Anda di halaman 1dari 8

1.

GIGITAN HEWAN BERBISA


1.1 Gigitan Ular Berbisa
1.2 Gigitan bisa kalejengking
1.3 Gigitan Serangga (insect bite)

1.1 Gigitan Ular Berbisa

Insidensi

Di dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar
250 spesies. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini
adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali
(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di
Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae
memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular
cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana),
dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara
normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang
mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae
memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara
lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli),
ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)

Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau tidak, dapat dipakai ciri
khas dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut :

Ciri Ciri ular berbisa : 1) Bentuk kepala segi empat panjang. 2) Gigi taring kecil 3)
Bekas gigitan luka halus berbentuk lengkungan
Ciri ciri ular tidak berbisa : 1) Kepala segitiga, 2). Dua gigi taring besar di rahang
atas 3) Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Jenis toksin ular berbisa

- Hematotoksik : Aktifits hemoragik pada bisa ular menyebabkan perdarahan spontan


dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
- Neurotoksik : Neurotoksin pascasinaps seperti a-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat
pada reseptor asetilkolin pada motor end plate sedangkan neurotoksin prasinaps
seperti b-bungarotoxin, crotoxin, talpoxin merupakan fosfolipase- A2 yang mencegah
pelepasan asetilkolin pada neuromuskular junction
- Ada juga beberapa spesies viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin
sistemik, sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan

Gambaran Klinis

- Gejala Lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan ekimosis (dalam 30 menit 24
jam)
- Gejala Sistemik : Hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
- Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik : perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, peritonium, otak,
gusi, hematemesis, dan melena, perdarahan kulit (ptekie, ekimosis), hemoptoe,
hematuria, dan koagulasi intravaskular diseminata (KID)
o Neurotoksik : hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis,
oftalmolegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang, dan koma
o Kardiotoksik : Hipotonsi, henti jantung, koma
o Sindrom Kompartemen : edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis,pulselesness)

Diagnosa

- Anamnesis lengkap : identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya
- Pemeriksaan fisik : status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam
- Pemeriksaan tambahan :
o Pemeriksaan darah : hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea-N elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer,
uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang
o Pemeriksaan urin : hematuria, glukosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
o EKG
o Foto dada

Tatalaksana

Tujuan tatalaksana pada kasus gigitan ular berbisa adalah :

- Menghalangi/memperlambat absorbsi bisa ular


- Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
- Mengatasi efek lokal dan sistemik
Tindakan tatalaksana

A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah :
o Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
o Jangan memanipulasi daerah gigitan
o Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung
alkohol
o Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum ada antivenin, ikat daerah
proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuannya adalah menahan aliran
limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri sehingga ikatan tidak boleh lebih
dari 20 mmHg
o Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis
dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian
tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat
dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu.

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan, diberikan terapi suportif sebagai berikut
o Tatalaksana jalan napas
o Tatalaksana fungsi pernapasan
o Tatalaksana sirkulasi : beri infus cairan kristaloid
o Beri pertolongan pertama pada luka gigitan, verban ketat dan luas diatas luka,
imobilisasi dengan bidai
o Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan waktu protrombin, APTT,
D_DIMER, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N,
elektrolit (terutama K), creatinin kinase, periksa waktu pembekuan, jika > 10
menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
o Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular), serum kuda yang dikebalkan) polivalen 1
ml berisi :
10 50 LD50 bisa Ankstrodon
25 50 LD50 bisa Bungarus
25 50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
o Teknik pemberian :
Intravena push injection suntikan diberikan secara manual oleh
paramedik secara perlahan tidak lebih dari 2 ml/menit
Intravenous infusion : antivenom dilarutkan dalam 5 10 ml cairan
istonik per kilogram berat badan (NaCl 0.9% atau D5%) dengan
kecepatan 40 80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml (20 vial)
Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan
10 50 LD50 bisa Ankstrodon
25 50 LD50 bisa Bungarus
25 50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v

Pedoman terapi SABU mengacu pada Luck (Depkes, 2001) dan WHO SEARO

Pantau keseimbangan cairan dan elektroit


Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom
o Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya dan seterusnya
o Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
evaluasi perbaikannya. Pemantauan dilanjutkan hingga 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang.

1.2 Gigitan Kalajengking


Jenis dan Karakteristik Kalajengking

Diantara 1000 spesies Kalajengking (scorpion) yang telah


teridentifikasi, terdapat sekitar 30 spesies yang memiliki racun yang
mematikan. Beberapa spesies yang beracun diantaranya adalah
Centruroides suffuses (Meksiko), Tityus serrulatus (Brazil), Leirus
quinquestriatus (Afrika Utara), Centruroides sculpturatus, C. axilacauda
(Amerika Serikat, Arizona, Texas, Meksiko Utara, dan California).

Umumnya kalajengking tidak agresif terhadap manusia, namun


dapat menyengat jika terancam atau marah akibat terusik. Kalajengking
aktif pada malam hari dan sebagian besar hidup di dalam pohon atau
mencari tempat teduh di bawah bangunan. Namun, dapat juga masuk ke
dalam rumah dan bersembunyi di dalam sepatu, pakaian, tempat tidur,
dan tempat gelap lainnya.

Sengatan kalajengking terasa nyeri, namun pada umumnya tidak


berbahaya kecuali sengatan oleh kalajengking jenis beracun. Racun
kalajengking mengandung campuran kompleks fosfolipase A2,
asetilkolinesterase, hialuronidase, protein dengan berat molekul rendah,
asam amino dan serotonin.

Gambaran Klinis

1. Gejala lokal: nyeri seperti terbakar, gejala peradangan disertai


parastesi local. Gejala umumnya membaik dalam beberapa jam.
2. Gejala sistemik: Umumnya ditemukan pada anak-anak berusia
kurang dari 10 tahun. Gejala yang timbul dapat berupa gelisah,
keringat berlebihan, diplopia, nistagmus, opistotonus, salivasi,
hipertensi, takikardi dan kadang-kadang kejang, paralisis otot
pernapasan (terutama pada oaring tua dan anak-anak). Gejala
tersebut umumnya dapat disertai dengan edema paru, syok,
koagulopati, pancreatitis, gangguan fungsi ginjal, hemoglobinuria,
ikterus, hipertermia dan asidosis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar Hb, leukosit, trombosit,
elektrolit, gula darah, urea, kreatinin, profil koagulasi, AGDA, dan uji faal
hati.

Penatalaksanaan

1. Terapi Suportif
Stabilisasi:
o Penatalaksanaan jalan napas
o Penatalaksanaan fungsi pernapasan: ventilasi dan
oksigenasi
o Penatalaksanaan sirkulasi: pasang infus kristaloid
Dekontaminasi:
o Cuci luka dan berikan tetanus profilaksis jika diperlukan
o Jangan diberi es pada lokasi luka dan jangan melakukan
insisi local
2. Terapi spesifik: antivenin dengan pemberian serum scorpion
(polivalen)
3. Terapi tingkat lanjut
Dilakukan untuk mengatasi gejala sistemik akibat keracunan
sengatan kalajengking seperti hipertensi, edema paru, bradiaritmia,
gelisah, syok

Pencegahan

1. Periksa dan kibaskan benda-benda seperti sepatu, pakaian, handuk,


dan tempat tidur sebelum menggunakannya.
2. Singkirkan kayu, batu, tumpukan benda-benda yang disukai oleh
kalajengking untuk menyembunyikan diri.

1.3 Sengatan Serangga

Sengatan serangga dan gigitan ular merupakan bagian dari kegawatan karena
lingkungan. Pada dasarnya penatalaksanaan sengatan serangga dan gigitan ular tergantung
jenis binatang itu sendiri. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui secara langsung
binatang yang menggigit atau setidaknya mengetahui ciri binatang tersebut melalui
wawancara dengan pasien maupun saksi kejadian. Perlu diketahui bahwa tidak semua
serangga dan ular itu beracun

1. Gigitan Laba Laba Dan Nekrosis Arachnidism


Nekrosis kulit yang berat dan nekrosis subkutis diikuti pengracunan dapat disebabkan
oleh Laxosceles reclusa, laba laba coklat, dan empat spesies terakhir dari Laxosceles yang
banyak terdapat di Amerika Tengah dan Utara. Laba laba lain yang menyebabkan ulkus
nekrotik termasuk dalam jenis laba laba hobo (Tegenaria agrestis). Laba laba ini tidak
agresif dalam menggigit manusia dan gigitannya hanya berupa tekanan pada kulit. Laba
laba ini menyerang dari balik batu dan tumpukan kayu, sering menyerang pada malam hari.

Cairan jernih dari laba laba ini berisi esterase, fosfatase, alkalin protease dan enzim
lain yang menyebabkan nekrosis jaringan dan hemolisis.Sfingomielinase B, faktor
dermonekrotik yang penting, terletak diantara membran sel yang merupakan kemotaksis
neutrofil, akan menyebabkan trombosis vaskular dan reaksi seperti arthus.

Mulanya gigitan tidak nyeri atau terasa panas. Setelah beberapa jam terasa nyerii dan
gatal dengan indurasi di sekelilling gigitan ada daerah pucat iskemik dan daerah kemerahan.
Pada banyak kasus tanpa terapi akan sembuh dalam 2-3 hari. Pada kasus yang berat,
kemerahan merata dan di bagian tengah ada pendarahan dan nekrosis disertai timbulnya bula.
Timbul jaringan kehitaman dan terkelupas yang beberapa minggu kemudian meninggalkan
ulkus yang diameternya bisa mencapai 25 cm dan kadang kadang membuat jaringan cekung

Penatalaksanaan

Tindakan awal dengan membersihkan gigitan, balut dengan balutan yang steril dan
beri kompres dingin, angkat dan lakukan imobilisasi bagian yang baru digigit
Bila ada indikasi, berikan analgetik, antihistamin, antibiotik, dan profilaksis tetanus
Pada 48 72 jam pertama diberi dapson, inhibitor leukosit yang dapat menghentikan
lesi yang akan menjadi nekrosis. Dapson diberikan per oral 50 100 mg 2 kali/ hari,
setelah dipastikan tidak ada G6 phosphatase dehydrogenase (G6PD) deficiency
Bila efek lokal atau sistemik dari glukokortikoid tidak terlihat maka lebih potensial
digunakan Laxosceles yang spesifik antivenin
Debridement dilanjutkan dengan skin grafting
Pasien dimonitor terhadap tanda tanda hemolisis, gagal ginjal dan komplikasi sistemik
yang lain

2. Sengatan Hymneoptera

Yang termasuk didalamnya adalah lebah, tawon, dan semut. Umumnya mereka
menyerang bila koloni atau sarangnya diganggu. Racunnya diproduksi pada kelenjar di
bagian belakang perut yang akan keluar dengan cepat bila terjadi kontraksi otot kantung
racun dengan kapasitas di atas 0.1 ml pada serangga besar.

Toksin polipeptida pada lebah madu termasuk melitin yang dapat merusak sel
membran. Degranulasi protein sel mast dapat menyebabkan pelepasan histamin berupa
apamin (neurotoksin) adolapin (anti inflamasi). Enzim dalam racun terdiri dari haluronidase
yang merupakan sebagian besar komponen dan fosfolipase yang merupakan major venom
allergen.

Sengatan lebah menimbulkan nyeri, bengkak, dan reaksi kemerahan, edema lokal dan
bengkak yang timbul setelah beberapa jam. Gigitan multipel dapat menyebabkan mual, diare,
edema menyeluruh, dispnea, hipotensi, dan kolaps. Rabdomiolisis dan hemolisis
intravaskular dapat menyebabkan gagal ginjal. Kematian akibat efek langsung daari racun
lebah madu terjadi bila sengatan berjumlah 300 500 sengatan. Perlu diketahui bahwa setiap
jenis lebah memiliki efek racun yang berbeda beda pula.

Penatalaksanaan

Pada sengatan dibersihkan, diberi disinfektan, dan diberikan es. Bila perlu analgetik,
antihistamin oral dan losio kalamin toikal. Reaksi lokal yang cukup luas diobati dengan
glukokortikoid. Pasien ddengan banyak sengatan dimonitor 24 jam untuk mencegah
terjadinya gagal ginjal atau koagulopati.

Anda mungkin juga menyukai