PENDAHULUAN
1
berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. Faktor resiko untuk terkena
infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor
demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan
kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral. 2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Definisi
Toxoplasmosis cerebri merupakan suatu infeksi yang mengenai jaringan otak dan
disebabkan oleh protozoa yaitu toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii ini mempunyai
host definitive pada kucing. Penularan ke manusia dapat melalui kontak langsung dengan
feses kucing atau kista yang tertelan bersama makanan yang tidak dimasak dengan baik.
Seringkali infeksi toxoplasma ini karena reaktivasi dari penyakit yang telah ada
sebelumnya.3
Infeksi ini jarang mengenai penderita yang sehat. Pada umumnya yang terkena
penyakit ini adalah penderita dengan penurunan kekebalan. Dengan makin meningkatnya
jumlah penderita HIV/AIDS, maka jumlah kasus toxoplasma cerebri ini juga semakin
meningkat.3
II. 2 Etiologi
3
II. 3 Epidemiologi
5
Gambar 1
Daur hidup Toxoplasma gondii
II. 5 Patofisiologi
6
yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in
vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini
memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan
dengan infeksi HIV. Toxoplasmosis cerebri biasanya terjadi pada penderita yang
terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Toxoplasmosis cerebri ditandai dengan
onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal
(69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75%
kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam
pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.10
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan
bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan
sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi
neuropsikiatri.10
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4<
200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi 10
G
ambar 2 Hubungan infeksi opportunistic dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV
7
II. 6 Patogenesa dan manifestasi klinis pada manusia
Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel yang berinti sehingga dapat
menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel darah merah. Bila terjadi
invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka parasit ini akan memasuki sel hospes
ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang selamat dari proses fagositosis akan
memasuki sel, berkembangbiak yang selanjutnya akan menyebabkan sel hospes menjadi
pecah dan parasit akan keluar serta menyerang sel - sel lain. Dengan adanya parasit ini di
dalam sel makrofag atau sel limfosit maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke
seluruh bagian tubuh menjadi lebih mudah terjadi. Parasitemia ini dapat berlangsung
selama beberapa minggu.6
Kista jaringan akan terbentuk apabila telah ada kekebalan tubuh hospes terhadap
parasit ini. Kista jaringan dapat ditemukan di berbagai organ dan jaringan dan dapat
menjadi laten seumur hidup penderita. Derajad kerusakan yang terjadi pada jaringan
tubuh tergantung pada umur penderita , virulensi strain parasit ini, jumlah parasit ini dan
jenis organ yang diserang.6
Lesi pada susunan saraf pusat dan pada mata biasanya bermanifestasi lebih berat
dan bersifat permanent sebab jaringan jaringan tersebut tidak mempunyai kemampuan
untuk melakukan regenerasi. Kelainan kelainan pada Susunan Saraf Pusat umumnya
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi sedangkan terjadinya penyumbatan
aquaductus sylvii akibat ependymitis dapat mengakibatkan kelainan berupa
hydrocephalus pada bayi. Infeksi yang bersifat akut pada retina akan mengakibatkan
reaksi peradangan fokal dengan oedema dan infiltrasi leucocyte yang dapat menyebabkan
kerusakan total pada mata serta pada proses penyembuhannya akan terjadi cicatrix.
Akibat dari pembentukan cicatrix ini maka akan dapat terjadi atrophi retina dan coroid
disertai pigmentasi.6
Pada toxoplasmosis aquisita , infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui
sebab jarang menimbulkan gejala , tetapi bila infeksi primer terjadi pada masa kehamilan
maka akan terjadi toxoplasmosis congenital pada bayinya. Manifestasi klinis yang paling
sering terjadi pada toxoplasmosis aquisita adalah limfadenopati, rasa lelah, demam dan
8
sakit kepala dan gejala ini mirip dengan mononucleosis infeksiosa, kadang kadang
dapat terjadi eksantema.6
Toxoplasmosis sistemik pada penderita dengan imunitas yang normal dapat
bermanifestasi dalam bentuk hepatitis, pericarditis dan meningoencephalitis. Penyakit
ini dapat berakibat fatal walaupun itu sangat jarang terjadi. Pada penderita dengan
keadaan immunocompromised misalnya pada penderita HIV AIDS atau pada orang
orang yang mengkonsumsi imunosupresan, infeksi oleh parasit ini mungkin dapat
meluas yang ditandai dengan ditemukannya proliferasi tachizoite di jaringan otak, mata,
paru, hepar, jantung dan organ organ lainnya sehingga dapat berakibat fatal. Apabila
infeksi oleh parasit ini tidak diobati dengan baik dan penderita masih tetap hidup, maka
penyakit ini akan memasuki fase kronik yang ditandai dengan terbentuknya kista jaringan
yang berisi bradizoite dan ini terutama didapatkan di jaringan otak serta kadang kadang
tidak memberikan gejala klinik yang jelas. Fase kronik ini dapat berlangsung lama
selama bertahun- tahun bahkan dapat berlangsung seumur hidup.8
Gejala termasuk toxoplasmosis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntahdan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan
rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan
terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini
hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-
penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala
fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan
penurunan kesadaran.
II. 8 Diagnosa
9
1 Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.3
4 CT scan
10
Gambar 3 CT-scan kontras pada pasien dengan toksoplasmosis cerebri
5 Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
II. 9 Penatalaksanaan
Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis akut pada pasien dengan HIV adalah
pirimetamin, sulfadiazine dan kotrimoksazol. Sebagai kombinasi dapat menyebabkan
11
penghambatan jalur sintesis enzim pada asam folat. Leucovorin harus ditambahkan untuk
menghindari komplikasi hematologi. Kombinasi pirimetamin, sulfadiazin, dan leucovorin
adalah rejimen awal yang direkomendasikan. Pirimetamin dimulai dengan cara oral
dengan dosis 100-200 mg sehari, diikuti dengan dosis yang lebih rendah, sulfadiazin
diberikan secara oral empat kali sehari pada dosis 4-8 g/hari. Klindamisin atau TMP-
SMX dapat digunakan jika sulfadiazin tidak tersedia. Menurut literatur lain, pengobatan
utama untuk toksoplasmosis terdiri dari pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folinat.
Pirimetamin diberikan 25 mg sehari (dosis awal 75 mg sehari selama 2 hari), sulfadiazin
500 mg setiap 6 jam (dosis awal 4 g sehari selama 2 hari), dan 5 mg asam folinat setiap
hari selama 6 minggu.11
II. Pencegahan
Non farmakologi
12
serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara
menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan. Jadi
makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar masak (pada suhu 74-77
derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buah-
buahan dan sayur-sayuran harus dicuci bersih.
Farmakologi
II. 11 Prognosis
13
BAB III
PENUTUP
14
toxoplasma, sebaiknya terus memakai obat antitokso untuk mencegah penyakit dari
kekambuhan. Infeksi opportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV-AIDS. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, toxoplasmosis cerebri dapat
diobati secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Suroto, Soedomo A, Addinar I, Budianto P. Neurology update dalam PIN 2014 Solo.
UNS Press: Solo; 2014.h.123-37.
2. Gandahusada, S. 1991. Study on the prevalence of Toxoplasmosis in Indonesia. A
Review. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine Public Health,1991 ; 22:93-98.
3. Machfoed M.H, Hamdan M, Machiri A, Wardah. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Syaraf.
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. Hal 171
4. Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th edition. Prentice-Hall
5. Levine DN. 1994. Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press. Hal.75-78.
6. Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang. EGC. Hal. 233 247
7. Gandahusada S dkk. 2004. Parasitologi Kedokteran. Ed 3. hal 153-161.
8. Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi. 7th edition. W.B. Saunders Company. pp.
160-170.
9. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
2001.
10. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and Acquired
Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003. H :955 -89.
11. Soheilian, M., Ramezani, A., Azimzadeh, A., Sadoughi, M.M., Dehghan, M.H.,
Shahghadami, R., Yaseri, M., Peyman, G.A., 2011. Randomized Trial of Intravitreal
Clindamycin and Dexamethasone Versus Pyrimethamin, Sulfadiazin, and Prednisolon in
Treatment of Ocular Toxoplasmosis. American Academy of Ophthalmology, Vol.118,
p.134-141
12. Faucher, B., Moreau, J., Zaegel, O., Franck, J., Piarroux, R., 2015. Failure of
Conventional Treatment With Pyrimethamine and Sulfadiazin for Secondary Prophylaxis
of Cerebral Toxoplasmosis in A Patient With AIDS, http://jac.oxfordjournals.org/, 16
Oktober 2015
16