Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari
kelainan kongenital pada mata, infeksi / peradangan pada mata hingga tingginya
angka kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah
permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea
merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga
rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan
mengganggu kemampuan penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas hidup seseorang.
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006). Predisposisi
terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan
perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan,
Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena
penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak
diketahui penyebabnya. Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat
mengenali dan menanggulangi kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum)
yang terjadi di masyarakat baik sebagai dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja
di strata pelayanan primer.
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis keratitis pada
pasien yang datang berobat ke Poliklinik Mata RSUD Kanjuruhan Kepanjen.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-


12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total
58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme
pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari
aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah
satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam
stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh
Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus (Ilyas, 2005).
Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
3

1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan
film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom
dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan
epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas,
2005).
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi
(Ilyas, 2005).
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama,
dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma (Ilyas, 2005).
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup
dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran
4

Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya
dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2005).
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari
kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma
bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005).

3.2 Fisiologi Kornea


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air
mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009).
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
5

kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur (Vaughan, 2009).
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009).

Keratitis
3.3 Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).

3.4 Etiologi dan faktor pencetus


Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur dapat
menyebabkan keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1.
Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang
sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu
sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin
A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik (Mansjoer, 2001).

3.5 Tanda dan Gejala Umum


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat
dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan
keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan
jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun
gejala umum adalah :
Keluar air mata yang berlebihan
Nyeri
Penurunan tajam penglihatan
Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
6

Mata merah
Sensitif terhadap cahaya (Mansjoer, 2001).

3.6 Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :
yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006):
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar
lakrimale atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut
juga keratitis neuroparalitik.
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.

3.7 Patofisiologi Gejala


Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea
(Vaughan, 2009).
7

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris,
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit
kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini,
yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan
fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata
kecuali pada ulkus bakteri purulen (Vaughan, 2009).
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas
cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau
letaknya di pusat (Vaughan, 2009).

3.8 Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi
yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat
sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi
penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes,
AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus (Vaughan, 2009).
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih
mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas
lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian
biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tidak
tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan
perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah kasar
yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini (Vaughan, 2009).
8

Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi


empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu
dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mata
dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu
dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis.
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya
cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu
sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus
dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu.
Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak
bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen
dapat terjadi.
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah
yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan
sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat.
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit
Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat
waktu.

a. Keratitis Virus
Keratitis Herpes Simplek
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada
mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
9

keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus (Ilyas,
2006).
a. Temuan klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus
bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya
pada pasien-pasien atopic (Vaughan, 2009). Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus
topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi
untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya
antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir
oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas (American academy, 2006).
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik
atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion
n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi
kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,
pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi
imunosupresi (Vaughan, 2009).
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun
pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan
melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh
dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta
mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan
pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan (American academy, 2007).
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.
10

b. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat
yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya
timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang
berobat. Sering ada riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun
ulserasi kornea kadang kadang merupakan satu satunya gejala infeksi herpes
rekurens (Vaughan, 2009).
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna
lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis
herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia (Ilyas, 2000).
c. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan
proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus
dan menyebar sambil menimbulka kematian sel serta membentuk defek dengan
gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada
kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus
terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang
lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009).
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit
dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah
keratitis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa.
Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).
11

Lesi dendritik Lesi geografik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis


herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas,
2006).
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti,
dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk
membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan
keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena
sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang
imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung
beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan
dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009).
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang
dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga
sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes
simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika
dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel,
akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada
penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda tanda khas herpes, namun unsur
bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut,
yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin
terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder
(Vaughan, 2009).
12

Lesi dengan Wessely Ring Keratitis Diskiformis

d. Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh
sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya
mungkin menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009).
e. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil
efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.
Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis
kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72
jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
13

keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi
berbagai keracunan obat (Vaughan, 2009).
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease study)
(Vaughan, 2009).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti
virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus (Vaughan, 2009).
3. Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens (Vaughan, 2009).
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak
lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan
dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan
transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk
pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek (Vaughan, 2009).
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
14

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.
Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat
dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan
terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan keadaan yang
dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum
menstruasi (Vaughan, 2009).
f. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan
gejala sisa.

Keratitis Virus Varisela Zoster


Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering
pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian
kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan
lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah
dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi (Vaughan,
2009).
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic
relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya
sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic
dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi
cabang-cabang Nervus Nasosiliaris (Vaughan, 2009).
15

Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh
dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip
dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit
infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit
stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis
disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu
merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea
tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu
sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada
penyakit VZV mata (Vaughan, 2009).
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati
herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu.
Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya
dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang
meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis
berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih
kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan
hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri
(Vaughan, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San Fransisco


2007
2. Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4, Philadelphia, Harper & Row
Publisher, 1987.
3. Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition, London, The C. V. Mosby
Company, 1983.
16

4. Ilyas, Sidarta. 2000.Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakarta :52.
5. Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu penyakit Mata. Edisi ketiga. FKUI. Jakarta. Hal (118-120)
(147-167)
6. Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI Jakarta.
7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI. Hal: 56
8. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. INDIAN
Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56
9. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika
Jakarta, 2009

Anda mungkin juga menyukai