A. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Konawe Selatan
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
No. RM : 49 45 47
Tanggal masuk RS : 2 Februari 2017
DPJP : dr. Nurdjajadin Aboe Kasim Sp.S
B. Anamnesis
1
nyeri pada seluruh tubuh, diantara kejang pasien
sadar. Riwayat trauma sebelumnya (+) ( pasien
tertusuk kayu pada telapak kaki kiri dengan lebar
insisi luka 3 mm), riwayat imunisasi: tidak diketahui.
Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya (-).
Riwayat HT (+)
Riwayat penyakit : Keluhan yang sama sebelumnya (-), otitis media (-),
dahulu
HIV (-), HT (+), Hipotiroidisme (-)
Riwayat keluarga : Keluhan serupa (-)
Riwayat kebiasaan : Rokok (+), alkohol (-), kopi (+)
Riwayat : Pengobatan jangka panjang (-)
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum
mmHg
Kesadaran : Composmentis Nadi : 100x/m Ikterus: (-/-)
Gizi : Baik Suhu : 36,8 0C Sianosis: (-/-)
Pernapasan : 36x/m
Pemeriksaan toraks
Jantung
: IC tidak tampak
Inspeksi : IC tidak teraba
: Batas jantung kanan: ICS IV linea parasternalis D
Palpasi Batas jantung kiri: ICS V 2 jari linea
Perkusi : midclavicularis S
BJ I/II murni reguler, murmur (-)
Auskultasi
Thoraks
: Simetris ki=ka, tidak tampak tahanan bernapas
Inspeksi : Krepitasi(-), nyeri tekan(-), vokal fremitus simetris
2
Palpasi : kesan normal
: Sonor, batas paru-hepar ICS V
Vesikular +/+, Rh -/- basal paru, wh -/-
Perkusi
Auskultasi
Pemeriksaan Psikiatri
GCS : E4M6V5
1. Kepala
N.I
Penghidu : Normal
N.II
OD OS
Ketajaman penglihatan 6/6 6/6
Lapangan penglihatan Normal Normal
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.III, IV, VI
Dextra Sinistra
Celah kelopak mata
(-) (-)
Ptosis (-) (-)
3
Exoftalmus
Ptosis bola mata (-) (-)
Pupil
2,5 mm/ bulat 2,5 mm/ bulat
Ukuran/bentuk - -
tidak dilakukan
Isokor/anisokor Normal tidak dilakukan
RCL/RCTL Normal
Refleks akomodasi
Gerakan bola mata
(-) (-)
Parese ke arah (-) (-)
Vus VNistagmus
N.V
N.VII
Istirahat
Mimik
Pengecap 2/3 depan :
N.VIII
Pendengaran : Normal
Tes rinne/weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi vestibularis : Tidak dilakukan pemeriksaan
Posisi arkus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks telan/muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecap 1/3 lidah belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan
Suara : Normal
Takikardi/bradikardi : Normal
N.XI
4
Memalingkan kepala dengan/ : Terdapat tahanan
tanpa tahanan
Angkat bahu : -
N.XII
Rangsang menings
: (+) otot leher kaku
Kaku kuduk : Sulit dinilai
Kernigs sign
Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
Arteri karotis : Bruit (-)
Kelenjar gondok : Pembesaran (-)
4. Status lokalis
Pada wajah : adanya trismus (+) 1 cm
Pada leher : Kaku kuduk (+) otot tegang
Abdomen : perut tegang dan terasa seperti papan, Risus sardonikus
(+)
5. Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan
Kekuatan SULIT
DINILAI
Tonus
Bentuk otot N N N N
Refleks fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps - -
Triceps - -
5
Radius - -
Ulna - -
KPR - -
APR - -
Klonus
Lutut : Normal
Kaki : Normal
Laseq test : -
Patrick test : -
Kontrapetrick test : -
Refleks patologis
Sensibilitas
Ekstroseptif: -Nyeri : Normal
- Suhu : Normal
- Rasa raba halus : Normal
Propriodeptif : - Rasa sikap : Normal
- Rasa nyeri dalam : Sulit dinilai
Fungsi kortikal : - Rasa diskriminasi : Normal
- Stereognosis : sulit dinilai
Pergerakan abnormal spontan : (-)
Gangguan koordinasi
Gangguan keseimbangan
6
Reaksi emosi : Normal
Fungsi bicara : Menurun
Fungsi psikosensorik (gnosis) : Normal
Intelegensia : Normal
D. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah rutin
7
E. Diagnosis
1. Klinis : Trismus
2. Topis : sel interneuron renshaw
3. Etiologis : Clostridium tetani
F. Diferensial diagnosis
1. Meningitis
G. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
Bed rest ditempat isolasi : cahaya remang-remang, jauh dari suara gaduh
H. PROGNOSA
Qua ad vitam : Dubia ad bonam
Qua ad functionam : Dubia ad bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik diluar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologic lainnya.1
Bells Palsy pertama kali dinamai oleh Dr. Charles Bell pada tahun
9
foramen stylomastoid. Biasanya didefenisikan sebagai palsy nervus fasialis
dan seluruhan atau sebagian. Pasien yang terkena biasanya tidak dapat
menutup mata. Wajah biasa menjadi asimetris, dan saliva terjatuh pada sudut
terdiri dari 7.000 saraf motorik untuk menginnervasi muskulus fasialis dan
10
Gambar 1. Letak Nervus Facialis pada Brainstem3
portion dari pontine tegmentum. Pada batang otak, nervus fasialis akan
nerve), yang akan membentuk tonjolan kecil pada dasar ventrikel ke empat
fasialis dan nervus internus berpisah dengan nervus VIII dan berjalan ke
fasialis). Pada bagian akhir kanalis, nervus fasialis keluar dari tengkorak
11
Gambar 2. Innervasi Nervus Fasialis3
12
Nucleus motorik dari nervus fasialis berpartisipasi pada sejumlah
arkus refleks. Pada refleks blink, stimulus visual yang kuat menginduksi
13
terganggu pada satu sisi akan menyebabkan palsy pada otot dahi, dan
pasien masih dapat menaikkan alis dan menutup mata. Tipe ini disebut
palsi tipe central. Pada tipe lesi perifer semua otot wajah sesisi mengalami
kelemahan. Untuk membedakan tipe sentral dan perifer dapat dilihat dari
penampakan klinisnya.
Nucleus motoris dari nervus fasialis tidak hanya diinervasi oleh cortex
ekspresi wajah.3
C. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Bells Palsy mulai dari 3,4 antara 11,5 dan 40,2 kasus
per 100.000 penduduk pertahun. Puncak kejadian di usia 30-50 tahun dan 60
70 tahun.4,6
D. ETIOLOGI
Etiologi bells palsy yaitu 50% dari pasien penyebabnya idiopatik.
Penyebab lain dapat disebabkan karena trauma, tekanan darah tinggi, diabetes
mellitus, kehamilan, dan virus.4
E. PATOFISIOLOGI
14
Patofisiologi parese nervus fasialis diduga akibat otot otot fasial
dibawah dahi menerima persarafan korteks kontralateral yaitu hanya serabut
kortikobulbaris yang menyilang. Karena itu suatu lesi rostral dari nucleus
fasialis yang berasal dari lesi fasialis sentral akan menimbulkan paralisis dari
otot otot fasialis kontralateral, kecuali otot frontalis dan orbicularis oculi
yang menerima persarafan kortikal bilateral, maka otot tersebut tidak akan
lumpuh karena lesi yang mengenai satu korteks motorik atau jaras
kortikobulbaris. Destruksi yang menyeluruh dari nucleus fasialis sendiri atau
serabut serabut efferent brankialnya (saraf fasialis proprius) melumpuhkan
seluruh otot wajah ipsilateral, hal ini ekivalen dengan lesi fasialis perifer.5
F. MANIFESTASI KLINIS
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis bells palsy dapat berbeda.
Bila lesi diforamen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang
menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak
mata, kedua mata melakukan rotasi keatass (Bells phenomenon). Selain itu,
mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuss lakrimalis yang
dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya
ditunjukan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat
gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut.1
Lesi dikanalis fasialis (diatas persimpangan dengan korda timpani tetapi
dibawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi
diforamen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua pertiga
anterior lidah pada sisi yang sama.1
Bila lesi terdapat disaraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat
terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi
pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya
salvias serta dapat melibatkan saraf kedelapan.1
15
Gambar 6. Gambaran Pasien Bells Palsy2
G. PEMERIKSAAN FISIK
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap
untuk menyingkirkan kalainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan
penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan
pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mta
dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar keatas.1
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakan pada telinga
pasien maka suara akan terdengar lebuh jelas pada sisi cabang muskulus
stapedius yang paralisis. tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan
strok atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapat
kelainan pemeriksaan saraf cranialis lain, motorik dan sensorik, ekstremitas
dama batas normal, dan pasien tidak mampu menangkap alis dan dahi pada
sisi yang lumpuh.1
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada banyak kasus, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
pemeriksaan lanjut.7
Tidak ada diagnosis spesifik untuk bells palsy, berikut ini beberapa
16
Tes serologic ini bertujuan untuk mengetahui infeksi yang
jika paresis progresif dan tidak berhenti, rekuren, curiga adanya lesi
tengah (otitis media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), ada
17
kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan
18
Biasanya fisioterapi dilakukan pada hari ke-lima. Menurut Sukardi
dalam Munilson et al mengatakan fisioterapi dapat dilakukan pada
stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan
dari fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Beberapa macam fisioterapi yang dapat diberikan pada penderita bells
palsy :8
- Infra red
Penyinaran dengan infra red diusahakan tegak lurus dengan daerah
yang diobati dengan jarak lampu antara 45 60 cm. lama waktu
penyinaran antara 10 30 menit.
- Masase wajah
Pemberian massage ini diberikan pada seluruh permukaan wajah.
Massage diberikan selama 10 15 menit dengan pengulangan 7 10
kali.
- Terapi latihan dengan mirror exercise
Pasien diminta melakukan gerakan gerakan dari wajah seperti :
mengangkat alis dan dahi ke atas, menutup mata, tersenyum,
menarik sudut mulut ke samping kanan atau kiri, bersiul dan
mencucu, menutup mata dengan rapat, memperlihatkan gigi seri dan
mengangkat bibir ke atas, mengembangkempiskan cuping hidung,
mangucap kata kata labial : l, m, n. latihan ini dilakukan selama 10
20 menit dengan pengulangan 4 - 5 kali setiap latihan, dan
dilakukan 2 3 kali sehari.8
- Operasi
Operasi pada nervus fasialis jarang dilakukan kecuali pada keadaan
tertentu, misalnya pada kasus terpotongnya nervus fasialis yang
komplit. Ketika diputuskan untuk melakukan tindakan operatif untuk
dekompresi nervus fasialis, fungsi pendengaran dan keseimbangan
harus diperhitungkan. Pendekatan operasi untuk cedera nervus
fasialis bervariasi meliputi transmastoid, translabirin, dan fossa
media. Jika fungsi pendengaran dan keseimbangan baik, maka
pendekatan yang dipakai adalah transmastoid/fossa media. Jika
fungsi pendengaran dan keseimbangan terganggu, direkomendasikan
untuk menggunakan pendekatan transmastoid/translabirin.8
19
Tujuan dari tindakan ini untuk memperbaiki fungsi saraf
dengan mengurangi terjadinya fibrosis dan inflamasi, serta
memberikan penyambungan yang cepat disaraf. Tujuan ini dapat
dicapai dengan melakukan jahitan neurorafi atau dengan fibrin glue
untuk memberikan anastomosis ujung ke ujung. Pemulihan fungsi
fasialis setelah tindakan membutuhkan proses hingga sampai 7
bulan.8
2. Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling
mungkin dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada
saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang
dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk
optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-
60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per
hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.1
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,
diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan
terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan
preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun,
beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir
tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian
retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik
didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan
prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. 1
Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir
dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. de Almeida et al
menemukan bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan
dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan
kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral
dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.1
20
K. KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi
akibat Bells palsy, adalah :1
1.
regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
2. regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan
sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3)
reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan :
1. sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata,
2. crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata
pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan
3. clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-
tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja
pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak
terjadi bersamaan).
L. PROGNOSIS
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90%
pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60%
kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus
fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus
dapat rekuren.1
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-
aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan
Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan
kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.1
21
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan/ atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu
pertama.1
BAB III
A. RESUME
Pasien an Nn.S, 17 tahun, Islam, Pasien konsul dari bedah dengan
keluhan lemah separuh wajah sebelah kiri. Keluhan ini dirasakan secara tiba
tiba sejak 3 hari yang lalu setelah pasien jatuh dari motor. keluhan lain
pasien mengeluh sakit kepala (+), keluar air mata pada mata kiri (+) dan sering
keluar darah dari telinga. Pasien juga mengeluh mual (+) , muntah (-). Buang
air besar dan buang air kecil seperti biasa kesan normal. Riwayat keluhan yang
sama sebelumnya (-), Riwayat penyakit lain : DM (-), otitis media (-)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 120/70 mmHg, nadi : 80
x/menit, pernapasan : 20 x/menit, suhu : 37 0C. Keadaan umum sakit berat,
composmentis, gizi baik. Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan ada
kelainan pada N.VII yaitu pada saat istrahat terlihat pada sisi kiri pasien
parese pada M.Frontalis, M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis oris, sedangkan
pada mimic juga terlihat parese diaerah kiri yaitu pada M.Frontalis,
M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis oris, seta pasien juga mengatakan ia tidak
dapat merasakan manis.
B. ANALISIS KASUS
Pada pasien berdasarkan anamnesis Pasien konsul dari bedah dengan
keluhan lemah separuh wajah sebelah kiri. Keluhan ini dirasakan secara tiba
tiba sejak 3 hari yang lalu setelah pasien jatuh dari motor. Dalam teori
menyatakan Bells Palsy pertama kali dinamai oleh Dr. Charles Bell pada
tahun 1821, digambarkan sebagai paralisis wajah secara keseluruhan setelah
22
cedera foramen stylomastoid. Biasanya didefenisikan sebagai palsy nervus
fasialis perifer akut yang biasanya disebabkan trauma, kompresi, infeksi,
inflamasi atau metabolic abnormal yang mengenai nervus fasialis. Biasanya
unilateral dan seluruhan atau sebagian. Pasien yang terkena biasanya tidak
dapat menutup mata. Wajah biasa menjadi asimetris, dan saliva terjatuh pada
sudut mulut. Tergantung letak lesi, beberapa pasien biasanya mengeluh
intoleransi suara atau kehilangan rasa.2 Etiologi bells palsy yaitu 50% dari
pasien penyebabnya idiopatik. Penyebab lain dapat disebabkan karena
trauma, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, kehamilan, dan virus.4
Keluhan lain pasien mengatakan bahwa sering keluar air mata. Pada
teori mengatakan bahwa berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis bells palsy
dapat berbeda. Bila lesi diforamen stylomastoid, dapat terjadi gangguan
komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup
kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi keatass (Bells phenomenon).
Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakuss lakrimalis
yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.
Pada pemeriksaan nervus cranialis didapatkan ada kelainan pada N.VII
yaitu pada saat istrahat terlihat pada sisi kiri pasien parese pada M.Frontalis,
M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis oris, sedangkan pada mimic juga terlihat
parese diaerah kiri yaitu pada M.Frontalis, M.Orbicularis oculi, M.Orbicularis
oris, seta pasien juga mengatakan ia tidak dapat merasakan manis. Dalam teori
menyatakan, kelemahan dan/atau paralisis dari nervus fasialis mengenai
seluruh wajah. Pemeriksaan kepala, mata, telinga, dan hidung harus dilakukan
pada semua pasien dengan paralisis fasial. Focus pertama adalah pergerakan
volunteer bagian atas dari sisi wajah yang terkena. Orbicularis, frontalis, dan
korrugutor diinervasi secara bilateral, sehingga dapat menjelaskan pola dari
paralisis fasialis. Inspeksi awal ditemukannya dahi rata dan lipatan nasolabial
pada sisi yang terkena bells palsy. Bila pasien diminta menaikkan alis, pada
sisi dahi yang terkena palsy akan terlihat datar. Bila pasien tersenyum, maka
wajah akan terdistorsi dan lateralisasi ke sisi berlawanan dari palsi.
Pengecapan dan saliva kemungkinan terkena pada pasien bells palsy,
23
sehingga harus dilakukan uji pengecapan. Biasanya pengecapan akan
berkurang pada sisi yang sakit
Pada kasus ini diberikan terapi non-farmakologis dan farmakologis.
Pada non-farmakologis dianjurkan utuk melakukan kompres air hangat,
fisoterapi, masase otot wajah. Pada terapi farmakologis diberikan terapi
kortortikosteroid yaitu prednisone 3x4 tablet dalam sehari ditappring off. Teori
mengatakan bahwa inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab
paling mungkin dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf
di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai
dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama
enam hari diikuti empat hari tappering off.1
24
DAFTAR PUSTAKA
25