Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus Dengue


Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.7

2.2 Vektor Demam Berdarah Dengue


Virus dengue ditularkan melalui gigitan banyak spesies nyamuk Aedes (antara
lain Aedes aegypti dan Aedes albopictus).8 Nyamuk berasal dari family Stegomyia.
Nyamuk ini terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis. 9 Aedes aegypti yang
menggigit pada pagi hingga sore hari adalah vektor utama virus.Nyamuk berkembang
biak di tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah. Virus
dengue juga ditemukan pada nyamuk Aedes albopictus yang berkembang biak dia air
yang terperangkap diantara tumbuhan.8 Karena suhu rendah nyamuk tidak dapat hidup
pada ketinggian diatas 1000 meter. Telur dapat bertahan selama berbulan-bulan tanpa
adanya air.Larva tumbuh di air yang disimpan untuk minum, mandi, atau air hujan
yang ditampung di dalam bak. Nyamuk betina tumbuh menjadi dewasa di dalam
ruangan tertutup.9 Sekali terinfeksi virus, nyamuk akan terinfeksi selamanya dan
menularkan virus jika menggigit manusia. Nyamuk betina juga menularkan virus
kepada anaknya melalui penularan transovarium.8

2.3 Cara Penularan DBD


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi
bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.7

2.4 Epidemiologi DBD


Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia hingga awal
abad 20. Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis, Kepulauan di Asia
Pasifik, Australia bagian utara, Afrika Tropis, Karibia, Amerika selatan dan Amerika
tengah (Gambar 1). Demam dengue sering terjadi pada orang yang bepergian ke
daerah ini. Pada daerah endemic dengue, orang dewasa seringkali menjadi imun,
sehingga anak-anak dan pendatang lebih rentan untuk terkena infeksi virus ini.10
Gambar 1. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.11
Keterangan: Biru: area infestasi Aedes aegypti. Merah: area infestasi Aedes aegypti dan epidemic
dengue.

Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia, Maladewa,


Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan adanya kasus dengue.
Epidemic dengue adalah masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia, Myanmar,
Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang beriklim tropis dan berada di daerah
ekuator dimana Aedes aegypti berkembang biak baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan. Di Negara ini dengue merupakan penyebab rawat inap dan kematian
tertinggi pada anak-anak.9
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan
beberapa serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS
paling banyak terjadi pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun.
Frekuensi kejadian DSS paling tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak
yang sebelumnya terkena infeksi virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung
anti dengue antibody. Transmisi penyakit biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu
yang dingin memungkinkan waktu survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga
derajat tranmisi meningkat.8
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan
Case Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat
tinggal di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus
tertinggi diantara semua negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal
dari Jakarta dan Jawa Barat dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.12
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.7
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun
waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam
jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat.
Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota
telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per
100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000
penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi,
nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia,
karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi
virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak
terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.7

2.5 Patogenesis DBD


Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.8
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial.Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.8
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 2 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.8
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan
wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan
laboratoris.8
Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody


response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen

Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin


meningkat
Permeabilitas kapiler Ht
> 30% pada Perembesan plasma Natrium
kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairandalam
rongga
serosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal

Gambar 2. Patogenesis terjadinya syok pada DBD8


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah
(gambar 3). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.8
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman


trombosit oleh RES platelet faktor III

Anafilatoksin
Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin
konsumtif
Gangguan Kinin
Peningkatan
fungsi trombosit penurunan faktor
permeabilitas
pembekuan kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif syok
Gambar 3. Patogenesis Perdarahan pada DBD8
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi
lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.7

2.6 Spektrum Klinis dan Derajat Infeksi Virus Dengue


Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian
infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari
tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile
illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).7
Infeksi virus dengue

Asimptomatik Simptomatik

Demam tidak spesifik Demam dengue

Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)


(SSD)
Gambar 4. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue8

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:


Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.[2]Keempat derajat tersebut
ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Patogenesis pada Spektrum Klinis DBD

2.7 Manifestasi Klinis


2.7.1 Manifestasi Klinis Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian
menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau
ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan
petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai
trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan,
terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue
yang disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan
perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita
Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD
dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural
efusi dan asites.7

2.7.2 Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)


Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.8
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri
menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium
dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama
pada bayi.8
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae
kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit
namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.8
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok.8
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:8
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
1) Uji bendung positif
2) Petekie, ekimosis, atau purpura
3) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
4) Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
2) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemi.

2.7.3 Sindrom Syok Dengue (SSD)


Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3
sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh
ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi
cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan
penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila
terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat
dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran
cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya
terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan
timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalinya nafsu makan.7
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis,
flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang
tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.7
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/l biasa ditemukan pada
hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan
nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai
dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh
perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis
relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau
syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis
dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor
VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai
setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan
peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa
ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura
berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok,
efusi pleura dapat ditemukan bilateral.7

2.8.2 Diagnosis Serologis


Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya
infeksi virus dengue, yaitu:8
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai gold
standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk studi
sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut atau
titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai
presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi
(recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)
Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur
pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue.Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi.Saat antibodi
nneutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi
tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8
tahun).Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak
dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac Elisa
adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui kandungan
IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti
dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat
ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula
dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan
kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesivisitas yang sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang
untuk uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG,
IgM Elisa, IgG Elisa.7
Pada infeksi primer dan skunder dengue, antidengue immunoglobulin (Ig) M
antibodi muncul.IgM menghilang setelah 6-12 minggu, dapat digunakan untuk
memperkirakan waktu infeksi dengue. Pada infeksi primer dengue yang kedua,
kebanyakan antibodi berasal dari IgG. Diagnosi serologis tergantung kepada
peningkatan empat kali atau lebih titer IgG antibody pada serum yang dilihat pada
hemagglutination inhibition, complement fixation, enzyme immunoassay, or
neutralization test.Immunoglobulin IgM- and IgG-capture enzyme immunoassays
sekarang digunakan secara luas untuk mengidentifikasi fase akut antibodi pada
serum pasien dengan infeksi dengue primer atau skunder. Sebaikanya sampel
dikumpulkan setelah hari ke 5 dan sebelum minggu ke 6 setelah onset.13

Gambar 6. Respon Imun Pada Infeksi Dengue


Sangat sulit untuk menentukan tipe virus hanya dengan metode serologis,
terutama jika sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dari kelompok arbovirus.
Virus dapat diperoleh dari serum fase akut dan diinokulasi pada kultur jaringan
atau nyamuk hidup. RNA virus dapat dideteksi pada darah atau jaringan melalui
DNA yang diamplifikasi melalui PCR.13

2.9 Diagnosis Banding14


a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi
bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza,
hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan
penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD,
DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada
DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis,
sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan
tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai
dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri
dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala
rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan
serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah
kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan
penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa
tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis.
Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali
normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan
memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan
pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien
dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi
pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.7

2.10 Tatalaksana
2.10.1 Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan:
a. Tirah baring, selama masih demam.
b. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
c. Untuk menurunkan suhu menjadi <39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
d. Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
e. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan
oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
Komplikasi perdarahan dapatterjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena
itu, orang tua ataupasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam,
atauterdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,apalagi
bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tandakegawatan, sehingga
harus segera dibawa segera ke rumah sakit.. Pada pasien yang tidak
mengalamikomplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi
diobservasi.Tatalaksana DD tertera pada Bagan 1 (Tatalaksana tersangka DBD).7
2.10.2 Demam Berdarah Dengue
a. Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma
dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dangangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan
kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/l atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb
(rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum
terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan
perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam
isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat
diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan
peningkatan hematokrit yang terus menerus danpenurunan jumlah trombosit
<50.000/l. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas,
rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.12

b. Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk
pemberian atau dapat disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.12
Tabel 1. Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)
dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
>12 500-1000 1-2

Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam


tinggi,anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, airteh
manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kgBB
dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasianak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayiyang masih minum asi, tetap
harus diberikan disamping larutan oralit. Bilaterjadi kejang demam, disamping
antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.12
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi.Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya harike
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakanpemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberiancairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedomankebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelumdijumpai perubahan tekanan darah
dantekanan nadi. Hematokrit harusdiperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali.Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia,
pemeriksaan hemoglobindapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif.7
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkandengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar
Hb.7

c. Penggantian Volume Plasma


Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupundemikian, penggantian
cairan harus diberikan dengan bijaksanadanberhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama,sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit).Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan
dengan tandavital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume
cairanharus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secaraumum
volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.7
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidakmau
minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)Nilai hematokrit
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlahcairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dankehilanganelektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bilaterdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat
7,46% 1-2 ml/kgBB intravenabolus perlahan-lahan.7
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairanyang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan
yangdiperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,yaitu
cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2dibawah ini.7

Tabel 2. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)


Berat Badan Waktu Jumlah cairan
Masuk RS ml/kg berat badan per hari
(kg)
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairanrumatan dapat diperhitungan dari
tabel 3 berikut.7

Tabel 3. Kebutuhan Cairan Rumatan


Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)

Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun),
maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume
yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu
cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan.7
Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan
mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus
walaupun telah diberi cairan intravena.7
d.
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid
1) Larutan ringer laktat (RL)
2) Larutan ringer asetat (RA)
3) Larutan garam faali (GF)
4) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
5) Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
6) Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
Koloid
1) Dekstran 40
2) Plasma
3) Albumin

2.10.3 Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatanyang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume
plasma.Pasien anak akan cepat mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera
dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukurdantekanan nadi <20 mm
Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB.7

a. Penggantian Volume Plasma Segera


Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB.
Tetesandiberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat
badanlebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 ml/kg BB/jam, bila
tidakada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila
syokbelum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan
10ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi
cairankoloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberiankoloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500
ml/hari,sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian
cairanresusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadarhematokrit
turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkanpemberian transfusi darah
segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi,maka berikan darah dalam volume kecil
(10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infusdikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.7

b. Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma


Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik
dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg
BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala padapasien SSD berat, saat
ini tidak dianjurkan lagi.7
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebihmerupakan indikasi bahwa
keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya,cairan tidak perlu diberikan lagi setelah
48 jam syok teratasi. Apabila cairantetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada
saat terjadi reabsorpsiplasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokritsetelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan
hipervolemiadengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada
saatreabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapidisebabkan
oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital
baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.7

c. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks.7
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.7

d. Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.7

e. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila
disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%)
tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan
tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi
pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID
dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi
seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, danfibrinogen degradation
products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat
ringannya KID. Pemeriksaanhematologis tersebut juga menentukan prognosis.7

f. Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secarateratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan padamonitoring
adalah:
1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
3) Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
4) Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian
volumeintravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis
belumcukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan
diperkuatdengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlahdiuresis, kadar
ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabiladiuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksidengan baik, maka pemberian
dopamin perlu dipertimbangkan.7

Kriteria Memulangkan Pasien:9


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini :
1) Tampak perbaikan secara klinis
2) Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4) Hematokrit stabil
5) Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
6) Tiga hari setelah syok teratasi
7) Nafsu makan membaik

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat
dibagi dalam 3 bagian, yaitu:8
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 1 dan 2)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 3)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan
4)
Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD8
Tersangka DBD
Tersangka DBD Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu

Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan


Tanda syok Periksa uji torniquet
Muntah terus menerus
Kejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)
Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan
<100.000/l >100.000/l Parasetamol
Kontrol tiap hari
Tatalaksana sampai demam
hilang
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan Nilai tanda klinis &
Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht
Parasetamol bila masih demam
Kontrol tiap hari hari sakit ke-3
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali

Perhatian untuk orang tua


Pesan bila timbul tanda syok:
gelisah, lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, BAB hitam,
BAK kurang

Lab : Hb & Ht naik


Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit
Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II tanpa peningkatan hematokrit 8

DBDderajat
DBD derajatI Iatau
atauIIIItanpa
tanpapeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit

Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)

Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerus
Atau 1 sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman; air putih, teh manis,
Sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:
Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)
Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam,trombosit
Tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan laboratorium


Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turun
Awasi perdarahan
Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam

Infus ganti RL
Perbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/l
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hematokrit
>20%8

DBDderajat
DBD derajatI Iatau
atauIIIIdengan
denganpeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit>20%
>20%
Cairan awal
RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distress pernafasan
Tek.darah stabil Frek.nadi naik
Diuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik
(12 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi<20 mmHg
Ht turun Diuresis </tidak ada
(2x pemeriksaan)

Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan


10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan
5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam

Tanda vital tidak stabil

Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun
3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg
IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segar
diuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd
Anak
- Syok yang belum teratasi
Perbaikan - Perdarahan masif
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV (SSD)[9,8]

DBD derajat III & IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit


2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 15 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak


teratasi
Kesadaran membaik Kesadaran menurun
Nadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosis
Ekstrimitas hangat Kulit dingin dan lembab
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan


10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital 2. Tambahkan koloid/plasma
Tanda perdarahan Dekstran/FFP
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasi
Ht stabil dalam 2x Syok teratasi
Pemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik

Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar


10 ml/kgBB Koloid20 ml/kgBB
dapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhan
setelah syok teratasi
2.11 Prognosis

Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif
atau didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue.
Pada DBD kematian terjadi pada 4050% pasien dengan syok, tetapi dengan
perawatan intensif, kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan bertahan
berhubungan dengan terapi suportif awal. Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak
yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan intracranial.

2.12 Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (P2DBD)

Berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:


581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah
Dengue, pemberantasan penyakit DBD adalah semua upaya untuk mencegah dan
menangani kejadian DBD. Adanya keputusan tersebut bertujuan untuk memberikan
pedoman bagi masyarakat, tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan sektor-sektor
terkait dalam upaya bersama mencegah dan membatasi penyebaran penyakit sehingga
Program P2DBD dapat tercapai. Program P2DBD mempunyai tujuan utama
diantaranya adalah untuk menurunkan angka kesakitan, menurunkan angka kematian,
dan mencegah terjadinya KLB penyakit DBD.15
Upaya pemberantasan penyakit DBD berdasarkan Kepmenkes No.
581/MENKES/SK/VII/1992, dilaksanakan dengan cara tepat guna oleh pemerintah
dengan peran serta masyarakat yang meliputi :
a. Pencegahan, dengan melakukan PSN.
b. Penemuan, pertolongan, dan pelaporan.
c. Penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit.
d. Penanggulangan seperlunya.
e. Penanggulangan lain.
f. Penyuluhan.

2.13 Kegiatan Program P2DBD


Kegiatan Program P2DBD yang dilakukan puskesmas diantaranya yaitu:
a. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau
tersangka DBD lainnya serta pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di rumah
penderita/tersangka dan rumah/bangunan sekitarnya dengan radius sekurang-kurang
100 meter. Kegiatan PE dilakukan oleh petugas Puskesmas. Tujuan kegiatan ini adalah
mengetahui potensi penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut dengan menyelidiki
adanya penderita tersangka DBD lainnya dan ada/tidaknya jentik nyamuk penular
DBD, serta untuk menentukan tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di
wilayah sekitar tempat tinggal penderita.
b. Fogging Fokus
Fogging fokus adalah kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta
penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2
siklus dengan interval 1 minggu oleh petugas. Kegiatan ini merupakan salah satu
upaya pengendalian vektor yang bertujuan mencegah terjadinya KLB dengan
memutuskan rantai penularan di lokasi terjadinya kasus DBD, yaitu di rumah
penderita/tersangka DBD dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber
penularan.
Fogging (pengabutan dengan insektisida) dilakukan bila hasil penyelidikan
epidemiologi positif, yakni ditemukan penderita/tersangka DBD lainnya, atau
ditemukan 3 atau lebih penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik.
Sasaran (target) fogging fokus dihitung berdasarkan jumlah fokus yang akan
ditanggulangi (1 fokus = 300 rumah atau 15 Ha) dalam 1 tahun. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh petugas Puskesmas atau bekerjasama dengan dinas kesehatan
kabupaten/kota. Petugas penyemprot adalah petugas puskesmas atau petugas harian
lepas terlatih.
c. Larvasidasi
Larvasidasi termasuk kegiatan pengendalian vektor yaitu dengan penaburan bubuk
larvasida atau pembunuh jentik guna memberantas jentik di tempat penampungan air
(TPA) untuk keperluan sehari-hari, sehingga populasi nyamuk Aedes aegypti dapat
ditekan serendah-rendahnya. Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada
wadah yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%)
dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga). Kegiatan larvasidasi
meliputi:
1) Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA)
baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di
desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida). Kegiatan
larvasidasi ini dilaksanakan 4 siklus (3 bulan sekali) dengan menaburkan larvasida
pada TPA yang ditemukan jentik. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih
oleh petugas Puskesnas. Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan
sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.
2) Abatisasi massal
Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD.
Abatisasi massal adalah penaburan abate secara serentak diseluruh wilayah/daerah
tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh
rumah/bangunan. Sasaran rumah per desa/kelurahan (3.000 rumah) sedangkan
sekolah per 15 sekolah.
d. Pemeriksaan Jentik Berkala
Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan kegiatan pemeriksaan atau
pengamatan dan pemberantasan vektor penular DBD pada tempat penampungan air
dan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk mengetahui adanya jentik
nyamuk. Kegiatan tersebut yang dilakukan secara teratur 3 bulan sekali. Kegiatan ini
dilaksanakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) melalui 3M baik di pemukiman maupun di tempat-tempat umum/industri.
Sasaran lokasi kegiatan ini adalah rumah/bangunan sekolah dan fasilitas kesehatan di
desa/kelurahan endemis dan sporadis pada tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti di 100 sample yang dipilih secara acak.
e. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan memberantas jentik nyamuk
Aedes aegypti di tempat berkembangbiaknya dalam bentuk kegiatan 3M plus
(Menguras, Menutup, Mengubur) yakni menguras bak mandi, bak WC, menutup TPA
rumah tangga (tempayan, drum dan lain-lain) serta mengubur atau memusnahkan
barang-barang bekas (kaleng, ban dan lain lain).
Tujuan dari kegiatan PSN adalah untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes
aegypti, sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sasaran
(target) kegiatan PSN adalah desa/kelurahan dengan rincian terdiri dari pertemuan
Pokja, latihan kader, peyuluhan, penggerakan massa, operasional kerja bakti,
pemeriksaan jentik. Ukuran keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur
dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
f. Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan penyampaian materi mengenai situasi DBD
di wilayahnya dan cara-cara pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan oleh individu,
keluarga dan masyarakat disesuaikan dengan kondisi setempat oleh petugas
kesehatan/kader atau Pokja DBD Desa/kelurahan. Tujuan diadaannya penyuluhan
adalah agar masyarakat berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan dan pemberantasan
penyakit DBD.16

2.14 Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD seperti juga penyakit menular


lainnyadidasarkan pada usaha pemutusan rantai penularannya. Pada penyakit DBD
yang merupakankomponen epidemiologi adalah terdiri dari virus dengue, nyamuk
Aedes aegypti dan manusia.Belum adanya vaksin untuk pencegahan penyakit DBD
dan belum ada obat-obatan khususuntuk penyembuhannya maka pengendalian DBD
tergantung pada pemberantasan nyamukAedes aegypti. Penderita penyakit DBD
diusahakan sembuh guna menurunkan angka kematian,sedangkan yang sehat terutama
pada kelompok yang paling tinggi resiko terkena, diusahakanagar jangan mendapatkan
infeksi virus dengan cara memberantas vektornya.17
Sampai saat ini pemberantasan vektor masih merupakan pilihan yang terbaik
untukmengurangi jumlah penderita DBD. Strategi pemberantasan vektor ini pada
prinsipnya samadengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO dengan
mengadakan penyesuaian tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi
tersebut terdiri atas :
a. Pengelolaan Lingkungan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai kegiatan untuk mengkondisikan
lingkungan menyangkut upaya pencegahan dengan mengurangi perkembang biakan
vektor sehingga mengurangi kontak antar Vektor dengan manusia. Metode pengelolaan
lingkungan mengendalikan Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta mengurangi
kontak vektor dengan manusia adalah dengan melakukan pemberantasan sarang
nyamuk. Pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembang biakan buatan
manusia dan perbaikan desain rumah.
Kampanye PSN sudah digalakkan pemerintah dalam hal ini Departemen
Kesehatan dengan semboyan 3M, yakni menguras tempat penampungan air secara
teratur, menutup tempattempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas
17
yang dapat menjadi sarang nyamuk. Dengan melakukan kegiatan PSN DBD secara
rutin oleh semua masyarakat maka perkembang biakan penyakit di suatu wilayah
tertentu dapat dicegah atau dibatasi.
b. Perlindungan Diri
Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk antara lain
dengan menggunakan pakaian pelindung, menggunakan anti nyamuk bakar, anti
nyamuk lotion (repellent), menggunakan kelambu baik yang dicelup larutan
insektisida maupun tidak.
c. Pengendalian Biologis
Penerapan pengendalian biologis ditujukan langsung terhadap jentik Aedes dengan
menggunakan predator, contohnya dengan memelihara ikan pemakan jentik seperti
ikan kepala timah, dan ikan gupi. Selain menggunakan ikan pemakan jentik, predator
lain yang digunakan yaitu bakteri dan cyclopoids (sejenis ketam laut). Ada dua spesies
bakteri endotoksin yakni Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt.H-14) dan Bacillus
sphaericus (BS) yang dinilai efektif untuk mengendalikan nyamuk dan bakteri tersebut
tidak mempengaruhi spesies.
d. Pengendalian dengan Bahan Kimia.
Bahan kimia telah banyak digunakan untuk mengendalikan Aedes aegypti sejak
berpuluh-puluh tahun yang lalu. Metode yang digunakan dalam pemakaian insektisida
adalah dengan larvasida untuk membasmi jentik-jentik (abatisasi) dan pengasapan
untuk membasmi nyamuk dewasa (fogging). Pemberantasan jentik dengan bahan
kimia biasanya menggunakan temephos. Formulasi temephos (abate 1%) yang
digunakan yaitu granules(sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram
temephos (kurang lebih 1 sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Abatisasi
dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan, khususnya di dalam gentong
tanah liat dengan pola pemakaian air normal.
Pengendalian nyamuk dewasa dengan insektisida dilakukan dengan sistem
pengasapan. Hal ini merupakan metode utama yang digunakan untuk pemberantasan
DBD selama 25 tahun di berbagai Negara. Tetapi metode ini dinilai tidak efektif
karena menurut penelitian hanya berpengaruh kecil terhadap populasi nyamuk dan
penularan dengue.18
e. Pendekatan Pemberantasan Terpadu
Pendekatan pemberantasan terpadu menurut Kalra dan Bang adalah suatu strategi
pemberantasan vektor penyakit yang dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode yaitu dengan pengendalian biologi, pengendalian secara kimiawi,
perlindungan diri, pengelolaan lingkungan, dan penyuluhan kesehatan secara terpadu.
Pemberantasan sarang nyamuk DBD merupakan upaya pemberantasan vektor dengan
metode pendekatan terpadu karena menggunakan beberapa cara yaitu secara kimia
dengan menggunakan larvasida, secara biologi dengan mengguanakan predator, dan
secara fisik yang dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras, Menutup, dan Mengubur).
Pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-
kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembang biak ditempat itu.
Apabila PSN-DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan
nyamukAedes aegypti dapat dibasmi. Untuk itu diperlukan upaya penyuluhan dan
motivasi kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama,
karena keberadaan Aedes aegypti berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

2.15 Langkah Evaluasi Program


Evaluasi program bertujuan untuk melihat apakah program dirancang,
dilaksanakan, dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam program. Pada
pelaksanaannya evaluasi program bermaksud mencari informasi sebanyak mungkin
untuk mendapatkan gambaran rancangan dan pelaksanaan program. Hasil Evaluasi
tersebut akan digunakan bagi pihak yang berkepentingan untuk mengambil
keputusan.19
Setiap evaluator mempunyai tugas mengumpulkan informasi seputar program.
Dalam menjalankan tugasnya, evaluator dapat mengembangkan cara mengumpulkan
informasi sesuai dengan paradigma dan pendekatan yang dianutnya. Pada prinsipnya,
prosedur pengumpulan informasi pada evaluasi program memiliki banyak kesamaan
dengan prosedur yang dijalani oleh peneliti. Jadi banyak evaluator yang meminjam
prinsip-prinsip yang digunakan pada penelitian.
Dalam penelitian pendidikan ada 2 paradigma yang sering digunakan yaitu
kuantitatif dan kualitatif. Paradigma kualitatif digunakan pada penelitian bersifat
inkuiri untuk memahami masalah yang timbul berdasarkan pada analisis mendalam
terhadap gambaran-gambaran yang menyeluruh, informasi yang rinci dari berbagai
informan, dan penelitian dilakukan dalam setting alamiahnya. Sedangkan paradigma
kuantitatif digunakan pada penelitian yang berbasis pengujian teori yang dibangun
oleh sejumlah variable, melibatkan pengukuran yang dinyatakan dengan angka,
dianalisis dengan uji statistika tertentu untuk mencari kesimpulan apakah hasil
penelitian tersebut dapat digeneralisasikan untuk membuktikan bahwa teori yang
digunakan memang dapat dinyatakan mengandung kebenaran.19
a. Evaluasi Kuantitatif
1) Paradigma Kuantitatif
Paradigma kuantitatif, dalam isu ontologis penelitian melihat kenyataannya
sebagai objek yang berada di luar peneliti. Sehingga hasil pengumpulan informasinya
diarahkan kepada nilai objektifitas dan independensi. Peneliti selalu akan berusaha
untuk menghindari pengaruh-pengaruh variable intervening yang diperkirakan akan
mempengaruhi interaksi antar variable yang diteliti. Sampel yang diteliti juga
dipertimbangkan lebih dauhulu dari segi karakteristiknya sehingga sample tersebut
dianggap dapat mewakili populasinya.
2) Pendekatan
Dalam evaluasi program, ada beberapa pendekatan yang sesuai dengan
paradigma kuantitatif yaitu : pendekatan tujuan (model Goal oriented), pendekatan
proses (model CIPP, CSE-UCLA, Countenance).
Proses evaluasi mempunyai tahap-tahap yang linier , tertentu serta selalu
memposisikan evaluator sebagai yang berada di luar program sedang dalam posisi
memotret keadaan di dalam program. Hal ini memang dianggap penting bagi evaluator
untuk keperluan menjaga objektifitas serta independensi data yang dikumpulkan.
3) Desain Evaluasi Program
Desain evaluasi program mencakup suatu proses dan seperangkat rencana atau
hasil tertulis. Desain evaluasi merupakan bentuk rencana untuk melakukan evaluasi
yang meliputi komponen : focus evaluasi, cara menjaring informasi, mengolah
informasi yang didapatkan, membuat laporan, dan melakukan review atau peninjauan
kembali terhadap semua langkah evaluasi yang telah dilakukan.
Desain evaluasi program yang menggunakan pendekatan kuantitatif, pada prinsipnya
mengikuti langkah seperti yang dilakukan oleh peneliti yang akan melakukan
penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Format rancangannya mencakup
konteks atau pernyataan tentang apa yang mendasari perlunya dilakukan evaluasi
terhadap suatu program, kemudian apa tujuan dilakukannya evaluasi program.
Selanjutnya akan dibuat sejumlah pertanyaan hipotetis yang merujuk pada informasi
apa yang akan dijaring guna mencapai tujuan evaluasi yang telah ditetapkan.
Kemudian ditetapkan pula metodologi yang mencakup penetapan desain evaluasi,
subjek yang akan dievaluasi, instrumentasi untuk menjaring data, serta pengolahannya
Pada pendekatan kuantitatif, karakteristik yang menonjol adalah pada pertanyaan
hipotetik yang sepadan dengan rumusan masalah pada penelitian kuantitatif, desain
yang juga menggunakan desain-desain penelitian kuantitaif , subjek penelitian yang
mempertimbangkan metode sampling, dan pengolahan data yang merujuk pada
pembuktian hipotesis menggunakan uji statistika tertentu. Biasanya pada pengolahan
data akan dipilih cara yang lebih banyak menyatakan kualitas suatu data dalam bentuk
angka-angka dan kemudian diuji dengan menggunakan penghitungan rumus-rumus
sesuai dengan pola hubungan antar variable yang ingin dibuktikan. Kesimpulannyapun
dinyatakan dalam bentuk pernyataan yang didukung oleh angka-angka. Biasanya
evaluator yang menggunakan cara ini menganggap bahwa angka-angka mempermudah
menyatakan, membandingkan, dan mempertinggi akurasi.
4) Prosedur Evaluasi Program
Prosedur evaluasi program merujuk pada teknik evaluasi program yang
operasional sehingga mencakup urutan tahap-tahap yang dilakukan jika akan
melakukan evaluasi program. Biasanya operasionalisasi evaluasi program lebih
menekankan pada bagaimana cara mengumpulkan informasi yang diperlukan,
seberapa banyak informasi harus dikumpulkan, bagaimana pengaturan data yang telah
terkumpul, bagaimana cara mengolahnya, bagaimana cara menampilkan data tersebut
kepada pihak yang memerlukan, serta efisiensi dalam mengumpulkan data.
Pendekatan kuantitatif mengutamakan data yang bersifat numeric. Data yang
berupa opini, perilaku, penampilan tidak dinyatakan dalam deskripsi tetapi diolah
dahulu menggunakan pengkategorian dan kemudian diberi bobot dalam bentuk angka
untuk setiap kategori. Pengumpulan datanya biasanya menggunakan instrument
lembar observasi, lembar inventori, tes penguasaan kemampuan tertentu, tes unjuk
kerja, self rating, dan lain lain. Semua instrument tersebut biasanya telah ditentukan
pedoma pemberian skornya, sehingga nantinya data yang akan diolah lebih lanjut
adalah skor yang berupa angka.
Jumlah data juga menjadi sesuatu yang ditekankan pada pendekatan kuantitatif.
Jumlah data yang diambil dari populasinya harus mengikuti cara pengambilan sample
tertentu yang didasarkan pada seberapa besar sample tersebut dianggap mewakili
populasi agar kesimpulannya bias digeneralisasikan dan berlaku untuk populasi.
Semakin besar jumlah sampelnya semakin baik.
Perhatian terhadap objektifitas merupakan karakter dari pendekatan kuantitatif.
Konsekuensinya instrument yang digunakan sedapat mungkin diketahui validitas dan
reliabilitasnya. Dengan mengetahui validitas dan reliabilitas instrument, maka
dianggap bahwa situasi saat pengambilan data berlangsung serta personifikasi
pengambil data dianggap tidak mempengaruhi data yang dikumpulkan.
Selanjutnya pengolahan data juga menggambarkan karakteristik pendekatan
kuantitatif. Pengolahan data berupa angka ditentukan oleh jenis pertanyaan hipotetik
yang ingin dijawab. Jika yang ingin dilihat adalah perbedaan antara satu kelompok
data dengan data lainnya maka digunakan pengolahan data statistic t-test, chi-square,
anova, dan yang sejenisnya. Jika yang akan dilihat adalah hubungan antara satu
kelompok data dengan kelompok data lainnya, maka akan digunakan pengolahan data
statistic korelasi. Jika yang akan dilihat adalah seberapa luas penyebaran data yang
dikumpulkan maka akan digunakan analisa data dengan mencari standar deviasinya,
atau range semi interquartile. Keputusan pengolahan data mana yang akan dipakai
sudah ditentukan sejak awal dan benar dipatuhi semua persyaratannya. Kesimpulan
yang dihasilkan biasanya dinyatakan dalam bentuk kalimat yang didukung oleh derajat
signifikansi. Dengan cara seperti ini, baik peneliti maupun evaluator berkeyakinan
bahwa kesimpulan yang dibuat bersifat objektif, terhindar dari bias, dan akurat
(sesedikit mungkin disebabkan karena factor kebetulan).19
b. Evaluasi Kualitatif
1) Paradigma Kualitatif
Paradigma ini mengandung beberapa kata kunci yaitu : 1) focus pada
penelusuran secara inkuiri di tempat alamiahnya; 2) bergantung pada peneliti yang
bertindak sebagai instrument penjaring data; 3) laporannya berbentuk narasi bukan
angka.
2) Pendekatan
Pendekatan evaluiasi program kualitatif sangat mengandalkan pengumpulan
data empiris dan analisis terhadap informasi yang terdokumentasi secara sistematis.
Pendekatan kualitatif lebih sesuai untuk melakukan evaluasi pada saat program
berlangsung. Dengan demikian evaluator dapat mengetahui dan bisa memahami segala
hal yang berkaitan dengan program dengan cara melihat langsung pada saat program
sedang berjalan. Cara ini dirasa perlu karena ada fenomena-fenomena tertentu,
peristiwa tertentu, maupun pihak-pihak tertentu yang hanya dapat dijaring
informasinya secara lebih mudah pada saat program berlangsung. Pengumpulan
informasi sebanyak mungkin pada saat beeguna untuk mengidentifikasi dengan lebih
pasti apa saja yang menyebabkan program bisa berlangsung dengan baik atau tidak.
Selain itu, jika ada hal-hal yang menarik perhatian, evaluator dapat melakukan
penelusuran lebih jauh untuk menentukan konteks suatu peristiwa. Hal lain yang
menonjol dari pendekatan ini adalah evaluator mempunyai kesempatan mengadakan
interaksi dalam konteks pelaksanaan program sehingga atmosfer program dapat
tertangkap dengan baik. Hal ini akan membuat evaluator dapat memahami
latarbelakang suatu fenomena yang muncul dalam pelaksanaan program, yang mana
akan sulit didapatkan jika pendekatan kuantitatif yang dipakai.
3) Desain Evaluasi Program
Desain evaluasi program yang menggunakan pendekatan kualitatif agak
berbeda dengan desain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dikenal banyak orang
mempunyai cirri fleksibel dalam metode pengumpulan datanya dan pada saat proses
berlangsung bias saja penelitinya mengembangkan datanya sejauh itu masih dalam
konteks menggali informasi yang nantinya dapat digunakan untuk membangun teori
baru. Sedangkan pada evaluasi program informasi apa yang akan dikumpulkan telah
ditetapkan pada awal penentuan desain dan sedapat mungkin pada saat pengumpulan
informasi tidak terjadi perluasan pencarian informasi dengan alasan mencari titik
jenuh kepusan peneliti dalam mengumpulkan informasi.
Karakteristik lain yang ada pada penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif seperti posisi peneliti dalam konteks penelitian, unit informasi dan unit
analisis, tipe informasi yang dikumpulkan, analisis data serta cara menyimpulkan juga
digunakan dalam evaluasi program yang bersifat kualitatif . Format rancangannya
mencakup konteks atau pernyataan tentang apa yang mendasari perlunya dilakukan
evaluasi terhadap suatu program, kemudian apa tujuan dilakukannya evaluasi program.
Selanjutnya akan disepakati dahulu asumsi yang relevan, aturan-aturan dalam
pengumpulan informasi serta cara pengumpulan informasi, pengorganisasian data,
analisis data, serta verifikasi data.
Pada pendekatan kualitatif, karakteristik yang menonjol adalah pada posisi
evaluator dalam pelaksanaan evaluasi. Tujuan evaluasi adalah mengumpulkan
informasi tentang suatu program, evaluator walaupun bukan bagian dari pelaku di
dalam program, tetapi pada pendekatan kualitatif evaluator harus berada dalam
program dan mempunyai aksesibilitas yang tinggi terhadap semua komponen program.
Tujuan utama evaluasi program dengan pendekatan kualitatif adalah mendapatkan
gambaran yang menyeluruh tentang suatu program di semua aspeknya. Pendekatan ini
menekankan pada mendapatkan pemahaman lebih luas dan cenderung membentuk
perspektif yang tak berujung dari suatu fenomena atau kejadian tertentu. Tujuan utama
digunakannya pendekatan ini adalah menemukan kekuatan dan kelemahan program
dari berbagai sudut pandang.
Berbeda dengan pendekatan kuantitatif pertanyaan yang menjadi focus
evaluasi tidak menggambarkan adanya variable, data yang dikumpulkan akan
ditampilkan dalam bentuk natative, tidak terlalu mementingkan metode sampling, dan
pengolahan data tidak selalu menggunakan uji statistika tertentu. Biasanya pada
pengolahan data akan dipilih cara yang lebih banyak menyatakan kualitas interaksi
antara satu data dengan data lainnya dalam konteks menggambarkan situasi dan
kondisi pada saat fenomena tertentu muncul. Kesimpulannyapun dinyatakan dalam
bentuk pernyataan yang berbentuk deskripsi sehingga orang dapat melihat suatu
gambaran yang utuh tentang suatu program.
4) Prosedur Evaluasi Program
Prosedur evaluasi program berdasarkan pendekatan kualitatif biasanya mulai
dari mendesain, lalu menentukan sample, mengumpulkan data, kemudian dianalisis.
Perbedaan yang mencolok antara pendekatan kuanlitatif dan kuantitatif adalah
prosedur dalam mengumpulkan data tidak mengikuti alur tertentu yang linier artinya
pengumpulan data bisa maju dan mundur sesuai dengan kebutuhan informasi dan
keperluan penelusuran untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukan. Ada cara
untuk mencegah evaluator kehilangan focus yaitu dengan menggunakan FQE
(Focused Qualitative Evaluation).
Alat pengumpul data yang digunakan pada pendekatan ini bias berupa catatan
tentang kasus-kasus, pedoman wawancara, kuesioner, transkripsi rekaman suara,
video, atau berupa foto, sosiogram, reka ulang, judicial review. Data yang terkumpul
biasanya diberi kode dan diorganisasikan sedemikian rupa berdasarkan tingkat
relevansinya dengan suatu fenomena atau peristiwa tertentu yang terjadi dalam
program. Data tersebut nantinya akan dianalisis dengan cara mengelompokkan
berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam program. Data akan disajikan dalam bentuk
cerita yang rinci lengkap dengan analisis situasi dan perilaku orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Evaluasi semacam ini biasanya diperlukan pada program-program
tentative atau pilot project yang masih ingin dicari kekuatan dan kelemahannya. Hasil
evaluasi nentinya akan digunakan untuk keperluan pengembangan program dengan
cakupan yang lebih luas.
Tahap-tahap evaluasi program dengan pendekatan kualitatif secara garis besar adalah :
a) Menentukan tujuan evaluasi, jangka waktu evaluasi, dan factor pendukung lain
seperti aksesibilitas ke dalam program
b) Menentukan unit analisis yang merujuk kepada individu yang terlibat dalam
program (panitia, peserta, penyandang dana, pengguna output program, unsure
pendukung program)
c) Menentukan sample, jenis data yang akan dikumpulkan, cara menganalisis data, dan
cara menyimpulkan.19

2.15 Urgency, Seriousness, Growth (USG)


Urgency, Seriousness, Growth (USG) adalah salah satu alat untuk menyusun
urutan prioritas isu yang harus diselesaikan. Caranya dengan menentukan tingkat
urgensi, keseriusan, dan perkembangan isu dengan menentukan skala nilai 1 5 atau
1 10. Isu yang memiliki total skor tertinggi merupakan isu prioritas.20
Alat pertama yang dapat digunakan untuk menentukan permasalahan prioritas
adalah dengan menggunakan Matriks USG. Kepner dan Tragoe (1981) menyatakan
pentingnya suatu masalah dibandingkan masalah lainnya dapat dilihat dari tiga aspek
berikut:
- Bagaimana gawatnya masalah dilihat dari pengaruhnya sekarang ini
terhadap produktivitas, orang, dan / atau sumber dana dan daya?
- Bagaimana mendesaknya dilihat dari waktu yang tersedia?
- Bagaimanakah perkiraan yang terbaik mengenai kemungkinan
berkembangnya masalah?
Pada penggunaan Matriks USG, untuk menentukan suatu masalah yang
prioritas, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan. Ketiga faktor tersebut
adalah urgency, seriuosness, dan growth.
Urgency berkaitan dengan mendesaknya waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Semakin mendesak suatu masalah untuk
diselesaikan maka semakin tinggi urgensi masalah tersebut.
Seriousness berkaitan dengan dampak dari adanya masalah tersebut terhadap
organisasi. Dampak ini terutama yang menimbulkan kerugian bagi organisasi seperti
dampaknya terhadap produktivitas, keselamatan jiwa manusia, sumber daya atau
sumber dana. Semakin tinggi dampak masalah tersebut terhadap organisasi maka
semakin serius masalah tersebut.
Growth berkaitan dengan pertumbuhan masalah. Semakin cepat berkembang
masalah tersebut maka semakin tinggi tingkat pertumbuhannya.
Suatu masalah yang cepat berkembang tentunya makin prioritas untuk diatasi
permasalahan tersebut. Untuk mengurangi tingkat subyektivitas dalam menentukan
masalah prioritas, maka perlu menetapkan kriteria untuk masing-masing unsur USG
tersebut. Umumnya digunakan skor dengan skala tertentu. Misalnya penggunaan skor
skala 1-5. Semakin tinggi tingkat urgensi, serius, atau pertumbuhan masalah tersebut,
maka semakin tinggi skor untuk masing-masing unsur tersebut.20

2.16 Puskesmas6
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang:
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat
b. mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat.

Prinsip penyelenggaraan puskesmas antara lain:


a. Paradigma sehat
b. Pertanggungjawaban wilayah
c. Kemandirian Masyarakat
d. Pemerataan
e. Teknologi tepat Guna
f. Keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung
terwujudnya kecamatan sehat. Untuk itu puskesmas memiiki fungsi:
a. penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya. Puskesmas
berwenang untuk:
1. melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
2. melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
3. melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
4. menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait;
5. melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat;
6. melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
Puskesmas;
7. memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
8. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses,
mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan; dan
9. memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat,
termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon
penanggulangan penyakit.
b. penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya. Puskesmas
berwenang untuk:
1. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
2. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
3. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat;
4. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan
dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
5. menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan
kerja sama inter dan antar profesi;
6. melaksanakan rekam medis;
7. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
Pelayanan Kesehatan;
8. melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
9. mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
10. melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem
Rujukan.
Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama.Upaya kesehatan sebagaimana tersebut
dilaksanakan secara terintegrasidan berkesinambungan. meliputi upaya kesehatan
masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya
kesehatan masyarakat esensial sebagaimana dimaksud pada meliputi:
a. pelayanan promosi kesehatan;
b. pelayanan kesehatan lingkungan;
c. pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
d. pelayanan gizi; dan
e. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.
Upaya kesehatan masyarakat esensial tersebut harus diselenggarakan oleh setiap
Puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota
bidang kesehatan.
Sedangkan upaya kesehatan masyarakat merupakan upaya kesehatan masyarakat
yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau bersifat
ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah
kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di
masing-masing Puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya
kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni:
a. Upaya Kesehatan Remaja
b. Upaya Kesehatan Kerja dan Olahraga
b. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
c. Upaya Kesehatan Jiwa
d. Upaya Kesehatan Indra
e. Upaya Kesehatan Usia Lanjut
f. Upaya Kesehatan Calon Pengantin Komprehensif

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Tatalaksana DBD. Jakarta


Dinas Kesehatan Kota Pontianak. 2008. Laporan Evaluasi Program Demam
Berdarah di Kota Pontianak Tahun 2007. Pontianak
WHO. 1999. Guideline of treatment of Dengue Fever / Dengue Hemorrhagic
Fever in Small Hospital.
1) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3.
Jakarta. 2004.
2) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
3) Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
Agustus 2002.
4) Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian.World Health Organization. Edisi 2. Jakarta.
1998.
5) Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18.
Saunders. 2007.
6) World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Guideline for
Diagnosis, Treatment, Prevention and Control; WHO : 2009.
7) Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. Clinical Manifestation
and Epidemiology. CDC : 2009

1. Departemen Kesehatan RI. Perkembangan Kasus Demam Berdarah di


Indonesia. http://www.depkes.go.id. 10 Juni 2008.
2. Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Laporan Evaluasi Program Demam Berdarah
di kota Pontianak tahun 2007. Seksi Pemberantasan Penakit Menular, Dinkes,
Pontianak, 2008.
3. Indrawan. Mengenal dan Mencegah Demam Berdarah. Pioner Jaya, Bandung,
2001.
4. World Health Organisation. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan, dan Pengendalian. Alih Bahasa oleh Monica Ester. Ed.2. Jakarta :
EGC, 1999.

Anda mungkin juga menyukai

  • ORTOOO
    ORTOOO
    Dokumen26 halaman
    ORTOOO
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii Fix
    Bab Iii Fix
    Dokumen5 halaman
    Bab Iii Fix
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Tes OSCE Kardio
    Tes OSCE Kardio
    Dokumen6 halaman
    Tes OSCE Kardio
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • ORTOOO - PPTX (Autosaved)
    ORTOOO - PPTX (Autosaved)
    Dokumen36 halaman
    ORTOOO - PPTX (Autosaved)
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Bab I Fix
    Bab I Fix
    Dokumen5 halaman
    Bab I Fix
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen5 halaman
    Daftar Isi
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Evapro
    Presentasi Evapro
    Dokumen44 halaman
    Presentasi Evapro
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen3 halaman
    Presentation 1
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus FIX
    Laporan Kasus FIX
    Dokumen40 halaman
    Laporan Kasus FIX
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Lampiran
    Lampiran
    Dokumen19 halaman
    Lampiran
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Kusta
    Kusta
    Dokumen3 halaman
    Kusta
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Bab I Ev
    Bab I Ev
    Dokumen5 halaman
    Bab I Ev
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan TB
    Penyuluhan TB
    Dokumen16 halaman
    Penyuluhan TB
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • BAB I Penelitian Puskesmas
    BAB I Penelitian Puskesmas
    Dokumen5 halaman
    BAB I Penelitian Puskesmas
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • BAB V Edit 1
    BAB V Edit 1
    Dokumen21 halaman
    BAB V Edit 1
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Dapus 1
    Dapus 1
    Dokumen5 halaman
    Dapus 1
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • USG2
    USG2
    Dokumen8 halaman
    USG2
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Latarbelakang DBD P
    Latarbelakang DBD P
    Dokumen4 halaman
    Latarbelakang DBD P
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • DAFPUS
    DAFPUS
    Dokumen2 halaman
    DAFPUS
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • DBD Indikator Evaluasi
    DBD Indikator Evaluasi
    Dokumen3 halaman
    DBD Indikator Evaluasi
    YoonHeeNy
    67% (3)
  • Bab Ii Fix
    Bab Ii Fix
    Dokumen30 halaman
    Bab Ii Fix
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Usg DBD
    Usg DBD
    Dokumen1 halaman
    Usg DBD
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen4 halaman
    Daftar Isi
    Khoirul Anis
    Belum ada peringkat
  • DBD Etio-Progno
    DBD Etio-Progno
    Dokumen31 halaman
    DBD Etio-Progno
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Bab I Ev
    Bab I Ev
    Dokumen5 halaman
    Bab I Ev
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Bab III Evapro
    Bab III Evapro
    Dokumen6 halaman
    Bab III Evapro
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Referat BPH I
    Referat BPH I
    Dokumen44 halaman
    Referat BPH I
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Referat Meningitis Anak
    Referat Meningitis Anak
    Dokumen67 halaman
    Referat Meningitis Anak
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Ortho
    Jurnal Ortho
    Dokumen21 halaman
    Jurnal Ortho
    YoonHeeNy
    Belum ada peringkat