Anda di halaman 1dari 22

Tropis

MORBUS HANSEN

OLEH KELOMPOK 1 :

Uyunul Jannah
Nur Wulandari
Karnila
Kasma Yuliani
Nur Ayuana Andini
Nurfadhilah
Nur Alawiyah Khaerunisa

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Makalah kelompok kami dapat terselesaikan. Pokok bahasan
makalah ini disesuaikan dengan materi dan kompetensi yang diajarkan pada Pendidikan Tinggi Keperawatan. Makalah ini berisi tentang
materi Tropis yang telah diberikan kepada kelompok kami yaitu mencakup materi Morbus Hansen.

Atas terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dari kelompok kami yang telah terlibat, baik
secara langsung maupun tidak dalam penyusunan makalah ini dan semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya penyusunan makalah
ini.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini. Kami mengharapkan masukan yang
membangun dari pembaca agar makalah ini terus menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa keperawatan.

Wassalam

Penyusun

Kelompok 1

1
2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
C. Tujuan............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 3
A. Definisi Morphus Hansen.................................................................................... 3
B. Etiologi........................................................................................................... 3
C. Klasifikasi Morbus Hansen..................................................................................4
D. Manifestasi Klinis.............................................................................................. 5
E. Pathway.......................................................................................................... 6
F. Pemeriksaan penunjang....................................................................................... 7
G. Asuhan Keperawatan.......................................................................................... 9
BAB III PENUTUP................................................................................................... 17
A. Kesimpulan.................................................................................................... 17
B. Saran............................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 18

3
4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Morbus Hansen atau yang lebih dikenal dengan penyakit kusta merupakan
salah satu penyakit kronik yang dapat menyerang manusia akibat infeksi dari
Mycrobacterium Leprae. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, bayi hingga dewasa
dapat terinfeksi penyakit ini (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). World Health
Organization (WHO) (2015) menyatakan bahwa pada awal tahun 2014 sebanyak 102 negara
diantaranya 20 negara dari wilayah Afrika, 25 negara dari wilayah Amerika, 11 negara dari
wilayah Asia, 14 dari wilayah Mediterania Timur dan 32 dari Kawasan Pasifik Barat
melaporkan bahwa terdapat 215.656 kasus baru kusta terdeteksi, adapun tiga negara dengan
jumlah penderita kusta tertinggi yaitu Brazil, India dan Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta tertinggi. Pada
tahun 2014 terdapat 16.131 jiwa penderita kusta baru yang terdeteksi di Indonesia, 1.525 jiwa
mengalami kecacatan tingkat 2 dan 1.755 jiwa merupakan penderita usia 01-14 tahun. Daerah
Sulawesi Selatan saat ini berada pada peringkat ke empat dengan jumlah penderita kusta baru
tertinggi yaitu 1.143 jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Penyakit
kusta merupakan penyakit yang menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, sistem saraf
perifer, anggota gerak tubuh, saluran pernafasan serta mata (Behrman, Kliegman, & Arvin,
2000). Penyakit kusta yang tidak diobati akan mengarah pada kecacatan fisik, gangguan
psikologis, dan ketidakmampuan sosial. Banyak penderita kusta yang cacat karena menunda
untuk mencari perawatan yang tepat. Hal ini disebabkan karena stigma yang ada
dimasyarakat dan tidak adanya dukungan dari lingkungan mereka (Joseph & Rao, 2015).
Penyakit kusta telah diakui dalam peradaban kuno Cina, Mesir dan India.
Penyebutan tertulis pertama mengenai kusta telah ada sejak 600 tahun SM dan sepanjang
sejarah orang yang menderita penyakit kusta sering dikucilkan oleh masyarakat dan keluarga
mereka (WHO, 2015). Hingga saat ini, stigma masyarakat dan petugas kesehatan mengenai
penyakit kusta masih tinggi, sehingga penderita ataupun mantan penderita kusta masih
dikucilkan, akibatnya masih banyak yang tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan
mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga menyebabkan tejadinya
peningkatan angka kemiskinan (Kemenkes, 2015). Selain itu, beberapa dari penderita kusta
dipaksa untuk meninggalkan rumah dan beberapa dari mereka dirawat di rumah sakit jiwa

1
(Joseph & Rao, 2015). Sebagai akibat dari permasalahan tersebut, penderita kusta menjadi
tuna wisma, tuna sosial, tunakarya dan memungkinkan akan melakukan kejahatan atau
menyebabkan gangguan di lingkungan sekitarnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian morbus hansen?


2. Apa penyebab morbus hansen?
3. Apa saja gejala morbus hansen?
4. Bagaimana patofisiologi morbus hansen?
5. Apa pemeriksaan penunjang morbus hansen?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada morbus hansen?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahu pengertian morbus hansen


2. Untuk mengetahui penyebab morbus hansen
3. Untuk mengetahui gejala morbus hansen
4. Untuk mengetahui patofisiologi morbus hansen
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang morbus hansen
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada morbus hansen

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Morphus Hansen

Morphus Hansen atau Morbus Hansen atau Lepra atau yang lazim dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa sansekerta yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari salran pernapasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke orgna lain
kecuali susunan saraf pusat.

B. Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.


HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5
Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium Leprae
dimana mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan cirri dari spesies
mycobacterium, berukuran panjang 1-8 mikro, lebar 0,2-0,5 mikro biasanya berkelompok
dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram
positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh
asam atau alcohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam.
Mycobacterium Leprae belum dapat di kultur pada laboratorium. Kuman ini menular
pada manusia melalui kontak langsung dengan penderita (keduanya harus ada lesi baik
mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan
melalui pernapasan, bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu
2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari diluar

3
tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata 2 hingga 5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.
Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit,
saraf, anggota gerak, dan mata.

C. Klasifikasi Morbus Hansen

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi morbus hansen untuk


memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya
dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat
ini departemen kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai
pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi
klinik dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


Bercak kusta Jumlah 1 sampai dengan 5 Jumlah lebih dari 5
Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
Distribusi tidak simetris simetris
Hilangnya sensasi yang Hilangnya
jelas
Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa atau
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
bersangkutan)
Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil tahan Dijumpai basil tahan
asam (BTA negatif) asam (BTA positif)

Kelainan kulit dan hasil Pausibasiler Multibasiler


pemeriksaan
1. Bercak (makula) mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
b. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

4
d. Batas Tegas Kurang tegas
e. Kehilangan rasa pada Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas,
bercak jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
kemampuan jika ada, terjadi pada
berkeringat, rambut yang sudah lanjut
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
c. Ciri-ciri Central healing Punched out lession
Madarosis
Ginekomasti
Hidung pelana
Suara sengau
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris

D. Manifestasi Klinis

Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain :

a Kulit mengalami bercak putih seperti panu


b Adanya bintil-bintil kemerahan yang tersebar pada kulit
c Ada bagian tubuh tidak berkeringat
d Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka
e Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut fesis leomina (muka singa)
f Mati rasa karena kerusakan saraf tepi
g Reaksi panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil
h Anoreksia
i Nausea kadang disertai fomitus
j Cephalgia kadang disertai iritasi
k Orchitis dan pleuritis

5
E. Pathway

Mikrobakterium Leprae
(sifatnya obligatin seluler)

Syaraf tepi

Kulit, mulut, saluran napas bagian atas, otot, mata, dsb

Tuberkuloit Lepromatosa
(Paucibacillary) (Multibacillary)

Ggn. Saraf tepi

Kerusakan sensorik Kerusakan motorik Fungsi otonom

Kurang/mati rasa Kelemahan/lumpuh Ggn. Kelenjar keringat,


(hipestesi) pada kulit otot sirkulasi darah

Cidera Ekstermitas Kulit menebal

Luka Kaku sendi Kering/pecah-pecah

Resiko infeksi Hambatan mobilitas Ggn. Citra tubuh 6


fisik
F. Pemeriksaan penunjang

1 Pemeriksaan serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostic penunjang yang paling banyak dilakukan
saat ini. Selain untuk penunjang diagnostic klinis penyakit kusta, tes serologi juga
dapat digunakan untuk diagnosis infeksi m. leprae.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara lain :
a Uji FLA-ABS (Fluorescent Leprosy Antibodi-Absorption Test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri m. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesifisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
makrobakteri lain.
b Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari m. leprae yang di biakkan dalam tubuh
armadillo yang di beri label radioaktif
c Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik pgl-1 dengan antibody
dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan dilapangan,
terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif
d Antibody Monoklonal (MAB)
Epitop ML04 dari protein 35-kda m. leprae menggunakan m. leprae sonicate
(MLS) yang spesifik dan sensitive untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kda m.
leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler
terhadap m. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma
pada pasien kusta dan kontak
e Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-assay)
Uji ELISA untuk mengukur banyak ikatan antigen antibody yang terbentuk
dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya
terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro
untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat 3 metode ELISA antara lain :

Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibody sekunder yang dilabel enzyme. Kemudian ditambahkan substrat
sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer
Indirect ELISA

7
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibody primer, dengan dilakukan penambahan antibody sekunder yang di
label enzyme dan terjadi reaksi antara antibody primer dan antibody sekunder
yang di label enzyme. Kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi
perubahan warna yang dapat diukur spektrofotometer.
Sandwich ELISA
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct
ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang di dinginkan
tidak perlu di purifikasi.
Dalam bidang penyakit kusta, uji elisa dapat dipakai untuk mengukur
kadar pada antibody terhadap basil kusta, misalnya antibody pgl-1. Antibody
antiprotein 35kd, dan lain-lain. Kelas antibody yang diperiksa juga ditentukan,
misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibody
anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG.

8
G. Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar menderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

2. Riwayat penyakit sekarang


Riwayat klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal dan multipel. Neuritis( nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komolikasi pada organ tubuh.

3. Riwayat kesehatan masa lalu


Pada klien dengan morbus hansen reaksinya muda terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stress, sesudah mendapat imunisasi.

4. Riwayat kesehatan keluarga


Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta (mikrobakterium) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah
satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

5. Riwayat psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen
akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini
merupakan penyakit kutukan. Sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa konsep diri karena penurunan.

6. Pola aktivitas sehari-hari


Aktivitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan
diri karena kondisinya yang tidak memungkinka.

9
7. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada type I,
reaksi ringan. Berat type II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik
a) Sistem penglihatan
Adanya gangguan tepi saraf motorik.kornea mata anastesi sehingga reflek kedip
berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan. Dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagcohthalmes jika ada infeksi akan buta, pada morbus hansen type
II reaksi berat, jika terjadi peradangan maka organ-organ tubuh akan maka mengakibatkan
irigocvelitis sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan
rontok.
b) Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada
tenggorokan.
c) Sistem persarafan
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa. akibat pada
kurang/mati rasa dapat menyebabkan luka sedangkab pada kornea mata
mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip.
kerusakan fungsi motorik menyebabkan otot tangan dan kaki
menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tubuh tidak
di pergunakan jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akibatnya akab terjadi
kekakuan pada sendi (kontraktur) bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan.
kerusakan fungsi otonom yaitu gangguan pada kalenjer keringat kalenjer minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering
d) Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik mengakibatkan kelemahan dan
kelumpuhan
e) Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopegmentasi ( panu) terdapat eritema , infiltrat
( penebalan kulit) nodul ( benjolan)

B. Diagnosa keperawatan

10
1. Kerusakan integritas kulit
2. Resiko infeksi
3. Hambatan mobilitas fisik

C. Kriteria evaluasi dan intervensi


1. Kerusakan integritas kulit
Definisi: perubahan/gangguan epidermis dan/atau dermis
NOC: Integritas Jaringan: Kulit & Membran Mukosa
Definisi: Keutuhan struktur dan fungsi fisiologis kulit dan selaput lendir secara normal

Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak


Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Indikator
Suhu kulit 1 2 3 4 5
Sensasi 1 2 3 4 5
Hidrasi 1 2 3 4 5
Keringat 1 2 3 4 5
Tekstur 1 2 3 4 5
Ketebalan 1 2 3 4 5
Perfusi jaringan 1 2 3 4 5
Pertumbuhan rambut 1 2 3 4 5
pada kulit
Integritas kulit 1 2 3 4 5
Cukup
Berat Sedang Ringan Tidak ada
Berat
Pigmentasi abnormal 1 2 3 4 5
Lesi pada kulit 1 2 3 4 5
Lesi mukosa membran 1 2 3 4 5
Jaringan parut 1 2 3 4 5
Penglupasan kulit 1 2 3 4 5
Penebalan kulit 1 2 3 4 5
Eritema 1 2 3 4 5
Nekrosis 1 2 3 4 5
Pengerasan (kulit) 1 2 3 4 5

NIC

a. Perawatan Kulit: Pengobatan Topikal


Definisi: mengaplikasikan zat topikal atau manipulasi perangkat untuk
meningkatkan integritas kulit dan meminimalkan kerusakan kulit
Aktifitas-aktifitas:

11
a) Jangan menggunakan alas kasur bertekstur kasar
b) Bersihkan dengan sabun antibakteri dengan tepat
c) Pakaikan pasien pakaian yang longgar
d) Sapu kulit dengan bubuk obat dengan tepat
e) Periksa kulit bagi pasien yang beresiko mengalami kerusakan kulit
f) Dokumentasikan derajat kerusakan kulit
b. Pemberian Obat : Kulit
Definisi: mempersiapkan dan memberikan obat pada kulit
Aktifitas-aktifitas:
a) Ikuti prinsip 5 benar pemberian obat
b) Catat riwayat medis pasien dan riwayat alergi
c) Tentukan pengetahuan pasien mengenai medikasi dan pemahaman pasien
mengenai metode pemberian obat
d) Tentukan kondisi kulit pasien diatas area dimana obat akan diberikan
e) Buang sisa obat sebelumnya dan bersihkan kulit
f) Ukur banyaknya obat topikal dengan benar untuk medikasi sistemik dengan
menggunakan alat pengukur yang terstandarisasi
g) Berikan agen topikal sesuai yang diresepkan
h) Sebarkan obat di atas kulit sesuai kebutuhan
i) Monitor adanya efek samping lokal dan sistemik dari pengobatan
j) Ajarkan dan monitor teknik pemberian mandiri, sesuai kebutuhan
k) Dokumentasikan pemberian obat dan respons pasien sesuai dengan protokol
institusi

2. Resiko infeksi
Definisi: beresiko terserang organisme patogen
NOC: Kontrol Resiko: Proses Infeksi
Definisi: tindakan individu untuk mengerti, mencegah, mengeliminasi, atau
mengurangi ancaman terkena infeksi

Tidak Jarang Kadang- Sering Secara


pernah menunjuk kadang menunjuk konsisten
menunjuk kan menunjuk kan menunjuk
kan kan kan
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Indikator
Mencari informasi 1 2 3 4 5
terkait kontrol infeksi
Mengidentifikasi faktor 1 2 3 4 5
resiko infeksi
Mengenali faktor resiko 1 2 3 4 5
individu terkait infeksi
Mengetahui 1 2 3 4 5
konsekuensi terkait

12
infeksi
Mengetahui perilaku 1 2 3 4 5
yang berhubungan
dengan resiko infeksi
Mengidentifikasi resiko 1 2 3 4 5
infeksi dalam aktifitas
sehari-hari
Mengidentifikasi tanda 1 2 3 4 5
dan gejala infeksi
Mengklarifikasi resiko 1 2 3 4 5
infeksi yang di dapat
Memonitor diri yang 1 2 3 4 5
berhubungan dengan
resiko infeksi
Memonitor faktor di 1 2 3 4 5
lingkungan yang
berhubungan dengan
risiko infeksi
Memonitor masa 1 2 3 4 5
inkubasi penyakit
infeksius
Mempertahankan 1 2 3 4 5
lingkungan yang bersih
Melakukan tindakan 1 2 3 4 5
segera untuk
mengurangi resiko
Menggunakan fasilitas 1 2 3 4 5
kesehatan yang sesuai
dengan kebutuhan

NIC

a. Perlindungan infeksi
Definisi: pencegahan dan deteki dini infeksi pada pasien beresiko
Aktifitas-aktifitas:
a) Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sitemik dan lokal
b) Monitor hitung mutlak granulosit, WBC, dan hasil-hasil diferensial
c) Pertahankan asepsis untuk pasien beresiko
d) Berikan perawatan kuliat yang tepat untuk area yang mengalami edema
e) Periksa kulit dan selaput lendir untuk adanya kemerahan, kehangatan ekstrim,
atau drainase
f) Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
g) Anjurkan istrahat

13
h) Ajarkan pasien dan keluarga mengenal tanda dan gejala infeksi dan kapan harus
melaporkannya kepada pemberi layanan kesehatan
i) Ajarkan pasien dan keluarga bagaiman cara menghindari infeksi
c. Perawatan luka
Definisi: pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka
Aktifitas-aktifitas:
a) Cukur rambut disekitar daerah yang terkena, sesuai kebutuhan
b) Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau
c) Bersihkan dengan normalsaline atau pembersih yang tidak beracun dengan tepat
d) Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
e) Anjurkan pasien dan keluarga pada prosedur perawatan luka
f) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi

3. Hambatan mobilitas fisik


Definisi: keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas
secara lebih dan terarah
NOC: Pergerakan
Defenisi: kemampuan untuk bisa bergerak bebas di tempat dengan atau tanpa alat
bantu

Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak


terganggu tergangg terganggu tergangg terganggu
u u
Skala Outcome 1 2 3 4 5
Keseluruhan
Indikator
Keseimbangan 1 2 3 4 5
Koordinasi 1 2 3 4 5
Cara berjalan 1 2 3 4 5
Gerakan otot 1 2 3 4 5
Gerakan sendi 1 2 3 4 5
Kinerja pengaturan tubuh 1 2 3 4 5
Berlari 1 2 3 4 5
Melompat 1 2 3 4 5
Berjalan 1 2 3 4 5
Bergerak dengan mudah 1 2 3 4 5

NIC

a. Terapi Latihan: Mobilitas (Pergerakan) Sendi


Definisi: penggunaan gerakan tubuh baik aktif maupun pasif untuk meningkatkan
atau memelihara kelenturan sendi
Aktifitas-aktifitas:
a) Tentukan batasan pergerakan sendi dan efeknya terhadap fungsi sendi
b) Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam megembangkan dan
menerapkan sebuah program latihan

14
c) Tentukan level motivasi pasien untuk meningkatkan atau memelihara
pergerakan sendi
d) Jelaskan kepada pasien atau keluarga manfaat dan tujuan melakukan latihan
sendi
e) Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri dan ketidaknyamanan
selama pergerakan/aktivitas
f) Inisiasi pengontrolan nyeri sebelum memulai latihan sendi
g) Pakaiakan baju yang tidak menghambat pergerakan pasien
h) Lindungi pasien dari trauma selama latihan
i) Bantu pasien untuk mendapatkan posisi tubuh yang optimal untuk
pergerakan sendi pasif maupun aktif
j) Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teratu dan terencana
k) Instruksikan pasien/keluarga cara melakukan latihan ROM pasif, ROM
dengan bantuan atau ROM aktif
l) Sediakan dukugan positif dalam melakukan latihan sendi

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Morbus hansen atau kusta/lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke orgna lain kecuali susunan saraf pusat. Morbus hansen di klasifikasi menjadi 2
tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini departemen
kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan
penderita kusta.

B. Saran

Diharapkan masyarakat tidak mengucilkan penderita morbus hansen/kusta,


walaupun pada dasarnya penyakit ini dapat menular. Para penderita kusta pada umumnya
mengalami penurunan kepercayaan diri dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial.
Sebaiknya masyarakat dapat mendukung para penderita kusta untuk tetap memiliki
keberanian dan kepercayaan diri hidup secara normal.

15
Berdasarkan International Journal of Tropical Disease & Health tahun 2015
disebutkan bahwa Salah satu masalah psikososial yang dirasakan oleh penderita kusta
adalah dikucilkan oleh masyarakat disekitarnya sehingga penderita cenderung menghindar
bahkan menarik diri dari lingkungan. Jika hal tersebut dibiarkan maka mereka akan
cenderung sulit bersosialisasi bahkan beberapa diantara mereka merasa tidak diharga
keberadaannya di lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Sermrittirong, et al. pada tahun 2014 di Thailand menunjukkan bahwa hal yang dapat
dilakukan oleh masyarakat maupun tenaga kesehatan untuk membuat penderita kusta
merasa diakui oleh lingkungan disekitarnya adalah melibatkan penderita dalam kegiatan-
kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat disekitarnya. Karena melalui
keterlibatan penderita, mereka akan merasa memiliki kepentingan dan peran tersendiri di
dalam masyarakat. Selain itu, dengan melibatkan penderita melalui kegiatan di masyarakat
itu akan membuat mengurangi pikiran penderita sebagai stigma di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Marrlyn, Doenges. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta

Daili ESS, Menaldi SS., Ismiarto SP., Nilasari H. (2003). Kusta. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Bulechek, G. M., M Dochterman, J., & Butcher, H. (2013). Nursing Intervention


Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia. Philadelphia: Elsevier.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Philadelphia: Elsevier.

Internasional, N. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 -21017 Edisi
10. Jakarta: EGC.

Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (2000). Ilmu kesehatan anak nelson vol.2.
Jakarta: EGC.

Joseph, G. A., & Rao, P. S. (2015). Impact of leprosy on the quality of life. ProQuest nursing
and Allied health source, 515-527.

16
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Profil kesehatan indonesia tahun 2014.
Retrieved Agustus 16, 2015, from Kementerian kesehatan republik indonesia:
www.depkes.go.id

WHO. (2015). Retrieved Agustus 16, 2015, from World Health Organization: www.who.int

Nurarif, Amin H & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction: Jogja

(2007). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima. Dalam A. Djuanda, M. Hamzah, &
S. Aisah (Penyunt.). Jakarta: FKUI.

Sermrittirong, S., Brakel, W. H., Aelen, J. B., Niorn, A., & Chaidee, N. (2015). Addressing
Stigma related to Leprosy: Lessons from an Intervention Study in Thailand.
International Journal of Tropical Disease & Health, 5(1), 48-63.

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2015). Kusta. Universitas Sumatra Utara.

17

Anda mungkin juga menyukai