Indonesia adalah salah satu negara yang diberikan anugerah potensi oleh
Allah SWT. Bangsa ini diberikan potensi yang sangat luar biasa, berupa kondisi
sumber daya alam (keanekaragaman hayati dan non hayati, flora dan fauna), kondisi geografis, serta
kondisi demografis yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Indonesia merupakan salah satu dari tiga Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi, dua negara lainnya adalah Brazil dan Zaire. Namun dibandingkan dengan Brazil dan Zaire,
Indonesia patut berbangga karena memiliki keunikan tersendiri, mempunyai areal tipe Indomalaya,
tipe Oriental, Australia, dan peralihannya. Indonesia menjadi habitat banyak hewan dan tumbuhan
langka, serta hewan dan tumbuhan endemik (penyebaran terbatas). Sekitar 10% dari semua jenis
makhluk hidup yang pada saat imi hidup dan menghuni bumi ini terkandung pada kawasan negara
Indonesia, yang luas daratannya tidak sampai sepertujuhpuluhlima dari luas daratan muka bumi.
Menurut Adrean (2010) dengan jumlah pulau sebanyakl 17.504, Indonesia memiliki 10% dari total
jenis tumbuhan berbunga di dunia, 12% dari total mamalia di dunia, 16% dari total reptil dan ampibia
di dunia, 17% dari total jenis burung di dunia dan 25% atau lebih dari total jenis ikan di dunia.
Anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya khususnya
manusia itu harus dimanfaatkan secara baik atau bijak. Pemanfaatan anugerah tersebut untuk
pemenuhan kebutuhan makhluk hidup itu haruslah disertai tanggung jawab besar dalam perlindungan
dan pengelolaan agar tetap terjaga kelestariannya (keberlanjutan fungsi/sustainability) (Suriyani &
Kotijah, 2013). Ironisnya bila kita melihat fakta kekinian, kondisi ternyata berlawanan. Potensi
keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat besar berada pada posisi terancam bahkan mulai
mengarah ke kepunahan.
Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia mencatat bahwa hingga akhir
Desember 2015 terdapat setidaknya ada sekitar 5.000 kasus perdagangan satwa liar. Jumlah satwa
liar yang diperdagangkan (umumnya secara online) itu meningkat cukup banyak dibandingkan dengan
data tahun 2014, dimana sedikitnya ada 3.640 iklan di media sosial yang menawarkan berbagai jenis
satwa liar. Kasus perburuan satwa liar pun cenderung semakin tinggi. Di wilayah Jawa Timur saja,
PROFAUNA mencatat sedikitnya ada 370 kasus perburuan satwa liar. Ironisnya, perburuan satwa liar
itu justru banyak terjadi di hutan lindung dan kawasan konservasi alam.
HIngga April 2016, berbagai media massa masih ramai memberitakan aksi pembunuhan
terhadap gajah di Sumatera, dengan tujuan mengambil gadingnya. Wajarlah bila akhirnya misalnya
satwa ikon sumatera dan Indonesia yaitu gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), kini
terancam punah. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi menjelaskan,
akibat masih tingginya perburuan liar dan perdagangan gading gajah, populasi gajah sumatera di
Jambi berkurang drastis. Berdasarkan pantauan BKSDA Jambi, populasi gajah sumatera di daerah itu
saat ini hanya 150 ekor (Suara pembaruan, 14/04/16). Bahkan bila dijumlah secara keseluruhan,
populasi mamalia bergading hanya tersisa 680 individu (KLHK, 2007). Dalam pandangan Himawan et
al. (2012) tindakan tersebut telah termasuk Transnational Wildlife Crime, atau merupakan salah satu
kejahatan lingkungan dan kejahatan transnasional yang melibatkan banyak pelaku, mulai dari
pemburu, penampung, tukang offset (taxidermist) hingga eksportir yang membentuk suatu mata rantai
dan jaringan tersendiri.