan
dalam rangka meningkatkan hubungan dengan negara lain di dunia,
Departemen Luar Negeri RI telah melakukan restrukturisasi organisasi
dengan mengubah struktur organisasi Deplu yang semula disusun
menurut pembidangan (politik, sosial budaya dan ekonomi), menjadi
berbasis kawasan (Asia Pasifik dan Afrika, Amerika dan Eropa,
Kerjasama ASEAN), sesuai dengan konsep intermestik, yaitu telah
menyatunya masalah internasional dengan masalah domestik. Selain di
tingkat pusat, dilakukan pula restrukturisasi Kantor Perwakilan RI
dengan lebih menekankan kepada kompetensi dan menempatkan
pejabat yang memiliki bobot kompetensi sesuai dengan bobot politik
yang dihadapi dari suatu negara, di samping penempatan konsulat
yang perlu disesuaikan dengan perkembangan pusat pertumbuhan
suatu wilayah.
Keempat, hubungan dengan masyarakat, baik dengan masyarakat
dalam negeri maupun luar negeri, untuk mengetahui dan
mempertemukan kebutuhan dan harapan semua segmen masyarakat
dalam organisasi, seperti penyelenggaraan foreign policy breakfast,
melakukan diskusi dengan berbagai tokoh agama, jurnalis, LSM,
kalangan pemuda, dan lain-lain. Program Duta Belia Indonesia, yaitu
program pembekalan mengenai politik luar negeri RI kepada putra-
putri anggota pengibar bendera pusaka. Pengiriman misi kesenian,
seperti kesenian Aceh Rafli ke London, Islam expo di London, dengan
menyelenggarakan seminar tentang Islam di Indonesia. Acehnese cultur
visit ke Sydney-Canberra, Seminar Diplomasi dalam Perjuangan Bangsa
di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat, pembuatan website
Museum Konferensi Asia Afrika, dan Deplu Yunior. Pertunjukkan
kesenian, seperti malam pagelaran seni budaya ASEAN dan Pasifik

244 Citra Indonesia di Mata Dunia


Barat Daya, pertunjukkan Jak Jazz 2006. Lunch Break on Papua, untuk
memperluas wawasan mengenai masalah Papua, Diplomatic Gathering,
untuk mempererat persahabatan dengan para pejabat diplomatik
perwakilan negara-negara asing dan organisasi internasional/regional.
Dialog ramadhan campus-to campus. Menerima kunjungan mahasiswa
ke Departemen Luar Negeri RI. Diplomatic Tour, diplomat asing ke
Bandung dalam rangka memperkenalkan wajah Indonesia.
Departemen Luar Negeri selain memiliki website deplu.go.id,
juga memiliki website Deplu Junior yang merupakan salah satu strategi
komunikasi Departemen Luar Negeri RI terhadap generasi muda.
Segmen website adalah anak-anak SD dan SMP.
Kelima, hubungan internasional. Dilakukan dengan menyeleng-
garakan seminar, dialog, seperti dialog antar agama (interfaith dialogue)
di Yogyakarta, Vatikan, Bali, Den Haag, Cebu, tahun 2004, 2005, 2006,
kerja sama Deplu RI dengan negara-negara lain. International Conference
of Islamic Scholars tahun 2004, 2006 di Jakarta, membahas masalah
keumatan yang menonjol. World Peace Forum, forum tokoh-tokoh kunci
dunia untuk menyuarakan pesan perdamaian dunia. Global Inter-Media
Dialogue, untuk pertama kali diselenggarakan di Bali tahun 2006, dan
akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya. Diikuti oleh tokoh
media/jurnalis dari 44 negara. Forum sebagai ajang saling tukar
pengalaman dan menyadari pentingnya peningkatan toleransi serta
sensitivitas antara budaya dan agama.
Pengkategorian hubungan suatu kegiatan tidak bersifat mutlak,
karena terdapat kegiatan dalam ssuatu hubungan yang dapat
dikategorikan pula dalam hubungan lain. Seperti kegiatan Global Inter
Media Dialogue selain dapat dikategorikan ke dalam hubungan dengan
media, dapat pula dikategorikan dalam hubungan internasional.
Berbagai kegiatan diplomasi publik oleh Departemen Luar Negeri RI,
belum melibatkan Koalisi untuk mempromosikan pentingnya
kebebasan memperoleh informasi dalam kehidupan demokrasi di
Indonesia yang dapat mempererat kerjasama Indonesia dengan negara
lain. Model diplomasi publik yang dilaksanakan oleh Direktorat
Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI, ditampilkan melalui
Diagram 4.3. pada halaman berikut.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 245
246
Citra Indonesia di Mata Dunia
Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006

Diagram 3.3.Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Departemen Luar Negeri RI


3.5. Diplomasi Publik oleh Koalisi
Koalisi untuk Kebebasan Informasi beranggotakan 46
organisasi non-pemerintah (Ornop). Kedudukan Ornop sebagai aktor
non-pemerintah, pemain dalam diplomasi menjadi penting, serta
menandai ciri diplomasi modern. Institusionalisasi Ornop dalam proses
diplomasi khususnya dalam kegiatan konferensi multilateral menjadi
ciri penting dalam diplomasi saat ini. Sebagaimana dikemukakan
Barston (1997 : 4-5):
Players in diplomacy Third, non state actors have proliferated in
number and type, ranging from traditional economic interest groups
through to resource, environmental, humanitarian, criminal and global
governance interest. In some instances NGOs are closely linked to official
administrations, while others are transnationally linked. Above all, the
institutionalisation of NGOs in the diplomatic process, especially in
multilateral conferences, has become an important distinguishing feature
of recent diplomacy

Ornop merupakan salah satu komponen diplomasi multijalur


(multitrack diplomacy) atau multistakeholder diplomacy, istilah menurut
Brian Hocking dan berperan penting dalam membangun citra suatu
diplomasi. Dikemukakan Hocking sebagai berikut :In particular, the
image of diplomacy offered by multistakeholder diplomacy is one in which
private actors such as firms and, of course, non-governmental organisations-can
and should play a significant role.134
Ornop-ornop yang bergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan
Informasi memiliki latar belakang pendirian, tujuan, dan program
kerja yang berbeda satu sama lain, namun mereka menaruh perhatian
yang sama terhadap isu kekebasan memperoleh informasi karena
seperti dikemukakan Koordinator Umum Koalisi, kebebasan mem-
peroleh informasi berkaitan erat dengan pencapaian tujuan dan
program masing-masing ornop. Setiap program ornop berkepentingan
terhadap aspek kebebasan memperoleh informasi, dan mereka
berkoalisi untuk kepentingan kebebasan memperoleh informasi.

134
Brian Hocking. 2005. Multistakeholder Diplomacy: forms, functions, and frustrations, Centre for the Study of
Foreign Policy and Diplomacy George Eliot Building Coventry University Priory Street. Coventry. hlm. 6.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 247
3.5.1. Diplomasi Publik dengan pendekatan Public Relations
Kegiatan Koalisi dalam diplomasi publik melalui pendekatan
public relations pada prinsipnya dapat dikemukakan berdasarkan tiga
kegiatan utama Koalisi, yaitu kegiatan pengkajian, lobi dan kampanye.
Kegiatan pengkajian dilakukan Koalisi dengan melakukan penelitian
terhadap referensi yang berkenaan dengan kebebasan memperoleh
informasi, baik melalui literatur maupun melakukan studi lapangan ke
beberapa negara yang telah memiliki undang-undang kebebasan
memperoleh informasi. Melakukan diskusi dengan para ahli di dalam
negeri dan luar negeri untuk menyusun draf undang-undang
kebebasan memperoleh informasi. Koalisi juga menyusun program
kerja, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Draf awal undang-undang kebebasan memperoleh informasi
hasil diskusi dengan para ahli dalam negeri dan luar negeri selanjutnya
disebarluaskan kepada fakultas hukum perguruan tinggi negeri seluruh
Indonesia, departemen/kementerian, lembaga pemerintah non
departemen yang terkait, pengelola media, untuk memperoleh
tanggapan dan koreksi. Masukan dari berbagai pihak selanjutnya
dibawa ke dalam forum seminar, baik nasional maupun internasional
dengan mengundang para ahli baik nasional maupun internasional
untuk kemudian dilakukan penyempurnaan.
Koalisi juga mendiskusikan dan membuat perbandingan bentuk
lembaga, cara penyelesaian sengketa, kekuatan putusan, tugas dan
fungsi, serta wewenang lembaga dalam memutus sengketa informasi.
Membuat dan membahas daftar inventarisasi masalah RUU KMIP yang
dibahas pemerintah dan DPR. Melakukan riset tentang pelaksanaan
peraturan daerah tentang transparansi dan kebebasan informasi di
beberapa daerah (Kabupaten Kendari, Kabupaten Lebak, dan Provinsi
Kalimantan Barat).
Pengkajian atau riset terlihat diutamakan oleh Koalisi untuk
memperoleh bobot penelitian. Koalisi melibatkan para ahli dalam
berbagai bidang yang menyangkut keleluasaan informasi baik ahli dari
dalam negeri maupun luar negeri. Melakukan pemantauan sikap parpol
terhadap RUU kebebasan informasi. Menyusun kerangka acuan studi
dan pemetaan Badan Publik dalam memenuhi akses informasi.

248 Citra Indonesia di Mata Dunia


Riset/pengkajian merupakan kegiatan awal public relations dan
selalu menyertai kegiatan-kegiatannya, sebagaimana dikemukakan
Wilcox. et.al. (2003: 7) bahwa kegiatan public relations terdiri dari empat
unsur kunci yaitu: reseach, action, communication dan evaluations.
Kegiatan lobi dilakukan terhadap pimpinan DPR RI, pimpinan
fraksi, beberapa pejabat pemerintah pusat dan daerah, organisasi massa,
partai politik, dan pengelola media massa, yang berkepentingan dengan
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi.
Kampanye dilakukan melalui berbagai kegiatan sosialisasi
seperti melakukan seminar, loka karya, diskusi, konsultasi regional di
beberapa wilayah, kepada para tokoh masyarakat di wilayahnya,
termasuk para akademisi, partai politik, organisasi massa dan lain-lain.
Melakukan diskusi-diskusi di beberapa perguruan tinggi, seminar,
penyebaran informasi melalui media massa, baik cetak mapun
elektronik, pembuatan information kit dan dengan menerbitkan berbagai
buku tentang kebebasan memperoleh informasi, serta memiliki alamat
website yaitu http//kebebasan- informasi.blogspot.com.
Kegiatan Koalisi tidak hanya ditujukan kepada publik di luar
Koalisi tetapi juga ditujukan ke dalam anggota Koalisi seperti melakukan
diskusi-diskusi internal untuk membahas masalah dan menyamakan
persepsi terhadap masalah sehingga dicapai kesepakatan dan kesatuan
suara serta pandangan, sekalipun sifat Koalisi adalah cair.
Upaya Koalisi untuk mendorong lahirnya Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP) dilakukan
berproses, dimulai dari penelitian, penyusunan program kegiatan,
pelaksanaan kegiatan, yang dilakukan dengan lobi, dan kampanye atau
sosialisasi, serta melakukan evaluasi hasil kegiatan dengan membahas
umpan balik (feedback), seperti membahas dan mendiskusikan kembali
rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik,
dengan para ahli, pejabat pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga lain
yang diperlukan.
Proses evaluasi dilakukan untuk setiap tahap kegiatan, baik
menyangkut penelitian, penyusunan program, lobi, maupun kampanye
atau sosialisasi. Proses yang ditempuh Koalisi sebagai suatu organisasi
dalam melaksanakan kegiatan, sejalan dengan proses kegiatan public

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 249
relations yang terdiri dari empat unsur kunci yaitu research, action
(program planning), communication (execution) dan evaluation sebagaimana
dikemukakan Wilxoc et.al (2003:7). Selanjutnya berdasarkan feedback
melakukan pertimbangan dan penyesuaian terhadap program. Koalisi
setiap bulan menyusun laporan advokasi terhadap suatu kegiatan.
Bersangkutan dengan unsur values dalam proses public relations
yang mendorong terjadinya hubungan antara organisasi dengan
publiknya serta yang dapat mempengaruhi kesuksesannya, sebagaimana
dikemukakan Guth dan Marsh (2006:16) dalam mukadimah statuta
Koalisi yang dapat dianggap sebagai pencerminan nilai atau values yang
dianut Koalisi dinyatakan bahwa, untuk mencegah praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme serta pelanggaran HAM, kedudukan masyarakat
sipil dihadapan negara harus diperkuat. Agenda yang harus dilakukan
adalah menciptakan peluang yang memungkinkan publik terlibat dalam
proses pemerintahan dan pengelolaan sumber daya publik.
Koalisi memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik sebagai sarana yang berbentuk aspek legal
formal dalam perundang-undangan Indonesia yang dapat memaksa
pemerintah dan pejabat publik untuk bertindak transparan terhadap
segala kebijakan yang diambil, yang berhubungan dengan kepentingan
publik, sehingga publik dapat berpartisipasi dan mengawasi pelaksana-
annya. Apabila kondisi ini terwujud dalam bentuk sistem pemerintahan
yang terbuka (open government), maka tatanan pemerintahan yang baik
(good governance) diharapkan dapat diwujudkan pula.
Kekuasaan membentuk undang-undang dipegang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) berdasarkan pasal 20 UUD 1945. Kemudian
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama.135 Lobi yang dilakukan Koalisi kepada DPR dan pemerintah
dapat dikatakan sebagai lobi yang sangat diutamakan, sejak awal sampai
dengan pembahasan RUU KMIP. Lobi dan negosiasi dilakukan melalui
diskusi-diskusi untuk meyakinkan pentingnya Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang terbuka, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, di

135
Sekretaris Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. hlm. 67.

250 Citra Indonesia di Mata Dunia


samping mengajak unsur pemerintah dan DPR melakukan studi banding
ke negara-negara maju, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,
disebabkan memiliki undang-undang kebebasan memperoleh
informasi, seperti ke Swedia, Jepang, Thailand. Hasil lobi dan negosiasi
antara lain, draf RUU KMIP versi Koalisi diterima oleh DPR RI periode
1999-2004 dan juga oleh DPR RI periode 2004-2009 serta dijadikan RUU
usul inisiatif DPR setelah dilakukan penyempurnaan oleh DPR RI.
Koalisi juga melakukan kampanye dan sosialisasi pentingnya
kebebasan memperoleh informasi publik kepada berbagai lapisan
masyarakat, seperti para tokoh masyarakat, organisasi massa, partai
politik, akademisi, pejabat pemerintah daerah, pengusaha, pengelola
media, untuk menerima masukan, menyamakan persepsi tentang
pentingnya undang-undang kebebasan memperoleh informasi, dan
memberikan penyadaran tentang hak rakyat untuk mengakses informasi.
Sebagaimana sinyalemen Koalisi bahwa masih terdapat kesalahan
persepsi terhadap undang-undang kebebasan memperoleh informasi
seperti persepsi bahwa keterbukaan mendorong akulturasi negatif yang
merugikan masyarakat, keterbukaan mengancam kedaulatan negara dan
bangsa, keterbukaan menyuburkan suasana ketidakamanan, keterbukaan
menghambat penegakan hukum.136 Selain masih banyak masyarakat yang
belum mengetahui haknya untuk mengakses informasi, atau belum
mengetahui jenis informasi yang dapat atau tidak dapat diakses serta
bagaimana prosedur dan mekanismenya untuk memperoleh informasi.137
Sasaran Koalisi dalam kegiatan lobi, kampanye, atau sosialisasi,
tidak hanya masyarakat, anggota DPR, dan pejabat pemerintah
Indonesia, tetapi juga masyarakat internasional, baik pemerintahannya,
masyarakat yang tergabung dalam berbagai organisasi nonpemerintah,
maupun para ahli internasional di bidang yang bersangkutan dengan
kebebasan memperoleh informasi, dalam kerangka membangun
kerjasama dan memperoleh dukungan.
Kegiatan Koalisi sebagai sebuah organisasi apabila dihubungkan
dengan pengertian dan definisi public relations sebagaimana dikemukakan
Grunig (1984:7) dalam pernyataan singkatnya yaitu the management of

136
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. op cit. hlm. xxii-xxiv.
137
Wawancara dengan Koordinator Bidang Umum Koalisi, 27 Januari 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 251
communication between an organization and its publics dibuktikan dengan
adanya program Koalisi dan berbagai lapisan masyarakat yang menjadi
publik sasaran dari kegiatan Koalisi. Tetapi maksud dan tujuan yang
dikehendaki manajemen dalam berkomunikasi belum jelas. Sedangkan
definisi yang dihasilkan Mexican Statemen (Davis, 2004:3) yang
mengandung unsur yang kuat tentang penelitian dalam melaksanakan
kegiatan public relations serta untuk kepentingan publik dan organisasi,
dapat tergambarkan pula dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan Koalisi,
yaitu bahwa langkah awal dalam penyusunan draf RUU KMIP dimulai
dengan melaksanakan penelitian dan studi banding, selanjutnya
dilakukan evaluasi terhadap berbagai tahapan kegiatan.
Sosialisasi yang dilakukan Koalisi melalui diskusi mempunyai
tujuan untuk memberikan pemahaman kepada sasaran khalayak
pentingnya Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
dan meminta dukungan. serta meyakinkan masyarakat bahwa mengakses
informasi terhadap segala kebijakan pemerintah merupakan hak rakyat di
samping untuk merumuskan materi dalam draft RUU KMIP.
Definisi-definisi public relations memiliki kesamaan pengertian
bahwa public relations adalah fungsi management suatu organisasi untuk
mengusahakan adanya saling pengertian, kerjasama, di antara organisasi
dan publiknya bagi kepentingan organisasi dan publiknya. Tetapi
Zawawi (2004:6) tidak ingin terlalu menggunakan kata 'organisasi' dalam
definisi yang cenderung menempatkan eksistensi public relations
berkaitan dengan perusahaan. Padahal public relations dapat ditangani
oleh organisasi, kelompok atau individu apabila berinteraksi dengan
berbagai publik Public relations didefinisikan sebagai manajemen
strategik dan etik suatu komunikasi serta hubungan, untuk membangun
dan mengembangkan koalisi serta kebijakan, mengidentifikasi dan
mengelola isu, menciptakan pesan-pesan untuk mendapatkan manfaat
dalam kerangka tanggung jawab sosial.
Praktek definisi ini tergambar dalam kegiatan Koalisi, karena
kepentingan yang dimaksud Koalisi bukan kepentingan suatu
perusahaan tetapi kepentingan sosial. Koalisi melakukan kegiatan
dengan cara berkoalisi antara pimpinan Koalisi yang diberi mandat
untuk merumuskan dan menyelenggarakan kegiatan Koalisi dengan

252 Citra Indonesia di Mata Dunia


pimpinan berbagai Ornop anggota Koalisi, khususnya dalam membahas
dan melaksanakan program Koalisi dalam rapat-rapat kerja internal dan
hubungan kerja antara Koalisi dan pimpinan Ornop anggota Koalisi.
Hubungan dan kerjasama dengan pemerintah dan Ornop
internasional telah dibangun Koalisi dalam bentuk kerjasama
melaksanakan suatu kegiatan, seperti menyusun draf Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, menyelengarakan kampanye
atau sosialisasi seperti menerbitkan buku, membuat information kit,
menyelenggarakan diskusi, seminar. Hubungan dan kerjasama yang
saling menguntungkan, juga dilakukaan dengan berbagai kelompok
masyarakat di luar negeri karena memiliki kepentingan yang sama
dalam memperjuangkan isu internasional demokratisasi, perlindungan
hak asasi manusia, kebebasan memperoleh informasi, kebebasan
menyatakan pendapat dan berekspresi, mewujudkan pemerintahan
terbuka, menuju tatanan pemerintahan yang baik atau good governance.
Ornop atau lembaga internasional yang bekerja sama dengan
Koalisi adalah mereka yang bergerak di bidang isu perlindungan hak
asasi manusia, seperti Article 19, di bidang pendidikan, demokratisasi
dan komunikasi seperti UNESCO, yang menghendaki pemerintahan
terbuka seperti, UNDP, World Bank Institute, USAID, National Democratic
Institute, Asia Foundation, sebagaimana definisi international public relations
yang dikemukakan Wilcox (2003 : 378) sebagai usaha yang terorganisasi
dan terencana suatu perusahaan, lembaga, atau pemerintah untuk
membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan publik
bangsa lain yang terdiri dari berbagai kelompok orang yang dipengaruhi
oleh, atau yang dapat mempengaruhi, operasional perusahaan, lembaga,
atau pemerintah.
Menurut Kean (1969:6) public relations menjadi internasional
apabila secara langsung berhubungan dengan publik luar negeri, dengan
banyak negara, dan banyak bangsa, dengan beraneka mentalitas.
Kegiatan Koalisi telah mencakup empat macam praktek public
relations seperti dikemukakan Grunig (1984 : 21-23) yaitu: Press agentry
atau Publicity, sekalipun digambarkan sebagai suatu propaganda; Public
Information, yaitu menyebarkan fakta-fakta yang benar, angka-angka,
dan saran, atas nama organisasi yang merupakan proses satu arah; Two-

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 253
way Asymmetric, sebagai suatu persuasi atas dasar hasil penelitian,
dalam kondisi ketidakseimbangan antara kepentingan penyampai dan
penerima pesan; Two-way Symmetric, melaksanakan komunikasi
dialogis atas dasar kesetaraan dan kepentingan bersama.
Koalisi juga telah melaksanakan kegiatan-kegiatan kunci public
relations sebagaimana dikemukakan Zawawi (2004 : 9-10), antara lain
kegiatan: Communication, yaitu menyampaikan atau saling bertukar
pikiran, pendapat atau pesan baik secara visual, lisan, maupun tulisan,
melalui diskusi, siaran di radio, televisi, atau tulisan di surat kabar.
Publicity, menyebarkan pesan-pesan yang terrencana melalui media
terpilih, tanpa membayar, untuk kepentingan lebih jauh dari organisasi
seperti pembuatan pamplet, leaflet, kalender, dan penerbitan buku-buku.
Public Affairs/Lobbyist, bertindak mewakili organisasi dalam membuat
kesepakatan dengan politisi atau pemerintah yang menentukan kebijakan
dan pembuatan undang-undang, sebagaimana dilakukan Koalisi dalam
kegiatan lobi, baik kepada DPR maupun kepada pemerintah. Community
Relations, membangun dan memelihara hubungan antara organisasi
dengan kelompok-kelompok masyarakat yang saling mempengaruhi
satu sama lain, seperti melakukan lobi terhadap organisasi massa,
kelompok-kelompok masyarakat melalui konsultasi regional, atau
kunjungan ke kampus-kampus. Internal Relations, membangun dan
memelihara hubungan dengan internal organisasi melalui rapat-rapat
internal membahas masalah, evaluasi program dan kegiatan. Media
Relations, membangun dan memelihara hubungan dengan media, bukan
hanya dengan penyelenggara media, tetapi juga dengan pengelola media.
Public Diplomacy membangun dan memelihara hubungan untuk
mengembangkan antara lain kemauan bekerja sama secara umum dan
saling membantu di antara bangsa-bangsa, sebagaimana telah dilakukan
Koalisi, menjalin hubungan dan kerjasama baik dengan organ PBB,
Pemerintahan, maupun Ornop-ornop di negara lain untuk memperoleh
bantuan, dorongan, baik secara moril maupun material untuk
menyukseskan program Koalisi.
Temuan penelitian ini di antaranya mampu dijadikan dasar dalam
menemukan jawaban bagaimana kegiatan Koalisi untuk Kebebasan
Informasi memperoleh dukungan pihak lain dalam mencapai
tujuannya dengan mengintensifkan penyelenggaraan sistem hubungan

254 Citra Indonesia di Mata Dunia


dan kerjasama dengan pihak lain. Dengan demikian salah satu proposisi
ilmiah yang dapat penulis rumuskan berdasarkan temuan ini adalah:
Diplomasi publik dengan menerapkan berbagai sistem hubungan
(relations system), baik yang dilakukan dalam konteks kepentingan dalam
negeri maupun luar negeri akan mampu menciptakan kondisi
masyarakat yang bisa saling bekerjasama secara luas.
Berdasarkan proposisi inilah maka perkembangan dan
penerapan public relations dalam sistem pemerintahan dalam negeri
maupun untuk kepentingan kerjasama bilateral, regional, maupun
internasional dapat dilakukan dengan penuh dukungan dari Ornop-
ornop dan masyarakat secara luas. Kondisi ini bisa diwujudkan
mengingat semua pihak merasa memahami dan memperoleh kejelasan
informasi secara mudah dan demokratis.

3.5.2. Diplomasi Publik untuk Good Governance


Koalisi didirikan dengan maksud dan tujuan agar hak-hak setiap
orang terjamin untuk memperoleh informasi publik dalam mewujudkan
pemerintahan yang terbuka. Pemikiran ini didasarkan kepada kenyataan
bahwa akar persoalan merebaknya praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia dalam pemerintahan
orde baru karena lemahnya kontrol masyarakat terhadap negara. Oleh
karena itu kedudukan masyarakat sipil di hadapan negara harus
diperkuat. Peluang yang memungkinkan publik terlibat dalam proses
pemerintahan dan pengelolaan sumber daya publik harus diciptakan.
Kondisi ini menurut Koalisi akan dapat diwujudkan apabila terdapat
perundang-undangan yang mengatur transparansi pemerintahan,
keterbukaan informasi dan partisipasi publik, sebagaimana dinyatakan
dalam statuta Koalisi.
Sasaran utama kegiatan Koalisi untuk merealisasikan maksud dan
tujuannya adalah memperjuangkan diundangkannya Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Konsepsi kebebasan
memperoleh informasi, partisipasi publik, dan pemerintahan yang
terbuka dirumuskan oleh Koalisi dalam draf Rancangan Undang-Undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) yang diajukan
Koalisi kepada DPR RI periode 1999-2004. Dalam draf RUU KMIP versi

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 255
Koalisi tahun 2002, pada konsideran Menimbang dikemukakan:
1. Bahwa kebebasan memperoleh informasi publik merupakan hak
asasi manusia dan merupakan salah satu ciri terpenting dalam
negara hukum yang demokratis untuk mewujudkan peme-
rintahan yang terbuka.
2. Bahwa hak anggota masyarakat untuk memperoleh informasi
publik merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas
keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
publik.
3. Bahwa kebebasan memperoleh informasi publik merupakan unsur
penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap
penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna mendorong
pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Pada ketentuan umum dikemukakan antara lain pengertian


informasi publik yaitu segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan
atau yang dapat menerangkan suatu hal dengan sendirinya dalam bentuk
format apa pun, atau pernyataan lisan pejabat Badan Publik yang
berwenang yang dihasilkan, dikelola, atau dihimpun dari sumber-
sumber lain sehingga berada di dan dimiliki oleh suatu Badan Publik.
Sedangkan yang dimaksud Badan Publik adalah badan, lembaga, atau
organisasi yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau dibentuk
didirikan oleh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia;
badan usaha yang dibentuk atau didirikan oleh perundang-undangan
Republik Indonesia; badan usaha swasta yang melaksanakan kegiatan
berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dengan Badan Publik; atau
organisasi non-pemerintah antara lain yang mendapatkan dana dari
APBN atau APBD.
Dalam hal jenis informasi publik, terdapat informasi publik yang
harus tersedia setiap saat seperti seluruh kebijakan yang ada berikut
dokumen pendukung, rencana proyek dan program termasuk perkiraan
pengeluaran tahunan Badan Publik. Informasi yang harus diumumkan
secara serta merta antara lain informasi mengenai hal atau keadaan yang
dapat mengancam hajat hidup orang banyak. Di samping informasi
yang dikecualikan untuk dibuka yaitu antara lain informasi publik yang
apabila dibuka akan menghambat atau mengganggu proses penegakan

256 Citra Indonesia di Mata Dunia


hukum, akan merugikan perlindungan hak atas kekayaan intelektual
dan persaingan usaha sehat, akan membahayakan pertahanan dan
keamanan nasional, akan mengganggu hubungan baik antara negara
Republik Indonesia dengan negara lain, akan merugikan satu negara
atau lebih, akan melanggar privasi pribadi, antara lain status, kesehatan,
kompetensi, keuangan, dan lain-lain.138
Pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel
merupa-kan ciri-ciri karakteristik dari good governance, sesuai dengan
karakteristik good governance yang dikemukakan United Nations
Development Programme (UNDP), yaitu:
(1) Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam
pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
intermediasi institusi yang mewakili kepentingannya; (2) Rule of
Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia; (3)
Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi. Informasi secara langsung harus dapat diterima oleh
mereka yang membutuhkan; (4) Responsiveness. Lembaga-
lembaga harus berupaya melayani stakeholders; (5) Consensus
Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang
berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan
maupun prosedur-prosedur; (6) Equity. Semua warga negara, baik
laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang
sama untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka;
(7) Effectiveness and efficiency. Proses dan Lembaga sebaik mungkin
menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia; (8) Accountability.
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan stake holders (9)
Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai
perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas
dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk
pembangunan (UNDP dalam Widodo, 2002 : 25-26, dan dalam
Sedarmayanti, 2004: 5-6).

138
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Melawan Ketertutupan Informasi, Rancangan Undang-Undang tahun
2002, tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Lampiran 1.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 257
Bank Dunia mengartikan good governance sebagai pelayanan publik
yang efisien; sistem peradilan yang dapat diandalkan; serta pemerintahan
yang bertanggungjawab kepada publiknya (Dwipayana, 2003:18).
Sedarmayanti (2004 : 4-7) menyimpulkan good governance pada
empat prinsip utama, yaitu, akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan
aturan hukum, yang dapat memberi gambaran administrasi publik yang
berciri kepemerintahan yang baik. Bhatta (1996) dalam Sedarmayanti,
memasuk-kan pula unsur hak-hak asasi manusia dan kompetensi
manajemen sebagai unsur-unsur utama dalam good governance selain
akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan aturan hukum. Wujud good
governance menurut Lembaga Administrasi Negara (2000) adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung
jawab, efisien, efektif, menjaga kesinergisan interaksi antara domain
negara, sektor swasta dan masyarakat. Di samping itu penerapan prinsip
good governance dalam sektor publik adalah adanya tuntutan yang kuat
agar peranan pemerintahan dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk
dunia usaha dan Lembaga Swadaya Masyarakat/organisasi non-
pemerintah) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.
Sekalipun demikian Koalisi tidak hanya mengandalkan adanya
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dari aspek
legal formal, tetapi akan mengupayakan pula bagaimana undang-
undang tersebut diimplementasikan sehingga membawa manfaat bagi
publik dan menjadikan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan
akuntabel. Sebagaimana dikemukakan Koalisi, bahwa Undang-undang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik hanya merupakan suatu
instrumen, dan kemanfaatannya tergantung kepada adanya kesadaran
masyarakat akan haknya atas informasi, kapasitas Badan Publik yang
memadai dalam memenuhi hak atas informasi publik, serta tersedianya
infrastruktur yang memadai untuk mengakses informasi.
Ornop-Ornop yang bergabung dalam Koalisi Untuk Kebebasan
Informasi, baik yang telah berdiri sebelum reformasi, maupun yang
berdiri setelah reformasi bergerak dalam bidang yang sejalan dengan
prinsip-prinsip good governance.
Dapat dikemukakan beberapa contoh, seperti Institut Studi Arus
Informasi (ISAI) yang berdiri sejak 1995, bergerak di bidang riset media,
jurnalisme bebas dan studi terhadap kebijakan yang ada hubungannya

258 Citra Indonesia di Mata Dunia


dengan kebebasan berpendapat di Indonesia maupun di Asia Tenggara
sebagai negara tetangga. Transparansi Internasional Indonesia,
merupakan Koalisi internasional melawan korupsi. Setiap tahun aktif
mengumumkan hasil survei Transparansi Internasional tentang peringkat
korupsi Indonesia sebagai upaya memberikan peringatan bahaya korupsi.
Bina Desa, berdiri sejak 1975, bergerak di bidang pengembangan sumber
daya manusia terutama di perdesaan. Tujuannya mewujudkan kehidupan
masyarakat yang manusiawi, adil dan makmur melalui proses demokratis
dan bertujuan menguatkan peran rakyat dalam menentukan kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
didirikan tahun 1994, sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia
terhadap kesewenang-wenangan rezim Soeharto yang membredel tiga
media berpengaruh yakni Tabloid DeTik, Majalah Editor dan Majalah
Tempo pada 21 Juni 1994 tanpa alasan yang jelas. Diakui sebagai salah satu
elemen penting gerakan prodemokrasi di Indonesia dan diakui
International Federation of Journalist, Article 19, International Press Institute,
International Freedom Expression Exchange, United National on Education and
Cultural Organization. Indonesia Corruption Watch (ICW), didirikan tahun
1998 dengan misi memperjuangkan terwujudnya sistem politik, hukum,
ekonomi dan birokrasi yang bersih dari korupsi. Mengambil peran
memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian masyarakat di bidang
hak-hak warga negara dan pelayanan publik, penguatan kapasitas
masyarakat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan
publik, prakarsa masyarakat untuk membongkar kasus-kasus korupsi
dan melaporkan pelaku kepada penegak hukum.
Pada tanggal 29 Agustus 2005 Teten Masduki, Kordinator ICW
menerima Penghargaan Magsaysay (Magsaysay Award) untuk kategori
pelayanan publik. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
merupakan organisasi hukum lingkungan non-pemerintah yang
independen, bergerak dalam bidang advokasi dan pemberdayaan yang
berupaya mewujudkan hal dan pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dibentuk bulan Maret
1998 oleh Koalisi 12 LSM pro-demokrasi seperti AJI, PMII, YLBHI. Visi
Kontras adalah demokrasi harus ditegakkan atas kekuatan rakyat dan
prinsip-prinsip kebebasan dari rasa takut, tekanan, kekerasan, atau
pelanggaran hak asasi manusia. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 259
(LSPP) yang didirikan tahun 1994 bergerak di bidang studi media dan
kebudayaan. Kegiatan utama meliputi diskusi, penelitian, pelatihan dan
penerbitan dengan isu pokok tentang media dan demokratisasi. Visi
LSPP membuka ruang publik dengan atau melalui budaya didukung
beberapa nilai yang sekaligus menjadi isu strategis LSPP, yaitu
demokratisasi, hak asasi manusia, dan multikulturalisme.139
Koalisi melalui kegiatan advokasi telah ikut melahirkan peraturan
daerah (Perda) di beberapa kabupaten/kota, propinsi di Indonesia
tentang transparansi, partisipasi masyarakat, dan kebebasan
memperoleh informasi, sekalipun dengan nama Perda yang berlainan,
yaitu di Kabupaten Solok, Lebak, Bandung, Magelang, Tanah Datar,
Kebumen, Lamongan, Boalemo, Bolaang Mongondo, Takalar, Kota
Gorontalo, Kendari, Propinsi Kalimantan Barat. Bupati Kabupaten Solok
pada tahun 2004 telah menerima penghargaan Bung Hatta Anti
Corruption Award karena sikap sederhana, berani menolak kenaikan
dana taktis, menindak staf yang korup, aktif mengkampanyekan good
governance. Di Kota Gorontalo,140 Badan Publik yang tidak membuka
informasi padahal memegang informasi diancam pidana kurungan 3-6
bulan dan denda 50 sampai 100 juta rupiah.
Koalisi telah melakukan pengkajian khusus terhadap penyeleng-
garaan Pemilu 2004 ditinjau dari perspektif kebebasan memperoleh
informasi, karena pemilu merupakan perwujudan hak asasi warga
negara untuk mengambil bagian dalam urusan-urusan publik. Hasil
pengkajian berupa rekomendasi ditujukan kepada Komisi Pemilihan
Umum sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan penyelenggaraan
pemilu diwaktu yang akan datang.
Berdasarkan hasil pengkajian Koalisi, secara umum penyelengara-
an pemilu 2004 masih belum transparan karena tidak dijaminnya akses
publik terhadap informasi yang terkait dengan penyelenggaraan
pemilu. Ketiadaan jaminan hukum bagi penyelenggara pemilu untuk
memberikan informasi kepada publik, dan bagi masyarakat ketiadaan
jaminan untuk mengakses informasi. Akses masyarakat terhadap
verifikasi partai politik, calon legislatif, dana kampanye, dan terhadap
pengadaan logistik yang disinyalir banyak pihak tidak transparan.

139
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Direktori Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi.
140
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. op cit. hlm. 5.

260 Citra Indonesia di Mata Dunia


Koalisi merekomendasikan antara lain perlu diatur secara jelas
kewajiban penyelenggara pemilu untuk mendokumentasikan setiap
informasi kegiatan pemilu dan sanksi apabila tidak dilaksanakan.
Pengaturan tentang informasi kegiatan pemilu yang wajib diumumkan
oleh Komisi Pemilihan Umum kepada masyarakat harus diatur rinci dan
tegas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi, baik oleh
penyelenggara pemilu maupun oleh masyarakat. Segala informasi yang
terkait dengan penyelenggaraan pemilu yang ada di Komisi Pemilihan
Umum harus dapat diakses oleh masyarakat. Apabila terdapat informasi
yang dinyatakan sebagai rahasia negara sehingga tidak dapat diakses oleh
masyarakat, maka parameter kerahasiaan harus jelas. Dapat dikemukakan
bukti antara lain pengadaan logistik pemilu yang tidak transparan telah
mengakibatkan tindak pidana korupsi di Komisi Pemilihan Umum.141
Koalisi berhasil menyampaikan draf RUU Kebebasan Memper-
oleh Informasi Publik kepada DPR sehingga menjadi usul inisiatif DPR
setelah mendapat penyempurnaan oleh DPR. Dalam pembahasan RUU
KMIP di DPR, Koalisi juga aktif memberikan sumbangan pemikiran
untuk membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang dibahas DPR
bersama pemerintah. Koalisi juga membahas langkah-langkah yang harus
dilakukan setelah RUU KMIP disahkan menjadi UU KMIP yaitu yang
menyangkut permasalahan kapasitas Badan Publik yang bertanggung-
jawab dalam menyediakan informasi yang diperlukan publik,
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap haknya atas informasi yang
perlu diketahui masyarakat, serta tersedianya sarana/prasarana yang
memungkinkan masyarakat dapat mengakses informasi.
Kegiatan dan hasil-hasil yang dicapai Koalisi yang berhubungan
dengan upaya untuk mewujudkan tatanan pemerintahan yang baik atau
good governance, dapat difahami bahwa keberadaan Koalisi/Ornop,
legitimasinya, menurut Sinaga (1994:26) terutama bukan terletak kepada
aspek organisasinya, tetapi kepada ideologi egalitarianismenya, kepada
keadilan sosialnya, dan kepada demokratisasinya, sehingga oleh Knoke
disebut sebagai gerakan moral. Sebagaimana dikemukakan Sinaga:
The base of NGOs' legitimation is not primarily placed on 'organizational'
aspects, which are common in the case of association, but on particular

141
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Pengkajian Kasus Transparansi dan Akses Informasi Dalam Penyelenggaraan
Pemilu 2004.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 261
ideology of egalitarianism, social justice, democratization. This is why
Knoke (1990) sees the NGO group as a 'moral force' which exspose the
condition of the poor as a problem of the general system.

Kehadiran Koalisi juga bukan sesuatu yang tidak penting, tetapi


merupakan bagian dari kesepakatan masyarakat untuk mengatasi
masalah. Kebangkitan NGOs merupakan reaksi atas kegagalan pilihan
yang diambil negara dan pasar. Dikemukakan pula oleh Sinaga (1994:25):
The presence of NGOs is not peripheral but is rather an integral part of
dealing with the problems that society is attempting to solve. They are
more an expression of 'reaction' towards the disfunctional elements in the
social system and therefore offer 'alternatives'. NGOs emerge as the
reaction to the failure of both the state and the market options. They take a
stand between these two system

Koalisi menempatkan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh


Informasi Publik sebagai instrumen yang bersifat legal formal untuk
mewujudkan pemerintahan yang terbuka sebagai salah satu fondasi
untuk membangun tatanan pemerintahan yang baik atau good
governance. Oleh Koalisi dikemukakan persyaratan adanya jaminan
terhadap lima hal untuk pemerintahan yang terbuka (Haryanto, 2005:14)
yaitu hak memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran
publiknya (right to observe); hak memperoleh informasi (right to
information); hak terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan
kebijakan publik (right to participate); kebebasan berekspresi, salah
satunya diwujudkan melalui kebebasan pers; hak mengajukan keberatan
terhadap penolakan hak-hak di atas. Adanya jaminan terhadap hak
untuk memperoleh informasi merupakan salah satu prasyarat penting
mewujudkan pemerintahan terbuka.
Apabila hak untuk memperoleh informasi bagi masyarakat telah
dijamin oleh undang-undang, dengan tata cara memperoleh informasi
yang jelas, dan adanya sanksi bagi pemilik informasi yaitu Badan Publik
apabila menyembunyikan informasi, diyakini Koalisi bahwa korupsi,
kolusi, dan nepotisme sebagai tindakan yang dapat dicegah supaya tidak
terjadi, sehingga merupakan upaya preventif. Kondisi ini akan jauh lebih
baik dibandingkan dengan menindak korupsi yang telah terjadi. Dalam
draf RUU KMIP versi Koalisi disebutkan Informasi Publik yang Harus
Tersedia Setiap Saat, antara lain: Seluruh kebijakan yang ada berikut

262 Citra Indonesia di Mata Dunia


dokumen pendukungnya; Rencana proyek dan program termasuk per-
kiraan pengeluaran tahunan Badan Publik; Perjanjian dengan pihak luar.
Korupsi tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah
menjadi masalah internasional. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption, 2003)
(Tunggal, 2006 : 92-92) dalam pembukaan menyebutkan bahwa korupsi
tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena
transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi
yang mendorong kerja sama internasional untuk mencegah dan
mengontrolnya secara esensial. Kemudian disebutkan pula bahwa
pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab
semua negara dan bahwa mereka harus bekerja sama satu dengan yang
lain, dengan dorongan dan keterlibatan individu-individu dan
kelompok-kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-organisasi
kemasyarakatan, agar upaya-upaya mereka menjadi efektif.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi dengan
Undang-undang RI nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Dalam penjelasan undang-undang
tersebut antara lain disebutkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang
menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta
keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Ratifikasi konvensi
merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa
Indonesia dalam percaturan politik internasional (Tunggal, 2006: 5-6).
Temuan-temuan mengenai kegiatan Koalisi dalam upaya
membangun good governance pada dasarnya berawal dari keinginan
Koalisi yang terumuskan dalam program kegiatannya yang didukung
oleh sistem perundang-undangan yang mengatur bagaimana proses
diplomasi bisa dilakukan dengan baik atas dasar dan pandangan adanya
kebebasan memperoleh informasi. Selanjutnya temuan dalam penelitian
ini bisa dijadikan bahan dalam menemukan proposisi ilmiah untuk bisa
memberikan kejelasan dan keberhasilan Koalisi dalam menunjang
terwujudnya good governance. Model diplomasi publik yang
dilaksanakan, tergambar pada Diagram 3.4. di halaman berikut.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 263
264
UMPAN BALIK

Kegiatan : Kegiatan Sasaran :


=
Kampanye dalam =
Dalam Negeri
=
Lobi hubungan - DPR
=
Pengkajian dengan: - Pemerintah
=
pusat & daerah
=
Perluasan Media
- Tokoh
Jaringan = Internal Pemerintahan
Masyarakat Undang-Undang
= Masyarakat dan umum Terbuka
Kebebasan

Citra Indonesia di Mata Dunia


= Pemerintah - Pengelola Memperoleh
KOALISI negara lain Media
Informasi
= Internasional - Ornop
- Mahasiswa Publik Good
=
Luar Negeri Governance
- Pemerintah
- Ornop
- Masyarakat
luar negeri

UMPAN BALIK

Sumber : Analisis Hasil Penelitian, 2006

Diagram 3.4. Alur Kegiatan Diplomasi Publik oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi.
3.5.3. Good Governance untuk Pembangunan Citra
Kondisi krisis bangsa Indonesia sampai dengan empat tahun
setelah reformasi menuju kuartal terakhir tahun 2002 dicitrakan tetap
berlangsung. Masih terjadi krisis kepemimpinan, seperti dalam
pengambilan keputusan mengandalkan keputusan pribadi. Kenyataan,
bahwa bangsa Indonesia masih jauh dari cita-cita karena proses menuju
cita-cita bertolak belakang dengan makna dan semangat kemerdekaan
sehingga reformasi seakan diujung tanduk (Dhakidae, 2002:xvi). Empat
tahun setelah reformasi merupakan periode yang kritis dalam proses
demokratisasi dan reformasi bangsa Indonesia. Salah satu indikatornya
adalah kepercayaan publik yang semakin lemah terhadap institusi
politik Indonesia (Purba, 2005:37-50).
Citra bahwa krisis masih menimpa bangsa Indonesia tidak hanya
digambarkan setelah empat tahun reformasi, bahkan sampai dengan
delapan tahun setelah reformasi, krisis dicitrakan masih berlangsung,
sebagaimana tergambarkan dalam tulisan dan pemberitaan tentang
kondisi Indonesia di media massa dalam negeri dan luar negeri, baik di
televisi maupun di surat kabar.

Tabel 3.11.
Beberapa tulisan dan pemberitaan di Surat Kabar Harian Kompas dalam tahun
2006 yang dapat mencitrakan gerakan reformasi masih tidak menggembirakan
NO HARI/TGL JUDUL ISI
1. Jumat, 6/1/06 Negara Sudah Rusak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengaku hingga saat ini penyelenggaraan
negara belum mencerminkan tata
pemerintahan yang baik dan bersih.
2. Senin, 9/1/06 Wajah Kusam Partai Memasuki awal tahun 2006, kiprah politik
Politik dipandang secara pesimistis tidak akan
membawa harapan perbaikan. Bahkan,
dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya, citra tiang demokrasi ini
dinilai kian memburuk.
3. Selasa, 17/1/06 Memimpin Frustrasi Pers lebih tergiur mengamati bahasa
Rakyat tubuh presiden. Para pakar lebih tergoda
mengolok-ngolok model komunikasi peme-
rintah. Tokoh LSM berhenti berpromosi
HAM karena kurang biaya. Universitas lebih
suka menerima riset pesanan birokrasi dan
dunia bisnis ketimbang mengukur
kedalaman demokrasi dan keadilan.
4. Selasa, 17/1/06 Rakyat Sedih Melihat Bulan Mei mendatang kita akan mem-
Kaum Reformis peringati sewindu reformasi (Mei 1998 -
Mei 2006). Praktik bisnis yang curang,

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 265
NO HARI/TGL JUDUL ISI
penegakan hukum yang berat sebelah,
perawatan kesehatan yang asal-asalan,
pendidikan yang tidak bermutu, eksploita-
si keuangan atas nama birokrasi, pen-
jarahan lingkungan hidup, membengkak-
nya angka pengangguran, dan bertambah
banyak rakyat miskin.
5. Kamis, 19/1/06 Tajuk Rencana Mana Unjuk rasa yang disertai kekerasan kita
Musyarawarah untuk cemaskan. Dampaknya yang tidak
Mufakat proporsional dan negatif bisa kemana-
mana. Justru untuk kondisi serba sulit &
dilematis seperti sekarang ini kita coba
terapkan kebajikan dan kebijakan
musyawarah untuk mufakat sejauh
mungkin. Semua pihak jujur, tulus,
berkemauan baik.
6. Sabtu, 21/1/06 Negeri Mati Suri Korban SUTET yang menjahit mulut dan
mogok makan secara moral sama
dengan korban kehidupan (rakyat) lain
yang tertimpa; penggusuran, busung
lapar; pengangguran, dan bencana alam.
7. Senin, 30/1/06 Kebijakan Publik Justru Menghadapi kemelut bangsa yang sema-
Meminggirkan Publik kin kompleks, pemerintah dinilai belum
mampu menghasilkan kebijakan-
kebijakan yang bisa membawa bangsa
ini keluar dari jurang kehancuran.
8. Rabu, 1/2/06 Keterpurukan Bangsa Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Sudah Sempurna Ulama Hasyim Muzadi menilai keter-
purukan yang dialami bangsa ini kini
sudah sempurna. Pemimpin harus
melakukan introspeksi dan mencari
solusi atas kondisi tersebut.
9. Kamis, 2/2/06 Mafia Peradilan Mafia Peradilan berkeliaraan di
di Indonesia Indonesia, menyedot perhatian berbagai
kalangan. Usulan Komisi Yudisial untuk
seleksi ulang hakim agung, terkait
merosotnya kepercayaan atas kerja
Mahkamah Agung, memicu perselisihan.
10. Sabtu, 4/2/06 Komitmen Reformasi Investor asing yang masuk ke Indonesia
Investasi Masih sekarang ini dituntut harus memiliki
Setengah Hati mental dan stamina kuat. Dari sejak
mengurus izin usaha saja, investor ibarat-
nya dipaksa memasuki lika-liku labirin
yang penuh jebakan, dengan lama waktu
pengurusan izin hingga 151 hari & belas-
an tahapan atau pintu yang harus dilewati.
11. Sabtu, 4/2/06 Mencemaskan Masuknya Gencarnya ajakan Pemerintah Indonesia
Investasi Asing untuk menarik investasi asing ternyata
belum dibarengi dengan sistem kebijak-
an, perundang-undangan, birokrasi, dan
jaminan rasa aman yang memadai.
12. Selasa, 7/2/06 Bahasa Keterpurukan Di tengah terpaan korupsi, bencana alam,
Kita penyakit, dan kekerasan, bangsa
Indonesia makin terperangkap dalam

266 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO HARI/TGL JUDUL ISI
kubangan bahasa keterpurukan
(deficiency language) yang makin
menjauhkan dirinya dari solusi.
13. Sabtu, 11/2/06 Kesejahteraan Nyaris Menjawab persoalan besar pengangguran
Menjadi Utopia bukanlah hal gampang. Apalagi di
Indonesia yang wilayahnya kini terpecah
menjadi sekian ratus kabupaten.
Kabupatenlah yang kini menjadi panglima
dalam mengurus rakyat (Indonesia)
karena kedekatannya secara geografis
dengan warganya.
14. Senin, 20/2/06 Pemerintah Sepatutnya Jangan Membunuh Laju Ekonomi.
Buka Diri Masukan kalangan dunia usaha
mengenai kondisi riil di lapangan
sebenarnya untuk membantu pemerintah
agar membuat kebijakan yang tidak
berefek membunuh laju pertumbuhan
ekonomi. Karena itu, pemerintah sepatut-
nya membuka diri dan mendengar dalam
upaya menemukan solusi terbaik.
15. Selasa, 21/2/06 Ekonomi Tanpa Ekonomi Indonesia pada tahun lalu
Grand Strategy tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu
tidak berhasil didorong ke dalam per-
tumbuhan tinggi. Bahkan, sasaran per-
tumbuhan yang telah ditetapkan secara
politik dan kebijakan tidak berhasil
dicapai.
16. Kamis, 27/4/06 Kemiskinan dan Berita utama Kompas tanggal 20 April
Ekonomi Balon 2006 melaporkan pidato Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada pembukaan
pameran Inacraft 2006. Sungguh menarik
karena berisi pengakuan bahwa jumlah
pengangguran dan kemiskinan tidak
menurun walaupun ada pertumbuhan
ekonomi.
17. Jumat, 28/4/06 Pancasila Dikhianati Saat ini nilai-nilai luhur Pancasila telah
dikhianati. Rakyat kecewa karena nilai-
nilai luhur Pancasila lebih banyak
dijadikan retorika politik.
18. Selasa, 2/5/06 Kiprah Wakil Rakyat Setelah sewindu gerakan reformasi ber-
yang Menjemukan jalan, wajah DPR mulai menampakkan
gejala-gejala keletihan.
19. Senin, 8/5/06 Demokrasi dalam Sewindu masa reformasi berlansung
Pasungan Parpol partai politik tidak juga mampu memberi-
kan pelajaran bagi masyarakat luas akan
praktik kehidupan demokrasi yang elegan.
20. Selasa, 10/5/06 Politik Jubah Kotor Jubah republik sudah kotor. Tanda-tanda-
nya, antara lain, ada ormas tukang intimi-
dasi, pengangguran meningkat, petani pilu
mencari pupuk, korban SUTET menjahit
mulut, korupsi merajalela, wabah penyakit
dan kelaparan mengimpit rakyat, muncul
rencana undang-undang aneh, & pejabat
gemar mencari kambing hitam.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 267
NO HARI/TGL JUDUL ISI
21. Kamis, 18/5/06 Jangan Salahkan (Lagi) Berhenti menyalahkan Orba mengajak
Orde Baru kita melupakan kesalahan Orba. Berhenti
menyalahkan Orba adalah ajakan untuk
melihat sumber ketidakmampuan
menyelesaikan hal-hal yang buruk pada
diri sendiri.
22. Minggu, 21/5/06 Kwik Kian Gie: Bangsa Meskipun Indonesia sudah menjadi
Ini Belum Merdeka bangsa yang merdeka, namun ceng-
keraman asing pada bangsa ini belum
hilang. Bahkan, penguasaan pihak asing
pada sumber daya alam Indonesia
semakin besar.
23. Senin, 22/5/06 Reformasi Hukum Bak musim semi, situasi hukum di
Sebatas Jargon Semu Indonesia pasca-Orde Baru kian marak
oleh lembaga hukum dan gembor-gembor
penegakan hukum. Sayangnya, imple-
mentasi yang lemah menjadikan pene-
gakan hukum sebatas jargon yang semu.
24. Rabu, 24/5/06 Peradilan Tetap Saja Delapan tahun berlalu, reformasi belum
Korup membawa perubahan signifikan di bidang
peradilan. Peradilan masih korup, mafia
peradilan merajalela. Perubahan yang
terjadi masih di atas kertas. Pengawas
eksternal yang diharap mampu
menghadirkan checks and balance pun
ibarat senapan tanpa peluru.
25. Senin, 19/6/06 Keresahan di Balik Kuatnya kecenderungan penguasaan
Ormas wacana publik oleh sejumlah organisasi
massa lewat aksi-aksi kerasnya menun-
jukkan lemahnya negara. Namun, kecen-
derungan itu juga menunjukkan kian
menipisnya kesadaran kebhinnekaan
Indonesia dan makin sempitnya ruang
demokrasi. Publik pun berharap, inilah
saatnya negara menunjukkan kekuasaan
untuk menata kembali kehidupan
demokrasi.
26. Jumat, 14/7/06 Kesadaran Elite pada Lembaga Ketahanan Nasional atau
Pancasila Menipis Lemhannas menilai kesadaran dan
penghayatan akan pentingnya Pancasila
sebagai ideologi dan pandangan hidup
bangsa semakin menipis, terutama di
kalangan elite bangsa.
27. Selasa, 8/8/06 Premanisme Politik Sampai kapan kita harus mengurut dada
menyaksikan premanisme politik di
negara ini? Sepertinya kita tidak mau
memperbaiki situasi bangsa yang terus
mendatangkan prihatin.
28. Selasa, Refleksi Dua Tahun Apakah pemeritahan SBY-JK dapat
17/10/06 Pemerintahan SBY-JK meningkatkan kinerja lebih baik lagi pada
sisa pemerintahannya? Jawabannya:
hampir dapat dipastikan sangat sulit
untuk tidak mengatakan hampir mustahil.
Itu, terutama, disebabkan sistem
pemerintahan yang rancu.

268 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO HARI/TGL JUDUL ISI
29. Rabu, 18/10/06 Pemerintah Belum Dua tahun pemeritahan Presiden SBY &
Memenuhi Janjinya Wakil Presiden JK mendapat rapor merah
dalam pengurangan kemiskinan,
pengangguran, pendidikan, dan
kesehatan, penciptaan lapangan kerja,
perlindungan pekerja migran, serta
kesetaraan jender dan pemberdayaan
perempuan.
30. Selasa, Kesalahan Melihat Muhammad Yunus yang dinobatkan
28/10/06 Pembangunan Sosial Komite Nobel Norwegia sebagai
penerima Nobel Perdamaian 2006
seharusnya bisa membukakan mata
bangsa Indonesia. Pekerjaan dan
langkah sederhananya sebenarnya bisa
dilakukan bangsa Indonesia, namun kita
tak juga beranjak melakukannya.
31. Selasa, Renaisans Bangsa Krisis multidimensional kita tak kunjung
28/10/06 usai karena kebanyakan pemimpin negeri
dan elite politik mengabaikan substansi
politik sebenarnya yang menyejahterakan
dan menjunjung keadilan. Nasionalisme
kita terjebak labirin isu-isu primordial.
32. Selasa, Demokrasi atau Anarki Sejak tahun 2004, keadaan berbeda.
31/10/06 Para calon presiden berlomba menjadi
presiden dengan cara-cara yang sebelum-
nya dinilai amat saru. Karena prestasi
belum ada, strategi menjadi pencitraan.
33. Selasa, Pesimistis 6,3 Persen Faktor stabilitas makro-ekonomi saja
31/10/06 tidak cukup memacu laju pertumbuhan
ekonomi 6,3 persen sebagaimana
diharapkan pemerintah. Beberapa alasan
untuk bersikap pesimistis. Pertama,
hingga kini masih ada indikasi belum
pulihnya daya masyarakat secara penuh
dari guncangan kenaikan harga BBM dan
inflasi. Kedua, pelonjakan suku bunga
yang terkait kenaikan BBM dan inflasi
masih berimbas negatif pada dunia
perbankan. Ketiga, hingga kini belum ada
tanda-tanda perbaikan usaha dalam
negeri. Keempa, terkait hal itu, perbaikan
iklim investasi domestik juga belum
menunjukkan titik terang.
34. Sabtu, 9/12/06 Terperangkap Involusi Stigma bangsa yang malas, selalu gontok-
Tak Berkesudahan gontokan, amu serba instan, suka main
terabas, senang menusuk dari belakang,
tidak disiplin, tidak efisien, etos kerja
memble, tak mampu berkolaborasi, sudah
lama dilekatkan pada kita. Ternyata kita
belum juga bernajak dari situ.
35. Rabu, 20/12/06 Try Ingatkan Pemerintah Gerakan kebangkitan Indonesia Raya
yang dipimpin mantan Wakil Presiden Try
Sutrisno mengingatkan pemerintah
tentang buruknya situasi di segala bidang.
Sumber: Surat Kabar Harian Kompas

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 269
Tabel 3.12.
Pemberitaan Surat Kabar Australia pada tahun 2006 yang dapat mencitrakan
kondisi Indonesia tidak menyenangkan
NO. SK/HARI/TGL JUDUL ISI
1. The Australian, It is Islamic Fascism For the danger comes from what one
Monday, 14/08/06 (London's strike reminds would have hoped were the socially
us we are at war with integrated children of Muslim immigrants,
Muslim totalitarians, millions of whom have settled in western
warns Stephen Morris) Europe and hundreds of thousands in
Australia. Although radical Islam is out
military as powerful as Nazi Germany or
Soviet Union. It has the huge strategic
advantage of suicide bombing, which is
immune to deterrence.
2. Herald Sun, Warrior of the Right that Islam has nothing to offer the world
Monday, 28/08/06 but destruction. Muslims are the
legitimate target of jokes and calls for
obliteration. Westerners must rush to
breed more children because Muslims are
breeding like toxic rabbits. Britain is
doomed because Muslims there identify
primarily with Islam rather than Britain.
while 81% consider themselves Muslim
first. This becomes evidence for Steyn
that Islam is dangerous.
3. Herald Sun, Don't Bring up Children Since the Bali bombings and 9/11,
Monday, 28/08/06 to Hate Muslims have been seen as extremist
terrorists. They have been spat at,
assaulted, jeered and shunned. While we
need to counter terrorism, we also need
to protect innocent moderate Muslims,
ordinary Australians doing what ordinary
Australians do.
4. Herald Sun Terror Breeds Recruits It is age. Australia. Like other Western
nations attacked by radical Islamic
terrorists, has a rapidly ageing population.
The Problem is that Western societies
are not breeding at a fast enough rate,
while the Muslim countries are breeding
many more potential haters. While Muslim
countries and communities grow in size.
Meanwhile Australia, like Japan, is
remarkably affluent and breeding at a
lower rate than we could be and,
certainly, lower than the rate in Islamic
nations, where hatred of our societies is
growing.
5. The Age, Court Slams 'Farcical' The list also includes 13 dead or captured
Friday 01/09/06 ban on contacting alleged terrorists. ..Agus Dwikarna, an
Bin Laden Indonesian with links to Al-Qaeda
currently. Riduan Isamuddin (aka
Hambali), regarded as the Osama Bin
Laden of Asia, this Indonesian terrorist
has been in US custody since 2003.

270 Citra Indonesia di Mata Dunia


NO. SK/HARI/TGL JUDUL ISI
6. The Australian, Bush Flies in to A security agreement signed by Australian
Tuesday, 21/11/06 Jakarta anger Foreign Minister Alexander Downer and
Indonesian Foreign Minister Hassan
Wirajuda last week However, a sour
taste will linger even after yesterday's
meeting, over the murder last year of
human rights activist Munir Thalib Said.
The off-duty Garuda pilot originally
convicted of the lawyer's killing usong
arsenic during a flight to The Netherlands
was found not guilty last month on
appeal, and members of the US congress
have sent a letter to Dr. Yudhoyono
urging a further inquiry. Mysterious links
between the Garuda pilot and Indonesia's
national intelligence agency make the
case reek of foul play.
7. The Australian, No Justice for Murdered Almost 60 jailed Islamic extremists linked
Friday, 17/11/06 Aussies, Terrorists to such atrocities as the Bali bombings
Set Free have set free. They include 14 terrorists
who have been quietly released in the
past two months. The latest releases,
and that in June of Jemaah Islamiah's
spritual leader Abu Bakar Bashir, have
outraged families who lost loved ones in
the 2002 and 2005 Bali terrorist strikes.
Sumber: Beberapa Surat Kabar Australia

Menurut Koalisi, keterpurukan Indonesia dalam segala bidang


diakibatkan oleh sistem pemerintahan yang tertutup, sehingga korupsi,
kolusi dan nepotisme menjadi marak. Koalisi mengemukakan solusi
untuk mengatasi kelemahan itu dengan memperjuangkan adanya
Undang-undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik karena
undang-undang ini akan memaksa pejabat pemerintah dan badan-
Badan Publik untuk berperilaku terbuka dalam merencanakan dan
melaksanakan suatu kebijakan sehingga rakyat dapat berpartisipasi
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Kondisi ini akan
mendorong terwujudnya pemerintahan yang terbuka dan akuntabel
sebagai prasyarat untuk mewujudkan tatanan pemerintahan yang baik
(good governance).
Isu kebebasan informasi yang diusung Koalisi dan dirumuskan
dalam suatu rancangan undang-undang telah direspon oleh Dewan
Perwakilan Rakyat RI dan Lembaga pemerintah asing serta Ornop
internasional. Melalui rancangan undang-undang, Koalisi bermaksud

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 271
memberikan informasi yang lengkap tentang konsep yang dimaksud
dengan kebebasan informasi dalam kerangka mewujudkan pemerintahan
terbuka menuju tatanan pemerintahan yang baik (good governance).
Sekalipun demikian akurasi persepsi tergantung dari kemampu-
an orang melihat suatu realitas, karena sebagaimana dikemukakan
Koalisi dalam memperjuangkan adanya undang-undang kebebasan
memperoleh informasi publik terdapat persepsi yang keliru tentang
keterbukaan, termasuk keterbukaan informasi dan keterbukaan proses
pengambilan keputusan. Persepsi bahwa keterbukaan mendorong
akulturasi negatif yang merugikan masyarakat, mengancam kedaulatan
negara dan bangsa, menyuburkan suasana ketidakamanan, dan
menghambat penegakan hukum.
Koalisi berusaha menghilangkan kekeliruan persepsi dan
pencitraan melalui penjelasan pemikiran dalam sebuah rancangan
undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik. Di dalam
konsiderannya disebutkan bahwa kebebasan memperoleh informasi
publik merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu ciri
terpenting dalam negara hukum yang demokratis untuk mewujudkan
pemerintahan yang terbuka, serta mengoptimalkan pengawasan publik
terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna mendorong
pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Kebebasan memperoleh informasi juga bukan kebebasan yang
sebebas-bebasnya tanpa aturan. Dalam satu rancangan pasal dikemuka-
kan informasi yang dikecualikan untuk dibuka yaitu apabila akan
menimbulkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak diinginkan seperti
menghambat atau mengganggu proses penegakan hukum, merugikan
perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan persaingan usaha
sehat, membahayakan pertahanan dan keamanan nasional. (Koalisi 2003
: 109-110,125-126).
Tatanan pemerintahan yang baik atau good governance akan
memiliki citra yang baik karena good governance (Dwipayana, 2003 : 6-12)
merupakan cara pandang baru terhadap pemerintahan di era 1990-an
akibat proyek demokratisasi yang berkembang luas di dunia. Pandangan
yang menempatkan pemerintah sebagai kekuatan segala-galanya sudah
kehilangan pengaruh. Semangatnya adalah governance, meskipun
pemerintah selaku institusi tidak ditinggalkan. Governance dipahami

272 Citra Indonesia di Mata Dunia


sebagai proses interaksi atau jaringan antara negara dengan aktor-aktor
sosial di luar pemerintah. Perspektif governance antara lain negara harus
berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level: 'keatas' pada organisasi
transnasional; 'kesamping' pada NGO dan swasta; serta 'kebawah' pada
daerah dan masyarakat lokal. Negara harus melibatkan unsur-unsur
masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan
pemberian pelayanan kepada publik.
Menurut Raadschelders (2003:155-156) sesungguhnya sejak
pertengahan abad 19 telah terjadi perubahan karakteristik yang meng-
gembirakan dari negara penjaga malam dengan pemerintahan yang
restriktif kepada negara kesejahteraan dengan pemerintahan yang
peduli terhadap kepentingan masyarakat. Perubahan fungsi utama
pemerintah, dalam filsafat pemerintah di antara tahun 1850 dan saat
sekarang dapat disimpulkan sebagai perubahan dari represif kepada
preventif dan pemerintah yang peduli sebagaimana dalam tabel berikut:

Tabel 3.13.
Development of Government Between 1850 and the Present
MID-19TH CENTURY PRESENT
Size and nature of state functions Nightwatch state Welfare State
Dominating governance strategy Laissez-faire state Interventionist state
Dominant governance model Repressive governance Preventive and
caring governance
Type of public organization Collegial and parochial Bureaucratic and
complex
Distribution of power Mainly with governing Sharedat leastwith
political bodies Bureaucracy
Sumber: Reprinted with permission from A. Van Braam (in cooperation with M.L.
Bernelmans-Videc), Leerboek Bestuurskunde (Muiderberg: Coutinho, 1986),
hlm. 351

Pemerintahan yang peduli terhadap kepentingan masyarakat,


dan melibatkan aktor-aktor sosial dalam pengelolaan pemerintahan
sesuai dengan proposisi governance (A. Reader, 2003:217-219) yang
merujuk kepada seperangkat lembaga dan aktor dari luar pemerintah.
Perspektif governance juga mengusahakan perhatian dengan cara
meningkatkan keterlibatan sektor swasta dan NGO dalam memberikan
pelayanan dan pembuatan keputusan yang strategis.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 273
Upaya yang dilakukan Koalisi memperjuangkan lahirnya Undang-
undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, yang bertujuan mem-
bangun pemerintahan yang terbuka menuju tatanan pemerintahan yang
baik (good governance) dapat membangun citra yang baik bagi Indonesia.
Citra dibangun oleh suatu realitas dan persepsi terhadap realitas.
Sekalipun citra tidak selalu harus sesuai dengan realitas, tetapi citra
diperoleh dari persepsi tentang realitas. Citra Indonesia yang terpuruk
setelah krisis ekonomi tahun 1997 kemudian membawa keterpurukan di
bidang politik dan sosial budaya telah memunculkan kekuatan reformasi
dengan sasaran yang luas. Tuntutan reformasi menguat dan mengkristal
dalam bentuk tuntutan mempercepat pemilu, mengubah UUD 1945,
mengadili Soeharto, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme,
sebagai jalan untuk mengakhiri krisis.142
Krisis ditandai dengan kondisi kehidupan keseharian bangsa
Indonesia yang memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin dan
penganggur bertambah akibat pemutusan hubungan kerja.
Ketimpangan, kecemburuan, ketegangan, dan penyakit sosial lainnya
makin menggejala, seperti dinyatakan dalam Ketetapan MPR nomor
X/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi
Kehidupan Nasional.143
Kehidupan keseharian sebagaimana dikemukakan Berger (1990:
31,33,xxi) memberikan kesadaran yang paling masif, mendesak, dan
mendalam. Kehidupan keseharian yang tidak menyenangkan karena
negara sebagai lembaga terbesar dalam struktur objektif tidak memberi-
kan rasa aman kepada individu-individu dan individu-individu
mengalami pengasingan, maka desakan untuk melakukan perubahan
cepat terjadi. Sekalipun realitas bagi seseorang dalam menghadapi
kehidupan itu berbeda dengan realitas bagi orang lain, tetapi menurut
Berger seseorang dan orang lain yang hidup dalam suatu dunia bersama
akan terdapat penyesuaian yang terus menerus antara makna-makna
seseorang dengan orang lain dan mempunyai kesadaran bersama tentang
kenyataan di dalamnya.

142
Jakob Tobing. 2002. Pengantar Materi Sosialisasi UUD 45 Hasil Amandemen. Makalah
143
Departemen Penerangan RI. 1998. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998

274 Citra Indonesia di Mata Dunia


Penyebab keterpurukan dirumuskan oleh para penggerak
reformasi dengan kata-kata yang mudah ditangkap yaitu korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Disebabkan praktek korupsi dan kinerja
perbankan Indonesia yang buruk, beberapa lembaga pemeringkat dunia
di bidang ekonomi meletakkan Indonesia pada posisi buruk. Indonesia
dalam peringkat daya saing dunia pada tahun 2001 berada pada
peringkat ke-49. Dengan kontraksi anggaran 13% pada tahun 1998
Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan potensi pertumbuhan dan
iklim usaha terburuk sepanjang tahun. (Julianery dalam Simanungkalit,
2002: 68).
Betapa citra suatu negara akan terpuruk apabila setiap tahun oleh
lembaga Transparansi Internasional diberitahukan peringkat indeks
persepsi korupsi (IPK) berada pada peringkat terkorup karena dapat
dianalogikan sebagai negara miskin atau negara tertutup, negara
dengan sistem pemerintahan otoriter. Tahun 2006 nilai indeks persepsi
korupsi Indonesia 2,4 lebih tinggi 0,2 dari tahun 2005 dengan nilai
indeks 2,2. Nilai 2,4 menurut kategori Transparancy International masih
sangat kecil untuk dibanggakan. Nilai di bawah tiga masih
dikategorikan sebagai negara yang kondisinya sangat parah dalam
persoalan korupsi. Melalui pengalaman ini Citra bangsa Indonesia
dapat dibangun sebagaimana dikemukakan Boulding (1956:6) The
image is built up as a result of all past experience of the possessor of image.
Citra dapat berubah setiap waktu di saat seseorang atau suatu
pihak menerima pesan baru. Sesuai dengan karakteristik pesan seperti
dikemukakan Boulding (1956:7-8) bahwa terdapat pesan yang dapat
mempengaruhi citra, bahkan dapat mengubah citra secara drastis.Tetapi
terdapat pula pesan yang tidak mempengaruhi citra. Berdasarkan
penjelasan Boulding, Citra dapat diubah oleh suatu pesan apabila pesan
itu berhubungan dengan kepentingan yang diperlukan. Bahkan citra
dapat diubah secara drastis oleh suatu pesan apabila pesan itu mengubah
secara mendasar sesuatu kesalahan, sebagaimana pesan reformasi untuk
mengubah kondisi Indonesia yang terpuruk. Apabila yang menjadi kata
kunci penyebab keterpurukan adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) maka upaya Koalisi untuk memperjuangkan lahirnya Undang-
Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik sebagai instrumen
untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme, pesan ini dapat

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 275
mengubah citra secara drastis bahwa pemberantasan KKN dapat
mengatasi keterpurukan Indonesia.
Koalisi semenjak berdiri tahun 2000 terus menerus melakukan
pengkajian, lobi, dan kampanye, dengan memunculkan tema-tema:
kebebasan memperoleh infomasi adalah hak asasi manusia, prasyarat
bagi pemerintahan terbuka, perluasan demokrasi, karena demokrasi
bukan hanya kebebasan untuk memilih dan dipilih, tetapi juga
kebebasan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, dan turut mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan.
Upaya Koalisi tidak hanya ditujukan kepada masyarakat
Indonesia, tetapi juga kepada masyarakat dan pemerintahan di luar
negeri. Koalisi mengemukakan kondisi Indonesia sebagaimana pihak
lain mengetahui melalui media massa, termasuk media massa
transnasional. Sekalipun Koalisi mengemukakan kondisi Indonesia yang
sarat dengan KKN, pemerintahan tertutup atau otoriter, tetapi Koalisi
juga mengemukakan jalan keluarnya untuk mengatasi keterpurukan
yaitu memperjuangkan diundangkannya Undang-Undang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik sehingga Indonesia menjadi negara yang
berpemerintahan terbuka, demokratis, dan menghormati hak asasi
manusia. Upaya yang baik, terarah, dan terprogram, untuk mengatasi
keterpurukan, dan dengan tidak menutup-nutupi keterpurukan, tidak
memoles, sebagai bentuk kegiatan public relations untuk membangun
citra baik sebagaimana dikemukakan Jefkins (2004: 23) bahwa citra public
relations yang ideal adalah kesan yang benar, sepenuhnya berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang
sesungguhnya.
Citra yang baik dapat dimunculkan kapan saja, termasuk
terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk dengan menjelaskan secara
jujur yang menjadi penyebabnya. Apalagi dengan mengemukakan
rencana dan program yang terarah untuk mengatasi keterpurukan
dengan tema-tema yang sesuai dengan tema yang diperjuangkan
masyarakat internasional, seperti kebebasan memperoleh informasi,
perlindungan hak asasi manusia, demokratisasi, pemerintahan terbuka,
tatanan pemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana
diperjuangkan Koalisi.

276 Citra Indonesia di Mata Dunia


Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diindikasikan bahwa
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang diper-
juangkan Koalisi, akan mendorong terwujudnya pemerintahan yang
terbuka. Pemerintahan yang terbuka dapat mencegah terjadinya praktek
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mendorong terwujudnya pemerin-
tahan yang partisipatif dan akuntabel. Pemerintahan yang partisipatif dan
akuntabel akan menghasilkan citra yang baik, baik oleh masyarakat di
dalam negeri maupun oleh masyarakat di luar negeri. Citra dimaksud
bukan citra bayangan, atau citra yang diharapkan yang lebih menyenang-
kan dari citra yang ada, tetapi citra yang benar berdasarkan pengalaman,
pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan sesungguhnya.
Sebagai sebuah gambaran citra Indonesia setelah reformasi
diperoleh dari persepsi beberapa akademisi Australia di Monash
University, Deakin University, dan Melbourne University, yang pernah
melakukan penelitian di Indonesia, serta bertugas di bidang Asian
Studies. Semua yang diwawancarai menyatakan bahwa Indonesia
mempunyai harapan untuk lebih baik setelah reformasi.
Di bidang politik, mereka kagum terhadap penyelenggaraan
demokrasi di Indonesia, sebagaimana dibuktikan oleh terselenggaranya
pemilihan umum anggota DPR RI, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil
Presiden RI yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia, tahun 2004,
berlangsung aman, tertib, dan damai, serta diikuti oleh sebagian besar
penduduk Indonesia. Demikian pula dengan adanya kebebasan bagi
media, dan kebebasan untuk berekspresi. Kekaguman lain adalah dengan
adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah
tingkat II untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom.
Cot, Senior Lecturer, School of Social and International Studies,,
Faculty of Arts, Deakin University, kagum dengan penyelenggaraan
pemilihan umum di Indonesia tahun 2000 (1999:dikoreksi), dan tahun
2004 (untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat) diikuti oleh
hampir 90% masyarakat yang memiliki hak pilih. Demikian pula
dengan adanya otonomi daerah di kabupaten/kota. Dinyatakannya:
I know something in that matter the process of the election in 2000 and
2004, indicated already how involved in a big democratic process. I think

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 277
everywhere in the world the fact 90% of people response to the president
elected is amazing. Democratic processes at the Kabupaten level is still
developing I think Bupati in general still imagine that they have powerful
or that they are free as the old days I imagined that, gratefully in last
years Bupati are realizing that the are not the kings in the little kingdom
but they are simply the elected candidates by people and they are
answered to the people for the governance of economic opportunity.144

Demikian pula seperti dikatakan Maxwell, Senior Asian Studies


Librarian, Asian Studies Research, Monash University, mengemukakan
perspektifnya tentang Indonesia adalah positif, dan dinyatakannya
bahwa perspektifnya tidak sama dengan rata-rata orang Australia yang
sangat dipengaruhi media Australia dan mempunyai perspektif negatif
tentang Indonesia. Mungkin karena banyak sekali media yang
mempengaruhi orang-orang Australia terutama peristiwa besar seperti
bom Bali, dan keputusan tentang Timor Timur. Masyarakat hanya
memandang Indonesia terhadap macam-macam peristiwanya, padahal
kenyataan itu sangat kompleks.
Berdasarkan pendapat informan-informan di atas menunjukkan
bahwa terbentuknya citra positif atau negatif tidak ditentukan hanya
oleh penggunaan satu sistem hubungan, seperti hanya menggunakan
media, tetapi perlu dilakukan pula melalui pemberdayaan pelaku
diplomasi dalam hubungan langsung melalui kerjasama berbagai
kegiatan, seperti melalui penelitian, seminar, lokakarya, serta upaya-
upaya lain yang bersifat menyelenggarakan hubungan langsung di
antara pelaku diplomasi publik. Informasi yang disampaikan langsung
dapat membangun persepsi yang berbeda dengan informasi yang
disampaikan melalui media apabila didasari sebagai informasi yang
menggambarkan realitas kedua karena telah diolah disesuaikan dengan
kepentingan pengelola media.
Media di Indonesia sejak reformasi telah memiliki kebebasan dan
merupakan hal yang positif karena adanya kebebasan untuk berbicara
dan berdiskusi. Di samping adanya otonomi daerah yang memberikan
kepada daerah untuk mengurus daerahnya secara independen.

144
Wawancara dengan Akademisi dari School of International Studies. Faculty of Arts. Deakin University, 4
Desember 2006.

278 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dinyatakannya:
My perspective on Indonesia might be different from average
Australians who is very influenced by the Australian media stands them
to have the negative perspective on Indonesia. May be, because it's very
much media even that effect Australians especially the big event like for
example the Bali Bombing, and decision to East Timor. But my
perspective is that I think it's unfortunate that people only view
Indonesia those sorts of events because that the reality much more
complex. Indonesia since reformation period here, the media is much
more opened that is obviously a very good thing, positive because lots of
freedom to speak, and to discuss and lot of freedom in another way. The
other interesting development which is in regional autonomy that is from
many perspective and many more the speech to colleague etc. It seems to
be creating greater sense of regional and identity.145

Menurut Mille, Post Doctoral Fellow Centre of Southeast Asian


Studies, Monash University, Indonesia sungguh telah memiliki kebebasan
berekspresi. Citra Indonesia menurut persepsinya saat ini positif.
Tentang kebebasan memperoleh informasi, di Australia menciptakan
pemerintahan yang bersih dan memberi manfaat bagi orang Australia.
Tetapi belum tahu pasti akan terjadi di Indonesia. Dinyatakannya:
I think Indonesia has quite an open expression, but as I understand I
could be wrong, I don't really know much about it.
My perception is based on my experience it is positive, because I live in
Indonesia, so of course I will have positive experience, and I really like
Indonesia the image that is written in the media, wellbut yaI feel
completely positive about Indonesia. In Australia we have a good, clean
government and that would give a lot benefits for Australia, but I'm not
really sure it would happen in Indonesia.146

Hannan, Senior Lecturer for Visual arts and film, Monash University,
menyatakan bahwa situasi Indonesia setelah reformasi lebih baik
dibandingkan zaman Suharto. Kalau orang Australia tahu akan ada
kebebasan memperoleh informasi di Indonesia mereka akan setuju.

145
Wawancara dengan Senior Asian Libarrian. Asian Studies Research. Monash University. 15 November 2006.
146
Wawancara dengan Postdoctoral Fellow Centre of Southeast Asian Studies. Monash University. 22 November
2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 279
Beliau menyampaikan penjelasan dalam bahasa Inggris bercampur
dengan bahasa Indonesia, karena beliau dapat berbicara bahasa
Indonesia. Dikatakannya :
Situasi sekarang lebih baik dari jaman Suharto, I think so definitely.
saya rasa kalau orang tahu akan ada freedom of information di
Indonesia, mereka akan setuju, tetapi mereka tidak tahu but
now, I think orang-orang yang pergi ke Indonesia mendapat kesan
sangat baik mengenai Indonesia. My experience in Indonesia when I
am working on a program very positive exsperience.147

Arief Budiman, Professor pada, Asia Institute, The University of


Melbourne, menyatakan bahwa perspektif Indonesia setelah reformasi
akan bergerak lebih maju, dan adanya keterbukaan di Indonesia tidak
perlu ada kekhawatiran menghadapi masa depan. Keberadaan NGO
juga penting untuk mengganti fungsi partai politik yang tidak jalan.
Dikatakannya :
Dengan adanya keterbukaan, pemerintah itu takut. Keterbukaan
itu suatu anugerah. Kebebasan informasi harus ada, tetapi
rahasia negara juga harus ada, dan yang paling berhak
menentukan rahasia negara adalah DPR. Fungsi NGOs ada dua,
fungsi politik lobi ke luar negeri untuk menekan pemerintah
membikin policy yang sebenarnya dikerjakan oleh partai, tetapi
karena partainya belum berfungsi, NGOs terpaksa menjalani
fungsi itu. Fungsi yang lain NGOs, menolong secara langsung
orang miskin.148

Di bidang keamanan, peristiwa bom Bali kesatu tahun 2002 dan


bom Bali kedua pada tahun 2004 menimbulkan ketakutan bagi
masyarakat Australia, karena banyak orang Australia meninggal dalam
peristiwa itu. Oleh karena itu turis Australia ke Bali menurun tajam.
Kemudian terdapat kekhawatiran masyarakat Australia terhadap Islam
radikal yang dinamai teroris, dan menyamakan Indonesia dengan
tempat-tempat lainnya.

147
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash Univesity. 20 November 2006.
148
Wawancara dengan Guru Besar pada Asia Institute. The University of Melbourne. 29 November 2006.

280 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dari tiga temuan yang peneliti rumuskan, khususnya tanggapan
dan pernyataan dari informan-informan mengenai citra indonesia,
terdapat aspek personal yang mempengaruhi bangsa lain secara
invidual yaitu aspek persepsi. Keterbukaan informasi dan kebebasaan
memperoleh informasi di Indonesia secara esensial belum terwujud.
Kondisi ini secara ekternal artinya antar negeara, terlebih dengan tujuan
untuk membangun citra positif bangsa belum bisa dilakukan dalam
waktu yang singkat. Pengaruh media seperti diakui informan, begitu
kuat dalam membangun citra negatif Indonesia yang selama ini
dikhawatirkan oleh bangsa Indonesia. Citra Indonesia agar terlihat atau
dimaknai sebagai bangsa yang tenteram, bangsa yang memiliki
kekuatan demokratis dengan keterjaminan keamanan bagi kehidupan
bernegaranya ternyata tidak bisa diterima begitu saja oleh bangsa lain
Banyak persepsi yang dibangun tentang Indonesia oleh media.
Berdasarkan temuan ini maka dapat peneliti rumuskan proposisi
yang berkenaan dengan kegiatan diplomasi publik dalam pembangunan
citra Indonesia, yaitu bahwa kekuatan akan sistem hubungan apapun
yang dimiliki dan diterapkan dalam membangun citra positif suatu
bangsa harus memperhatikan pula hubungan secara pribadi di luar
konteks pendekatan publics relations yang biasa dilakukan.
Maxwell, menyatakan bahwa media banyak meliput Islam
radikal yang dijuluki teroris, dan masyarakat Australia banyak yang
dipengaruhi media. Suatu hal yang tidak menguntungkan. Secara
pribadi tidak demikian karena tahu di Indonesia muslim itu banyak,
dan tidak berbuat menyalahi. Kalau ada muslim radikal jumlahnya
sedikit. Dinyatakannya:
People who don't have direct relationship with Indonesia or Indonesians
which so much more influenced the media, I think those a lot of coverage
of radical Islam and so called terrorism ets and some people sort of
perceive Indonesia similar to another places, which I think it's really
unfortunate, this is the problem of press, I mean the Australian press,
they only see one sensational story. Most Moslems in Indonesia do not
have abuse problem, only small numbers, I know that but it's hard for
Australian to get because they don't get direct experience.149

149
Wawancara dengan Senior Asian Libarrian. Asian Studies Research Monash University. 15 November 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 281
Hannan mengemukakan bahwa masalah bagi orang Australia di
Indonesia karena terjadinya bom Bali. Peledakan bom di depan
Kedutaan Besar Australia, bom Bali pertama, kemudian bom Bali kedua,
membuat masyarakat Australia ketakutan sehingga turis dari Australia
ke Indonesia turun drastis.
Inggris bercampur bahasa Indonesia :
The problem in Australia must be Indonesian, oleh karena ada Bali
bombing di depan Kedutaan Besar Australia. Banyak orang
Australia yang berlibur ke Bali turun drastis, ternyata bukan
sesudah bom pertama, tetapi sesudah bom kedua, beberapa anak
Australia tewas. Well you know ada dua insiden di Bali dan
dianggap bahwa kerjasama antara Australian territory police dan
Indonesian police untuk menangkap Imam Samudera, Amrozy lalu
Dr. Azhari itu sangat baik dan ini contoh untuk dunia
internasional because Amerika belum bisa menangkap Osama bin
Laden. Kebanyakan orang Australia tahu bahwa hanya kalangan
kecil yang mau meledakkan bom dan membunuh orang asing
tetapi juga ada mereka yang tidak tahu apa-apa yang merasa nanti
Indonesia menjadi negara Islam fundamental, I don't think
Indonesia will, but there may be more terrorist, mungkin tetapi rakyat
biasa tidak mau, dan Abu Bakar Baasyir keturunan Arab.150

Cote menyatakan bahwa setelah dilanda krisis, pergi ke Indonesia


mendapatkan gambaran negatif tentang Indonesia, sehingga turis dari
Australia ke Indonesia jumlahnya sedikit, mereka pergi ke Filipina atau
Malaysia. Indonesia bukan tempat yang baik untuk menjadi tempat
pilihan bisnis karena Indonesia secara umum berhubungan dengan
Islam. Terorisme dengan cepat hadir dalam komunikasi aktual dan
sangat tidak menguntungkan. Satu cara untuk mengubah posisi secara
umum adalah membawa masyarakat kepada tingkat kepercayaan.
Dinyatakannya :
Many students were studying in Indonesia. Hope they will do the
business. Ten years ago, there was a very positive populer opinion, a more
limited academic critical opinion about Indonesia, somehow 2 years later
that's reserved, go there is more negative picture of Indonesia, there is a
small number of tourist to Indonesia. People go to Philipine or Malaysia.

150
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash University. 20 November 2006.

282 Citra Indonesia di Mata Dunia


You think of what opinion criteria lost, say a very general student are not
thinking Indonesia as a business option because Indonesia is in very
general associated with Islam. I should take the students to Indonesia
often for years. I know because the travel warning that has actually
stopped for five years had a serious impact on particular use level of
content. Terrorism quickly has come up the actual communication and
this very unfortunate that I think one ways of changing general position
is to bring the people to the trust level.151

Millie mengemukakan masalah eks Timor Timur yang membuat


bangsa Indonesia kecewa terhadap Australia karena mendukung
kemerdekaan Timor Timur. Dikatakannya bahwa masalah Timor Timur
bukan masalah orang Australia, tetapi menjadi masalah internasional.
Mengenai Gerakan Separatis Papua Merdeka dikatakannya bahwa
orang-orang Kristen sangat kritis terhadap Indonesia mengenai Papua.
Kelompok NGO di Australia mendukung keputusan tentang Papua.
Dikatakannya:
I am not continuing to this point (East Timor), that I think it is already
been the case of international community sense, it is becoming the wide
world topic as well, so because the East Timor is not the Australian
themme, it is international topic. Christian group who are very critical
towards Indonesia about Papua. so there also NGO groups in
Australia that support the decision about Papua.152

Di bidang penegakan hukum, pengadilan di Indonesia


dikesankan masyarakat Australia tidak memperhatikan rasa keadilan
masyarakat, seperti korupsi di tingkat atas belum ditangani dengan baik,
pembebasan seseorang dari hukuman tidak memperhatikan rasa
keadilan masyarakat. Maxwell, menanggapi masalah korupsi yang
menjadi masalah besar di Indonesia, menyatakan bahwa:
Unfortunately you would hope that in the reformation era there will be
yeathat sounds negative for SBY that he is not really active to act
against the corruption because it's still active the low level, you can
understand that the people salary are not sufficient, but the problem is

151
Wawancara dengan Akademisi dari School of International Studies. Faculty of Arts. Deakin University. 4
Desember 2006.
152
Wawancara dengan Postdoctoral Fellow Centre of Southeast Asian Studies. Monash University. 22 November
2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 283
that at the top level is amazing yaya and that's definitely for me very
negative.153

Hannan, mengemukakan pendapatnya untuk memperbaiki


kondisi Indonesia di era reformasi yaitu bahwa masyarakat akan
menaruh kepercayaan apabila sistem hukum di Indonesia diimplemen-
tasikan. Tetapi dalam kenyataan masih terdapat putusan pengadilan
yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat seperti dibebaskan-
nya Abu Bakar Ba'asyir yang diduga mempunyai keterlibatan dalam bom
Bali, Tommy Suharto juga telah dibebaskan, sedangkan Amrozi dan
Imam Samudra sampai saat ini masih hidup, orang-orang Australia
sangat marah, dan pengungkapan kasus terbunuhnya Munir, aktifis
HAM sampai sekarang belum terungkap. Dinyatakan beliau dalam
bahasan Inggris bercampur dengan bahasa Indonesia:
I think the most difficult problem thing to do reformation in our legal
system in Indonesia that is very crucial because people will be able to
trust the way system will be implemented. Saya ingatorang
Australia bahwa ada orang yang mendapat hukuman sambil
tidak tahu, tetapi ada orang seperti Tommy Suharto yang bebas
dan mereka lihat ketidakadilan, is not even to prevent separated
justice you have. You can be dead, say the problem of Munir after now,
after Susilo promised to be open about it, terbuka tentang itu tetapi
nyatanya masih belum terbuka. Amrozi and Imam Samudra are still
alive they will be very angry.154

Di bidang informasi/komunikasi, masyarakat Australia secara


keseluruhan banyak yang tidak tahu peristiwa sesungguhnya di
Indonesia. Mereka mengetahui peristiwa di Indonesia melalui media
Australia, sehingga kemungkinan terjadi salah persepsi terhadap
peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena itu masyarakat
Australia memerlukan informasi yang banyak dari pemerintah Indonesia
tentang peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia.
Cote, menanggapi pemberitaan tentang peristiwa di Indonesia
oleh media Australia yang mungkin tidak sesuai kenyataan sebenarnya,

153
Wawancara dengan Senior Asian Librarian. Asian Studies Research. Monash University. 15 November 2006.
154
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash University. 20 November 2006.

284 Citra Indonesia di Mata Dunia


menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih banyak menginformasi-
kan dengan mengaktifkan jurnalis. Dikatakannya: quickly say the
government should activate journalist on the other hand. You good to say that
the government should be more to try to inform.155
Maxwell, menanggapi banyaknya peliputan tentang Islam
radikal yang dijuluki teroris, oleh pers Australia, dan sebagian orang
memiliki persepsi bahwa Indonesia sama dengan tempat lainnya,
merupakan sesuatu yang serius bagi orang Australia, karena mereka
tidak memperoleh informasi yang sesungguhnya. Dinyatakannya:
I think those a lot of coverage of radical Islam and so called terrorism etc
and some people sort of perceive Indonesia similar to another places,
which is I think it's really unfortunate, this is the problem of press and
yes.. so I mean the Australian Press, they only see one sensational story.
They read something in the newspaper too, the same as in Indonesia, but
for me personally I have a very posititive perception. Well I know most
Moslems in Indonesia. It's hard for Australian, they don't get
information.156

Hannan, menanggapi adanya rencana untuk mengundangkan


Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi di Indonesia,
orang-orang Australia akan setuju hanya mereka tidak tahu., dan
sangat senang mendengarnya. Dinyatakan beliau dalam bahasa Inggris
bercampur dengan bahasa Indonesia :
Regarding to the information, saya rasa kalau orang tahu akan ada
freedom of information di Indonesia, mereka akan setuju tetapi
mereka tidak tahu. Orang Indonesia tidak cukup dekat dengan
birokrasi di Indonesia, dan seseorang harus melamar oleh mereka
sendiri. Apakah orang Australia yang mau mencari informasi
punya hak untuk mendapatkan itu atau hanya untuk orang
Indonesia. Pada prinsipnya saya sangat senang mendengar hal
itu, tetapi sayangnya tidak banyak dari mereka yang bisa bahasa
Indonesia.157

155
Wawancara dengan Akademisi dari School of International Studies. Faculty of Arts. Deakin University. 4
Desember 2006.
156
Wawancara dengan Senior Asian Librarian. Asian Studies Research. Monash University. 15 November 2006.
157
Wawancara dengan Senior Lecturer for Visual Arts and Film. Monash University. 20 November 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 285
Arief Budiman, mengemukakan pengamatannya tentang
pemberita-an oleh media di Indonesia mengenai kondisi Indonesia,
bahwa media di Indonesia dengan segala biasnya sudah baik Kalau
pemberitaan di media ada bias, kalau pembingkaiannya ditentukan
pengusaha, media bisa dikoreksi oleh masyarakat. Dinyatakan Arief
Budiman :
Media Indonesia kalau menurut saya dengan segala biasnya
sudah bagus. Kalau kita melihat dari zaman Suharto, Habibie, Gus
Dur, Megawati, sekarang sudah menarik sekali dan SBY nggak
keras kalau dikritik. Media itu bisa dikoreksi sebagaimana DPR
melalui demo-demo, kalau misalnya pemberitaan media bias,
medianya perlu didemo juga. Perlu dikoreksi oleh masyarakat.
Jadi memang masyarakat langsung mengadakan kritik terhadap
medianya, saya kira itu yang terbaik, ke pemerintahnya juga, ke
medianya juga.158

Perspektif Indonesia setelah reformasi sebagaimana dinyatakan


Cote, Maxwell, Millie, Hannan, Arief Budiman, adalah baik, dan citranya
positif. Citra positif didasarkan kepada kekaguman mereka terhadap
perkembangan demokrasi di Indonesia termasuk penyelenggaraan
otonomi daerah, adanya kebebasan menyatakan pendapat atau
berekspresi, dan kebebasan bagi media. Di samping akan
diundangkannya kebebasan untuk memperoleh informasi publik.
Di bidang penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi,
dan bidang keamanan, serta penyebarluasan informasi dipersepsikan
masih memerlukan upaya bangsa Indonesia untuk memperbaikinya.
Muslim radikal di Indonesia dan kemungkinan terjadinya tindakan
terorisme masih diwaspadai masyarakat Australia. Penegakan hukum
masih dipersepsikan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat Australia oleh pemerintah
Indonesia masih dianggap kurang.
Prospek Indonesia dinilai baik karena proses demokratisasi dan
keterbukaan menurut pendapat mereka dapat mengatasi kelemahan di
bidang penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, dan

158
Wawancara dengan Guru Besar pada Asia Institute. The University of Melbourne. 29 November 2006.

286 Citra Indonesia di Mata Dunia


dapat memperkuat posisi Muslim moderat yang diharapkan dapat
mengatasi radikalisme dalam Islam.
Cote, Maxwell, Millie, Hannan, Arief Budiman, yang bertugas di
Asian Studies, dan telah melakukan penelitian di Indonesia, merupakan
bagian dari Akademisi Australia yang mengenal Indonesia. Akademisi
Australia merupakan kelompok profesi, dan untuk kepentingan suatu
isu, kelompok profesi dapat menjadi kelompok penekan, yaitu
kelompok yang bertindak mempengaruhi pemerintah untuk
kepentingan isu tertentu tersebut walaupun bukan untuk memegang
kekuasaan (Hamid, 1999 : 297).
Citra positif Indonesia menurut Cote, Maxwell, Millie, Hannan,
dan Arief Budiman, setelah Indonesia melakukan reformasi, khususnya
di dalam upaya melakukan demokratisasi di segala bidang, didasarkan
kepada pengalaman mereka tentang Indonesia, sebagaimana dikemuka-
kan Boulding (1956: 6) The image is built up as a result of all exsperience of the
possessor of image. Part of the image is the history of the image itself.
Pengalaman mereka tentang Indonesia ditunjang oleh kedekatan
letak geografis Indonesia dengan Australia, serta kebijakan pemerintah
Australia yang mengakui bahwa stabilitas dan kemakmuran
tetangganya di sebelah utara merupakan bagian dari kepentingan
nasional Australia yang terdiri dari a safer Australia, a better Australia, a
good international citizenship, a better world, a safer and a peaceful world.159 Di
samping adanya lembaga yang didirikan pemerintah Australia yang
bertujuan membangun hubungan people-to-people contact seperti
Australia-Indonesia Institute. Persepsi mereka tentang Indonesia
diasumsikan objektif.
Berdasarkan pernyataan beberapa akademisi di Monash
University, Deakin University, dan Melbourne University, tentang citra
Indonesia setelah reformasi secara umum dapat dikemukakan bahwa
citra Indonesia belum positif seperti yang diharapkan karena masih
menonjol hal-hal yang membuat citra Indonesia negatif yaitu penegakan
hukum yang masih lemah, tingkat korupsi yang masih tinggi dan

159
Deplu RI. Kajian Politik Luar Negeri, Pokok-pokok Hasil Pertemuan Kelompok Ahli, tentang Arah Kebijakan
Hubungan RI-Australia di bidang Politik dan Keamanan. 17-18 Mei 2006. Melalui: <http://
www.deplu.go.id.>

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 287
terjadinya tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan oleh orang
Indonesia sendiri. Sekalipun demikian, dari sisi pengembangan
demokrasi mereka menaruh harapan bahwa apabila demokrasi di
Indonesia dikembangkan dengan baik, lambat laun Indonesia dapat
mengatasi persoalan yang dihadapi.
Gambaran lain tentang citra Indonesia setelah reformasi dapat
diketahui dari tanggapan Pejabat Kedutaan Besar Malaysia di
Indonesia, yaitu Dr. Junaidi Abu Bakar, Director Malaysian Student
Department, Penasihat Pendidikan pada Kedutaan Besar Malaysia.
Tanggapan Junaidi terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial budaya
Indonesia serta masalah hubungan bilateral Indonesia Malaysia dan
peran NGO di Indonesia dalam hubungan Indonesia Malaysia
dikemukakan dalam bahasa Melayu, sekali-sekali ada kata-kata yang
diucapkan dalam bahasa Inggris
Menurut Junaidi, kondisi politik Indonesia setelah reformasi
ditunjukkan oleh partisipasi rakyat yang lebih terbuka, dan media serta
NGO telah diberi ruang untuk melakukan perubahan. Secara tidak
langsung mereka telah mengembangkan konsep demokrasi, sekalipun
terdapat sisi negatifnya karena terkadang rakyat terus menegur
pemerintah sehingga tidak ada peluang bagi pemerintah untuk
merencanakan sesuatu.
Selepas kepemimpinan baru Habibie, Gus Dur, Megawati, Pak
Bambang, kita dapati bahwa partisipasi rakyat itu lebih terbuka dan
media itu pun, NGO juga telah diberi ruang untuk melakukan suatu
perubahan dan juga media ikut peduli, salah satunya yang kita lihat
Metro TVsecara tak langsung dia telah mengembangkan konsep
demokrasi. Cuma dari segi negatifnya dia tidak memberi peluang
kepada pemerintah untuk merencanakan sesuatu. Sepatutnya
kepada pemerintah diberi peluang untuk melaksanakan perbaikan.
Apabila rakyat terus menegur, media terus menegur, kadang
merugikan rakyat sendiri.160

Di bidang ekonomi, menurut Junaidi, keterbukaan ekonomi di


Indonesia, baik. Pemerintah Indonesia memberi peluang kepada orang
yang memiliki inisiatif dan rajin untuk merebut peluang itu.

160
Wawancara dengan Penasihat Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia, tgl. 18 April 2007.

288 Citra Indonesia di Mata Dunia


Di bidang ekonomi kita tahu bahwa tahun 1998 itu seluruh negara
Asia mengalami resesi. Malaysia, Singapura, Thailand, setelah
tahun 2000 berlaku perubahan, termasuk Malaysia pun berada di
paras minus. Apalagi Indonesia yang terikat oleh IMF beban
utang begitu banyak Walaupun resources begitu banyak, usaha-
usaha bagus yang dilakukan pemimpin ini tetapi dalam konteks
bayar utang. Tetapi IMF sudah dilepas, utangnya sudah dibayar
semua. Tampak perubahan ekonomi yang bagus dari segi
konsumerismenya. Keterbukaan ekonomi di sini bagus, siapa
yang rajin, yang punya inisiatif, siapa yang punya sumber daya
bagus, dia bisa merebut peluang-peluang itu. Di sini siapa pun
bisa menjadi sekaya-kayanya.161

Di bidang sosial budaya, diapresiasi oleh Junaidi, kerja sama


Indonesia Malaysia dalam pengurusan pelajar Indonesia yang
mengikuti studi di Malaysia dan sebaliknya berjalan sangat baik, bahkan
sekolah seni di Yogya dan Bali menjadi model di Malaysia.
Pengembangan seni budaya di Indonesia baik, tidak hanya budaya jawa
tetapi pengembangan seni budaya bagi seluruh etnis.
Menanggapi isu sehubungan sengketa perbatasan kedua negara
dan permasalahan tenaga kerja Indonesia illegal/pendatang tanpa ijin,
dikemukakan Junaidi bahwa untuk menyelesaikan masalah Ambalat
kedua pihak telah setuju diselesaikan secara bilateral, tidak membawa
masalah itu ke Mahkamah Internasional. Sedangkan masalah TKI illegal
atau disebut pendatang tanpa ijin (PTI) dinyatakannya bahwa masalah
TKI tidak ada masalah. Lebih banyak yang positif dari pada yang negatif.
TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga, di perkebunan-
perkebunan yang tidak dikerjakan lagi oleh orang Malaysia. Apabila
tidak ada TKI industri di Malaysia akan lumpuh. Dinyatakan Junaidi
sebagai berikut:
Pendatang tanpa ijin (PTI) sebenarnya mereka masuk dengan ijin,
tetapi karena visa melampaui waktu, mungkin tidak cukup uang
untuk melalui proses yang betul. Ada juga yang dibawa masuk
secara ilegal di peladangan, di perumahan. Dari segi hubungan,
PTI ini tidak ada masalah. Lebih banyak yang positif dari pada
yang negatif. Mereka bekerja di peladangan, perkebunan. TKI tak

161
Ibid

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 289
mengganggu hubungan kedua negara. Masyarakat Malaysia
sangat mengharapkan TKI. Kalau tak ada orang Indonesia siapa
pembantu rumah. Industri kita akan lumpuh Orang Malaysia tak
ada lagi yang jadi pembantu rumah tangga, tak ada lagi yang
bekerja di ladang-ladang. Media di Indonesia perkara kecil pun
dibesar-besarkan. Macam masalah Ambalat, sebenarnya tak ada
apa-apa. Ditulisnya Indonesia sanggup berperang, macam itulah.
Sebenarnya tak betul. Kedua belah pihak telah setuju kita tidak
bawa ke Mahkamah antar Bangsa. Menteri Pertahanan sudah
runding, tetapi kadang kala media mengambil kesempatan.162

Menanggapi adanya NGO di Indonesia yang memperjuangkan


pemerintahan Indonesia yang terbuka dan efeknya terhadap hubungan
kedua negara, Junaidi mengemukakan bahwa menurut pengamatannya
masyarakat Indonesia tidak melihat pentingnya NGO. Peranan partai
politik lebih menonjol dari pada NGO. Sedangkan efek terhadap
hubungan kedua negara, terutama apabila menanggapi permasalahan
yang timbul, kadang-kadang ada NGO di Indonesia yang tidak melihat
kasus secara detil, seperti reaksi terhadap kasus TKI yang disiksa
majikannya dibesar-besarkan padahal pemerintah Malaysia
menangkap majikan itu dan dibawa ke pengadilan.
Dikemukakan sebagai berikut :
Tentang organisasi NGO, mereka kadang-kadang tidak melihat
kasus secara detil. Contoh TKI yang disiksa majikannya dibesar-
besarkan. Sebenarnya betul case itu berlaku. Di Malaysia tidak
melindungi majikannya. majikannya ditangkap dibawa ke
pengadilan. Di sini boleh ditahan, tak diapa-apain, tak boleh
dibawa ke mahkamah. Kita merasa risaulah kalau ada rakyat
Malaysia yang ditahan. Di sini masyarakat tidak melihat
pentingnya NGO, tak ada satu NGO yang menonjol. Cuma
nampak partai politik lebih menonjol dari pada NGO. Kalau ada
apa-apa lari ke partai politik, partai politik lebih penting dari pada
NGO. NGO banyak berkembang tetapi banyak bergerak
sendirian, impact kepada masyarakat tak banyak. NGO di
Indonesia, kalau disebut, salah-salah. Kalau ada yang betul dia
boleh sokong. Akibat terlalu banyak memberi kebebasan kepada

162
Ibid

290 Citra Indonesia di Mata Dunia


rakyat, jadi, komentar macam-macamlah. Dulu Malaysia jauh di
bawah Indonesia, tetapi karena Indonesia terlalu banyak political
thinking-nya, Malaysia lebih banyak bekerja, ekonomi diperbaiki,
ini dipandang dunia.163

Menanggapi citra Indonesia menurut masyarakat Malaysia,


dikemukakan Junaidi sebagai berkut :
Mengenai citra, citra ini budaya. Indonesia, kini, dulu, dan
selamanya dielukan. Citra Indonesia sangat bagus dalam memper-
tahankan (identitas: peneliti), macam disini, orang Cina pun
menggunakan satu nama, di Malaysia tak bisa. Mahasiswa di
perguruan tinggi memakai bahasa Indonesia, seperti di ITB, UI,
dan macam-macamlah, itu sangat penting, tetapi ada kerugiannya.
Kebanyakan di Indonesia tak bisa omong Inggris. Kita berhadapan
dengan banyak negara. Kalau Indonesia tak mengikuti
perkembangan begitu, rugi.164

Menanggapi kegiatan diplomasi publik yang dilakukan kedua


negara, Indonesia dan Malaysia, dikemukakan Junaidi, banyak usaha-
usaha yang dilakukan, apalagi tahun 2007 sebagai tahun melawat
Malaysia. Ditargetkan dua juta rakyat Indonesia yang akan melawat ke
Malaysia, dan hubungan kedua pihak ini dinilai sangat penting. Di
bidang pendidikan terjadi pertukaran pelajar (exchange student).
Terdapat 3630 pelajar Malaysia yang melanjutkan studi di perguruan
tinggi di Indonesia, dan ditargetkan pada tahun 2010, 8000 pelajar
Malaysia belajar di Indonesia. Di Malaysia terdapat 27.000 pelajar
Indonesia yang melanjutkan studi di perguruan tinggi di Malaysia,
termasuk mahasiswa strata tiga.165
Menanggapi prediksi Indonesia paling tidak sepuluh tahun yang
akan datang dinyatakannya bahwa menteri di Indonesia ini hebat-hebat,
tetapi kadang kala mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tekanan,
desakan sehingga tidak bisa berperan banyak karena baru berbuat
sedikit telah ditegur. Oleh karena itu rakyat harus memberi kepercayaan
kepada pemerintah. Keberhasilan seorang pemimpin tidak bisa dilihat

163
Ibid
164
Ibid
165
Ibid

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 291
selama dua atau tiga tahun. Gerakan reformasi dinilainya bagus tetapi
pemerintahan reformasi harus diberi peran sebaik-baiknya. Rakyat
harus memberi kesempatan kepada yanag baru untuk berperan.
Dinyatakannya sebagai berikut :
Menteri-menteri di sini orang-orang yang hebat-hebat, tetapi
kadang kala mereka tidak bisa berbuat apa-apa, tekanan, desakan,
berbuat sedikit ditegur, itu tak bisa ambil peran. Di Malaysia ada
rancangan, di sini pun ada tetapi tak jelas. Rakyat tak pernah
question apa yang pemerintah buat, tetapi di sini tidak bisa.
Pemerintahan itu tak bisa kita lihat dua tahun, tiga tahun. Kita
melihat bagus reformasi, tetapi yang baru harus diberi peran
sebaik-baiknya. Secara teori pemimpin itu orang yang dipilih
rakyat, kita harus beri kepercayaan. Dari segi komunikasi
politiknya rakyat harus memberi kepercayaan kepada pemerintah,
tak boleh sembarang komentar, karena punya justifikasi sendiri .166

Tanggapan Junaidi terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial


budaya Indonesia setelah reformasi, adalah bahwa di bidang politik
gerakan reformasi dinilai positif karena telah membuka partisipasi
kepada rakyat dan memberi ruang kepada NGO, dan media untuk
melakukan perubahan. Tetapi terdapat sisi negatif karena rakyat dan
media sering menegur pemerintah sehingga tidak memberi peluang
kepada pemerintah untuk merencanakan sesuatu. Indonesia terlalu
banyak memberikan kebebasan kepada rakyat, dan terlalu banyak
memikirkan masalah politik
Di bidang ekonomi, di samping terungkap pernyataan masih
berat permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia, selain karena
beban utang kepada negara donor dan banyak bencana yang terjadi,
dinilai baik karena adanya keterbukaan dan memberi kesempatan
kepada siapapun yang rajin dan berinisiatif untuk memperoleh peluang.
Tetapi dari sisi pemerataan pendapatan masih belum baik. Di bidang
sosial budaya, Indonesia dinilai begitu terbuka, seperti banyak
menerima pelajar Malaysia melanjutkan studi di Indonesia. Di bidang
kesenian, sekolah seni di Yogya dan Bali menjadi model di Malaysia.

166
Ibid

292 Citra Indonesia di Mata Dunia


Peranan NGO di Indonesia menurut pengamatannya kalah penting
dari partai politik. NGO di Indonesia tidak banyak memberi manfaat
kepada rakyat Indonesia. Kadang kala terdapat NGO yang membangun-
kan kesan tidak baik hubungan Indonesia-Malaysia dengan memberikan
reaksi keras yang berlebihan terhadap kasus yang menimpa orang
Indonesia di Malaysia. Masyarakat Malaysia sampai saat ini memuji
Indonesia dalam mempertahankan identitas bangsa, seperti dalam
penggunaan nama Indonesia, sekalipun berbeda asal etnik, dan dalam
penggunaan bahasa Indonesia, termasuk di perguruan tinggi di Indonesia.
Namun disayangkan jarang yang menguasai bahasa Inggris dengan baik,
yang diperlukan dalam berhubungan dengan banyak negara.
Reaksi masyarakat Indonesia atas sengketa perbatasan blok
Ambalat antara Indonesia dan Malaysia pernah diberitakan surat kabar
Indonesia seperti diberitakan sebagai berikut:
Berbagai elemen masyarakat Makassar membentuk Front
Ganyang Malaysia Makassar, Sabtu 5 Maret 2005. Front ini meng-
himbau pemerintah Indonesia untuk melakukan konfrontasi tahap
kedua terhadap pemerintah Malaysia. Pembentukan Front GAM
merupakan reaksi keras masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel)
menyikapi langkah Malaysia yang juga mengklaim kepulauan
Ambalat sebagai teritorialnya. Pulau di perairan Selat Makassar itu
disebut-sebut mengandung minyak.167
Malaysia mendesak Indonesia untuk menggunakan jalur diplomatik
ketimbang berpaling pada langkah militer untuk menyelesaikan
masalah batas wilayah kedua negara. Demikian diungkap Menteri
Luar Negeri Malaysia, Syed HamidAlbar, Kamis (3/3).168
Pemerintah Malaysia sedikit pun tidak akan mengklaim atau
bahkan mengambil alih suatu kawasan yang menjadi milik
Indonesia. Namun, Malaysia tetap akan mempertahankan suatu
kawasan yang memang menjadi haknya. Demikian dikemukakan
Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi seperti
dilaporkan kantor berita Bernama, Senin (14/3).169

167
Tempo Interaktif. Makassar Bentuk Front Ganyang Malaysia. Sabtu, 5 Maret 2005 Melalui:
http//www.tempointeraktif.com
168
Republika. Malaysia Minta Jalur Diplomasi. Jumat, 4 Maret 2005.
169
Kompas, Malaysia Tidak Akan Klaim Wilayah Milik Indonesia. Sabtu, 5 Maret 2005.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 293
Reaksi Pemerintah Malaysia pun dimuat surat kabar Malaysia,
antara lain sebagai berikut:
Malaysia dan Indonesia, Isnin bersetuju bahwa isu peng-
anugerahan konsesi minyak di Laut Sulawesi oleh Petronas
diselesaikan melalui perbincangan. Perbualan itu dicapai dalam
satu perbualan telefon antara Perdana Menteri Datuk Seri
Abdullah Ahmad Badawi dengan Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono.
Jakarta mendakwa kedua-dua blok itu yang dianugerahkan oleh
Petronas dan terletak berhampiran Pulau Sipadan dan Ligitan
kepunyaan Malaysia, sebagai kepunyaannya. Wisma Putra
bagaimanapun menyatakan bahawa kedua-dua blok tersebut
iaitu ND 6 dan ND 7 yang terletak di perairan Laut Sulawesi
adalah milik Malaysia seperti yang termaktub di dalam Pentas
Benua dan Wilayah Perairan Malaysia 1979.
Indonesia dilaporkan telah menghantar beberapa buah kapal
perang ke kawasan perairan terbabit sejak beberapa hari lepas.
Syed Hamid berkata Malaysia turut menempatkan dua buah
kapal perangnya di perairan berkenaan bagi tujuan mengawasi
dan meronda kawasan perairan negara.170

Pemberitaan kedua surat kabar tentang sengketa perbatasan


Indonesia dan Malaysia di blok Ambalat menunjukkan terjadi adanya
ketegangan hubungan antara Indonesia dan Malaysia sehubungan
sengketa perbatasan tersebut. Citra Pemerintah Malaysia menurut
masyarakat Indonesia, dan citra Pemerintah Indonesia menurut
masyarakat Malaysia, berdasarkan pemberitaan tersebut dapat
menghasilkan citra yang tidak menyenangkan bagi kedua bangsa.
Berdasarkan tanggapan Junaidi, citra Indonesia sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India171 dinilai
belum mendorong pemerintah untuk bekerja meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan baik karena rakyat tidak memberi
kesempatan kepada pemerintah Indonesia untuk merencanakan dan
berbuat sesuatu secara tuntas. Kondisi ini terjadi disebabkan Pemerintah

170
Agenda Daily. Malaysia dan Indonesia setuju bincang isu konsesi minyak di Laut Sulawesi. Melalui:
http://www.agenda daily.com/cms/content.jsp?id=com.tms.cms.article.Article_ 5d535255 -
ca9db1dO-8aaff400-eb577cdO
171
Paparan Lisan Menteri Luar Negeri RI. opcit.

294 Citra Indonesia di Mata Dunia


Indonesia terlalu memberikan kebebasan kepada rakyat. Pemerataan
kesejahteraan bagi rakyat belum tercapai. NGO tidak memiliki peranan
yang menonjol dalam melakukan advokasi untuk kesejahteraan rakyat.
Saat ini tarap kesejahteraan masyarakat Malaysia lebih baik dari pada
tarap kesejahtera-an masyarakat Indonesia. Satu hal yang patut dipuji
adalah bangsa Indonesia kuat dalam mempertahankan keindonesiaan-
nya seperti dalam penggunaan nama Indonesia dan bahasa Indonesia
untuk mempersatukan berbagai ragam etnik serta dikagumi atas
kekayaan seni budayanya.
Indonesia mempunyai harapan yang baik apabila memiliki
pemerintahan yang kuat dan diberi waktu yang cukup untuk berbuat.
Citra yang tidak menyenangkan kedua pihak bangsa karena terjadi
persengketaan dalam beberapa kasus, sebenarnya tidak separah
sebagaimana diberitakan media di Indonesia, karena kadang-kadang
masalahnya dibesar-besarkan.
Pada prinsipnya persepsi bangsa Malaysia terhadap citra
Indonesia memiliki kesamaan dengan persepsi beberapa akademisi di
Australia bahwa citra Indonesia belum positif yang diindikasikan
lemahnya penegakan hukum termasuk di bidang peradilan, tingkat
korupsi yang masih tinggi, dan tindakan-tindakan anarkis dengan
masih terjadinya konflik sosial (antaretnik, antarwarga) di Indonesia.

3.6. Model Diplomasi Publik


Berdasarkan lembaga yang melaksanakan diplomasi publik
dapat dikategorikan sebagai lembaga pemerintah seperti dilaksanakan
oleh Departemen Luar Negeri RI dan lembaga non-pemerintah seperti
dilaksanakan oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Berdasarkan
sasaran khalayak yang dituju, diplomasi publik bukan hanya ditujukan
kepada masyarakat luar negeri tetapi juga kepada masyarakat dalam
negeri. Sebagaimana dinyatakan Hassan Wirajuda:
berbeda dengan diplomasi publik yang dilakukan berbagai
negara lain yang hanya berurusan dengan publik di negara lain,
maka diplomasi publik di Indonesia juga diarahkan untuk

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 295
berkomunikasi dengan aktor-aktor non-pemerintah dan publik
di dalam negeri.172

Model diplomasi publik merupakan sebuah gambaran kegiatan


diplomasi publik untuk mewakili kenyataan, atau sebuah replika
diplomasi publik yang berupaya memberikan penjelasan atas
kegiatannya, sebagaimana dikemukakan Rakhmat (1989:80) model
secara sederhana adalah gambaran yang dirancang untuk mewakili
kenyataan. Model didefinisikan Runyon (Rakhmat, 1989:80), a replica
of the phenomena it attempts to explain.
Terdapat dua kategori sasaran khalayak diplomasi publik yaitu
masyarakat dalam negeri dan masyarakat luar negeri. Substansi materi
diplomasi publik dapat dikategorikan kepada substansi materi politik,
sosial budaya, agama, ekonomi, sebagaimana tergambarkan dalam data
kegiatan 2002-2006 Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar
Negeri, dan substansi materi politik sebagaimana tergambarkan dalam
data kegiatan Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Sedangkan kegiatan
komunikasi dalam diplomasi publik yang dilakukan oleh Departemen
Luar Negeri RI dan Koalisi untuk Kebebasan Informasi kedua-duanya
melaksanakan komunikasi melalui pendekatan public relations yang
dikelompokkan dalam berbagai kategori hubungan dalam pengaturan
program public relations. Diplomasi publik yang dilaksanakan oleh Koalisi
ditujukan kepada sasaran khalayak dalam negeri dan luar negeri, baik
kepada unsur masyarakat maupun kepada unsur pemerintahan. Unsur
masyarakat yang diutamakan adalah yang tergabung dalam NGOs atau
Ornop. Substansi materi diplomasi publik termasuk masalah politik,
yang dilakukan melalui kegiatan pengkajian, lobi, dan kampanye.
Diplomasi publik yang dilaksanakan oleh Departemen Luar
Negeri RI, berdasarkan data kegiatan yang telah dilakukan, juga
ditujukan kepada masyarakat dalam negeri dan masyarakat luar negeri.
Unsur masyarakat yang dituju adalah tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh
seni budaya, pelajar dan mahasiswa, serta akademisi lainnya, Ornop
dalam dan luar negeri. Substansi materi diplomasi publik adalah politik,
agama, sosial budaya, dan ekonomi.

172
Hassan Wirajuda. op. cit

296 Citra Indonesia di Mata Dunia


Diplomasi publik yang dilaksanakan Koalisi tidak berkoordinasi
dengan Departemen Luar Negeri RI. Diplomasi publik yang
dilaksanakan oleh Koalisi mempunyai jalur tersendiri tanpa diketahui
oleh pemerintah mengenai perkembangan situasi yang dihasilkan oleh
kegiatan diplomasi yang dilakukan Koalisi. Perkembangan sementara
hasil diplomasi publik oleh Koalisi adalah pada tahun 2006 telah
berlangsung pembahasan RUU KMIP oleh DPR dan pemerintah.
Sedangkan hasil diplomasi publik oleh Koalisi di luar negeri adalah
adanya apresiasi lembaga-lembaga internasional, seperti UNESCO,
UNDP, sebagai organ PBB, maupun Ornop internasional seperti Artikel
19, Transparancy International, terhadap kegiatan Koalisi, sehingga
memberikan bantuan baik pemikiran maupun finansial.
Terdapat dua aspek dalam aktivitas diplomasi yang disebut
sebagai diplomasi publik sebagaimana dikemukakan Manheim (1994:3-
4) yaitu aspek berupa hubungan yang dilakukan masyarakat suatu
negara kepada masyarakat negara lain, kemudian aspek berupa
hubungan yang dilakukan pemerintah suatu negara kepada masyarakat
di negara lain. Menurut Diamond dan Mc Donald masyarakat yang
melaksanakan diplomasi publik terdiri dari sembilan elemen, termasuk
unsur pemerintah di dalamnya yang disebut konsep multi jalur atau
multitrack diplomacy.173
Diplomasi publik yang dilaksanakan elemen-elemen masyarakat
memerlukan langkah-langkah integratif dan sinergis sebagaimana
dipersyaratkan dalam diplomasi total yang memanfaatkan seluruh
komponen dan seluruh lini kekuataan (multitrack diplomacy).
Diperlukannya langkah-langkah sinergi dan integrasi dalam diplomasi
publik karena upaya membangun persepsi publik untuk menghasilkan
citra yang diharapkan sangat tergantung terutama kepada nilai akurasi
informasi yang disampaikan. Tahap terpenting dalam persepsi adalah
interpretasi atas informasi yang diperoleh melalui salah satu atau lebih
indera seseorang (Mulyana, 2004: 169-170). Kekeliruan persepsi dapat
mengacaukan komunikasi dan hubungan antarbangsa dan negara
(Jones, 1993: 192). Sedangkan informasi menjadi andalan dalam proses
penyampaian pesan suatu komunikasi (Littlejohn, 1996:105).

173
Diamond dan Mc Donald. op cit.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 297
Informasi yang benar, dan lengkap, tentang suatu kebijakan,
masalah, kondisi senyatanya, terutama tentang kondisi perikehidupan
bangsa, dapat diperoleh apabila terdapat institusi pemerintah yang
memiliki kemampuan untuk mengetahui, memperoleh, mengolah, dan
menyimpan informasi, sehingga menjadi sumber informasi terpercaya
(focal point) dan dapat mendiseminasikan informasi kepada pihak-pihak
yang memerlukan. Pelaksanaan diplomasi publik oleh pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan174 dapat mengintegrasikan
dan menyinergikan pelaksanaan diplomasi publik oleh berbagai elemen
masyarakat melalui sistem pelayanan informasi yang terintegrasi dan
berstruktur sehubungan adanya hierarki pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah juga dapat memberdayakan elemen-elemen
masyarakat untuk melaksanakan diplomasi publik dengan memberikan
kewenangan atau mendorong memberikan motivasi. Dalam era revolusi
di bidang teknologi informasi, elemen masyarakat yang menjadi aktor
nonnegara mempunyai peranan penting dalam diplomasi publik,
bahkan dapat lebih menentukan daripada aktor negara, sebagaimana
dikemukakan Perwita dan Yani (2005:10-11):
Perubahan pada aktor diindikasikan dengan perubahan
(bertambah atau berkurangnya) jumlah dan sifat aktor hubungan
internasional. Di samping terjadinya penambahan aktor (negara)
terjadi pula penambahan secara signifikan pada jumlah aktor non-
negara (non state actors). Bahkan dalam beberapa kasus tertentu,
peran aktor non-negara jauh lebih penting daripada aktor negara.

Jonsson, (2002: 217) mengemukakan pula bahwa akibat revolusi


teknologi komunikasi dan transportasi, maka peran diplomat (aktor
negara) menjadi berkurang, sebagaimana dinyatakan:
Perhaps the most important factor affecting the evolution of diplomacy
has been the revolution in communication and transfortation
technology. The speed and ease of transfortation and communication
have reduced the role of diplomats in several different ways.

Proses pemberdayaaan mengandung dua kecenderungan


(Harry Hikmat, 2004: 43-44):

174
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 4. ayat (1). Jakarta. hlm. 60

298 Citra Indonesia di Mata Dunia


Pertama, menekankan pada proses pemberian atau pengalihan
sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih
berdaya (survival of the fittes). Kedua, kecenderungan sekunder,
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau
memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keber-
dayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.

Mengkaji besarnya peranan aktor nonnegara dalam diplomasi


publik, maka dalam kerangka mengintegrasikan dan menyinergikan
kegiatan diplomasi publik, pemerintah dapat memberikan kewenangan
atau memberikan dorongan, motivasi kepada aktor nonnegara untuk
melaksana-kan diplomasi publik melalui konsep sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik.
Berdasarkan kesamaan fungsi antara diplomasi dan public
relations sebagaimana dikemukakan L'Etang (Theaker, 2004:5) yaitu
fungsi representasi organisasi dalam berkomunikasi dengan publiknya,
fungsi dialog untuk menjembatani kepentingan internal dan eksternal
dengan organisasi, serta fungsi penyampaian nasehat, penyuluhan,
seperti dalam perencanaan kampanye, atau menghadapi krisis, maka
diplomasi publik yang diselenggarakan dengan pendekatan public
relations dapat menggunakan empat tipologi model public relations dari
Grunig yang kemudian dikarakteristikan kepada empat dimensi
perilaku komunikasi, yaitu perilaku arah (satu atau dua arah), tujuan
(symmetry atau asymmetry), saluran (interpersonal atau melalui media),
dan etika (teleologi, keterbukaan, dan tanggung jawab sosial).175
Untuk mengintegrasikan dan menyinergikan kegiatan,
sebagaimana ditunjukkan oleh kegiatan diplomasi publik, baik yang
dilaksanakan oleh Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar
Negeri, maupun oleh Koalisi, faktor kolaborasi dan kooperasi dengan
pihak lain sangat berperanan penting. Model public relations yang
memerlukan kolaborasi atau kooperasi adalah model dengan dimensi
tujuan yang bersifat two-way symmetrical, yaitu model public relations
yang berdasarkan prinsip selain mentransmisikan informasi kepada

175
Seong Hun Yun. 2006. Toward Public Relations Theory-Based Study of Public Diplomacy: Testing the
Applicability of the Excellence Study. Journal of Public Relations Research. 18 (4): 289-312, Manhattan.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 299
sasaran khalayak yang dituju, juga memperhatikan dan mengolah
umpan balik dari sasaran khalayak yang dituju. Berdasarkan penjelasan
di atas, maka model diplomasi publik dengan menggunakan dimensi
tujuan yang bersifat two-way symmetrical dibagi dalam dua model yaitu
model diplomasi publik dengan sistem pelayanan informasi terintegrasi
dan berstruktur, serta model diplomasi publik dengan sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik. Jika dianalisis kembali bagaimana
model yang tepat dan adaptif untuk implementasi suatu kegiatan
diplomasi ternyata di dalamnya harus dilengkapi dengan instrumen
kegiatan-kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah ini setidaknya dapat menjadi
jembatan menuju persamaan pemikiran, serta pendekatan secara
personal akan terasa lebih terbuka. Dengan demikian manfaatnya (out
come) akan mampu menghasilkan pembangunan citra Indonesia secara
lebih mendasar, dan jika dikaitkan dengan temuan proposisi sebelumnya
bahwa unsur hubungan personal menjadi salah satu instrumen penting
dalam sebuah diplomasi antar negara, maka perlu terdapat kegiatan
ilmiah yang dimotori dan dielaborasi secara antarpersonal juga.
Dari temuan dan pembahasan pada bagian ini maka dapat penulis
rumuskan proposisi yang ditujukan untuk memberikan penguatan
ilmiah terhadap model diplomasi publik yang mampu membangun citra
Indonesia, yaitu: Diplomasi publik yang menggunakan pendekatan
sistem hubungan personal yang diwujudkan melalui aktivitas personal
dengan subjek bahasan dan produk pemikiran ilmiah, merupakan
sistem baru yang harus diadopsi dan dikembangkan oleh pelaku-pelaku
diplomasi publik dalam konteks hubungan internasional. Proposisi ini
dapat penulis kemukakan untuk semua praktisi diplomasi yang selama
ini memang belum optimal memperoleh keberhasilan dalam upaya
pencitraan bangsa Indonesia dalam percaturan internasional.

3.6.1. Model Pelayanan Informasi Terintegrasi dan Berstuktur


Model Pelayanan Informasi Terintegrasi dan Berstruktur adalah
model yang mengintegrasikan semua komponen masyarakat dan
pemerintah oleh suatu lembaga pemerintahan yang mempunyai tugas
mengintegrasikan seluruh informasi yang diperlukan masyarakat, baik
untuk masyarakat dalam negeri maupun untuk masyarakat luar negeri,
baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah.

300 Citra Indonesia di Mata Dunia


Model pelayanan informasi terintegrasi bersesuaian dengan
konsep diplomasi total yaitu kebijakan diplomasi yang melibatkan
semua komponen bangsa dalam suatu sinergi dan memandang
substansi permasalahan secara integratif.176 Diplomasi total telah
menjadi visi Departemen Luar Negeri RI, yaitu Melalui diplomasi total,
ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman, adil, demokratis
dan sejahtera.177 Diplomasi total adalah diplomasi yang melibatkan
aktor negara dan non-negara.
Diplomasi publik merupakan bagian dari diplomasi total apabila
didasarkan kepada pengkategorian sasaran diplomasi. Diplomasi publik
dilakukan oleh aktor negara dan non-negara kepada publik dalam dan
luar negeri. Terdapat istilah sinergi dan integrasi dalam diplomasi total,
dan berlaku pula dalam diplomasi publik, serta istilah kooperasi dan
kolaborasi dalam public relations. Melibatkan komponen bangsa dalam
suatu sinergi dikandung maksud dalam suatu kegiatan yang tergabung,
dan memandang substansi permasalahan secara integratif dikandung
maksud permasalahan yang dilihat secara lengkap, utuh, dan terpadu.
Sedangkan kolaborasi dikandung maksud bekerjasama dengan pihak
lain dan kooperasi dikandung maksud bekerjasama, tetapi tidak
disyaratkan dengan pihak lain.178
Menyinergikan kegiatan, dan mengintegrasikan substansi per-
masalahan oleh pemerintah melalui konsep diplomasi total diperlukan
saling pengertian dari segenap pihak yang bersinergi terhadap prinsip-
prinsip kerja sama dan diperlukan kejelasan dalam mengintegrasikan
substansi permasalahan. Prinsip-prinsip kerja sama dan kejelasan
permasalahan dalam mempengaruhi publik sesuai dengan yang
dikehendaki public relations sebagaimana masyarakat Amerika Serikat
mendifinisikan public relations, (Davis 2004: 3) sebagai berikut:
Public relations helps an organization and its publics to adapt mutually
to each other. Public relations is an organization's effort to win the co-
operation of groups of people. Public relations helps organizations
effectively interact and communicate with their key publics.

176
Menteri Luar Negeri RI. Paparan Lisan Pernyataan Pers Akhir Tahun. tanggal 7 Januari 2002.
177
Deplu. Op cit: Melalui: http://www.deplu.go.id.
178
Balai Pustaka. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. hlm. 944, 383, 512, 524.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 301
Definisi ini merepresentasikan interaksi antara pengirim dan
penerima komunikasi, kerjasama antara pengirim dan penerima, dan
memfasilitasi untuk saling beradaptasi satu sama lain. Atau seperti yang
dirumuskan Zawawi (2004:7) bahwa public relations adalah manajemen
strategik dan etik komunikasi serta hubungan dalam rangka membangun
dan mengembangkan koalisi dan kebijakan, untuk memperoleh manfaat
dalam kerangka tanggung jawab sosial, sebagaimana dikemukakan
sebagai berikut :
Public relations as the ethical and strategic management of
communications and relationships in order to build and develop
coalitions and policy, identify and manage issues and create and direct
messages to achieve sound outcomes within a socially responsible
framework.

Demikian pula definisi diplomasi publik yang mensyaratkan


adanya interaksi antara pemerintah dengan publik negara lain, interaksi
antara kelompok-kelompok swasta dan kepentingan dari suatu negara
dengan kelompok swasta dan kepentingan di negara lain seperti
dikemukakan Wolf bahwa:
Public Diplomacy deals with the influence of public attitudes on the
formation and execution of foreign policies. It encompasses dimensions of
international relations beyond traditional diplomacy (including) the
cultivation by goverments of public opinion in other countries; the
interaction of private groups and interests in one country with those of
another(and) the transnational flow of information and ideas.179

Dalam perkembangan, pelaksanaan diplomasi tidak cukup


hanya dilaksanakan oleh aktor diplomasi pada jalur pertama
(pemerintah, DPR), dan jalur kedua (NGO), tetapi terdapat jalur lain
yang juga memiliki peranan penting, sebagaimana dikemukakan
Diamond dan Mc Donald (1996)180 yaitu kelompok bisnis atau juru
damai melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan; warga negara biasa
atau juru damai perorangan (citizen diplomacy), termasuk di dalamnya
berbagai upaya masyarakat yang terlibat dalam aktivitas perdamaian
maupun pembangunan, program pertukaran, organisasi swasta

179
Wolf Jr. and Rosen. op cit. hlm. 3.
180
Diamond dan Mc. Donald. op cit.

302 Citra Indonesia di Mata Dunia


perorangan, organisasi bukan pemerintah dan kelompok-kelompok
kepentingan khusus; aktivitas penelitian, pelatihan, pendidikan atau
perdamaian melalui pembelajaran; aktivitas atau juru damai melalui
advokasi, mencakup bidang perdamaian dan lingkungan seperti
masalah perlucutan senjata, penghormatan terhadap hak asasi manusia,
keadilan sosial ekonomi, dan advokasi yang dilakukan kelompok-
kelompok kepentingan khusus; kelompok agama atau juru damai
melalui penebalan keimanan; perdamaian melalui penyediaan dana;
komunikasi dan media, atau perdamaian melalui penyediaan informasi,
bagaimana opini publik dibentuk dan diekspresikan oleh media massa
baik cetak maupun elektronik. Keterlibatan sembilan elemen
masyarakat dalam diplomasi dinamakan diplomasi multi jalur atau
multitrack diplomacy.
Kebijakan diplomasi yang melibatkan segenap komponen
bangsa, adalah kebijakan memanfaatkan multi jalur (multitrack) yang
menurut Diamond dan Mc Donald terdiri dari sembilan elemen
masyarakat, atau sepuluh elemen sebagaimana dikemukakan Yasmi
(2000) karena adanya diplomasi maya atau virtual diplomacy. Ornop/
LSM salah satu elemen masyarakat yang menurut Diamond and Mc.
Donald mencakup tindakan profesional NGO untuk menganalisis,
mencegah, dan memecahkan serta mengatur konflik internasional.
Dalam rangka mengintegrasikan dan menyinergikan seluruh
elemen yang dapat melaksanakan diplomasi publik di Indonesia
diperlukan persyaratan- persyaratan yang mendukung integrasi dan
sinergi tersebut, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, dengan jumlah penduduk yang
besar, berdasarkan perkembangan tahun 2005 berjumlah 241.973.900
jiwa, dan luas wilayah 1.919.440 km persegi.181
Persyaratan yang mendukung integrasi dan sinergi seluruh elemen
dalam kegiatan diplomasi publik untuk menampung, mengolah dan
menyampaikan informasi, diperlukan teknologi informasi. Menurut
Wibisono (2006: 58-59) terdapat empat elemen pokok sebagai tantangan
utama yang dihadapi Indonesia dalam penggunaan teknologi informasi
yaitu connectivity, capacity building, content, dan legal framework.

181
Wikipedia: Indonesia. Melalui: <http://www.id.wikipedia.org/wiki/indonesia>

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 303
Konektivitas yang dimaksud adalah akses material dan fisik terhadap
infrastuktur dan jasa informasi global. Capacity building adalah
membangun kapasitas melalui investasi di bidang pendidikan dan
pelatihan untuk pengembangan dan penerapan teknologi informasi.
Masalah content selain dalam bahasa asing diperlukan pula muatan lokal
sesuai dengan budaya seempat. Legal Framework, selain diperlukan
institusi yang ditunjuk untuk menangani koordinasi dan kerjasama
antarpihak yang berkepentingan diperlukan juga peraturan perundangan
yang mendukung. Saat ini di Indonesia belum ada institusi pemerintah
yang ditunjuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk
menyinergikan informasi baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Upaya pemerintah untuk mengkoordinasikan dan menyinergi-
kan informasi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pemerintahan dengan memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat,
menyediakan akses kepada publik secara lebih luas dan menyelenggara-
an pemerintahan yang bertanggung jawab melalui teknologi informasi,
disebut dengan istilah electronic government (E-Government). Bank Dunia
(2002) memberikan definisi E-Government refers to the use of information
and communication technologies to improve the efficiency, effectiveness,
transparency and accountability of government.182 Dikemukakan pula oleh
Holmes (2001:2) bahwa Electronic Government, or e-government is the use of
information technology, in particular the internet, to deliver public services in a
much more convenient, customer-oriented, cost-effective, and altogether different
and better way.
Untuk pengembangan e-government, pemerintah telah
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang kebijakan
dan strategi nasional pengembangan e-government. Dalam uraian tentang
tuntutan perubahan, antara lain dikemukakan bahwa Indonesia tengah
mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara
fundamental menuju ke sistem pemerintahan yang demokratis
transparan serta meletakkan supremasi hukum. Penataan berbagai segi
kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi pada lingkungan kehidupan
antarbangsa yang semakin terbuka, dimana nilai-nilai universal di
bidang ekonomi dan perdagangan, politik, kemanusiaan, dan kelestarian

182
Eddy Satrya, Pentingnya Revitalisasi E.Government di Indonesia. Melalui: http://www. goodgovernance-
bappenas.go.id/archive_wacana/kliping_wawasan/klipwsn, hlm. 2.

304 Citra Indonesia di Mata Dunia


fungsi lingkungan hidup saling berkaitan secara kompleks. Dalam hal ini
pemerintah harus mampu memberikan informasi yang komprehensif
kepada masyarakat internasional agar tidak terjadi kesalahpahaman
yang dapat meletakkan bangsa Indonesia pada posisi yang serba salah.183
Instruksi tersebut belum dapat dijalankan sebagaimana mestinya
antara lain karena undang-undang yang dijadikan acuan untuk
melaksanakan instruksi tersebut belum ada, antara lain undang-undang
yang terkait dengan cyber law dan undang-undang informasi dan
transaksi elektronik. Kondisi Indonesia saat ini berdasarkan aspek
infrastruktur menunjukkan layanan telepon tetap masih di bawah
delapan juta satuan sambungan dan jumlah warung telekomunikasi
(wartel) dan warung internet (warnet) yang terus menurun karena tidak
sehatnya persaingan bisnis. Telepon seluler menurut data Depkominfo
telah mencapai 24 juta satuan sambungan dan diperkirakan posisi
kwartal pertama 2006 telah mencapai kurang lebih 30 juta satuan
sambungan. Meski kepadatan telepon tetap di beberapa kota besar bisa
mencapai 11-25%, kepadatan telepon di beberapa wilayah yang relatif
tertinggal baru mencapai 0,2%. Jangkauan pelayanan telekomunikasi
dalam bentuk akses telepon baru mancapai 65% desa dari total 67.800
desa yang ada di seluruh wilayah tanah air. Jumlah pelanggan dan
pengguna internet masih tergolong rendah jika dibanding-kan dengan
total penduduk Indonesia. Hingga akhir 2004 berbagai data yang
dikompilasi Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII)
memberikan jumlah pelanggan internet masih pada kisaran 1,5 juta,
sementara pengguna baru mencapai sembilan juta orang.184
Mengenai infrastruktur listrik, aliran listrik di Jawa mencapai
23.412 desa (93,2%) dari jumlah desa di Jawa 25.116 desa, sedangkan
untuk luar Jawa jumlahnya baru mencapai 28.594 desa (69,6%) dari
jumlah desa di luar Jawa 41.098 desa. Secara nasional masih terdapat
22% atau sebanyak 14.208 desa yang belum mendapat aliran listrik
sehingga perlu segera dipenuhi kebutuhannya.185

183
Sekretariat Kabinet. Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional
pengembangan E-Government. Melalui: <http://www.theceli.com/dokumen/produk/lain/inpres3-
2003.htm>
184
Eddy Satrya, Pentingnya Revitalisasi E.Government di Indonesia. Melalui: http://www. goodgovernance-
bappenas.go.id/archive_wacana/kliping_wawasan/klip_wsn hlm. 3.
185
Deptan: Kebijakan Pembangunan Pertanian tahun 2007. Diakses Melalui: <http://www.deptan.go.id>

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 305
Mencermati kondisi infrastruktur yang masih lemah di Indonesia
yang merupakan persyaratan untuk terjalinnya konektifitas serta
dukungan peraturan perundang-undangan yang belum memadai dan
belum adanya lembaga penanggungjawab untuk mengkoordinasikan
dan menyinergikan informasi baik ke dalam maupun ke luar negeri,
maka sistem integrasi dan sinkronisasi layanan informasi dalam
diplomasi publik dapat dilakukan dengan model pelayanan informasi
terintegrasi yang berstruktur, yaitu integrasi dan sinkronisasi pelayanan
informasi baik ke dalam maupun ke luar negeri dikoordinasikan pada
tingkatan pemerintah pusat dan pada tingkatan masing-masing
pemerintah daerah. Hubungan dengan pemerintah negara lain tidak
hanya dilakukan oleh pemerintah pusat tetapi juga oleh pemerintah
daerah, sehingga dapat dipahami apabila dalam konsep benah diri
Departemen Luar Negeri sebagaimana dikemukakan Umar Hadi, pejabat
Deplu juga sebaiknya ada yang ditempatkan di pemerintah daerah,
karena hubungan dengan pemerintah negara lain tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah daerah. Kondisi
tersebut dimungkinkan karena dalam sistem pemerintahan Indonesia
dikenal dengan pembagian wilayah pemerintahan, sebagaimana
tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa:
i. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai
pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang.
ii. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.186

Kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang RI No.


32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalam Ketentuan
Umum dikemukakan antara lain sebagai berikut:
Pemerintah pusat selanjutnya disebut pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

186
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

306 Citra Indonesia di Mata Dunia


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.187

Tantangan yang menyangkut content tidak hanya mengenai


penggunaan bahasa asing maupun lokal, tetapi yang paling utama
adalah pokok masalah yang akan diinformasikan. Mengingat, menurut
Mowlana (1997:25) bahwa informasi memiliki arti memproses dan
mengoleksi fakta. Informasi sebagai sebuah distribusi yang terpola atau
hubungan yang terpola di antara peristiwa, objek, dan tanda,
sebagaimana dikemukakannya:
In medieval latin, informatio had the sense of image, instruction, and
formation, while in classic French the word information was used in the
singular term une information to mean processing and collection facts
in legal investigation. Informationas a patterned distribution or
patterned relationship between events, objects, and signs.

Model diplomasi publik dengan sistem pelayanan informasi ter-


integrasi dan bertruktur adalah sebuah model dengan gambaran
sebagai berikut :
(a) Jalur yang digunakan dalam diplomasi adalah multi jalur
(multitrack diplomacy), mencakup sembilan jalur sebagaimana

187
Depdagri. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Melalui: http://www.depdagri.go.id.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 307
dikemukakan Diamond dan Donald, bahkan sepuluh jalur
sebagaimana dikemukakan Yasmi, termasuk jalur pemerintah
yang ditujukan kepada publik luar negeri dan dalam negeri
sebagai sasaran.
(b) Adanya hubungan (koneksitas) antara pemerintah pusat dalam hal
ini presiden dengan instansi pemerintah di tingkat pusat, presiden
dengan instansi non-pemerintah di tingkat pusat (ornop yang
bekerja sama dengan institusi di luar negeri), dan antara presiden
dengan pemerintah daerah. Presiden dapat menunjuk instansi
pemerintah di tingkat pusat yang bertugas mengoordinasikan dan
menyinergikan informasi pada tingkat pusat sebagai bahan
diplomasi publik. Demikian pula bagi gubernur, bupati, dan
walikota. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dilakukan antara institusi yang ditunjuk presiden di
tingkat pusat dengan institusi yang ditunjuk gubernur, bupati,
walikota di tingkat daerah. Institusi yang ditunjuk yang menjadi
focal point untuk mengoordinasikan dan menyinergikan informasi,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah belum ada.
(c) Adanya petugas yang memiliki kemampuan di bidang teknologi
informasi dan jabatan yang jelas untuk menunjukkan tanggung
jawabnya. Ketentuan bahwa pejabat hubungan masyarakat pada
instansi pemerintah sebagai pejabat fungsional diperlukan
pengembangan melalui pendidikan dan pelatihan.
(d) Adanya materi atau substansi masalah untuk diinformasikan.
Beragam potensi sumber daya alam yang dapat diolah menjadi
komoditi ekonomi, produk-produk unggulan daerah yang dapat
dijual ke luar negeri, kalau tidak terkoordinasikan dalam
penyampaian informasi, tidak akan terinformasikan secara luas
dan menyeluruh. Demikian pula informasi dalam hubungannya
dengan kegiatan internasional, apabila tidak terkoordinasikan,
peluang yang telah terbuka tidak akan dapat dimanfaatkan secara
baik. Sebagaimana dikemukakan Menteri Luar Negeri tentang
keberhasilan Indonesia menempati sembilan keanggotaan di
badan internasional dalam tahun 2006 yang merupakan wujud
apresiasi banyak negara terhadap Indonesia baru, tetapi ada

308 Citra Indonesia di Mata Dunia


kesenjangan dalam menerjemahkan kedekatan politis itu menjadi
peluang yang bisa dimanfaatkan.188
(e) Adanya kerangka kerja legal yang berupa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mendukung terintegrasinya
informasi melalui penggunaan teknologi informasi. Beberapa
ketentuan peraturan telah dikeluarkan pemerintah Indonesia
seperti Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-
Government, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2003, Tentang
Tim Koordinasi Telematika Indonesia, Instruksi Presiden Nomor
6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan
Telematika di Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001
Tentang Penggunaan Komputer Dengan Aplikasi Komputer
Berbahasa Indonesia. Undang-undang lain yang diperlukan
adalah Undang-Undang Cyber Law, dan Undang-Undang
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang sampai saat
ini belum ada.
(f) Adanya pengolahan umpan balik dalam proses penyampaian
dan penerimaan informasi untuk mengindikasikan pemahaman
oleh penerima. Informasi tidak hanya disampaikan untuk
diterima tetapi juga untuk difahami.
(g) Pelayanan secara terintegrasi dan berstruktur terdiri dari
pelayanan informasi di pemerintah tingkat kabupaten/kota ke
pemerintah propinsi sampai ke pemerintah tingkat pusat. Pada
masing-masing struktur ditunjuk istitusi pemerintah yang
mengkoordinasikan dan mensinergikan pelayanan informasi
sehingga merupakan pelayanan informasi satu pintu (one stop
information service) di samping bertindak sebagai navigator
pelayanan informasi.

Model diplomasi publik dengan sistem pelayanan informasi


terintegrasi dan berstruktur ditampilkan pada Diagram 3.5 berikut.

188
Kompas. 29 Desember 2006. hlm. 1 dan 15.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 309
S
Institusi P.R. U
B Pemerintah/
S
T Publik
Multitrack A
Pemerintah Luar
N
Pusat S Negeri
I serta
M Publik
A
Institusi P.R. S dalam
A Negeri
L
Multitrack A
Pemerintah H
Provinsi

Institusi P.R.
CITRA
Multitrack
Pemerintah
Kab/kota
Umpan Balik

Diagram 3.5. Model Diplomasi Publik dengan Sistem Pelayanan


Informasi Terintegrasi Berstuktur

Temuan penelitian yang penulis konstruksi dalam bentuk model


diplomasi publik dengan Sistem Pelayanan Informasi Terintegrasi dan
Terstruktur di atas pada dasarnya merupakan akumulasi hasil temuan-
temuan sebelumnya, di mana instrumen lain yang ternyata harus menjadi
perhatian para pelaksana dari model ini telah dapat diintegrasikan.
Secara khusus mulai dari temuan sistem hubungan, faktor personal dan
aktivitas ilmiah yang mendukung dapat dilihat pada model di atas yaitu
pada bagian Lingkaran Multitrack dan Substansi Masalah.
Selanjutnya penulis rumuskan lagi proposisi yang bisa dijadikan
dasar bagi semua pelaku diplomasi yang akan menggunakan model
temuan diplomasi dari penelitian ini yaitu sebagai berikut, Model
diplomasi publik dengan multi-track yang memperhatikan keterpaduan,
faktor personal, dan kegiatan ilmiah dapat diimplementasikan dengan baik
jika institusi yang menjadi focal point diberdayakan, adanya kemampuan
mengadopsi teknologi informasi, legalitas dan umpan balik yang terbuka,
serta adanya dukungan dari struktur pemerintahan yang ada.

310 Citra Indonesia di Mata Dunia


3.6.2. Model Pelayanan Informasi Pemberdayaan Publik
Diplomasi Publik sebagaimana dikemukakan Manheim
(1994:3) dilaksanakan melalui dua aspek yaitu people-to-people contact
atau hubungan masyarakat suatu negara dengan masyarakat di negara
lain, dan government-to-people contact, atau hubungan antara pemerintah
satu negara dengan masyarakat di negara lain. Atau interaksi antara
kelompok swasta dan kepentingan suatu negara dengan kelompok
swasta dan kepentingan negara lain.
Masyarakat atau kelompok swasta dan kepentingan yang
menyelenggarakan diplomasi yang dinamakan aktor non-negara
memiliki peranan penting dalam diplomasi, sebagaimana dikemukakan
Ali Alatas, bahwa kiprah lembaga-lembaga swadaya masyarakat
(LSM/NGO) dan badan-badan warga lainnya kini semakin berpengaruh
bahkan menentukan tata hubungan politik diplomasi antar pemerintah
di banyak negara. Begitu pentingnya peran NGO itu hingga seolah-olah
mereka bisa ikut menentukan citra (image) suatu negara dan
pemerintahnya di forum internasional.189 Demikian pula sebagaimana
dikemukakan Umar Hadi bahwa kemunculan aktor-aktor selain
pemerintah atau negara dalam diplomasi, menjadikan dominasi
pemerintah dalam diplomasi terkurangi. Di akhir tahun 1980-an telah
dibicarakan tentang pengaruh NGOs yang semakin hari semakin kuat.
Setelah reformasi, peranan aktor-aktor nonnegara yang terdiri dari
NGOs/LSM semakin kuat.190
Pelayanan informasi dalam diplomasi publik oleh aktor non-
negara merupakan wujud keberdayaan aktor non-negara dalam
diplomasi. Keberdayaan Ornop sebagai aktor non-negara dalam
diplomasi menjadi penunjang terwujudnya konsep diplomasi total, yang
melibatkan seluruh komponen bangsa secara terintegrasi dan bersinergi.
Hubungan antara aktor negara dan non-negara dipersyaratkan
terintegrasi dan bersinergi. Dengan demikian keberadaan aktor non-
negara dihadapan aktor negara patut teridentifikasi.
Kegiatan Koalisi dalam diplomasi publik sementara ini terlaksana
karena dukungan dan kerjasama dengan NGO di luar negeri. Dukungan
NGO luar negeri juga dibatasi oleh kemampuan anggaran NGO yang

189
Kompas. Kiprah LSM turut tentukan diplomasi pemerintah. 29 Agustus 2001. hlm. 6.
190
Wawancara dengan Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI. tgl. 13 Februari 2006.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 311
bersangkutan. Potensi untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan
dengan NGO atau masyarakat luar negeri masih besar tetapi terkendala
oleh dukungan anggaran yang tidak tersedia. Sekalipun demikian Koalisi
telah menunjukkan keberdayaannya melaksanakan diplomasi publik.
Konsep model diplomasi publik melalui sistem pelayanan
informasi pemberdayaan publik dimaksudkan sebagai konsep untuk
mengaktualisasi-kan potensi yang berupa kekuatan, kemampuan
Ornop atau kelompok masyarakat, atau merevitalisasi kemampuan
yang dimiliki yang dapat melaksanakan kegiatan diplomasi publik.
Sebagaimana definisi sederhana pemberdayaan menurut Vogt &
Murrell (1990: 8) sebagai berikut:
In simple definitional terms, the verb to empower means to enable, to
allow or to permit and can be concieved as both self initiated and
initiated by others. For social change agents, empowering is an act of
building, developing, and increasing power through cooperation,
sharing, and working together.

Di era reformasi, LSM/Ornop tumbuh pesat seperti jamur di


musim hujan. Tumbuh pesatnya LSM sebagai organisasi nirlaba, di satu
sisi, menurut Abidin dan Rukmini (2004 : 10) dianggap sebagai simbol
kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan
hak-haknya. Namun di sisi lain perilaku miring sebagian LSM menodai
reputasi LSM lainnya.
Selain terdapat LSM yang berkualitas, yang melayani masyarakat
umum, bukan anggota atau para aktivisnya sendiri, sebagaimana
dilakukan oleh koperasi atau asosiasi, menurut Saidi ( Abidin &
Rukmini, 2004 : 23) terdapat sekurangnya tiga bentuk aktivisme LSM
yang tidak jelas, hasil identifikasi tim LP3ES, yaitu : pertama, LSM yang
terkait dengan permainan kekuasaan dalam bentuk dukung
mendukung pejabat; kedua, LSM yang memperebutkan proyek
pemerintah; ketiga, LSM yang bermain politik uang atau premanisme,
mengkritik melalui pendekatan watch dog.
LSM/Ornop saat ini (Abidin & Rukmini, 2004: 24-34) menghadapi
persoalan-persoalan mendasar yaitu: pertama, legitimasi politis,
LSM/ornop tidak memiliki legalitas formal dalam berpolitik, sehingga
pendapat, pikiran, dan masukan LSM/ornop tidak memiliki legitimasi dan

312 Citra Indonesia di Mata Dunia


status politis, apalagi hukum yang mengharuskan pengambil keputusan
mempertimbangkannya; kedua, legalitas yang menyangkut persoalan
badan hukum. Sekitar 99% LSM Indonesia berbadan hukum yayasan.
Menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang dimaksud
dengan yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.191
Apakah ketentuan tentang yayasan ini bersesuaian dengan sifat dan
karakter LSM yang nirlaba. Apabila tidak, LSM perlu memiliki ketentuan
yang menjamin legalitasnya. Ketiga, keberlanjutan finansial. Mayoritas
LSM sangat tergantung pada bantuan hibah khususnya dari lembaga-
lembaga luar negeri. Berdasarkan penelitian, mayoritas LSM masih
mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65% dan sumber
dalam negeri 35%. Berbagai survey menunjukkan bahwa kemandirian
dan kelanjutan pendanaan organisasi nirlaba dapat ditempuh melalui
penggalangan dana secara massal dari masyarakat umum dan
menciptakan dana sendiri melalui pengelolaan unit usaha, tetapi akan
timbul pertanyaan bagaimana bila lembaga nirlaba melakukan bisnis.
Keempat, kompetensi profesionalitas. Dikembangkannya semangat
kerelawanan telah menimbulkan ekses bekerja asal-asalan dengan dalih
amatirisme. Rendahnya profesionalitas di kalangan LSM tidak hanya
membuat kinerja LSM rendah tetapi juga merugikan masyarakat karena
penyia-nyiaan sumberdaya yang seharusnya efisien dan efektif. Kelima,
kredibilitas sosial, yaitu kredibilitas LSM dimata konstituen utamanya.
LSM yang memiliki legitimasi politik lemah, legilitas yang bermasalah,
finansial meragukan dan secara profesional tidak meyakinkan, maka LSM
yang bersangkutan tidak dapat membangun kredibiltas sosialnya.
Temuan penelitian yang telah dikemukakan dapat menjadi dasar
pembangunan kerangka berpikir bagi para pelaku diplomasi tentang
model diplomasi yang ideal dalam membangun citra Indonesia. Ada
beberapa hal penting mengenai pendapat yang disampaikan informan
kunci Direktur Diplomasi Publik maupun Redaksi Nuansa Aulia,
bahwa pemberdayaan aktor dari LSM/Ornop sebaiknya terarah dan

191
Redaksi Nuansa Aulia. 2006. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Yayasan. Nuansa
Aulia. Bandung. hlm. 33.

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 313
disinergikan dengan Renstra pemerintahan yang telah merumuskan
strategi diplomasi. Terkait dengan masalah tersebut, maka LSM/Ornop
bahkan kompetensi personal harus diberdayakan. Unsur-unsur yang
terlibat dalam diplomasi, terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan
pelatihan berkenaan dengan kebutuhan akan sertifikasi terhadap
kompetensi diplomasi publik di masa yang akan datang.
Proposisi yang dapat penulis rumuskan pada bagian ini bahwa
Model diplomasi publik yang ideal, mampu menyinergikan seluruh
kegiatan komponen masyarakat sebagai pelaku diplomasi serta
member-dayakannya melalui peningkatan kompetensi pelaku
diplomasi, dan mengembangkannya dalam sistem pendidikan dan
pelatihan yang dilaksanakan bersama departemen terkait.
Proposisi ini dapat dijadikan masukan bagi departemen luar
negeri yang selama ini belum optimal dalam memberdayakan dan
memberikan layanan dalam meningkatkan sistem pemikiran dan
kompetensi pihak LSM, NGO serta tokoh dan praktisi yang berpotensi
untuk diajak memperlancar diplomasi publik selama ini.
Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan upaya
pemerintah dan segenap pihak untuk memberdayakan LSM/Ornop.
Proses pember-dayaan menurut Pranarka dan Vidhyandika, 1996
(Hikmat, 2004 : 43-44) mengandung dua kecenderungan yaitu:
Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan,
dan kemampuan kepada masyarakat agar idividu yang
bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Proses
ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material
guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi (Oakley dan Mersden, 1984). Kecenderungan atau
proses yang pertama tersebut dapat disebut sebagai
kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua,
Kecenderungan sekunder, menekankan pada proses
menstimulasi atau mendorong atau memotivasi agar individu
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Sesungguhnya di antara kedua proses tersebut saling terkait.
Agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus
melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

314 Citra Indonesia di Mata Dunia


Model diplomasi publik melalui sistem pelayanan informasi
pemberdayaan publik, adalah sebuah model dengan gambaran sebagai
berikut :
(a) Diplomasi publik dilaksanakan melalui aspek people-to-people contact
atau interaksi antara kelompok swasta dan kepentingan suatu
negara dengan kelompok swasta dan kepentingan negara lain.
(b) Merupakan konsep untuk mengaktualisasikan potensi aktor non-
negara yang berupa kekuatan, kemampuan Ornop atau
kelompok masyarakat, merevitalisasi kemampuan yang dimiliki
untuk melaksanakan kegiatan diplomasi publik.
(c) Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu
proses yang menekankan kepada pemberian atau pengalihan
sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada
masyarakat agar menjadi lebih berdaya, dan proses menstimulasi,
mendorong, atau memotivasi agar masyarakat mempunyai
kemampuan untuk memberdayakan diri.
(d) Pemberdayaan dimaksudkan untuk memecahkan masalah
sebagai tantangan yang harus dihadapi di bidang legitimasi politis,
legalitas, keberlanjutan finansial, kompotensi profesionalitas, dan
kredibilitas sosial LSM/NGO sebagai aktor non-negara.

Model diplomasi publik dengan sistem pelayanan informasi


pemberdayaan publik, ditampilkan pada Diagram 3.6. berikut.

Pemerintah RI :
Memberikan
Kekuasaan, Pemerintah
Kekuatan, dan dan Publik
Kemampuan
Luar Negeri

Program
LSM/NGOs Diplomasi CITRA
Publik

Publik
Pemerintah RI : Dalam
Menstimulasi, Negeri Diagram 3.6.
Mendorong atau Model Diplomasi Publik
Memotivasi
dengan Sistem Pelayanan
Informasi Pemberdayaan
Umpan Balik Publik

Bab 3: Gambaran Umum Koalisi untuk Kebebasan Informasi & Diplomasi Publik di Indonesia 315
Peranan pemerintah dan NGO dalam diplomasi publik dengan
model pelayanan informasi terintegrasi berstruktur dan model pelayanan
informasi pemberdayaan publik, dapat dilihat pada Tabel 3.14.

Tabel 3.14.
Peranan Pemerintah dan NGO dalam Dua Model Diplomasi Publik
MODEL I MODEL II
UNSUR (Pelayanan Informasi Terintegrasi (Pelayanan Informasi
Berstrukur) Pemberdayaan Publik)
Pemerintah pusat/Presiden dan pemerin-
< Memberikan atau mengalihkan
<
tah daerah membangun saluran informasi sebagian kekuasaan, kekuatan,
(koneksitas) dengan lembaga pemerintah dan kemampuan kepada masya-
di tingkat pusat dan daerah serta lembaga rakat/Ornop agar menjadi lebih
non-pemerintah di tingkat pusat dan berdaya (survival of the fittes).
daerah (Ornop yang bekerjasama dengan < Menstimulasi atau memotivasi
institusi di luar negeri) secara berstruktur. masyarakat/Ornop supaya mem-
Pemerintah pusat dan daerah menunjuk
< punyai kemampuan dalam
lembaga untuk menampung, mengolah melaksanakan diplomsi publik.
dan menyampaikan informasi serta < Mengidentifikasi Ornop yang
berfungsi sebagai focal point. memiliki potensi untuk melaksa-
Menggunakan teknologi informasi dan
< nakan diplomasi publik.
petugas yang menguasai teknologi < Mengupayakan legitimasi politis,
informasi. legalitas, peningkatan profesio-
Pemerintah Pemerintah menyediakan perangkat
< nalisme, serta bantuan finansial
kerja legal berupa peraturan perundang- kepada Ornop agar berdaya
undangan. melaksanakan diplomasi publik.
Mewujudkan pelayanan informasi one
<
stop information service untuk kepenting-
an dalam negeri dan luar negeri.
<Institusi/lembaga yang ditunjuk bertang-
gungjawab mengintegrasikan dan men-
sinergikan informasi baik ke dalam mau-
pun ke luar negeri.
<Menyediakan akses yang lebih luas
melalui teknologi informasi (electronic
government) dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pelayanan
informasi.

Sebagai stake holder atau mitra peme- <


< Berperan melaksanakan diplo-
rintah untuk menyampaikan, menerima, masi publik melalui berbagai
dan menggunakan informasi, baik untuk kegiatan yang ditujukan kepada
kepentingan dalam negeri maupun luar masyarakat luar negeri (people-
negeri. to-people contact).
Koordinasi dan integrasi kegiat-an
<
dengan pemerintah, baik peme-
rintah pusat maupun daerah pasti
akan berlangsung apabila peme-
rintah menyediakan dan memiliki
informasi yang diperlukan.
Ornop/NGO Mampu memberdayakan diri dalam
<
rangka memecahkan masalah
sebagai tantangan yang harus
dihadapi di bidang legitimasi politis,
legalitas, keberlanjutan finansial,
kompetensi profesionalisme, dan
kredibilitas sosial sebagai aktor
non-negara.

* * *

316 Citra Indonesia di Mata Dunia


Bab 4
Penutup

K egiatan Koalisi untuk Kebebasan Informasi dalam berbagai


kategori termasuk kegiatan diplomasi publik melalui
pendekatan public relations. Kinerja Koalisi untuk Kebebasan
Informasi yang difokuskan kepada memperjuangkan lahirnya
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, menunjang
terwujudnya good governance. Diplomasi publik yang dilakukan Koalisi
untuk Kebebasan Informasi melalui advokasinya telah dapat
membangun citra Indonesia, ditandai antara lain dengan terselenggara-
nya berbagai peraturan daerah (Perda) mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara partisipatif dan transparan. Model-model
diplomasi publik yang dapat menyinergikan dan mengintegrasikan
segenap komponen bangsa untuk membangun citra Indonesia adalah
model diplomasi publik melalui pendekatan public relations yang terdiri
dari: pertama, model diplomasi publik dengan sistem pelayanan
informasi terintegrasi dan berstruktur, serta kedua model diplomasi
publik dengan sistem pelayanan informasi pemberdayaan publik.

Bab 4: Penutup 317


Pada era globalisasi, peran aktor non-negara (non-state actor)
dalam diplomasi publik makin mengemuka, maka model yang sangat
berpotensi untuk dikembangkan adalah model diplomasi publik
dengan sistem pelayanan informasi pemberdayaan publik.
Aplikasi teori public relations diharapkan lebih terfokus pada
upaya membangun pengertian dan hubungan baik dengan publik,
tidak hanya untuk kepentingan organisasi, tetapi juga untuk
kepentingan kelompok, bahkan individu yang berinteraksi dengan
publik atau pemerintahan. Antara konsep dan teori diplomasi publik,
public relations yang memiliki prinsip dan bidang kajian dalam bentuk
penelitian, perencanaan program, pelaksanaan program, dan evaluasi
program, hendaknya dapat dijadikan kerangka pemikiran diperolehnya
pemahaman bagi terwujudnya institusi yang menjadi focal point dalam
menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi sehingga mampu
menerapkan konsep good governance. Anggapan bahwa diplomasi
publik berbeda dengan public relations karena public relations dapat
mengarah kepada persuasi yang hebat atau bahkan menjadi alat
propaganda, sedangkan diplomasi publik untuk mempererat
hubungan antara suatu negara dengan publik di luar negeri dan juga
publik dalam negeri dapat disangkal dengan teori public relations yang
ideal yaitu yang didasarkan kepada fakta, sehingga pemolesan suatu
citra merupakan penghianatan terhadap profesi public relations.
Diplomasi publik yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara kepada
publik di luar negeri dan masyarakat negara tersebut kepada
masyarakat negara lain hendaknya mampu melibatkan Ornop/LSM
yang merupakan bagian masyarakat serta termasuk salah satu elemen
masyarakat dalam diplomasi multi jalur.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah RI perlu menunjuk
institusi atau lembaga yang menjadi focal point kegiatan public relations.
Institusi atau lembaga yang menjadi focal point adalah organisasi yang
berfungsi sebagai pelayanan informasi satu pintu dan bertindak
sebagai navigator informasi. Institusi/lembaga yang ditunjuk untuk
menjadi focal point dalam menerima, mengolah, dan menyampaikan
informasi perlu memiliki kewenangan untuk berhubungan langsung
dengan pimpinan keseluruhan organisasi yang memiliki kewenangan

318 Citra Indonesia di Mata Dunia


dalam menetapkan kebijakan, karena pejabat public relations bertindak
sebagai representasi pimpinan untuk menyampaikan informasi kepada
publik. Pemerintah RI perlu mengidentifikasi komponen-komponen
masyarakat yang dapat disinergikan dan diintegrasikan dalam
pelaksanaan diplomasi publik. Pengintegrasian dan penyinergian
dilakukan secara berstruktur, mulai di tingkat pemerintah pusat,
propinsi, kabupaten/kota. Untuk memberdayakan masyarakat dalam
melaksanakan diplomasi publik, pemerintah beserta komponen
masyarakat lainnya perlu memperbanyak kegiatan-kegiatan
pendidikan dan pelatihan, pembelajaran (learning by doing), sosialisasi,
tentang pentingnya melaksanakan prinsip-prinsip transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program-program
pembangunan.

* * *

Bab 4: Penutup 319


Bab 1
Daftar Pustaka

Ari Dwipayana, AAGN dan Sutoro. Eko. 2003. Membangun Good Governance di
Desa. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE).
Agus Salim, penyunting. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran
Norman K. Denzin dan Egon Guba, dan penerapannya). Yogyakarta: Tiara
wacana Yogya.
Anak Agung Banyu Perwita dan Y. M. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abidin, H. dan M. Rukmini (ed). 2004. Kritik dan Saran Otokritik LSM,
Membongkar Kejujuran dan Ketebukaan Lembaga Swadaya Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Piramedia.
Banks, K.F. 2002. Crisis Communications, A Case book Approach. Second Edition.
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Barston, R. P. 1997. Modern Diplomacy. Second Edition. Longman, London and
New York.
Baylis, J. Dan S. Smith (ed). 2001. The Globalization of Word Politics, an Introduction
to International Relations. Second Edition. Oxford University.
Berger, Peter. L dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan.
Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

Bab 4: Penutup 321


Bormann, E.G. 1990. Small Group Communication, Theory and Practice. New York:
Haper & Row Publisher.
Boulding, Kenneth E. 1961. The Image. New York: University of Michigan Press
and Simultaneously.
Budi Hardiman, F. 2003. Melawan Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:
Kanisius.
Burhan Bungin (ed). 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja
Garfindo Persada.
Carlsnaes, Walter, et al. (ed). 2002. Handbook of International Relations. London:
Sage Publications.
Chakrabarty, Bidyut and M. Bhattacharya (ed). 2003. Public Admistration, A
Reader. Oxford: Oxford University Press.
Chaerul Salam dan Kholid O. Santosa. 2003. Menjemput Ratu Adil: Evaluasi Kritis
Terhadap Proses Reformasi Menuju Paradigma Baru Suksesi
Kepemimpinan Nasional. Bandung : LP2EPI.
Chauvel, Richard. 2005. Hubungan Bertetangga Dua Negara Demokratis; Indonesia-
Australia, kerja sama antara the Australia-Indonesia institute (AII),
Program Pascasarjana (PPs) Ilmu Politik, FISIP UI dan Granit, Jakarta.
Chusnul Mar'iyah. 2005. Indonesia dalam Transisi dan Demokrasi Konstitusional:
Tantangan terhadap Hubungan Bilateral Indonesia-Australia. Indonesia-
Australia, Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik
Bilateral. Kerjasama antara the Australia Indonesia Institute (AII),
Program Pascasarjana (PPs) Ilmu Politik, FISIP UI dan Granit, Jakarta.
Culbertson, Hugh M. & Ni Chen. 1996. International Public Relations. A
Comparative Analysis. Marwah New Jersey. Lawrence Erlbaum
Associates.
Cutlip, Scoot M., A. H. Center, G.M. Broom. 2000. Effective Public Relations. 8th
Edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Salomo Simanungkalit (ed.). 2002. Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Davis, Anthony. 2004. Mastering Public Relations. New York: Palgrave Macmillan
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2001. Komunikasi Antar Budaya:
Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung:
Rosda Karya.
Deddy Mulyana. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
karya.
Deddy Mulyana. 2004. Komunikasi Efektif. Bandung : Rosdakarya
Denzin, N. K., Y. S. Lincoln (ed). 2000. Handbook of Qualitative Research. London:
Sage Publications, inc.

322 Citra Indonesia di Mata Dunia


De Sola Pool, I. 1973. Public Opinion, Handbook of Communication. Chicago: Rand
McNally College Publishing Com.
DeVito, Joseph A. 1992. The Interpersonal Communication Book. New York: Harper
Collins Publisher Inc., 10 East 53rd Street, , NY 10022.
Dharmawan (ed). 2004. Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan Nurani
Menggapai Kesetaraan. Jakarta: Kompas.
Dinh, Tran Van. 1987. Communication and Diplomacy in A Changing World. New
Jersey: Ablex Publishing Corporation Norwood.
Dougherty, James E. dan R.L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of International
Relations. A Comprehensive Survey. Fourth Edition. New York : An
Imprint of Addison Wesley Longman, Inc.
Evans, G. and J. Newnham. 1998. The Pinguin Dictionary of International Relations.
London: Penguin Books, Ltd, 80. Strand.
Filstead, W.J. (ed). 1971. Qualitative Methodology, Firsthand Involvement with the
Social World. Chicago: Markham Publishing Company.
Gianie. 2002. Penanaman Modal: Kerja Keras Meyakinkan Investor, Indonesia Dalam
Krisis 1997-2002. Jakarta : Kompas.
Griffith, Martin and Terry O'Callaghan. 2002. International Relations: The Key
Concepts. London & New York: Routledge
Griffin, E. M. 2003. A First Look at Communication Theory. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Grunig, James C. & Todd Hunt. 1984. Managing Public Relations. New York:
College Publishing.
Grunig, James, E. et al. 1992. Excellence in Public Relations and Communications
Management. Mahwah, New Jersey: Laorence Ellbourn Associates
Publishers.
Grunig, James, E. et al. 2002. Excellence Public Relations and Effective Organizations.
Mahwah, New Jersey: Laorence Ellbourn Associates Publishers
Guth, Apr, David & Charles Marsh, Ph.D. 2006. Public Relations, A Values-Driven
Approach. Third Edition, Boston: Pearson Education Inc.
Hadi Setia Tunggal. 2006. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
Konvensi PBB Anti Korupsi. 2003. Jakarta: Harvarindo.
Hamilton, Keith, and Richard Langhorne. 1995. The Practice of Diplomacy.
Routledge London.
Hanif Suranto dan Agus Mulyono. 2007. Dari Lokal Mengepung Nasional. Jakarta:
Koalisi Untuk Kebebasan Informasi bekerja sama dengan USAID,
Democratic Reform Support Program, Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan.

Bab 4: Penutup 323


Hansen, Allen C. 1984. Public Diplomacy in the Computer Age. New York: Praeger
Special Studies, Praeger Scintific.
Hetifah Sj. Sumarto. 2004. Inovasi, Pertisipasi, dan Good Governance. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Holmes, D. 2001. E.Gov, E-Business, Strategy for Government. London: Nicholas
Brealey Publishing.
Ignatius Haryanto. 2005. Apa itu Kebebasan Memperoleh Informasi. Jakarta:
UNESCO.
Ignatius Kristanto. 2002. Pariwisata 1988: Tahun Jangan Kunjungi Indonesia.
Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Infante, Dominic A. et al. 1993. Building Communication Theory. Illinois: Waveland
Press, Inc.
Jalaluddin Rahkmat. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jefkins, Frank. 1984. Public Relations. Great Britain: Hazel Watson & Viney
Limited.
Joko Widodo. 2001. Good Governance. Telaah dari Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya:
Penerbit Insan Cendekia.
Jones, Walter S. 1993. Logika Hubungan Internasional, Kekuasaan, Ekonomi-Politik
Internasional Dan Tatanan Dunia 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jonsson, Christer. 2002. Diplomacy, Bargaining, and Negotiation. Dalam Handbook
of International Relations. London: Sage Publications.
Julianery, B.E. 2001. Peringkat Indonesia: Disebabkan Citra Buruknya, Indonesia
Dalam Krisis. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Kamanto Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi. edisi kedua. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kastorius Sinaga. 1994. NGOs in Indonesia, A Study of the Role of Non Govermental
Organizations in the Development Process. Saarbrucken, Germany:Verlag
fur Entwicklungspolitik Breitenbach GmbH.
Kean, Geoffrey. 1969. The Public Relations Man Abroad. Frederick A. New York:
Praeger.
Kelly, Keith P. 1999. Teknik Pembuatan Keputusan Dalam Tim. Terjemahan Ramlan.
Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Koalisi Untuk Kebebasan Informasi. 2003. Kebebasan Informasi di Beberapa Negara.
Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi.
__________. 2003. Melawan Ketertutupan Informasi, Menuju Pemerintahan Terbuka.
Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi.

324 Citra Indonesia di Mata Dunia


__________. Melawan Tirani Informasi. Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan
Informasi.
Kunczik, M. 1997. Images of Nations and International Public Relations. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Publisher Amhwah.
Kuper, Adam, Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Terjemahan Haris
Munandar, et. al. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.
Lesly, Philips (ed). 1991. Hand Books of Public Relations and Communications.
Probus Publishing Company.
Lexy J. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, W. Stephen. 1996. Theories of Human Communication. New York:
McGraw-Hill. Inc.
Manheim, J.B. 1994. Strategic Public Diplomacy and American Foreign Policy.
Oxford University Press.
Marconi, Joe. 2004. Public Relations, The Complete Guide. Ohio: Thomson Learning.
May Rudy. T. 2003. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah
Global. Bandung: Reflika Aditama.
Miftah Thoha. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Radja Grafindo
Persada.
Miller, Katherine. 2002. Communication Theories. Perspective, Processes, and
Contexts. United States of America: McGraw-Hill.
Mendel, Toby. 2004. Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survei Perbandingan
Hukum. Terjemahan Tim Kawantama. Jakarta: UNESCO.
Mohtar Mas'oed. 1994, Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta: LP3S.
Mowlana, H. 1997. Global Information and World Communication. 2nd Ed. New
York & London: Sage Publications.
Muhammad Dahlan. 2005. Krisis Moral dalam Struktur Pasar. Membaca
Indonesia. Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate.
Nicolson, Sir Harold. 1988. Diplomacy. Institute for The Study Diplomacy Editio,
Washington.
Nuansa, Aulia. 2005. Otonomi Daerah, Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah. Bandung: Nuansa Aulia.
__________. 2006. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
tentang Yayasan. Bandung: Nuansa Aulia.
Ottaway, Jr. H. James et al. 1998. Every One Has The Righ. New York: World Press
Freedom Committee.
Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan Yasogama. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Bab 4: Penutup 325


Raadschelders, J.C.N. 2003. Government, A Public Administration Perspective.
New York: M.E. Sharpe.
Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik). Bandung: CV
Mandar Maju.
Silih Agung Wasesa. 2005. Strategi Public Relations. Jakarta: Gramedia.
Stephenson, Howard. 1971. Handbook of Public Relations. New York: Mc Graw
Hill, Inc.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suharko. 2004. Mengurai dan Membangun Basis Legitimasi NGO/Ornop: Krisis
Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Institute for Research & Empowerment.
Suwardiman dan Tweki Triardianto. 2002. Potret Konflik di Indonesia: Indonesia
dalam Krisis. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Theaker, Alison. 2004. The Public Relations Hand Book. Great Britain: MPG Books
Ltd Bodmin.
Toto Suryaningtyas. 2002. Penegakan Hukum Baru Sebatas Ucapan, Indonesia dalam
Krisis. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Trice, H. M. 1970. The Outsider'S Role in Field Study. Qualitative Methodology
dalam William. J. Filstead (ed). Chicago: Markham Publishing Company.
Vogt, J. F and K.L.Murrell. 1990. Empowerment in Organizations, How to Spark
Exceptional Performance. California: Pfeiffer Company. San Diego.
Wilcox L. Deennis, et. al. 1992. Public Relations: Strategies and Practice. New York:
Harper Collins Publisher, Inc.
William Chang. 2002. Kerikil-Kerikil di Jalan Reformasi, Catatan-Catatan dari Sudut
Etika Sosial. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Wiyono. 2006. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Sinar Grafika.
Wood, Julia T. 2004. Communication Theories in Action. An Introduction. Canada:
Wadswoth, a division of Thomson Learning, inc.
Yin, Robert K. 2003. Studi Kasus, Desain dan Metode. Terjemahan M. Djauzi
Mudzakir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yulius P. Hermawan (ed). 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan
Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ziring, Lawrence, et. al. 1995. International Relations: A Political Dictionary.
California: ABC-Clio, Inc. Santa Barbara.
Zon, F. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute for Policy Studies.
Zulkifli Hamid. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

326 Citra Indonesia di Mata Dunia


Dokumen Bukan Buku Non-Jurnal:
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri. 1988. Peranan
Kesenian dan Kebudayaan Sebagai Media Diplomasi Dan Komunikasi Antar
Bangsa. Jakarta.
Balai Pustaka. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 944, 383, 512, 524
Ben Perkasa Drajat. 1998. Tantangan Diplomasi di Era Reformasi. Dimuat Kompas
12 Oktober 1998. hlm. 4.
__________. 2003. Diplomasi Unusual. Dimuat Kompas 3 Ferbruari 2003. hlm. 4.
Bondan Winarno. Penulisan Masalah-Masalah Manajemen. Melalui: http//
www.kontan-online.com/04/01/man1.htm.
BPS. Berita Resmi Statistik Nomor 47/H/[01/09/06] Melalui: <http:// www.
bps.go.id.>
Condoleezza Rice. Remarks of Secretary of State USA. dalam Bruce Gregory,
Director, Public Diplomacy Institute Adjunct Assistant Professor for
Media and Public Affairs, Public Diplomacy and Strategic Communication:
Culture, Firewall, and Im[ported Norm. Melalui: Bgregory@gwu.edu,
August 31, 2005.
Departemen Luar Negeri RI. 2006. Sekilas Direktorat Diplomasi Publik 2002-2006.
Direktorat Diplomasi Publik Deplu RI.
__________. 2004. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa. Buku I
Periode 1945-1950.
__________. 2005.Promosi Citra Indonesia> Melalui: http://www.deplu.go.
id/?category_id=26
Departemen Penerangan RI. 1998. Ketetapan MPR RI: Hasil Sidang Istimewa Tahun
1998 . Jakarta.
__________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998: Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum: Jakarta
__________. Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999: Tentang Pers.
Jakarta.
Depdagri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Melalui: <http:// www.
depdagri.go.id>
Departemen Komunikasi dan Informatika RI. 2006. Daftar Inventaris Masalah
(DIM) Pemerintah atas RUU KMIP. Jakarta.
Deplu. Rencana Stratejik Deplu 2004-2009. Melalui: <http://www.deplu. go.id>
Deptan. Kebijakan Pembanguan Pertanian Tahun 2007. Melalui: http://www.
deptan.go.id
Dewan Pers. 2006. Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 1/SK-DP/2005. tanggal 12
Januari 2005, dan No. 11/SK-DP/VIII/2006. tanggal 15 Agustus 2006.

Bab 4: Penutup 327


Diamond. L. and J. Mc Donald. 1996. Multi-Track Diplomacy: A System Approach to
Peace. Melalui: <http://www.imtd.org/content/view/84>
Disinfodia. 2004. Public Diplomacy. Melalui: <http:\\www.publicdiplomac.
org_files.2004>
Eddy Satrya. 2005. Pentingnya Revitalisasi E.Government di Indonesia. Melalui:
http://www.goodgovernancebappenas.go.id/archieve_wacana/kliping_
wawasan/Klip_wsn
Elridge dalam Anderson H. 2004. Good Governance and NGOs in Contemporary
Indonesia. Monash University.
Evans, Gareth. 1990. Speech of The Minister for Foreign Affairs and Trade on The
Australia-Asia Association.
Gita W. Laksmini. 2003. Can Transnasional Advocacy Networks Force Repressive State
Actors to Comply with Human Rights Norms?> London University. Hlm. 8-9.
Hassan Wirajuda. Menteri Luar negeri RI. Paparan Lisan Pernyataan Pers Tahunan.
Refleksi 2005, proyeksi 2006. Refleksi 2006, proyeksi 2007, dan 7 Januari 2002.
__________. Pidato Menetri Luar Negeri RI Dr. N. Hassan Wirajuda pada Loka Karya
Nasional Diplomasi Publik. Bandung: 6 Desember 2006.
Hocking, Brian. 2005. Multistakeholders Diplomacy: forms, functions, and
frusttration. Centre for the Study of Foreign Policy and Diplomacy
Geaorge Eliot Building Coventry University Priory Street. hlm. 6.
ICW (Indonesia Corruption Watch). Melalui: http://www.antikorupsi.org/
mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=9302. [2006]
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Laporan Kegiatan tahun 2000.
hlm. 1-2.
Jakob Tobing. 2002. Pengantar Materi Sosialisasi UUD 1945 Hasil Amandemen.
Jakarta: Makalah.
Josi Khatarina. 2001. Indonesian NGO Movement for Public Access to Information and
The Struggle for Enactment of a Freedom of Information Act. Jakarta: Makalah.
Kementerian Komunikasi dan Informasi. 2002. Kualitas Layanan Informasi Publik
Dalam Era Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi. Jakarta.
Makalah.
Kompas Cyber Media. Melalui: <http://www.kompas.com/ver1/ekonomi/
0609/22/ 084825. htm>
Krisna Harahap. 2005. Menuju Ketertiban Hukum yang Berkeadilan. Pidato
pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Bandung 5 Maret 2005, Bandung
STHB
Koalisi Untuk Kebebasan Informasi. 2002. TOR International Conference and
Regional Public Concultation. Jakarta.

328 Citra Indonesia di Mata Dunia


__________. 2003. Statuta Koalisi Kebebasan Informasi. Jakarta.
__________. 2003. Position Paper. Jakarta.
__________. 2003. Laporan Tahunan 2003. Jakarta.
__________. 2003. Kode Etik Koalisi. Jakarta.
__________. 2001. Berita tentang RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di
Koran, Majalah. Jakarta.
__________. 2001. Narrative Report Stake Holder Discussion. Jakarta
__________. 2002-2003 Laporan Akhir Program Dana Hibah The Asia Foundation.
Jakarta.
__________. 2004. Laporan Kegiatan Diskusi Meja Bundar UNESCO-Koalisi tentang
Rahasia Negara dan Kebebasan Informasi. Jakarta.
__________. 2004. Kajian Kasus Transparansio dan Akses Informasi dalam Pemilu
2004. Jakarta.
__________. 2005. Laporan Akhir Tahun 2005. Jakarta.
__________. 2003-2004. Final Report: Advokasi Proses Legislasi Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik. Jakarta.
__________. 2006. Catatan Kritis Terhadap Tanggapan Pemerintah Mengenai RUU
KMIP. Jakarta.
Kompas, Surat Kabar Harian dan Cyber Media.
Lembaga Informasi Nasional. 2001. Studi Pengembangan Sistem Layanan Informasi
Luar Negeri. Jakarta: Kerjasama LIN dengan Universitas Airlangga.
__________. 2003. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran. Jakarta : Lembaga Informasi Nasional RI.
__________. 2002. Himpunan Ketetapan MPR RI, 1998-2002. Jakarta: Lembaga
Informasi Nasional RI.
__________. 2004. Pengkajian dan Pengembangan Strategi Komunikasi Dalam
Menunjang Pembentukan Citra Positif Indonesia Di Kalangan Masyarakat
Asing. Jakarta: Kerja sama Lembaga Informasi Nasional dengan Yayasan
Arena Komunikasi Bandung. hlm. 95.
MPR RI. 2002. Sambutan Ketua MPR RI pada Acara Pembukaan Kegiatan Sosialisasi
Undang-Undang Dasar 1945 untuk Para Pejabat Eselon I Departemen/
Kementerian/LPND Tingkat Pusat. Jakarta.
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. hlm. 67.
Sofyan Djalil. Menteri Komunikasi dan Informatika. Pemandangan Umum
Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan
memperoleh Informasi Publik. 7 Maret 2006.

Bab 4: Penutup 329


Surat Kabar Harian Fajar. Melalui: <http://www.fajar.co.id,>[2 Mei 2005]
Suara Pembaharuan, Rabu 1 Juni 2005.
Sukawarsini Djelantik. 2003. The Failure of Indonesian Diplomacy? Indonesia's
Political and Diplomatic Relations with Australia Over East Timor. Disertasi
Ph.D. Flinders University.
Tempo Interaktif. Undang-Undang Perlindungan Saksi Diakui Belum Sempurna
Melalui: <www.tempointeraktif.com>
The Online Network of Freedom of Information advocates. Melalui: http://www.
freedominfo.org/
Tim Peneliti Universitas Udayana. 1986. Laporan Penelitian Pariwisata Sebagai
Pendukung Dalam Rangka Pelaksanaan Diplomasi di Bidang Kebudayaan.
Tony Prasetiantono. Warta Ekonomi. 13 oktober 2006 th. xviii. hlm. 12-13.
Transparency International. Melalui: <http://www.transparancy.org/policy-
research/survey- indices/cpi /2006>
United Nations Treaty Series (UNTS) No. 14668, Vol. 999 (1976): Melalui:
<http://www.unhchr.ch/html/ menu3/b/a_cepr.htm>
USIA. 2002, What is Public Diplomacy?. Alumni Association Up date,
September 2002. Melalui:<http://www.publicdiplomacy.org/ 1.htm>
Wikipedia. Melalui: http://www.id.wikipedia.org/wiki/indonesia
Winbert Hutahean. 1995. Praktek Diplomasi antara Israel dan Amerika Serikat Guna
Mencapai National Interest di Dalam Konflik Palestina. Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung.
Wiryono, S. 2006. Public Diplomacy: The Selling of a Country. Jakarta: Makalah.
Wolf, Charles, Jr. and Brian Rosen. 2004. Public Diplomacy, How to Think About and
Improve It. RAND Corporation, Pittsburgh, hlm. 3.
World Bank Institute, National Democratic Institute, Indonesian Parliamentary
Center, Pemerintah Daerah. Memimpin Dalam Aturan Kebebasan
Mendapatkan Informasi. Press Release, 8 Juni 2006.
Yasmi Adriansyah. 2000. Keniscayaan Multi Track Diplomacy. Dimuat Kompas 1
Juli 200. hlm. 36.

Jurnal:
Awani Irewati. 2002. Faktor Internal yang Mempengaruhi Kepercayaan Luar
Negeri, Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional. P2P LIPI: hlm. 15.
Cincotta, Howard. 2003. Thoughts on Public Diplomacy and Integration.
Melalui: <http://www. publicdiplomacy. org/3. htm>
Fulton, Barry. 1998. Reinventing Diplomacy in the Information Age. Final Draft.
Project Cochair Richard Burt and Olin Robinson. CSIS.

330 Citra Indonesia di Mata Dunia


Hasjim Djalal. Budaya Diplomasi di Indonesia. Tinjauan Empiris. Jurnal Luar
Negeri. Juni 1990. Nomor: kelimabelas.
Hun Yun, S. 2006. Toward Public Relations Theory-Based Study of Public
Diplomacy : Testing the Applicability of the Excellence Study. Journal of
Public Relations Research. Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Amhwah, New Jeysey.
Institute for Multi-Track Diplomacy. Multy-Track Diplomacy. Melalui:
<http://www.imtd.org./publications-books.htm>
Kusnanto Anggoro. 2004. Akademi, Masyarakat Epistemik, dan Proses
Kebijakan. Buletin Dep. Luar Negeri, Volume 2 No. 6 . hlm. 16
Mor, Ben D. 2006. Public Diplomacy in Grand Strategy. Garsington: Blackwell
Publishing, Foreign Policy Analysis (2006) 2, 157-176.
Riordan, Shaun. 2004. Dialogue-Based Public Diplomacy A New Foreign Policy
Paradigm?. Netherlands Institute of International Relations 'Clingendael'.
ISSN 1569-2981.
Ratna Shofi Inayati, dkk. 2002. Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Soeharto:
Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional. Jakarta. P2P LIPI. hlm. 76.
Selo Sumardjan. 2002., Konflik-Konflik Sosial di Indonesia, Refleksi Keresahan
Masyarakat. Analisis CSIS: XXXI/2002 No. 3.
Sukawarsini Djelantik. Diplomasi Publik dan Peran Epistemic Community.
Buletin Dep. Luar Negeri, Volume 2 No. 6, November/Desember 2004.
__________. Diplomasi Publik. Analisis CSIS. Vol. 33, No.3 September 2004.
Tim Departemen Ekonomi CSIS. 2004. Perkembangan Ekonomi Makro. Analisis
CSIS Vol. 33, No. 3.
Vickers, Rhiannon. 2004, The New Public Diplomacy: Britain and Canada
Compared. Political Studies Association, Garsington Road: Blackwell
Publishing, 2004 Vol. 6. hlm. 182.

* * *

Bab 4: Penutup 331


332 Citra Indonesia di Mata Dunia
Bab 1
Indeks

241, 242, 244


A ASEM, 222
Abid Hussain, 51 Asia Afrika, 7, 217, 225, 241, 244
Abidin & Rukmini, 312 Asian Intelligence, 2
ABRI, 20, 21 attitude, 74
Aceh, 1, 7, 158, 214, 217, 218, 219, ATVSI, 119, 122
227, 239, 240, 243, 244 Australia, 8, 19, 20, 21, 22, 23, 72, 96,
Advocacy Coalition, 9 100, 101, 106, 109, 121, 123,
Agus, 110, 156, 270 127, 131, 149, 189, 212, 216,
AJI, 9, 91, 98, 178, 259 219, 222, 228, 239, 270, 271,
277, 278, 279, 280, 281, 282,
Albritton, 68
283, 284, 285, 286, 287, 295
Amerika Serikat, 5, 34, 35, 39, 44, 45,
Austria, 31
58, 59, 101, 103, 106, 121, 123,
124, 149, 173, 174, 176, 189,
202, 206, 214, 219, 228, 294, 301
APBD, 155, 256 B
APBN/APBD, 10 backgrounder, 15
ASEAN, 164, 208, 211, 216, 217, 218, Bandung, 18, 44, 54, 97, 127, 144,
219, 222, 224, 225, 229, 240, 148, 158, 159, 173, 217, 239,

Indeks 333
241, 242, 245, 260, 313 Dewan International Telecommu-
Bank Dunia, 2, 76, 258, 304 nication Union 2006-2010, 7
Barston, 19, 52, 247 Dharmawan, 10, 79
Baylis and Smith, 34, 35 Diamond, 50, 211, 233, 297, 302, 303,
belief, 74 308
Ben Perkasa, 234 Dili, 20
Berger, 23, 24, 25, 274 Diplomatic Encounter, 39
bernegosiasi, 20, 30 DPR, 43, 90, 100, 102, 103, 104, 106,
Bill Clinton, 180 109, 111, 112, 114, 116, 117,
biologis, 28 118, 119, 120, 122, 123, 124,
bom Bali, 221, 278, 280, 282 126, 127, 128, 130, 131, 132,
Boulding, 79, 80, 275, 287 133, 134, 136, 141, 142, 143,
BPS, 2, 3, 170, 184 144, 145, 146, 148, 150, 151,
153, 154, 157, 158, 164, 167,
168, 169, 170, 171, 172, 178,
181, 182, 184, 185, 186, 190,
C 191, 207, 212, 248, 249, 250,
catalytic diplomacy, 37 251, 254, 255, 261, 264, 267,
Centre for Electoral Reform (CETRO), 277, 280, 286, 297, 302
9 Dr. Azhari, 221, 282
Cetro, 133, 134 Dr. N. Hassan Wirajuda, 44, 225, 227
Charles Cooley, 27 draf RUU Rahasia Negara oleh
check and balance, 90 Pemerintah, 110
citra positif, 17, 18, 59, 69, 165, 231,
232, 278, 281
Coombs's, 58 E
CSIS, 20, 47, 134
E-Government, 304, 305
CTF, 220
ekonomi, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 33, 34, 36,
Culbertson dan Ni Chen, 66, 68, 69
37, 38, 41, 42, 50, 51, 69, 79,
82, 93, 95, 163, 182, 183, 184,
187, 199, 209, 210, 211, 213,
D 214, 215, 220, 226, 228, 229,
Davis, 55, 56, 65, 80, 252, 301 230, 233, 234, 237, 243, 244,
Dean Gullion, 41 259, 263, 267, 269, 274, 275,
Departemen Luar Negeri, 5, 6, 7, 20, 288, 289, 291, 292, 296, 302,
21, 22, 31, 44, 104, 120, 208, 303, 304, 308
209, 210, 211, 212, 223, 224, eksternalisasi, 24
226, 230, 231, 236, 237, 243, epistemic community, 9
244, 245, 246, 295, 297, 301,
306, 311
DeVito, 84

334 Citra Indonesia di Mata Dunia


Hanif Suranto, 93
F Hansen, 40, 41
FCC, 103 Hardiman, 183
fluktuatif, 2 Harlow, 54
FOIA, 146, 174, 175, 180 Haryanto, 11, 92, 160, 165, 191, 262
Franklin Delano, 34 Hatcher, 26
Fulton, 46, 47, 49 Herbert Banner, 27
Hetifah, 76
Hugh M dan Ni Chen, 69
G hukum, 1, 3, 4, 5, 9, 12, 14, 30, 31, 90,
George Herbert Mead, 27, 28 92, 93, 94, 95, 98, 99, 105, 108,
George Ritzer, 28 109, 110, 111, 114, 115, 116,
118, 124, 125, 136, 137, 138,
Gerakan Aceh Merdeka, 1
140, 146, 149, 153, 154, 155,
gerakan separatis, 1
161, 162, 163, 164, 165, 166,
globalisasi, 9, 46, 49, 53, 72, 208, 209,
167, 171, 172, 173, 174, 175,
215, 218, 226, 227, 230, 318
176, 177, 178, 179, 182, 185,
good governance, 8, 10, 11, 12, 15, 186, 187, 188, 193, 194, 196,
16, 23, 52, 77, 90, 91, 92, 94, 198, 199, 204, 206, 209, 210,
95, 116, 121, 127, 146, 161, 248, 251, 256, 257, 258, 259,
163, 203, 207, 215, 223, 225, 260, 266, 268, 272, 283, 284,
250, 253, 257, 258, 261, 263, 286, 287, 295, 304, 307, 313
271, 272, 274, 276, 317, 318 Hun Yun, 58, 59, 60, 62, 299
Governance, 10, 76, 77, 78, 80, 128, HunYun, 58
255, 264, 265, 272
Governing Council United Nation
Habitat 2007-2010, 7
Griffith, 78, 79 I
Grunig, 54, 55, 57, 65, 66, 70, 81, 251, ICEL, 72, 90, 91, 93, 98, 99, 123, 125,
253, 299 126, 127, 128, 129, 131, 132,
Guth dan Marsh, 63, 64, 65, 250 133, 134, 147, 148, 190, 259
ICW, 2, 9, 96, 98, 126, 127, 133, 259
illegal trafficking, 221
Indonesian Cultural Show, 8
H industri, 2, 34, 83, 289
Hadar Gumay, 133 inflasi, 3, 269
hak asasi manusia, 1, 9, 20, 21, 51, 71, Inggris, 31, 70, 123, 174, 175, 189,
78, 91, 94, 97, 99, 103, 134, 202, 203, 229, 240, 280, 282,
171, 182, 187, 198, 207, 210, 284, 285, 288, 291, 293
229, 253, 255, 257, 258, 259, insiden Balibo, 20
260, 272, 276, 303
interaksi, 19, 24, 27, 28, 29, 30, 35, 43,
Hamilton, 34, 36 55, 104, 258, 273, 302, 311, 315

Indeks 335
Interaksionisme, 26, 27, 28 Kean, 66, 253
internalisasi, 24, 185 Kenneth Burke, 27
International Finance Corporation, 2 Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001,
International Institute for 157
Management, 2 Ketetapan MPR No. VIII tahun
International Press Institute, 9, 259 2001, 157
International transparency, 1 KHN, 129
Inventaris, 112, 131, 132, 145, 261 KKN, 12, 44, 93, 119, 128, 152, 177,
IPI, 9 178, 179, 182, 183, 196, 275,
276
KM Panikkar, 29
J KMIP, 102, 103, 104, 115, 118, 119,
124, 130, 131, 132, 133, 134,
Jakarta, 6, 8, 11, 17, 42, 90, 97, 98, 101, 141, 142, 145, 146, 147, 148,
108, 119, 122, 124, 125, 126, 149, 150, 152, 153, 154, 156,
127, 128, 129, 130, 133, 134, 162, 168, 169, 172, 173, 177,
135, 138, 139, 141, 142, 143, 179, 180, 181, 182, 261
144, 149, 150, 162, 164, 178,
Komisi Ombudsman, 114, 118, 133,
181, 188, 217, 221, 225, 226,
177
227, 239, 240, 242, 245, 271,
KOMNAS HAM, 119, 126
294, 298
komunikasi, 4, 6, 9, 12, 17, 18, 20, 27,
JCLU, 204
30, 32, 35, 37, 41, 48, 51, 52,
Jefkins, 61, 73, 82, 83, 276
55, 56, 59, 68, 69, 73, 74, 75,
Jepang, 8, 11, 100, 101, 106, 109, 111, 80, 81, 82, 85, 86, 89, 145, 146,
112, 121, 126, 146, 149, 202, 157, 161, 198, 225, 230, 232,
203, 204, 205, 206, 216, 228, 236, 238, 242, 245, 252, 253,
251 254, 265, 282, 284, 292, 296,
John Dewey, 27 297, 298, 299, 302, 303
Jones, 85, 297 kooperatif, 28, 130
Jonsson, 36, 49, 298 Korea, 8, 101, 106, 121, 127, 149, 216,
Joseph Duffy, 58, 60 228
korupsi, 1, 2, 7, 9, 10, 11, 44, 72, 92,
93, 95, 96, 97, 99, 101, 102,
K 103, 104, 105, 115, 121, 134,
kampanye, 10, 52, 61, 62, 100, 101, 142, 143, 145, 156, 157, 160,
118, 119, 123, 129, 133, 135, 161, 166, 167, 168, 182, 184,
137, 142, 143, 150, 154, 156, 187, 194, 197, 206, 209, 215,
161, 164, 202, 248, 249, 251, 223, 227, 230, 240, 250, 251,
253, 260, 276, 296, 299 255, 259, 261, 262, 263, 266,
Kaufmann, 78 267, 271, 274, 275, 277, 283,
KBRI, 21, 103 286, 287, 295

336 Citra Indonesia di Mata Dunia


Kosovo, 35 Mendel, 110, 112, 113, 115, 129, 146,
KPU, 136, 137, 138 165, 166
KPUD, 137, 138 mind, 28
Kraay, 78 Mohtar Mas'oed, 85
krisis moneter, 1, 7, 209, 217 Moleong, 26
Kroasia, 35 Mowlana, 307
KUHP, 187, 199 Mulyana, 26, 28, 74, 75, 81, 84, 297
Kuper, 43

N
L negosiasi, 6, 29, 30, 31, 33, 35, 36, 37,
L. A. Richard, 27 216, 233, 250, 251
Langhorne, 34, 36 nepotisme, 12, 44, 72, 93, 97, 104,
learning by doing, 319 143, 166, 182, 184, 250, 251,
legitimasi, 312, 313, 315, 316 255, 262, 271, 274, 275, 277
Lesly, 69, 70, 71 NGO, 11, 22, 50, 78, 79, 80, 90, 101,
Lesly's, 69 119, 150, 160, 190, 234, 236,
Lingkaran Multitrack, 310 262, 273, 280, 283, 288, 290,
Littlejohn, 25, 26, 82, 297 292, 293, 295, 302, 303, 311,
Longman, 44 312, 314, 315, 316
LP3ES, 10, 312 NGOs, 10, 43, 44, 46, 47, 48, 78, 101,
LPSK, 116 105, 117, 160, 167, 209, 212,
LSM, 9, 10, 79, 90, 91, 98, 117, 119, 241, 247, 261, 262, 280, 296,
122, 125, 128, 140, 142, 148, 311, 315
152, 164, 167, 168, 169, 176, NGO's internasional, 22
190, 207, 209, 212, 232, 234, Nicolson, 29, 30, 31, 32, 39
242, 244, 259, 265, 303, 311, nomor 25 tahun 2000, 157
312, 313, 314, 315, 318 Nuklir, 35
LSPP, 72, 91, 99, 126, 132, 133, 141,
143, 146, 260
LSPS, 98, 127 O
Luckmann, 23, 24, 25 objektivasi, 24
O'Callaghan, 78, 79
open government, 11, 92, 124, 250
M organisasi, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 15, 16,
Manford Kuhn, 27 21, 23, 33, 36, 43, 45, 48, 51,
Manheim, 41, 46, 68, 297, 311 53, 55, 57, 62, 65, 70, 71, 73,
Mastruzzi, 78 74, 78, 79, 81, 82, 83, 85, 89,
McDonald, 50, 211, 232, 233 91, 97, 98, 99, 101, 105, 106,
Mead, 27, 28 107, 116, 119, 120, 146, 148,

Indeks 337
150, 161, 171, 172, 176, 190, Perda Kebebasan Memperoleh
198, 203, 211, 228, 232, 241, Informasi, 139, 155, 166
242, 244, 245, 247, 249, 250, Perwita, 49, 298
251, 252, 253, 254, 256, 258, PMDN, 3
259, 263, 268, 273, 290, 299, Political and Economic Risk
302, 303, 312, 313, 314, 318 Consultancy, 1
Ornop, 10, 18, 51, 72, 74, 75, 76, 78, politik, 1, 3, 5, 7, 9, 10, 20, 21, 22, 29,
79, 90, 97, 98, 100, 101, 102, 34, 35, 42, 45, 48, 59, 78, 79,
106, 107, 108, 109, 119, 120, 82, 101, 104, 124, 125, 133,
122, 124, 125, 128, 147, 149, 135, 136, 148, 149, 157, 166,
166, 168, 170, 190, 207, 210, 171, 172, 176, 183, 185, 187,
213, 247, 253, 254, 258, 261, 198, 207, 208, 210, 211, 213,
264, 271, 296, 297, 303, 311, 216, 217, 223, 224, 225, 226,
312, 313, 314, 315, 316, 318 227, 228, 231, 234, 235, 237,
Ottawa, 71, 94 238, 241, 242, 243, 244, 249,
Ottaway, 51 251, 259, 260, 263, 265, 267,
268, 269, 274, 277, 280, 288,
290, 292, 293, 296, 304, 311,
P 312, 313
Porter & Samovar, 74, 75
Palestina, 215, 229
pragmatism, 27
Papua Merdeka, 1, 283
Prasetiantono, 3
Parera dalam Berger, 1990, 24
Press centre, 15
pasal 18 Undang-Undang Dasar
Prof. John Bonine, 123, 124
1945, 306
Prof. Mardjono Reksodiputro, 123,
pasal 28 f UUD 1945, 171
129, 146
pasal 41 ayat (1) Undang-Undang
Prof. Mochtar, 39, 42
Nomor 31 Tahun 1999, 105
proyek, 137, 155, 256, 263, 272, 312
PASKIBRAKA, 238
Prussia, 31
Paulus, 102, 103, 104, 131, 134, 169
public interest, 54, 55, 73, 113
PBB, 7, 38, 39, 51, 71, 78, 94, 95, 101,
public relations, 4, 12, 14, 15, 16, 18,
106, 120, 161, 218, 223, 225,
23, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,
227, 228, 229, 241, 254, 263,
59, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
297
68, 69, 70, 71, 72, 73, 83, 90,
pencitraan, 5, 16, 18, 27, 73, 74, 75,
123, 146, 213, 222, 231, 243,
82, 85, 105, 163, 181, 214, 230,
248, 249, 250, 251, 252, 253,
231, 235, 269, 272, 300
255, 276, 296, 299, 301, 302,
Perancis, 31
317, 318, 319
Perda, 113, 139, 140, 141, 145, 155,
156, 158, 159, 160, 166, 173,
180, 204, 260, 317

338 Citra Indonesia di Mata Dunia


Sinaga, 78, 79, 261, 262
R society, 27, 28, 76, 79, 90, 158, 237,
Rakhmat, 4, 80, 296 241, 262
reformasi, 1, 5, 9, 10, 11, 90, 92, 97, sosial budaya, 1, 3, 74, 79, 99, 187,
99, 127, 162, 182, 183, 187, 208, 210, 211, 237, 243, 244,
191, 209, 215, 218, 223, 228, 274, 288, 289, 292, 296
230, 234, 235, 242, 258, 265, sosiologis, 175
267, 268, 274, 275, 277, 278, stereotiping, 84
279, 280, 284, 286, 287, 288, Substansi Masalah, 310
292, 311, 312 Sumatera Utara, 7, 144
Rezim, 152, 186 Sunarto, 24
Roberts, 4, 80 Surabaya, 4, 15, 97, 98, 119, 127, 148
Roy, 29, 30, 31, 37, 40 Swedia, 8, 100, 101, 106, 109, 121,
Rusia, 31, 228 126, 146, 149, 202, 251
RUU KMIP, 70, 90, 102, 103, 104, 109,
111, 112, 113, 114, 115, 117,
118, 119, 120, 121, 123, 124,
125, 129, 130, 131, 132, 133,
T
134, 135, 142, 144, 145, 146, TAP MPR No. XVII/MPR/1998, 193,
147, 148, 149, 150, 151, 153, 196
154, 158, 162, 164, 167, 169, terorisme, 14, 45, 164, 215, 221, 222,
170, 172, 173, 178, 179, 181, 286, 288
186, 190, 191, 248, 250, 251, Thailand, 2, 8, 11, 98, 101, 103, 106,
252, 255, 261, 262, 297 109, 121, 123, 124, 125, 126,
RUU Rahasia Negara, 110, 121, 123, 127, 129, 131, 146, 149, 174,
126, 129, 145, 146, 151, 153, 175, 176, 202, 203, 205, 206,
154, 164, 168, 169, 185, 186 251, 289
The Aarhus Convention, 108
The Orchestra of Communication
and Information, 14
S The Social Construction of Reality, 23
Saidi, 312 Theaker, 53, 62, 299
SEAPA, 98, 125, 160 Timor Leste, 220
Sedarmayanti, 77, 79, 257, 258 Timor Timur, 1, 19, 20, 21, 22, 23,
Sekretaris Jenderal, 38 278, 283
self, 27, 28, 312 TOR, 11, 220
Semarang, 97, 98, 99, 119, 127, 148 transparansi, 11, 17, 90, 92, 93, 95,
SET, 72, 99, 146 97, 99, 102, 113, 117, 127, 128,
severe corruption problem, 2 130, 143, 144, 145, 152, 155,
Shaun Riordan, 46 156, 158, 160, 163, 166, 168,
Signizer, 58 173, 182, 187, 204, 248, 255,
simbolik, 28, 36 258, 260, 263, 319

Indeks 339
Tsunami, 7, 218 Wasesa, 54
Tunggal, 105, 263 White, 32, 34, 81
Wilcox, 62, 66, 249, 253
Wiyono, 105
U Woodrow Wilson, 30
Undang-Undang KMIP, 104, 113, World Economic Forum, 2
149, 163
UNDP, 11, 51, 77, 101, 106, 120, 140,
149, 150, 158, 160, 253, 257, Y
297 Yani, 49, 298
UNESCO, 11, 51, 101, 106, 120, 122, Yasmi, 230, 231, 232, 233, 303, 308
135, 142, 147, 150, 160, 161, YLKI, 72, 98, 126
162, 164, 165, 166, 253, 297
Yogyakarta, 97, 127, 245
Uni Sovyet, 35
Yugoslavia, 35
Universitas Airlangga, 3, 4, 13, 15
yuridis, 175
UNTS, 73, 95
USAID, 11, 51, 101, 106, 120, 122,
147, 150, 160, 202, 253
USICA, 58 Z
UU KMIP, 103, 104, 116, 118, 124, Zawawi, 57, 61, 72, 73, 146, 252, 254,
130, 133, 142, 150, 152, 153, 302
160, 164, 166, 167, 170, 172,
180, 181, 249, 261 ***
UU No. 10 Tahun 1998, 193, 199
UU No. 23 Tahun 1997, 193, 196
UU No. 25 Tahun 1999, 193
UU No. 8 Tahun 1999, 193, 196
UU RI Nomor 7 Tahun 2006, 104

V
value, 65, 74
Van Dinh, 35
Vickers, 48
Volag, 79

W
WALHI, 72, 98, 125
warnet, 305

340 Citra Indonesia di Mata Dunia


Saya menyambut baik karya ilmiah yang mengupas konsep dan praktik diplomasi publik Indonesia secara
mendalam ini. Buah ketekunan Dr. Asep Saefudin ini perlu dibaca oleh kalangan akademisi maupun
praktisi, dengan harapan akan muncul pemikiran-pemikiran baru mengenai diplomasi publik dari
Indonesia. (Umar Hadi, Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia)
Buku yang layak dibaca oleh para praktisi pemerintahan pusat dan daerah untuk memahami arti penting
praktik diplomasi publik yang bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Government
Organization), uraian yang disertai contoh-contoh praktik sangat bermanfaat disimak. (Ahmad Heryawan,
Gubernur Jawa Barat).
Gagasan yang tertuang dalam buku ini menjadi menarik untuk dikritisi dan diterapkan dalam praktik
diplomasi di masa modern. (Rusadi Kantaprawira dan Dede Mariana, Dosen FISIP Unpad)
Ulasan di dalam buku ini akan berguna bagi penstudi Hubungan Internasional. (Arry Bainus, Dosen
Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Unpad)
Diplomasi publik yang bersandar kepada konsep-konsep dan teori komunikasi, merupakan lapangan baru
dan lahan riset bersama antara ahli komunikasi dan ahli hubungan internasional. (Prof. Dr. Engkus
Kuswarno, M.Si., Gurubesar Ilmu Komunikasi, FIKOM Unpad)
Pelibatan Organisasi Non-Pemerintah dalam diplomasi publik, mutlak dilakukan di era globalisasi. Buku ini
dapat dijadikan rujukan untuk melakukan upaya tersebut. (Acil Bimbo, Seniman, Direktur Bandung Spirit)

Di dalam buku ini terdapat tinjauan konseptual dan analisis tentang


peran lembaga-lembaga non-negara dalam melakukan diplomasi
publik. Peran ini bukan menjadi indikasi dari melemahnya negara,
tetapi sebaliknya menunjukkan suatu kesadaran politik yang kuat dari
kalangan civil society untuk memulihkan citra suatu negara di mata
internasional. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa sinergi
antara pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah dewasa ini
menjadi makin penting dan strategis untuk menjamin keberlanjutan
masa depan suatu negara.
A. Saefudin Ma'mun
Sejak menyelesaikan S1 di Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran tahun 1969,
menempuh karir sebagai pegawai negeri pada Departemen Penerangan, terakhir
menjabat sebagai Kepala Lembaga Informasi Nasional. Menyelesaikan pendidikan S3
Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi di Pascasarjana Universitas Padjadjaran tahun
2007.
Di dunia pendidikan, sejak tahun 1974 telah menjadi Asisten dan Dosen pada sejumlah
Perguruan Tinggi yaitu di Akademi Komunikasi Massa Bandung, Fakultas Publisistik
Unpad, FISIP Universitas Siliwangi, dan Akademi Administrasi Negara di Tasikmalaya,
Fikom Uninus, Fikom Unisba, STIA Lembaga Administrasi Negara, di Bandung dan saat ini menjadi dosen
pada Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta,
Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Jurusan
Komunikasi.
Selama berkarir sebagai pegawai negeri sering mengikuti workshop, seminar, dan simposium, tentang
informasi dan kewartawanan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik sebagai individu, anggota,
maupun ketua delegasi, khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ASEAN.
Di bidang penulisan, pernah menjadi penulis pada surat kabar mingguan Giwangkara, dan Mingguan Pelajar
di Bandung, serta beberapa tulisan pada Jurnal terakreditasi Mediator.

ISBN: 978-979-24-7455-8

Penerbit Puslit KP2W


Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Lembaga Penelitian Unpad
Bandung Jl. Cisangkuy 62 Bandung 40115
aipibandung_penerbit@yahoo.com kp2w_unpad@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai