CHF
CHF
PENDAHULUAN
1
pasien pernah mengalami kekambuhan. CHF memiliki dampak yang besar pada
pasien dan keluarga. Pasien yang mengalami CHF pada prinsipnya mempunyai
gejala kelelahan dan dyspnea ditambah lagi dengan re-hospitalisasi serta tingginya
mortalitas berkontribusi memperburuk kesehatan (Davis RC, Hobbs FDR, Lip
GYH,2000).
Kecendrungan pasien mengalami ketergantungan berpengaruh terhadap
peran dan fungsi keluarga yang mengasuh pasien sehingga mengganggu status
ekonomi keluarga, hal tersebut dikarenakan pasien dengan CHF harus selalu rutin
dalam check up maupun terapi yang tentunya memerlukan biaya yang mahal,
akibatnya tidak hanya secara finansial terganggu, tingkat stress keluarga juga
berperan besar terkait masalah yang dihadapi keluarga. Pasien CHF juga memiliki
masalah psikologi seperti cemas, gangguan tidur, depresi, dan sensitifitas
berlebihan yang mengakibatkan kualitas hidup pasien menurun (Davis RC, Hobbs
FDR, Lip GYH,2000; Gibbs CR, Beevers DG, 2000).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Jantung terdiri dari 3 lapisan yaitu: 1) endocardium, merupakan bagian
yang paling dalam terdiri dari jaringan endotel, 2) miokardium, merupakan
lapisan inti/otot, 3) pericardium, merupakan bagian terluar, terdiri dari dua lapisan
yaitu visceral dan parietal yang bertemu di pangkal jantung membentuk kantung
jantung, diantaranya keduanya terdapat lender sebagai pelican. (Santoso A, 2007).
Peredaran darah jantung terbagi menjadi dua yaitu peredaran darah
sistemik dan peredaran darah pulmonal. Peredaran darah sistemik merupakan
peredaran darah jantung kiri masuk aorta memalui vulvula semilunaris aorta
beredar ke seluruh tubuh dan kembali ke jantung kanan, melalui vena kava
superior dan inferior. Aorta bercabang menjadi arteri-arteriola-kapiler-arteri-
kapiler vena-venolus-vena kava. (Santoso A, 2007).
Peredaran darah pulmonal adalah peredaran darah dari ventrikel dekstra ke
arteri pulmonalis melalui vulvula semilunaris pulmonalis, masuk paru kiri dan
kanan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis. (Santoso A, 2007).
4
Jantung dapat bergerak mengembang dan menguncup disebabkan oleh
adanya rangsangan yang berasal dari susunan saraf otonomi. Dalam kerjanya
jantung mempunyai tiga periode:
1. Periode kontraksi/ sistol adalah keadaan dimana ventrikel menguncup,
katup bicuspid dan trikuspidalis dalam keadaan tertutup. Vulvula
semilunaris aorta dan vulvula semilunaris arteri pulmonalis terbuka,
sehingga darah dari ventrikel dekstra mengalir ke areteri pulmonalis
masuk ke paru-paru, sedangkan darah dari ventrikel seinistra mengalir ke
aorta kemudian diedarkan ke seluruh tubuh. Lama kontraksi 0,3 detik
2. Periode dilatasi/diastole adalah keadaan dimana jantung mengembang.
Katup bikuspidalis, dan trikuspidalis terbuka, sehingga darah dari atrium
dekstra masuk ke ventrikel dekstra, darah dari atrium sinistra masuk
ventrikel sinistra. Selanjutnya darah yang ada di paru melalui vena
pulmonalis masuk ke atrium sinistra dan darah dari seluruh tubuh melalui
van kava masuk melalui vena kava ke atrium dekstra. Lama dilatasi 0,5
detik
3. Periode istirahat, yaitu waktu antara periode kontraksi dan dilatasi dimana
jantung berhenti kira-kira 1/10 detik. Pada waktu istirahat akan
menguncup 70-80x/menit. Pada tiap-tiap kontaksi, jantung akan
memindahkan darah ke aorta sebanyak 60-70cc. pada waktu aktivitas,
kecepatan jantung bisa mencapai 150x/menit dengan daya pompa 20-25
liter/menit. Setiap menit, jumlah volume darah yang tepat sama sekali
dialirkan dari vena ke jantung, apabila pengambilan dari vena tidak
seimbang dan ventrikel gagal mengimbanginya dengan daya pompa
jantung, maka vena-vena dekat jantung tadi membengkak berisi darah
sehingga tekanan dalam vena naik dan dalam jangka waktu lama bisa
menjadi oedema (Santoso A, 2007)
5
2.2 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian
ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal
jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas
dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini
mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (Santoso A, 2007).
Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks akibat kelainan
jantung ataupun non-jantung yang mempengaruhi kemampuan jantung untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh seperti peningkatan cardiac output. Gagal
jantung dapat muncul akibat gangguan pada miokardium, katup jantung,
perikardium, endokardium ataupun gangguan elektrik jantung (Santoso A, 2007).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung
kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan
(Santoso A, 2007).
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk mempertahankan
curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema
paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif. Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi (Santoso A, 2007), Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH,2000)
2.3 Etiologi
6
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi
gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung
lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah
yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup
berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume
sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung
pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload.
Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung
dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.
Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang
terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut
jantung dan kadar kalsium
Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan
oleh tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka
curah jantung berkurang (Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH,2000).
b. Hipertensi
7
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam
Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat
hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik
menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme disfungsi
sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi
predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers
D.G., 2000).
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital.
Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated
cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal
jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi
sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis
(Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000). Hipertrophic cardiomiopathy
merupakan salah satu jenis cardiomiopathy yang bersifat herediter autosomal
dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot
miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi
septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi
ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan
diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Rodeheffer R, 2005).
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik
dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak
ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan
gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari
normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis,
8
Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Rodeheffer
R, 2005).
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa
perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari
pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan
60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan
pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung
tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
g. Lain-lain
9
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada
wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G.,
2000). Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi
Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk
kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip G.Y.H.,
Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
2.4 Patofisiologi
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak
bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa
jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis
10
ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme
kompensasi tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi
ventrikel kiri (Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH, 2000).
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin-
Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)
peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap
normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac
output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus
karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf
sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik
Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas
duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat (Jackson G, Gibbs CR,
Davies MK, Lip GYH, 2000).
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi
simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan
kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan
dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme
kompensasi neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan
struktural jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif
yang lebih lanjut (Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH, 2000).
Perubahan neurohormonal adrenergic dan sitokin menyebabkan
remodeling ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit
(2) perubahan substansi kontraktil miosit (3) penurunan jumlah miosit akibat
nekrosis, apoptosis dan kematian sel autophagy (4) desentisasi beta adrenergic (5)
kelainan metabolism miokardium (6) perubahan struktur matriks ekstraselular
miosit (Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH, 2000).
Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa,
volume, bentuk, dan komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah
bentuk jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi
semakin meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload
11
yang mengurangi stroke volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi
peningkatan end-diastolic wall stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke
subendokardium yang akan memperparah fungsi ventrikel kiri (2) peningkatan
stress oksidatif dan radikal bebas yang mengaktivasi hipertrofi ventrikel
Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam
penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik.
Ketiga hal diatas berkontribusi dalam progresivitas penyakit gagal jantung
(Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH, 2000).
2.5 Klasifikasi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung
kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah
dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung.
Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang
digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu
klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA. Klasifikasi berdasarkan Killip
digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan pembagian:
- Derajat I : Tanpa gagal jantung
- Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop
dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
- Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
- Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis)
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
12
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold)
Framingham Kriteria
Kriteria Mayor:
Paroksismal nokturnal dispnea
13
Distensi vena pada leher
Ronkhi basah
Kardiomegali
Gallop S3
Refluks hepatojugular
Kriteria Minor:
Edema ekstremitas
Dispnea d effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardia(>120/menit)
14
a) Dispnea ketika berbaring; bantuan dengan tegak duduk atau menggunakan
beberapa bantal
b) Batuk nokturnal
3. Paroksismal nokturnal dispnea
a) Serangan sesak napas berat dan batuk pada malam hari, biasanya
membangunkan pasien
b) Batuk dan mengi sering bertahan bahkan dengan duduk tegak.
c) Asma kardiale : dispnea nokturnal, mengi, dan batuk karena bronkospasme
4. Respirasi Cheyne-Stokes
a) Respirasi respirasi periodik atau siklik
b) Umum di gagal jantung maju dan biasanya berhubungan dengan output jantung
yang rendah
c) Pada tahap apneic, P arteri O 2 jatuh, dan P arteri CO 2 meningkat.
Pusat pernafasan depresi, pesat pernafasan yang berulang fase apneic, dan
siklus berulang.
d) Mungkin dirasakan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak parah atau
sebagai penghentian sementara pernapasan
5. Kelelahan dan kelemahan
6. Gejala Gastrointestinal
a) Anoreksia
b) Mual
c) Sakit perut dan kepenuhan
7. Gejala Cerebral
Kebingungan
15
Disorientasi
Kesulitan berkonsentrasi
Gangguan memori
Sakit kepala
Insomnia
Kegelisahan
Mood swing
8. Nokturia
(McNamara DM, 2008)
16
Temuan dapat menentukan strategi pengobatan. (McNamara DM, 2008 (Davies
MK, Gibbs CR, 2000)
2.8 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala
dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP,
hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan
untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead,
ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes
fungsi paru. (Nieminen MS, 2005) (McNamara DM, 2005)
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis
terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20
mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B
pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran
batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna.
Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang
lebih banyak terkena adalah bagian kanan. (Nieminen MS, 2005) (McNamara
DM, 2005)
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada
pasien sangat kecil kemungkinannya. (Nieminen MS, 2005) (McNamara DM,
2005)
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
17
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan
risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol,
atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
(Nieminen MS, 2005) (McNamara DM, 2005)
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum
kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin
setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal,
penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung
kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena
kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300pg/ml.
(Nieminen MS, 2005) (McNamara DM, 2005)
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventriculography dapat
mengetahui fraksi ejeksi, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan
abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada
berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui
gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan
diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah
kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary
artery capillary wedge pressure. (Nieminen MS, 2005) (McNamara DM, 2005)
2.9 Penatalaksanaan
18
Terapi awal bertujuan untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi
hemodinamik, yang meliputi:
1. Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP (contimuos positif
airway pressure), target SaO2 94-96%
2. Pemberian vasodilator berupa nitrat atau nitroprusid
3. Terapi diuretic dengan furosemid atau diuretik kuat lainnya
4. Pemberian morfin untuk memperbaiki status fisik, psikologis, dan
hemodinamik
5. Pemberian infus intravena dipertimbangkan apabila ada kecurigaan
tekanan pengisian yang rendah (low filling pressure)
6. Pacing, antiaritmia, atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan
irama jantung
7. Mengatasi komplikasi metabolik dan kondisi spesifik organ lainnya.
(Maggioni AP, Lee TH, 2005).
8.
Terapi farmakologi :
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume
berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan
volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja
jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan
darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosida digitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
volume distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
19
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah
vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan
kapasitas vena.
6) Inhibitor ACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi
aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor
ini juga menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan
peningkatan curah jantung. (Maggioni AP, Lee TH, 2005).
2.10 Komplikasi
a. Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran
darah ke ginjal, bisa yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak
ditangani Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis
untuk pengobatan.
b. Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam
arah yang benar melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan
penumpukan cairan dari gagal jantung.
c. Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat
menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi
dengan benar.
d. Serangan jantung dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih
lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin
besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat
meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke (Watson RDS, Gibbs
CR, 2000).
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk mempertahankan curah
jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru
dan bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif.
21
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
Penyakit jantung koroner, hipertensi, cardiomiopathy, kelainan katup jantung,
aritmia, alkohol dan obat-obatan
KELAS GEJALA
Kelas I (Mild) Tidak ada gejala pada setiap tingkat
tenaga dan tidak ada pembatasan
dalam kegiatan fisik biasa
Kelas II (Mild) Gejala ringan dan keterbatasan sedikit
selama kegiatan rutin. Nyaman saat
istirahat
Kelas III (Moderate) Akibat gejala terlihat keterbatasan,
bahkan selama aktivitas minimal.
Nyaman hanya saati istirahat
Kelas IV (Berat) Keterbatasan aktivitas. Pengalaman
gejala bahkan sementara pada saat
istirahat.
22
6. Pacing, antiaritmia, atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan
irama jantung
7. Mengatasi komplikasi metabolik dan kondisi spesifik organ lainnya.
(Maggioni AP, Lee TH, 2005).
Terapi farmakologi :
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume
berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan
volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja
jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan
darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosida digitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
volume distribusi.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
2. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ
2000;320:104-7
3. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
4. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J205.
5. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.
24
7. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure. In:
Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and
treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36.
8. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation. BMJ
2000;320:297-300
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in general
practice. BMJ 2000;320:626-9.
10. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure
full text the task force on acute heart failure of the european society of
cardiology. Eur Heart J 2005.
11. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and
complications. BMJ 2000;320:236-9.
12. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
25