Anda di halaman 1dari 21

Penyakit Filariasis

a. filariasis

Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit

yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai

jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit ini telah menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di

80 negara, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit filariasis

bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat

menetap berupa pembengkakan kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin baik pada

wanita maupun pria. Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian, tetapi merupakan

salah satu penyebab timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial

lainnya (Depkes RI, 2005).

Filaria limfatik yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia

timorimerupakan spesies cacing filaria yang ditemukan di dunia. Penyebarannya

tergantung dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas di berbagai negara tropis

dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan Asia (Jepang,

Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik Barat (Sudomo,

2008)

Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan,

dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik

perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan,

namun demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan

bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Penyakit Kaki Gajah umumnya banyak

terdapat pada wilayah tropis. Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat
penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh),

Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailan dan

Indonesia (Asia Tenggara). Secara keseluruhan jumlah penderita filariasis di Indonesia

sampai dengan tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ada 8.243 dan

meningkat menjadi 11.699 pada tahun 2008. Ada tiga propinsi di Indonesia dengan kasus

terbanyak berturut-turut, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, dan

Papua (Depkes RI, 2009).

Selain itu, kasus filariasis menyebabkan kerugian ekonomi yang utama bagi

penderita dan keluarganya. Kerugian yang disebabkan filariasis baik dalam keadaan akut

maupun kronis antara lain adalah hilangnya jam kerja penderita yang berakibat pada

penurunan pendapatan keluarga maupun kecacatan yang akan membebani keluarga yang

bersangkutan maupun masyarakat sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Ascobat Gani

dkk, kerugian ekonomi akibat filariasis, baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-

biaya yang ditanggung selama pengobatan, besarnya adalah Rp 735.380,- perkasus

pertahun atau setara dengan 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari

biaya makan. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan kerugian sebesar Rp. 4,6 triliun per

tahun. (Nasrin, 2008).

Terjadinya infeksi filariasis pada seseorang, sangat ditentukan oleh peluang

seseorang untuk mengalami kontak (pemaparan) dengan vektor filariasis. Namun hal ini

juga berkaitan dengan :

1) Umur
Umur sangat berhubungan dengan tingkat keterpaparan, risiko dan sifat resistensi

terhadap suatu penyakit. Semakin tua umur seseorang maka semakin banyak

keterpaparan yang ditemui dan semakin besar risiko terkena suatu penyakit. Selain
itu semakin tua seseorang, maka resistensi terhadap suatu penyakit semakin

menurun.
2) Jenis kelamin
Tingginya kejadian filariasis pada laki-laki berkaitan dengan kebiasaan atau

pekerjaan rutin yang dilakukan, oleh karena laki-laki merupakan tulang punggung

keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, sehingga memungkinkan

keterpaparan yang tinggi dan kontak yang sering dengan vektor penular filariasis

dibandingkan wanita.
3) Pekerjaan
Peluang tingginya seseorang terinfeksi filariasis yaitu seseorang yang bekerja

didaerah persawahan, perhutanan dan tempat-tempat yang merupakan habitat

nyamuk, seperti petani, pemburu, pencari rotan dan hasil hutan lainnya.
4) Pengetahuan
Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai filariasis, tentu akan

lebih waspada terhadap risiko terkena filariasis pada saat melakukan kegiatan atau

aktivitas malam diluar maupun di dalam rumah terhadap gigitan nyamuk vektor

filariasis.

5. Kondisi lingkungan fisik, biologis maupun sosial

Pengaruh faktor lingkungan baik fisik, biologi dan sosial sangat berperan

terhadap distribusi dan frekuensi penyakit filariasis. Adanya iklim dan kondisi

geografis yang baik dapat membentuk habitat yang ideal, terlebih lagi potensi daerah

endemis filariasis adalah daerah pertanian sehingga mendukung terbentuknya

tempat-tempat perindukan vektor sebagai sumber penular. Selain itu juga disebabkan

kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu sehingga tidak mampu untuk

membeli obat pencegah nyamuk

5) Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat seperti sering keluar rumah pada malam hari tanpa

menggunakan alat pelindung diri, dapat memperbesar peluang untuk tertular

filariasis. (Nasrin, 2008).


b. Triad Epidemiologi
1. Agent
Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ( urban ) ditularkan oleh

Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat

perindukannya. Wucheriria bancrofti yang di daerah pedesaan ( rural ) dapat

ditularkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti

terutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang menggunakan bekas jejak kaki

binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di NTT, Wuchereria bancrofti

ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia Malayi yang hidup pada manusia dan

hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mn.uniformis, Mn.bonneae,

dan Mn.dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan

Maluku. Di daerah Sulawesi, B.malayi ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang

menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia timori ditularkan oleh

Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai

maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan

Timor Timur (Hasan, 2013)


2. Host
Cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang

mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya

laki-laki lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan

mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi

hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat hidup pada kucing,

kera, kuda, dan sapi (Hasan, 2013)


3. Environment
Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan

tropis seperti di Indonesia. Daerah endemis biasanya merupakan daerah dataran

rendah yang berawa dengan di sana-sini dikelilingi oleh daerah yang bersemak

belukar dan berhutan. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun

1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas

hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Sebanyak 26 provinsi di Indonesia dikatakan

endemis penyakit kaki gajah, antara lain Sumatera, sebagian wilayah Jawa dan Bali.

(Hasan, 2015).

c. Transmisi penyebaran penyakit

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang

tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III

(L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap

darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung

microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu

perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam

tubuh manusia (hospes) dan reservoair. Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ;

Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul

lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka)

didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ;

radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari

pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses

akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan

mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang

kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah

dada, buah zakar (elephantiasis skroti) (Chandra,2009).

d. etiologi dan penularannya

Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh

cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. bermula dari inflamasi saluran

limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (makrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri

ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi

limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan

plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di

sekitarnya. (Mardiana, 2011)

Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta

makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. infiltrasi inilah yang

menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di

sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di

sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis

dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi. edema

pada filariasis ialah cacing dewasa (Makrofilaria) yang merusak pembuluh limfe serta

mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di

sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan

proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup,

pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang

memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi
limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti

pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

(Mardiana, 2011).

beberapa spesies filarial yang menyerang manusia diantaranya adalah wuchereria

bancrofti, brugua malayi, brugia timori, dan onchocerca volvulus. W. bancrofti dan

B.timori siklus hidup W. banchrofti dan B. malayi dimulai pada saat filarial betina dewasa

dalam pembuluh limfe manusia, memproduksi sekitar 50.000 mikrofilia perhari kedalam

darah. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilia pada saat menggigit manusia, selanjutnya

larva tersebut akan berkembang dalam tubuh nyamuk dan ketika nyamuk menggigit

manusia, larva infektif akan masuk kedalam tubuh manusia. Larva akan bermigrasi ke

saluran limfe dan berkembang menjadi bentuk dewasa. Mikrofilia dapat ditemukan dalam

darah setelah 6 bulan tahun setelah terinfeksi dan bias bertahan 5-10 tahun. Vector utama

filarial yaitu nyamuk Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes. (Widoyonpo, 2008).

Siklus hidup W. banccrofti, Filaria yang hidup di daerah tropis dan subtropis

1. Cacing dewasa di pembuluh limfe


2. Cacing dewasa menghasilkan mikrofilia yang termigrasi ke pembuluh limfe dan darah
3. Nyamuk menggigit manusia (menghisap microfilaria)
4. Microfilaria menembus saluran pencernaan nyamuk, dan bermigrasi ke otot toraks
5. Larva tahap pertama
6. Larva tahap ketiga
7. Larva tahap ketiga bermigrasi ke kepala dan alat penghisap darah pada nyamuk
8. Nyamuk menggigit manusia (Widoyono, 2008).
gambaran siklus hidup W. banccrofti, Filaria yang hidup di daerah tropis dan

subtropis (widoyono, 2008).

e. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis

kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan

sebelumnya, dan infeksi sekunder. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi,

manifestasi klinis filariasis dibagi dalam 4 stadium yaitu:

1.Asimptomatik atau subklinis filariasis

a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia


Pada daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi

tidak menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai

umur dan biasanya mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak
terjadi pada pria dibandingkan wanita. Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun

secara klinis asimptomatik tetapi semua individu yang terinfeksi W. bancrofti dan

B.malayi mempunyai gejala subklinis. Hal tersebut terlihat pada 40% individu

mikrofilaremia ini menderita hematuri dan atau proteinuria yg menunjukkan

kerusakan ginjal minimal. Kelainan ginjal ini berhubungan dengan adanya

mikrofilaria dibandingkan dengan adanya cacing dewasa, karena hilangnya

mikrofilaria dalam darah akan mengembalikan fungsi ginjal menjadi normal.

Dengan lymphoscintigraphy tampak pelebaran dan terbelitnya limfatik disertai

tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG juga terlihat adanya limfangiektasia.

Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan

berlanjut ke stadium akut atau kronik. (Saputri, 2013).


b. Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen filarial

Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif

(L3) yang tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi

mempunyai antibodi-antifilaria dalam tubuhnya. (Saputri, 2013).

2. Stadium akut

Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang

yang disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut

adenolimfangitis (ADL). Etiologi serangan akut masih diperdebatkan, apakah akibat

adanya infeksi sekunder, respon imun t erhadap antigen filarial, dan dilepaskannya

zat-zat dari cacing yang mati atau hidup. Terdapat dua mekanisme berbeda dalam

terjadinya serangan akut pada daerah endemik: (Hananni et all, 2013)


a) Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian

menyebar ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak

kutan atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan

adenitis regional. Terdapat pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat

berupa demam, menggigil dan edema pada tungkai yang terkena. Terdapat riwayat

trauma, gigitan serangga, luka mekanik sebagai porte d entre. DLAA adalah ADL

sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.3 DLA secara klinis

menyerupai selulitis atau erysipelas. (Hananni et all, 2013)

b) Limfangitis filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya

cacing dewasa akibat sistim imun penderita atau terapi. Kelainan ini ditandai dengan

adanya Nodus atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada

ekstremitas bawah atau atas, yang menyebar secara sentrifugal. Keadaan ini dapat terjadi

secara berulang pada lokasi yang sama. Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem

limfatik genitalia pria sehingga mengakibatkan terjadinya funikulitis, epididimitis atau

orkitis, sedangkan pada filariasis brugia, kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah

inguinal atau aksila yang nantinya berkembang menjadi abses yang pecah meninggalkan

jaringan parut. Keluhan biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada filariasis brugia,

sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena. Pada masa resolusi fase akut, kulit pada

ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut dapat

berulang 6-10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari.9 Serangan berulang

adenolimfangitis (ADL) merupakan faktor penting dalam perkembangan penyakit. Pani

dkk membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah serangan akut dan

beratnya limfedema. Makin lama gejala akut semakin ringan, yang akhirnya menuju pada
stadium kronik. DLAA lebih sering ditemukan dibandingkan LFA. (Hananni et all,

2013)

3. Stadium kronik

Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari tahun dan

hanya sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini. Hidrokel,

limfedema, elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi

utama dari filariasis kronik. Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya

cairan limfe dalam tunika vaginalis testis. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan

merupakan manifestasi kronis yang paling sering ditemukan pada infeksi filariasis. Pada

daerah endemik, 40-60% laki-laki dewasa memiliki hidrokel. Cairan yang terkumpul

biasanya bening. Uji transluminasi dapat membantu menegakkan diagnosis. Limfedema

pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada ekstremitas

bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan filariasis

brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah

siku.Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema. Stadium 1 menggambarkan

limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7 menggambarkan keadaan yang

paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya limfedema, resiko terkenanya

serangan akut dan dalam penatalaksanaan. Limfedema pada filariasis biasanya terjadi

setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit dapat terlihat sebagai kulit yang

menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau hipertrikosis, pigmentasi, ulkus kronik, nodus

dermal dan subepidermal. (Hananni et all, 2013)

Limfedema pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan atau

penebalan kulit skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d orange
yang nantinya berkembang menjadi lesi verukosa. Kiluria terjadi akibat bocornya atau

pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke

dalam saluran kemih. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti. Pasien dengan kiluria

mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih seperti susu (milky urine). Diagnosis

kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit pada urine. (Hananni et all, 2013)

Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar

dari saluran limfe yang pecah. Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik

unilateral ataupun bilateral. Hal ini harus dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan

limfedema pasca mastektom. (Hananni et all, 2013)

4.Occult filariasis

Occult filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala

klasik filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan

dalam organ dalam. Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita

terhadap antigen mikrofilaria. Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary

Eosinophilia (TPE). TPE sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah

di Cina dan Afrika TPE adalah suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru,

hipereosinofilia (>3000mm3), peningkatan antibodi antifilaria, peningkatan IgE

antifilaria dan respon terhadap terapi DEC. Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang

menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan wheezing),penurunan berat badan,

demam, limfadenopati lokal, hepatosplenomegali. Pada foto torak tampak peningkatan

corakan bronkovaskular terutama didasar paru, dan pemeriksaan fungsi paru tampak

defek obstruktif. Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka penyakit akan berkembang
menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis interstisial. (Hananni et all,

2013)

Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli

dengan penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih

cepat terjadi berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali. Llimfedema dapat

terjadi dalam waktu 6 bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu

1 tahun. Hal ini diakibatkan karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik

terhadap antigen filaria yang biasanya terlihat pada pajanan lama. Resiko terjadinya

manifestasi akut dan kronik pada seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat

kecil, hal tersebut menunjukkan diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk

yang terinfeksi. Riwayat sensitisasi prenatal dan toleransi imunologik terhadap antigen

filarial mempengaruhi respon patologi infeksi dan tendensi terjadinya manifestasi

subklinis pada masa kanak-kanak. (Nurzajili, 2013).

e. Riwayat Alamiah Penyakit

a. Masa Inkubasi dan klinis

Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk yang menjadi

vector. Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga

beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap

asimptomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya

mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan

malaise. Mulamula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan

pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis,
kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi

granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan

elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis

kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi

sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan

Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartners syndrome atau Tropical pulmonary

eosinophilia (11). Gejala yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi

adalah lymphadenitis dan lymphangitis yang berulangulang disertai demam (10).

Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada klasifikasi ureter

dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada infeksi B.malayi (Sudomo,

2008)

f. Diagnosis

1. Diagnosis Parasitologi

Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan

kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi

dan tes provokatif DEC(11). Diferensiasi spesies dan stadium filaria : menggunakan

pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibodi monoklonal. (Gandahusada,2004).

2. Radiodiagnosis Pemeriksaan dengan ultrasonografi ( USG )

pada skrotum dan kelenjar getah bening ingunial. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan

menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.

(Gandahusada,2004).
3. Diagnosis imunologi Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test ( ICT )

menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik. (Gandahusada,2004).


untuk diagnosis filariasis bancrofti. Umumnya diagnosis diarahkan pada

identifikasi mikrofilaria atau antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah, karena

sulitnya menemukan cacing dewasa. Beberapa diagnosis yang digunakan untuk

identifikasi filariasis bancrofti diantaranya adalah :


A. Pemeriksaan Makroskopis

yaitu dengan melihat dari gejala klinis yang disebabkan oleh cacing dewasa Wuchereria

bancrofi. Salah satu gejala klinisnya berupa elephantiasis yang dapat mengenai seluruh

lengan, pangkal paha sampai mata kaki serta dapat menyerang system kelamin, payudara

dan vulva. (Gandahusada,2004).

B. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan tujuan untuk menemukan mikrofilaria,

cacing dewasa ataupun untuk mendeteksi adanya antigen dan/atau antibodi pada kasus

occult filariasis. Beberapa pemeriksaan mikroskopis yang digunakan untuk identifikasi

filariasis bancrofti yaitu

Pemeriksaan mikrofilaria dalam darah

Pemeriksaan sediaan darah adalah pemeriksaan yang paling sering digunakan dalam

mendiagnosa infeksi filariasis bancrofti. Pemeriksaan sediaan darah ini dilakukan untuk

menemukan mikrofilaria dalam darah. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan,

yaitu hanya dapat dilakukan pada malam hari (22.00 02.00), yang disebabkan

mikrofilaria bancrofti memiliki periodisitas nokturna. Terdapat beberapa metode sediaan

darah yang digunakan, diantaranya adalah :


a. Sediaan Hapus Darah Tebal

Yaitu darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek, kemudian darah

disebarkan hingga menjadi sediaan darah berdiameter 2x3 cm serta biarkan kering

diudara. Lalu darah dihemolisis dan dibiarkan mengering . Setelah kering darah di fiksasi

dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan

pembesaran 40x. Keuntungan pada pemeriksaan sediaan hapusan tebal, kita dapat

mengetahui morfologi, serta spesies mikrofilaria. (Gandahusada,2004).

b. Sediaan Hapus Segar

Yaitu darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek, lalu ditambahkan 1 tetes

NaCl dan dihomogenkan. Sediaan kemudian ditutup dengan deckglass dan diperiksa

dibawah mikroskop dengan lensa objektif 10 kali dan 40 kali untuk mengetahui

spesiesnya. Adanya mikrofilaria ditandai dengan pergerakan cepat diantara sel darah

merah. Keuntungan dari hapusan segar ini dapat diketahui spesies dan patogenitasnya.

Patogenitasnya dapat diketahui dengan = tebal : 6-8 m (kira-kira sama dengan diameter

sel darah merah ) dan panjangnya : 250-300 m (setengah lapang pandang)

(Gandahusada,2004).

c. Filtrasi membrane

Yaitu 1 mL darah difilter dengan menggunakan membran yang mempunyai pori dengan

ukuran 5 m. Filter diletakkan diatas kaca obyek kemudian difiksasi dengan methanol

selama 1 menit lalu diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 15 menit. Pemeriksaan

dilakukan dibawah mikroskop 100x dan dihitung jumlah mikrofilarianya.

(Gandahusada,2004).
d. Tabung Kapiler

Yaitu tabung kapiler diisi dengan darah sitrat sebanyak tabung, lalu salah satu ujung

tabung kapiler ditutup. Tabung dipusingkan dengan sentrifus mikrohematokrit selama 2

menit. Tabung kapiler dilekatkan diatas kaca obyek dengan menggunakan selotip,

kemudian diperiksa dibawah mikroskop pada garis pemisah antara sel darah merah dan

plasma menggunakan lensa objektif 10x. Mikrofilaria yang bergerak akan nampak di

dasar kolom plasma, tepat dibawah lapisan sel darah putih. (Gandahusada,2004).

e. Darah Vena

Yaitu darah sitrat sebanyak 4 mL dicampurkan ke dalam 10 mL larutan Formaldehida

2% lalu dihomogenkan. Darah disentrifus selama 5 menit lalu supernatannya dibuang. 1

tetes endapan ditempatkan pada kaca obyek dan disebarkan hingga menjadi hapusan tipis

lalu biarkan hingga kering. Fiksasi dengan etanol dan diwarnai dengan pewarnaan

Giemsa lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x. (Gandahusada,2004).

Pemeriksaan Penunjang pada Filariasis

a. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria didalam darah, cairan hidrokel

ataucairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, tehnik konsentrasi

Knott,membrane filtrasi dan tes profokatif dan DEC 100. Pengambilan darah

dilakukanmalam hari mengingat periodisitas mikrofilarianya umumnya nokturna.

Padapemeriksaan histopatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat

dijumpai disaluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai

tumor(Gandahusada,2004).Diferensiasi spesies dan stadium filaria yaitu dengan


menggunakan pelacak DNAdan spesies spesifik dan antibodi monoclonal untuk

mengidentifikasi larva filarialdalam cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vector

sehingga dapat membedakanantara larva filarial yang menginfeksi manusia dengan

yang menginfeksi hewanpenggunaannya masih terbatas pada penelitian dan survey

(Gandahusada,2004).
b. RadiodiagnosisPemeriksaan dengan USG pada skrotum dan kelenjar getah bening

inguinalpasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna

untuk evaluasi hasil pengobatan . Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan

dextran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan abnormalitas

padasistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimtomatik

mikrofilaremia(Gandahusada,2004).
c. Diangnosis immunologi
Dengan teknik ELISA dan ICT kedua teknik ini pada dasarnya menggunakanantibodi

monoclonal yang spesifik untuk mendeteksi antigen W.brankrofti dalam sirkulasi.

Hasil yang positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun microfilariatidak

ditemukan dalam darah. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan

lagi dalam darah, tapi ada di cairan hidrokel atau cairan kiloria. Deteksiantigen

merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut

(Gandahusada,2004)

g. Penanganan dan Pengobatan Penyakit Kaki Gajah

Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah

membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat

penularan dapat ditekan dan dikurangi. (Hasan, 2013).


Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat filariasis yang

ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan

mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita

yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik

dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik. (Hasan,

2013).

Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral

sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3

jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak

berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau

dalam keadaan lemah. (Hasan, 2013).

Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak

terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah lanjutan

seperti tindakan operasi. (Hasan, 2013).

H. Pencegahan Penyakit filariasis

Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi

kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi

dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti

nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian

berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC

dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan

memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M. Filariasis hanya dapat tersebar melalui

vektor yang terinfeksi larva infektif. Pencegahan untuk mengurangi kontak antara

manusia dan vektor serta menurunkan jumlah infeksi dengan mengadakan pencegahan

pada hospes (manusia). (Hasan, 2013).

Daftar Pustaka

Ardias, Onny Setiani, Yusniar Hanani D, 2013, Environmental and Community Behavior
Factor Associated With The Incidence of Filariasis, [Undip E-Journal system Portal], diakses
pada tanggal 20 Mei 2013 from ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/.../4563

Chandra B, 2009, ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas, cetakan I, penerbit buku
kedokteran EGC Jakarta.

Dapertemen kesehatan republic Indonesia, 2005-2009 diakses pada tanggal : 20 Mei 2015
from:www.depkes.go.id/download.php?file...filariasis.pdf

Gandahusada, Srisasi, 2004, Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI

Hasan, 2013, aspek epidemiologi dalam penanggulangan Filariasis [jurnal universitas Sumatra
utara] diakses pada tanggal 20 mei 2015 from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../3/Chapter
%20II.pdf

Mardiana, 2011, factor- factor yang mempengaruhi kejadian filariasis di


Indonesia. Di akses pada tanggal 20 mei 2015 from :
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/view/169
Nasrin, 2008 faktor-faktor lingkungan dan prilaku yang berhibungan dengan kejadian filariasis,
[jurnal universitas dipenegoro semarang] diakses pada tanggal 20 mei 2015 from :
core.ac.uk/download/pdf/11718002.pdf

Nurzajuli, 2013, The Association between Environmental House Condistion, Socio-economic,


and Behaviour Factors with filasiasis [jurnal kesehatan lingkungan indonesia, Jurnal Undip]
diakses pada tanggal 20 mei 2013 from
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/5960.

Saputri, 2013 , Filariasis Limfatik, [jurnal Fakultas kedokteran Unsyiah]


diakses pada tanggal : 20 mei 2015 from
http://jks.unsyiah.ac.id/index.php/JKU/article/view/31

Sudomo et all ,2008, penyakit filariasis limfatik, [Jurnal universitas sumatra utara] diakses pada
tanggal 20 Mei 2015 from http : repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf

Widoyono, 2008, Penyakit tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya, Penerbir Erlangga, Jakarta .

Anda mungkin juga menyukai