a. filariasis
Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai
jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit ini telah menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di
80 negara, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit filariasis
bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembengkakan kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin baik pada
wanita maupun pria. Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian, tetapi merupakan
Filaria limfatik yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia
tergantung dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas di berbagai negara tropis
dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan Asia (Jepang,
Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik Barat (Sudomo,
2008)
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan,
dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik
perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan,
namun demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan
bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Penyakit Kaki Gajah umumnya banyak
terdapat pada wilayah tropis. Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat
penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh),
Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailan dan
sampai dengan tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ada 8.243 dan
meningkat menjadi 11.699 pada tahun 2008. Ada tiga propinsi di Indonesia dengan kasus
terbanyak berturut-turut, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, dan
Selain itu, kasus filariasis menyebabkan kerugian ekonomi yang utama bagi
penderita dan keluarganya. Kerugian yang disebabkan filariasis baik dalam keadaan akut
maupun kronis antara lain adalah hilangnya jam kerja penderita yang berakibat pada
penurunan pendapatan keluarga maupun kecacatan yang akan membebani keluarga yang
dkk, kerugian ekonomi akibat filariasis, baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-
pertahun atau setara dengan 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari
biaya makan. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan kerugian sebesar Rp. 4,6 triliun per
seseorang untuk mengalami kontak (pemaparan) dengan vektor filariasis. Namun hal ini
1) Umur
Umur sangat berhubungan dengan tingkat keterpaparan, risiko dan sifat resistensi
terhadap suatu penyakit. Semakin tua umur seseorang maka semakin banyak
keterpaparan yang ditemui dan semakin besar risiko terkena suatu penyakit. Selain
itu semakin tua seseorang, maka resistensi terhadap suatu penyakit semakin
menurun.
2) Jenis kelamin
Tingginya kejadian filariasis pada laki-laki berkaitan dengan kebiasaan atau
pekerjaan rutin yang dilakukan, oleh karena laki-laki merupakan tulang punggung
keterpaparan yang tinggi dan kontak yang sering dengan vektor penular filariasis
dibandingkan wanita.
3) Pekerjaan
Peluang tingginya seseorang terinfeksi filariasis yaitu seseorang yang bekerja
nyamuk, seperti petani, pemburu, pencari rotan dan hasil hutan lainnya.
4) Pengetahuan
Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai filariasis, tentu akan
lebih waspada terhadap risiko terkena filariasis pada saat melakukan kegiatan atau
aktivitas malam diluar maupun di dalam rumah terhadap gigitan nyamuk vektor
filariasis.
Pengaruh faktor lingkungan baik fisik, biologi dan sosial sangat berperan
terhadap distribusi dan frekuensi penyakit filariasis. Adanya iklim dan kondisi
geografis yang baik dapat membentuk habitat yang ideal, terlebih lagi potensi daerah
tempat-tempat perindukan vektor sebagai sumber penular. Selain itu juga disebabkan
kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu sehingga tidak mampu untuk
5) Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat seperti sering keluar rumah pada malam hari tanpa
terutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang menggunakan bekas jejak kaki
ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia Malayi yang hidup pada manusia dan
dan Mn.dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan
Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai
maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya ditemukan di daerah NTT dan
mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya
mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi
hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat hidup pada kucing,
rendah yang berawa dengan di sana-sini dikelilingi oleh daerah yang bersemak
belukar dan berhutan. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun
1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas
endemis penyakit kaki gajah, antara lain Sumatera, sebagian wilayah Jawa dan Bali.
(Hasan, 2015).
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang
tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III
(L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap
microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu
perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam
tubuh manusia (hospes) dan reservoair. Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ;
Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul
lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka)
didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ;
radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses
akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan
mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar
yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang
kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh
cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. bermula dari inflamasi saluran
limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (makrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri
ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi
limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan
plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di
Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta
makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. infiltrasi inilah yang
dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi. edema
pada filariasis ialah cacing dewasa (Makrofilaria) yang merusak pembuluh limfe serta
mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di
sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan
proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup,
pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang
memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi
limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti
pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.
(Mardiana, 2011).
bancrofti, brugua malayi, brugia timori, dan onchocerca volvulus. W. bancrofti dan
B.timori siklus hidup W. banchrofti dan B. malayi dimulai pada saat filarial betina dewasa
dalam pembuluh limfe manusia, memproduksi sekitar 50.000 mikrofilia perhari kedalam
darah. Nyamuk kemudian menghisap mikrofilia pada saat menggigit manusia, selanjutnya
larva tersebut akan berkembang dalam tubuh nyamuk dan ketika nyamuk menggigit
manusia, larva infektif akan masuk kedalam tubuh manusia. Larva akan bermigrasi ke
saluran limfe dan berkembang menjadi bentuk dewasa. Mikrofilia dapat ditemukan dalam
darah setelah 6 bulan tahun setelah terinfeksi dan bias bertahan 5-10 tahun. Vector utama
Siklus hidup W. banccrofti, Filaria yang hidup di daerah tropis dan subtropis
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan
tidak menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai
umur dan biasanya mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak
terjadi pada pria dibandingkan wanita. Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun
secara klinis asimptomatik tetapi semua individu yang terinfeksi W. bancrofti dan
B.malayi mempunyai gejala subklinis. Hal tersebut terlihat pada 40% individu
tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG juga terlihat adanya limfangiektasia.
Keadaan ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan
Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif
(L3) yang tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi
2. Stadium akut
Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang
yang disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut
adanya infeksi sekunder, respon imun t erhadap antigen filarial, dan dilepaskannya
zat-zat dari cacing yang mati atau hidup. Terdapat dua mekanisme berbeda dalam
menyebar ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya plak
kutan atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikular dan
adenitis regional. Terdapat pula gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat
berupa demam, menggigil dan edema pada tungkai yang terkena. Terdapat riwayat
trauma, gigitan serangga, luka mekanik sebagai porte d entre. DLAA adalah ADL
sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.3 DLA secara klinis
cacing dewasa akibat sistim imun penderita atau terapi. Kelainan ini ditandai dengan
adanya Nodus atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada
ekstremitas bawah atau atas, yang menyebar secara sentrifugal. Keadaan ini dapat terjadi
secara berulang pada lokasi yang sama. Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem
orkitis, sedangkan pada filariasis brugia, kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah
inguinal atau aksila yang nantinya berkembang menjadi abses yang pecah meninggalkan
jaringan parut. Keluhan biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada filariasis brugia,
sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena. Pada masa resolusi fase akut, kulit pada
ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut dapat
berulang 6-10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari.9 Serangan berulang
dkk membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara jumlah serangan akut dan
beratnya limfedema. Makin lama gejala akut semakin ringan, yang akhirnya menuju pada
stadium kronik. DLAA lebih sering ditemukan dibandingkan LFA. (Hananni et all,
2013)
3. Stadium kronik
Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari tahun dan
hanya sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini. Hidrokel,
limfedema, elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi
utama dari filariasis kronik. Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya
cairan limfe dalam tunika vaginalis testis. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan
merupakan manifestasi kronis yang paling sering ditemukan pada infeksi filariasis. Pada
daerah endemik, 40-60% laki-laki dewasa memiliki hidrokel. Cairan yang terkumpul
pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada ekstremitas
bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan filariasis
brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah
limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7 menggambarkan keadaan yang
paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya limfedema, resiko terkenanya
serangan akut dan dalam penatalaksanaan. Limfedema pada filariasis biasanya terjadi
setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit dapat terlihat sebagai kulit yang
penebalan kulit skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d orange
yang nantinya berkembang menjadi lesi verukosa. Kiluria terjadi akibat bocornya atau
pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke
dalam saluran kemih. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti. Pasien dengan kiluria
mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih seperti susu (milky urine). Diagnosis
kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit pada urine. (Hananni et all, 2013)
Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar
dari saluran limfe yang pecah. Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik
unilateral ataupun bilateral. Hal ini harus dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan
4.Occult filariasis
klasik filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan
dalam organ dalam. Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita
terhadap antigen mikrofilaria. Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary
Eosinophilia (TPE). TPE sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah
di Cina dan Afrika TPE adalah suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru,
antifilaria dan respon terhadap terapi DEC. Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang
menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan wheezing),penurunan berat badan,
corakan bronkovaskular terutama didasar paru, dan pemeriksaan fungsi paru tampak
defek obstruktif. Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka penyakit akan berkembang
menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis interstisial. (Hananni et all,
2013)
Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli
dengan penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih
terjadi dalam waktu 6 bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu
1 tahun. Hal ini diakibatkan karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik
terhadap antigen filaria yang biasanya terlihat pada pajanan lama. Resiko terjadinya
manifestasi akut dan kronik pada seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat
yang terinfeksi. Riwayat sensitisasi prenatal dan toleransi imunologik terhadap antigen
Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk yang menjadi
vector. Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga
beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap
mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan
malaise. Mulamula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan
pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis,
kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi
granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan
kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi
sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan
eosinophilia (11). Gejala yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi
Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada klasifikasi ureter
dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada infeksi B.malayi (Sudomo,
2008)
f. Diagnosis
1. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan
kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi
dan tes provokatif DEC(11). Diferensiasi spesies dan stadium filaria : menggunakan
pada skrotum dan kelenjar getah bening ingunial. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan
menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.
(Gandahusada,2004).
3. Diagnosis imunologi Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test ( ICT )
identifikasi mikrofilaria atau antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah, karena
yaitu dengan melihat dari gejala klinis yang disebabkan oleh cacing dewasa Wuchereria
bancrofi. Salah satu gejala klinisnya berupa elephantiasis yang dapat mengenai seluruh
lengan, pangkal paha sampai mata kaki serta dapat menyerang system kelamin, payudara
B. Pemeriksaan mikroskopis
cacing dewasa ataupun untuk mendeteksi adanya antigen dan/atau antibodi pada kasus
Pemeriksaan sediaan darah adalah pemeriksaan yang paling sering digunakan dalam
mendiagnosa infeksi filariasis bancrofti. Pemeriksaan sediaan darah ini dilakukan untuk
yaitu hanya dapat dilakukan pada malam hari (22.00 02.00), yang disebabkan
Yaitu darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek, kemudian darah
disebarkan hingga menjadi sediaan darah berdiameter 2x3 cm serta biarkan kering
diudara. Lalu darah dihemolisis dan dibiarkan mengering . Setelah kering darah di fiksasi
dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran 40x. Keuntungan pada pemeriksaan sediaan hapusan tebal, kita dapat
Yaitu darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek, lalu ditambahkan 1 tetes
NaCl dan dihomogenkan. Sediaan kemudian ditutup dengan deckglass dan diperiksa
dibawah mikroskop dengan lensa objektif 10 kali dan 40 kali untuk mengetahui
spesiesnya. Adanya mikrofilaria ditandai dengan pergerakan cepat diantara sel darah
merah. Keuntungan dari hapusan segar ini dapat diketahui spesies dan patogenitasnya.
Patogenitasnya dapat diketahui dengan = tebal : 6-8 m (kira-kira sama dengan diameter
(Gandahusada,2004).
c. Filtrasi membrane
Yaitu 1 mL darah difilter dengan menggunakan membran yang mempunyai pori dengan
ukuran 5 m. Filter diletakkan diatas kaca obyek kemudian difiksasi dengan methanol
selama 1 menit lalu diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 15 menit. Pemeriksaan
(Gandahusada,2004).
d. Tabung Kapiler
Yaitu tabung kapiler diisi dengan darah sitrat sebanyak tabung, lalu salah satu ujung
menit. Tabung kapiler dilekatkan diatas kaca obyek dengan menggunakan selotip,
kemudian diperiksa dibawah mikroskop pada garis pemisah antara sel darah merah dan
plasma menggunakan lensa objektif 10x. Mikrofilaria yang bergerak akan nampak di
dasar kolom plasma, tepat dibawah lapisan sel darah putih. (Gandahusada,2004).
e. Darah Vena
tetes endapan ditempatkan pada kaca obyek dan disebarkan hingga menjadi hapusan tipis
lalu biarkan hingga kering. Fiksasi dengan etanol dan diwarnai dengan pewarnaan
a. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria didalam darah, cairan hidrokel
Knott,membrane filtrasi dan tes profokatif dan DEC 100. Pengambilan darah
dijumpai disaluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai
mengidentifikasi larva filarialdalam cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vector
(Gandahusada,2004).
b. RadiodiagnosisPemeriksaan dengan USG pada skrotum dan kelenjar getah bening
dextran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan abnormalitas
mikrofilaremia(Gandahusada,2004).
c. Diangnosis immunologi
Dengan teknik ELISA dan ICT kedua teknik ini pada dasarnya menggunakanantibodi
ditemukan dalam darah. Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan
lagi dalam darah, tapi ada di cairan hidrokel atau cairan kiloria. Deteksiantigen
(Gandahusada,2004)
Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah
membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat
ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita
yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik
dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik. (Hasan,
2013).
sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3
jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak
berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau
Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak
kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi
dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti
nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian
berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC
dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan
memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M. Filariasis hanya dapat tersebar melalui
vektor yang terinfeksi larva infektif. Pencegahan untuk mengurangi kontak antara
manusia dan vektor serta menurunkan jumlah infeksi dengan mengadakan pencegahan
Daftar Pustaka
Ardias, Onny Setiani, Yusniar Hanani D, 2013, Environmental and Community Behavior
Factor Associated With The Incidence of Filariasis, [Undip E-Journal system Portal], diakses
pada tanggal 20 Mei 2013 from ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/.../4563
Chandra B, 2009, ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas, cetakan I, penerbit buku
kedokteran EGC Jakarta.
Dapertemen kesehatan republic Indonesia, 2005-2009 diakses pada tanggal : 20 Mei 2015
from:www.depkes.go.id/download.php?file...filariasis.pdf
Hasan, 2013, aspek epidemiologi dalam penanggulangan Filariasis [jurnal universitas Sumatra
utara] diakses pada tanggal 20 mei 2015 from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../3/Chapter
%20II.pdf
Sudomo et all ,2008, penyakit filariasis limfatik, [Jurnal universitas sumatra utara] diakses pada
tanggal 20 Mei 2015 from http : repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf