TAHUN 2013
PADA TANGGAL :
- 2-
- 3-
MASALAH pekerja anak (child labour) bukan hanya masalah sosial di Indonesia namun
telah menjadi isu dan agenda global bangsa-bangsa di dunia. Di Indonesia diperkirakan
jumlah anak-anak yang aktif secara ekonomi sebagai pekerja anak mencapai 7 juta orang
(Irwanto, 2000). Bahkan ada yang memperkirakan lebih besar lagi yaitu mencapai 12 juta
jiwa (Progresia, 2001). Angka yang berbeda mengenai jumlah pekerja anak ini karena
pertimbangan atas batasan dan konsep pekerja anak.
Tentang Jermal
Jermal merupakan unit bangunan tempat penangkapan ikan, dibangun di tengah
perairan lautan Selat Malaka, yang berada pada kawasan sepanjang Pantai Timur
Sumatera Utara. Setiap jermal dihuni oleh 4-9 orang anak (usia 11-16 tahun), 2-5 pekerja
dewasa, dan ditambah seorang mandor/ wakil mandor yang mengawasi pekerja anak-
anak tersebut. Jermal ini digunakan untuk menangkap hasil laut seperti cumi-cumi, ikan
teri. Jermal didirikan pada kedalaman laut di atas 17 meter.
Bangunan jermal seluruhnya terbuat dari bahan baku kayu, lantai terbuat dari
papan dan seng sebagai atap. Jarak antara bibir pantai dengan lokasi jermal tidak sama
antara jermal yang satu dengan jermal yang lain. Ada yang jaraknya hanya 10 km, tetapi
ada juga yang jaraknya lebih dari 25 km seperti jermal-jermal yang ada di Kabupaten
Asahan. Sebagai contoh, yang ada di sekitar Pulau Salah Nama berjarak lebih dari 25 km.
Perjalanan menempuh jermal yang ada di sekitar Pulau Salah Nama ini mencapai 6 jam.
Jumlah jermal di Pantai Timur Sumatera Utara pada tahun 1995 ada sekitar 369
unit. Jumlah ini tersebar pada empat kabupaten yaitu 23 unit di Kabupaten Langkat, 81
unit jermal di Kabupaten Deli Serdang, 192 unit jermal di Kabupaten Asahan dan 73 unit
jermal di Kabupaten Labuhan Batu (Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara, 1995).
Tahun 2000 jumlah jermal di Pantai Timur Sumatera Utara mengalami penurunan
menjadi hanya tinggal 201 (PKPA, 2000). Penurunan jumlah jermal ini disebabkan
karena adanya adanya beberapa jermal yang runtuh karena terkena ombak/ badai,
dibongkar oleh pemiliknya karena dianggap tidak menguntungkan lagi.
Jumlah pekerja anak yang bekerja di setiap unit jermal sangat variatif, maksudnya
tidak sama untuk setiap unit jermal. Ada yang mempekerjakan 2 orang anak per jermal
namun ada juga yang 12 anak per unit jermal.
Bila dirata-ratakan maka jumlah pekerja anak yang bekerja di jermal saat ini lebih
kurang 400-500 anak bekerja.
Jam kerja buruh di jermal ini tidak teratur dan sangat tergantung pada musim,
apakah musim pasang hidup (banyak ikan) atau pasang mati (ikan sedikit dan ombak
besar). Bila musim pasang hidup, jam kerja buruh jermal biasanya dimulai pukul 02.00
dini hari sampai pukul 20.00 malam. Bila musim pasang mati, mereka bekerja mulai
pukul 07.00 pagi sampai dengan pukul 15.00 sore.
Kerja yang mereka lakukan adalah memutar jaring dengan katrol tangan dan ini
disebut dengan penggilingan. Jaring ini digiling oleh seluruh buruh jermal, masing-
masing memegang katrol tangan. Pada bangunan jermal biasanya terdapat 10-15 katrol
dan ini digiling dalam waktu bersamaan. Keselamatan buruh jermal sangat tergantung
pada kerja sama dengan buruh-buruh yang lain dalam melakukan penggilingan, sebab
pada suatu saat mereka bisa tercampak ke laut atau terkena hantaman katrol yang
dipegangnya. Pernah pada tahun 1995, seorang buruh jermal yang bekerja di Labuhan
Bilik, Kab. Labuhan Batu tercampak ke laut terkena hantaman katrol dan nasib si buruh
sangat tragis, tenggelam di laut.
Selain proses penggilingan yang dilakukan setiap dua jam sekali, buruh juga
diharuskan menyortir (memilah) ikan-ikan yang telah ditangkap, kemudian ikan tersebut
direbus dan dijemur. Demikian proses ini dilakukan terus menerus setiap hari. Dengan
proses ini, waktu istirahat buruh sangat minim.
Ikan yang mereka santap hanyalah ikan tertentu yang diizinkan ditangkap oleh
mandor. Bila mereka ketahuan memakan ikan yang dilarang (biasanya jenis ikan kerapu,
kakap, dan tongkol), upahnya dipotong.
Besarnya upah yang mereka terima sangat tidak sesuai dengan beban kerja yang
tinggi dan risiko kerja yang berbahaya. Para buruh jermal hanya diupah berkisar antara
Rp. 75.000-Rp.120.000 (US$ 7,5-12), tergantung pada lamanya si buruh bekerja dan
kemurahan hati pemilik jermal. Upah tersebut baru mereka terima setelah bekerja tiga
bulan.
Selang waktu tiga bulan ini dibolehkan untuk pulang beristirahat selama beberapa
hari. Yang boleh pulang ke darat sangat sedikit yang mau kembali lagi ke jermal sehingga
untuk mengisi kekosongan jermal, pemilik jermal membayar calo untuk mencari buruh
anak yang akan dipekerjakan di jermal.
Calo ini menggunakan segala cara agar calon buruh mau bekerja di jermal,
misalnya dengan mengelabui akan dipekerjakan di pabrik dan sebagainya. Untuk
mempermudah kerjanya, biasanya calo juga mencari anak jalanan di terminal dengan
iming-iming upah besar.
Perilaku seksualitas dan pemahaman nilai-nilai yang dianut setiap individu saling
berbeda. Perilaku, nilai dan pemahaman tersebut merupakan hasil dari interaksi individu
dengan lingkungannya. Dengan demikian, wajar bila perilaku, nilai dan pemahaman
seksualitas berbeda karena lingkungannya yang juga berbeda.
Demikian pula dengan perilaku seksualitas pekerja anak jermal di Pantai Timur
Sumatera Utara. Mereka hanya berhubungan dengan laki-laki dewasa (sejenis) dalam
rentang waktu yang cukup lama dan pada ruang interaksi yang relatif dekat. Mereka
berada dalam wacana komunikasi dan sosialisasi yang cenderung isolatif dan limitatif.
Hal ini dapat dijadikan alat ukur untuk mendapatkan gambaran perilaku seksualitas
mereka yang akan berbeda pula dengan perilaku seksualitas masyarakat umum.
Hubungan yang terjadi di jermal menjadi terbingkai dalam suasana interaksi yang
orang dewasa lebih mendominasi. Di sini berlangsunglah intervensi pemahaman atas
banyak pengertian mengenai berbagai topik atau dalam muatan banyak pembicaraan yang
berlangsung antara anak dan orang dewasa.
Konsep tentang kebenaran, kebaikan, kejujuran atau kepantasan tidak digali dari
sumber-sumber yang dianggap universal, namun justru lahir secara sepihak. Dominasi
orang dewasa terhadap anak-anak di jermal berlangsung dalam subjektivitas orang
dewasa yang amat kuat.
Keterbatasan dan kesederhanaan anak dalam berfikir dan memaknai sesuatu acap
kali terintervensi oleh pemaknaan yang diberikan orang dewasa. Pendapat ini didasarkan
pada dua alasan.
Penyebab hal kedua ini adalah minimnya dana dan sarana untuk melakukan
pemantauan, terbatasnya personil, hingga adanya praktek kolusi yang terjadi antara
pengusaha jermal dan aparat keamanan jermal.
Tidak kecuali, konsep seksualitas orang dewasa dan anak-anak di jermal perlu
diketahui. Dalam pola komunikasi yang tercipta, hal mengenai nilai, citra, dan orientasi
seksualitas anak mendapatkan pengertian-pengertian baru sebagai bagian dari hasil
bentukan para orang dewasa yang ada di sana.
Dalam kajian psikologi anak, kehadiran significant person ini amat dibutuhkan
dalam perkembangan anak, khususnya bagi pembentukan kepribadiannya. Dalam
kehidupan para pekerja anak jermal di Pantai Timur Sumatera, pengetahuan tentang
seksualitas pada umumnya mereka peroleh berdasarkan atas apa yang mereka lihat,
dengar, dan rasakan. Perilaku mereka cenderung meniru yang terlihat dan terdengar.
Salah seorang pekerja anak, sebut saja Bakriman (14 tahun) berkata sebagai
berikut: Kalau yang dinamakan seks itu ya seperti ciuman, ngocok (onani), main
(bersetubuh). Dan itu enak Bang. Tapi kalau di sini yang bisa hanya ngocok, habis nggak
ada perempuan. Kalau aku nggak tahan lagi. Langsung aja ke belakang buka celana
dan kata Bakriman tidak meneruskan kalimatnya melainkan tertawa.
Sementara itu nilai-nilai seksual yang dipahami oleh pekerja anak-anak jermal
relatif terbatas dan sangat sederhana. Disebut terbatas karena seks dipahami sekedar
perilaku berupa aktivitas hubungan kelamin (coitus) yang dilakukan oleh pria dan wanita.
Itupun dipahami dalam bahasa pasaran (menurut lidah orang Sumatera Utara
berarti bahasa yang terkesan kasar bagi telinga orang terpelajar). Disebut sederhana
karena seks dianggap sebagai bentuk pergaulan yang hanya menjadi milik orang dewasa
atau mereka yang telah menikah.
Hal di luar coitus (hubungan seksualitas yang umum) seperti anal seks, oral seks
atau aspek lain seputar seks seperti kesehatan reproduksi, gender, sensualitas, ketertarikan
terhadap lawan jenis, pubertas dan nilai-nilai lain justru dipahami sebagai bagian yang
berdiri sendiri, dan itu dianggapnya bukan seks.
Situasi demikian rupa dipengaruhi oleh latar belakang sosiologis saat anak-anak
belum bekerja di jermal. Mereka yang terserap bekerja di jermal berasal dari lingkungan
sosial yang rendah, pendidikan yang rendah, marjinal secara ekonomi dan minim
pengetahuan tentang moralitas dan etika, khususnya yang berkaitan tentang seks.
Pengetahuan tentang seks saat mereka masih berada di darat hanya berpijak pada
pengetahuan yang diserap dari pembicaraan teman sebaya buku porno, tayangan filem di
televisi atau video, celotehan tukang obat dan cerita dari kedai kopi tentang seks secara
terpenggal-penggal. Seperangkat nilai dan norma tentang seks tersebut terbentuk melalui
proses pergaulan.
Pekerja anak jermal cenderung longgar terhadap nilai dan norma kehidupan.
Mereka tidak pernah melakukan kegiatan ritual keagamaan. Ucapan yang dilontarkan
sehari-hari cenderung jorok dan kurang sopan. Demikian juga dengan sikap mereka
terhadap orang asing. Latar belakangnya ialah karena mereka tidak dididik oleh orang tua
atau guru mereka saat berada di darat. Para pekerja anak jermal belajar dari teman-teman
dan orang dewasa, baik pada saat mereka ada di darat maupun melalui pembicaraan antar
individu di jermal.
Bagi yang beragama Islam, mengerjakan rukun Islam dan mendengarkan ceramah
agama tidak dilakukan. Aktivitas kerja yang padat dan tidak terdengarnya panggilan azan
di jermal membuat mereka lupa beribadah. Begitu juga dengan mereka yang beragam
Kristen. Mereka tidak lagi bisa ke gereja atau beribadah sesuai dengan ajaran agamanya.
Pekerja anak jermal cenderung sensitif untuk mengekspresikan apa pun hal-hal
yang mereka lihat dari televisi, filem, dan kejadian-kejadian di darat.
Lebih dari itu, seperangkat nilai mereka buat berdasarkan persepsi dan
pengalaman selama bekeja di jermal, yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya,
setiap individu mengidentifikasikan dirinya menurut nilai mereka sendiri.
Berkaitan dengan ini, aspek perilaku seksual pekerja anak jermal berbeda dengan
anak-anak yang lain. Penelusurannya dapat dimulai dari pendekatan intens bagaimana
pekerja anak jermal memberikan jawaban atas rangsangan seksual yang mereka alami.
Dalam usaha memahamai perlaku seksual mereka ini, ditempuh cara observasi.
Dilakukan penggalian, pengalaman dan pengamatan dengan melihat perilaku orang,
memberikan arti pada perilaku dan mencari penyebab atau latar belakang timbulnya
perilaku tersebut. Observasi dilakukan melalui tahapan pengamatan, wawancara, dan
menganalogikannya.
Dari hasil observasi yang dilakukan, terlihat bahwa manusia dengan tindakan-
tindakannya, ada yang mudah dan ada juga yang sulit dilihat dan hanya diketahui dari
akibat perbuatan yang dilakukannya. Perilaku yang mudah dilihat dan tidak mudah dilihat
dari luar di bagi dalam dua kategori. Pertama, perilaku tertutup (covert behavior),
mencakup aspek-aspek mental, antara lain persepsi, ingatan, dan perhatian (perception,
attention dan memory). Kedua, perilaku terbuka (overt behavior), mencakup perilaku
yang dapat langsung dilihat.
Perilaku yang overt (tidak terlihat/terselubung) terlihat dari aspek kognitif yakni
pencarian pengertian perilaku yang dilakukan oleh subjek penelitian dengan merujuk
pada adanya penyadaran, melalui proses penginderaan terhadap rangsangan dan
interprestasi yang diberikan.
Di sini subjek digali untuk memberikan reaksi dengan memberikan arti dan
mengingat perilaku yang pernah diperbuatnya. Perilaku tertutup ini juga digali untuk
melatih emosi ketika terdapat penyadaran terhadap isi perangsangnya yang tampil dari
perasaan dan suasana di dalam diri.
Bila dirinci, perilaku seksual para pekerja anak jermal adalah sebagai berikut :
1. Onani/Masturbasi
Selama bekerja di jermal, para pekerja rata-rata tidak menyukai berbaju lengkap.
Kebanyakan mereka hanya bertelanjang dada sepanjang hari. Pada saat bekerja, mereka
hanya mengenakan celana dalam (disebut sempak) atau celana jins kumal dan buntung
yang telah disobek di bagian paha.
Mandi, buang air kecil, dan buang air besar dilakukan secara terbuka tanpa ada
lagi rasa malu-malu. Jermal yang tidak menyediakan fasilitas mandi cuci kakus (MCK)
secara permanen membuat para pekerja disana boleh di mana saja melakukan MCK
sepanjang dianggap tidak mengotori areal jermal.
Tempat yang biasanya dipilih adalah sudut-sudut tiang bangunan jermal atau
mereka membuangnya langsung ke lautan. Buang air besar dapat dilakukan dengan
mencangkong di sela-sela tangga jermal.
Sangat terbukanya fasilitas MCK di jermal dan iklim geografis laut yang panas
melahirkan perilaku seksual yang cenderung longgar. Para pekerja anak di jermal jadi
terbiasa melihat alat kelamin teman-teman sekerja. Kebiasaan ini menjadi kewajaran bagi
mereka.
Usia pekerja anak jermal berkisar 13-15 tahun. Dalam kajian psikologi, usia
tersebut dikategorikan dalam masa puber, masa ketika anak memiliki ketertarikan
terhadap lawan jenis, baik secara fisik maupun psikis. Ketertarikan terhadap lawan jenis
terlihat dari dialog antara peneliti dengan mereka. Selain lisan, secara tulisan hal itu
terungkap dalam coretan dan simbol berupa gambar hati di dinding-dinding jermal atau
pahatan di lantai jermal.
Bukan juga hal itu sekedar merupakan pelanggaran hak-hak normatif hukum
perburuhan. Kasus tindakan kekerasan, penculikan, penganiayaan, bahkan pembunuhan
pekerja anak di jermal merupakan fakta praktek eksploitasi anak yang tidak terbantahkan
lagi.
Penyebab terjadinya kekerasan terhadap pekerja anak adalah kesenjangan status sosial
antara pekerja anak dan pekerja dewasa, jauhnya lokasi dari pantauan hukum, sistem
kerja yang unik, yang tidak bergantung pada ketentuan umum, tetapi bergantung pada
potensi ikan.
Hal ini semua menjadi pendorong pekerja anak mendapatkan perlakuan yang
tidak adil dan cenderung eksploitatif. Pekerja anak yang jauh dari kontrol hukum
menyebabkan orang yang lebih kuat bisa melakukan apa saja terhadap mereka.
Selain faktor pendorong di atas, satu lagi faktor penyebab timbulnya kekerasan
seksual terhadap pekerja anak ialah gairah seksual pekerja dewasa yang tidak tersalurkan.
Tidak adanya saluran seksual ini lebih disebabkan peraturan kerja yang sangat ketat.
Setiap pekerja hanya dibolehkan pulang setiap tiga bulan sekali. Bagi yang telah
berkeluarga, peraturan ini menyebabkan mereka tidak bisa berhubungan seks dengan
istrinya. Pekerja anak menjadi sasaran mereka.
Apa yang dialami Ron (pekerja anak jermal) ketika dia disodomi sangat mengiris
hati. Ron dipaksa melayani kebuasan Tagor (pekerja dewasa). Malam itu betul-betul
merupakan malam yang naas baginya. Tagor yang bertubuh gelap dan kekar mengajak
Ron keluar pada saat pekerja lain sedang terlelap. Ron tidak merasa curiga ketika dia
terjaga. Namun, betapa terkejutnya ketika Tagor menelanjangi dan mengancam dirinya.
Dia mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Selesai disodomi, kemaluannya
diremas-remas oleh Tagor.
Kasus yang dihadapi Mulyono (14 tahun) berbeda lagi. Mul, begitu dia biasa
dipanggil, tidak bisa berkata apa pun ketika M (pekerja dewasa) memperkosanya
(menyodomi).
Selain dua bentuk kekerasan seksual yang disebutkan di atas (sodomi, dan
paksaan untuk onani) bentuk lain kekerasan seksual yang sering diterima anak adalah
mempermainkan alat kelamin pekerja anak, mempertontonkan alat kelamin pekerja
dewasa dan juga penelanjangan secara paksa oleh pekerja dewasa kepada pekerja anak.
Rekomendasi
Penghapusan pekerja anak di jermal mendesak dilakukan. Anak-anak yang kini
berada di jermal seyogianya dicarikan tempat yang lebih layak bagi mereka karena situasi
dan kondisi di jermal terlalu keras untuk menyeret mereka ke dalam beragam bentuk
praktek eksploitasi.
Penghapusan pekerja anak jermal ini perlu didudukkan sebagai program yang
segera dilakukan dan diiringi dengan pengawasan yang efektif. Penting juga untuk
menyusun satu program yang mampu menyosialisasikan gagasan reproduksi sehat di
jermal. Gagasan reproduksi sehat ini dapat dilakukan oleh LSM, pemerintah dan
komponen-komponen pengambil kebijakan yang bergerak di sektor publik lainnya, yang
dapat memainkan perannya dalam bidang ini.