Anda di halaman 1dari 7

1

Nama : Sri Warsidah Rahmi


NIM : 1606848660
Mata Kuliah : Sejarah Sastra
Dosen Pengampuh : Dr. Joesana Tjahjani

Sastra Indonesia angkatan 2000

Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra


yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode)
memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain. Periodisasi Sastra
Indonesia.
Periodisasi sastra tidak terlepas kaitannya dengan penulisan sejarah sastra
Indonesia atau penulisan sejarah sastra Indonesia tak lepas dari pembicaraan masalah
angkatan dan periodesasi. Angkatan sastra haruslah dihubungkan dengan adanya
persamaan ciri-ciri intrinsik sekumpulan karya sastra yang dihasilkannya.
Ciri-ciri intrinsik karya sastra yang menjadi dasar penentuan adanya sebuah
angkatan, berupa ciri-ciri yang terdapat dalam karya sastra secara konkret. Meliputi
jenis sastranya (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur
karya sastra. Proses penjadian sebuah angkatan, sesungguhnya tidaklah lahir lewat
desakan banyak pihak, melainkan melalui gagasan kolektif sastrawannya sendiri
untuk lepas dari kejenuhan kultural. Ada persoalan kultural yang mengganjal yang
terjadi pada zamannya dan itu sangat menggelisahkan.Oleh karena itu, perlu ada
pemberontakan kultural.Inilah alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Lalu dengan
alasan itu, ada harapan-harapan untuk lepas dari ganjalan itu dan sekalian
menawarkan sesuatu yang mungkin dapat mencairkan persoalan kultural itu.
Dalam menetapkan periodisasi sastra Indonesia, terjadi perdebatan antara Ajib
Rosidi dan Jakob Sumardjo. Menurut Ajib, periodisasi sastra dibagi berdasarkan
pertama, Masa kelahiran mencakup kurun waktu 1900-1945 terdiri dari; Periode awal
2

hingga 1933 warna yang menonjol adalah persoalan adat yang mengalami akulturasi
yang menimbulkan masalah kelangsungan eksistensi masing-masing daerah, periode
1933-1943 diwarnai dengan pencarian tempat di tengah pertarungan antara kebudaya
Timur dan Barat dengan pandangan romantic- Idealis dan periode 1942-1945 masa
dimana Jepang sedang berkuasa yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan dan
peralihan. Kedua, Masa Perkembangan dalam kurun waktu 1945-1968 yang dibagi
menjadi beberapa periode yaitu, Periode 1945-1953 tampak warna perjuangan dan
pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia, 2. Periode 1953-1961, pada periode ini
warna yang menonjol adalah pencarian identitas diri sekaligus penilaian kembali
terhadap warisan leluhur, dan 3. Periode 1961-1968 yang tampak menonjol adalah
warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat.
Sedangkan menurut Jakob Sumardjo periodisasi sejarah kesusastraan
Indonesia didasarkan pada nama badan penerbitan yang telah menyebarluaskan karya
para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga Baru, Majalah
Kisah dan majalah Horion. Angkatan 66 kemudian dicetuskan oleh H.B Jasin yang
merujuk pada gerakan politik Indonesia pada tahun 1966. Setelah
mempertimbangkan pendapat Ajib Rosisi dan Jakob Sumardjo, muncullah tawaran
Rachmat Djoko Pradopo mengenai Periodisasi sejarah Indonesia meliputi; Periode
Balai Pustaka: 1920-1940, Periode Pujangga Baru: 1930-1945, Periode Angkatan 45:
1940-1955, Periode Angkatan 50: 1950-1970 dan Periode Angkatan 70 : 1965-1984.
Setelah meninjau pakar di atas, periodisasi sejarah sastra dapat disimpulkan menjadi:
Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga baru, Angkatan 45, Angkatan 50-an,
Angkatan 60-an, Angkatan 70-an. Lalu muncul wacana Angkatan Reformasi dan
Angkatan 2000 yang juga disebut dengan Sastra Modern.
Perkembangan sastra di Indonesia yang sampai pada angkatan 2000an lahir
sebagai peralihan dari angkatan reformasi sebelumnya. Sastrawan angkatan
Reformasi dilatarbelakangi oleh terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari
Soeharto ke BJ Habibie kemudian K.H. Abdurrahman Wahid lalu ke Megawati.
Angkatan ini lahir ditandai dengan munculnya karya-karya sastra seperti puisi, cerpen
3

dan novel yang merefleksikan keadaan sosial dan politik akhir tahun 1990an.
Reformasi politk pada tahun 1998 memicu para penyair penyair yang sebelumnya
tidak menyentuh tema sosial dan politik seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun
Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, turut meramaikan
dengan sajak-sajak sosial politik. Saat itu, selama berbulan- bulan sajak-sajak berisi
peduli bangsa dan sajak-sajak reformasi mendominasi di rubrik sastra harian
Republika. Berbagai pementasan, pembacaan sajak dan penerbitan puisi diwarnai
dengan tema soial politik.
Wacana sastrawan angkatan reformasi tidak berhasil dikukuhkan akibat tidak
memiliki juru bicara sehingga pada tahun 2002, Korrie Layun Rampan membuat
wacana tentang lahirnya Sastrawan angkatan 2000. Ia menyusun sebuah buku yang
berisi seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra yang
kemudian diterbitkan oleh Gramedia. Dalam buku tersebut, Korrie juga memasukkan
penyair, cerpenis, novelis dan kritikus sastra yang sudah menulis sejak angkatan
1980an seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma,
serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa
Herliany.
Karya sastra mengikuti perkembangan zaman. Sastra berjalan beriringan
dengan waktu dan menjadi representasi kondisi sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Ia hadir sebagai refleksi sosial disetiap zamannya. Sastra angkatan 2000
yang juga sering disebut dengan sastra mutakhir memasuki era kebebasan untuk
berekspresi. Media massa memberikan ruang kebebasan bagi para sastrawan untuk
menyapa para pembacaranya. Di angkatan ini karya-karaya yang bermunculan,
memilki ciri-ciri seperti; 1) Temanya masih tentang sosial, politik, dan juga
romantik, 2) Pilihan kata merupakan bahasa yang dipakai sehari-hari, 3) Bebas
aturan, cenderung ke puisi yang kongkret, 4) penggunaan estetika, 5) karya-karya
profetik; bersifat keagamaan atau religius, 5) kritik terhadap keadaan sosial yang
lebih keras.
Sastrawan angkatan 2000an yang memiliki ruang kebebasan untuk berekpresi
telah melahirkan keragaman genre dalam karya sastra. Beberapa diantaranya yaitu
4

karya sastra yang berisikan motivasi, berhasil dibuat booming oleh Andrea Hirata,
karya sastra yang bersifat religius merujuk kepada karya Habiburrahman, dan Djenar
Maesa Ayu hadir dalam karyanya mengangkat seksualitas, dan beberapa penulis lain
yang memiliki kekhasan masing-masing.
Andrea Hirata, seorang novelis yang berasal dari Bangka Belitung telah
menulis beberapa novel seperti Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006),
Edensor (2007), Maryamah Karpov (2008), Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
(2010), Sebelas Patriot (2011) dan Ayah (2015). Andrea Hirata juga pernah menulis
bebrapa puisi yang ia cantumkan dalam novelnya. Dalam novelnya Andrea
mengambil cerita di masa kecil yang sangat inspiratif.
Habiburrahm El-Shirazy, juga merupakan novelis yang karyanya berisifat
religius. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan yaitu; Ayat-Ayat Cinta (2004), Di
Atas Sajadah Cinta (2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona
Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007),
Dalam Mihrab Cinta (2007), Bumi Cinta (2010). Karya Habiburrahman sangat
inspiratif dan dinilai mampu menumbuhkan religiusitas pembaca.
Djenar Maesa Ayu, seorang cerpenis yang karyanya telah diterbitkan di
beberapa media massa Indonesia seperti kompas, Majalah Cosmopolitan, Lampung
Post, dan Majalah Djakarta. Karya cenderung propokatif, unik dan berani. Karena
keberaniannya dalam menulis karyanya, ia digolongkan sebagai salah satu sastra
wangi (mengangkat seksualitas).
Gambaran sastrawan tersebut diatas menjadi pembuktian munculnya banyak
genre yang hadir dalam sastra angkatan 2000 ini. Setiap sastrawan bebas memilih
tema, membuat karakter, atau bahkan menyinggung realitas sosial, karena sebuah
karya sastra tidak akan lepas dari perkembangan budaya dan kondisi sosial yang ada
dalam masyarakat. Beberapa jenis sastra yang berkembang diangkatan 2000an
adalah: Sastra Wangi dan Sastra Religius dan Sastra Pop.

Sastra Wangi, Sebutan yang ditujukan pada karya sastra indonesia karya
yang ditulis oleh perempuan. Karya sastra ini mengusung tema seks yang menjadi
media bagi para penulisnya untuk menyampaikan ideologi dan cara pandang feminis.
5

Karya sastra ini menjadi kontroversi karena menurut Taufiq Ismail karya ini
seringkali melewati batas mengumbar tema seksualitas. Yang menjadi dasar ideologi
karya ini adalah menyuarakan terhadap dominasi maskulin. Djenar Maesa Ayu
sebagai salah satu penulis sastra wangi menganggap menulis karya sastra wangi
adalah bentuk kejujurannya terhadap diri sendiri, yaitu apa ia alami, yang ia rasakan.
Kontroversi karya sastra wangi menjadi bentuk reaksi masyarakat khususnya
pembaca melihat tema seksualitas sebagai hal yang masih tabu. Karya sastra ini
dianggap menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang
seringkali memperlihatkan kekerasan dan mengundang nafsu duniawi.
Menggunanakan tokoh perempuan sebagai karakter utama dan berada dibawah
dominasi atau kekuasaan laki-laki, membuat pembaca akan melihat konflik dari sudut
pandang kebathinan perempuan. Meskipun menuai pro dan kontra, sastra wangi
dianggap mengungkap perlakuan laki-laki terhadap perempuan dan cara pandang
perempuan dalam menghadapi hidup.
Selain nama Djenar Maesa Ayu, dan Ayu Utami, Nama Dee atau Dewi Lestari
dalam Supernova turut meramaikan Sastra wangi dalam karyanya Ksatria, Putri dan
Bintang Jatuh.
Sastra Religius, Sastra jenis ini hadir sebagai karya yang mengandung ajaran
agama dengan tujuan dapat diteladani oleh para pembaca. Sastra dalam hal ini
menjadi media pembelajaran dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas terhadap
masayarakat. Ditinjau dari motif pengarang, sastra religius menjadi media pengarang
dalam berdakwah, mendekatkan pembaca kepada sang pencipta. Biasanya, tokoh
yang dihadirkan dalam karya sastra religius adalah karakter yang menitikberatkan
kehidupan beragama dan pemecahan masalah atau konflik berdasarkan ajaran agama.
Contoh novel yang bergenre religi adalah karya Habiburrahman El Shirazy
dan Taufiqurrahman Al Azizy. Habiburrahman menghadirkan tokoh Fahri dalam
kesederhanaannya yang memegang teguh ajaran islam. Fahri kemudian dihadapkan
pada konflik yang mengharuskannya berpoligami. Sesuai dengan label novel religius
dalam hal ini islami, tokoh Fahri dijadikan contoh untuk menyelesaikan masalah yang
6

di hadapinya berdasarkan agama. Novel ini sukses dengan label religius yang
diharapkan mampu diteladani oleh masyarakat khususnya seorang muslim.

Sastra Pop, Sastra jenis ini bertujuan sebagai hiburan bagi pembacanya
karena cenderung mudah dipahami dan menggunakan bahasa sehari-hari yang sangat
berbeda dengan sastra serius. Sastra yang serius dipandang sebagai karya sastra
sebagai media yang menyediakan wawasan terhadap pembaca, sehinggap karya
tersebut dikatakan sebagai karya yang berkualitas. Sementara dalam Sastra Populer
atau sastra Pop konflik-konflik yang dihadirkan tidak jauh dari kehidupan masyarakat
sehari-hari. Misalnya, putus cinta, persahabatan bahkan hal-hal kecil yang kita jumpai
sehari-hari yang dianggap populer. Biasanya digemari oleh remaja berbentuk teenlit.
Penulis karya sastra pop biasanya mengabaikan bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Sehingga dari segi bahasa, Sastra Pop dianggap kurang sastra karena mengabaikan
estetika bahasa.

Salah satu contoh Sastra populer adalah karya Raditya Dika yang membawa
warna komedi ke dalam novel. Radit dalam Koala Kumal menulis tentang kehidupan
seorang lelaki yang tengah mempersiapkan pernikahannya dengan seorang wanita
yang selingkuh dengan lelaki yang lebih tampan dan keren dari tokoh utama. Setelah
ditinggal pergi oleh calon istri, tokoh utama bertemu dengan seorang perempuan yang
menawarkan diri untuk membantu melupakan sang mantan kekasih. Di akhir cerita,
tokoh utama dan perempuan tersebut kemudian saling memahami satu sama lain.
Ciri-ciri karya yang telah dihasilkan oleh Radit adalah bahasa yang mudah dipahami,
ceritanya cenderung banyak dialami oleh banyak orang, menggunakan kisah
pengarang sendiri, alur dan konflik disajikan dengan cara yang mudah dipahami dan
tentu saja dikemas dalam bentuk drama komedi.

Perkembangan sastra di Indonesia sepertinya mengalami permasalahannya


sendiri tersendiri. Terkadang periode kesusasteraan sulit sekali ditentukan dimana
sebuah periode itu dimulai. Secara teori sejarah kesusasteraan di Indonesia ini masih
7

tergolong muda usia, belum sampai berumur satu abad, karenanya masih banyak
bagian-bagian yang perlu terus dipelajari. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu bentuk
kajian yang diharapkan mampu menarik dan menghidupkan sastra di Indonesia.
Sastra Indonesia reformasi merupakan contoh kecil dari sejarah kesusasteraan
Indonesia yang masih muda ini. Perlu di ketahui bahwa dengan mempelajari sastra
berarti secara tidak langsung juga kita mempelajari sejarah yang membentuk sastra
itu sendiri.

Setelah melakukan beberapa pendekatan yang disarankan, penulis dapat


menarik suatu kesimpulan bahwa perkembangan sastra Indonesia reformasi telah
sampai pada hakikatnya, yaitu bebas berekspresi. Reformasi telah menghantarkan
sastra Indonesia ini pada bentuk yang baru, bentuk yang lebih radikal dan transparan.
Sebagai contoh adalah cerpen, yang dalam perkembangannya sebelum reformasi
tidak pernah mendapat tempat tertinggi dalam kesusasteraan Indonesia, yang dahulu
tidak pernah dianggap sebagai bagian dari karya sastra. Sastra reformasi ternyata
mampu mengangkat cerpen sebagai karya sastra yang paling diminati dan cepat
berkembang.

Sumber :

http://satugoresanpena.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-awal-mula-dan-
periodisasi.html.

http://yuliasanggraeni.blogspot.co.id/2014/05/sastra-modern-angkatan-
2000.html.

Anda mungkin juga menyukai