Anda di halaman 1dari 43

MINICEX

DisusunOleh:
EdwinaNaomiOcktavianiSamosir
42150023

DosenPembimbing:
dr.ArinDwiIswarini,Sp.THTKL,M.Kes

KEPANITERAANKLINIKTELINGAHIDUNGDANTENGGOROKAN
RUMAHSAKITBETHESDA
FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITASKRISTENDUTAWACANA
YOGYAKARTA
2016
1
FAKULTASKEDOKTERAN
UNIVERSITASKRISTENDUTAWACANA
Jl.Dr.WahidinSudirohusodo525Yogyakarta55224

KepaniteraanKlinikIlmuTelingaHidungdanTenggorokan
RumahSakitBethesdaYogyakarta

Nama :EdwinaNaomiOcktavianiSamosir
NIM :42150023
DosenPembimbingKlinik :dr.ArinDwiIswarini,Sp.THTKL,M.Kes

I. IDENTITAS
Nama : Ny. WG
Tanggal lahir : 18 Januari 1935
Umur : 81 thn
Alamat : Gondomanan, Yk
Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal periksa : 9 Desember 2016

II. ANAMNESIS
a. KeluhanUtama
Sesaknapas

b. RiwayatPenyakitSekarang
3bulanSMRS
OsmengeluhkansesaknapassejakbulanSeptember3blnyll.Sesaknapas
yangdirasakanlamakelamaansemakinmemberat.Padasaatbersamaanmunculpula
benjolanpadalehersebelahkiriyangkonsistensinyakeras,tidakmobile/tidakdapat
digerakkan,tidaknyerisaatditekandanberbatastidaktegas.Osmengeluhkansakit

2
padatenggorokandannyerisaatmenelan.Padasaatitupasienbelummemeriksakan
dirinyakedokterdanbelumdiobati
1bulanSMRS
Osmasihmerasakan sesaknapas,sesaknapas yangdirasakan semakin
memberatdarisebelumnya.Nyeripadatenggorokandansakituntukmenelanjuga
semakinmemberat.Sehingganafsumakanjugamenurun.Osjugamengatakanperut
terasatidakenak.Selainituosmerasabahwasuaramenjadiserakdansusahuntuk
mengeluarkan suara. Batuk (+) Oleh karena itu keluarga memutuskan untuk
membawaoskeRSBuntukdirawat.Padasaatitudoktermenyarankansupayaos
dipasangTT,tetapikeluargamenolak.
1HSMRS
Osmengeluhkanmendadaksesaknapas.Selainitujugaadabatuk(+),pilek
(). Dahak dirasakan susah untuk keluar. Nyeri tenggorokan (+), nyeri telan (+).
Benjolanpadalehersebelahkirisemakinmenyebarkearahketiakkiridanpayudara
kanan dan kiri , menurut keterangan keluarga benjolan tersebut menyebar secara
cepathanyadalamwaktu3bln.Suarapasienserakdanlamakelamaansuarahanya
berbisik.Selama3bulaniniBBpasienmenurundrastis>10kg.Adapenurunan
nafsumakan.
HMRS
Os.Mengeluhkansesaknapassemakinmemberat(+),nyeritenggorokandannyeri
telan(+). Nyeri pada dada(). Os mengatakan saat ini minum air hangat saja
tengorokan sudah nyeri sekali. Suara terdengar serak dan lama kelamaan hanya
berbisiksaja(+).Batuk(+),pilek().Dahaksangatsulituntukdikeluarkan.Perut
terasa tidak nyaman , karena ada penurunan nafsu makan. Menurut keterangan
keluarga pasienmenjadi sulittidur,gelisah seringterbangunbangunkarenasesak
napas.Selamasakitkeluargamenyangkalosmendengkursaattidur.Ketikatidur
biasanyaosseringdiganjal2bantal agartidaksesak.Olehkarenasesaksemakin
bertambahberatkeluargamemutuskanuntukmembawaoskeRSBYK.
c. RiwayatPenyakitDahulu
Asma :
Maag :+
Hipertensi :
Jantung :
Stroke :

3
DM :
Riwayattrauma :
Keluhanserupa :+(masukRSBulanNovember)
Riwayatalergi :

d. RiwayatPenyakitKeluarga
Keluargatidakadayangmengalamihalserupa()
Keluargatidakadayangmengalamialergi

e. RiwayatPengobatan
RiwayatOperasi :

RiwayatMondok :+

RiwayatObat :

f. Lifestyle
Polamakan12xsehari,seringtelatmakan
Konsumsibuahdansayur(+)
KonsumsimakananMSG/penyedaprasa,minumandingin,gorengandan
makananpedas&bersantan(+)
Merokok(),pasienmerupakanperokokpasif(+)
Alkohol()
Rutinitasjarangolahraga
Pasienseringmenggunakankayubakaruntukmemasakdidapurnya.

III. PEMERIKSAANFISIK
KeadaanUmum :Lemah
Kesadaran :ComposMentis
GCS :15(E4V5M6)
TandaVital
a. Nadi :118kali/menit
b. Respirasi :26kali/menit
c. Suhu :37C
d. TD :120/90mmHg
e. SPO2 :98%(denganO234l/mnt)

STATUSGENERALIS
Kepala :Normocephali

4
Mata :SI(/),CA(/),injeksikonjungtiva/,pupil
isokor,reflekcahaya(+/+),gerakanbolamatabaik
Hidung :Deformitas(),discharge(),nyeritekan(),krepitasi()
Mulut : Bibir kering (+), mukosa mulut basah , sianosis (), lidah
kotor(),lidahsimetrisdanwarnalidah normal.
Telinga : edema (/), discharge (/), nyeri tekan mastoid(/), kelainan
(/),fistulapreaurikular(/),nyeritekanaulikular(/)
Leher :Pembesarankel.Limfe(+),terabamassapadaleherkiri(+)batas
tidaktegas,pembesaran kel.tiroid(),kakukuduk(),bruit(),
stridorextrapulmonal(+),JVP()
Toraks:
a.Paru(Depan)
Inspeksi :gerakandadasimetris,retraksiinterkosta(),jejaspadadada(+)
Palpasi :terabaadanyamassapadatmultiple,tidakmobile,berbatastidak
tegas,nyeritekan()padaparatrachealdextradansinistrahinggamidaxilla
sinistra,fremitusvocaltidaksimetris,ketinggalangerak().
Perkusi :redup
Auskultasi :ronkhi(+/+),vesikuler(/),wheezing(/)
Jantung
Inspeksi:iktuskordistidakterlihat
Palpasi:iktuskordisterabadiSIC5lineaaxillarisanteriorsinistra
Perkusi:jantungredupdengankesankonturjantungsulitdinilai
Batasatasjantung:sulitdinilai
Batasjantungkanan:sulitdinilai
Batasjantungkiri:sulitdinilai
Auskultasi:SuaraJantungS1/S2normal(reguler),S3()danS4()
Abdomen
Inspeksi :dindingperutsejajardindingdada;distensiabdomen(),massa(),
sikatriks()
Auskultasi :peristalticusus(+),bisingarteri()
Perkusi :timpanidi9regioperut
Palpasi :Supel,nyeritekanepigastric(+),defansmuskuler(),padapalpasihepar,
lien,danrentidakteraba.

KulitdanOtot:

5
Turgorelastisitas :Baik.
Kekuatanotot :5

5
5 5
Ekstremitas
Atas :Oedem/,akralhangat,capillaryrefilltime<2detik.
Bawah :Oedem/,akralhangat,capillaryrefilltime<2detik.

STATUSLOKALIS

Keterangan Dextra Sinistra

TELINGA

Auricula Deformitas(),benjolan/massa(),lesi Deformitas (), benjolan/massa


kulit (), discharge yang keluar (), (),lesi kulit (),discharge yang
nyeri tekan tragus (), fistula pre keluar (), nyeri tekan tragus (),
aurikula(),nyeritekanauricular() fistula pre aurikula (),nyeri tekan
auricular()

MeatusAkustikus Edema(),furunkel(),serumen(+), Edema (), furunkel (), serumen


Externus corpusalineum() (+),corpusalineum()

MembranTimpani Membrantimpani utuh, hiperemis(), Membran timpani utuh, hiperemis


retraksi(),bulging() (),retraksi(),bulging()

Mastoid Edema(),nyeriketok() Edema(),nyeriketok()

6
Keterangan Dextra Sinistra

HIDUNG

DorsumNasi
Deformitas(),krepitasi(),bekasjejas()

CavumNasi Discharge() Discharge()

RhinoskopiAnterior

discharge(),edema(),hiperemis()
VestibulumNasi

SeptumNasi Deviasiseptum(),perforasi()
MeatusNasiInferior
Edema (), hiperemis (), dischargeEdema (), hiperemis (), discharge
() ()

Edema (), hiperemis (), hipertrofiEdema (), hiperemis (), hipertrofi


KonkaInferior
() ()

MeatusNasiMedia Hiperemis(),discharge(),polip()Hiperemis(),discharge(),polip()
dantelihatpucat,edema() danterlihatpucat,edema()
Edema (), hiperemis (), hipertrofiEdema (), hiperemis (), hipertrofi
KonkaMedia
() ()

7
RhinoskopiPosterior:Tidakdilakukan

CAVUMORISTONSILFARING

Bibir Bibirsianosisdankering(),stomatitis()

MukosaOral Stomatitis(),warnamerahmuda

GusidanGigi Warnamerahmuda,kariesdentis(),ulkus()

Lingua Simetris,atrofipapil(),lidahkotor(+),ulserasi()

Atapmulut Ulkus()

DasarMulut Ulkus()

Uvula Tidakadadeviasipadauvula,hiperemis(+)

TonsilaPalatina T1,tonsilhiperemis(+), T1,tonsilhiperemis(+),detritus


detritus(),permukaanrata, (),permukaanrata,kripta
kriptamelebar() melebar

Peritonsil Abses() Abses()

Faring Hiperemis(+),discharge()

TesPenala(Tidakdilakukan)
Pemeriksaan AD AS

Rinne

Weber

Scwabach

8
IV. PEMERIKSAANPENUNJANG

NamaPemeriksaan Hasil

Hematologi
Darahlengkap
Hemoglobin 12g/dl
Leukosit 10,290ribu/mmk
Hematokrit 37,5%
Trombosit 479ribu/mm3
MCV 66,4fL
MCH 21,2pg
MCHC 32,0g/dl

Hitungjenisleukosit Hasil

Basofil 0,2%

Eosinofil 0,0

Segmen 86,6

9
Limfosit 8,0

Monosit 5,2

NamaPemeriksaan Hasil

GDS 112mg/dl

Natrium 133,5mmol/l

Kalium 3,80mmol/l

Ureum 49,1

Creatinin 0,64

PemeriksaanRontgen

10
PemeriksaanEKG

11
V. DIAGNOSISBANDING
Dispneuecobstruksijalannapas
MassaParatracheal
MassaLaring
Bronchitis
CHF

DIAGNOSIS
Dispneuecobstruksijalannapas
MassaParatrachealDDMassalaring
Bronchitis

VI. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
Dexamethasone3x1dapatdiberikanuntukmengontrolperadangan
Ceftriaxon3x1cthdapatdiberikansebagaiantibiotikprofilaksisagartidak
terjadiinfeksidiberikansirupatauIV

12
Ibuprofen 3x1 cth dapat diberikan untuk mengontrol rasa nyeri yang
terkadangmunculpadabenjolandiberikansirupagarmudahmasukkarena
kalautabletakanterhalangolehbenjolandipangkallidah
Ranitidin
Ambroxolmukolitik

b. NonFarmakologi
Pasien sebaiknya diedukasi untuk mengkonsumsi makanan yang lembut
lembut terlebih dahulu agar tidak tersedak dan membahayakan jalan nafas
pasien
Tirahbaring
Posisitidur

VII. PLANNING
RujukkespesialisTHT
DilakukanLaringoskopi
BiopsidilakukanpemeriksaanPA

DASARTEORI

AnatomiTrachea

2.1. ANATOMI LARING

13
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian
tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI dimana pada
anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya
kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.
Laring atau kotak suara ( voice box) merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas
bagian atas, bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah
batas kaudal kartilago krikoid. Laring terdiri dari empat komponen dasar anatomi yaitu tulang
rawan, otot intrinsik dan ekstrinsik, dan mukosa. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu
tulang, yaitu tulang hioid yang berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan
dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat menelan, kontraksi otot-
otot ini akan mengangkat laring. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago tiroid.

Gambar Tulang rawan Laring


Otot-otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot
ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot intrinsik
menyebabkan gerak bagian-bagian laring sendiri. Otot ekstrinsik laring yang suprahioid ialah m.
digastrikus, m. stilohioid, dan m.milohiodid. Otot yang infrahioid ialah m.sternohioid,
m.omohioid, dan m.tirohioid. sedangkan otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak
di bagian lateral laring. Otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior ialah m.aritenoid
transversal, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior.

14
Terdapat tiga kelompok otot laring yaitu aduktor, abduktor dan tensor. Kelompok otot
aduktor terdiri dari m.tiroaritenoid, m.krikoaritenoid lateral, dan m. interaritenoid. otot
tiroaritenoid merupakan otot aduktor dari laring. Persarafan dari otot-otot aduktor oleh n.
laringeus rekuren. Otot-otot tensor terutama oleh m.krikotiroid didukung m.tiroaritenoid. otot
krikotiroid disarafi oleh cabang eksterna n. laringeus superior. Otot abductor adalah
m.krikoaritenoid posterior yang disarafi cabang n.laringeus rekuren. Perdarahan untuk laring
terdiri dari dua cabang yaitu a. laringeus superior dan a.laringeus inferior.

Gambar Potongan midsagital leher, tampak anatomi laring

Gambar Anatomi laring, tampak otot-otot dan kartilago laring.


(A) laring dari posterior, (B) laring dari atas
2.2. FISIOLOGI LARING

15
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi, disamping
beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena
adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara.
Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi
laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,
faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot
intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan
massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.

Lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare membentuk plika
vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis
kiri dan kanan disebut rima glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima
vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian yaitu
vestibulum laring (supraglotik), glotik dan subglotik. Laring membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada. Saat bernapas pita suara membuka, sedangkan saat berbicara atau
bernyanyi akan menutup sehingga udara meninggalkan paru-paru, bergetar dan menghasilkan
suara.

Gambar Posisi pita suara saat bernapas

16
Gambar Pita suara saat berbicara

Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila plika vokalis aduksi,
maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi
kartilago aritenoid. Pada saat itu m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik
kartiago aritenoid ke belakang. Plika vokalis saat ini dalam kontraksi. Sebaliknya kontraksi
m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan
mengendor.
2. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat
adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak
akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen n. laringeus superior sehingga
sfingter dan epiglotis menutup.
3. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan m.
krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis
terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2
tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan
pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi
akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan
dalam mengontrol posisi pita suara.
4. Fungsi Sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan
intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada
bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena
adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang
terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui n. Laringeus rekurens dan ramus komunikans n.
laringeus superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi
penurunan denyut jantung.

17
5. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk,
bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses
menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (m. Konstriktor Faringeus Superior, m.
Palatofaringeus dan m. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea
dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan
terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
7. Fungsi Batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan
intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang
berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret
yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda
asing tersebut.
9. Fungsi Emosi
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu
menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
2.3.

Anatomi trakea

Trakea merupakan tabung berongga yang


disokong oleh cincin kartilago. Trakea berawal dari
kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan
meluas ke anterior pada esofagus, turun ke dalam
thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus
utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher

18
berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar
tiroid terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah
anterior, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak
pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan
adalah otot-otot supra sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid

Gejala klinis tumor trakea


Tumor trakea sering tersembunyi, tidak menimbulkan keluhan dan ini membahayakan sekali.
Gejala dan tanda klinis yang sering adalah tanda obstruksi progresif jalan napas, termasuk memendeknya
napas ekspirasi (54% pasien), hemoptisis (41%), batuk (37%), whizing dan stridor (35%), serta disfagia
atau suara serak (7%).

Etiologi

Merokok
Alkohol
Radiasi
Pekerjaan
infeksi papiloma virus
refluks gastroesofageal
dan keadaan imunosupresi berpengaruh untuk terjadinya ca

Patofisiologi
Unsur-unsur penyebab kanker (onkogen) dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu energi radiasi, senyawa kimia dan virus.
1. Energi radiasi
Sinar ultraviolet, sinar-x dan sinar gamma merupakan unsur mutagenik dan
karsinogenik. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan terbentuknya dimmer
pirimidin. Kerusakan pada DNA diperkirakan menjadi mekanisme dasar
timbulnya karsinogenisitas akibat energi radiasi. Selain itu, sinar radiasi
menyebabkan terbentuknya radikal bebas di dalam jaringan. Radikal bebas
yang terbentuk dapat berinteraksi dengan DNA dan makromolekul lainnya
sehingga terjadi kerusakan molekular.
2. Senyawa kimia
Sejumlah besar senyawa kimia bersifat karsinogenik. Kontak dengan senyawa
kimia dapat terjadi akibat pekerjaan seseorang, makanan, atau gaya hidup.
Adanya interaksi senyawa kimia karsinogen dengan DNA dapat
mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kerusakan ini ada yang masih dapat

19
diperbaiki dan ada yang tidak. Kerusakan pada DNA yang tidak dapat
diperbaiki dianggap sebagai penyebab timbulnya proses karsinogenesis.
3. Virus
Virus onkogenik mengandung DNA atau RNA sebagai genomnya. Adanya
infeksi virus pada suatu sel dapat mengakibatkan transformasi maligna, hanya
saja bagaiamana protein virus dapat menyebabkan transformasi masih belum
diketahui secara pasti. Rokok telah terbukti sebagai karsinogen pada percobaan
terhadap binatang karena mengandung banyak radikal bebas dan epoxides yang
berbahaya. Pengaruh yang ditimbulkan oleh rokok berupa perubahan mukosa saluran
aerodigestivus. Hal ini berhubungan dengan kerusakan gen p53, dimana jika terjadi
mutasi, hilang atau rusaknya gen p53 maka resiko untuk terjadinya kanker akibat
rokok akan meningkat. Peningkatan angka kejadian keganasan berhubungan erat
dengan penggunaan alkohol dan rokok. Resiko untuk terjadinya kanker kepala dan
leher pada orang perokok dan peminum alkohol 17 kali lebih besar daripada yang tidak
perokok atau peminum alkohol.
Menurut Hanh dkk, terdapat 6 faktor yang menyebabkan perkembangan untuk sel
1. Berproliferasi autonom
2. Menghambat sinyal growth inhibition
3. Kemampuan menghindari apoptosis
4. Immortal
5. Angiogenesis
6. Menginvasi jaringan lain dan metastasis
Perubahan genetik pada karsinoma sel skuamosa kepala dan leher belum diketahui secara
pasti. Califano dkk mengemukakan hilangnya kromosom 9p21 atau 3p menyebabkan
perubahan dini pada mukosa kepala dan leher sehingga mengakibatkan munculnya karsinoma
sel skuamosa. Namun, teori lain menyatakan bahwa hilangnya kromosom 17p pada gen
supresor tumor juga turut berperan tethadap keganasan kepala dan leher. Selain itu, hilangnya
kromosom 3p21 menyebabkan perubahan hyperplasia dan displasia, sedangkan hilangnya
kromosom 6p, 8p, 11q, 14q, dan 4q26-28 menyebabkan terjadinya invasi ke jaringan
sekitar.2.5.4. Diagnosis

Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme
traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laring adalah
mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal, emfisema subkutis,
perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress pernafasan dan hemoptisis.

Penatalaksanaan
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan ini ialah eradikasi dari
tumor, pengembalian fungsi dari rongga mulut, serta aspek kosmetik /penampilan penderita.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan macam terapi ialah :
a) Umur penderita
b) Keadaan umum penderita

20
c) Fasilitas yang tersedia
d) Kemampuan dokternya
e) Pilihan penderita.
Penatalaksanaan pasien tumor ganas lidha dilakukan dengan operasi, radiasi,
kemoterapi, atau kombinasi dua atau ketiganya, tergantung dari jenis tumor dan durasinya.
Keputusan tentang tindakan terbaik yang dapat dilakukan harus dibuat oleh seseorang yang
mempunyai keahlian khusus tentang keganasan leher dan kepala.
Untuk lesi yang kecil (T1 dan T2), tindakan operasi atau radioterapi saja dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi, dengan catatan bahwa radioterapi saja
pada T2 memberikan angka kekambuhan yang lebih tinggi daripada tindakan operasi.
Untuk T3 dan T4, terapi kombinasi operasi dan radioterapi memberikan hasil
yang paling baik. Pemberian neo-adjuvant radioterapi dan atau kemoterapi sebelum
tindakan operasi dapat diberikan pada kanker rongga locally advanced (T3,T4).
Radioterapi dapat diberikan secara interstisial atau eksternal, tumor yang eksofitik
dengan ukuran kecil akan lebih banyak berhasil daripada tumor yang endofitik dengan
ukuran besar.
Peran kemoterapi pada penanganan kanker lidah masih belum banyak, dalam tahap
penelitian kemoterapi hanya digunakan sebagai neo-adjuvant pre-operatif atau adjuvan post-
operatif untuk sterilisasi kemungkinan adanya mikro metastasis.
Sebagai pedoman terapi untuk kanker rongga mulut dianjurkan seperti berikut:
T1,2 : eksisi lilac atau radioterapi
T3,4 : eksisi luas + deseksi supraomohioid + radioterapi pasca bedah
Untuk tumor lidah T3 dan T4, penanganan NO dapat dilakukan deseksi leher selektif
atau radioterapi regional pasca bedah. Sedangkan N1 yang didapatkan pada setiap T
hams dilakukan deseksi leher radikal. Bila memungkinkan, eksisi luas tumor primer
dan deseksi leher tersebut harus dilakukan secara en-block. Pemberian radioterapi
regional pasca bedah tergantung hasil dari pemeriksaan patologis metastase pada
kelenjar getah bening tersebut (jumlah kelenjar getah bening yang positif metastase,
penembusan kapsul kelenjar getah bening/ ektra kelenjar getah bening).

A. Terapi Kuratif
Terapi kuratif diberikan pada tumor lidah stadium I, II, dan III.
1. Terapi utama
Terapi utama untuk stadium 1 dan 11 ialah operasi atau radioterapi yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sedangkan untuk stadium III dan IV
yang masih operabel ialah kombinasi operasi dan radioterapi pasca bedah.
Pada terapi kuratif haruslah diperhatikan:
a) Menurut prosedur yang benar, karena kalau salah hasilnya tidak menjadi
kuratif.
b) Fungsi mulut untuk bicara, makan, minum, menelan, bernafas, tetap baik.
c) Kosmetis cukup dapat diterima.
a. Operasi
Indikasi operasi:

21
1) Kasus operable
2) Umur relatif muda
3) Keadaan umum baik
4) Tidak terdapat ko-morbiditas yang berat

b. Radioterapi
Indikasi radioterapi :
1) Kasus inoperable
2) T1,2 tempat tertentu (lihat diatas)
3) Kanker pangkal lidah
4) Umur relatif tua
5) Menolak operasi
6) Ada ko-morbiditas yang berat

2. Terapi tambahan
a. Radioterapi
Radioterapi tambahan diberikan pada kasus yang terapi utamanya operasi. I
(1) Radioterapi pasca-hedah
Diberikan pada T3 dan T4a setelah operasi, kasus yang tidak dapat dikerjakan eksisi
radikal, radikalitasnya diragukan, atau terjadi kontaminasi Iapangan operasi oleh sel
kanker.
(2) Radioterapi pra-bedah
Radioterapi pra-bedah diberikan pada kasus yang operabilitasnya diragukan atau yang
inoperabel.

b. Operasi
Operasi dikerjakan pada kasus yang terapi utamanya radioterapi yang setelah
radioterapi menjadi operabel atau timbul residif setelah radioterapi.
c. Kemoterapi
Kemoterapi diberikan pada kasus yang terjadi kontaminasi lapangan operasi oleh sel
kanker, kanker stadium III atau IV atau timbul residif setelah operasi dan atau
radioterapi.
3. Terapi Komplikasi
Pada umumnya stadium I sampai 11 belum ada komplikasi penyakit, tetapi dapat terjadi
komplikasi karena terapi. Terapinya tergantung dan komplikasi yang ada, misalnya:
Nyeri: analgetika
Infeksi: antibiotika
Anemia: hematinik
4. Terapi bantuan
Dapat diberikan nutrisi yang balk, vitamin, dsb.
Terapi sekunder

22
Kalau ada penyakit sekunder diberi terapi sesuai dengan jenis penyakitnya.

B. Terapi Paliatif
Terapi paliatif ialah untuk memperbaiki kwalitas hidup penderita dan mengurangi keluhannya
terutama untuk penderita yang sudah tidak dapat disembuhkan lagi.
Terapi paliatif diberikan pada penderita kanker lidah yang:

1. Stadium IV yang telah menunjukkan metastase jauh


2. Terdapat ko-morbiditas yang berat dengan harapan hidup yang pendek
3. Terapi kuratif gagal
4. Usia sangat lanjut

Keluhan yang perlu dipaliasi antara lain:


1. Loko regional :
Ulkus di mulut/leher
Nyeri
Sukar makan, minum, menelan
Mulut berbau
Anoreksia
Fistula oro-kutan
2. Sistemik:
Nyeri
Sesak nafas
Sukar bicara
Batuk-batuk
Badan mengurus
Badan lemah

2.8 Komplikasi
Tumor ganas yang tidak ditangani segera akan melakukan penyebaran ke jaringan di
dalam rongga mulut dan leher yang lebih dalam. Akhirnya, menyebar ke kelenjar
getah bening di sekitarnya. Pada tingkat lanjutan ini, penderita akan mengalami
komplikasi akibat dari penyebaran itu.
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul termasuk :
1. Sulit menelan
2. Nyeri tenggorok
3. Perdarahan
4. Sumbatan jalan nafas
5. Gangguan fonasi suara
6. Glossitis
7. Mulut kering
8. Penurunan berat badan akibat kurangnya nafsu makan
9. Kekambuhan

Prognosis

23
Seperti pada kasus-kasus tumor lainnya, deteksi dini dan pengobatan yang tepat serta
adekuat menunj ukkan prognos is yan g baik. N amun ada beberapa faktor yan g
bias mempengaruhi prognosis yaitu :
1. Ukuran massa tumor
Ukuran yang kecil dari massa bisa dieksisi dan ditangani dengan mudah justru
menurunkan angka kematian berbanding massa yang lebih besar.
2. Metastasis
Tumor ganas lidah menyebar ke organ-organ sekitar seperti mulut, tenggorokan,
leher, mandibula, dan kelenjar getah bening dengan cepat jika tidak sekitar segera
ditangani. Akibatnya, gejala-gejala lain akan timbul dari komplikasi tersebut.
Penderita dengan keadaan ini menunjukkan prognosis yang buruk.
3. Gaya hidup
Mengkonsumsi alkohol dan merokok merupakan falctor predisposisi untuk
terjadinya tumor ganas pada lidah. Kebiasaan mengambil bahan-bahan ini dalam
kehidupan sehari-hari memperburuk prognosis penyakit.

RESPIRATORY DISTRESS (GAGAL NAPAS)

GAGAL NAPAS

Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan
tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan
istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006)

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam
sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &
Sudarth, 2001).

ETIOLOGI

1. Depresi Sistem Saraf Pusat

24
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernafasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan
dangkal.

2. Kelainan Neurologis Primer

Akan mempengaruhi fungsi pernafasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar
melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot- otot
pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot- otot pernafasan atau
pertemuan neuromuskuler yang terjadi pada pernafasan akan / sangat mempengaruhi ventilasi.

3. Trauma

Disebabkan oleh kendaraan bermontor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang
mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan pendarahan dari hidung dan mulut dapat
mengarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernafasan. Hemothoraks, pnemothoraks
dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin menyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat
terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi
yang mendasar.

4. Penyakit Akut Paru

Pneumonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pneumonia kimiawi atau pneumonia diakibatkan
oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronchial,
atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyebabkan
gagal nafas.

Efusi pleura merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi
paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakit paru yang mendasari, penyakit pleura atau
trauma dan cidera ini dapat menyebabkan gagal nafas.

KLASIFIKASI GAGAL NAFAS

Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I
merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan
antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi (Nemaa, 2003).

25
Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial O2
dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3)
kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah
yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan cardiac output); (5)
difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilation-perfusion matching. Gagal nafas tipe I
ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah.Mungkin hal tersebut
diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi atau shunting
intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri
(PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 PaO2,
venous admixture dan Vd/VT (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:

A. Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli

1. Hipoventilasi

2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi

3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)

B. Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)

C Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah)

1. Peningkatan kecepatan metabolisme

2. Penurunan cardiac output

3. Penurunan arterial O2 content (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):

1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)

2. Asthma

3. Oedem Pulmo

26
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)

5. Fibrosis interstitial

6. Pneumonia

7. Pneumothorax

8. Emboli Paru

9. Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)

Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):

Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang


membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan.Gagal nafas tipe II dapat
disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi
tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan kemampuan otot-otot respirasi
untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan
tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan
dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak
berubah (Kreit dan Rogers, 1995)

Penyebab gagal nafas tipe II:

A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive

1. Infark atau perdarahan batang otak

2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak

3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.

B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi

1. Myasthenia Gravis

2. Amyotrophic lateral sclerosis

27
3. Gullain-Barr syndrome

4. Spinal Cord injury

5. Multiple sclerosis

6. Paralisis residual (pelumpuh otot)

C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada

1. Muscular dystrophy

2. Polymyositis

3. Flail Chest (Kreit dan Rogers, 1995)

Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):

Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia (penurunan
PaO2 dan peningkatan PaCO2).Penilaian berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan
adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori ,
seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas
tipe III (Nemaa, 2003).

Penyebab tersering gagal nafas tipe III:

1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)

2. Asthma

3. Chronic obstructive pulmonary disease (Kreit dan Rogers, 1995)

PATOFISIOLOGI

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul
pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang

28
batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara
bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal
nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.

Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal
ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator
karena kerja pernafasan menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah
ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi
jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak
(pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat
pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan
anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan
denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia
atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang: PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui
Hemodinamik
Tipe I : peningkatan PCWP (Pulmonary Capilary Wedge Pressure)
EKG
Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan
Disritmia
DIAGNOSIS

29
Kriteria Gagal Nafas (Gejala Klinis dan Pemeriksaan)

Diagnosis pasti gagal nafas akut adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi kadang-kadang
diagnosa sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja misalnya apnoe, dalam hal ini
tidak perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas
adalah:

- Apnoe

- Batuk berdahak

- Sianosis

- Sesak nafas/dispnoe

- Perubahan pola nafas:

o Frekuensi menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)

o Adanya retraksi dinding dada

o Penggunaan otot-otot bantu pernafasan

o Pernafasan yang paradoksal

o Gerakan dinding dada yang tidak simetris

o Kelelahan

- Suara nafas menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor, ronkhi, wheezing

- Takikardia/bradikardia

- Hipertensi/hipotensi

- Gangguan irama jantung

- Gangguan kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia (Muhardi, 1989)

Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan:

30
Yaitu menentukan kriteria gagal nafas berdasarkan mechanic of breathing, oksigenasi dan
ventilasi seperti pada tabel berikut ini.

Kriteria Gagal Nafas Menurut Ponttopidan

Acceptable range Gawat nafas Gagal nafas

Mechanic of -RR 12-15 x/mnt 25-35 >35


breathing
-Kapasitas Vital 70-30 ml/kg 30-15 <15

-Inspiratory force 100-50 cmH2O 50-25 <25

Oksigenasi -AaDO2* 50-200 mmHg 200-350 >350

-PaO2 100-75 mmHg 200-70 <70

(room air) (on mask O2) (on mask O2)

Ventilasi -VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6

-PaCO2 35-45 mmHg 45-60 >60

Terapi -Close Intubation-


monitoring tracheotomy
ventilation
-Fisioterapi dada

-Oksigenasi

(Wirjoatmodjo, 2000)

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus dilakukan intubasi
endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi.Fisioterapi, oksigenasi dan monitoring ketat
perlu dilakukan pada gawat nafas sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal nafas.Kesemuanya
ini hanyalah merupakan pedoman saja, yang paling penting adalah mengetahu6i keseluruhan
keadaan pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal nafas (Wirjoatmodjo, 2000).

Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)

Kriteria gagal nafas akut menurut Shapiro bila:

31
- Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,

- Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.

Kriteria gagal nafas menurut Petty adalah:

- Acute Respiratory failure:

PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2

- Acute Ventilatory Failure:

PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo, 2000)

Penatalaksanaan

Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan


kausatif/spesifik.Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.

Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik

Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas.

Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi

a. Perbaiki jalan nafas

b. Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag

c. Ventilasi Mekanik

Fisioterapi dada

Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen

Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai
normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan

32
pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang
oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang
terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar


membutuhkan oksigen.Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan
dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping.Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino, 2003)

Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi (Tabel 3).Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering.Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien.Alat oksigen
arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders.Alat ventury mask
menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli).Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %).Pada pasien dengan PPOK dan
gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki
hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui
proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan
sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang

33
memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan
Bongard, 2003).

Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi

Jalan napas (Airway)

Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat
pernapasan.Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan napas atas.Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami
(Sue dan Bongard, 2003).

Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan
respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya
resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi
ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik (Sue dan Bongard, 2003).

Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
dengan jalan napas artifisial.

Secara Fisiologis:

a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

b. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25

c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuscular

Secara Klinis:

a. Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan napas

b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik

34
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)

d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien

Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea (Sue dan Bongard, 2003)

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor
lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).

Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik

Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut ke
hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru (Muhardi, 1989)..

Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.Mungkin ini akibat dari


turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan
ventilasi-perfusi.Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis
respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan
dengan asidosis karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH
<7.25) dan masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana pemulihan awal
diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif
yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan yang lama/tertunda
pemasangan ET dengan ventilasi mode assist-control atau synchronized intermittent ventilation
dengan setting rate sesuai dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan kenyamanan
pasien (Nemaa, 2003).

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 1 dan tabel 4)
atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera
teratasi).Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter,
hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya.Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap
hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK
dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.Keputusan untuk memasang

35
ventilator harus dipertimbangkan secara matang.Sebanyak 75 % pasien yang dipasang ventilator
umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih
dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari
ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis
utama, usia, dan jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive
sedangkan pasien kanker kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang
dari 50 %. Sebagian penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat
komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan
napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure
Ventilator (IPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih
dahulu dan Non Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum
dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping
akibat tindakan intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat
terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).

Terapi suportif lainnya :

Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret,


sputum.Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan.Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi.Pasien melakukan batuk yang efektif.Dilakukan
juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural.
Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator (Muhardi,
1989)

Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik). Obat-obat ini lebih efektif


bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral,
karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara inhalasi lebih sedikit sehingga
dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah
agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan.Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan
frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.Pemilihan obat
didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang

36
tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin.Efek samping meliputi tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia.Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik
dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.Hipokalemia biasanya
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik (Sue dan
Bongard, 2003).

Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik


tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik.Obat-obat ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana
tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan.Obat ini direkomendasikan terutama untuk
bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik.Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu
dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik.Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI
(metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi.Efek samping jarang terjadi seperti
takikardia, palpitasi, dan retensi urin (Sue dan Bongard, 2003).

Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta


adrenergik.Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik
(cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan
aktifitas anti inflamasi.Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah.Komplikasi yang
lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang (Sue dan Bongard,
2003).

Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas


tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan
setelah pemberian sistemik dan topikal.Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada
gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral.Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal.Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non
depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning (Sue dan Bongard, 2003).

37
Ekspektoran dan nukleonik. Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume
atau karateristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan.Kalium yodida oral mungkin
berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental.Penekan batuk seperti
kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk.Obat
mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit
(3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan
sebelum penyedotan (suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue
dan Bongard, 2003).

Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik

Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).

Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD sebelum
selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah penggunaan
ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal nafas di ICU
pada tahap berikutnya.

Pengertian Trakeostomi
Tracheotomy berasal dari bahasa Yunanai, dari kata trachea dan tome (memotong). Istilah
trakeotomi (tracheotomy) lebih mengacu kepada tindakan pembedahan pada trakea untuk fungsi
ventilasi. Tracheostomy juga berasal dari bahasa Yunani, stome (membuka atau mulut) jadi
istilah trakeostomi (tracheostomy) menunjukkan lobang atau stoma permanen yang dibuat pada
trakea dan kulit tersebut.
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea untuk
mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas
bagian atas (Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004).

Indikasi dan Kontraindikasi Pada Pemasangan Trakeostomi

38
Indikasi Trakeostomi

a. Obstruksi mekanis saluran nafas atas.


Pasien yang mengalami obstruksi dan ataupun penyumbatan jalan nafas dan mengalami
kegagalan dalam pemakaian intubasi endotrakeal. Antara lain akibat:
1) Kongenital/bawaan
Stenosis (penyempitan) subglotis atau trakea atas.
Anomali trakeoesofagus.
Haemangioma (adalah kumpulan pembuluh darah kecil yang membentuk benjolan di
bawah kulit). Haemangiomas pada dagu, rahang, atau leher anak kadang-kadang
dapat mempengaruhi jalan napasnya dan menyebabkan kesulitan bernapas. Tanda
pertama dari hal ini adalah stridor. Jika hemangioma tumbuh, dapat menyumbat jalan
napas. Pada beberapa anak, laser pengobatan hemangioma jalan napas selama
microlaryngobronchoscopy (MLB) meningkatkan masalah pernapasan, tetapi kadang-
kadang seorang anak mungkin perlu memiliki trakeostomi (pembukaan ke batang
tenggorokan buatan) untuk meningkatkan pernapasan mereka.
2) Infeksi: epiglotitis akut, laryngotracheobronchitis, angina Ludwig (radang berat disertai
supurasi di daerah bawah mulut), abses parafaring, abses retrofaring
3) Keganasan: tumor laring, faring, lidah, atau trakea atas tingkat lanjut dengan stridor.
4) Trauma: di maksilofasial, luka tembak, tusuk di leher, menelan cairan korosif.
5) Kelumpuhan pita suara: postoperasi komplikasi tiroidektomi, operasi esophagus, operasi
jantung, cerebral bulbar.
6) Benda asing: terhirup objek yang bersarang di saluran nafas atas menyebabkan stridor,
adanya benda asing di subglotis. Stoma berguna untuk mengambil benda asing dari
subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.
b. Perlindungan Trakeobronkial Tree dari Aspirasi
Dalam kondisi kronis di mana adanya ketidakmampuan laring atau faring dapat
memungkinkan aspirasi dan menghirup air liur atau isi lambung, trakeostomi harus
dilakukan. Kondisi itu di alami karena:
1) Penyakit neurologis
Polyneuritis (terganggunya transmisi syaraf atau jaringan syaraf yang kekurangan
energi, misalnya Guillain "Barre yaitu penyakit yang menyerang radiks saraf yang
bersifat akut dan menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai
bawah dan meluas ke atas sampai tubuh dan otot-otot wajah)
Tetanus, adanya penyumbatan di rongga faring dan laring karena difteri, laryngitis,
atau tetanus (kejang otot) sering ditanggulangi dengan Trakeostomi.

39
Bulbar poliomyelitis
Multiple sclerosis
Myasthenia gravis yang menyebabkan kelumpuhan vocal bilateral dengan kegagalan
pernafasan akut. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan dapat
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi.
2) Koma: cedera kepala, overdosis, keracunan, stroke, tumor otak. Dalam situasi di mana
nilai GCS kurang dari 8, pasien beresiko aspirasi karena reflex pelindung hilang.
3) Trauma: patah tulang wajah yang parah. Dapat mengakibatkan aspirasi darah dari saluran
nafas atas.
c. Gagal nafas
a. Kerusakan paru menyebabkan kapasitas vitalnya berkurang dan trakeostomi mengurangi
ruang rugi (dead air space) di saluran nafas atas seperti rongga mulut, sekitar lidah dan
faring.
b. Penyakit paru: eksaserbasi bronkitis kronis,emfisema, asma berat, pneumonia berat.
c. Penyakit neurologis: multiple sclerosis, Kasus yang parah seperti Multiple Sclerosis (MS)
menyebabkan masalah seperti disfagia (kesulitan menelan), batuk, dan gagal nafas.
d. Luka dada dapat menyebabkan pneumotoraks yang berakibat gagal nafas.
d. Retensi sekresi bronchial
a. Penyakit paru: infeksi saluran pernafasan akut.
b. Penurunan tingkat kesadaran.
c. Trauma ke kandang otot toraks.

Kontraindikasi Trakeostomi
a. Infeksi pada tempat pemasangan.

40
b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol, contoh ; Hemofili

Indikasi pelepasan trakeostomi

Indikasi utama pelepasan trakeostomi adalah jika klien menunjukkan kondisi atau
kemampuan paru yang adekuat. Kondisi paru yang membaik ditandai dengan :

1. Hasil rontgen baik, tidak terdapat bercak putih pada paru.


2. Gejala klinis penyakit yang diderita klien berkurang atau tidak ada.

3. Tidak terdapat infeksi lanjutan.

4. Tanda-tanda vital klien normal.

41
DAFTAR PUSTAKA

Kreit JW and Rogers RM. 1995.Approach to the patient with respiratory failure. In Shoemaker,
Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical Care. WB Saunders, Philadelphia,Pp 680-7.

Muhardi, OET. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensif Care Unit, Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 1-9

Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6.

Price & Wilson. 2005. Gagal Napas : Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC; Edisi 6;
Bab 41; 824-37

Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994.Physiology of respiration.In Shapiro BA and Peruzzi WT (Ed)
Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore, Pp. 13-24.

Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care Diagnosis and
Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89

Wijoatmodjo, K. 2000 Gawat Nafas Akut: Mo

Mathisen DJ. Tracheal Tumors. In: Byron J. Balley, editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology.
Second ed. Vol 2. Lippincot-Raven Publisher. Philadelphia 1998 : p. 1789 1802.
Meester SRG and Patterson A. Diagnosis and Management of Tracheal Neoplasms. In: Charles W.
Cummings, editor. Otolaryngology-Head & Neck Surgery. Second ed. Vol 3. The Mosby Year Book. Saint
Louis, Missouri. 1993 : p. 2339 2347.
Lee KJ. Essential Otolaryngology - Head and Neck Surgery. Sixth ed. Appleton & Lange. Stamford,
Connecticut. 1995 : p. 328 329.
Hossfeld DK. Manual of Clinical Oncology. Fifth ed. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg. 1990 : p. 188 -
210
dul Dasar anestesiologi dan Reanimasi, DIKTI, DEPNAS, 2000, Hal. 26-34

42
Wijoatmodjo, K. 2000 Gawat Nafas Akut: Modul Dasar anestesiologi dan Reanimasi, DIKTI,
DEPNAS, 2000, Hal. 26-34

43

Anda mungkin juga menyukai