Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh
infeksi virus yang umumnya menyerang anak. Campak disebut juga rubeola,
morbilli, atau measles. Penyebab penyakit ini adalah Measles Virus yang
termasuk dalam famili paramyxovirus.
1
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak
menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%)
dan tempt ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun
(0,77%).
Campak merupakan penyakit endemis, terutama di negara sedang
berkembang. Di Indonesia penyakit campak sudah dikenal sejak lama. Di masa
lampau campak dianggap sebagai suatu hal yang harus dialami setiap anak,
sehingga anak yang terkena campak tidak perlu diobati, mereka beranggapan
bahwa penyakit campak dapat sembuh sendiri bila ruam sudah keluar. Ada
anggapan bahwa semakin banyak ruam keluar semakin baik. Bahkan ada usaha
dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam. Ada kepercayaan bahwa
penyakit campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam
akan muncul di dalam rongga tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru, perut
atau usus. Hal ini diyakini akan menyebabkan anak sesak nafas atau diare, yang
dapat menyebabkan kematian.
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia
ditemukan sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat inap di rumah sakit
selama kurun waktu lima tahun (1984-1988), memperlihatkan peningkatan kasus
pada bulan maret dan mencapai pucak pada bulan Mei, Agustus, September dan
Oktober setiap tahunnya.
Secara biologik, campak mempunyai sifat adanya ruam yang jelas, tidak
diperlukan hewan perantara, tidak ada penularan melalui serangga (vektor),
adanya siklus musiman dengan periode bebas penyakit, tidak ada penularan virus
secara tetap, hanya memiliki satu serotipe virus dan adanya vaksin campak yang
efektif. Sifat-sifat biologik campak ini serupa dengan cacar. Hal ini menimbulkan
optimisme kemungkinan campak dapat dieradiksi dari muka bumi sebagaimana
yang dapat dilakukan terhadap penyakit cacar. Cakupan imunisasi campak yang
lebih dari 90% akan menghasilkan daerah bebas campak, seperti halnya di
Amerika Serikat.
Di Indonesia penyakit campak mendapat perhatian khusus sejak tahun
1970, setelah terjadi wabah campak yang cukup serius di Pulau Lombok
(dilaporkan 330 kematian diantara 12.107 kasus) dan di Pulau Bangka (65
2
kematin diantara 407 kasus) pada tahun yang sama. Sampai sekarang
permasalahan campak masih menjadi sumber perhatian dan keprihatinan.
Menurut kelompok umur kasus campak yang rawat inap di rumah sakit
selama kurun waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar
dalam golongan umur balita dengan perincian 17,6% berumur <1 tahun, 15,2%
berumur 1 tahun, 20,3% berumur 2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun dan 8,2%
berumur 4 tahun.
Hampir semua anak Indonesia yang mencapai usia 5 tahun pernah
terserang penyakit campak, walauun yag dilaporkan hanya sekitar 30.000 kasus
pertahun. Laporan kasus di rumah sakit menunjukkan CFR campak yang jauh
lebih besar dibandingkan kasus di daerah-daerah. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan kasus campak yang dibawa ke rumah sakit kasus campak yang telah
parah dan hampir selalu dengan penyulit. Bagian anak RS Pringadi Medan
melaporkan bahwa angka kematian akibat penyulit campak rata-rata 26,4% setip
tahunnya.
Kejadiaan luar biasa campak lebih sering teradi di daerah pedesaan
terutama daerah yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan, khususnya dalam
program imunisasi. Di daerah transmigrasi sering terjadi wabah dengan angkaa
kematian yang tinggi. Di daerah perkotaan khusus, kasus campak tidak terlihat,
kecuali dari laporan rumah sakit. Hal ini tidak berarti bahwa daerah urban terlepas
dari campak. Daerah urban yang padat dan kumuh merupakan daerah rawan
terhadap penyakit yang sangat menular seperti campak.
3
mulai dari hidung sampai traktus respirat dan rius bagian bawah. Multiplikasi
lokal pada mukosa respiratorius segera disusul dengan viremia pertama dimana
virus menyebar dalam leukosit pada sistern retikukoendotelial. Setelah terjadi
nekrosis pada sel retikuloendotelial sejumtah virus terlepas kembali dan terjadilah
viremia kedua. Sel yang paling banyak terinfeksi adalah monosit. Jaringan yang
terinfeksi termasuk timus, lien. kelenjar limfe, hepar, kulit, konjungtiva dan paru.
Setelah terjadi viremia kedua seluruh mukosa respiratorius terlibat dalam
perjalanan penyakit sehingga menyebabkan timbulnya gejala batuk dan korisa.
Campak dapat secara langsung menyebabkan croup, bronchiolitis dan pneumonia,
selain itu adanya kerusakan respiratorius seperti edema dan hilangnya silia
menyebabkan timbulnya komplikasi otitis media dan pneumonia. Setelah
beberapa hari sesudah seluruh mukosa respiratorius terlibat, maka timbullah
bercak koplik dan kemudian timbul ruam pada kulit. Kedua manifestasi ini pada
pemeriksaan mikroskopik menunjukkan multinucleated giant cells, edema inter
dan intraseluler, parakeratosis dan dyskeratosis. Timbulnya ruam pada campak
bersamaan dengan timbulnya antibodi serum dan penyakit menjadi tidak
infeksius. Oleh sebab itu dikatakan bahwa timbulnya ruam akibat reaksi
hipersensitivitas host pada virus campak.
Pada infeksi akut primer, respon sel T dan sel B dapat dideteksi pada virus
campak. Ig M dan Ig G keduanya terbentuk, dengan Ig M diproduksi puncak pada
7 sampai 10 hari sesudah munculnya ruam dan kemudian menurun dengan cepat
serta jarang dapat dideteksi sesudah lebih dari 4 minggu. Adanya Ig M dapat
diterima sebagai bukti bahwa telah terjadi infeksi campak. Tetapi apabila hasil
pemeriksaan Ig M negatif tidak menyingkirkan diagnosa campak karena
sensitifitas pemeriksaan Ig M rendah dan saat pengambilan spesimen cukup
penting karena durasi Ig M dalam rendah cukup singkat. Ig G dapat dideteksi
dalam segera sesudah muncul ruam, mencapai kadar puncak kurang lebih 4
minggu kemudian menurun tetapi masih berada dalam tubuh seumur hidup.
George Pay menyatakan bahwa pada saat terjadi viremia, virus campak dapat
menginfeksi limfosit T dan B, makrofag dan leukosit polimorfonuklear. Hal ini
4
tidak menyebabkan terjadinya sitolisis tetapi rnenyebabkan terjadinya gangguan
sintesa imunoglobulin. Pada fase awal infeksi, natural killer cells dan sel T
sitotoksik mempunyai peran yang penting dalam menghambat replikasi virus.
Setelah timbul ruam, antibodi spesifik dapat dideteksi dan limfosit efektor dapat
ditemukan pada area dimana virus bereplikasi pada lesi kulit dan mukosa. Hal inl
menyebabkan pembersihan virus dan terjadinya penyembuhan dan juga timbulnya
alergi. Imunitas yang didapatkan sesudah infeksi alamiah biasanya seumur hidup.
Antibodi terhadap protein H dikatakan paling penting untuk menentukan imunitas.
Masih tetap tidak diketahui mengapa antibodi terhadap campak setelah infeksi
alamiah bertahan seumur hidup. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah
infeksi virus campak menjadi laten setelah infeksi akut terlewati sehingga
menyebabkan adanya stimulus terhadap pembentukan antibodi. Tetapi hal ini
tidak dapat dibuktikan karena virus campak tidak dapat menjadi laten baik pada
manusia maupun pada percobaan laboratorium. Salah satu penjelasan lain adalah
adanya exposure kembali dengan virus campak yang menyebabkan terjadinya
booster dan terjadi pembentukan kembali antibodi secara terus menerus. Telah
diketahui pula bahwa terinfeksi terhadap campak dapat terjadi dan selalu
asimptomatik tetapi menyebabkan terjadinya booster terhadap pembentukan
antibodi. Infeksi campak didiagnosa secara serologis apabiia terdapat Ig M atau
adanya kenaikan yang signifikan antara kadar Ig G akut dan konvalesen.
Kenaikan antibodi ini dikatakan signifikan jika didapatkan peningkatan titer 4
kali. Pemeriksaan yang dilakukan sebaiknya pada laboratorium yang sama dan
dengan menggunakan metode pemeriksaan yang sama pula. Imunitas seluler
dikatakan mempunyai peran yang penting dalam fase penyembuhan, dalam
pencegahan campak dan apabila terdapat stimulasi yang cukup pada imunitas
seluler inilah yang menyebabkan timbulnya proteksi seumur setelah infeksi
campak. Anne Gershon menyatakan bahwa imunitas seluler terhadap campak
mempunyai peran yang penting dalam pencegahan campak karena penderita
dengan agamaglobulinemia tidak mendapat serangan multipel campak.
5
C. GEJALA
Masa inkubasi 9-14 hari. Gejala- gejala prodormal berupa panas badan
yang tinggi, malaise, nyeri otot, sakit kepala, konjungtivitas, lakrimasi, dan
fotofobia. Gejala- gejala ini kemudian diikuti oleh gejala dan keluhan saluran
pernapasan bagian atas berupa batuk, pilek dan bersin-bersin. Satu dua hari
sebelum terjadi ruam kulit (rash), pada pipi bagian dalam rongga mulut terdapat
bintik Koplik yang khas, macula kecil berwarna merah atau ulkus dengan pusat
yang berwarna putih kebiruan.
Meskipun pada umumnya campak adalah penyakit yang jinak dan sembuh
sendirinya, tetapi kadang-kadang dapat terjadi komplikasi berat akibat infeksi
sekunder oleh bakteria misalnya bronkitis, otitis media dan pneumonia. Virus
campak sendiri juga dapat menimbulkan komplikasi berupa bronchitis,
pneumonia dan ensefalomielitis yang menimbulkan kematian pada 10 persen
penderita. Pada wanita hamil yang menderita campak 20 persen akan mengalami
abortus tetapi tidak ada efek teratogonik seperti yang ditimbulkan oleh virus
rubella. Miokarditis juga merupakan komplikasi pada 20 persen penderita yang
umumnya adalah reversible.
Sesudah sakit campak akan terjadi kekebalan terhadap campak yang bertahan
dalam waktu yang panjang.
1. Pemeriksaan Fisik
6
Penyakit campak dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis
yang klasik menurut CDC (Centre for Disease Control and Prevention) dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Demam yang mencapai suhu 38,3 C (101 F).
b. Timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang
telinga, kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki
bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh, dan selanjutnya
mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas.
c. Terdapat salah satu dari gejala berikut; batuk, koriza, pilek,
atau konjungtivitis.
7
campak tumbuh dengan lambat, efek sitopatik yang khas (sel raksasa
multinukleus yang mengandung badan inklusi intranuklear dan
intrasitoplasmik) terbentuk dalam 7-10 hari. Uji kultur vial kerang dapat
selesai dalam 2-3 hari menggunakan pewarnaan antibodi iluotesens untuk
mendeteksi antigen campak pada kultur yang telah diinnokulasi. Namun
isolasi virus sulit secara teknik.
c. Pemeriksaan darah.
Pada pemeriksaan darah didapatkan jumlah leukosit normal atau
meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri.
d. Pemeriksaan Serologi atau Antibodi IgM
Pemeriksaan antibodi IgM menggunakan sampel saliva atau
serum. Merupakan cara tercepat untuk memastikan adanya infeksi
campak akut. Karena IgM mungkin belum dapat dideteksi pada 2 hari
pertama munculnya rash, maka untuk mengambil darah pemeriksaan IgM
dilakukan pada hari ketiga untuk menghindari adanya false negative. Titer
IgM mulai sulit diukur pada 4 minggu setelah muncul rash.
e. Pemeriksaan Antibodi IgG
IgG antibodi dapat dideteksi 4 hari setelah rash muncul, terbanyak IgG
dapat dideteksi 1 minggu setelah onset sampai 3 minggu setelah onset. IgG
masih dapat ditemukan sampai beberapa tahun kemudian.
3. Pemeriksaan untuk Komplikasi
a. Ensefalopati atau ensefalitis : dilakukan pemeriksaan cairan
serebrospinalis, kadar elektrolit darah dan analisis gas darah
b. Enteritis : feses lengkap
c. Bronkopneumonia : dilakukan pemeriksaan foto dada dan analisis gas
darah.
1. Penularan
Penyakit campak sangat mudah menular. Penularan campak terjadi melalui
udara ataupun kontak langsung dengan penderita. Kebanyakan penularan terjadi
karena karena menghirup percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan
penderita campak (air borne disease). Virus campak dirularkan melalui infeksi
8
droplet lewat udara, menempel dan berbiak pada epitel nesofaring. Walaupun
sangat menular tapi tidak akan menularkan kepada orang yang kebal.
Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum
timbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada. Oleh karena itu, penderita
sebaiknya diisolasi selama 4 hari sebelum dan 4 hari sesudah ruam muncul. Jika
ada anggota keluarga yang belum divaksin campak, segeralah divaksin dan jangan
dibiarkan berdekatan.
2. Vaksin
Campak tidak ada obatnya, oleh karena itu vaksin sangat disarankan untuk
mencegah campak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
gondongan dan campak jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella).
Disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Vaksin yang hanya mengandung
campak diberikan pada bayi usia 9 bulan. Vaksin dalam bentuk MMR dosis
pertama pada usia bayi 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia balita 4-6
tahun.
3. Pencegahan
Cara lain untuk mencegahnya, harus senantiasa makan makanan bergizi dan
sering mengonsumsi sayur dan buah yang banyak mengandung vitamin A.
9
hangat supaya tidak demam, banyak minum air supaya tidak dehidrasi, dan
minum obat penurun panas seperti parasetamol dan ibuprofen.
10
2. Ensefalitis, perlu direduksi jumlah pemberian cairan kebutuhan untuk
mengurangi edema otak, di samping pemberian kortikosteroid dosis tinggi
yaitu :
Hidrokostison 100 200 mg/hari selama 3 4 hari.
Prednison 2 mg/kgBB/hari untuk jangka waktu 1 minggu.,
perlu dilakukan koreksi elektrolit dan ganguan gas darah.
3. Bronchopneumonia, diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari
dalam 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum
obat per oral. Antibiotik diberikan sampai tiga hari demam reda.
4. Enteritis, pada keadaan berat anak mudah dehidrasi. Pemberian cairan
intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis dengan
dehidrasi.
G. EPIDEMIOLOGI
Oleh: Muhammad Wicaksono (121000373)
11
Jika penyakit masuk kedalam masyarakat yang terisolasi dimana penyakit
ini tidak endemic, timbul epidemic dengan cepat dan angka serangan hampir
100%. Semua kelompok umur mengalami campak klinik. Suatu contoh klasik dan
fenomena ini terjadi pada tahun 1846 ketika campak masuk ke kepulauan Faroe.
hanya orang yang berumur diatas 60 tahun yang tetap hidup selama epidemi
terakhir dapat lolos dari penyakit ini. Di tempat dimana penyakit ini jarang terjadi,
maka dampaknya seringkali hebat dan angka kematian dapat mencapai 25%.
12
DAFTAR PUSTAKA
B. PATOGENESIS
1. Bagus Sutawijaya, R. 2010. Mencegah, Mendeteksi, dan Mengenal
Berbagai Penyakit Anak. Yogyakarta: Luna Publisher.
2. Soedarto. 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Surabaya: Universitas Air
Langga Press.
C. GEJALA
1. Soedarto, 1998. Dasar-Dasar Virologi Kedokeran. Jakarta: CV EGC
Penerbit Buku Kedokteran.
13
2. Soedarto, 2002. Sinopsis Klinis. Surabaya: Airlangga University Press.
3. Widoyono, 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,
dan Pemberantasan. Semarang: Erlangga.
D. PEMERIKSAAN
1. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair, 2006. Pedoman Diagnosis &
Terapi. Surabaya: Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo.
2. Soedarto, 2004, Sinopsis Virologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga
University Press.
3. Mandal, B.K., E.G.L. Wilkins, E.M. Dunbar dan R.T.M. White, 2006,
Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga.
4. Poorwo, S.S.S., H. Garna, S.R.S. Hadinegoro dan H.I.Sutari. 2010. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
F. PENGOBATAN
1. Henry, F.T. 1964. Communicable and Infectious Disease. Saint Louis :
The C.V. Mosby Company.
2. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan Pencegahan
& Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
3. Wilson, W.R., Sande, M.A. 2001. Current : Diagnosis & Treatment in
Infectious Diseases. United States of America : The McGraw-Hill.
G. EPIDEMIOLOGI
1. Sastrawinata, Ucke Sugeng. 2008. Virologi Manusia jilid 1, edisi pertama.
Bandung: P.T. Alumni.
2. Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis, edisi pertama. Surabaya:
Airlangga University Press.
14