PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terjadinya urbanisasi yang tidak
diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah banyaknya dearah kumuh di perkotaan.
Makin berkurangnya air bersih, pencemaran air dan tanah menciptakan kondisi
lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan vektor dan sumber infeksi
termasuk oleh penyakit parasitik.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya
terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah
yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia
berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai,
sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan
sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan
tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit.
Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan
baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di
periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan
yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan
cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis .
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita makan
yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi 100 200 gram /
hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris, celulosa, bakteri dan
bahan patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah
maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x per-
minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang
telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern ,
dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan
oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang
memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan
1
dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh
klinisi.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing
ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa tingkat
infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Pemeriksaan feses dapat
dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan
metode natif, metode apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini
digunakan untuk mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan
dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus. Prinsip
dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik
diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi
penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium
parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan
karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejalaklinik kurang dapat dipastikan.
Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang ( Ascaris lumbricoides). Infeksi ini
lebih bamyak ditemukan pada anak-anak yangsering bermain di tanah yang telah
terkontaminasi, sehingga mereka lebih mudahterinfeksi oleh cacain-cacing tersebut.
Biasanya hal ini terjadi pada daerah di mana penduduknya sering membuang tinja
sembarangan sehingga lebih mudah terjadi penularan. Pengalaman dalam hal
membedakan sifat berbagai spesies parasit, kista, telur, larva, dan juga pengetahuan
tentang bentuk pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan dalam
pengidentifikasian suatu parasit
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka agar pembahasan tidak
melebar atau meluas penulis membatasi kajian-kajiannya, dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prinsip-prinsip dasar pemeriksaan feses ?
2. Bagaimanakah cara mendemontrasikan pemeriksaan feses ?
3. Bagaimanakah cara melakukan interpretasi hasil pemeriksaan feses ?
C. Tujuan
2
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :
Adapun manfaat dari percobaan ini yaitu setelah melakukan praktikum ini kita dapat
mengetahui jenis jenis cacing yang terdapat pada sampel fese yang diperiksa.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber infeksi,
cara penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini
menentukan penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu.
Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat bersifat menahun disertai dengan sedikit
atau tanpa gejala. (Noble, 1961).
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara
pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dilakukan
dengan menggunakan metode natif, metode apung, dan metode harada mori.
Sedangkan pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode kato.
1. Pemeriksaan Kualitatif
Metode Natif
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk
infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara
pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur
cacing dengan kotoran disekitarnya.
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula
jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung
4
dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang
mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang
digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk
memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus,
telur yang berpori-pori dari family Taenidae , telur-telur Achantocephala ataupun
telur Ascaris yang infertil.
1. Maksud
Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.
2. Tujuan
Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa
fecesnya.
3. Dasar teori :
Berat jenis NaCl jenuh lebih berat dari berat jenis telur.
4. Kekurangan
Penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian
tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi
5. Kelebihan
dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas.
Metode Harada Mori
1. Maksud
Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus,
Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus spatau mencari larva cacing-
cacing parasit usus yang menetas diluar tubuh hospes
2. Tujuan
Mengetahui adanya infeksi cacing tambang
3. Dasar teori
Hanya cacing-cacing yang menetas di luar tubuh hospes akan menetas 7 hari
menjadi larva dengan kelembaban yang cukup.
4. Kekurangan
5
Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang
dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang banyak.
5. Kelebihan
lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif
mengingat bentuik larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
2. Pemeriksaan Kuantitatif
Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik
Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong cellahane tape .
Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak
tinja. Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih
sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa.
1. Maksud
Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah telur
2. Tujuan
Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui berat
ringannya infeksi cacing parasit usus
3. Dasar teori
Dengan penambahan melachite green untuk memberi latar belakang hijau.
Anak-anak mengeluarkan tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa
mengeluarkan tinja kurang lebih 150 gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram
feces mengandung 100 telur maka 150 gram tinja mengandung 150.000 telur.
4. Kekurangan
Bahan feses yang di gunakan banyak.
5. Kelebihan
6. Dapat mengidentifikasi tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah telur
dan cacing, baik di kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan
tinja masal karena murah dan sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi
sehingga dapat di diagnosis.
6
BAB III
METODOLOGI
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan sputum yaitu:
1. Alat
7
1. Object glass
2. Cover gelas
3. Lidi
4. Mikroskop
5. Pot Sampel
6. Selotif
7. Kertas Minyak
8. Kertas Saring
9. kertas Karton
2. Bahan
1. Feses
2. Eosin 2%
4. Tissue
3. Prosedur Kerja
3. Letakan pada obyek gelas yang sudah ditetes eosin 2% kemudian dicampur
1. Rendam selotif pada larutan kato selama kurang lebih 24 jam seblum dipakai
8
2. Letakan kertas minyak di atas meja kerja
3. Ambil kurang lebih seluas jari tangan fese menggunakan lidi kemudian ditaruh
di atas kertas minyak
4. Letakan kawat saring diatas feses lalu ditekan dengan 2 batang lidi sehingga
feses naik ke atas melalui kawat saring
5. Pindahkan feses yang sudah ada di atas kawat saring sebesar biji kacang merah
ke atas obyk gelas.
6. Tutup sedikit yang sudah direndam dengan larutan kato, usahakan perekat
selotif menghadap ke feses di atas obyek gelas.
7. Ratakan feses ke seluruh penjuru di bawah selotif dengan obyek gelas lainnya
hingga cukup tipis
8. Biarkan selama 30 menit di atas tissue
9. Periksa di bawah mikroskop
BAB IV
A. Hasil Pengamatan
9
B. Pembahasan
10
Hasil pemeriksaan tinja yang telah dilakukan dengan metode natif, metode
apung, metode harada mori dan metode kato menunjukkan hasil yang negatif yang
artinya bahwa tidak ditemukan telur ataupun larva dalam tinja yang telah diperiksa. Hasil
negatif pada semua metode yang dilaksanakan dapat disebabkan antara lain:
1. Sampel atau feces diperoleh dari orang yang dehat (tidak terinfeksi cacing parasit usus)
3. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit maupun
larvanya.
5. Pada saat diambil fecesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada
feces.
Pemeriksaan feces pada dasrnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara
kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feces secara kualitatif, yaitu
pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing metode
pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya. Pemeriksaan feces secara kuantitatif yaitu
pemeriksaan feces yang didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram feces.
(Gandahusada,2000)
Telur fertile bentuknya yaitu, telur oval lebar, mempunyai tiga lapis dinding
yang terluar bergerigi, terdapat rongga udara. Telur infertile bentuknya yaitu, telur lebih
besar daripada yang fertile, dengan ovum yang atrofi, tidak terdapat rongga udara.
2. Metode apung : Baik untuk semua jenis telur baik untuk infeksi berat dan ringan. Telur
yang ditemukan terpisah dari kotoran.
11
3. Metode harada mori : Baik sekali untuk melihat infeksi cacing tambang dimana larvanya
jauh lebih besar dari telurnya.
4. Metode kato : Bila digunakkan dalam penelitian lapangan tidak membutuhkan cover
glass, cover glass bisa diganti dengan cellophane tape, lebih murah. Dengan teknik lebih
banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakkan lebih banyak tinja. Teknik ini disa
digunakkan untuk pemeriksaan tinja secara masal karena lebih sederhana dan murah.
Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosis.
1. Metode natif : Sedikitnya feces yang digunakkan untuk infeksi ringan hanya untuk
pemeriksaan infeksi berat.
2. Metode apung : membutuhkan waktu lebih lama, pada waktu pengambilan telur, telur
yang mengapung tidak terambil. Pada waktu menunggu baki atau tabung reaksi
tersenggol sehingga tidak mengapung dan hasilnya negatif.
3. Metode harada mori : Membutuhkan waktu dan alat yang lebih lama.
4. Metode kato : Pada metode kato kuantitatif, karena banyak telur yang dihitung bisa
menyebabkan jumlah telur pada feces hasilnya tidak akurat.
Teknik Flotasi pada metode apung untuk konsentrasi kista dan telur
berdasarkan perbedaan berat jenis antara larutan kimia tertentu (1120 sampai 1210) dan
telur larva cacing serta kista protozoa (1050 sampai 1150). Terutama yang dipakai adalah
larutan gula, NaCl atau ZnSO4. Telur dan Kista mengapumg dipermukkaan larutan yang
lebih berat, sedangkan tinja tenggelam perlahan-lahan ke dasar. Flotasi lebih baik dari
pada sedimentasi pada pembuatan konsentrasi kista dan telur, kecuali telur
beroperkulum, telur Schistoma dan telur Ascaris yang tidak dibuahi. Flotasi ZnSO4
12
biasanya sering dipergunakkan dan lebih baik dari flotasi gula, NaCl atau larutan garam
jenuh (Brine).
Cara pengapungan feces dicampur dengan larutan garam denagn berat jenis
1200 gram/cc, sehingga telur cacing dan kista akan mengapung ke permukaan kemudian
diambil sebagai bahan pemeriksaan. Larutan dengan berat jenis 1200 gram/cc ini telur
cacing Necator americanus, Ancylostoma dupdenale, Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura tidak mengalami kerusakan, tetapi larva dari Schistosoma sp, Strongyodes sp,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan kista protozoa menjadi sangat menciut.
Sebaliknya, telur Opisthorchis sp dan Clonorchis sinensis berat jenisnya lebih besar dari
1200 gram/cc sehingga mengendap.
Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan.
Diagnosis yang berdasarkan gejala klinik saja kurang dapat dipastikkan, segingga harus
dengan bantuan pemeriksaan labolatorium. Bahan yang akan diperiksa tergantung dari
jenis parasit, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang diperiksa adalah tinja.
Identifikasi terhadap kebanyakkan telur cacing dapat dilakukan dalam bebrapa hari
setelah tinja dikeluarkan.
13
14
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Meningkatkan pengetahuan tentang penyakit parasit agar masyarakat dapat
terhindar dari zoonosis
2. Membuang faeces pada tempatnya, untuk mencegah terjadinya infeksi cacing
parasit usus.
3. Menghindari makanan, air, tanah yang terkontaminasi oleh tinja yang
mengandung telur atau larva
15
DAFTAR PUSTAKA
Hairani, Budi dan Annida. 2012. Intestinal parasite incidence on elementary school students
in town and village at Tanahs Bumbu District. Jurnal Buski Jurnal Epidemiologi
dan Penyakit Bersumber Binatang. Volume 4 (2) : 102-108.
Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC.
Sehgal, Rakesh. 2003. Practicals and Viva in Medical Parasitology. New Delhi : Elsevier.
16