Anda di halaman 1dari 25

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Informasi gaya berat (gravity) banyak digunakan dalam bidang geofisika, geodesi,

dan geologi. Dalam geofisika, informasi spasial gaya berat dipakai sebagai salah satu cara

untuk memprediksi struktur geologi dan densitas batuan penyusun kerak bumi. Data

anomali Bouguer merupakan salah satu data dasar kebumian yang diperlukan untuk

perencanaan pembangunan, eksplorasi energi, sumber daya mineral, dan untuk keperluan

penelitian ilmiah kebumian lainnya.

Indonesia merupakan salah satu wilayah di dunia yang sering terjadi gempabumi baik

gempa tektonik maupun gempa vulkanik. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan

wilayah pertemuan 3 lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Pasifik dan Indo-

Australia. Gempabumi bagi masyarakat Indonesia merupakan salah satu bencana alam

yang menakutkan karena dapat menimbulkan kerusakan lahan maupun bangunan.

Gempabumi yang terjadi pada tahun 2006 silam, di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan gempabumi tektonik yang disebabkan adanya patahan (sesar)

aktif di Kali Opak, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.

Keberadaan Sesar Opak memang telah diperkirakan oleh para ahli geologi dan

tertuang pada Peta Geologi Lembar Yogyakarta keluaran P3G Bandung tahun 1977 dan

diperbarui tahun 1995. Namun sesar ini menjadi lebih populer setelah kejadian

gempabumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006, karena sebagian

ahli geologi (Sulaiman, C.dkk, 2008, Natawijaya, 2007) beranggapan gempa tersebut

penyebabnya adalah aktivasi dari Sesar Opak.

Sesar Opak merupakan sesar yang berada di sekitar Sungai Opak, sesar Opak ini

berarah timur laut barat daya kurang lebih U 235o T/ 80o, dimana blok timur relatif

bergeser ke utara dan blok barat bergeser ke selatan dengan lebar zona sesar ini

1
diperkirakan sekitar 2,5 km (Subowo,dkk., 2007). Berdasarkan hasil kajian deformasi

koseismik menyimpulkan bahwa sesar penyebab gempabumi 27 Mei 2006 adalah sesar

jenis sinistral dengan panjang 18 km, lebar 10 km, strike 48o ,dan dip 89o dan berada di

sebelah timur 3-4 km dari lokasi Sesar Opak yang biasa digambarkan pada peta geologi

(Abidin dkk, 2007). Berdasarkan kajian after sock yang datanya diambil selama 3 bulan

dimulai hari ke empat setelah gempa, sesar penyebab gempa berada kurang lebih 10 km

20 km di sebelah timur dari rendahan Sesar Opak (Walter, dkk. 2008).

Dari uraian tersebut di atas dijumpai permasalahan sesar Opak memang ada, tetapi

perkiraan lokasi tepatnya dimana sesar tersebut masih kontroversi. Berangkat dari

masalah tersebut, penelitian menganggap bahwa sesar Opak perlu dilakukan pengkajian

lebih detail, untuk itu maka penulis mengkaji struktur geologi bawah permukaan di Kali

Opak, tepatnya di daerah Imogiri, di wilayah Kabupaten Bantul dengan melakukan

pengukuran gaya berat di lokasi tersebut.

Melalui kajian tersebut, maka nantinya dapat memberikan kontribusi pemahaman

jenis sesar dan dampak yang ditimbulkan sehingga dapat dilakukan mitigasi terhadap

bencana gempabumi di masa mendatang.

2. Maksud dan Tujuan

Penyusunan penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan pengukuran gravitasi di

daerah Imogiri dan sekitarnya. Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk

mengetahui nilai gravitasi pada daerah penelitian yang meliputi Imogiri, Kabupaten

Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data-data gravitasi di masing-masing

daerah penelitian diambil dan diproses hingga menghasilkan sebuah peta anomali

gravitasi lokal yang dapat menggambarkan kondisi struktur bawah permukaan yang

meliputi intepretasi litologi serta mengidentifikasi adanya sesar di daerah penelitian.

2
3. Batasan Masalah

Sesuai dengan judul yang diangkat, maka dalam penyusunan penelitian ini hanya akan

membahas mengenai identifikasi sesar dan hasil analisis sesar Opak di wilayah Imogiri,

Kabupaten Bantul dengan menggunakan analisis data gravitasi.

GEOLOGI UMUM

1. Fisiografi

Secara umum fisiografi Pulau Jawa telah dibagi oleh Pannekoek (1949) dan van

Bemmelen (1949) menjadi beberapa zona fisiografi. Menurut Pannekoek (1949) dapat

dibedakan menjadi tiga zona yang membujur barat - timur yaitu :

1. Zona Selatan / Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan kearah

selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara dipotong oleh

gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak terlihat lagi, untuk

kemudian berganti menjadi dataran aluvial.

2. Zona Tengah / Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang disusun

oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada daerah tersebut

banyak tumbuh Gunung Api Kuarter.

3. Zona Utara / Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan yang

diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan aluvial. Zona

utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu : Perbukitan Kendeng dan

Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini dipisahkan oleh depresi yang

memanjang dengan arah barat - timur, yang oleh van Bemmelen (1949) depresi

ini disebut sebagai Zona Randublatung. Dari Pannekoek (1949), daerah penelitian

termasuk di Zona Plato/Zona Selatan.

Sedangkan menurut van Bemmelen (1949), Fisiografi Jawa Tengah - Jawa

3
Timur) dibagi berdasarkan kondisi morfologi, litologi penyusun dan pola struktur

yang ada menjadi 7 Zona Fisiografi (Gambar 1), dari utara sampai selatan adalah:

1. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa,

2. Zona Gunung Api Kuarter,

3. Zona Antiklinorium Rembang - Madura,

4. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng,

5. Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral,

6. Zona Depresi Jawa, Solo dan Randublatung, dan

7. Zona Pegunungan Selatan.

Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Tengah & Jawa Timur


(modifikasi dari van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010).
: Fisiografi daerah penelitian

Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan dan Zona

Solo (Bemmelen, 1983). Daerah penelitian sebelah barat laut merupakan Zona Solo

dan sebelah timur hingga memanjang ke arah selatan merupakan Zona Pegunungan

Selatan.

4
2. Stratigrafi

Stratigrafi merupakan urut-urutan batuan yang ada pada suatu daerah mulai

dari yang tua hingga muda. Urutan batuan di lokasi penelitian pada Zona

Pegunungan Selatan (Rahardjo, 1995) adalah tua ke muda : Formasi Nglanggran

(Tmn), Formasi Wonosari (Tmwl) dan Endapan Gunung Merapi Muda (Qmi).

3. Pola Tektonik

Pulau Jawa menempati posisi tepi aktif interaksi lempeng - lempeng antara

Benua Eurasia dan Lempeng Samudera Hindia yang saling berinteraksi sejak

Kapur Akhir. Elemen tektonik utama sebagai akibat interaksi Lempeng Eurasia

dan Hindia adalah jalur subduksi, jalur magmatik - volkanik. Akibatnya, Pulau

Jawa disusun oleh gabungan antara kerak benua Eurasia dan kerak hasil akresi

antara dua lempeng.

Dari uraian regional, cukup jelas bahwa Jawa menempati posisi penting dalam

geologi Indonesia bagian barat karena wilayah ini menempati daerah frontal pada

peralihan kerak penyusun batuan dasar maupun pola struktur. Kondisi tersebut

akan berdampak langsung pada daerah penelitian saya.

Secara umum daerah penelitian berada di daerah Pegunungan Selatan Jawa

Timur bagian barat yang dikontrol oleh struktur geologi. Struktur geologi di

daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan homoklin, sesar, kekar

dan lipatan.

Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Sub Zona Baturagung mulai

dari Formasi Kebo - Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan

Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih

kurang berarah barat - timur dan miring ke selatan.

5
Gambar 2. Peta regional Jawa memperlihatkan pola struktur, dua sesar
mendatar regional dan implikasi geologi yang disebabkan (Satyana dan
Purwaningsih, 2002).
: Daerah penelitian

Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah utara (20 - 35) ke

sebelah selatan (5 - 15). Bahkan pada Subzona Wonosari, perlapisan batuan yang

termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil

(kurang dari 5) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi Semilir di sebelah barat,

antara Prambanan - Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke arah baratdaya.

Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan

batuan miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin

disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks; van Bemmelen, 1949) atau sebab

lain, misalnya pengkubahan (updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau

merupakan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam kerucut gunungapi dan

lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan Hartono, 2001).

6
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic fault

blocks (van Bemmelen, 1949). Sesar utama berarah baratlaut - tenggara dan setempat

berarah timurlaut - baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan Baturagung

dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utara - selatan dan memotong

lipatan yang berarah timurlaut - baratdaya. Bronto dkk. (1998, dalam Bronto dan

Hartono, 2001) menginterpretasikan tanda - tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang

dan K. Putat) serta di sebelah timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian

dari longsoran besar (mega slumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens. Di sebelah

barat K. Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut -

baratdaya dengan blok barat relatif turun terhadap blok barat.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sudarno (1997) mengenai

struktur sesar yang terletak di Pegunungan Selatan, DIY dan Perbukitan Jiwo, Klaten,

Jawa Tengah mengemukakan bahwa terdapat 4 set sesar mayor, masing-masing berarah

timur laut-barat daya (set 1), arah utara selatan (set 2), barat laut tenggara (set 3),

dan barat timur (set 4). Set 1 terbentuk pada akhir Kapur dan akhir Eosen Miosen

Tengah, set 2 dan set 3 terbentuk pada awal Pliosen dan set 4 terbentuk pada Plistosen

Tengah.

Pada akhir Eosen dan Miosen Tengah tegasan purba jenis kompresi bekerja berarah

utara selatan (N 185o E). Pada Pliosen Awal tegasan purba masih berjenis kompresi,

tetapi arahnya berubah menjadi utara barat laut selatan tenggara (N 158o E). Pada

Plistosen Tengah berubah jenisnya menjadi tegasan regangan (tensional stress) dengan

arah utara timur laut selatan barat daya (N 21o E) dan baratlaut tenggara (N 317o E).

Sesar set 1 (arah timur laut barat daya) yang ditemukan pada batuan malihan

(batuan dasar) merupakan sesar tua yang terbentuk karena hasil tumbukan lempeng

Eurasia dengan lempeng Indo-Australia pada umur Kapur. Sesar set 1 yang ditemukan

7
pada batuan yang terletak di atas batuan dasar, terbentuk karena adanya reaktivasi sesar

set 1 pada batuan malihan.

Sesar set 2 dan 3 terbentuk dari perkembangan struktur-struktur kekar akibat sistem

wrenching sesar-sesar set 1. Sesar arah utara-selatan (set 2) dan barat laut- tenggara (set

3) bukan hasil secara langsung dari reaktivasi sesar set 1 pada batuan dasar. Tegasan

regangan berarah utara timur laut selatan barat daya menghasilkan sesar turun di

sebelah utara kaki utara gawir Baturagung ( Sesar turun Prambanan Bayat dan sesar

turun Gunung Kampak). Tegasan regangan berarah barat laut tenggara mengaktifkan

sesar-sesar geser mendatar sekitar Sungai Opak sehingga berubah menjadi sesar turun.

Reaktivasi tersebut hasil salah satunya adalah sesar turun Opak yang membentuk terban

Yogyakarta. Tegasan regangan juga berhubungan dengan gaya-gaya release pada fase

akhir pembentukkan lipatan di Pegunungan Selatan.

METODE GRAVITASI

Metode gaya berat (gravitasi) adalah salah satu metode geofisika yang didasarkan

pada pengukuran medan gravitasi. Pengukuran ini dapat dilakukan di permukaan bumi,

di kapal maupun di udara. Dalam metode ini yang dipelajari adalah variasi medan

gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah permukaan sehingga dalam

pelaksanaannya yang diselidiki adalah perbedaan medan gravitasi dari suatu titik

observasi terhadap titik observasi lainnya. Metode gravitasi umumnya digunakan dalam

eksplorasi jebakan minyak (oil trap). Disamping itu metode ini juga banyak dipakai

dalam eksplorasi mineral dan lainnya.

Prinsip pada metode ini mempunyai kemampuan dalam membedakan rapat massa

suatu material terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian struktur bawah

permukaan dapat diketahui. Pengetahuan tentang struktur bawah permukaan ini penting

8
untuk perencanaan langkah-langkah eksplorasi baik minyak maupun mineral lainnya.

Untuk menggunakan metode ini dibutuhkan minimal dua alat gravitasi, alat gravitasi

yang pertama berada di base sebagai alat yang digunakan untuk mengukur pasang surut

gravitasi, alat yang kedua dibawa pergi ke setiap titik pada stasiun mencatat perubahan

gravitasi yang ada.

Pada dasarnya gravitasi adalah gaya tarik menarik antara dua benda yang memiliki

rapat massa yang berbeda, hal ini dikemukakan oleh Isaac Newton (1643 1727)

bahwa dua benda yang terpisah pada jarak r akan mengalami gaya gravitasi. Hal

tersebut dapat diekspresikan oleh rumus hukum yang sederhana sebagai berikut:

Hukum Gravitasi Newton (1687, dalam Giancoli, 1996) :

m1 m2
F =G
2

dimana : F adalah besarnya gaya gravitasi antara dua massa tersebut (Newton),

G adalah konstante gravitasi,

m1 adalah massa dari benda pertama (kg)

m2 adalah massa dari benda kedua (kg)

r adalah jarak antara dua massa tersebut (m)

Gambar 3. Gaya gravitasi antara dua benda

9
Berdasarkan Hukum Newton II yang menyatakan bahwa percepatan dari suatu

benda merupakan hasil pembagian dari gaya yang dialami dengan massa benda

tersebut.

Jika pada gambar 3, M1 adalah massa bumi, M2 adalah massa suatu benda di

permukaan bumi, dan r adalah jari-jari bumi maka percepatan gravitasi yang dialami

benda tersebut adalah :


G(r) = =G r

Satuan yang umumnya digunakan pada metode gravitasi adalah miligal, dimana 1

miligal = 10-5 m/s2. Jari-jari di ekuator (Re) lebih besar daripada jari-jari di kutub (Rk)

sehingga bentuk bumi menjadi tidak bulat sempurna. Jari-jari ekuator lebih besar

karena adanya gaya sentrifugal yang menarik massa keluar. Hal ini mengakibatkan

timbul perbedaan nilai percepatan gravitasi antara di kutub dan di ekuator (Gambar 4).

6350 km
6372 km

Re
Rk

Re (jari-jari ekuator) > Rk (jari-jari kutub)


ge < gk
Gambar 4. Bentuk muka bumi tidak bulat sempurna

Data hasil pengukuran merupakan data gravitasi observasi. Nilai gravitasi

observasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor faktor yang mempengaruhi nilai

gobservasi adalah :

- Alat

- Ketidakhomogenitas bentuk bumi

10
- Elevasi

- Variasi densitas batuan

- Pasang surut bumi

- Topografi

Data gravitasi observasi merupakan data mentah yang belum bisa diintepretasi.

Berikut merupakan faktor-faktor koreksi terhadap data gravitasi:

1. Koreksi Baca Alat/Skala

Koreksi baca alat adalah koreksi yang dilakukan apabila terjadi kesalahan dalam

pembacaaan alat gravitasi yang digunakan. Rumus umum dalam pembacaan alat dapat

ditulis sebagai berikut :

Read (mGal) = ((Read (scale)-Interval) x Counter Reading) + Value in mGal

2. Koreksi Pasang Surut (Tidal)

Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh gravitasi benda-benda di luar

bumi seperti bulan dan matahari, yang berubah terhadap lintang dan waktu. Untuk

mendapatkan nilai pasang surut ini maka, dilihatlah perbedaan nilai gravitasi stasiun dari

waktu ke waktu terhadap base. Gravitasi terkoreksi tidal dapat ditulis sebagai berikut :

g st = gs + t

dimana:

3. Koreksi Apungan (Drift)

Koreksi apungan akibat adanya perbedaan pembacaan gravity dari stasiun yang

sama pada waktu yang berbeda, yang disebabkan karena adanya guncangan pegas alat

11
gravimeter selama proses transportasi dari suatu stasiun ke stasiun lainnya.

dimana :

Sehingga dapat dikatakan bahwa gravitasi terkoreksi drift (g std) adalah :

dimana:

g std (n) = gravitasi terkoreksi drift pada stasiun ke n

g st(n)= gravitasi terkoreksi tidal pada stasiun ke n

4. Koreksi Lintang

Koreksi ini dilakukan karena bentuk bumi yang tidak sepenuhnya bulat sempurna,

tetapi pepat pada daerah ekuator dan juga karena rotasi bumi. Hal tersebut membuat ada

perbedaan nilai gravitasi karena pengaruh lintang yang ada di bumi. Secara umum

gravitasi terkoreksi lintang dapat ditulis sebagai berikut :

dimana

5. Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)

Koreksi ini dilakukan untuk mengkompensasi ketinggian antara titik pengamatan dan

datum (mean sea level). Koreksi ini dapat ditulis sebagai berikut:

g FA = - 0.3086 x h

dimana :

g FA = gravitasi terkoreksi udara bebas

h = ketinggian permukaan dari datum (msl) satuan meter

12
6. Koreksi Bouguer

Koreksi bouger dilakukan untuk mengkompensasi pengaruh massa batuan terdapat

antara stasiun pengukuran dan (mean sea level) yang diabaikan pada koreksi udara bebas.

Koreksi ini dapat ditulis sebagai berikut :

g B = 0.04193 x x h

di mana :

g B = gravitasi terkoreksi bouguer

= densitas batuan ( M gm-3 )

h = ketinggian dari atas permukaan laut ( meter )

7. Koreksi Medan (Terrain Correction)

Koreksi medan mengakomodir ketidakteraturan pada topografi sekitar titik

pengukuran. Pada saat pengukuran, elevasi topografi di sekitar titik pengukuran, biasanya

dalam radius dalam dan luar, diukur elevasinya. Sehingga koreksi ini dapat ditulis sebagai

berikut :

8. Metode Grid

Grid adalah jaringan titik segi empat yang tersebar secara teratur ke seluruh area

pemetaan. Grid dibentuk berdasarkan pada data XYZ dan menggunakan algoritma

matematis tertentu. Gridding merupakan proses penggunaan titik data asli (data

pengamatan) yang ada pada file data XYZ untuk membentuk titik-titik data tambahan

13
pada sebuah grid yang tersebar secara teratur. Dalam pembuatan file grid ini akan diatur

mengenai :

1. Geometri garis grid, yang terdiri dari parameter batas grid dan kepadatan grid.

2. Metode grid/ gridding

Batas grid merupakan batas-batas pemetaan yang diambil dari nilai X terkecil, X

terbeasr, Y terkecil, dan Y terbesar. Nilai X dan Y diambil dari data mentah di worksheet.

Batas-batas pemetaan tersebut membentuk sebuah segi empat dengan koordinat terluar

nilai-nilai terbesar dari X dan Y. Kepadatan grid merupakan lebar kolom dan garis pada file

grid. Kolom dan baris ini berupa garis grid minor yang terbentuk oleh proses interpolasi file

XYZ di sepanjang sumbu X dan Y. Berikut ini merupakan metode grid yang digunakan

dalam penelitian ini:dan Y.upakan lebar ko

8.1 Metode Kriging

Kriging merupakan metode gridding geostatistik yang telah terbukti berguna dan

populer di berbagai bidang. Metode ini menghasilkan visual peta yang menarik dari

data yang tidak teratur. Krigging merupakan metode gridding yang sangat fleksibel

karena dapat menghasilkan jaringan yang akurat pada data dengan menggunakan

metode default pada surfer.

8.2 Metode Natural Neighbour

Metode Natural Neighbour menghasilkan kontur yang baik dari data set yang

berisi data padat di beberapa daerah dan data jarang di daerah lainnya. Hal ini tidak

menghasilkan data daerah tanpa data dan tidak terekpolasi nilai-nilai Z di luar grid

jangkauan data.

9. Densitas Batuan

Dalam metode gayaberat, distribusi parameter fisika yaitu densitas dari material di

bawah permukaan bumi berasosiasi dengan kondisi dan struktur geologi di dalam bumi,

14
sehingga karakteristik densitas dari tiap jenis batuan patut diketahui geofisikawan

karena nilai percepatan gravitasi yang terukur di permukaan bumi akan bervariasi

dipengaruhi oleh variasi distribusi densitas batuan. Densitas batuan diartikan massa

benda per satuan volum. Densitas batuan mengidentifikasi lapisan batuan di daerah

penelitian, menggunakan data densitas seperti yang ada dalam Tabel 1 (Telford

dkk,1990)

Tabel 1 Densitas beberapa batuan dan mineral (Telford dkk,1990)

Tabel Nilai Rapat Massa Batuan (Telford,1990)


Approximate
Density Range
Material Type Average
(Mg/m3)
(Mg/m3)

Sedimentary Rock
Alluvium 1,96 - 2,00 1,98
Clay 1,63 - 2,60 2,21
Gravel 1,70 - 2,40 2,00
Loess 1,40 - 1,93 1,64
Silt 1,80 - 2,20 1,93
Soil 1,20 - 2,40 1,92
Sand 1,70 - 2,30 2,00
Sandstone 1,61 - 2,76 2,35
Shale 1,77 - 3,20 2,40
Limestone 1,93 - 2,90 2,55
Dolomite 2,28 - 2,90 2,70
Chalk 1,53 - 2,60 2,01
Halite 2,10 - 2,60 2,22
Glacier ice 0,88 - 0,92 0,90

Igneous Rock
Rhyolite 2,35 - 2,70 2,52
Granite 2,50 - 2,81 2,64
Basalte 2,40 - 2,80 2,61
Syenite 2,60 - 2,95 2,77
Basalt 2,70 - 3,30 2,99
Gabbro 2,70 - 3,50 3,03

Metamorphic Rock
Schist 2,39 - 2,90 2,64
Gneiss 2,59 - 3,00 2,80
Phyllite 2,68 - 2,80 2,74

15
Slate 2,70 - 2,90 2,79
Granulite 2,52 - 2,73 2,65
Amphibolite 2,90 - 3,04 2,96
Eclogite 3,20 - 3,54 3,37

METODE PENELITIAN

Dalam menjawab permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan metode

pengambilan data bawah permukaan berupa pengukuran gravitasi. Kesimpulan ditarik

dari data bawah permukaan (gravitasi) dan analisa yang didapat, nantinya dilakukan

pemodelan struktur bawah permukaan.

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga)

tahapan, yaitu : tahap persiapan, tahap analisa dan tahap penyusunan laporan.

1. Tahap Persiapan

Meliputi studi pustaka untuk mempelajari hasil-hasil dari beberapa penelitian

geologi terdahulu di daerah tersebut dan survey pendahuluan untuk mengetahui

gambaran secara umum keadaan geologi daerah penelitian.

2. Tahap engambilan Data Primer

Dalam tahapan ini dilakukan pengambilan data lapangan (data primer) berupa

data gravitasi dengan menggunakan metode looping (jalur lintasan) di 2 lokasi yaitu

jalur Pundong dan jalur Imogiri.

Dua lokasi pengambilan data (jalur lintasan) memanjang dari arah timur ke barat

terdapat di Kabupaten Bantul. Setiap lokasi memiliki 16 titik pengamatan yang terpisah

dengan jarak 200 meter di setiap titik pengamatannya.

16
Setiap titik pengamatan ini akan dilakukan pengukuran nilai gravitasi dengan

menggunakan alat pengukur gravitasi (gravitymeter) (Gambar 5) dan pengamatan

singkapan, morfologi, dan ketinggian lokasi tersebut dari permukaan air laut.

Gambar 5. Pengambilan Data Lapangan menggunakan Gravitymeter


(Gravitymeter LaCoste & Romberg type G.525)

3. Tahap Penyusunan Laporan

Meliputi penulisan akhir laporan dengan memproses data-data primer yang sudah

diambil dan dianalisa ke dalam bentuk laporan resmi atau akhir termasuk di dalamnya

analisis studio dan komputerisasi (Olah data digital geologi, dan penulisan laporan).

4. Sintesa

Untuk dapat menghasilkan sintesa yang akurat diperlukan suatu metodologi yang

akurat. Hasil dari pengambilan data primer dan pemrosesan yang menghasilkan suatu

permodelan struktur bawah permukaan merupakan suatu metode untuk

mengidentifikasi adanya sesar di daerah penelitian.

PENGAMBILAN DATA

1. Pengambilan Data di Jalur Imogiri

Jalur lintasan Imogiri terletak di dekat puskesmas Kecamatan Imogiri, memanjang ke

arah barat kurang lebih 1,6 km dan ke arah timur 1,6 km dengan 16 titik pengamatan

dengan spasi 200 meter di setiap titiknya (Gambar 6). Jalur lintasan melintasi jalan raya

17
Imogiri timur ke arah timur hingga pertigaan ke arah makam raja-raja Imogiri. Data

pengukuran di jalur Imogiri disajikan pada Lampiran 1 (Tabel 1.1)

Lokasi
pengambilan data

Gambar 6. Foto udara jalur lintasan daerah Imogiri (Google Earth)

Lokasi pengambilan data gravitasi di jalur Imogiri berada pada satuan endapan

lempung kerakal dan breksi basalt kemas terbuka Nglanggran dengan jalur mengarah

barat laut tenggara dan memotong sungai opak yang mengalir mengarah utara

selatan.

2. Pengambilan Data di Jalur Pundong

Jalur lintasan Pundong terletak di Desa Srihardono, Kecamatan Pundong,

Kabupaten Bantul. Kecamatan Pundong terletak di sebelah selatan Kabupaten Bantul

dengan jarak kurang lebih 10 km serta jarak dari Ibukota Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta kurang lebih 18 km. Jalur Pundong terletak di selatan Jalur Imogiri (Gambar

7) dengan jarak kedua jalur sekitar 3 km. Hasil pengukuran di Jalur Pundong disajikan

pada Lampiran 1 (Tabel 1.2)

18
LOKASI
PENELITIAN

Gambar 5.8

Gambar 7. Foto udara di jalur daerah Pundong (Google Earth)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Hasil pengambilan data lapangan selanjutnya dilakukan pemrosesan data. Data

gravitasi diolah sedemikian rupa dengan metode Krigging maupun Natural Neighbor.

Dalam pemodelan dengan Natural Neighbor, pengolahan data dilakukan karena

memperhitungkan titik-titik persebaran data yang ada, sehingga tidak terjadi ekstrapolasi

seperti halnya dalam metode pengkonturan dengan metode krigging. Dari ke-2 lintasan

pengukuran tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi 2 (Gambar 8) yaitu:

1. Pengukuran Jalur Pundong

2. Pengukuran Jalur Imogiri

Pemodelan merupakan hal penting dalam analisis data gravitasi. Pemodelan dapat

memperkirakan konfigurasi benda penyebab anomali. Dari peta anomali Bouguer yang

memiliki pola kontur memanjang relatif dalam satu arah, benda anomalinya dapat didekati

dengan menggunakan pola kontur tersebut.

19
JALUR IMOGIRI U

JALUR PUNDONG

Gambar 8. Pengelompokkan lintasan pengukuran gravitasi dan elevasi titik


pengukuran dengan Natural Neighbour model

1. Pemodelan

Pemodelan di daerah penelitian merupakan jalur lintasan yang berada di Kecamatan

Imogiri dan Kecamatan Pundong (Gambar 9). Jalur Imogiri memotong sungai Opak di

sebelah utara daerah penelitian.

JALUR IMOGIRI

JALUR PUNDONG

Gambar 9. Peta Anomali Gravitasi dengan Natural Neighbor Model beserta


persebaran titik di Jalur Imogiri dan Pundong

20
JALUR IMOGIRI

JALUR PUNDONG

Gambar 10. Peta Anomali Gravitasi dengan Krigging Model Beserta Persebaran Titik, daerah
dengan batas kotak merah, : daerah pembelokkan kontur

Adanya pembelokkan kontur yang ada di jalur Imogiri. Pembelokkan kontur ini

mengidentifikasikan adanya struktur bawah permukaan berupa sesar yang ada di bawah

jalur Imogiri (Gambar 10).

Anomali nilai gravitasi tinggi berkisar antara 110 mgal 108 mgal dijumpai pada

jalur Pundong pada koordinat UTM (430000,9120500) sedangkan anomali nilai gravitasi

rendah kisaran antara 95 -100 mgal dijumpai pada jalur Imogiri pada koordinat UTM

(430000,9122500).

Sesar normal memberikan respon anomali nilai gravitasi tinggi di bagian yang

terangkat (hanging wall) dan memberikan respon anomali nilai gravitasi rendah di bagian

yang turun. Adanya struktur pembelokkan kontur menunjukkan batas blok batuan.

1.1 Pemodelan di Jalur Imogiri

Berdasarkan pada Gambar 5.12, memperlihatkan adanya pola liniasi medan anomali

gravitasi regional berarah timur laut barat daya dan nilai anomali cenderung mengecil ke

arah utara dan timur laut. Dari profil penampang di bawah (Gambar 11) terbaca adanya

sesar turun dengan pergeseran 100 175 meter. Sedangkan pada peta Anomali Gravitasi

21
(Gambar 7 dan 8) terdapat pembelokkan kontur sehingga dapat diintepretasikan adanya

struktur geologi yaitu sesar mendatar mengkiri.

Gambar 11. Penampang bawah permukaan Lintasan Imogiri

Berdasarkan Gambar 11, daerah penelitian di jalur Imogiri kondisi bawah

permukaannya diestimasi tersusun oleh tiga satuan batuan di mana satuan batuan dengan

warna merah yaitu batugamping merupakan basement batuan di daerah penelitian dengan

kedalaman mencapai 350 meter dan di atasnya diendapkan satuan batuan dengan warna

hijau yaitu breksi lapili dan paling atas merupakan satuan batuan paling muda dengan

warna kuning yaitu endapan. Nilai anomali gravitasi tinggi berupa tinggian dengan nilai

gravitasi sebesar 102 mgal dan nilai gravitasi sebesar 97 mgal pada penampang

merupakan daerah rendahan.

Daerah yang merupakan tinggian pada penampang di atas mengidentifikasikan adanya

blok batuan berupa hanging wall. Sedangkan daerah yang berupa rendahan

mengidentifikasikan adanya foot wall. Dengan adanya hanging wall dan foot wall

mengindikasikan adanya sesar yaitu sesar normal.

22
1.2 Pemodelan di Jalur Pundong

Berdasarkan penampang lintasan Pundong (Gambar 12), daerah yang merupakan

tinggian pada penampang di atas mengidentifikasikan adanya blok batuan berupa hanging

wall. Sedangkan daerah yang berupa rendahan mengidentifikasikan adanya foot wall.

Dengan adanya hanging wall dan foot wall mengindikasikan adanya sesar yaitu sesar

normal. Ada 2 sesar turun di jalur Pundong yang dapat diamati pergerakannya yaitu sesar

turun Kali Opak dan sesar turun Kali Oyo.

Sedangkan pada peta Anomali Gravitasi (Gambar 9 dan 10) tidak terdapat

pembelokkan kontur pada Jalur Pundong sehingga tidak diintepretasikan adanya struktur

geologi yaitu sesar mendatar ke kiri tetapi pada Peta Geologi (lampiran lepas 3)

diidentifikasi sebagai sesar turun dengan pergeseran sebesar 50- 100 meter.

SESAR KALI OYO

SESAR KALI OPAK

Gambar 12. Penampang bawah permukaan Lintasan Pundong

Daerah penelitian di jalur Pundong khususnya kondisi bawah permukaannya

diestimasi tersusun oleh tiga satuan batuan yang ditunjukkan dengan warna yang berbeda

untuk setiap satuan batuan. Satuan batuan dengan warna merah merupakan basement

batuan di daerah penelitian dengan satuan batugamping dengan kedalaman mencapai 750

meter dan di atasnya diendapkan satuan batuan dengan warna hijau, satuan batuan yang

23
diendapkan di atas batugamping diestimasi merupakan breksilapili dengan densitas 2.63

gr/cc dengan ketebalan 250 meter dan paling atas merupakan satuan batuan paling muda

dengan warna kuning yang diintepretasikan sebagai sedimen dengan densitas 2.7 gr/cc

dengan ketebalan satuan batuan 200 m. Nilai gravitasi tinggi atau daerah anomali gravitasi

tinggi adalah berupa tinggian dengan nilai gravitasi sebesar 117 mgal dan nilai anomali

gravitasi rendah sebesar 113 mgal pada penampang merupakan daerah rendahan.

KESIMPULAN

Dari hasil- hasil intepretasi dari peta anomaly gravitasi dan penampang di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa sesar Opak di daerah penelitian dijumpai adanya sesar turun

(normal fault). Hal ini menunjukkan bahwa Sesar Opak yang sekarang ini berupa sesar

turun walaupun mungkin dulunya berupa sesar geser mengkiri yang mengalami reaktivasi

kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S. 2003. Diktat Geologi Struktur (Tektonik) Indonesia. Kelompok Bidang


Keahlian Geologi Dinamis Jurusan Teknik Geologi. Bandung. Institut
Teknologi Bandung.
Bemmelen R.W.Van, 1949. The Geology of Indonesia. The Goge, Martinus Nijhoff,
vol.IA.
Dobrin, M.B.N Safid,1988, Introduction to Geophysical Prospecting Edisi IV. Mc
Grow Hillco, New York, San Fransisco.
Husein, S.dkk 2006. Aspek geologi Gempabumi Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Teknik Geologi, UGM

Nurwidyanto, Irham, M, Indriyana, Dwi, Rina, Zafris, Thaha, Zukhfuruddin, 2007.


Pemodelan Zona Sesar Opak di Daerah Pleret Bantul Yogyakarta Dengan
Metode Gravitasi. Jurnal Vol 10 No.1 April 2007 hal 65 70

24
Pandita, H, Pambudi,S, Winarti, 2008. Analisis Model Facies Formasi Sentolo dan
Formasi Wonosari sebagai Identifikasi Awal Dasar Cekungan Yogyakarta.
Laporan HIBER tahun 1. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Yogyakarta.(tidak dipublikasikan)

Pandita, H, Isnawan, D, Winarti, 2012. Identifikasi Awal Keberadaan Struktur Sesar


berarah Barat Laut- Tenggara ( NW-SE ) di wilayah Yogyakarta Bagian
Selatan. Prosiding Seminar ReTii ke-7 tahun 2012. Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional Yogyakarta.

Prihatmoko dkk. 2002, Potensi Jebakan Mineral di Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.IAGI 2002.UPN Veteran Yogyakarta.

Sampurno, Samudro ,1997. Peta Geologi Lembar Ponorogo skala 1:1000. Direktorat

P3G Bandung.

Sapiie Benyamin , Harsolumakso, Agus H, 2000. Sesar dan Mekanisme


pembentukannya. Bandung : Teknik Geologi, FIKTM ITB

Simandjuntak, T.O.2004. Tektonika. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan


Geologi

Supriyanto, 2007, Analisis Data Geofisika: Memahami Teori Inversi, Edisi 1,


Departemen Fisika-FMIPA, Universitas Indonesia, 2007.

Twiss, R. & Moore, E., 1992. Structural Geology, W.H. Freeman, New York. Unruh,
J.R., Twiss, R.J. & Hauksson, E., 1996. Seismogenic deformation ...

Wijaksono, Egie, 2008. Permodelan Tiga Dimensi (3D) Zona Sesar Opak Bantul,
Yogyakarta Berdasarkan Data Anomali Bouguer Lengkap. Jurnal hal 1-2

25

Anda mungkin juga menyukai