Terapi pada peritonitis primer adalah dengan pemberian antibiotika bila diagnosa telah ditegakkan.
Sedangkan untuk peritonitis sekunder, terapi bergantung pada penyakit dasarnya memerlukan
yang bertujuan untuk pengontrolan dekompresi terhadap distensi usus akibat ileus paralitik.
2. Atasi syok dan koreksi cairan dan elektrolit.
Resusitasi hebat dengan larutan salin isotonik adalah penting. Pengembalian volume
mekanisme pertahanan. Defisit kalium bertanggung jawab terhadap inhibisi ileus setelah
peritonitis sembuh. Pengeluaran urin dan tekanan pengisian jantung harus dipantau.
3. Antibiotika berspektrum luas diberikan secara empirik dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil pembiakan laboratorik keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika ini merupakan tambahan bagi drainase
bedah, walaupun drainase sendiri tidak mutlak harus dilakukan. Harus tersedia dosis
yang cukup pada saat pembedahan karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
4. Oksigen dan dukungan ventilasi. Sepsis yang sedang berlangsung membawa ke hipoksemia
yang disebabkan oleh pintas dan splinting dinding dada. Penghantaran oksigen yang cukup
adalah penting.
5. Obat - obat yang menstimulasi aktivitas usus tidak boleh diberikan.
6. Penyakit yang berhubungan dan akibat umum peritonitis harus diobati
7. Pembedahan
a. Koreksi penyakit dasar.
Hal ini menjadi peraturan penatalaksanaan peritonitis yang fundamental. Penyingkiran atau
penutupan sumber kontaminasi peritoneal harus dilakukan segera. Segala usaha harus
dilakukan untuk membuang semaksimal mungkin benda asing dan material - material
infeksius.
b. Cairan peritoneal diaspirasi dan dibilas dengan larutan salin. Pembilasan dengan
( dalam waktu hanya beberapa jam) menjadi terisolasi atau terpisah dari ruangan yang
Antibiotika harus diberikan dan bila perlu diganti. Ahli bedah harus waspada terhadap
pembentukan abses. Posisi setengah duduk (semi - Fowler) dapat mengumpulkan pus yang
terbentuk pada rongga pelvik, tetapi kegunaan posisi ini tidak sebesar yang dibayangkan.
Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial
(Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik
tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan
transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid
harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).
Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci.
Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum
(Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur
dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat
tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam
dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan
hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1)
besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi
lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi
(Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi
dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan
dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram
streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang
logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang
diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal
infeksi (Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz
et al, 1989).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang
adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan
dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam
sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan
hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline
merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi
dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal
debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin
memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus
perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan
yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum
peritoneum (Doherty, 2006).
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik
yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan
peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih
lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas
dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum
harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan
bakteri (Doherty, 2006).
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif
dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung
dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada
peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada
kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau
kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).