Anda di halaman 1dari 25

BAB I

STATUS PASIEN NEUROLOGI

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. A
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Konawe Selatan
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
No. RM : 49 45 47
Tanggal masuk RS : 2 Februari 2017
DPJP : dr. Nurdjajadin Aboe Kasim Sp.S
B. Anamnesis

Keluhan utama : Sulit membuka mulut


Anamnesis : Pasien masuk k IGD RSU Bahteramas dengan
terpimpin keluhan sulit membuka mulut. Pasien juga
mengeluhkan kaku pada otot hampir seluruh badan
terutama pada otot dinding perut dan punggung kaku
pada tubuh tersebut terasa seperti otot-otot seluruh
badan yang tertarik sejak 3 hari yang lalu, mulut
pasien hanya dapat terbuka 1 jari, pasien juga
kesulitan untuk mengunyah makanan maupun
berbicara. Awalnya telapak kaki kanan pasien
tertusuk oleh kayu yang dialami sejak satahun yang
lalu, pasien merasa seperti masih ada kayu yang
tertinggal di luka tersebut akhirnya pasien
memutuskan untuk ke puskesmas. Di puskesmas di
lakukan cross insisi, 3 hari kemudian bekas sayatan
menjadi bernananah, 10 hari kemudian pasien mulai
mengeluhkan nyeri disekujur tubuh .Saat dirumah
pasien tidak pernah kejang. 1 hari setelah dirawat di
RS pasien mengalami kejang sebanyak 2 kali.
Kejang berupa posisi kepala tertenggak kebelakang
dan punggung keatas dengan durasi 5 detik disertai

1
nyeri pada seluruh tubuh, diantara kejang pasien
sadar. Riwayat trauma sebelumnya (+) ( pasien
tertusuk kayu pada telapak kaki kiri dengan lebar
insisi luka 3 mm), riwayat imunisasi: tidak diketahui.
Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya (-).
Riwayat HT (+)
Riwayat penyakit : Keluhan yang sama sebelumnya (-), otitis media (-),
dahulu
HIV (-), HT (+), Hipotiroidisme (-)
Riwayat keluarga : Keluhan serupa (-)
Riwayat kebiasaan : Rokok (+), alkohol (-), kopi (+)
Riwayat : Pengobatan jangka panjang (-)

pengobatan Alergi obat (-)

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum

Kesan : Sakit sedang Tensi : 200/110 Anemis: (-/-)

mmHg
Kesadaran : Composmentis Nadi : 100x/m Ikterus: (-/-)
Gizi : Baik Suhu : 36,8 0C Sianosis: (-/-)
Pernapasan : 36x/m

Pemeriksaan toraks

Jantung
: IC tidak tampak
Inspeksi : IC tidak teraba
: Batas jantung kanan: ICS IV linea parasternalis D
Palpasi Batas jantung kiri: ICS V 2 jari linea

Perkusi : midclavicularis S
BJ I/II murni reguler, murmur (-)

Auskultasi
Thoraks
: Simetris ki=ka, tidak tampak tahanan bernapas
Inspeksi : Krepitasi(-), nyeri tekan(-), vokal fremitus simetris

2
Palpasi : kesan normal
: Sonor, batas paru-hepar ICS V
Vesikular +/+, Rh -/- basal paru, wh -/-

Perkusi

Auskultasi

Pemeriksaan Psikiatri

Emosi dan efek : Baik Penyerapan : Baik


Proses berfikir : Baik Kemauan : Baik
Kecerdasan : Baik Psikomotor : Baik
Status neurologis

GCS : E4M6V5

1. Kepala

Posisi : Ditengah Bentuk/ukuran : Bulat/normocephal


Penonjolan : (-) Auskultasi : Normal
2. Saraf Cranialis

N.I

Penghidu : Normal

N.II

OD OS
Ketajaman penglihatan 6/6 6/6
Lapangan penglihatan Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.III, IV, VI

Dextra Sinistra
Celah kelopak mata
(-) (-)
Ptosis (-) (-)

3
Exoftalmus
Ptosis bola mata (-) (-)
Pupil
2,5 mm/ bulat 2,5 mm/ bulat
Ukuran/bentuk - -
tidak dilakukan
Isokor/anisokor Normal tidak dilakukan

RCL/RCTL Normal

Refleks akomodasi
Gerakan bola mata
(-) (-)
Parese ke arah (-) (-)

Vus VNistagmus
N.V

Sensibilitas : N.V1 : Sulit Dinilai


N.V2 : Sulit Dinilai
N.V3 : Sulit Dinilai

.Motorik : Inspeksi/palpasi : Normal


(istirahat/menggigit)

Refleks kornea : Sulit dinilai

N.VII

Motorik M.Frontalis M. Orbicularis oculi M. Orbicularis oris

Istirahat

Mimik
Pengecap 2/3 depan :
N.VIII

Pendengaran : Normal
Tes rinne/weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi vestibularis : Tidak dilakukan pemeriksaan
Posisi arkus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks telan/muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecap 1/3 lidah belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suara : Normal
Takikardi/bradikardi : Normal
N.XI

4
Memalingkan kepala dengan/ : Terdapat tahanan

tanpa tahanan
Angkat bahu : -
N.XII

Deviasi lidah : Tidak ada


Fasikulasi : Tidak ada
Atrofi : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Ataxia : Tidak ada
3. Leher

Rangsang menings
: (+) otot leher kaku
Kaku kuduk : Sulit dinilai

Kernigs sign
Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
Arteri karotis : Bruit (-)
Kelenjar gondok : Pembesaran (-)

4. Status lokalis
Pada wajah : adanya trismus (+) 1 cm
Pada leher : Kaku kuduk (+) otot tegang
Abdomen : perut tegang dan terasa seperti papan, Risus sardonikus

(+)

5. Ekstremitas

Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan
Kekuatan SULIT
DINILAI

Tonus
Bentuk otot N N N N

Refleks fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps - -
Triceps - -

5
Radius - -
Ulna - -
KPR - -
APR - -
Klonus
Lutut : Normal
Kaki : Normal
Laseq test : -
Patrick test : -
Kontrapetrick test : -
Refleks patologis

Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior


Hoffmann :- Babinski :-
Tromner :- Chaddock :-
Gordon :-
Schaefer :-
Oppenheim : -

Sensibilitas
Ekstroseptif: -Nyeri : Normal
- Suhu : Normal
- Rasa raba halus : Normal
Propriodeptif : - Rasa sikap : Normal
- Rasa nyeri dalam : Sulit dinilai
Fungsi kortikal : - Rasa diskriminasi : Normal
- Stereognosis : sulit dinilai
Pergerakan abnormal spontan : (-)

Gangguan koordinasi

Tes jari hidung : sulit dinilai


Tes pronasi supinasi : sulit dinilai
Tes tumit : sulit dinilai
Tes pegang jari : sulit dinilai

Gangguan keseimbangan

Tes Romberg : sulit dinilai


Tes Gait : sulit dinilai

Pemeriksaan fungsi luhur :

6
Reaksi emosi : Normal
Fungsi bicara : Menurun
Fungsi psikosensorik (gnosis) : Normal
Intelegensia : Normal

Fungsi psikomotorik (praksia) : Normal

D. Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah rutin

Parameter Hasil Nilai rujukan

WBC 13,96 [10^3/uL] 3,00 15,00

RBC 5,12 [10^6/uL] 2,50 5,50

HGB 15,8 [g/dL] 8.0 17,0

HCT 47,2 [%] 26,0 38,0

MCV 92,2 [fl] 86,0 - 110,0

MCH 30,9 [pg] 26.0 38.0

MCHC 33,5 [g/dL] 31.0 37.0

PLT 300 [10^3/uL] 50 - 400

7
E. Diagnosis

1. Klinis : Trismus
2. Topis : sel interneuron renshaw
3. Etiologis : Clostridium tetani
F. Diferensial diagnosis
1. Meningitis

G. Penatalaksanaan

1. Non Medikamentosa
Bed rest ditempat isolasi : cahaya remang-remang, jauh dari suara gaduh

dan ribut, tidak mengalami kontak (sentuhan) dengan keluarga


2. Medikamentosa
- D5 + Diazepam 10 amp/ drips 20 tpm
- RL+ Neurosanbe 1 Amp/12 jam/iv
- Inj Metronidazole 500 mg/8 jam/infus
- Inj Ampicilin I amp/8 jam/iv
- Tetagam 12 ampul (single dos) Bahu= im/ 6 ampul
Bokong = im/ 6 ampul

H. PROGNOSA
Qua ad vitam : Dubia ad bonam
Qua ad functionam : Dubia ad bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad bonam

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik diluar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologic lainnya.1
Bells Palsy pertama kali dinamai oleh Dr. Charles Bell pada tahun

1821, digambarkan sebagai paralisis wajah secara keseluruhan setelah cedera

9
foramen stylomastoid. Biasanya didefenisikan sebagai palsy nervus fasialis

perifer akut yang biasanya disebabkan trauma, kompresi, infeksi, inflamasi

atau metabolic abnormal yang mengenai nervus fasialis. Biasanya unilateral

dan seluruhan atau sebagian. Pasien yang terkena biasanya tidak dapat

menutup mata. Wajah biasa menjadi asimetris, dan saliva terjatuh pada sudut

mulut. Tergantung letak lesi, beberapa pasien biasanya mengeluh intoleransi

suara atau kehilangan rasa.2


B. ANATOMI
Nervus fasialis (N. VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang

terdiri dari 7.000 saraf motorik untuk menginnervasi muskulus fasialis dan

3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg)

yang berisikan serabut sensorik dan serabut parasimpatik.3,4

10
Gambar 1. Letak Nervus Facialis pada Brainstem3

1. Komponen motorik nervus fasialis


Nucleus motorik dari nervus fasialis berlokasi di ventrolateral

portion dari pontine tegmentum. Pada batang otak, nervus fasialis akan

mengelilingi nervus abdusens (bentuk ini disebut internal genu of facial

nerve), yang akan membentuk tonjolan kecil pada dasar ventrikel ke empat

(facial colliculus). Selanjutnya, nervus akan berjalan ke ventrolateral pons

dan keluar ke batang otak, melalui subarachnoid space pada sudut

cerebellopontine, dan masuk ke maetus internal akustikus bersama dengan

nervus internus dan nervus vestibulococlearis. Dalam meatus, nervus

fasialis dan nervus internus berpisah dengan nervus VIII dan berjalan ke

lateral kanalis fasialis pada ganglion geniculatum. Pada tingkat ganglion,

canalis fasialis akan meruncing kebawah (eksternal genu dari nervus

fasialis). Pada bagian akhir kanalis, nervus fasialis keluar dari tengkorak

melalui foramen stylomastoideus. Serat motorik tersebar disemua region

wajah. Menginnervasi semua muskulus fasialis yang berasal dari arkus

brachialis ke dua yaitu orbicularis oris dan oculi, buccinators, oksipitalis,

muskulus frontalis, dan muskulus kecil pada area seperti stapedius,

platysma, muskulus styloid, dan posterior dari muskulus digastrik.3

11
Gambar 2. Innervasi Nervus Fasialis3

Gambar 3. Innervasi Nervus Fasialis pada Otot Wajah3

2. Refleks yang melibatkan nervus fasialis

12
Nucleus motorik dari nervus fasialis berpartisipasi pada sejumlah

arkus refleks. Pada refleks blink, stimulus visual yang kuat menginduksi

colliculi superior untuk mengirim impuls visual pada nucleus fasialis di

pons melalui traktus tektobulbar, sehingga menyebabkan mata tiba tiba

tertutup. Demikian pula, pada refleks stapdius, impuls auditori dikirim

melalui nucleus dorsalis pada badan trapezoid nucleus fasialis sehingga

menyebabkan kontraksi atau relaksasi dari muskulus stapedius, tergantung

kekuatan stimulus auditori.3

Gambar 4. Perjalanan Impuls Nervus Fascialis3

3. Lesi motorik yang melibatkan nervus fasialis


Otot otot dahi berasal dari innervasi supranuclear dari kedua

hemisphere, sedangkan otot lainnya dipersarafi hanya unilateral yaitu

korteks presentral kontralateral. Jika jalur supranuclear bagian desendens

13
terganggu pada satu sisi akan menyebabkan palsy pada otot dahi, dan

pasien masih dapat menaikkan alis dan menutup mata. Tipe ini disebut

palsi tipe central. Pada tipe lesi perifer semua otot wajah sesisi mengalami

kelemahan. Untuk membedakan tipe sentral dan perifer dapat dilihat dari

penampakan klinisnya.
Nucleus motoris dari nervus fasialis tidak hanya diinervasi oleh cortex

fasialis tetapi juga diencephalon, yang memainkan peranan penting dalam

ekspresi wajah.3

Gambar 5. Lesi Nervus Fascialis pada Bells Palsy4

C. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Bells Palsy mulai dari 3,4 antara 11,5 dan 40,2 kasus
per 100.000 penduduk pertahun. Puncak kejadian di usia 30-50 tahun dan 60
70 tahun.4,6

D. ETIOLOGI
Etiologi bells palsy yaitu 50% dari pasien penyebabnya idiopatik.
Penyebab lain dapat disebabkan karena trauma, tekanan darah tinggi, diabetes
mellitus, kehamilan, dan virus.4
E. PATOFISIOLOGI

14
Patofisiologi parese nervus fasialis diduga akibat otot otot fasial
dibawah dahi menerima persarafan korteks kontralateral yaitu hanya serabut
kortikobulbaris yang menyilang. Karena itu suatu lesi rostral dari nucleus
fasialis yang berasal dari lesi fasialis sentral akan menimbulkan paralisis dari
otot otot fasialis kontralateral, kecuali otot frontalis dan orbicularis oculi
yang menerima persarafan kortikal bilateral, maka otot tersebut tidak akan
lumpuh karena lesi yang mengenai satu korteks motorik atau jaras
kortikobulbaris. Destruksi yang menyeluruh dari nucleus fasialis sendiri atau
serabut serabut efferent brankialnya (saraf fasialis proprius) melumpuhkan
seluruh otot wajah ipsilateral, hal ini ekivalen dengan lesi fasialis perifer.5
F. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis bells palsy dapat berbeda.
Bila lesi diforamen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang
menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak
mata, kedua mata melakukan rotasi keatass (Bells phenomenon). Selain itu,
mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuss lakrimalis yang
dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya
ditunjukan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat
gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.1
Lesi dikanalis fasialis (diatas persimpangan dengan korda timpani tetapi
dibawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi
diforamen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua pertiga
anterior lidah pada sisi yang sama.1
Bila lesi terdapat disaraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat
terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi
pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya
salvias serta dapat melibatkan saraf kedelapan.1

15
Gambar 6. Gambaran Pasien Bells Palsy2
G. PEMERIKSAAN FISIK
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap
untuk menyingkirkan kalainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan
penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan
pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mta
dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar keatas.1
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakan pada telinga
pasien maka suara akan terdengar lebuh jelas pada sisi cabang muskulus
stapedius yang paralisis. tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan
strok atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapat
kelainan pemeriksaan saraf cranialis lain, motorik dan sensorik, ekstremitas
dama batas normal, dan pasien tidak mampu menangkap alis dan dahi pada
sisi yang lumpuh.1
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada banyak kasus, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik

diagnosis bells palsy sudah dapat ditegakkan. Jika gejala klinik

meragukan dan paralisis lebih dari 6 8 minggu, maka harus dilakukan

pemeriksaan lanjut.7
Tidak ada diagnosis spesifik untuk bells palsy, berikut ini beberapa

pemeriksaan yang sering digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain


- Tes serologic

16
Tes serologic ini bertujuan untuk mengetahui infeksi yang

menyebabkan terjadinya bells palsy.


- Saliva flow tes
Saliva flow tes ini dikerjakan dengan cara meletakkan kateter

kecil ke kelenjar submandibula normal dan paralisis. Kemudian pasien

diminta untuk menghisap sesuatu (misalnya lemon), kemudian saliva

flow dibandingkan dengan dua sisi. Sisi normal dapat dikontrol.


- Schrimer blotting tes
Schrimer blotting tes digunakan untuk menilai fungsi air mata.

Digunakan benzene untuk menstimulasi refleks nasolakrimal, dan

menilai air mata kemudian bandingkan dengan kedua sisi.


- Nerve excitability tes
Nerve excitability tes digunakan untuk menilai ambang batas

stimulus listrik yang dibutuhkan untuk memproduksi kedutan otot. Tes

ini banyak ditentang.


- CT Scanning dan MRI
Pencitraan dengan CT Scan atau pemeriksaan lainnya

diindikasikan jika tidak ditemukan gejala fisik yang berhubungan atau

jika paresis progresif dan tidak berhenti, rekuren, curiga adanya lesi

pada Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga

tengah (otitis media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), ada

riwayat trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan

paralisisnya dalam 1 bulan.


Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu

neoplasma tulang temporal, tumor otak, tumor parotis atau untuk

mengevaluasi multiple sklerosis. Gambaran MRI pada kasus Bells

palsy dapat berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal

17
kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan

lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap.


I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi
sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai
kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di
hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan
disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya;
sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis
atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars
petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media
supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani
dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus
bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di
pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus
varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik
berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli
bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus
kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah
(angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris,
perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan
kadang hiperkalsemia.1
J. PENATALAKSANAAN
Terapi yang diberikan dapat berupa kombinasi non-farmakologi dan
farmakologis.
1. Non-farmakologis
a. Pengobatan local, Pemberian air mata artifisial untuk membantu
menutup mata dengan cara sederhana dengan plaster saat tidur hingga
diberi implant pemberat (gold weighting) atau dilakukan tarsotrafi oleh
dokter mata.8
b. Fisioterapi

18
Biasanya fisioterapi dilakukan pada hari ke-lima. Menurut Sukardi
dalam Munilson et al mengatakan fisioterapi dapat dilakukan pada
stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan
dari fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Beberapa macam fisioterapi yang dapat diberikan pada penderita bells
palsy :8
- Infra red
Penyinaran dengan infra red diusahakan tegak lurus dengan daerah
yang diobati dengan jarak lampu antara 45 60 cm. lama waktu
penyinaran antara 10 30 menit.
- Masase wajah
Pemberian massage ini diberikan pada seluruh permukaan wajah.
Massage diberikan selama 10 15 menit dengan pengulangan 7 10
kali.
- Terapi latihan dengan mirror exercise
Pasien diminta melakukan gerakan gerakan dari wajah seperti :
mengangkat alis dan dahi ke atas, menutup mata, tersenyum,
menarik sudut mulut ke samping kanan atau kiri, bersiul dan
mencucu, menutup mata dengan rapat, memperlihatkan gigi seri dan
mengangkat bibir ke atas, mengembangkempiskan cuping hidung,
mangucap kata kata labial : l, m, n. latihan ini dilakukan selama 10
20 menit dengan pengulangan 4 - 5 kali setiap latihan, dan
dilakukan 2 3 kali sehari.8
- Operasi
Operasi pada nervus fasialis jarang dilakukan kecuali pada keadaan
tertentu, misalnya pada kasus terpotongnya nervus fasialis yang
komplit. Ketika diputuskan untuk melakukan tindakan operatif untuk
dekompresi nervus fasialis, fungsi pendengaran dan keseimbangan
harus diperhitungkan. Pendekatan operasi untuk cedera nervus
fasialis bervariasi meliputi transmastoid, translabirin, dan fossa
media. Jika fungsi pendengaran dan keseimbangan baik, maka
pendekatan yang dipakai adalah transmastoid/fossa media. Jika
fungsi pendengaran dan keseimbangan terganggu, direkomendasikan
untuk menggunakan pendekatan transmastoid/translabirin.8

19
Tujuan dari tindakan ini untuk memperbaiki fungsi saraf
dengan mengurangi terjadinya fibrosis dan inflamasi, serta
memberikan penyambungan yang cepat disaraf. Tujuan ini dapat
dicapai dengan melakukan jahitan neurorafi atau dengan fibrin glue
untuk memberikan anastomosis ujung ke ujung. Pemulihan fungsi
fasialis setelah tindakan membutuhkan proses hingga sampai 7
bulan.8
2. Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling
mungkin dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada
saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang
dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk
optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-
60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per
hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.1
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,
diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan
terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan
preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun,
beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir
tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian
retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik
didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan
prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. 1
Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir
dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. de Almeida et al
menemukan bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan
dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan
kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral
dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.1

20
K. KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi
akibat Bells palsy, adalah :1
1.
regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
2. regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan
sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3)
reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan :
1. sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata,
2. crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata
pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan
3. clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-
tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja
pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak
terjadi bersamaan).
L. PROGNOSIS
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90%
pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60%
kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus
fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus
dapat rekuren.1
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-
aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan
Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan
kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.1

21
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan/ atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu
pertama.1

BAB III

RESUME DAN ANALISIS KASUS

A. RESUME
Pasien an Nn.S, 17 tahun, Islam, Pasien konsul dari bedah dengan
keluhan lemah separuh wajah sebelah kiri. Keluhan ini dirasakan secara tiba
tiba sejak 3 hari yang lalu setelah pasien jatuh dari motor. keluhan lain
pasien mengeluh sakit kepala (+), keluar air mata pada mata kiri (+) dan sering
keluar darah dari telinga. Pasien juga mengeluh mual (+) , muntah (-). Buang
air besar dan buang air kecil seperti biasa kesan normal. Riwayat keluhan yang
sama sebelumnya (-), Riwayat penyakit lain : DM (-), otitis media (-)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 120/70 mmHg, nadi : 80
x/menit, pernapasan : 20 x/menit, suhu : 37 0C. Keadaan umum sakit berat,
composmentis, gizi baik. Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan ada
kelainan pada N.VII yaitu pada saat istrahat terlihat pada sisi kiri pasien
parese pada M.Frontalis, M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis oris, sedangkan
pada mimic juga terlihat parese diaerah kiri yaitu pada M.Frontalis,
M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis oris, seta pasien juga mengatakan ia tidak
dapat merasakan manis.
B. ANALISIS KASUS
Pada pasien berdasarkan anamnesis Pasien konsul dari bedah dengan
keluhan lemah separuh wajah sebelah kiri. Keluhan ini dirasakan secara tiba
tiba sejak 3 hari yang lalu setelah pasien jatuh dari motor. Dalam teori
menyatakan Bells Palsy pertama kali dinamai oleh Dr. Charles Bell pada
tahun 1821, digambarkan sebagai paralisis wajah secara keseluruhan setelah

22
cedera foramen stylomastoid. Biasanya didefenisikan sebagai palsy nervus
fasialis perifer akut yang biasanya disebabkan trauma, kompresi, infeksi,
inflamasi atau metabolic abnormal yang mengenai nervus fasialis. Biasanya
unilateral dan seluruhan atau sebagian. Pasien yang terkena biasanya tidak
dapat menutup mata. Wajah biasa menjadi asimetris, dan saliva terjatuh pada
sudut mulut. Tergantung letak lesi, beberapa pasien biasanya mengeluh
intoleransi suara atau kehilangan rasa.2 Etiologi bells palsy yaitu 50% dari
pasien penyebabnya idiopatik. Penyebab lain dapat disebabkan karena
trauma, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, kehamilan, dan virus.4
Keluhan lain pasien mengatakan bahwa sering keluar air mata. Pada
teori mengatakan bahwa berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis bells palsy
dapat berbeda. Bila lesi diforamen stylomastoid, dapat terjadi gangguan
komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup
kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi keatass (Bells phenomenon).
Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuss lakrimalis
yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.
Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan ada kelainan pada N.VII
yaitu pada saat istrahat terlihat pada sisi kiri pasien parese pada M.Frontalis,
M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis oris, sedangkan pada mimic juga terlihat
parese diaerah kiri yaitu pada M.Frontalis, M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis
oris, seta pasien juga mengatakan ia tidak dapat merasakan manis. Dalam teori
menyatakan, kelemahan dan/atau paralisis dari nervus fasialis mengenai
seluruh wajah. Pemeriksaan kepala, mata, telinga, dan hidung harus dilakukan
pada semua pasien dengan paralisis fasial. Focus pertama adalah pergerakan
volunteer bagian atas dari sisi wajah yang terkena. Orbicularis, frontalis, dan
korrugutor diinervasi secara bilateral, sehingga dapat menjelaskan pola dari
paralisis fasialis. Inspeksi awal ditemukannya dahi rata dan lipatan nasolabial
pada sisi yang terkena bells palsy. Bila pasien diminta menaikkan alis, pada
sisi dahi yang terkena palsy akan terlihat datar. Bila pasien tersenyum, maka
wajah akan terdistorsi dan lateralisasi ke sisi berlawanan dari palsi.
Pengecapan dan saliva kemungkinan terkena pada pasien bells palsy,

23
sehingga harus dilakukan uji pengecapan. Biasanya pengecapan akan
berkurang pada sisi yang sakit
Pada kasus ini diberikan terapi non-farmakologis dan farmakologis.
Pada non-farmakologis dianjurkan utuk melakukan kompres air hangat,
fisoterapi, masase otot wajah. Pada terapi farmakologis diberikan terapi
kortortikosteroid yaitu prednisone 3x4 tablet dalam sehari ditappring off. Teori
mengatakan bahwa inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab
paling mungkin dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf
di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama
enam hari diikuti empat hari tappering off.1

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Lowis H, Gaharu MN. Bells Palsy, Diagnosis dan Tatalaksanan di Pelayanan


Primer. Artikel Pengembanagan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan
(P2KB). J Indon Med Assoc, Volum:62, Nomor:1, Januari 2012.
2. Adel B, et al. Idiopathic Facial Paralysis (Bells palsy). Ijdsr. 2014. 2(5A): 1
4
3. Baehr M, Frotscher M. DuuS Topical Diagnosis In Neurology 4th. Thieme
Stuttgart: New York. 2005
4. Ahmad SJ, Rather AH. Aprospective Study of physical Therapy in Facial
Nerve Paralysis: Experience at a Multispeciality Hospital of Kashmir.
5. Dona RR, Laki laki 45 Tahun dengan Bells Palsy. I Medulu Unila. 2015
Desember: 4(2): 151 154
6. Garg KN, Gupta K, Singh S, Chaudhary S. Bells Palsy : Aetiology,
Classification, Differential Diagnosis and Treatment Consideration : A
Review. www.journalofdentofacialsciences.com. 2012 ; 1 (1): 1-8.
7. Baugh R, et al. Clinical Practice Guideline Summary : Bells Palsy. AAO-
HNS Bulletin. 2013 November: 1 8
8. Istiqomah DN. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bells Palsy Sinistra.
Bagian Fisioterapi: UMS. 2014

25

Anda mungkin juga menyukai