Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS

CONTUSIO CEREBRI DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN DAN


OPTALMOPLEGIA

Disusun oleh:
Nuvita Hasrianti
NIM : 030 10 210

Pembimbing :
dr. Julintari Indriyani, SpS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM BUDHI ASIH
PERIODE 05 September 2016 07 Oktober 2016
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Presentasi Kasus

Judul:
CONTUSIO CEREBRI DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN DAN
OPTALMOPLEGIA

Nama Koas: Nuvita Hasrianti


NIM 030.10.210

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari .........................................

Pembimbing,

dr. Julintari Indriyani, SpS


PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis (gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial) baik temporer maupun permanen.1. Penyebab utama cedera kepala adalah
kecelakaan kendaraan bermotor, terpeleset atau jatuh, dan cedera olahraga.2 Sekitar 80 %
orang mengalami cedera kepala ringan, 10 % cedera kepala sedang dan sisanya 10% cedera
kepala berat.3

Menurut WHO 2012, sekitar 1,3 juta orang per tahun meninggal karena cedera kepala
di 90% negara berkembang.4 Berdasarkan data Depkes 2012, Cedera kepala di Indonesia
merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pasien dirawat di rumah sakit. 4 Sekitar 5.3 juta
orang akan mengalami disabilitas yang disebabkan oleh cedera kepala dan konsekuensi dari
cedera kepala berat.5 Komplikasi dari cedera kepala adalah adanya cedera saraf kranial dan
pneumoencephali. Berdasarkan study kasus di Malaysia, sekitar 0,5-1% dari cedera kepala
berakibat pneumoencephali.6 Prevalensi cedera saraf cranial pada pasien cedera kepala sekitar
5-23%.7
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 49 pasien dengan cedera kepala
ringan, didapatkan hasil sekitar 38 pasien (77.6%) mengalami paralisi saraf cranial tunggal
dan sisanya 11 pasien (22.4%) mengalami cedera saraf kranial multipel. Dan dari 62 kasus
cedera saraf kranial yang paling sering mengalami kerusakan adalah saraf olfaktorius (CN I),
diikuti saraf fasialis (CN VII), dan saraf okulomotor (CN III), sedangkan saraf trigerminal
dan saraf kranial lainnya yang memiliki inti lebih rendah jarang mengalami kerusakan. Saraf
fasialis (CN VII) dan vestibulokoklearis (CN VIII) adalah yang tersering mengalami cedera
saraf secara bersamaan.8
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M.I

Umur : 21 tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Alamat : Jl. Dewi Sartika 200 Jakarta.

Pekerjaan : Buruh

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Tanggal Masuk : 07 September 2016

No Rekam Medik : 01.05.69.27

ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien dan istri pasien, tanggal 14
September 2016, pukul 11.30 WIB di Bangsal Lantai 9 Barat, RSUD Budhi Asih.

Keluhan utama : Muntah darah 4 kali sejak 3 jam SMRS Post KLL

Keluhan tambahan : Mual, pusing, nyeri wajah sisi kanan, luka lecet pada wajah
sisi kanan, tangan kanan dan kaki, keluar cairan warna merah dari telinga kiri dan
hidung.

Riwayat penyakit sekarang (RPS) :

Pasien, laki-laki usia 21 tahun, datang diantar ke IGD RSUD Budhi Asih pada
tanggal 07 September 2016 pukul 00.00 WIB dirujuk dari Klinik setempat dengan
muntah darah 4 kali sejak 3 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan
bermotor pada tanggal 06 September 2016 sekitar pukul 21.00 WIB. Menurut pasien,
motornya tiba-tiba diserempet oleh pengendara lain hingga terjatuh. Pasien
menggunakan helm, namun terlepas. Saat kejadian, pasien terlempar cukup jauh dari
motornya, kepala dan wajah sisi kanan pasien membentur aspal. Pasien sadar sebelum
dan sesudah kejadian, pasien mampu berdiri sendiri setelah kejadian, namun teriak
kesakitan. Kemudian pasien dibawa ke Klinik setempat. Dalam perjalanan pasien
mengeluhkan nyeri pada luka lecet disekitar tangan dan kaki, keluar darah dari telinga
kiri dan hidung, serta merasa mual dan muntah darah sebanyak 4 kali.

Dari Klinik pasien disarankan ke RSUD Budhi Asih. Dari IGD RSUD Budhi
Asih pasien diputuskan untuk dirawat. Selama masa perawatan pasien mengeluhkan,
muntah, nyeri kepala dan wajah sisi kanan, lemas dan mata kanan yang tidak bias
dibuka.

Riwayat penyakit dahulu (RPD): -

Riwayat pengobatan: -

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan fisik pada hari Rabu, 14 September 2016 pukul 11.30 WIB
pada hari pertama perawatan.
A. Status generalis
1. Keadaan umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
2. Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/m, regular, isi cukup
Pernafasan : 20 x/m, irama teratur
Suhu : 36.3oC axilar
3. Kepala
Mesosefali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tampak hematoma
di temporal kanan.
4. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat anisokor diameter
6mm/4mm, reflek cahaya langsung (-/+), reflek cahaya tidak langsung
(-/-), hematoma palpebra (+/-), ptosis (+/-), visus 1/~ OD,
5. Telinga
Normotia (+/+), discharge (-/-)
6. Mulut
Bibir sianosis (-), luka (+)
7. Leher
Trakea terletak di tengah, Kelenjar Getah Bening dan tiroid teraba
membesar (-), tidak tampak jejas dileher
8. Thoraks
Inspeksi bentuk thoraks simetris, Retraksi intercostae (-/-)

Paru Anterior Posterior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi Gerak dinding dada statis dan dinamis Gerak dinding dada statis dan dinamis
tampak simetris kanan-kiri tampak simetris kanan-kiri

Palpasi Vocal fremitus simetris Vocal fremitus simetris


Perkusi sonor pada seluruh lapang paru kanan- sonor pada seluruh lapang paru kanan-
kiri (+/+) kiri (+/+)

Auskultasi Suara dasar : vesikuler (+/+) Suara dasar : vesikuler (+/+)


Suara tambahan : ronki (-/-), Suara tambahan : ronki (-/-),
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : SI, SII murni, regular, murmur (-), gallop (-)
1 Abdomen
Inspeksi : abdomen tampak datar, tidak tampak lesi
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada 4 kuadran abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
9. Extremitas

Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
Capillary Refill <2 <2
Time
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

A Status neurologis
1. Rangsang meningen
Tidak dilakukan
2. Nervus cranialis
N. I (OLFAKTORIUS)
PENCIUMAN Tidak dilakukan
N. II (OPTIKUS)
Kanan Kiri
VISUS (kualitatif ) Menurun Baik
LIHAT WARNA Tidak dilakukan
KAMPUS (KONFRONTASI) Tidak dilakukan
FUNDUSKOPI Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (OKULOMOTORIUS, TROKHLEARIS, ABDUSEN)
SIKAP BOLA MATA
- STRABISMUS :-/-
- NISTAGMUS : - /-
- DIPLOPIA :-
PERGERAKAN BOLA MATA Kanan Kiri
- LATERAL KANAN : negative baik
- LATERAL KIRI : negative baik
- MEDIAL KANAN : negative baik
- MEDIAL KIRI : negative baik
- ATAS : negative baik
- BAWAH : negatve baik
PUPIL
- BENTUK : Bulat
- ISOKOR : anisokor
- DIAMETER : 6mm / 4mm
Kanan Kiri
- REFLEKS CAHAYA
- Langsung - +
- Tidak langsung - -
N. V (TRIGEMINUS)
Kanan Kiri
MOTORIK
MEMBUKA MULUTBaik Baik
GERAKAN RAHANG Baik Baik
MENGGIGIT Baik Baik
SENSORIK Kanan Kiri
RASA RABA Baik Baik
RASA NYERI Baik Baik
RASA SUHU Tidak dilakukan
REFLEKS
REFLEKS KORNEA (+)

N. VII (FASIALIS)
SIKAP WAJAH (dalam istirahat) : simetris
Kanan Kiri
ANGKAT ALIS + +
KERUT DAHI + +
KEMBUNG PIPI + +
MENYERINGI + +
RASA KECAP (2/3 depan) Tidak dilakukan
N. VIII (VESTIBULOKOKHLEARIS)
VESTIBULARIS
Tidak dilakukan
KOKHLEARIS Kanan Kiri
- GESEKAN JARI Tidak dilakukan
- TES RINNE Tidak dilakukan
- TES WEBER Tidak dilakukan
- TES SCHWABACH Tidak dilakukan
N. IX, X (GLOSOFARINGEUS, VAGUS)
ARKUS FARING : Simetris
UVULA : Letak ditengah
MENELAN : Baik
REFLEKS MUNTAH : tidak dilakukan
N. XI (ASESORIUS)
Kanan Kiri
MENOLEH tidak dilakukan
ANGKAT BAHU tidak dilakukan
N. XII (HIPOGLOSUS)
JULUR LIDAH : simetris
GERAKAN LIDAH : baik
TREMOR :-

1 Motorik
DERAJAT KEKUATAN OTOT (0-5)

5555 5555
5555 5555

TONUS OTOT (Hiper, normo, hipo, atoni)


Kanan Kiri
LENGAN
- Fleksor Normotoni Normotoni
- Ekstensor Normotoni Normotoni
TUNGKAI
- Fleksor Normotoni Normotoni
- Ekstensor Normotoni Normotoni
TROFI OTOT
Kanan Kiri
LENGAN Normotrofi Normotrofi
TUNGKAI Normotrofi Normotrofi
1 Keseimbangan dan Koordinasi
- Telunjuk Hidung : Tidak dilakukan
- Jari-jari : Tidak dilakukan
- Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
- Tes Romberg : Tidak dilakukan
1 Refleks
REFLEKS FISIOLOGIS
- Biseps :+/+
- Triseps :+/+
- Patella :+/+
- Achilles :+/+
REFLEKS ABNORMAL
- Hoffman Tromer :-/-
- Babinski :-/-
- Chaddok :-/-
- Oppenheim :-/-
- Gordon :-/-
- Shcaeffe :-/-
- Klonus kaki :-/-
1 Sensibilitas
EKSTEROSEPTIF
- Rasa raba : baik
- Rasa nyeri : baik
- Rasa suhu : tidak dilakukan
PROPRIOSEPTIF
- Rasa gerak dan arah : Tidak dilakukan
- Rasa sikap dan posisi : Tidak dilakukan
- Rasa getar : Tidak dilakukan
1 Fungsi otonom
- Miksi : baik
- Defekasi : baik
- Salivasi : tidak dilakukan
- Sekresi Keringat : baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah rutin pada tanggal 07 September 2016, menunjukkan adanya
leukositosis ( Leukosit 28.0) dan hiperglikemia ( Glukosa darah CITO 115). Sedangkan kadar
hemoglobin, elektrolit, ureum dan kreatinin pasien dalam batas normal.

PEMERIKSAAN CT SCAN (07 September 2016)


Kesan : Epidural hematoma di temporal dextra suspek hematoma spenoidalis
Pneumoencepali dibeberapa bagian
Fraktur wajah dan tulang-tulang orbita dextra serta temporal dextra
Pneumosubkutis palpebra dextra
RESUME
Pasien laki-laki, usia 21 tahun, datang ke IGD dengan keluhan muntah 4 kali post
KLL sejak 3 jam SMRS. Pasien sadar sebelum dan setelah kejadian. Pasien mengeluhkan
keluar darah dari telinga kiri dan hidung, nyeri kepala dan wajah sisi kanan, lemas dan mata
kanan tidak bisa dibuka.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis. Tekanan darah 110/80
mmHg, Nadi 80 x/m, pernafasan 20 x/m, dan suhu 36,3 0C. Didapatkan hematoma di
temporal kanan, hematoma palpebra kanan, visus mata kanan menurun dan ptosis mata
kanan. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan pupil bulat anisokor 6mm/4mm, tidak
dijumpai refleks cahaya langsung dan tidak langsung pada mata kanan serta optalmoplegia
mata kanan.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis dan hiperglikemia. Hasil CT
Scan didapatkan kesan fraktur linear temporal dextra dengan pneumoencepali temporal
dextra.

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Cedera kepala berat (contusio serebri), rhinorrhea, otorrhea,
nyeri kepala, hematome palpebra kanan, ptosis mata kanan, pupil anisokr,
optalmoplegia dextra, visus mata kanan menurun.
Diagnosis etiologi : benturan dengan benda tumpul
Diagnosis topis : tulang temporal dextra, orbita dextra dan wajah, jaringan
parenkim otak bagian temporal.
Diagnosis patologi : trauma

KONSULTASI :
Spesialis Bedah Saraf (10/09/16) : pro debridement dengan kompresi N II. Os telah mendapat
inform consent tentang terapi operatif, resiko buta dan meninggal. Oleh dr Sp.BS terapi
medikamentosa berupa injeksi Ceftriaxon 2 x 2 gr, injeksi Dexamethason tapp of 4 x 100 mg
dan hari selanjutnya 2 x 1 ampul stop, injeksi Metilprednisolon 4 x 250 mg, dan injeksi
Ranitidin diganti injeksi omeprazole 2 x 1 gr.
Spesialis THT (10/09/16) : Post Laserasi, dan tidak ada keberatan THT. Oleh dr Sp.THT
terapi lanjut dari teman sejawat.
Spesialis Mata (10/07/16) : Assesment dari dr Sp Mata adalah parese nervus II, III komplit,
IV dan VI dextra, dengan suspeks avulsi N II diagnosis banding dekompresi, hematoma papil
OD, dan fraktur os Sphenoid dextra. Oleh dr Sp Mata terapi medikamentosa untuk os adalah
tetes Lyteers OD, rencana metilprednisolon di tapp of 4 x 250 mg.

PENATALAKSANAAN (terapi tanggal 14 september 2016)


Non-medikamentosa
Evaluasi KU, TTV, dan Tanda perdarahan

Medikamentosa
- IVFD Assering 500mg / 12 jam
- Injeksi Citicoline 2 x 500 mg iv
- Injeksi Ceftriaxone 2 x 2 gr iv
- Ranitidin 2 x 1 ampul iv
- Nutriflam 3 x 1 tablet/hari p.o

PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : in dubia
FOLLOW UP
Selama masa perawatan dari tanggal 7 September 2016 sampai 14 September 2016 di
ruang biasa, kondisi umum pasien compos mentis, dan tanda vital stabil. Keluhan seperti
muntah, nyeri kepala dan wajah, serta lemas berkurang. Dari hasil pemeriksaan mata,
menunjukkan perubahan, seperti hematome palpebra mata kanan berkurang, keluhan ptosis
pasien menunjukkan perbaikan, serta visus pasien yang mengalami perbaikan visus.
Sedangkan dari status neurologis pasien tidak menunjukkan adanya penurunan kesadaran dan
parese motorik ekstremitas atas dan bawah. Dengan terapi yang diberikan berupa IVFD
Assering 500 cc/12 jam, ketsesse drip dalam NaCl 100 cc 3x/hari di hari pertama perawatan,
injeksi ceftriaxon 2 x 1 gr kemudian dinaikkan dosisnya oleh dr Sp.BS pada tanggal 10
September 2016 menjadi 2 x 2 gr, injeksi citicolin 2 x 500 mg, injeksi ranitidin 2 x 1 ampul
kemudian oleh dr Sp BS diganti dengan injeksi omeprazole 2 x 1 gr pada tanggal 10
September 2016, dan nutriflam 3 x 1 tablet menunjukkan perbaikan klinis. Os dikonsulkan
kepada dr. Sp BS dan disarankan untuk operasi debridemet dengan kompresi N II, namun
pasien dan keluarga menolak. Selain itu pasien juga dikonsulkan kepada dr Sp. THT dan dr
Sp. Mata.
Pada tanggal 14 September 2016, pasien dibolehkan rawat jalan dalam kondisi stabil
dan mendapatkan terapi medikamentosa berupa mecobalamin tablet 2 x 500 mg perhari.
ANALISA KASUS
Dari anamnesis, diketahui pasien datang dengan riwayat kecelakaan bermotor. Hal ini
menjadi salah satu penyebab utama cedera kepala.2 Cedera kepala berupa contusio cerebri
dapat menyebabkan lesi struktural terutama pada daerah temporal dan frontal.9 Contusio
cerebri umumnya ditemukan pada sekitar 8 % dari semua jenis cedera kepala dan sekitar 13
% - 35 % dari cedera kepala berat.9 Lesi struktural sering dihubungkan dengan iskemik dan
inflamasi daerah yang terkena.10 Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah, nyeri
kepala dan wajah, serta lemas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hematoma palpebra,
ptosis, penurunan visus dan optalmoplegia. Klinis tersebut bisa disebabkan adanya lesi
temporal.10 Fraktur dasar tengkorak bagian anterior dapat menyebabkan trauma optik
neuropati, hal ini akan menimbulkan manifestasi klinis berupa hilangnya ketajaman
penglihatan secara total atau parsial.11 Cedera yang terjadi dapat bersifat langsung, tidak
langsung atau kombinasi keduanya.11 Cedera langsung pada nervus optik dapat disebabkan
karena luka terbuka tulang orbita atau fragmentasi tulang kanal optik. Sedangkan cedera
langsung terjadi akibat adanya transmisi tulang dengan dunia luar.11
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, ditemukan adanya leukositosis
(peningkatan leukosit) dan hiperglikemia. Leukositosis menunjukkan adanya inflamasi, dan
kadar glukosa yang meningkat dapat menunjukkan adanya respon hipermetabolik akibat
dari stress paska trauma yang akan meningkatkan katekolamin plasma dan glukortikoid,
peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis serta adanya resistensi dan kadar insulin
yang menurun.12
Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran perdarahan epidural suspek
hematome spenoidalis, dengan pneumoencepali dibeberapa bagian. Terdapat fraktur wajah
dan tulang-tulang orbita dextra serta temporal dextra, dan pneumosubkutis palpebra dextra.
Perdarahan epidural (EDH) adalah penumpukan darah diantara dura dan tabula interna.
EDH paling sering terletak pada daerah temporal (70-80%) dan frontal. 13,14 Sumber
perdarahan biasanya berasal dari laserasi arteri meningea medial oleh adanya fraktur tulang,
walaupun kadang-kadang dapat berasal dari vena atau diploe.13 Daerah temporal menjadi
daerah tersering EDH dikarenakan tulang yang relatif tipis dan arteri meningeal yang
menempel dengan dasar tengkorak.14 Darah EDH biasanya akan membeku (clotting), yang
akan berbentuk bikonveks pada CT Scan.13 Jika perdarahan berasal dari vena atau diploe,
maka gambaran bikonveks akan lebih tipis.13 Dari semua cedera kepala, dilaporkan hanya
sekitar 10 20 % yang mengalami EDH.14 Tidak semuanya EDH mendapatkan terapi
operatif, misalnya EDH dengan volume perdarahan kurang dari 30 ml, ketebalan kurang
dari 15 mm, bergeser dari tulang tengah hanya sekitar 5 mm, GCS lebih dari 8, dan tidak
ditemukan defisit neurologis.15 Oleh sebab itu pada pasien ini tidak disarankan terapi
operatif terhadap EDH-nya. Selain itu fraktur daerah temporal beresiko pneumoencepali.6
Pneumoencepali dapat terjadi kurang dari tujuh hari atau lebih dari tujuh hari. 6 dua
mekanisme yang menjelaskan terjadinya pneumoencepali, yaitu efek bola katub dan efek
inverted soda botle.6 Manifestasi klinisnya bisa berupa nyeri kepala, mual, muntah,
iritabilitas, pusing dan kejang.6 Tanda klinis yang umum dijumpai adalah rhinorrhea dan
pada pemeriksaan funduskopi adanya edema papil.6 Pada pasien dijumpai klinis tersebut.
Diagnosis pneumoencepali ditegakkan dari radiografi, namun dengan CT Scan yang sangat
sensitif, hanya dengan 0,5 cc udara, pneumoencepali dapat terlihat.6 Yaitu tampak gambaran
gunung Fuji. Namun tidak selalu muncul klinis tersebut.6
Diagnosis kasus ini ditegakkan berdasarkan klinis pasien, seperti ditemukannya
otorea, rhinorea, muntah darah, opthalmoplegia, hematoma palpebra, ptosis, penurunan
visus, pupil anisokor serta pada CT Scan didapatkan adanya pneumoencepali pada
temporal.

Pemberian antibiotik ditujukan untuk pengobatan terhadap infeksi dan profilaksis.


Pada kondisi cedera kepala terbuka, adanya laserasi dapat menjadi sumber infeksi
intrakranial. Sehingga untuk mengatasinya diberikan antibotik yang sesuai dengan dugaan
emfiris kuman penyebab. Salah satunya dengan pemberian ceftriaxon (sefalosporin
generasi 3), yang memiliki penetrasi yang baik ke dalam CSS, dan untuk gram negative.
Dosis 2 x 2 gr diharapkan dapat menjadi profilaksis yang tepat.16

Beberapa penelitian menunjukkan kombinasi dekompresi nervus II dan kortikosteroid


dapat meningkatkan ketajaman penglihatan pada 62 % kasus.11 penggunaan kortikosteroid
untuk trauma neupatik optik masih kontroversi. Dilaporkan pemberian methilprednisolon
dengan dosis 20 mg setiap 6 jam IV selama dua hari, dapat meningkatkan visus. Penelitian
lain mengajurkan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, yaitu 30 mg/kg dalam 8
jam dari cedera, kemudian dilanjutkan dengan dosis 5,4 mg/kg selama 24 jam, dapat
meningkatkan fungsi mototrik dan sensorik. Dosis awal kortikosteroid adalah 100 mg
sampai 5400 mg per hari selama 6 hari.11 Pemberian kortrikostreoid tunggal tanpa
dekompresi, menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, sekitar 32 % dilaporakan
mengalami peningkatan ketajaman penglihatan dengan terapi kombinasi kortikostreoid
dan dekompresi nervus II dibandingkan dengan terapi kortikosteroid tunggal. 11 Terapi
operatif berupa dekompresi nervus II, menunjukkan perbaikan visus sekitar 40 % kasus. 11
Dengan dekompresi nervus II, kerusakan aksonal nervus dapat dikurangi. 11 Terapi
dekompresi sebaiknya dilakukan 48 jam setelah cedera atau hilangnya ketajaman
penglihatan.11 Pada pasien ini, disarankan untuk terapi operatif dekompresi nervus II,
namun pihak keluarga menolak. Sehingga pasien hanya mendapatkan terapi
medikamentosa berupa dexamethason selama 6 hari dari tanggal 7 September 2016 sampai
10 September 2016 dengan tapp of. Selain itu pasien juga mendapatkan metilprednisolon
dari tanggal 10 September 2016 sampai 14 September 2016.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pneumoencepali dapat reabsorpsi kembali


setelah 23 minggu.17 Dengan pemberian oksigenasi normobaric terus menerus 5L/menit
untuk 5 hari, terbukti dapat menurunkan volume udara dalam intrakranial dan
meningkatkan reabsorbsi nitrogen ke dalam aliran darah.18 Sehingga terdapat perbaikan
klinis. Jika ditemukan klinis seperti hipertensi intrakranial atau gangguan kesadaran, maka
terapi yang diberikan adalah dekompresi untuk mengurangi tekanan dan udara berlebih
pada parenkim otak.19 Komplikasi yang dapat terjadi selain tension pneumoencepali
adalah kebocoran cairan serebrospinal 9 % dan meningitis 1 %.20,21 Pada pasien sempat
disarankan untuk operasi, namun pihak keluarga menolak.

Prognosis ad vitam pasien ini adalah ad bonam. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tidak
didapatkan penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan intrakarnial selama masa
perawatan. Sedangkan untuk ad functionam pasien adalah dubia ad malam. Disebabkan
perbaikan untuk nervus II memerlukan waktu cukup lama, studi mengatakan pasien dapat
peningkatan ketajaman penglihatan sampai hitung jari pada jarak 2 kaki memerlukan
waktu 5 minggu.18 Sedangkan untuk pemulihan nervus III memerlukan waktu 6 minggu
sampai beberapa bulan.22 Untuk nervus IV, pemulihannya memerlukan waktu lebih dari
satu tahun.22 Selain itu, beberapa penelitian mengatakan bahwa trauma nervus optik, dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan yang bersifat permanen atau sementara.11 Dan
pengelolaan terhadap trauma neuropati optik masih kontroversi dan prognosisnya terhadap
ketajaman penglihatan tidak pasti.11 Prognosis ad sanationam pasien adalah in dubia, sebab
tidak dapat diprediksi kemungkinan tidak mengalami kecelakaan lagi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arifputera A, Calistania C, Klarisa C, etc. Trauma Kapitis. Dalam: Kapita Selekta


Kedokteran Essential of Medicine. Jakarta: MediaAesculapius.2014;p984-6.

2. Brain Injury. Ways the Brain is Injured. http://www.braininjury.com/injured.shtml.

3. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org

4. Sukraeny N, Songwathana P, Sae-Sia W, Quality of life among Traumatic Brain Injury


Survivors in Indonesia: A Preliminary Study. Songklanagarind Journal of Nursing.
Thailand. 2014:34;p119-28.

5. Thurman D, Alverson C, Dunn K, Guerrero J, Sniezek J. Traumatic brain injury in the


United States: a public health perspective. J Head Trauma Rehabil 1999;14(6):602-15

6. Loeng KM, Vijayananthan A, Sia F. Case Report. Pneumocephalus: An Uncommon


Finding in Trauma. Med J Malaysia 2008;63(3): 256-8.

7. Bathoe CHS. Trauma to the cranial nerves. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT),
Vol. 4, No. 2, 2007.

8. Coello AF, Canals AG, Gonzalez JM, Martin JJ. Cranial nerve injury after minor head
trauma. J Neurosurg. 2010 Sep;113(3):547-55. doi: 10.3171/2010.6.JNS091620.

9. Alvis-Miranda H, Alcala-Cerra G, Moscote-Salazar L. Traumatic Cerebri Contusion:


Pathobiology and Critical Aspects. Romanian Neurosurgery. 2013;125-37.

10. March R.A, Temporal Bone Fracture. 2015.


http://emedicine.medscape.com/article/857365-overview#a6.

11. Wohlrab T.M. Maas S. De Carpentier J.P. Surgical Decompression in Traumatic Optic
Neuropathy. Acta Ophtalmologica. 2002;80:p.287-93.

12. Chen, Pai, Wang, et al. Case Report. Isolated Oculomotor Nerve Palsy from Minor
Head 11. Kerby JD, Griffin RL, MacLennan P, Rue LW 3rd. Stress-induced
hyperglycemia, not diabetic hyperglycemia, is associated with higher mortality in
trauma. Ann Surg. 2012 Sep; 253(3):446-52. Doi:10.1097/SLA.0b013e3182654549.
available at http://www.ncbi.nih.gov/m/pubmed/22868366/Trauma. Br J Sport Med
2005;39(34): 1-2

13. Japardi I. Patologi dan Patofisiologi Cedera Kepala. Dalam: Cedera Kepala. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer. 2004.p.3 27.

14. Price D.D. Epidural Hematoma in Emergency Medicine. 2014.


http://emedicine.medscape.com/article/824029-overview#a4.

15. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, Gordon D, Harti R, Newell DW, Surgical
Management of Acute Epidural Hematomas. Neurosurgery. 2006.
http://emedicine.medscape.com/article/248840-treatment#d9.

16. Japardi I. Perawatan Penderita di Ruang Perawatan dan ICU. Dalam: Cedera Kepala.
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. 2004.p.79 85.

17. Karavelioglu E, Eser O, Haktanir A. Pneumoencephalus and pneumorrhachis after


Spinal Surgery: Case Report and Review of the Literature. Neural Med Chir
(Tokyo).2014.54:405-7

18. Paiva WS, de Andrade AF, Figueiredo EG, Amorim RL, Prudente M, Teixeira MJ.
Effects of Hyperbaric Oxygenation Therapy on Symptomatic Pneumocephalus. Ther
Clin Risk Manag.2014.10:769-73.

19. Romani R, Lehecka M, Gaal E, Toninell S, Celik O, Niemela M. Lateral Supraorbital


Approach Applied to Offactory Groove Meningiomas: Experience with 66
consecutive patients. Neurosurgery. 2009.65:39-52.

20. Pankaj G. Normobaric Oxygen Therapy Strategies in the Treatment of


Postcraniotomy Pneumocephalus. J Neurosurg. 2008. 108:926-9

21. National Hospital Discharge Survey (NHDS), 2010; National Ambulary Medical Care
Survey (NHAMCS), 2010; National Vital Statistics Systes (NVSS), 2010. All data
sources are maintained by the CDC National Center for Health Statistics.

22. Patel P, Kalyanaram S, Reginald J, etc. Post-Traumatic Cranial Nerve Injury. Indian
Journal Of Neurotrauma. 2005;2(1):27-32.

Anda mungkin juga menyukai