Anda di halaman 1dari 12

Arsitektur Pesisir

Penelusuran Proses Perwujudan


Akulturasi
Dalam Arsitektur Permukiman
Masyarakat [Etnik Cina]
di Kawasan Pesisir Utara Jawa
Semester Ganjil, Tahun Akademik 2016/2017

oleh :

Dr. Bachtiar Fauzy, Ir., MT.

Program Studi Arsitektur


Fakultas Teknik
Universitas Katolik Parahyangan

Bandung, 24 Agustus 2016


File/bf/akulturasi/ars/08/16

Abstrak

Perkembangan arsitektur khususnya di kawasan Pesisir Pantai Utara Jawa,


terbentang dari kota Cirebon sampai Surabaya merupakan wujud
arsitektur yang terbentuk dari sebuah proses akulturasi dalam bentuk
perpaduan berbagai macam ragam budaya yang berlangsung berabad
abad. Melihat keberadaan geografis, daerah pesisir merupakan tempat
dimana pengaruh berbagai macam ragam budaya tersebut sangat mudah
masuk, seperti halnya pengaruh politik, ekonomi [ perdagangan ] dan
sosial. Pengaruh unsur kebudayaan yang tumbuh merupakan wujud
peninggalan artefak yang diantaranya berupa karya arsitektural seperti :
bangunan permukiman arab, cina [ pecinan ] dan melayu. Unsur
campuran yang terjadi dalam perkembangan arsitektur di beberapa kota
di Jawa banyak sekali dipengaruhi oleh berbagai ragam budaya seperti :
kolonial, hindu, cina, islam dan lain sebagainya.

Dengan adanya pengaruh keragaman budaya luar yang sangat kuat maka
proses mewujudkan bentukan arsitektur melalui proses akulturasi dapat
terbentuk dan menjadi sebuah budaya baru berlandaskan pada tataran
kearifan budaya lokal yang bisa menerima proses pembauran tersebut.
Proses percampuran budaya dengan meminjam gagasan-gagasan dan
materi-materi dari budaya lain terjadi karena adanya perbedaan yang
mencolok antara masyarakat yang lebih kecil [ minoritas ] dengan
masyarakat yang lebih besar [ mayoritas ].

Obyek arsitektural yang akan ditinjau dalam konteks akulturasi adalah


bangunan permukiman yang berada di kawasan pantai utara Jawa, dengan
mencoba menelusuri sebuah proses perpaduan, percampuran dan
perwujudan melalui berbagai macam ragam budaya yang memiliki
keunikan tersendiri. Obyek bangunan tersebut memiliki karakteristik,
baik dalam konteks lingkungan maupun perkotaan melalui penelusuran
sebuah identitas wujud akulturasi yang dapat dipahami melalui wujud,
ornamen dan elemen arsitekturnya.

Melihat fenomena perkembangan budaya dan arsitektur di kawasan


Permukiman Pesisir Pantai Utara Jawa terbentang dari kota Cirebon sampai
Surabaya. Kota tersebut merupakan tempat dimana banyak sekali daerah
permukiman yang dipengaruhi oleh berbagai macam ragam budaya,
sehingga pantas untuk dikaji dalam telaah akulturasi yang merupakan
representasi dari perpaduan 2 [ dua ] atau lebih budaya. Obyek yang
akan ditinjau dalam studi kasus ini adalah kampung Kranggan dan
kampung Jenu yang lokasinya terletak di kabupaten Lasem di Jawa Tengah
dan Tuban di Jawa Timur. Ada beberapa unsur yang akan ditinjau, seperti
: budaya, konsep ruang, unsur-unsur, struktur, morfologi, makna dan
hubungan-hubungan.

Telaah Teoritik
I. Wujud dan Tahapan Kebudayaan

Kebudayaan merupakan wujud dari proses kehidupan manusia, yang


representasikan dalam wujud Dalam konteks kebudayaan, ada beberapa
pandangan tentang wujud dan tahapan, sebagai berikut :

Menurut Van Puersen, membagi tahapan kebudayaan dalam 3 [ tiga ]


tahapan, yaitu :

1. Tahap mitis, sikap manusia yang merasakan dirinya dikepung oleh


kekuatan kekuatan gaib. Kekuasaan dewa dewa, kekuasaan
kesuburan yang seolah olah tidak bias lepas dari diri mereka. Untuk
itu manusia mencari hubungan yang tepat dengan daya kekuatan
tersebut melalui serangkaian upacara.

File/bf/akulturasi/ars/08/16
2. Tahap ontologi, ditandai dengan sikap manusia yang melepaskan diri
dari kepungan kekuatan alam, manusia mulai mengambil jarak dengan
alam. Proses pencarian dasar dan hakikat sesuatu dilakukan. Pada
tahapan ini mulai dikenal logika dan mulai dicari pengertian tentang
daya menggerakkan alam.
3. Tahap fungsional, manusia tidak lagi sekedar mengambil jarak, tetapi
mulai mengadakan hubungan baru terhadap sesuatu di lingkungan
hidupnya serta mendekati tema tema tradisional dengan cara baru.

Tahapan tahapan ini tidak menggambarkan adanya keunggulan di antara


masing masing tahapan tetapi merupakan penggambaran ide yang
berubah dalam suatu masyarakat. Koentjaraningrat menyatakan bahwa
budaya merupakan suatu system yang tersusun dari unsur unsur yang
universal dan terdiri dari :

1. Sistem religi dan upacara keagamaan


2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Sistem bahasa
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem kesenian
7. Sistem teknologi dan peralatan

Ditinjau dari system yang dianut dalam komunitas masyarakat, system


tersebut diatas menunjukkan tingkatan, dalam arti system yang paling
sulit berubah adalah system religi dan upacara keagamaan, sedangkan
system teknologi dan peralatan merupan unsure yang paling mudah
berubah. Dari kajian mengenai sistem yang dianut oleh komunitas
masyarakat, maka ada pandangan yang lain yang melihat bagaimana
wujud kebudayaan itu, menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan
dibedakan menjadi 3 [tiga] hal :
a. Gagasan [wujud ideal]

Gagasan [wujud ideal] adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide


ide, gagasan, nilai nilai, norma norma, peraturan dan sebagainya
yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.

b. Aktifitas [wujud tindakan]

Aktivitas [wujud tindakan] adalah wujud kebudayaan sebagai suatu


tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering
pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas
aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkrit, terjadi dalam kehidupan
sehari hari dan dapat diamati dan didokumentasikan.

c. Artefak [ wujud karya]

Artefak [wujud karya] adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil
dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat
berupa benda benda atau hal hal yang dapat diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkrit diantara ketiga wujud
kebudayaan.

Wujud tersebut diatas merupakan representasi dari kebudayaan yang


ditinjau dari sistem dan pranata yang berlaku dalam komunitas
masyarakat.

File/bf/akulturasi/ars/08/16
Kebudayaan Material

Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang


nyata, konkrit. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan
temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi. Kebudayaan
material juga mencakup barang barang, seperti barang elektronik,
kendaraan modern dan obyek arsitektur.
Kebudayaan Non Material

Kebudayaan non material adalah ciptaan ciptaan abstrak yang


diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat dan lagu atau tarian tradisional.

Dari pengertian budaya material dan non material dapat disimpulkan


bahwa keduanya akan banyak sekali mempengaruhi perwujudan arsitektur
sebagai hasil karya budidaya manusia yang diciptakan.

Proses Akulturasi
Akulturasi atau acculturation atau cultural contact adalah suatu proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Unsur-unsur
itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks
yang tidak mudah untuk dipisahkan [Koentjaraningrat, 1981:262].

Atau dengan kata lain pengertian akulturasi budaya merupakan suatu


proses budaya meminjam gagasan-gagasan dan materi-materi dari
budaya lain [Azimipour & Jones, 2003]. Akulturasi tersebut terjadi karena
adanya perbedaan-perbedaan yang mencolok, masyarakat yang lebih
kecil akan mengalami perubahan, kehilangan identitas mereka, sehingga
mereka mengambil banyak karakteristik-karakteristik dari masyarakat
yang lebih besar. Salah satu akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia,
terutama di sepanjang Pantai Utara Jawa seiring dengan masuknya
budaya-budaya kolonial Belanda pada saat masa penjajahan. Ini
ditunjukkan dengan adanya bangunan-bangunan sisa peninggalan masa
penjajahan tersebut. Akulturasi berbagai budaya yang berbeda pada
suatu tempat cenderung akan melahirkan budaya yang baru. Faktor-
faktor yang mempengaruhi akulturasi antara lain : perpindahan penduduk.
perdagangan. perubahan kondisi politik sosial ekonomi, penyebaran
agama dan kemajuan teknologi.

Dalam proses terbentuknya akulturasi ada 4 [ empat ] Model Akulturasi,


yakni :

a. Perpaduan [Integrated]

Merupakan suatu model akulturasi antara 2 [dua] budaya atau lebih yang
membentuk suatu budaya baru. Sebagai contoh munculnya suatu
kebudayaan baru dalam masyarakat Jawa yakni : Kejawen, merupakan
hasil perpaduan antara kepercayaan animism, dinamisme, agama Hindu
Budha dan agama lainnya.

b. Penyesuaian [Assimilated]

Merupakan suatu model akulturasi antara 2 [dua] budaya atau lebih yang
menghadirkan penyesuaian penyesuaian baru karena adanya faktor
kebutuhan. Dalam wujud Arsitektural, penyesuaian ini dapat berupa
penyesuaian dalam segi bentuk atau fungsinya. Seperti halnya dalam
penyebaran agama islam yang penuh dengan penyesuaian dengan
kebudayaan daerah setempat,

File/bf/akulturasi/ars/08/16
c. Peminggiran [Marginalized]
Merupakan suatu model akulturasi antara 2 [dua] budaya atau lebih,
dimana factor terbesar dari budaya tersebut akan menggeser budaya kecil
[minoritas] yang ada di sekitarnya. Kebudayaan kecil tersebut tidak lagi
berkembang dan tidak bisa membaur dengan kebudayaan yang dominan
[mayoritas] sehingga terjadilah peminggiran atau pengasingan.

d. Pemilahan [Separated]

Merupakan suatu model akulturasi antara 2 [dua] budaya atau lebih yang
menekankan suatu unsur efektivitas dalam proses pembentukannya.
Pemilahan ini hanya berupa pengambilan unsur unsur tertentu saja pada
suatu budaya. Contoh yang paling konkrit tampak pada penggunaan
ornamen pada suatu bangunan. Biasanya memperlihatkan adanya
perpaduan kebudayaan melalui unsur unsur ornamen tertentu.

Gambar 1. Model akulturasi yang diangkat dari budaya akar dan budaya
asal

II. Unsur Pembentuk Pecinan

Dalam penelusuran bentukan arsitektur ada beberapa unsur pembentuk


kawasan pecinan yang memiliki karakteristik tersendiri, bentukan tersebut
terdiri dari :

1. Klenteng
Klenteng atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut
kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia.

2. Rumah Kapitein
Rumah kapitein pada umumnya berupa rumah cina yang sudah
mengalami transformasi dan mendapat pengaruh gaya colonial [pangkat
kapitein hanya diberikan oleh kompeni bagi keluarga terkaya di suatu
daerah tertentu dengan kewenangan mengatur administrative daerah
tersebut].

3. Rumah Deret
Rumah Deret menjadi cirri khas utama sebuah pecinan. Rumah deret bias
berupa rumah tinggal, rumah toko [shop houses] maupun rumah dengan
courtyard [siyehuan].
4. Pasar
Pasar terletak di sebuah gang atau lorong di tengah-tengah wilayah
pecinan.

File/bf/akulturasi/ars/08/16
5. Pekuburan
Bagi masyarakat cina, perkuburan memperlihatkan berbagai macam
arsitektur yang monumental jika dibandingkan dengan rumah tinggal.
Penempatan perkuburan biasanya terletak di lokasi berbukit yang memiliki
pemandangan indah, sehingga dapat mendatangkan keberuntungan dan
kemakmuran.

Bentukan yang terjadi dalam Arsitektur permukiman masyarakat cina


merupakan wujud dari proses akulturasi yang terbentuk selama bertahun
tahun, sehingga dapat mewujudkan karakteristik tersendiri dalam bentuk
sebuah identitas.

Gb. 2. Rumah Pecinan di Tuban


[Rumah Benteng]

Penelusuran Proses Perwujudan Akulturasi

III. Kebudayaan di Kota Pesisir Pantai Utara Jawa

Dari sejarah perkembangan kehidupan bermukim manusia dan bertempat


tinggal, terlihat bahwa manusia selalu mencari kemudahankemudahan
dalam rangka kelangsungan hidup mereka pada tiap-tiap tahapan
kehidupan bermukim dan bertempat tinggal tersebut. Kebudayaan
tersebut terakomodasi dalam aturan-aturan, hokum-hukum dan norma-
norma serta produk kebudayaan lainnya agar memudahkan dalam
keberlangsungan hidupnya. Secara sosiokultural masyarakat yang berada
di daerah pesisir berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman,
Lombard [1996] menyatakan bahwa berbeda dengan masyarakat
perkotaan di pelabuhan-pelabuhan pesisir, yang ditandai dengan
kebebasan tertentu dan mendukung terbentuknya konsep pribadi.
Masyarakat pesisir mayoritas terdiri dari masyarakat muslim dengan mata
pencaharian pokok berdagang. Koentjaraningrat [1984] menggolongkan
kedalam kelompok kebudayaan Pesisir, yang terdiri dari Pesisir Wetan dan
Pesisir Kulon. Kebudayaan Islam berpengaruh pula pada masyarakat
Pesisir ini. Masyarakat pesisir memiliki bentukan kebudayaan khas dan
kompleks dikarenakan proses silang budaya yang telah dilalui dan diuji
bersama perjalanan sejarah selama berabad-abad. Setiap masyarakat
Muslim ketika mendirikan suatu permukiman di suatu kota pantai yang
diikuti dengan pendirian masjid, maka masjid tersebut akan menjadi pusat
keagamaan dan kemasyarakatan dan selanjutnya akan menjadi pusat
kegiatan perkotaan [Johannes Widodo, 1996].

IV. Peran Masyarakat Cina

Johannes Widodo [1996] menyebutkan pula bahwa peran masyarakat Cina


dalam membentuk budaya urban di kota-kota pantai Indonesia.
Masyarakat Cina ini kebanyakan Muslim, membawa kebudayaan asal yang
pada gilirannya akan turut pula mempengaruhi wajah kota-kota nusantara
khususnya Jawa. Arsitektur yang dibawa masyarakat Cina terutama
dalam bentuk tempat tinggal dan tempat usaha yang menyatu.

File/bf/akulturasi/ars/08/16
Bangunan-bangunan dua lantai baik itu bangunan batu ataupun kayu
merupakan salah satu pengaruh yang dibawa dari daratan Cina. Sebagai
masyarakat yang sangat memuja leluhur maka bangunan-bangunan
peribadatan untuk pemujaan juga akan dibangun [Soni Pratomo, 2001].

Masyarakat Cina ketika datang dan tiba dari perantauannya akan


membangun suatu kelenteng untuk memuja penjaga keselamatan mereka
selama melakukan perjalanan di laut. Kelenteng ini diidentifikasikan oleh
Johannes Widodo [1996] sebagai kelenteng pertama yang didirikan oleh
perantauan Cina sehingga dari titik ini akan dapat diketahui kedatangan
masyarakat Cina di tempat tersebut. Dalam perkembangan sejarah,
kebudayaan yang mempengaruhi arsitektur di kota-kota pesisir pantai
utara Jawa dipengaruhi oleh beberapa bentukan, baik dari dalam maupun
dari luar, seperti : Jawa Islam, Cina, Hindu, Kolonial dan lain sebagainya.

Arsitektur dan Kearifan Lokal

V. Arsitektur Lokal

Arsitektur adalah sebuah hasil karya seni dan ekspresi manusia yang
dapat mewadahi seluruh kegiatan manusia. Substansi yang terkandung
dalam bentukan tersebut tidak hanya dibatasi pada lingkup fungsi saja,
melainkan dapat memberikan ekspresi serta dalam perwujudan fisiknya
memiliki karaktenstik dan nilai simbolik. Pernyataan ini dapat
memberikan sumbangan pandangan bahwa tujuan arsitektur adalah
merupakan karya arsitektur yang dapat :
[1] berfungsi melakukan hal-hal yang diharapkan dengan baik, [2]
berbicara dan mengatakan pada hal-hal yang diharapkan dengan baik
serta [3] menampilkan kehadirannya dengan baik dan menyenangkan.
Sedangkan Vitruvius secara singkat memberikan pernyataan bahwa dalam
arsitektur bangunan harus dibangun sesuai dengan tujuannya, kokoh dan
juga merupakan hasil karya seni.

Dalam pemahaman tentang arsitektur yang diangkat dari budaya


setempat berdasarkan unsur lokalnya, kita dapat menamakannnya
sebagai arsitektur dialek [vernacular], arsitektur tanpa nama [anonymus],
arsitektur pedesaan [rural], arsitektur asli [indigenous], arsitektur alamiah
[spontaneous] atau apapun, tapi yang jelas ia adalah arsitektur lokal,
setempat, sangat khas, yang dibangun berdasarkan tradisi budaya
masyarakat yang bersangkutan. Arsitektur kerakyatan [arsitektur
vernakular] merupakan representasi dari wujud formal dan material yang
dibentuk melalui kolaborasi antara komunitas masyarakat sebagai pelaku
dalam membuat lingkungan binaan dengan local context sebagai unsur
yang diberdayakan sebagai media untuk mewujudkan lingkungan binaan
tersebut.

Komunitas masyarakat tradisional [kampung] merupakan salah satu


contoh konkrit yang dapat dijadikan model dalam membangun hunian,
mereka memiliki pranata yang dikembangkan dalam proses mendirikan
bangunan melalui kegiatan gotong royong sebagai wujud kebersamaan
mereka. Tempat dan alam merupakan potensi yang dapat digali sebagai
sumber inspirasi, sebagaimana bentuk arsitektur yang digali melalui
beberapa cara, seperti usaha mengadopsi teknologi konstruksi, material
dan lain sebagainya, sehingga keragaman bentuk arsitektur dapat
diperkaya dan diperdalam terhadap nilai-nilai yang dianut.

Arsitektur-arsitektur lokal pada dasarnya berkaitan erat dengan hunian


atau tempat tinggal beserta bangunan-bangunan dan struktur
pelengkapnya [seperti : lumbung, tempat pemujaan, bangunan-bangunan
tambahan, dll]. Bangunan-bangunan hunian yang didirikan berdasarkan
kearifan lokal menurut konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang
diwariskan nenek moyang mereka. Perwujudan bentuk sebagai hasil
budidaya manusia / masyarakat dapat dianggap tidak berbeda jauh dari
perwujudan bentuk hasil tradisi yang sama pada masa-masa lampau
walaupun perubahan-perubahan kecil maupun besar bisa saja terjadi pada
masa silam.

File/bf/akulturasi/ars/08/16
Dengan demikian, kalau kita mengamati bangunan-bangunan dalam
enclave arsitektur lokal sekarang ini, yang dianggap oleh para anggota
masyarakat setempat sebagai bangunan yang struktur dan bentuknya
adalah sesuai dengan tradisi budaya mereka dan dianggap sebagai
perwujudan. Arsitektur lokal yang dimaksud dapat disebut sebagai
arsitektur tradisional karena pernyataan bentuknya sesuai dengan kaidah-
kaidah yang diakui bersama atau masih dianut oleh sebagian besar
anggota masyarakat sebagai tradisi turun temurun [Adhi Mursid, 2007].

VI. Kearifan Lokal

Kearifan lokal yang terwujud dalam fenomena perkembangan proses


akulturasi merupakan sikap yang dianut dalam rangka membuat
lingkungan binaan untuk mewadahi aktivitas kehidupan komunitas
masyarakatnya. Menurut Mangunwijaya citra arsitektur yang merujuk
pada filosofi dan konsep dasar tentang kearifan lokal tertuang dalam
cetusan pemikirannya sebagai berikut :

Citra Arsitektur tidak terlepas dari potensi-potensi alam, sifat manusia


yang ada di sekitarnya, menunjukkan keselarasan dengan alam
sekelilingnya. Arsitektur yang baik, yang indah tidak terlepas dari
ekspresi dan realisasi diri, bukan hanya penonjolan aspek fisik saja. Oleh
karena itu arsitektur, yang berasal dari kata architectoon / ahli bangunan
yang utama, lebih tepat disebut vasthu / wastu [norma, tolok ukur dari
hidup susila, pegangan normatif semesta, konkretisasi dari yang mutlak],
karena wastu lebih bersifat menyeluruh / komprehensif, meliputi tata bumi
[dhara], tata gedung [harsya], tata lalu lintas [yana] dan hal-hal mendetail
seperti perabot rumah dll., berupa informasi tetapi mengutamakan pula
hal-hal yang bersifat transendens, transformasi, pengubahan radikal ke-
ada-an manusia. Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat
penting dalam berarsitektur. Citra menunjuk pada sesuatu yang
transendens, yang memberi makna. Arti, makna, kesejatian, citra
mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan sesuatu
yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis [Y.B. Mangunwijaya,
Wastu Citra, 1988 : 326-337]

Citra arsitektur merupakan wujud dari sikap manusia dalam penelusuran


proses perwujudan bentukan arsitektur, yang secara umum dapat dilihat
dari sebuah proses adaptasi suatu komunitas budaya masyarakat yang
terekspresikan dalam wujud arsitektural yang dapat dilihat dari : dari segi
tata letak bangunan maupun bentuk bangunan terhadap situasi dan
kondisinya berdiri, termasuk di dalamnya keadaan lingkungan alam, unsur-
unsur tradisionalitas beserta filosofinya. Pada umumnya konsep
arsitektur tradisional dengan komunitas tertentu selalu menempatkan
unsur alam sebagai konsep dasar filosofinya merupakan representasi dari
kearifan lokal yang terbentuk dalam proses silang budaya.

VII. Sikap Arsitek

Dengan telaah ini diharapkan sebagai Arsitek cukup peka dan tanggap
dalam menyikapi sebuah fenomena silang budaya [proses akulturasi] yang
akan melandasi dalam sebuah proses berpikir yang lebih kritis dan tajam.
Pengetahuan lokal akan sangat banyak membantu dalam kegiatan
berarsitektur melalui kegiatan merancang. Filosofi dan konsep menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan tersebut dengan
mempertimbangkan seluruh potensi yang ada yang diangkat dari unsur
lokal, dengan demikian Arsitek dapat bersikap seperti halnya masyarakat
tradisional [yang telah melalui proses akulturasi/silang buadaya] dengan
kearifan lokalnya yang tercermin dalam wujud arsitektural.
File/bf/akulturasi/ars/08/16
Daftar Pustaka

Altman, I., M. Chemers [1980], Culture and Environment,


Brooks/Cole Publishing Company, Monterey, California.
Brolin, Brent C. [1980], Architecture in Context : fitting new buildings
with old, Van Nostrand Reinhold Co, New York.
Egenter, N. [1992], Architectural Anthropology, Research Series, 1,
Structura Mundi, Lausanne, 19-87, 145-171.
Hoed, Benny H. [2008], Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya , Universitas Indonesia, Depok.
Rapoport, A. [1969], House Form and Culture, Prentice Hall
International Inc., London.
Ariani Mulyono, Evelyn [ 2007 ], Perpaduan Gaya Arsitektur Pecinan
Kampung Babagan Di Kota Lasem, Skripsi 23 Arsitektur, Unpar,
Bandung.
Pratomo, Soni [2001], Makna Struktur Dan Unsur Pembentuk Pusat
Kota Pelabuhan Tuban, Kajian Morfologi Dan Silang Budaya Pusat
Kota Pesisir, Tesis Arsitektur, Undip, Semarang.
Sutrisno, Mudji & Putranto, Hendar [2005], Teori Teori Kebudayaan,
Kanisius, Yogyakarta.
File/bf/akulturasi/ars/08/16

Anda mungkin juga menyukai