Disusun oleh :
Farissa Utami
G4A015117
Pembimbing :
dr. Dhian Endarwati, Sp. A.
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Farissa Utami
G4A015117
Mengetahui,
Pembimbing
1
BAB I
PENDAHULUAN
rinitis alergi dan asma. Penyakit alergi merupakan hasil dari interaksi antara faktor
predisposisi genetik atopi dengan alergen lingkungan, infeksi dan polutan. Faktor
tampilan penyakit alergi berubah menurut umur. Asma dan rinitis alergi
merupakan penyakit alergi yang saat ini masih menjadi problem kesehatan karena
memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi anak di seluruh dunia.3 Pada
fase 3 dari studi yang dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
tanda berulang yang bersifat objektif dan diawali oleh pajanan tehadap suatu
stimulus tertentu pada dosis yang dapat ditoleransi individu normal (WHO,
2002).
terjadi pada mukosa saluran napas bagian atas, sementara asma mulai dari
bronkus saluran napas bawah. Rhinitis Alergi ditandai dengan gejala klasik
wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan
B. EPIDEMIOLOGI
3
Penelitian di Hongkong menyebutkan bahwa prevalensi dermatitis
atopik pada anak 13-14 tahun sebanyak 3,3% dan anak usia 6-7 tahun sekitar
dibandingkan 1992-1998 sebanyak >20% pada anak usia 6-7 tahun dan 25%
berdasarkan kuesioner ISAAC yaitu usia 6-7 tahun adalah 17% dan usia 13-
anak sekolah dasar usia 6-7 tahun didapatkan jumlah kasus alergi berturut-
turut meliputi asma sebanyak 8,2% rinitis alergika sebanyak 11,5% dan
4
C. FAKTOR RISIKO
Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa
faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada
bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola
diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui,
bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya
hewan peliharaan.
Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria
adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan
5
kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan
(Harsono, 2005).
pasca natal
hamil, dan ibu perokok. Sitokin intra uteri membantu perkembangan janin
tersebut menggambarkan pola respons Th-1 (IL-2, IFN-, IL12), dan Th-2
(IL-4, IL-5, IL-13) yang saling mempengaruhi dan bekerja dalam satu
perkembangan alergi.
pada fetus.
6
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rinitis alergi dan non artritis
alergi sebagai faktor-faktor risiko untuk asma yang baru dan asma persisten.
Dalam penelitian kohort dari 690 individual selama 23 tahun, diamati bahwa
insidensi asma terjadi pada 10,5% subjek penelitian dengan rinitis dan 3,6%
pada subjek tanpa rinitis. Sehingga, asma berkembang tiga kali lipat pada
pasien rinitis jika dibandingkan dengan pasien tanpa rinitis (Bianchi, 2016).
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Asma berdasarkan Kekerapaan Kambuh (UKK Respirologi,
2015):
7
Ringan Sedang dengan Ancaman
Henti Napas
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk
E. PATOFISIOLOGI
mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator
kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap
alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast.
8
Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat
pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal
terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan
dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar
vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan
9
permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan
secara lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast
yang juga akan menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar
berbagai rute diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika
masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting Cells
(Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-
Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat
sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B
menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada
reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami
gejala klinis.
10
Beberapa kemungkinan mekanisme penyebab yang dapat
melalui refleks saraf akibat iritasi atau stimulasi ganglion hidung. Sinusitis
Iritan saluran napas dapat mengaktivasi refleks yang berasal dari faring dan
Sekret post nasal yang terdapat pada sinusitis dan rinitis mengandung
11
Percobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sekresi dari belakang
hidung membawa sitokin dan mediator dari nasofaring ke jalan napas bawah
akan melibatkan saluran napas atas dan bawah (Bianchi et al., 2016).
Saluran napas atas dan bawah memiliki unit morfologi dan fungsional
yang sama, dan hubungannya telah diteliti beberapa tahun. Hidung terletak di
pintu awal saluran nafas dan melindungi saluran nafas bawah dari efek
12
berbahaya dari udara yang terhirup berperan sebagai pelembab udara yang
sehingga udara bersih yang tersaturasi dengan air menguap pada temperatur
paru. Namun, fungsi saluran nafas atas dan interaksinya dengan saluran nafas
Hidung dan bronkus memiliki struktur yang sama, yaitu epitel bersilia,
membran basal, lamina propria, kalenjar, dan sel-sel goblet, sehingga disebut
united airway. Namun, ada juga perbedaan dari saluran napas atas dan bawah.
Mukosa nasal, yang terikat ke tulang, kaya akan pembuluh darah, sementara
mukosa bronkus, yang berdekatan dengan kartilago, kaya akan sel otot polos.
Sehingga, penyebab utama obstruksi jalan napas, khususnya fase awal respon
alergi, berbeda: obstruksi saluran napas atas disebaban oleh vasodilatasi dan
otot polos.
13
tanpa gejala. Dengan meningkatnya ekspresi ICAM-I maka kemungkinan
infeksi saluran napas atas oleh rhinovirus akan lebih sering karena ICAM-I
F. MANIFESTASI KLINIS
bukti objektif yang perlu untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada
anak. Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang
dan sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan
berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain itu harus dipikirkan
pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi terhadap
berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik
dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini
hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus (UKK Respirologi, 2015).
kebanyakan gejala awal sudah ditemukan pada masa bayi, berupa mengi
berulang atau tanpa batuk yang berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan
14
antara mengi semasa bayi dengan kejadian asma pada masa kehidupan
hanya sebagian kecil saja (3-10%) dari kelompok bayi mengi yang
klinis menjadi asma bronkial. Infeksi virus semasa bayi yang menimbulkan
mengi untuk menjadi asma sangat ditentukan oleh faktor genetik atopi.
Sebagian besar bayi tersebut jelas mempunyai riwayat keluarga atopi serta
Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini sebagai
status sensitisasi terhadap alergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu
tersensitisasi, dan hal ini merupakan faktor risiko terjadinya asma. Sejalan
dengan hal itu maka banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik
terhadap berbagai alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk
sari bunga) pada bayi merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya
asma.
15
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis Asma pada anak > 5 tahun (UKK Respirologi, 2015):
Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk , sesak napas, Biasanya lebih dari 1 gejala
dada tertekan, produksi sputum respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
Gejala memberat pada malam
atau dini hari
Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai
respiratori prediksi)
FEV1 / FVC 90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 >12%
(pascabronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian >13%
Uji Provokasi Penurunan FEV1 >20%, atau
PEFR >15
Kriteria Diagnosis Asma pada anak < 5 tahun (UKK Respirologi, 2015):
H. PENATALAKSANAAN
Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan
16
steroid, anti histamin, steroid, teofilin atau epinefrin. Sedangkan
diberikan suntikan berulang dari alergen untuk mengurangi IgE pada sel mast
Respirologi, 2015):
diberi bronkodilator
b. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing berulang,
terapi selanjutnya:
17
o Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat,
bila tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet.
c. Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan
diterangkan di bawah.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-
lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila
aminofilin IV.
g. Oksigen
h. Bronkodilator kerja-cepat
18
alat spacer, atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang
diterangkan di bawah.
1) Salbutamol Nebulisasi
jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak
Asma Anak. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik jika
liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak
19
ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan
4) Bronkodilator Oral
5) Steroid
6) Aminofilin
kejang.
20
Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa
menjadi alternatif.
7) Antibiotik
2. Rinitis Alergi
Berikut ini merupakan alur tatalaksana rinitis alergi (ARIA, 2007):
a. Antihistamin
Antihistamin generasi kedua merupakan pilihan utama. Pada dosis
ARIA:
21
Pendidikan dan penjelasan tentang asma pada pasien dan keluarga
serangan akut, pemakaian obat dengan benar, serta hal lain yang semuanyafd
22
bertujuan untuk meminimalkan morbiditas fisis dan psikis serta mencegah
disabilitas.
I. PENCEGAHAN
Pencegahan alergi merupakan upaya pencegahan manifestasi alergi,
penyakit atopik dalam keluarga seperti dermatitis atopik, asma, dan atau
memiliki sensitifitas 61% dan spesifisitas 83%. Kartu deteksi dini UKK
Alergi Imunologi IDAI memuat nilai risiko keluarga pada ayah, ibu dan
menentukan risiko alergi pada anak. Hal ini drekomendasikan oleh IDAI
tahun 2015.
2. Nutrisi ibu selama hamil dan menyusui
Restriksi diet pada ibu hamil dan menyusui untuk mencegah
mencegah terjadinya penyakit alergi pada anak belum cukup bukti untuk
direkomendasikan
4. Nutrisi Bayi
a. ASI
ASI memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan ibu dan
23
psikologis pada ibu dan bayi. Namun demikian, penelitian
ASI kaya akan berbagai macam sel dalam system imun yang
system imun. ASI juga kaya akan sitokin tolerogenik seperti IL-10
24
b. Formula hidrolisat dan parsial
Formula hidrolisat ekstensif/extensively hydrolyzed formula
(eHF) adalah formula bayi berbahan dasar susu sapi dengan protein
dengan berat molekul lebih dari 1500D masih terdapat pada formula
adalah formula bayi berbahan dasar susu sapi dengan protein yang
sudah didegradasi namun tidak secara ekstensif dan pada formula ini
terdapat lebih dari 15% peptide dengan berat molekul lebih dari
sama dengan formula susu sapi, sehingga formula susu kedelai tidak
25
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang memiliki
pada bayi. Flora fecal telah ditemukan berbeda diantara bayi yang
26
berpotensi menjadi alergen akan meningkatkan risiko alergi terhadap
makanan tersebut
Makanan padat dapat mulai diberikan pada anak usia 4 6
c. Hewan peliharaan
J. PROGNOSIS
27
Bila ditangani dengan baik maka pasien asma dan rinitis alergi dapat
fungsi respirasi normal pada usia dewasa kelak walaupun tetap menunjukkan
28
BAB III
KESIMPULAN
alergi merupakan suatu penyakit alergi pada saluran napas atas, sedangkan
29
DAFTAR PUSTAKA
Adkinson Jr et al. 2009. Middletons Allergy principles and practice 7th edition.
Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). 2007. ARIA At-A-Glance
Pocket Reference 1st Edition.
Bertelsen, R.J., Brantseter, A.L., Magnus, M.C., Margaretha H., Myher, R.,
Jacbson, Bo., et al. 2014. Probiotic milk consumption in pregnancy and
infancy and subsequent childhood allergic disease. J Allergy Clin
Immunol; 133: 165-171.
Bianchi, P.G., Aun, M.V., Takejima, P., Kalil, J., Agondi, R.C. 2016. United
airway disease: current perspectives. Journal of Asthma and Allergy, 9:
93100.
Ehlayel MS, Bener A. 2008. Duration of breastfeeding and the risk of childhood
allergyin developing country. Allergy Asthma Proc 29:386 391.
Gonzalez-Barcalaa, F.J., Pertegab, S., Sampedroc, M., Lastresd, J.S., Gonzalezc,
MASJ., Bamondec, L et al. 2013. Impact of parental smoking on
childhood asthma. J Pediatr (Rio J). 89:294-299.
Grimshaw, K. 2012. Food allergy prevention. Current Allergy & Clinical
Immunology.25:1;18-23
Johansson, S.G.O., Haahtela, T. 2004. WAO guideline for prevention of allergy
and allergic asthma. Allergy Clin Immunol Int J World Allergy;16:176
185
Mann RD, Pearce GL, Dunn N, Shakir S. 2000. Sedation with nonsedating
antihistamines: four prescription-event monitoring studies in general
practice. BMJ; 320: 84-1187
Matheson MC, AllenKJ, Tang MLK. 2012. Understanding the evidence for and
against the role of breastfeeding in allergy prevention.Clinical &
Experimental Allergy (42): 827851.
Osborn, D.A., Sinn, J.K.H. 2009. Soy formula for prevention of allergy and food
intolerance in infant (review). the Cochrane Collaboration.
Paramita, O.D. 2011. Hubungan Asma, Rinitis Alergik, Dermatitis Atopik dengan
IgE Spesifik pada Anak Usia 6-7 tahun. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Pelucchi, C., Chatenoud L., Turati, F., Galcone C., Moja L., Bach J,F., et al. 2012.
Probioctics supplementation during pregnancy or infancy for the
prevention of atopic dermatitis: a meta-analysisis. Epidemiology; 23:
402-414.
30
Rubino A, Capano G, De Curtis M, Guarino A, Pisacane A. 1995. Advances in
infant nutrition. Ann 1st super sanita;3:407.
Tanaka K, Miyake Y, Arakawa M, Sasaki S, Ohya Y. 2007. Prevalence of Asthma
and Wheeze in Relation to Passive Smoking in Japanese Children . Ann
Epidemiol;17:10041010.
Tanaka K, Miyake Y, Sasaki S. 2010. Association between Breastfeeding and
Allergic Disorders In Japanese Children. Int J Tuberc Lung Dis;14:513
518.
UKK Alergi Imunologi. 2015. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Pencegahan Primer Alergi. IDAI.
UKK Respirologi. 2015. Pedoman Nasional Asma Anak Edisi ke-2. IDAI.
WHO/WAO meeting on prevention of allergy and allergic asthma, Geneva 2002
31