Anda di halaman 1dari 6

BAB II

2.1. Laporan Kasus

Seorang wanita berumur 32 tahun mengalami sesak nafas berat selama


empat minggu dan batuk berdahak disertai dengan darah pada sputum. Pasien
memiliki tekanan darah yang normal dan tidak memiliki riwayat diabetes.
Sebelumnya pasien telah mencoba pengobatan alternatif namun tidak ada
perbaikan klinis.

Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan kesadaran pasien baik, demam,


sianosis, takipnea dengan laju pernafasan 34/menit, nadi 94/menit, tekanan
darah 140/82 mmHg, saturasi oksigen didapatkan 70%. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan krepitasi pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan darah
ditemukan jumlah Hb 10 g/dl, platelet 120.000, leukosit total 12.000/uL
dengan 84% neutrofil dan 20% limfosit. Pada pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan 40 IU urea dan 1.2 mg/dl kreatinin. Pemeriksaan gas darah
menunjukan respiratory failure tipe 1 dengan rincian data perbandingan
Po2/FiO2 = 198, pH 7.34, po2= 40mmHg, pco2= 45mmHg, Hco3 =22-
meq/L, Na =143, k =3.5. Pemeriksaan EKG menunjukkan sinus takikardi.
Sedangkan X-ray Thorax (gambar 2.1 & 2.2) memperlihatkan pemadatan
dengan pola retikulo-nodular yang diselingi infiltrat halus pada kedua lapang
paru.

(Gambar 2.1 X-ray Thorax Menunjukkan infiltrat bilateral pada pasien ARDS)
(Gambar 2.2 X-ray Thorax memperlihatkan gambaran tuberkulosis miliaris)

Pasien segera ditangani dengan ventilasi mekanik invasif dan antibiotik


spektrum luas namun tidak membaik. Telah dilakukan pemeriksaan serologi
virus, kultur darah dan urin dan ekokardiografi namun hasil yang didapatkan
negatif. Pasien juga tidak menunjukkan adanya infeksi jamur. Pemeriksaan
TA (Tracheal aspiration) menunjukan kemungkinan kuat adanya M.
tuberkulosis namun tes Mantoux menunjukkan negatif. Kemudian dilakukan
pemeriksaan CT-Scan (gambar 2.3) yang menunjukkan adanya pola millier
khas dari infeksi Tuberkulosis. Dengan kecurigaan tersebut, pasien ditangani
menggunakan terapi anti-Tuberkulosis dan membaik setelah tujuh hari
pemberian terapi.
(Gambar 2.3 Gambaran CT-scan pada pasien dengan ARDS)

Dua minggu berikutnya, kultur M. tuberkulosis dinyatakan positif.


Dengan hasil tersebut, pasien didiagnosis mengalami infeksi M. Tuberkulosis
dengan gejala acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pasien
dipulangkan pada hari ke-15 dan dilanjutkan dengan follow up dengan
melakukan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) pada sputum yang
menunjukkan hasil negatif.

2.2. Pembahasan

Tuberkulosis (TB) telah menyerang hewan dan manusia di seluruh dunia


sepanjang sejarah. Deskripsi awal tentang TB ditemukan pada tulisan-tulisan
Hippocrates, yaitu data penelitian P.F.H. Klencke pada 1843 dan Jean Antoine
Villemin pada tahun 1865 yang menjelaskan cara penularan penyakit ini.
Kemudian identifikasi tuberkulum bacillus oleh Kochi pada tahun 1882
menjelaskan tentang patogenesis dari Tuberkulosis (Lawrence & Stark, 2000)

Dewasa ini, Tuberkulosis sering dinyatakan sebagai penyebab dari Acute


Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (3-5). Patogenesis terjadinya ARDS
karena tuberculosis paru masih belum diketahui dengan jelas. Penyebaran
mikobakteri secara luas ke dalam sirkulasi pulmonal mengakibatkan inflamasi,
endoarteritis dan menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveolus (7).
Agregasi platelet pada kapiler paru dan aktivasi leukosit menyebabkan
kerusakan endotel yang pada akhirnya menyebabkan permeabilitas vaskuler
meningkat. Selain itu, lipoarabinomannan (komponen dinding sel mikobakteri)
kemungkinan dapat bereaksi seperti lipopolisakarida pada keadaan bacterial
septis yang mengaktivasi makrofag untuk mengeluarkan tumour necrosis factor-
a [TNF-a] dan interleukin-1b [IL-1b] (8). Aktivasi makrofag diduga sebagai
kunci dari penyebab kerusakan paru (8).

ARDS adalah sindroma paru-paru yang dapat merusak paru secara langsum
maupun tak langsung. Inflamasi pada parenkim paru menyebabkan gangguan
pertukaran gas dan dengan adanya pengeluaran mediator inflamasi sitemik
menyebabkan inflamasi, hipoksia dan multiple organ failure pada akhirnya.
Pada pasien yang tidak diobati, kondisi ini memiliki tingkat kematian sebanyak
90%. Dengan pengobatan, ventilasi mekanik pada ruang perawatan intensif,
angka kematian dapat berkurang, yaitu sebesar 50%. Diagnosis ARDS dapat
ditegakkan dengan beberapa kriteria, antara lain:

1. Fase akut: Terjadi selama 7 hari yang disebabkan oleh berbagai macam
keadaan, sepsis, pneumonia, ataupun hanya gangguan pada sistem
pernapasan.
2. Pada pemeriksaan X-ray Thorax dan Ct-Scan didapatkan gambaran
bilateral opacities dengan edema pulmonal.
3. Rasio PaO2: FiO2< 300. Saat ini, pasien dengan PaO2/FiO2 200300
dapat dikatakan sebagai ARDS ringan.
4. Pasien dengan hipertensi pulomal atau congestive heart failure (CHF)
juga dapat mengalami ARDS.

Kriteria Berlin membagi ARDS menjadi ringan, sedang dan berat:

Tingkat ARDS PaO2/FiO2 Angka Mortalitas


Ringan 200-300 27%
Sedang 100-200 32%
Berat <100 45%

Tiga dari lima gejala klinis berikut terjadi pada 75% kasus ARDS:

1. Sindroma sepsis (penyebab utama).


2. Multiple trauma yang berat.
3. Aspirasi (saliva atau isi lambung).
4. Komplikasi dari Pneumonia yang tidak ditangani secara baik.
5. Necrotizing pankreatitis. Beberapa kasus ARDS terjadi karena
overload cairan yang diberikan selama resusitasi post-trauma.
Penyebab lainnya adalah syok, asfiksia, menghirup toksin yang
dapat merusak paru dan juga infeksi tuberkulosis paru.

Indikasi utama pasien TB untuk mendapatkan perawatan intensif salah


satunya adalah respiratory failure. Pneumonia, sepsis, Penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), riwayat pengobatan TB yang tidak maksimal dan kanker akan mengarah
pada respiratory failure (10). Namun, kasus wanita pada kasus tidak mengalami salah
satupun dari hal tersebut. Penelitian yang dilakukan di Brazil, menilai perubahan
histopatologi paru yang dilakukan pada 3030 pasien yang meninggal karena
respiratory failure. Hasil penelitian menemukan hanya 110 (3.6%) kasus respiratory
failure yang disebabkan oleh tuberkulosis. Diantara kasus tersebut, hanya sedikit
yang mengalami ARDS (11). Dalam pemeriksaan radiologi yang paling sering
ditemukan adalah infiltrat reticular, konsolidasi dan kavitasi pada 27-50% kasus (1).
Pada pemeriksaan laboratorium, yang paling sering ditemukan adalah anemia,
leukopenia, leukositosis dan hipoalbuminemia (12). Sedangkan wanita dalam kasus
hanya mengalami anemia.

Foto X-ray Thorax menjadi pemeriksaan penunjang utama untuk


mendiagnosis TB paru aktif. Sangat sulit mendapatkan untuk kultur mikobakterium
dan membutuhkan waktu sekitar 6-8 minggu. Oleh karena itu, pasien yang dicurigai
infeksi TB harus segera ditangani dengan perawatan intensif dan pengobatan anti-
tuberkulosis terlebih pada pasien dengan immunocompromised (1). Cara diagnostik
yang benar, seperti pengetahuan tentang klinis dan pembacaan radiologis yang baik
sangat berkontribusi untuk diagnosis dini dan memulai pengobatan (13). Gejala yang
lebih dari dua minggu dan terlihatnya mikronodul atau kavitasi pada pemeriksaan X-
ray secara signifikan dapat dikatakan infeksi aktif tuberkulosis paru (14). Pengenalan
alat untuk diagnosis yang baru seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
membantu untuk mendiagnosis lebih awal. Selain itu, high resolution computed
tomography (HRCT) digunakan jika X-ray thorax memberikan hasil yang tidak
maksimal (15).

Pengobatan anti-tuberkulosis yang tepat seperti Isoniazid dan Rifampicin


sangat berpengaruh pada kondisi pasien. Dalam pengobatan TB, kortikosteroid
digunakan untuk terapi pendamping. Terutama jika infeksi telah menyebar seperti
meningitis dan pericarditis TB. Kortikosteroid bekerja menghambat pelepasan
limfokin dan sitokin yang pada akhirnya menghambat kerusakan jaringan. Secara
umum, kortikosteroid diberikan pada pasien dengan TB berat yang mengarah pada
kondisi ARDS (13). Wanita dalam kasus juga menggunakan kortikosteroid sebagai
terapi pendamping.

Anda mungkin juga menyukai