Skripsi
diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam
pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
oleh
Abdi Pujiasih
NIM 101032121603
Skripsi
diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam
pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
oleh
Abdi Pujiasih
NIM 101032121603
Di bawah bimbingan
Skripsi yang berjudul Pernikahan Beda Agama Menurut Islam dan Katolik telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Februari 2008. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Srata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama.
Sidang Munaqasyah
Anggota,
Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta, berkat petunjuk-Nya penulis
dapat menyelesaikan karya ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan semua manusia
di dunia. Selanjutnya, adalah suatu keharusan bagi setiap mahasiswa yang ingin
dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyusun
sebuah skripsi. Terkait hal tersebut, penulis telah menyelesaikan penulisan sebuah
DAN KATOLIK.
Dalam hemat penulis, tema pernikahan beda agama ini perlu diangkat
agama dan keyakinan yang ada dan berkembang di dunia. Persoalan ini tak jarang
antar-agama, meski tak jarang, dari sini, kemudian lahir sebuah hubungan yang
toleran, saling menghormati, dan harmonis antar-agama. Karena fakta yang terjadi
kini tidak lagi memungkinkan seseorang atau institusi, termasuk juga agama,
untuk abai terhadap kehadiran dan karenanya berinteraksi dengan yang lain, maka
pernikahan beda agama pun sudah selayaknya menjadi persoalan yang harus
secara bijak ditanggapi. Eksklusif dengan keberadaan agama dan umat lain dan
kesulitan dan hambatan yang kadang tidak begitu saja mudah diselesaikan.
Kendati demikian, berkat segenap dukungan dan motivasi dari berbagai pihak
skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, ucapan terimakasih yang tulus penulis
ucapkan kepada: Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin
Nurdin, MA, Dra. Hj. Ida Rosyidah, MA dan Bapak Maulana, M.A, sebagai ketua
dan sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang begitu tulus dan ikhlas untuk
kepada seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen
Jurusan Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama
yang selalu memberi sentuhan kasih sayang dalam perjalanan hidup dan semangat
yang membara dalam menyelesaikan tugas ini. Kepada Alvan Razky Hadiwinata,
the little container driver, aku persembahkan segenap cinta dan kasih sayang yang
kedua mertua, H. Hadiat Subawinata dan Hj. Dwi Sulasmimbar, karena kesabaran,
doa, kasih sayang dan motivasi yang begitu besar membuat saya mampu
menuntaskan tugas ini. Tak lupa anggota keluarga yang lain, Mami dan Hani,
adik-adikku, ka Abas, mbak Ratna, abang Maulvi dan Chika terima kasih atas
pinjaman rumah dan tamannya. Ka Syidqi dan mbak Lina terima kasih atas
pinjaman buku-bukunya. Terima kasih kepada Ayesha, Nayla, Azril dan Tante
Wini yang selalu setia menjadi teman anak kami. Secara khusus, penulis
Legoso, Ciputat. Tanpa bantuan mereka, saya mungkin tidak bisa menyelesaikan
atas kosannya. Didi yang selalu siap sedia untuk bantuan skripsinya, dan untuk
khususnya Olies dan Awad yang masih setia menemani penulis untuk
alam semesta akan membantumu . Dalam hal ini penulis percaya bahwa karya
penulis yang ada saat ini merupakan satu lompatan besar dalam rangka
ABDI PUJIASIH
DAFTAR IS I
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR IS I vi
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7
D. Metodologi Penelitian 8
E. Sistematika Penulisan 8
BAB V. PENUTUP 73
A. Kesimpulan 73
1. Landasan Pernikahan Beda Agama dalam Islam dan Katolik 73
2. Keterkaitan Pemahaman Keagamaan terhadap Fenomena
Pernikahan Beda Agama dan Hubungan Antaragama
di Indonesia 75
B. Saran 77
DAFTAR PUSTAKA 78
BAB I
PENDAHULUAN
agama, etnis, dan budaya. Fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara
yang dikenal dengan kekayaan budayanya di antara negara lain di dunia ini.
sosial yang menunjukkan bahwa Indonesia sendiri merupakan kesatuan dari multi
1
Dalam prakata buku Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, (Jakarta, Kapal Perempuan, 2004) hlm ii. Yanti Muchtar mengatakan bahwa
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural; dilihat dari sisi agama, suku, ras, dan
kelas, dan lain-lain. Ruang interaksi lintas golongan sangat terbuka lebar.
Indonesia tentang sebuah fenomena sosial keagamaan. Untuk mencontohkan
betapa perbedaan seperti itu kerap terjadi di Indonesia ambil contoh peristiwa
Isu pernikahan beda agama juga merupakan isu yang sensitif jika kita
agama Katolik di Indoenesia, pernikahan beda agama merupakan sebuah hal yang
sama sensitifnya dengan agama Islam. Setidaknya dua agama besar ini melihat
bahwa pernikahan beda agama justru merupakan hal yang tidak mungkin
demikian, dalam agama Katolik pernikahan yang dilakukan tetaplah sah jika
pasangan yang berbeda agama tersebut menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan
yang cukup kompleks dalam isu pernikahan. Dalam sejarah pernikahan beda
agama, pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tunduk pada hukum yang
secara khusus sejak zaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan.2 Namun sejak
2
Maria Ulfa dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama,
Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 92
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Asas ini
maka akan dianggap oleh negara sebagai pernikahan yang tidak sah. Selama ini
pernikahan beda agama sudah banyak terjadi di Indonesia, tetapi dalam hal ini
sampai detik ini pernikahan beda agama masih terus berlangsung. Dan dari sekian
banyak pelaku pernikahan beda agama pun masih belum jelas tercatat dalam arsip
pemerintah.
Islam, senantiasa dimaknai dan dipahami secara berbeda oleh para penganutnya.
Hal itu merupakan konsekuensi logis dari kandungan kitab suci Al-Quran yang
lebih banyak memuat gambaran umum dari satu persoalan, dan oleh karenanya
selalu ada peluang untuk ditafsirkan, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kondisi
dan situasi saat ini yang jelas berbeda dengan kondisi masa lalu. Beragam
digali untuk kemudian mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah ditemukan
Oleh karena itu, pernikahan beda agama dalam Islam menjadi sesuatu
3
H. Ichtiyanto, SA, SH, APU, Pernikahan Campuran dalam Negara Republk Indonesia,
(Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,2003), h.81
sebagian lagi ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai ayat yang membolehkan
pernikahan beda agama. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam upaya
beda agama, adalah konteks pada saat ayat itu diturunkan. Dengan melihat
Maka, dalam hemat penulis, ayat yang melarang pernikahan beda agama
merupakan bentuk larangan untuk umat pada saat itu. Terbukti ketika konteksnya
secara tegas memperbolehkan terjadinya pernikahan beda agama meski, pada saat
itu, terbatas hanya pernikahan antara kaum Muslim dengan Ahl al-Kitab.
Konteks yang terjadi dan dapat dilihat pada masa kini, berbeda hampir 180
derajat dengan konteks baik ketika al-Quran melarang pernikahan beda agama
manusia begitu plural, tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bergaul dan
berinteraksi dengan yang lain. Hubungan dan, bahkan, pernikahan dengan umat
dari agama lain pun, kini, tak terelakkan lagi. Pendapat seperti ini sudah
diutarakan oleh banyak ulama dan pemikir Islam kontemporer sebagaimana akan
Sedangkan bagi umat Katolik sendiri pernikahan beda agama adalah salah
satu halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan. Apabila
pernikahan beda agama ini masih tetap dilaksanakan harus terlebih dahulu
4
Lihat Kanon 1086 pasal 2
pernikahan ini tidak ada keharusan bagi pihak yang bukan Katolik untuk ikut
pernikahan beda agama. Hal itu sebagaimana terlihat pada beberapa ayat di dalam
kitab Perjanjian Lama seperti Kejadian 6:5-6 dan Ulangan 7:3-4. Pelarangan
pernikahan beda agama juga terrekam dalam kitab Perjanjian Baru seperti pada
pernikahan beda agama baru muncul pada Hukum Kanonik, hukum turunan dari
Kitab Suci yang berbasis pada realitas. Meski pasangan yang akan menikah beda
agama terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan tertentu, dua ayat dalam
pernikahan beda agama dalam Katolik. Dua ayat tersebut adalah Hukum Kanon
Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan, dan itu tidak akan menjadi
suatu masalah selama kita bisa menyikapinya dengan arif dan bijaksana, salah
menghargai kepada sesama pemeluk agama. Dan kita tidak sepatutnya untuk
memaksakan suatu agama kepada orang lain karena pada dasarnya semua agama
Demi kepentingan kajian ini, penulis akan membahas lebih jauh mengenai
pernikahan beda agama dari perspektif agama Islam dan dari agama Kristen
5
Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, (Bandung:Penerbit Kalam
Hidup Pusat, 1987), h.53
Katolik. Kedua agama ini merupakan agama yang cukup menarik karena kedua
agama ini cukup banyak membahas tentang pernikahan beda agama, baik itu dari
perspektif yang melarang pernikahan beda agama sampai dengan perspektif yang
yang tak terbantahkan, sehingga pernikahan seperti ini merupakan hal yang wajar
terjadi di Negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai macam suku
dan agama .
studi mendalam terhadap pandangan agama Islam dan Kristen Katolik dalam
melihat pernikahan beda agama. Studi ini akan ditulis dengan judul:
Diharapkan dengan adanya studi mengenai pernikahan beda agama ini penulis
bisa memberikan kontribusi penting baik bagi studi agama yang telah dilakukan
dan dialami oleh setiap umat dari semua agama dalam konteks kehidupan kini
yang plural, multietnis, multi bahasa, budaya, dan lain sebagainya. Maka,
pernikahan beda agama merupakan sebuah tema yang sungguh memiliki cakupan
sangat luas. Karena keluasan wilayah itu, tanpa ada kepentingan lain, kecuali
dan Katolik.
Dalam rangka memperoleh dan coba masuk pada pembahasan yang lebih
sistematis dan logis, penulis perlu membuat beberapa rumusan masalah sebagai
patokan dan focus bahasan pada bab-bab dan paparan-paparan selanjutnya. Untuk
1. Apa sesungguhnya yang menjadi landasan utama dalam agama Islam dan
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dalam rangka pemenuhan syarat-
syarat dan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1). Adapun
yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan analisis
agama Islam dan Kristen Katolik. Adapun manfaat penelitian ini adalah
Jakarta.
D. Metodologi Penelitian
Sebagai sebuah karya ilmiah, ulasan dan isi karya ini merujuk pada dan
kumpulan temuan literatur, maka data yang akan digunakan sekaligus penelitian
ini juga bisa disebut dengan penelitian pustaka. Secara lebih tegas, penelitian
dokumen yang memiliki kaitan erat, baik secara substansial maupun sekadar
dengan pendekatan komparatif antara satu informasi dengan informasi lainnya dan
diharapkan dapat tercipta proposisi kalimat yang kuat dan bertanggung jawab
tidak hanya secara teks, tetapi juga konteks. Sehingga penarikan kesimpulan dan
tesis yang dibuat oleh penulis memiliki kesesuaian dan ketepatan yang memadai.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini sendiri akan terbagi ke dalam lima bab. Secara
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II mencakup pengertian dari pernikahan beda agama. Bagaimana
adalah uraian pada sub bab pertama. Selanjutnya bab ini juga akan membahas
Bab III membahas pernikahan beda agama dalam pandangan agama Islam
dan Katolik berdasarkan sumber hukum yang ada pada masing-masing agama.
Apa saja yang menjadi hambatan dan memungkinkan terjadinya atau bahkan
sahnya pernikahan beda agama adalah poin penting yang juga dibahas pada bab
ini.
utamanya.
melihat pandangan kedua agama (Islam dan Katolik) tentang pernikahan beda
agama. Tak lupa penulis juga mengajukan saran yang secara khusus berkaitan
dengan fenomena dan penafsiran teks keagamaan tentang pernikahan beda agama.
BAB II
agama, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari pernikahan itu
yang dimaksud dengan pernikahan. Penulis menjadikan definisi itu juga untuk
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan ketuhanan yang
maha Esa.6
mulia. Dari situ, idealitas kehidupan sepasang laki-laki dan perempuan guna
memperoleh kesejahteraan dan keutuhan hidup berada pada tempat yang utama.
Undang-Undang tersebut tidak hanya melihat pernikahan dari sisi lahir, tetapi
sekaligus ikatan kebatinan antara suami istri dalam membina keluarga yang
Dalam Islam, salah satu tanda dari kekuasaan Allah adalah penyatuan
sepasang laki-laki dan perempuan. Penyatuan tersebut didasari oleh rasa kasih
6
Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading Co
Medan, ), h. 237
Islam, pernikahan tidak hanya menjadi peristiwa sosial yang murni manusiawi,
oleh Allah. Allah menganjurkan seorang laki-laki dan perempuan yang telah
dewasa dan mapan serta siap menjalin hubungan dengan manusia yang nota bene
lain, baik dari jenis kelamin maupun keturunan darah, untuk melakukan
pernikahan. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan Malik bin Anas
dikenakan pada perbuatan menikah dalam skala besar, tetapi juga pada praktek
yang lebih spesifik di dalamnya, yakni dalam rangka menambah dan melanjutkan
keturunan. Pada kasus ini Islam memerintahkan untuk senantiasa mengingat dan
Tugas suci tersebut hanya bisa diemban jika manusia memiliki cinta kasih
biasanya diatur oleh aturan-aturan agama. Mulai dari persyaratan, tata cara, dan
segala tetek bengek-nya. Karena itulah, pada lazimnya, pernikahan dilakukan oleh
dari agama yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan
pernikahan beda agama. Bisa jadi, orang Islam, baik pria maupun wanita, akan
menikah dengan orang yang non-Islam seperti Katolik, Protestan, Budha, Hindu,
Karena, semua agama tampak ingin melindungi para penganutnya dari pengaruh
yang ditebarkan oleh agama lain. Di samping itu, pernikahan beda agama
Titik perdebatan tersebut juga merambah hingga hal yang paling mendasar
yaitu persoalan penafsiran terhadap teks-teks suci, baik al-Quran dari pihak Islam
Ada banyak pro dan kontra mengenai persoalan penafsiran teks suci ini.
Pihak yang tidak menyetujui pernikahan beda agama biasanya menggunakan pola
teks suci diturunkan tanpa memandang realitas sosial yang terjadi di masa itu.
cenderung menafsirkan teks suci atau teks keagamaan dengan pendekatan yang
lebih bersifat kontekstual. Mereka memandang bahwa teks adalah produk budaya,
yang tak lepas dari interaksi dengan kondisi sosial pada masa ayat tersebut
diturunkan. Artinya, teks suci selalu berdialektika dengan kondisi sosial pada saat
Oleh karena itu, dalam menyarikan maksud dari teks suci, para penafsir
diturunkan. Artinya, harus ditelaah pula kondisi sosial budaya yang berlangsung
pada saat ayat tersebut diturunkan, untuk diterjemahkan dalam konteks kekinian.
Perlu juga untuk menerjemahkan konteks tersebut dalam bingkai ruang, artinya
bahwa teks tersebut diturunkan di suatu tempat tertentu yang notabene memiliki
yang berkait dengan statusnya dalam wilayah hukum Indonesia. Hingga saat ini,
belum ada hukum yang mengatur mengenai pernikahan beda agama. Dalam UU
Akan tetapi, yang dimaksud dengan perkawinan campur dalam undang-undang ini
adalah perkawinan (pernikahan) antara dua orang yang tinggal di Indonesia dan
7
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, ( Serang: Percetakan Saudara, 1995), h. 35
merupakan pernikahan antara dua orang yang berbeda agama, melainkan
yang secara substansial dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang memiliki
sebagai Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing
dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
yang lebih ringkas dapat ditemukan dalam pedoman pegawai pencatat nikah.
pernikahan yang terjadi di Indonesia antara dua orang yang menganut agama yang
berbeda.9
yaitu pernikahan antara seorang baptis Katolik dengan pasangan yang bukan
Katolik (bisa dibaptis oleh gereja lain, atau sama sekali tidak dibaptis). Dan,
8
Eoh O.S., Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996) cet 1, h 35
9
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk),
(Bandung: Al-Bayan, 1994) cet 1, h
karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih
yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda keyakinan atau agama, mereka
keyakinan mereka masing-masing dan mereka tetap taat kepada agama yang
mereka anut.
158). Akan tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 66 UU, peraturan Staatsblad
yang tinggal di Indonesia namun tunduk pada hukum yang berlainan.11 Menurut
UU di atas setiap pernikahan di antara orang-orang yang berada dan tunduk pada
UU Staatsblad tahun 1898 No. 158 ingin mengatakan bahwa perbedaan golongan
penduduk baik warga asing atau bukan warga asing, perbedaan hukum adat dan
10
Romo Antunius Dwi Joko, Kawin Campur, artikel diakses pada 10 september 2007 dari
WWW.Yesaya. Indocell. Net.
11
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan nasional, h. 238
melangsungkan pernikahan campuran. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan
berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU ini tidak dibahas secara
kepercayaannya itu. Pasal inilah yang selalu menjadi rujukan soal pernikahan
pemberlakuan pasal itu sendiri sebelumnya melalui pro-kontra yang tidak pendek.
internal DPR, sebagai pemutus UU, maupun dari masyarakat. Sebagai bentuk
pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraan, bukan
berbeda agama.
pengantin. Yang dimaksud di sini bahwa pernikahan itu akan sah apabila
12
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, h. 36
pengantin dapat memeluk agama dan kepercayaan yang sama, jika yang terjadi
agama. Di sisi lain, pernyataan seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan prinsip
yang terdapat pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sebagai konstitusi dasar,
pasal 29 ayat 2 yang secara tegas menyatakan adanya kebebasan beragama bagi
diajukan oleh pemerintah kepada DPR, semula memuat pasal 11 ayat 2 yang
pernikahan. Tetapi, karena satu dan lain hal yang tidak penulis ketahui, akhirnya
ketentuan dalam rancangan UU itu tidak dimasukkan sebagai salah satu pasalnya.
terlihat pada pasal 2 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan
13
Ichtiyanto, SA, SH, APU, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia,
(Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003) h. 85
14
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Serang:Penerbit Saudara, 1995), h. 37
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
cenderung menolak pernikahan beda agama, maka dengan demikian pasal ini
berbeda agama yang ingin melangsungkan pernikahan, maka yang sering terjadi
bisa juga dikatakan bahwa, pelarangan atas pernikahan beda agama sama juga
yang terpaksa dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukannya, juga bisa
memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak manusia yang paling asasi.
Setiap orang berhak memeluk agama yang dianutnya tanpa ada paksaan. Hal ini
termaktub dalam piagam HAM yang sudah diratifiaksi dalam TAP MPR no XVII
15
Undang-Undang No : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara 1974/1; TLN
NO. 3019
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu16
berpindah agama dengan memeluk agama yang dianut oleh pasangannya, hanya
untuk mengelabui hukum dan aturan tertulis. Hal ini merupakan konsekuensi
lebih parah dari adanya pelarangan atas pernikahan beda agama. Tindakan
Upaya lain yang sering dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukan
pernikahan beda agama adalah melakukan pernikahan di luar negeri. Hal ini
membebani ongkos yang tidak sedikit, pernikahan di luar negeri juga menyisakan
Bila pasangan yang ingin melakukan pernikahan beda agama ini merasa
repot dengan segala aturan yang ada, sementara mereka tidak ingin berpindah
Dari segala paparan diatas, maka akan tampak bahwa setiap upaya untuk
16
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII
/MPR/1998.
sebenarnya bertentangan dengan tujuan pernikahan yang diatur dalam UU itu
diberikan jalan yang lebih mudah, demi terciptanya tatanan sosial yang lebih baik.
Pemerintah harus lebih tegas karena pernikahan beda agama akan terus
agama, dengan tidak melebihkan satu agama atas agama lainnya. Pemerintah
di muka hukum untuk semua warga negara dari semua agama. Sekali lagi,
modernitas dan perkembangan interaksi yang terjadi di Indonesia sudah tidak bisa
Lebih dari itu, pelaranganan terhadap pernikahan beda agama hanya akan
memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang tua sah menurut hukum.
Yang dari sini kemudian menimbulkan masalah baru seperti tidak terjaminnya hak
atas pemeliharan dan warisan. Lebih parah lagi, anak hasil pernikahan beda agama
kebetulan orang tuanya menikah dengan pasangan yang seagama. Hampir dapat
disimpulkan kalau anak hasil pernikahan beda agama adalah anak yang tidak jelas
disebut pada Pasal 60 undang-undang tahun 1974 No. 1 ayat 3 dan 4):
ada aksaan dari warga Indonesia untuk memeluk suatu agama tertentu.
atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Dan sama sekali tidak
1986 No. 102, menurut pasal 2 ayat 2 PP No. 9/1975, pencatatan mereka
yang tertera diatas tidak banyak kita dapati di Indonesia mungkin hanya sebagian
kecil saja. Hanya beberapa lembaga yang memberi kemudahan bagi pasangan
alat Negara untuk memberi solusi semacam pernikahan beda agama malah tidak
Dari situ, tak aneh kalau kemudian orang-orang yang ingin melaksanakan
17
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1996), h. 289
mendapatkan keabsahan pernikahan mereka. Di sini jelas bahwa negara kita tidak
mampu untuk melindungi warga negaranya sendiri, malah negara lain yang
Indonesia belum dapat menjamin sepenuhnya hak-hak warga negaranya. Pada titik
di negara lain seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah lebih mempunyai
Islam terlahir tidak pada ruang yang kosong. Ia terlahir pada sebuah
Islam merespon dari masalah ketuhanan, politik, hukum, hubungan antar makhluk
hidup, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Islam tentunya merespon hubungan
Respon Islam atas konteks sosial yang terjadi pada saat itu terrangkum
dalam kitab suci al Quran. Al-Quran, meski menjadi pembeda antara Islam
yang paling kentara misalnya pesan yang mengatakan bahwa semua agama
menyerukan umatnya untuk menyembah Allah yang Esa dan selalu melakukan
bervariasi ketika sudah berhadapan dengan realitas sosial. Selalu terdapat dua
dimensi das sein dan das solen, dimensi historisitas dan normativitas. Kedua
dimensi tersebut tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Maka wilayah das solen ajaran agama Islam menyatu
Pergumulan das sein dan das solen sudah dimulai sejak permulaan sejarah
kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah naif kalau hanya memokuskan
diri pada wilayah das solen seraya abai terhadap wilayah das sein. Karena, sekali
lagi, teks-teks al-Quran sebagai wahyu Allah sendiri tidak berbicara pada ruang
akan menghilangkan keutuhan makna al Quran dan cenderung terjebak pada aspek
yang umumnya dijadikan pegangan oleh para ulama adalah surat al-Baqarah: 221
!
"$% &'(")*
+',-
"." &/01 !
2" 3'."
/ /45
6(78$9
:
; (<=
$
"$% >/3;
!
"." &/01 !
2" 3@."
/ /45
(78$9
3BCDE9
(F$$>(% GHIJ KL
MN O$$>(% GHIJ
'L-8 ,(0
P
R
STUV <2=(3$%
R
6(%5 LL-X
/4YCX;
(F$0Z[(6(% \]]^_
18
M. Amin Abdullah, Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam, Ulumul Quran,
No. 4, IV, (1993), h. 17
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (al-Baqarah: 221)
orang muslim tidak menikahi perempuan musyrik, begitu juga sebaliknya. Istilah
oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, dengan tegas berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan Musyrik adalah Musyrik Arab pada konteks saat itu yang sangat
perempuan musyrik juga memuat anjuran menikahi budak, karena dengan jalan
menikahinya, maka si budak dan anak-anaknya akan menjadi merdeka. Pada sisi
lain, surat al-Baqarah: 221 di atas turun dengan kondisi masyarakat Madinah yang
cukup homogen. Umat Islam pada saat itu masih sangat sedikit, ditambah kondisi
kebencian dan peperangan antara kaum Musyrik dengan umat Islam yang
19
Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran:
Sebuah kerangka konseptual, (Bandung: Mizan, 1992), h. 73.
20
Dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada Tafsir al-Manar,
Jilid VI, (Beirut: Dar al-Marifah, t.t), Nurchalish Madjid dkk. menguatkannya dengan
kontekstualisasi aspek keindonesiaan di sana-sini, sebagaimana terrekam pada tulisan mereka
dalam Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina dan
The Asia Foundation, 2004), h. 160.
Selain Surat al-Baqarah sebagaimana disebutkan di atas, ayat lain yang
seringkali dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama adalah surat al-
Hudaibiyah yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan kaum musyrik Quraisy
pada tahun 628 M. Salah satu butir kesepakatan yang dilahirkan pada perjanjian
ini berisi bahwa apabila ada orang dari pihak Quraisy datang kepada Muhammad
atau melarikan diri dari mereka tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan
kepada pihak Quraisy. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang datang
kepada pihak Quraisy, melarikan diri dari dia, maka tidak akan dikembalikan pada
Muhammad.
Abu Jandal, anak dari Suhail bin Amr datang kepada Nabi dan mengutarakan
hal ini, dia marah besar kemudian memukuli anaknya, direnggut kerah bajunya
untuk dikembalikan kepada kaum Musyrik Quraisy. Saat itu, Abu Jandal berteriak
dengan keras, wahai kaum Muslim, apakah aku dikembalikan kepada orang-
jalan keluar kepadamu dan kepada orang-orang yang lemah yang bersamaan.
Kami telah mengikat perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan kita tidak
berhijrah ke Madinah, Ummu Khultsum binti Uqba bin Muait keluar dari
Mekkah. Saudaranya, Umara bin Walid, kemudian menuntut kepada Nabi supaya
wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian. Tetapi Nabi
mencakup kaum perempuan. Disamping itu, perempuan yang sudah masuk Islam
tidak sah lagi bagi suaminya yang masih kafir Musyrik, oleh karena itu mereka
Dari latar belakang turunnya ayat yang telah dipaparkan di atas, jelaslah
mengemukakan bahwa kafir yang dimaksud dalam ayat ini adalah kafir
Musyrik Quraisy. Artinya yang haram untuk dinikahi oleh kaum muslim (laki-laki
Dari pemaparan kedua ayat beserta konteks sosial historisnya di atas, dapat
disimpulkan bahwa umat Islam dilarang menikah dengan orang Musyrik. Karena
memerangi Islam. Ayat inilah yang dipahami dan disimpulkan sebagian besar
umat Islam sebagai ayat yang melarang pernikahan antara orang Muslim dengan
non-Muslim.
dari perdebatan tentang Ahl al-Kitab. Perdebatan perihal ini sendiri berpangkal
pada perbedaan penafsiran ayat al-Quran yang berisi tentang kebolehan kaum
21
Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan Beda
Agama, Oktober 2003, h.14
Muslim laki-laki untuk menikahi perempuan Ahl al-Kitab dan tidak sebaliknya
$45
Lq
E9 (/[
$; d(7[Z
xX(6
;E9 (<b
cZN
qq
/45
$"; /V5
Z qq
1!
" d,-xySj /4rsf
,-
"
1!
" d,-xySj
xX(6
;E9 (<b
cZN
NTJ /45
X/7c !
"
!;iK$oE9 !;inv5
: (<=
Pxw$" /0+ (<=
- y(;
!("
F>*9 =h[
6$"
>Jj \!%V /0dP
(%
G< ;i $9E($ 7
1!% % 1!
" ,(0 1n
\_
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (al-Maidah/5:5)
kehalalan pernikahan beda agama pada ayat tersebut telah dihapus oleh ayat-ayat
bahwa pernikahan antara Muslim dan non-Muslim adalah terlarang, adalah haram.
Namun, sebelum ke penyimpulan itu, ada baiknya ditelusuri terlebih dahulu
perdebatan lebih rinci tentang konsep Ahl al-Kitab yang berkembang di dalam
dunia Islam.
dan Hambali sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara kaum Muslim dan
kaum Musyrik. Perbedaan pendapat baru terjadi untuk pernikahan antara laki-laki
pernikahan yang melibatkan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl al-Kitab
adalah haram. Mereka yang menyatakan demikian berargumen bahwa Ahl al-
Selain itu, kelompok pertama ini juga berargumen bahwa surat al Maidah:
telah dinasakh (dihapus) oleh surat al-Baqarah: 221.22 Yang termasuk ke dalam
kelompok ini antara lain Abdullah ibn Umar dan al-Thabarsi. Abdullah ibn Umar
menegaskan bahwa: Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari
kemusyrikan orang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah satu
Tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan adalah umat Nashrani dan
22
Quraisy Shihab, Wawasan al Quran, h. 196.
23
Lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan al Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 15.
Dilihat dari konteksnya, pada saat itu memang terdapat beberapa tokoh
Islam yang menikahi perempuan Yahudi dan Kristen, seperti yang dilakukan oleh
kekhawatiran jika pada suatu saat para sahabat tersebut membelot dan masuk
pada saat itu sedang membutuhkan jumlah pengikut yang banyak dan loyal.
yang dimaksud perempuan Ahl al-Kitab yang halal dinikahi oleh laki-laki Muslim
dalam surat al-Maidah: 5 adalah perempuan Ahl al-Kitab yang sudah masuk Islam
saat ini dalam menyikapi masalah pernikahan beda agama. Pandangan ini pula
melalui UU Perkawinan No. I Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pernikahan beda agama di Indonesia sama sekali tidak mendapat tempat karena
24
Muhammad Galib. M, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina,
1998), h. 167.
Kelompok kedua adalah yang memperbolehkan pernikahan antara laki-laki
Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab. Kelompok ini berpendapat bahwa surat
dengan perempuan Ahl al-Kitab. Ayat madaniyah itu sekaligus merupakan ayat
dinyatakan Nabi: Surat al-Maidah adalah surat dari al-Quran yang terakhir
turunnya. Maka halalkanlah apa yang dihalalkan dan haramkanlah apa yang
diharamkan.25
bahwa tidaklah benar jika surat al-Baqarah: 221 dan surat al-Mumtahanah: 60
telah me-nasakh surat al Maidah: 5, karena dua ayat yang melarang pernikahan
terlebih dahulu. Sebagaimana ditegaskan dalam kaidah fiqih bahwa jika terdapat
dua ayat yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, maka ambillah
ayat yang lebih akhir diturunkan. Selain itu, kelompok ini membedakan secara
tegas antara non-Muslim dengan Musyrik berdasarkan alasan bahwa dalam al-
Quran sendiri terdapat sejumlah ayat yang membedakan antara Ahl al-Kitab
25
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam (Jakarta: Khoerul
Bayan, 2003), h. 65
_qP ;T MN
\^h_ h~
d;
Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Quran memakai kata
penghubung dan (waw) di tengah kata kafir Ahl al-Kitab dan kafir Musyrik. Ini
menandakan bahwa kedua kata tersebut (Ahl al-Kitab dan Musyrik), mempunyai
arti dan makna yang berbeda.26 Abu Jafar ibn Jarir al-Thabari dalam Jami al-
bukan Ahl al-Kitab. Musyrik dalam surat al-Baqarah: 221 bukanlah Kristen dan
Yahudi melainkan orang-orang Musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci.
kelompok yang terdapat dalam masyarakat Arab dan sering disebut sebagai
26
Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan
AntarAgama, Oktober 2003, h. 3.
27
Dalam masyarakat Arab terdapat tiga kelompok yang sering disebut sebagai kelompok
lain (al-Akhar) yakni Musyrik, Yahudi dan Kristen. Musyrik adalah mereka yang menempati
Namun demikian, Para ulama yang memperbolehkan pernikahan laki-laki
Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab pun masih berselisih paham tentang siapa
sebetulnya yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab dalam ayat tersebut. Apakah
terbatas hanya untuk umat Yahudi dan Nashrani atau bisa dilekatkan juga untuk
umat-umat dari agama lain? Maliki, Syafii dan Hambali hanya memasukkan
umat Kristen dan Yahudi ke dalam kategori Ahl al-Kitab. Sementara Hanafi tidak
hanya Kristen dan Yahudi melainkan juga kaum Majusi dan Shabiin. Mahmud
posisinya sebagai suami memiliki hak untuk mendidik keluarganya: istri dan
terutama di hati istri. Namun jika hal itu tidak bisa diwujudkan maka perkawinan
beda agama dengan syarat suami bisa menarik istri dan anak-anaknya untuk
Kitab, meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam al-Quran, para ulama
posisi penting dalam masyarakat yang berpusat di Mekkah. Mereka mempunyai patung yang
paling besar, Hibal yang menghadap ke Kabah dan dikelilingi oleh 360 patung-patung kecil.
Sedangkan Kristen merupakan kekuatan yang sangat besar di kawasan Arab. Mereka adalah
sekelompok Kristen Syam yang lari dari kezaliman Romawi dan kemudian menempati puncak
gunung serta bukit melalui para pedagang Afrika. Kedatangan orang-orang Kristen tersebut
menyebabkan banyak diantara kabilah Arab yang memeluk Kristen, antara lain: kabilah Ghassan,
Taghallub, Tanukh, Lakhm, Kharam dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan Yahudi adalah
mereka yang juga lari dari kediktatoran Romawi dan Persia yang berpusat di Madinah. Jumlah
mereka hampir dari separuh penduduk Madinah, antara lain: keturunan Qainaqa, Nadhir dan
Quraidzah. Komposisi masyarakat seperti ini menunjukkan bahwa ada distingsi yang jelas antara
kaum musyrik, Kristen dan Yahudi. Uraian selengkapnya lihat, Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih
Lintas Agama, h. 163.
28
Linda Hindasyah, Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Pelaku, (Jakarta: PPIM
UIN Jakarta, 2003), h. 27.
melarangnya dengan alasan bahwa perempuan dikhawatirkan akan terpengaruh
oleh agama suaminya. Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa meskipun hal
itu tidak dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, dalam prakteknya mayoritas
susah jika tinggal dalam keluarga non-Muslim, karena akan kehilangan hak yang
Muslim. Seorang istri akan mengikuti tradisi suaminya dan suami akan
diajukan karena pandangan seperti ini sangat bias jender, selalu menganggap
manusia yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan menentukan,
dalam Islam, itu diperparah lewat hadits Nabi yang kerap dijadikan dasar
pelarangan nikah beda agama yang berbunyi: Rasulullah SAW bersabda: Kami
menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh
Senada dengan itu, Khalifah Umar ibn al-Khattab dalam sebuah pesannya
berkata: Seorang Muslim boleh menikahi wanita Nashrani, akan tetapi laki-laki
29
Maulana Muhammad Ali, Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir (Jakarta: Darul
Kutub al-Islamiyah, 1993), h. 2.
30
Hadits di atas menurut Shudqi Jamil al-Aththar tidak shahih karena mawquf, sanadnya
terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafii dalam, al-Um. Lihat, Hindasyah,
Pernikahan Beda Agama, h. 28.
seringkali dipegang oleh kelompok ini sebagai penguat alasan dilarangnya
menurutnya, hanya bisa tercipta jika terdapat kesamaan diantara suami dan istri,
Alasan lainnya adalah bahwa dengan pernikahan beda agama dikhawatirkan akan
terjadi konversi (perpindahan) agama atau pemurtadan, terlebih jika yang dalam
kubu Islam kebetulan adalah pihak perempuan. Perempuan cenderung lebih lemah
dibandingkan laki-laki.
yang lemah, mudah goyah sehingga mudah tergoda untuk pindah memeluk agama
bahwa yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab tidak terbatas pada penganut agama
Yahudi, Nashrani, Majusi dan Shabiin, melainkan para penganut semua agama.
termasuk ahl al-kitab. Ahl al-Kitab dalam pengertian Rasyid Ridha adalah setiap
kaum yang memiliki kitab suci dan pernah didatangi seorang Nabi.31 Lebih jelas
diyakini, tidak seperti orang musyrik yang jelas tidak mempunyai acuan, sehingga
muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab ini juga berargumen bahwa pernikahan
beda agama sudah dilakukan sejak sejarah permulaan Islam. Nabi Muhammad
sendiri bahkan pernah menikah dengan Sofia yang beragama Yahudi dan Maria
dengan perempuan Yahudi di Damaskus. Pada saat itu, tidak pernah dipersoalkan
apakah kemudian pasangan mereka itu masuk Islam atau tidak, artinya bebas.33
Lebih jauh dari itu, kelompok kedua ini juga berpendapat bahwa konteks
masyarakat yang sangat plural seperti sekarang ini, perbedaan agama tidak bisa
dengan musyrik, kemudian membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahl al-Kitab,
merupakan tahapan pembebasan yang evolutif. Penganut agama lain tidak lagi
31
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, h. 193.
32
Nuryamin Aini, Fakta Empiris Nikah Beda Agama, wawancara diakses tanggal 22 Juni
2003, dari http://www.islamlib.com.
33
Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Penafsiran Baru, h. 7.
dianggap sebagai kelas dua (second class), bukan pula Ahl al-Dzimmah,
melainkan sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.34
selama ini terjadi diantara umat beragama, khususnya Islam dan Kristen, maka
pernikahan beda agama bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya
pernikahan, yakni bukan hanya untuk membangun tali kasih sayang yang terdapat
dalam ikatan keluarga, melainkan juga relasi yang seimbang antara dua keyakinan
pernikahan beda agama justru bisa dijadikan wahana tidak hanya untuk merajut
kebahagiaan dua insan yang saling berbeda keyakinan, namun juga untuk
kejadian menyatakan bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.
dilakukan oleh umat yang seagama, melainkan berbeda agama. Dalam pernikahan
34
Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama, h. 165.
model demikian, gereja Katolik memandang bahwa pernikahan antara seseorang
yang beragama Katolik dengan yang bukan Katolik bukanlah bentuk pernikahan
yang ideal. Pasalnya, sekali lagi, pernikahan, dalam pandangan Katolik, dianggap
Dua kitab suci yang dijadikan pegangan hukum umat Katolik, Kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tak pelak membahas permasalahan seputar
kedua sumber pokok ini, sebagai pelengkap dari kedua sumber hukum utama,
Katolik juga mempunyai sumber lain yakni Hukum Kanonik yang lebih
lebih bersifat praktis. Berikutnya akan disajikan secara lebih lengkap mengenai
ulasan atau pandangan tentang pernikahan beda agama, menurut agama Katolik,
Pada Kitab kejadian, kitab yang menyoroti kehidupan bapak leluhur Israel,
dapat ditemukan beberapa kasus perkawinan beda agama. Beberapa bagian dalam
kitab tersebut yang memberi informasi berkenaan dengan kasus pernikahan beda
agama adalah:
35
Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (Ed.), Pernikahan Beda Agama,; Kesaksian,
Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (Jakarta: Komnas HAM dan ICRP, 2005), h. 207.
Allah. Hal ini nyata direspon oleh Tuhan ketika melihat perkembangan yang
terjadi antara anak-anak manusia pada waktu itu. Tidak dikehendaki artinya
terlarang, atau haram dalam bahasa Islam. Terlarangnya pernikahan seperti ini
Ketika Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia paling besar di bumi dan
menyesallah Tuhan bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi dan hal itu
Di sini dapat dikatakan bahwa betapa besar kejahatan yang dilakukan oleh
manusia, kejahatan manusia itu tidak pernah berubah sampai saat ini. Salah satu
bentuk kejahatan yang dimaksud yaitu pernikahan beda agama. Istilah menyesal
dalam ayat ini menunjukkan bahwa akibat dosa umat manusia yang menyedihkan
itu, sikap allah terhadap manusia berubah yaitu sikap kemurahan hati dan sabar
Pelarangan pernikahan beda agama di sini berlaku untuk agama selain agamanya
bangsa Israel tanpa terkecuali. Hubungan pernikahan beda agama pada akhirnya
dimaksud ayat ini yaitu bahwa permasalahan seperti pernikahan beda agama dari
umat Allah dengan orang yang tidak percaya hanya akan mengakibatkan umat
36
Lihat dalam kitab Kejadian 24
37
Al-Kitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia, h.6
Allah akan berpaling dari agama, sehingga mereka akan beribadah selain kepada
Allah. Allah kecewa dan menghukum orang-orang yang kawin dengan bangsa
diluar Israel.
i. Korentus 6: 14 dan 7: 1
Ayat ini menjadi salah satu ayat yang berisi penolakan terhadap
pernikahan beda agama. Ayat ini berbunyi janganlah kamu merupakan pasangan
yang tidak seimbang dan orang-orang yang tidak percaya. Terlihat jelas bahwa
penolakan atau larangan melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, dari
tidak seimbang pada ayat di atas adalah suami istri yang tidak sama-sama
Katolik tidak kudus karena tidak terlebih dahulu dibaptis, maka bisa disebut
Suami istri (pernikahan) yang tidak seiman sudah menjadi fakta yang telah
terjadi sejak gereja awal. Pernikahan beda agama sudah terjadi dan dihadapi oleh
Paulus. Katolik tidak lahir sebagai agama tunggal di muka bumi. Maka sejak
dengan penganut dari agama dan keyakinan yang berbeda-beda (majemuk). Dari
kemungkinan terjadinya pernikahan beda agama menjadi tak bisa dihindari lagi.
38
Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, (Bandung:Kalam Hidup
Pusat,1987) h. 53
Menyadari bahwa melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup yang
berbeda agama adalah suatu hal yang tidak bijaksana, Paulus kemudian menulis:
Kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan
perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu
menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak
beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia
menceraikan laki-laki itu. (Kor 7: 12b-13).
dengan syarat pasangan tersebut dapat memenuhi beberapa persyaratan yakni mau
hidup bersama. Artinya, pasangan yang bukan beragama Katolik harus menerima
agama menjadi Kristiani. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari
Tuhan melainkan dari Paulus sendiri. Namun demikian Paulus meyakini bahwa
jika ikatan perkawinan antara pasangan yang berbeda agama (Katolik dan non-
Katolik) semacam ini tetap suci sebagaimana diungkapkan dalam kitab I Korentus
7:14 yang berbunyi: karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh
istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.
jika dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dituliskan oleh Paulus tetap sah
dan kudus karena salah satu pasangan yang beragama Katolik akan secara
Gereja Katolik juga mempunyai hukum kanonik yang landasan hukum dan
lain: adanya ikatan nikah, dan kaul kebiaraan, tahbisan imam, hubungan
kekeluargaan baik secara biologis maupun hukum, usia yang belum mencukupi,
adanya tekanan atau paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial, adanya
anak, perbedaan Gereja, dan juga perbedaan agama. Jika salah satu dari beberapa
pasal di atas terdapat pada pasangan yang hendak menikah maka pernikahannya
Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu sudah dibaptis dalam
resmi, sedang yang lain tidak dibaptis adalah tidak sah. (Kanon 1086 par. 1)39
Tegasnya, jika terjadi pernikahan beda agama dan di dalamnya terdapat atau
pada kitab suci, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, menyatakan dengan tegas
bahwa perkawinan orang yang beragama Katolik dengan orang yang beragama
39
Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
Pespektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta:Kapal Perempuan, 2004), h. 53.
40
David Sriyanto, Perkawinan Orang yang Berbeda Agama, (Jakarta: Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta, Thesis, 1992), h. 58.
non-Katolik adalah tidak sah. Gereja, lebih jauh, melihat perkawinan beda agama
Namun demikian, tidak seperti dua kitab suci Katolik yang utama, hukum
Kanonik Katolik dapat merestui pernikahan beda agama yang melibatkan umat
Kanon: 1125: ijin semacam itu (untuk pernikahan beda agama yang di dalamnya
melibatkan umat Katolik) dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat
alasan yang wajar dan masuk akal, ijin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: 1) Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan
bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan
berbuat sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dalam gereja
Katolik; 2) Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik itu pihak
yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa
ia sungguh sadar akan janji dari kewajiban pihak Katolik; 3) Kedua pihak
hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan secara sifat-sifat hakiki
perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.41
Kanon: 1126: menjadi kewenangan Majelis Wali gereja untuk menentukan baik
cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu, harus dibuat, maupun cara
bagaimana hal-hal itu jelas dalam tata lahir.42
Dispensasi di atas dapat terlaksana jika adanya ijin dari uskup setempat
uskup ini juga baru dapat diberikan jika diantara kedua pasangan perkawinan beda
agama ini mempunyai kesadaran untuk membina keluarga yang baik dan utuh
41
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, ( Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), h. 130. Lihat juga Sriyanto,
Perkawinan Orang yang Berbeda Agama, h. 58-59.
42
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran, h. 130
setelah perkawinan, juga untuk kepentingan pemeriksaan untuk memastikan tidak
agama.
Di sini Wali Gereja harus membuat perjanjian baik lisan maupun tulisan
terhadap calon pasangan perkawinan beda agama di depan saksi mengenai janji-
janji yang sudah dinyatakan oleh pasangan perkawinan beda agama. Syarat-syarat
Dengan adanya syarat-syarat yang terdapat pada kanon 1125 ini, jelaslah
ANALISIS KOMPARATIF
menjadi fenomena yang sangat mungkin terjadi, bahkan tak terelakkan. Suatu hal
yang tentunya sangat alamiah jika pemeluk dari satu agama dengan pemeluk
apapun. Sayangnya, di Indonesia hal itu muncul lebih sebagai masalah ketimbang
berkah. Maka tak bisa disangkal kalau sebenarnya ada sejenis kepentingan yang
beda agama di negeri ini. Siapakah mereka yang berkepentingan ini? Kamala
jawaban cukup tegas. Baginya, pihak yang paling tergantung terhadap pernikahan
beda agama adalah pihak yang mempunyai kepentingan tertentu dengan institusi
43
Kamala Chandrakirana, Kata Pengantar, dalam Maria Ulfah Anshor (ed), Tafsir Ulang
Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta : KAPAL Perempuan,
2004)
Dari situ dapat dikatakan bahwa pelarangan atau resistensi beberapa
kelompok terhadap pernikahan beda agama, bukan sesuatu yang berjalan secara
alamiah. Respon demikian hadir karena memang ada pihak-pihak tertentu yang
permainan. Tentunya, ini tidak murni kepentingan agama. Kesimpulan ini bisa
ditarik karena faktanya tak ada satu agama pun yang hadir dengan eksklusifitas
menempatkan posisi umat dari setiap agama sebagai umat yang setara. Semua
agama mengakui pluralitas umat manusia, tak ada satu pun yang menganggap
bahwa hanya umat dari agamanyalah yang berhak hidup dan melangsungkan
keturunan di dunia.
Dalam konteks itu, Indonesia sebagai negara besar, berpenduduk lebih dari
dua ratus juta jiwa dan plural dari segala aspeknya, hendaknya mengerti sekaligus
embodied pada tubuhnya tak selamanya berjalan dan terawat dengan rapih. Hal itu
mesti ditekankan betul karena kemajemukan selain bisa menjadi sebuah kekayaan,
yang dimiliki bangsa tak ubah seperti sekam dalam tumpukan jerami. Ia tidak
Mungkin masih lekat dalam ingatan bagaimana kasus Ambon dan Poso, di mana
pluraslisme dan dialog antaragama patut dibangun. Banyak titik awal untuk
memulai dialog dan kerjasama lintas agama. Di masa Orde Baru, istilah dialog
dan kerjasama tidak begitu populer. Namun demikian, berbagai upaya untuk
pemerintahan Orde Baru, tepatnya oleh Depag, walaupun secara praktis masih
belum banyak dilakukan. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Prof. Dr. Mukti
tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama
(Walubi).44
44
Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. 198.
itu, apabila terjadi perselisihan baik intern suatu agama maupun antarumat
sejak awal 1990-an, yakni pasca runtuhnya Komunisme yang diklaim sebagai
peradaban dan globalisasi, Islam dan Barat, dan sebagainya. Semua itu tak lain
merupakan bukti bahwa agama kini tidak bisa mengisolasi diri, apalagi
menghindar, dari pergaulan global dan globalisasi. Ide keterbukaan (glasnot) yang
digulirkan oleh Mikhail Gorbachev semasa menjadi presiden Uni Soviet yang
hanya menjadi gejala yang khas berkembang di negeri-negeri bekas Komunis. Hal
keterbukaan itu. Dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka
antara dua belah pihak. Karenanya, dialog antaragama memiliki arti yang amat
anggapan umat Kristiani, dan lain sebagainya. Sebuah hubungan yang tidak
dan di tempat-tempat yang eksklusif, tidak dapat diakses oleh semua umat
beragama. Parahnya lagi, aplikasi dari dialog masih hanya mengejawantah dalam
bentuk jargon. Belum beranjak ke arah tindakan yang praksis. Itupun hanya
mulai terbangun rasa saling percaya dan menghormati pada kelompok atau
antarmanusia, kini, tidak bisa disekat oleh norma budaya dan agama tertentu,
dimiliki bangsa ini, sekali lagi, dapat menjadi kekayaan dan penambah keindahan,
tetapi juga sekaligus dapat menjadi bahaya dan seumber kerusakan. Masih belum
kering dalam ingatan beberapa kasus di tanah air yang terjadi atas dasar
berbahayanya keragaman bangsa ini jika tidak didialogkan. Selain itu, muncul
juga sedikit pertanyaan, jika dialog agama telah lama dilakukan dan hingga kini
masih terjadi berbagai kasus berdarah yang berlatar perbedaan agama, bukankah
berarti bahwa pola dialog antaragama yang selama ini dilakukan kurang
memberikan manfaat.
Berangkat dari pertanyaan ini, sudah saatnya pula digagas pola dialog
antaragama dalam bentuk lain. Pola dialog antaragama yang tidak hanya selesai di
seminar-seminar atau buku-buku saja. Bukan sekedar dialog dan toleransi yang
melangit dan mewacana, tidak membumi dalam tindakan praktis. Sudah saatnya
dipraktekkan untuk mengikat pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu cara yang
pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama. Sudah tidak dapat
ditolerir lagi sikap curiga buta atau ketakutan atas agama lain, karena pluralitas
bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena pernikahan adalah hak
yang asasi bagi setiap manusia. Setiap orang boleh menikah dengan siapa saja
tanggung oleh orang yang menjalaninya. Baik atau buruk, duka atau bahagia
hanya akan ditanggung oleh para pelaku yang menjalaninya. Karena itulah,
seharusnya tidak boleh ada larangan untuk melakukan pernikahan campur. Setiap
orang boleh saja menikah dengan pasangan yang berbeda agama asalkan ia
beda agama merupakan tindakan yang sama sekali tidak bijak, baik berdasarkan
ajaran agama Islam mupun Katolik (pembahasan utama tulisan ini). Setiap ajaran
Tentunya, prinsip tersebut sejalan dengan cita-cita pihak yang ingin melakukan
pernikahan beda agama, yang memang mendasarkan hubungan atas dasar cinta
kasih sesama manusia, tanpa memandang baju dan keyakinan apa yang mereka
kenakan dan miliki. Dalam Islam, dikenal konsep bahwa Islam adalah agama
rahmatan li al-alamiin, agama yang memberi rahmat, cinta kasih bagi seluruh
juga sebagai agama penebar cinta kasih. Yesus sebagai pembawa ajaran Kristiani
hadir dengan membawa pesan utama cinta kasih terhadap semua manusia. Pesan
utama Yesus tersebut tentunya relevan untuk diterapkan dalam pernikahan beda
agama. Karena cinta kasih tidak memandang kaya miskin, suku-bangsa, bahasa,
Hampir semua fenomena, pada dirinya sendiri, menyimpan pro dan kontra.
pernikahan beda agama itu sendiri mungkin sudah setua kehadiran berbagai
agama lebih diwarnai oleh pendapat yang dimiliki oleh kelompok konservatif dan
kelompok moderat dalam memahami teks dan penafsiran agama. Pihak pertama
memandang agama sebagai sesuatu yang saklek dan paten, tidak bisa diubah
lagi. Beragama adalah menjalani aturan-aturan yang telah tertulis tanpa banyak
kini tetap diwarnai dengan penafsiran atas kata Musyriq dan Ahl al-Kitab yang
terdapat dalam teks al-Quran. Pihak yang menolak pernikahan beda agama dari
sempurna, dengan mengutip beberapa ayat al-Quran, seperti an-Nahl: 89.45 Bagi
kalangan ini, aturan-aturan pernikahan yang ada dalam al-Quran sudah merupakan
aturan yang final dan tidak dapat diubah lagi. Golongan ini berkeyakinan bahwa
al-Quran, sebagai kitab suci, sudah mengatur segala aspek pernikahan secara
45
Budi Handrianto, Pernikahan Beda Agama Dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Kairul
Bayan, 2003), h. 14.
komprehensif.46 Pemahaman yang dikemukakan cenderung tekstualis tanpa
teks agama tidaklah berdiri sendiri tanpa intervensi ruang dan waktu. Sebuah teks
agama merupakan hasil kerjasama yang sinergis antara maksud Tuhan dengan
setting sosial pada waktu teks tersebut diturunkan. Karena itu, untuk bisa
menyarikan kebenaran yang sejati dari sebuah teks agama, perlu dilakukan
pemaknaan atas konteks saat teks tersebut diturunkan, lalu dihubungkan dengan
konteks kekinian. Memaknai kata Musyriq dan Ahl al-Kitab harus juga
memperhatikan setting sosial saat teks tersebut diturunkan. Tidak bisa hanya
sekedar dimaknai sesuai dengan arti dari kamus atau kitab terjemahan saja.
Dari situ, sangat bisa dimaklumi kalau pihak yang menolak pernikahan
hanya agama-agama tersebutlah yang memiliki kitab suci asli dari langit.
berasal dari wahyu Tuhan, melainkan ciptaan manusia. Bahkan, bagi mereka,
kaum Kristen dan Yahudi sekarang ini tidak bisa dianggap sebagai Ahl al-Kitab
lagi karena terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan atas kitab sucinya.
46
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 14.
Pihak yang menolak pernikahan beda agama juga melakukan generalisasi
bahwa orang yang menikah beda agama tidak akan berbahagia. Pernikahan
tersebut tidak akan bertahan lama. Selain itu, mereka juga mempertanyakan
tentang nasib anak-anak yang lahir dari keluarga yang melakukan pernikahan
yang menolak pernikahan beda agama kerap menyela pemikiran pihak yang
pernikahan beda agama adalah nyleneh dan tidak berdasar.48 Bahkan tak jarang
bahwa yang disebut Ahl al-Kitab bukan hanya agama Kristen dan Yahudi saja,
tetapi semua agama yang mengakui adanya Tuhan yang Esa, yang memiliki kitab
suci sebagai panduan hidup mereka. Dalam kategori ini, maka agama Budha dan
Konghucu masuk dalam hitungan. 49 Selain itu, mereka memiliki tafsir tersendiri
atas pemaknaan Kafir (atau Musyriq) dan Ahl al-Kitab. Sebutan untuk golongan
Kafir selalu merujuk kepada kaum Kafir Quraiys di Mekkah yang selalu menindas
kaum Muslim. Juga adakalanya merujuk kepada bangsa yang melakukan invasi
kepada Islam seperti bangsa Persia dan Romawi. Perlu dicatat, bahwa bangsa
Romawi dan Persia juga beragama Kristen dan Yahudi. Sedangkan istilah Ahl al-
Kitab merujuk kepada kaum non-Muslim yang tidak melakukan invasi atau
Mariatul Qibtiyah. Wanita ini beragama Kristen Koptik, atau Kristen dari Syiria.
berada dalam institusi rumah tangga50. Karena itu, dalam rumah tangga harus
dibangun sinergitas antara suami dan isteri. Hal tersebut belum terlaksana bila
campur. Budi juga mengritik perilaku dari artis-artis yang gemar melakukan
pernikahan campur52.
haram hukumnya.
Muslim.
50
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 20.
51
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26.
52
Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 30.
Tentang pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab sendiri
Nahdlatul Ulama (NU) dari 1960-an hingga 1990-an tentang pernikahan beda
agama, disusul kemudian oleh fatwa yang sama pada 1968 dan 1969. MUI Jakarta
mengeluarkan fatwa senada pada 1975, diikuti fatwa MUI pusat pada 1980.
larangan pernikahan beda agama dalam situasi apapun pada tahun 1986.54
berubah? Komentar Mohammad Atho Mudzhar menanggapi hal ini menarik untuk
disimak:
Dikeluarkannya fatwa oleh MUI yang melarang kaum Muslimin pria dan wanita
untuk kawin dengan orang yang bukan Islam bahkan juga dengan orang-orang
ahl al-kitab, rupanya didorong oleh keinsyafan akan adanya persaingan
keagamaan kendatipun ada kenyataan khusus al-Quran yang memberi izin
kepada kaum pria Islam untuk mengawini wanita Ahl al-Kitab. Hal ini boleh jadi
berarti bahwa persaingan itu sudah dianggap para ulama telah mencapai titik
rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat Muslim, sehingga pintu
bagi kemungkinan dilangsungkannya pernikahan antaragama harus ditutup sama
sekali.55
53
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Inddonesia Mesjid Istiqlal, 1995), h. 91.
54
Muhammad Ali, Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia, Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies 9, no. 3 ( 2002): h. 1.
55
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988) (Jakarta: INIS, 1993), h. 103.
Lebih lanjut dia menilai bahwa fatwa-fatwa tersebut sangat radikal karena selain
berlawanan dengan apa yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran juga
bertentangan dengan kitab-kitab fiqh klasik yang biasanya dirujuk oleh MUI
antara umat Islam dengan umat Kristen yang sudah terjadi berabad-abad. Hal lain
dapat juga diutarakan bahwa kemunculan fatwa semacam itu tidak hanya
dan persepsi para pemuka Islam terhadap penganut agama lain. Ini tercermin dari
menurut Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki makna sakral. Dengan
pernikahan tersebut maka pada prakteknya akan sulit membangun kelurga sakinah
meski para ulama masih bersilang pendapat. Terlepas dari silang pendapat
tersebut yang perlu digarisbawahi adalah motif dari pernikahan beda agama itu
sendiri. Kalau motifnya untuk mengagamakan salah satu pasangan ke agama yang
lain, maka hal itu jelas bertentangan dengan tujuan suci pernikahan oleh agama.56
dapat diterima karena bertentangan dengan aqidah Islam dan undang-undang yang
ada (UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan). Islam tidak boleh menganggap
bahwa sebaiknya pernikahan beda agama dilarang secara tegas, tujuannya untuk
Dari komentar tokoh-tokoh Islam yang telah dipaparkan di atas, tak heran
melanggar cita-cita agama dalam hal memelihara aqidah dan menjaga identitas
Quraisy Syihab termasuk salah seorang ulama tafsir yang memaknai Ahl
al-Kitab terbatas pada umat Yahudi dan Kristen, baik yang ada sebelum Islam
menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab, yakni Yahudi dan Kristen, kalau
56
Ada Motif di Balik Pelaminan, Tabloid Republika Dialog Jumat, 15 Agustus 2003, h.
4.
57
Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda Agama di Kalangan Ulama, Tabloid Jumat,
12 September 2003, h. 5.
diungkapkan dalam surat al Maidah di atas, (wal muhshshanatu minal ladzina utul
kitab).
kekhawatiran sebagian umat Islam akan terjadinya konversi agama dari pihak
yakni umat Islam seringkali dihinggapi rasa tidak percaya diri dan rasa takut yang
cenderung bersikap atau bermental minoritas. Lebih dari itu, kalaupun pernikahan
beda agama diperbolehkan, maka umat Islam selalu menginginkan pihak Muslim
terjadi sebaliknya, umat Islam pun menjadi murka dan mengutuknya. Hal ini
disebabkan yang pertama identik dengan kemenangan dan yang kedua identik
dengan kekalahan, dan umat Islam hanya ingin menang. Lebih parah lagi, sikap
dan pikiran yang sangat tidak sehat ini ternyata tidak hanya didapati di kalangan
bagi pernikahan beda agama.59 Senada dengan itu, Ulil Abshar Abdala,
pernikahan beda agama itu tidak ada masalah. Islam, menurutnya, adalah agama
58
Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan
AntarAgama, Oktober 2003, h. 11.
59
Pernikahan Campuran: Ibu Dominan, Anak Bingung, Tabloid Republika Dialog
Jumat, 15 Agustus 2003, h. 3.
revolusioner. Hal itu terbukti dengan diperbolehkannya pernikahan antaragama
meski pada saat itu masih sebatas untuk laki-laki Muslim yang menikahi Ahl al-
Kitab. Revolusi seperti itu harus diteruskan sehingga pernikahan beda agama tidak
birokrasi, bukan kesulitan secara agama. Islam sendiri justru percaya bahwa
Muslim menjadi golongan Musyriq, Mukmin dan Ahl al-Kitab. Orang Musyriq
bisa didefinisikan sebagai mereka yang percaya pada adanya Tuhan tetapi juga
mempersekutukan dengan lainnya, serta tidak percaya pada kitab suci dan atau
tidak percaya pada salah seorang nabi. Kaum musyrik yang disebut disini adalah
kaum musyrik Mekkah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi.
Sedangkan Ahl al-Kitab adalah mereka yang percaya pada salah seorang Nabi dan
yang diberikan kitab atau Ahl al-Kitab. Golongan ini mempercayai kebenaran
kitab suci mereka dan yang diutus kepada mereka adalah seorang Nabi. Maka,
60
Pernikahan Mei Menuai Kontroversi, Gatra, 21 Juni 2003, h. 19.
61
Petikan wawancara dengan Zainun Kamal, dalam www.islamlib.com. Tanggal akses 29
desember 2007.
menurut Zainun, menikahi golongan ini diperbolehkan. Misalnya, orang Budha
menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gautama adalah seorang Nabi.
Konghuchu, dianggap Nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan
Begitu juga dengan pemeluk agama Yahudi, yang memiliki kitab taurat dan
percaya kepada rasul yang diutus kepada mereka, yakni Nabi Musa. Juga umat
non-Muslim, Zainun mengatakan bahwa hal tersebut perlu untuk ditinjau ulang.
Karena pada akhirnya, tanggungjawab untuk mendidik anak ada pada kaum
justru lebih potensial untuk mempengaruhi anak-anak mereka agar masuk agama
tertentu. Lebih lanjut, Zainun juga berpendapat bahwa semua agama sebenarnya
Selain Zainun Kamal, tokoh lain yang menerima pernikahan beda agama
adalah Drs. Nuryamin Aini., M.A. Ia adalah pengajar pada Fakultas Syariah UIN
(PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis. Nuryamin menulis tesis untuk meraih gelar
sebagai sasaran penelitian. Alasannya, karena DIY merupakan melting pot atau
wadah peleburan identitas budaya. Dari data tersebut ditemukan bahwa di DIY
terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang menikah
beda agama dari 1000 kasus pernikahan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik
menjadi 18 kasus dan justru trend-nya menurun menjadi 12 kasus saja pada tahun
2000. Trend penurunan ini dalam bahasa statistiknya disebut U terbalik. Tahun
1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi
tahun 2000.
masyarakat pemeluk agama Katolik tidak melakukan kawin campur. Akan tetapi,
Namun, satu hal yang menjadi amatan penulis dari perdebatan soal
pernikahan beda agama, meski tidak akan dijabarkan lebih jauh, adalah kurangnya
pernikahan memang kerap bias jender. Dari paparan di atas, tampak bahwa
pernikahan beda agama atau pernikahan secara umum cenderung lelaki sentris.
Makanya penghalalan pernikahan beda agama oleh beberapa kalangan pun belum
pernikahan antara lelaki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab lebih dilatari
oleh alasan bahwa lelaki lebih bisa mendidik dan mengarahkan istri dan anak-
terlihat. Kini, tidak sedikit perempuan (istri) yang lebih mempengaruhi keluarga
62
Antonius Dwi Joko, Pr, Kawin Campur, http://yesaya.indocell.net/id1066.htm, diakses
pada tanggal 29 Desember 2007.
ketimbang suami. Kalau sudah demikian, maka tidak hanya suami tetapi
pendidikan anak pun sebenarnya dapat ditentukan atau lebih didominasi oleh
yang kontroversial baik dalam Islam maupun Katolik. Meski dalam banyak hal,
keduanya memiliki perbedaan yang amat jelas, persamaan juga muncul tak kalah
banyak. Persamaan ini, secara umum, terlihat minimal pada adanya sumber teks
kitab suci yang secara eksplisit melarang pernikahan beda agama dan kemudian
ada pula teks kitab suci yang memperbolehkannya dengan spesifikasi persyaratan
yang berbeda-beda. Dari sini, persamaan antara Islam dan Katolik, pada saat yang
sama juga menyimpan perbedaan. Dua hal ini pada paragraf-paragraf berikutnya
pernikahan beda agama antara Islam dan Katolik, berikut disajikan tabel
Aspek
Islam Katolik Keterangan
Perbandingan
Perjanjian Lama: Baik Islam maupun
Larangan al-Baqarah Kejadian 6: 5-6 dan Katolik mempunyai
terhadap PBA ayat 221 dan Ulangan 7: 3-4 sumber primer Kitab Suci
(Teks Primer al-Mumtahanah Perjanjian Baru: yang menyatakan tidak
Kitab Suci) ayat 10 Korentus 6: 14, 7:1, dan bolehnya melakukan PBA
7: 12-16
Islam membolehkan PBA
Pembolehan PBA antara laki-laki Muslim
al-Maidah
(Teks Primer dan Perempuan Ahl al-
ayat 5
Kitab Suci) Kitab dan tidak
sebaliknya. Sementara
tidak ada teks primer
Kitab Suci Katolik yang
menyatakan bolehnya
melakukan PBA
Katolik baru menyatakan
boleh melakukan PBA
Hukum Kanon 1125
Teks Sekunder pada hukum pendukung
Hadits Nabi dan 1126
Kitab Suci dengan
persyaratan yang sangat
ketat
Pandangan kontemporer yang berkembang dalam Islam maupun Katolik
tentang PBA bervariasi. Tidak sedikit yang tetap menyatakan tidak boleh,
Penafsiran
sementara juga bermunculan penafsiran dan pendapat yang menyatakan
Kontemporer
bolehnya melakukan PBA, bahkan tidak dibatasi oleh jenis kelamin dan
syarat-syarat yang memberatkan bagi pasangan pelaku PBA
Dari tabel di atas, tampak bahwa baik Islam maupun Katolik sama-sama
memiliki satu sumber teks pada kitab suci yang memperbolehkan pernikahan beda
agama, meski hanya untuk pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl
al-Kitab.
Di atas segala perdebatan yang muncul tentang pemaknaan kata Ahl al-
Kitab itu, satu hal yang menjadi nilai lebih pada Islam adalah adanya teks kitab
suci yang memperbolehkan pernikahan beda agama bagi umatnya. Lebih dari itu
terdapat juga salah satu hadits Nabi yang memperbolehkan pernikahan beda
agama. Pada titik ini, baik sumber hukum primer (al-Quran) maupun sumber
berhenti sampai di situ. Dalam penafsiran baik pada jaman ulama salaf (ulama
pernikahan beda agama. Lebih dari itu, kekhawatiran itu kini menjadi lebih tegas
dengan munculnya pelarangan pernikahan beda agama. Larangan tersebut datang
dengan latar argumen bahwa sudah tidak ada lagi umat yang bisa dikatakan Ahl
al-Kitab dan kekhawatiran terjadinya mutasi keimanan dan agama bagi umat
Islam yang melakukan pernikahan beda agama. Parahnya, hal itu diperkuat oleh
melangsungkan pernikahan beda agama. Untuk yang terakhir ini, tentunya, tidak
hanya dialami oleh umat Islam, melainkan juga umat Katolik dan umat agama-
Karena itu, Katolik tampak lebih memberikan persyratan yang terlampau ketat
Kejadian 6: 5-6 dianggap sebagai pernikahan yang tidak dikehendaki Allah. Ada
dengan bangsa-bangsa di luar Israel. Israel dalam konteks itu artinya umat Kristen
63
Lihat dalam kitab Kejadian: 24.
(Katolik) juga tidak boileh menikah dengan bangsa atau umat lain. Namun dalam
gereja lebih memiliki keasadaran untuk tidak melarang pernikahan beda agama.
Melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup merupakan hal yang tidak
bijaksana. Dengan kejadian ini Paulus kemudian menulis, Kalau ada seorang
saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup
bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu menceraikan dia. Dan kalau ada
seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup
yang hendak melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, hal itu tetap
Kristen. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari Tuhan tetapi dari
Paulus. Paulus meyakini bahwa ikatan pernikahan semacam ini tetap suci
sebagaimana dikatakan Korentus 7:14, karena suami yang tidak beriman itu
dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh
suaminya.
Dispensasi seperti yang disebutkan di atas pun baru bisa dilakukan jika
ada izin dari uskup setempat dengan mengikuti pesyaratan-persyaratan yang sudah
64
Ichtiyanto, Pernikahan Campuran dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), h. 130.
ditetapkan. Dispensasi dari uskup ini juga baru dapat diberikan jika di antara
kedua pasangan pernikahan beda agama ini mempunyai kesadaran untuk membina
keluarga yang baik dan utuh setelah pernikahan, juga untuk kepentingan
syarat-syarat tersebut, maka uskup belum bisa memberi izin untuk melakukan
perjanjian lisan maupun tulisan di depan saksi mengenai janji-janji yang sudah
beda agama, karena jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pernikahan itu
Akan tetapi, dikalangan pendeta Katolik, kini, sudah cukup banyak yang
suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Perbuatan menghalangi cinta kasih
dua insan atas nama agama sungguh tidak benar dan bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM). Karena Yesus sendiri datang dengan membawa ajaran
mengenai cinta kasih dan perdamaian. Bukan malah membawa umatnya ke dalam
gagasan-gagasan cinta kasih Yesus kepada pemeluk lain dengan berbagai cara,
yang memperbolehkan pernikahan beda agama pada kedua agama tersebut adalah
dalam hal jenis kelamin. Dalam Islam, teks al-Quran menyebutkan bahwa
adalah kepala keluarga yang otoritasnya dianut oleh keluarga. Sehingga, upaya
untuk membawa anak-anak mereka ke dalam agama Islam akan lebih mudah
pendapat dan tafsir atas hal ini perlu dikaji ulang dengan melihat pada konteks
ayat tersebut. Ayat tersebut mungkin relevan jika dikorelasikan dengan konteks
turunnya ayat di jaziran Arab pada abad ke enam (6) Masehi. Pada masa itu,
tidak memiliki daya apapun jika berhadapan dengan laki-laki. Akan tetapi,
sekarang ini, asumsi tersebut tidak lagi bisa dijadikan patokan. Seorang ibu, kini,
justru lebih dekat dengan anak-anak mereka. Maka peluang untuk menanamkan
ayah. Karena itulah kemudian muncul sebuah wacana untuk membebaskan jenis
melakukan pernikahan beda agama. Setiap jenis kelamin, baik laki-laki maupun
persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Hukum Kanon. Dalam hal ini, Katolik
pernikahan beda agama. Dalam pandangan Islam, pernikahan beda agama tidak
menuntut persyaratan yang rumit, semua berlaku seperti pernikahan biasa. Akan
tetapi, dalam pandangan Katolik, persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan
yang hendak melakukan pernikahan beda agama cukup rumit. Harus ada
perjanjian lisan maupun tertulis dari pihak yang beragama Katolik untuk tidak
Namun kedua agama ini juga memiliki titik kesamaan bahwa pernikahan
akan lebih baik dilakukan dengan pasangan yang seiman. Dalam pandangan
Islam, disebutkan (al-Baqarah: 221) bahwa wanita budak yang beriman lebih baik
dibandingkan dengan wanita Kafir yang merdeka. Disebutkan pula dalam hadis
bahwa dalam memilih pasangan ada empat hal yang harus dipertimbangkan; dari
aspek, kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Dan aspek agama inilah yang
pandangan Katolik pun menganggap bahwa pernikahan akan lebih sempurna bila
terutama konteks agama, baik dari kalangan Islam maupun Katolik sama-sama
beda agama sebagai sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari lagi. Dimensi
pluralitas bangsa ini menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi bangsa jika
sosial bangsa. Tampak bahwa penafsiran paling kontemporer pada kedua agama
memiliki kesamaan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang tidak
terlarang, bahkan tanpa pembedaan jenis kelamin dan ketatnya persyaratan yang
terlebih dahulu harus dipenuhi oleh para pelaku pernikahan beda agama. Sebuah
PENUTUP
A. Kesimpulan
yang penulis ajukan di awal tulisan, penulis akan menyimpulkan seluruh isi
baik dalam Islam maupun Katolik bersumber pada kitab suci masing-masing.
Meski terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran dan sebagainya, baik kitab
suci Islam maupun Katolik memiliki kesamaan sikap dalam menjawab persoalan
dilangsungkannya pernikahan beda agama. Dalam hal ini, kitab suci Islam, al-
Quran, menurut penulis, sebagaimana juga diakui Ulil Abshar Abdalla, lebih
tegas bahwa lelaki muslim boleh menikahi perempuan Ahl al-Kitab (non-
Muslim).
Meski masih menyisakan perdebatan hingga sekarang, mengenai siapa saja
yang bisa disebut Ahl al-Kitab, banyak pendapat dalam Islam yang menyatakan
bahwa Ahl al-Kitab dapat dilekatkan kepada setiap agama, yang mempunyai kitab
suci, yang mempunyai tuntunan jelas untuk kehidupan umatnya, tidak hanya
untuk Yahudi dan Nashrani, atau lebih sempit lagi hanya untuk Ahl al-Kitab pada
jaman Nabi.
Teks kitab suci Katolik tidak ada yang menyatakan secara eksplisit
Kemungkinan untuk itu baru ada ketika membaca hukum kanon gereja, itupun
beda agama, Katolik mengharapkan agar tidak kehilangan penganut. Hal itu
pendidikan anaknya berjalan sesuai dengan iman Kristiani. Untuk kasus ini, Islam
Karena pada faktanya pernikahan beda agama masih sangat sulit untuk
dilangsungkan, ditambah sikap gereja dan Kantor Urusan Agama (dalam Islam)
berlaku dalam gereja yang bersangkutan. Dalam Islam upacara akad nikah, tidak
maupun pejabat KUA yang masih awam dengan penafsiran tokoh-tokoh agama
yang secara substantif tidak mensyaratkan kesamaan agama sepasang laki-laki dan
agama, di Indonesia hingga sekarang, masih menjadi sesuatu yang amat sulit
untuk dilakukan. Tak heran kalau kemudian banyak pasangan beda agama yang
negeri.
Katolik, menerbitkan secercah harapan untuk pasangan berbeda agama agar dapat
masyarakat Indonesia yang multi agama, bangsa, budaya, bahasa, dan sebagainya.
Fakta inilah yang menjadikan pernikahan beda agama tak mungkin lagi untuk
dihindari.
Lebih dari itu, kini, banyak kasus pasangan yang menikah meski masing-
masing pasangan memiliki atau menganut agama yang berbeda dapat membangun
sebuah keluarga yang sejahtera, atau dalam bahasa Islam sakinah, mawaddah,
yang memiliki kadar toleransi sangat besar. Sikap demikian yang sebenarnya
dan toleransi. Akan sia-sia upaya memajukan dialog antar agama kalau umat
masing-masing agama tetap merasa eksklusif dengan umat dari agama lainnya.
perbedaan agama, bangsa dan keturunan tidak bisa menjadi penghalang terhadap
perkawinan, maka, menurut penulis, pernikahan beda agama sudah tidak bisa lagi
dilarang. Pernikahan beda agama seharusnya disikapi secara lebih bijak oleh
masing-masing tokoh agama. Agama adalah keyakinan dalam hati dan tidak
mungkin dapat digoyahkan begitu saja, seperti oleh cinta atau ikatan pernikahan.
Tidak boleh ada lagi ketakutan konversi agama dan sebagainya yang semakin
pasangan laki-laki dan perempuan untuk membina sebuah rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera. Kebahagian rumah tangga, tidak ditentukan secara absolut
dan Katolik.
Abduh, Muhammad, dan Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Marifah.
Tt.
Abdullah, M. Amin. Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam. Ulumul
Quran. No. 4. IV. 1993.
Aini, Nuryamin. Fakta Empiris Nikah Beda Agama. wawancara diakses tanggal
22 Juni 2003, dari http://www.islamlib.com.
Ali, Maulana Muhammad. Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir. Jakarta:
Darul Kutub al-Islamiyah. 1993.
Ali, Muhammad Daud, Perkawinan Campuran Antara Orang-Orang Berbeda
Agama Ditinjau dari Sudut Agama dan Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia, Jakarta: Mimbar Hukum, 1993.
Ali, Muhammad. Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia. Studia Islamika:
vol 9. no. 3. 2002.
Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama Republik Imdomesia
(Depag RI), 2004.
Amal, Taufik Adnan. Tafsir Kontekstual al-Quran: Sebuah kerangka konseptual.
Bandung: Mizan. 1992.
Antonius Dwi Joko, Pr, Kawin Campur http://yesaya.indocell.net/id1066.htm
tanggal akses 29 Desember 2007.
Baso, Ahmad, dan Ahmad Nurchaliolish (Ed.). Pernikahan Beda Agama,;
Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan. Jakarta:
Komnas HAM dan ICRP. 2005.
Eoh, Sh, MS., O.S. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktik. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 1996.
Galib, Muhammad. M. Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta:
Paramadina. 1998.
Gatra. Pernikahan Mei Menuai Kontroversi. 21 Juni 2003.
Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran.
Bandung:Citra Aditya Bakti. 1996.
Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam. Jakarta:
Khairul Bayan. 2003.
Harahap, Muhammad Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan
Undang-Undang No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975, (Medan: CV. Zahir Trading Co Medan).
Hindasyah, Linda. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Pelaku. Jakarta:
PPIM UIN Jakarta, 2003.
Ichtiyanto. Perkawinan Campuran dalam Negara Republk Indonesia, Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,
2003.
Jabari, Al, Abdul Mutaal M. Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Kamal, Zainun, dan Musdah Mulia. Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas
Pernikahan Beda Agama. Oktober 2003.
Kamal, Zainun. Fakta Empiris Nikah Beda Agama. www.islamlib.com. Tanggal
akses 29 desember 2007.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII
/MPR/1998.
Kitab Kejadian.
Kitab Kanon
Madjid, Nurcholis, dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The
Asia Fondation. 2003.
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia. Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia. 1995.
Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988. Jakarta: INIS.
1993.
Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum perkawinan, Nikah, Talak, Cerai, Rujuk.
Bandung: Al-Bayan. 1994.
Sriyanto, David. Perkawinan Orang yang Berbeda Agama. Jakarta: Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta. Thesis. 1992.
Suryabroto, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998.
Shihab, M. Quraisy. Wawasan al Quran. Bandung: Mizan. 1996.
Tabloid Dialog Jumat Republika. Ada Motif di Balik Pelaminan. 15 Agustus
2003.
Tabloid Dialog Jumat Republika. Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda
Agama di Kalangan Ulama. 12 September 2003.
Tafsir Kitab Kejadian 5: 1 12-3. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987.
Thabari, al, Abu Jafar Muhammad ibn Jarir. Jami al-Bayan an Tawil al-
Quran. Beirut: Dar al-Fikr. 2001.
Trisna, Yonathan A. Berpacaran dan Memilih Teman Hidup. Bandung: Kalam
Hidup Pusat. 1987.
Ulfa, Maria, dan Martin Lukito Sinaga (ed.) Tafsir Ulang Perkawinan Lintas
Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta: Kapal Perempuan,
2004.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara
1974/1. TLN NO. 3019.
Usman, Suparman. Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum
Perkawinan di Indonesia, Serang: Percetakan Saudara, 1995.