Anda di halaman 1dari 7

Pengaruh metotreksat terhadap kadar serum glutamic

pyruvic transaminase dan serum glutamic oxaloacetic


transaminase
pada anak dengan leukemia limfoblastik akut
risiko tinggi fase konsolidasi

Indra Yoga M1, B Soebagyo2, Muhammad Riza3

1Bagian IKA Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS Dr Moewardi


Solo

2 Sub Bagian Gastroentero-Hepatologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas


Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS Dr Moewardi Solo

3. Sub Bagian Hemato-Onkologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas


Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS Dr Moewardi Solo

Latar Belakang. Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan


diferensiasi dan proliferasi sel hematopoietik. Kemoterapi merupakan
pengobatan utama kanker sampai ke tahap remisi. Metotreksat merupakan obat
kemoterapi dapat merusak sel-sel hati ditandai dengan peningkatan enzim
transaminase.

Tujuan. Menganalisa hubungan SGPT dan SGOT dengan kejadian DILI pada anak
dengan leukemia limfoblastik akut yang menjalani kemoterapi.

Metode. Penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional, subyek


20 anak leukemia limfoblastik akut di RS Dr. Moewardi Surakarta periode
September hingga Oktober 2016. Data dianalisis dengan program SPSS 17.0
menggunakan uji statistik uji t pada dan uji Wilcoxon.

Hasil. Dari 20 subyek terdapat 13 laki-laki (65%) dan 7 perempuan (35%). Hasil
analisis perbandingan antara kadar SGPT dan SGOT sebelum dan sesudah
pemberian metotreksat pada pengobatan LLA risiko tinggi pada fase konsolidasi,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p<0.001). Pada
penelitian ini juga terjadi kejadian DILI, didapatkan hasil terdapat 5 kasus (25%)
dari 20 kasus pasien LLA risiko tinggi pada fase konsolidasi.

Kesimpulan. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar SGPT dan SGOT setelah
diberikan metotreksat. Didapatkan 25% untuk kejadian DILI pada peningkatan
SGPT dan SGOT setelah menjalani kemoterapi fase konsolidasi.

Kata kunci: SGPT dan SGOT, leukemia limfoblastik akut, metotreksat


Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah penyakit keganasan sel darah yang
berasal dari sumsum tulang. Sebanyak 25-30% dari seluruh keganasan pada
anak adalah karena LLA. LLA terutama didapatkan pada anak lelaki, dan
terbanyak pada anak usia 3-4 tahun.1,2

Secara umum pengobatan leukemia limfoblastik akut berupa kemoterapi.


Kemoterapi bekerja dengan prinsip sitotoksik yaitu merusak proses mitosis
dari sel-sel kanker sehinga sel-sel kanker tidak dapat membelah. Efek
samping kemoterapi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam rangka pengobatan leukemia, hal ini dikarenakan efek samping
kemoterapi dapat berakibat sangat fatal bahkan dapat berakhir dengan
kematian.3,4 Salah satu efek samping kemoterapi adalah mengakibatkan
kerusakan di hati. Kerusakan hati karena obat adalah kerusakan yang terjadi
berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan
obat atau yang biasa disebut dengan drug induced liver injury (DILI).5,6

Kecurigaan kearah kelaianan hati akibat obat dapat dilakukan pemeriksaan


penunjang berdasarkan tipe kerusakan hati, antara lain pemeriksaan Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGPT), Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase (SGOT), Alkali Phospatase (ALP) dan bilirubin.7 Pada penelitian
yang dilakukan oleh Komalasari (2014) terjadi peningkatan kadar bilirubin
30% akibat kemoterapi metotreksat dan 6-merkaptopurin pada anak LLA. 8
Tujuan dilakukan penelitian ini supaya untuk dapat memberikan pembuktian
secara ilmiah apakah terdapat pengaruh pemberian kemoterapi terhadap
kejadian DILI pada penderita leukemia limfoblastik akut di rumah sakit dr.
Moewardi.

Metode

Penelitian dilakukan secara cross sectional di Rumah Sakit Dr. Moewardi


Surakarta pada bulan September dan Oktober 2016. Pengambilan sampel
dilakukan secara konsekutif terhadap pasien anak leukemia limfoblastik akut
risiko tinggi yang datang ke bangsal anak hematologi-onkologi untuk
menjalani terapi dengan protokol kemoterapi leukemia limfoblastik akut pada
fase konsolidasi. Kriteria eksklusi penelitian ini antara lain pasien leukemia
limfoblastik akut dengan gizi buruk, penyakit gangguan fungsi hati, dan yang
dirawat dengan sakit kritis jumlah subjek penelitian sebesar 20 sampel.
Sampel dikatakan menderita DILI bila didapatkan peningkatan SGPT / SGOT >
2-3 kali dari nilai normal dimana hasil SGPT / SGOT diukur menggunakan alat
advia 1800. Pengumpulan data dilakukan setelah sampel menandatangani
informed consent, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar SGPT dan SGOT
pada saat pasien datang untuk kemoterapi LLA di fase konsolidasi, kemudian
setelah kemoterapi dilakukan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT ulang
kemudian perbedaan kadar SGOT dan SGPT dianalisis . Penelitian ini telah
mendapat persetujuan dari komite etik yang ada di rumah sakit dr. Moewardi
Surakarta.
Hasil

Penelitian ini dilakukan pada 20 pasien anak leukemia limfoblastik akut yang
berumur 36 bulan (3 tahun) tahun sampai 192 bulan (16 tahun) yang dirawat
di bangsal hematologi-onkologi anak RSUD dr. Moewardi Surakarta dengan
usia rerata 89,35 bulan. Dari 20 sampel didapatkan 5 sampel dengan
peningkatan enzin transaminase sebesar > 2-3 kali nilai normal (DILI). dengan
menggunakan metode uji Wilcoxon didapatkan perbedaan yang bermakna
antara rerata kadar SGPT sebelum dan sesudah mendapatkan kemoterapi
metotreksat dengan nilai (p<0,001) (tabel 2). Pada tabel 3 menunjukkan hasil
signifikan (p<0,001) dari peningkatan kadar SGOT setelah pemberian
metotreksat Analisis statistik menggunakan uji t dikarenakan distribusi data
SGOT normal.

Tabel 1 Karakteristik dasar subjek penelitian menurut umur, jenis kelamin dan
kejadian DILI

Karakteristik dasar pasien n (%) `

Jenis kelamin
Lelaki 13 (65%)
Perempuan 7 (35%)
Usia (bulan), (rerataSB) 89,3546,67
SGPT prekemo (median, min-max) 29, (11-38)
SGPT postkemo (median, min-max) 47, (33-118)
SGOT prekemo (rerataSB) 24, 17,00
SGOT postkemo (rerataSB) 42, 2513,59
Kejadian DILI 5 (25%)

Tabel 2 Hasil analisis uji Wilcoxon perbedaan rerata kadar SGPT sebelum dan
setelah pemberian metotrexat

n Median p-value
(Max-min) (nilai p)
Kadar SGPT sebelum 20 26,05
metotreksat (11-38)
< 0.001
Kadar SGPT setelah 20 42,25
metotreksat (33-118)

Tabel 3 Hasil analisis uji t perbedaan kadar SGOT sebelum dan setelah
pemberian metotreksat

n mean p-value
SB (nilai p)
20 24,1
Kadar SGOT sebelum 7,00
metotreksat
<0.001
Kadar SGOT setelah 20 42,25
metotreksat 13,59

Pembahasan
Pada hasil penelitian yang dilakukan didapatkan anak dengan LLA pada usia
antara 46,68 bulan (3,5 tahun) sampai 136,0 bulan (11,4 tahun) dengan
median umur adalah 89,3546,67 bulan (7,4 tahun). Hasil penelitian lain juga
dikatakan hal yang sama bahwa penderita yang terbanyak pada kasus LLA
pada kelompok usia 2 sampai 12 tahun yaitu sebanyak 36 kasus (85,7%) dan
terendah pada kelompok usia kurang 2 tahun sebanyak 2 kasus. 9 Kriteria usia
pada penderita LLA dapat dikaitkan dengan prognosis dari penyakit LLA.
Anak-anak penderita LLA yang berusia 2 tahun sampai 9 tahun mempunyai
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang berusia kurang
dari 1 tahun atau lebih dari 10 tahun yang menderita LLA risiko tinggi.1
Berdasarkan jenis kelamin pasien yang menderita LLA pada penelitian ini,
jumlah subyek laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah subjek
perempuan yaitu subyek laki-laki sebanyak 13 pasien (65%) sedangkan
perempuan 7 pasien (35%). Pada penelitian yang lain juga didapatkan lebih
banyak laki-laki dibandingkan perempuan yaitu sebesar laki-laki 17 (77,3%)
dan perempuan 5 kasus (22,7%).10 Hasil ini sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Pertiwi di RSUP Sanglah memperlihatkan bahwa jumlah
pasien anak laki-laki penderita LLA lebih banyak daripada pasien anak
perempuan, yaitu sebesar 65 kasus dan 61 kasus LLA. 11
Hasil analisis perbandingan antara kadar SGPT dan SGOT sebelum dan
sesudah pemberian metotreksat pada pengobatan LLA risiko tinggi pada fase
konsolidasi, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
(p<0.001) pada peningkatan kadar SGPT dan SGOT setelah pemberian
metotreksat. Didapatkan hasil pada SGPT sebelum pemberian metotreksat
dengan nilai rata-rata sebesar 26 U/l (11-38) U/l meningkat kadarnya menjadi
42,25 U/l (33-118) U/l, begitu juga terhadap kadar SGOT yang terjadi
peningkatan dari nilai 24,1 U/l menjadi 42,25 U/l. Pada penelitian lain juga
menyebutkan bahwa terjadi peningkatan SGOT setelah pemberian
kemoterapi metotreksat dari nilai 31,114,97 meningkat menjadi 51,652,69
dan pada SGPT dari kadar 32,319,93 menjadi 44,726,09. 10
Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan Ragab (2015), bahwa terdapat
peningkatan kadar SGPT dan SGOT pada pemeriksaaan 42 jam setelah
pemberian HD Mtx yang ke dua dan ke empat, serta dilakukan pemeriksaan
SGPT dan SGOT setelah pemberian metotreksat di 4 bulan setelah fase
konsolidasi selesai. Hasil yang didapat berupa peningkatan kadar SGPT dan
SGOT dalam penelitian tersebut.10 Faktor risiko lain peningkatan kadar SGPT
dan SGOT pada pasien LLA yang mendapat metotreksat tidak diteliti dalam
penelitian ini. Menurut Charlotte et al., (1998), bertambahnya usia dan lama
paparan metrotreksat mempengaruhi peningkatan kadar enzim SGOT dan
SGPT.12

Kemoterapi merupakan pengobatan utama untuk pasien LLA, namun


kemoterapi dapat mempengaruhi sel dan organ normal tubuh. Efek samping
kemoterapi dibagi menjadi early side effect contohnya neutropenia dan
stomatitis, serta delayed side effect. Metotreksat adalah obat anti-metabolit
yang banyak digunakan dalam kemoterapi, efek samping yang dapat timbul
akibat obat ini terutama apabila digunakan dalam dosis yang tinggi yaitu
kerusakan pada hati, mukosa ginjal, depresi sumsum tulang, sampai dengan
terjadinya acute kidney injury. Oleh karena itu baik sebelum dilakukan
kemoterapi, selama kemoterapi, dan sesudah kemoterapi dapat diberikan
terapi suportif pada pasien LLA yaitu hidrasi cairan baik secara oral atau infus
2 - 3 L/m2/hari dan pemberian obat anti-emetik untuk mengurangi efek obat.
Selain itu dapat diberikan juga asam folat seperti leucovorin untuk
mengurangi efek samping obat khususnya untuk metotreksat.1

Keterbatasan pada penelitian ini adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT


dilakukan hanya satu kali pemeriksaan, serta dilakukannya setelah fase
konsolidasi selesai. Hal ini dapat mempengaruhi kadar SGPT dan SGOT
dikarenakan kemungkinan terpapar obat kemoterapi yang lain, untuk itu
seharusnya pengambilan sampel untuk pemeriksaan SGPT dan SGOT
dilakukan beberapa kali agar terhindar dari faktor perancu yaitu seperti oleh
karena obat kemoterapi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Permono B., & Ugrasena IDG. Leukemia akut. 2012. Dalam :
Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
penyunting. Buku Ajar Hemato-Onkologi Anak. Jakarta: Ikatan dokter
Anak Indonesia. hlm. 236-247
2. Lanzkowsky P., 2011 Leukemias. Manual of pediatric hematology
and oncology. 5th Ed. California: Elsevier academic press. hlm. 518-
65.
3. Mantadakis, E., Cole, P.D. & Kamen, B. a, 2005. High-dose
methotrexate in acute lymphoblastic leukemia: where is the
evidence for its continued use? Pharmacotherapy, 25(5), hlm.748
55. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15899736
(diakses tanggal 6 April 2016).

4. Lonnerholm, G., 2009. Pharmacokinetics of high-dose methotrexate


in infants treated for acute lymphoblastic leukemia. Pediatric blood
& cancer, 52(5), hlm.596601. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19132729. ( diakses tanggal 3
Juli 2016)

5. Farahmand, F., Fallahi, G.H. & Sadeghian, M., 2010. Acute Hepatitis
as a Manifestation of Acute Lymphoblastic Leukemia. vol. 2. no. 1,
hlm. 4446.

6. Pugh, A.J., 2009. Drug-Induced Hepatotoxicity or Drug-Induced Liver


Injury. Clinics in Liver Disease, vol. 13, no. 2, hlm.277294.

7. Purnomo B. 2012. Kelainan Hati Karena Obat, hlm.299-308. dalam


Garna H (edt). Rakernas dan Simposium Nasional, Perhimpunan
Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia.
8. Komalasari, K. T., Niruri, R., Ariawati, K., 2014. Evaluasi Peningkatan
Kadar Bilirubin Akibat Kemoterapi Metotreksat Dosis Tinggi Dan 6-
Merkaptopurin Pada Anak Dengan Leukemia Limfoblastik Akut Di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah: Desember 2014.

9. Kamima, K., Gatot, D. & Hadinegoro, S.R.S., 2009. Profil Antioksidan


dan Oksidan Pasien Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut pada
Kemoterapi Fase Induksi, hlm.11(4).

10. Ragab, S.M. & Badr, E., 2015. Evaluation of serum and urine
fetuin-A levels in children with acute lymphoblastic leukemia during
and after high-dose methotrexate therapy: Relation to toxicity.
Hematology (Amsterdam, Netherlands), 0(0), hlm.114. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26268515.( diakses tanggal 6
Agustus 2016)
11. Pertiwi, N.M., Niruri R., & Ariawati K., 2012. Gangguan
hematologi akibat kemoterapi pada anak dengan leukemia limfositik
akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26268515.( diakses tanggal 10
Maret 2016)
12. Charlotte R, Freidoun A, Soeren M. B, Henrik S., & Peterson, C.,
1998. Clinical and Pharmacokinetic Risk Factors for High-dose
Methotrexateinduced Toxicity in Children with Acute Lymphoblastic
Leukemia: A Logistic Regression Analysis, Acta Oncologica, 37:3,
hlm.277-284.

Anda mungkin juga menyukai