Disusun oleh :
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Katharina L Prastiwi G4A015007
A. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. D
b. Umur : 62 Tahun
c. Jenis kelamin : Wanita
d. Status : Janda
e. Suku bangsa : Jawa
f. Agama : Islam
g. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
h. Alamat : Keniten 1/4, Kedung Banteng
i. Tanggal Masuk : 16 Januari 2016 (IGD)
j. Autoanamnesis : 19 Januari 2016 (Bangsal Dahlia Kamar No. 4)
B. Anamnesis
D. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium 16 Januari 2016
b. Pemeriksaan Fisik :
1) KU : Baik
2) Status generalis : Dalam batas normal
c. Pemeriksaan Laboratorium :
1) Hiperglikemia
F. Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus tipe 2
Dispepsia
Tinea Pedis
G. Terapi
a. Non Farmakologis
1) Istirahat
2) Diet bergizi seimbang
3) Menghindari makanan yang terlalu banyak mengandung gula
4) Meningkatkan aktivitas fisik dan olahraga
5) Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi pencetus,
terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit.
b. Farmakologi
H. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam
Ad Sanastionam : Dubia ad malam
III. TINJAUAN PUSTAKA
2. Faktor risiko
Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, riwayat keluarga
dengan diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat
badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional
dan riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg.
Faktor risiko yang dapat diperbaiki seperti berat badan lebih (indeks
massa tubuh > 23kg/m2, kurang aktivitas fisik, hipertensi (>140/90
mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
dan diet tinggi gula rendah serat.
Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes seperti penderita
sindrom ovarium poli-kistik, atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan ressitensi insulin, sindrom metabolik, riwayat toleransi glukosa
terganggu/glukosa darah puasa terganggu dan riwayat penyakit
kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner jantung,
pembuluh darah arteri kaki) (Perkeni, 2011).
3. Patofisiologi
Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu
(Suyono, 2007) :
a. Resistensi insulin
Resistensi insulin terjadi karena adanya penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target
perifer (terutama pada otot dan hati. Resistensi terhadap insulin ini
merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang
normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang
dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi penurunan terhadap penggunaan
maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 % daripada orang normal.
Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan
penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan
pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi
terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran glukosa
hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose).
Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen terhadap insulin tidak
menurun pada diabetes melitus tipe 2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui.
Level kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot
menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan
defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai
peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik
dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan
intoleransi glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post
reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi
insulin. Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus
pada defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan
terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke
membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin
tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk
metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat
dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi.
Teori lain menyatakan terjadinya resistesi insulin pada penderita
diabetes melitus tipe 2 adalah karena obesitas. Obesitas dapat
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu
peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu penggunaan glukosa pada
jaringan otot, merangsang produksi dan gangguan fungsi sel pankreas.
b. Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes
melitus tipe 2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal,
resistensi insulin tidak akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini
mempunyai kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali
lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta
yang menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta
pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel
dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan menghambat
peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah
pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul
berisi insulin. Kemampuan transpor glukosa pada diabetes melitus tipe 2
sangat menurun, sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase
ke sistem transpor glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.
Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah
ketidakmampuan sel beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10
menit setelah pemberian glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase
akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin
pada diabetes melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan
orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin
tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi
relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari. Selain itu,
defek yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan
sekresi insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan
secara kontinyu dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan
periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini
dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan
produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan
pada penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin
yang berdenyut.
c. Produksi glukosa hati
Hati merupakan jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada
keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan
glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada
tingginya kadar glukosa darah puasa (GDP). Mekanisme gangguan
produksi glukosa hati belum sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan
kadar insulin portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan
lebih dari 50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil
yang demikian, penderita diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar
insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya
resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga
berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis akibat peningkatan asam
lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.
4. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis untuk diabetes melitus baik tipe 1 maupun 2
dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut (Perkeni,
2011) :
a. Gejala klasik DM (Poliuri, Polidipsi, Polifagi) ditambah dengan hasil
pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
b. Gula darah puasa > 126 mg/dl dengan adanya gejala klasik
c. Gula darah 2 jam post prandial > 200 mg/dl. Pemeriksaannya dilakukan
dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) di mana subjek diberikan 75
gr glukosa yang dilarutkan ke dalam 250 cc air lalu 2 jam kemudian
dilakukan pengecekan gula darah.
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset (umur) Biasanya < 30 tahun Biasanya > 30 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar Insulin Tak ada insulin Insulin normal atau
tinggi
Berat badan Biasanya kurus Biasanya gemuk atau
normal
Pengobatan Insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, tablet,
insulin
5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan DM yaitu :
Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan gejala DM.
Jangka panjang : mencegah penyulit DM baik mikroangiopati,
makroangiopati maupun retinopati.
Pengelolaan Diabetes Melitus dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan
obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi (Perkeni, 2011).
Penghambat Glukoneogenesis
Biguanides Glukoneogenesis Mual, anorexia, Metformin
diare, asidosis laktat
3. Penghambat
Glukosidase Alfa
Acarbose absorpsi glukosa di Kembung dan Acarbose
usus halus flatulens
2) Insulin
Indikasi pemberian insulin yaitu sebagai berikut (Perkeni, 2011):
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir
maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar,
IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Efek samping terapi insulin (Perkeni, 2011) :
- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin
Algoritma terapi Diabetes melitus tipe 2 adalah sebagai berikut :
KESIMPULAN
PDPI. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman, Diagnosis, dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI
Sudoyo, A.W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI