A 1306384510 Pol MSB 2017 FS B Sistem Kesultanan Dan Otoritasnya Di Brunei Darussalam
A 1306384510 Pol MSB 2017 FS B Sistem Kesultanan Dan Otoritasnya Di Brunei Darussalam
NPM : 1306384510
Mata Kuliah : Politik di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam
Tugas : Fact sheets Negara Brunei Darussalam
Dalam stratifikasi sosial di Brunei Darussalam, secara garis besar terbagi menjadi dua
kelompok, yakni antara bangsawan (noble) dan rakyat biasa (non-noble). Menurut
sejarahnya, strata semacam ini telah dikenal sejak abad ke 16. Bahkan hingga saat ini,
perbedaan strata diantara keduanya masih tetap mendasar. sBerikut merupakan stratifikasi
sosial masyarakat Brunei secara lengkap dari yang paling teratas hingga terendah: raja
berteras (bangsawan inti), raja/pengiran (bangsawan), ampuan (bangsawan yang diragukan),
awang (aristokrat), rakyat/orang (rakyat jelata), sakai (pengikut), dan hamba/ulun (pelayan,
budak). Tentu saja, sultan masuk ke dalam kategori kelas raja berteras yang menduduki strata
kelas tertinggi di dalam masyarakat Brunei.1
Legitimasi yang dimiliki oleh sultan dilandaskan atas dasar agama, budaya dan
tradisi. Peraturan dibuat atas dasar hukum syariah. Sultan menjabat sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan yang mengendalikan negara secara keseluruhan. Makna sultan
Brunei sendiri berarti yang dipertuan negara, Sistem kesultanan Brunei bersifat patrialistik
dan pribadi. Maksudnya, sultan digambarkan sebagai simbol negara dan subyek dari
kesetiaan warga. Oleh karena itu, sultan dituntut untuk selalu tampil tanpa cela karena
1 D E Brown dan Donald Brown. Social Stratification in Brunei. Southeast Asian Journal of
Sociology, Vol.3 (1970), hlm.27.
Kesultanan Brunei telah berdiri sejak abad ke-15 M. Kemudian pada abad ke-16
mencapai puncaknya, hingga pada awal abad ke 19 sempat mengalami penurunan. Namun
memasuki akhir abad ke-19, terjadi peristiwa besar yang mengubah sejarah perpolitikan
negara tersebut. Brunei yang notabene merupakan negara jajahan Inggris pada masa itu,
akhirnya berhasil memperoleh kemerdekaan dari Inggris di tahun 1984. Pasca kemerdekaan,
mereka dihadapkan pada tugas berat untuk membentuk institusi pemerintahan, sementara di
sisi lain sistem kesultanan telah mandarah daging diberlakukan disana. Disinilah letak
perbedaan Brunei dengan negara-negara monarki kebanyakan. Faktanya, meskipun harus
menyesuaikan diri sebagai negara modern, sistem kesultanan masih tetap eksis bahkan
berkuasa. Ini dapat dilihat dari bagaimana kekuasaan sultan masih saja besar dan tak
tertandingi. Sultan bahkan merangkap menjalani berbagai peran politiknya melalui beberapa
jabatan strategis, diantaranya menjabat sebagai perdana menteri, menteri keuangan, dan
menteri dalam negeri pada saat yang bersamaan. 3 Tak hanya itu, sultan juga secara otomatis
menjabat sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata kerajaan Brunei. Fakta ini sekaligus
menjadi antitesis bagi argumentasi yang pernah dikatakan oleh para pakar demokrasi seperti
Huntington. Huntington meragukan eksistensi rezim kerajaan dalam menghadapi tekanan
negara modern. Namun ternyata hal tersebut tidak berlaku bagi negara Brunei. Brunei justru
mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan modernisasi yang terjadi bahkan negara
tersebut tumbuh dan berkembang dengan pesat sebagai negara neo-tradisional yang
konservatif, patrialistik, dan otoriter. Maka tak heran apabila Brunei Darussalam disebut
sebagai negara dengan institusi politik neo-tradisional. Hal ini karena kemampuan negara
tersebut mempertahankan sistem kesultanan yang tradisional tetapi mampu menyesuaikan
diri dan bertahan dalam lingkungan global yang dinamis.
Sudah menjadi rahasia umum manakala negara dengan sistem monarki maka
pemimpin berkuasa mempunyai kecenderungan untuk tetap mempetahankan status quo. Oleh
sebab itu, sultan sangat berkomitmen untuk menjamin kestabilan di negaranya, baik di bidang
ekonomi, sosial maupun politik. Strategi yang digunakan untuk memeprtahankan status quo
adalah, memastikan terjaminnya kesejahteraan rakyatnya. Agar rakyatnya tidak melakukan
pemberontakkan atas otoritas sultan ini, negara menjamin tercukupinya kebutuhan sosial dan
3 David Leake. 1990. Brunei: The Modern Southest Asian Islamic Sultanate. Kuala Lumpur:
Forum, hlm.68.
Amandemen UU tahun 2004 seolah menjadi legitimasi bagi sultan untuk memperkuat
kekuasaannya. Meskipun di UU ini diatur mengenai sebagian Dewan Legislatif yang dipilih
atas dasar pemilu, namun sebagian lainnya dipilih oleh sultan itu sendiri dengan anggotanya
orang-orang terdekat yang berada di lingkaran kekuasaannya. Bahkan Horton menyebut
bahwa amandemen konstitusional tahun 2004 mengindikasiakn hasrat untuk membungkus
kesultanan dalam bentuk demokrasi liberal tanpa benar-benar menjadi suatu negara
demokrasi liberal.5
4 Abd Ghofur. Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis. Jurnal
Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama Vol.7, No.1 (Januari-Juni 2015), hlm.54.
5 Naimah S Talib. Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern. Kyoto Review of
Southeast Asia Issue 13 (Maret 2013), hlm.5.
Daftar Pustaka
Brown, D E dan Donald Brown. Social Stratification in Brunei. Southeast Asian Journal of
Sociology, Vol.3 (1970).
Ghofur, Abd. Islam dan Politik di Brunei Darussalam (Suatu Tinjauan Sosio-Historis).
Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama Vol.7, No.1 (Januari-Juni
2015).
Horton, A V M. Window-Dressing an Islamizing Sultanate. Asian Survey, Vol.45, No.1
(2005).
Leake, David. 1990. Brunei: The Modern Southest Asian Islamic Sultanate. Kuala Lumpur:
Forum.
S Talib, Naimah. Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern. Kyoto
Review of Southeast Asia Issue 13 (Maret 2013).